Modul Akidah
Modul Akidah
Pokok-Pokok Materi
1. Pengertian Al-Asmā al-Husnā.
2. Memahami konsepsi tentang Allah.
3. Memahami konsepsi tentang Al-Rahman dan al-Rahim.
4. Memahami konsepsi tentang al-Malik.
5. Memahami konsepsi al-Asma Al-Husna dalam lingkup Pancasila.
URAIAN MATERI
A. Pengertian Al-Asmā Al-Husnā
Nama-nama Allah yang Indah atau Al-Asmā al-Husnā (ﺴﻨَﻰ
ْ )اﻷ َ ْﺳﻤَﺎ ُء ا ْﻟ ُﺤsecara bahasa
terdiri dari dua suku kata, yaitu al-asmā dan al-husnā. Kata asmā merupakan bentuk jamak
dari mufrad (tunggal) ism yang berarti nama diri atau lafẓun yu’ayyinu syakhṣan au ḥayawānan
au syaian (nama diri seseorang, binatang, atau sesuatu), sedangkan al-husnā berarti yang paling
bagus, baik, cantik, jadi secara bahasa al-Asmā' al- Ḥusnā berarti nama-nama yang terbaik.
Namun secara langsung, Atabik Ali dan Zuhdi Muhdlor dalam Kamus Kontemporer Arab
Indonesia mengartikan al-Asmā' al-Ḥusnā dengan nama-nama Allah yang berjumlah 99
(sembilanpuluh Sembilan). Istilah ini diambil dari beberapa ayat al-Qur’an yang menegaskan
bahwa Allah mempunyai berbagai nama yang terbaik, melalui nama itu, umat Islam bisa
mengetahui keagungan Allah dan menyeru dengan nama-nama tersebut ketika berdo’a atau
mengharap kepada-Nya. Selain itu, kata al-ḥusnā menunjukkan bahwa nama-nama yang
disandang Allah menunjukkan sifat-sifat yang amat sempurna dan tidak sedikitpun tercemar
dengan kekurangan. Sebagai contoh, bagi manusia kekuatan diperoleh melalui sesuatu yang
bersifat materi seperti otot-otot yang berfungsi dengan baik, dengan kata lain manusia
membutuhkan hal tersebut untuk memiliki kekuatan, dengan meneladani Allah Yang Maha
Kuat (al-Qawiyyu).
Bekenaan dengan jumlah bilangan al- Asmā' al-Ḥusnā, para ulama yang merujuk
kepada al-Qur’an mempunyai hitungan yang berbeda-beda. Sebagaimana dijelaskan oleh Pakar
Tafsir dari Indonesia, Muhammad Quraish Shihab, bahwa al-Thabathabai dalam tafsirnya Al-
Mīzān menyatakan bahwa jumlah al-Asmā' al-Ḥusnā itu ada sebanyak 127 (seratus dua puluh
tujuh) nama. Ibnu Barjam al-Andalusi lebih sedikit banyak dari al-Thabathabai menyebutkan
dalam karyanya Syarh al-Asmā' Al-Husnā dengan menghimpun 132 nama populer yang
termasuk dalam al-Asmā' al-Husnā. Al-Qurthubi dalam tafsirnya mengemukakan bahwa ia
menghimpun dalam bukunya Al-Kitab al-Asna fī Syarh al-Asmā' al-Husnā, hingga mencapai
lebih dari dua ratus nama, baik yang sudah disepakati, maupun yang masih diperselisihkan dan
yang bersumber dari ulama-ulama sebelumnya. Adapun Riwayat yang populer menyebutkan
bahwa bilangan al-Asmā' al-Ḥusnā adalah sembilan puluh sembilan. Pada subbab di bawah ini,
akan dipaparkan empat al-Asmā' al-Ḥusnā saja dari sembilanpuluh Sembilan, yaitu Allah, al-
Rahman, al-Rahim, dan al-Malik.
(Mengembangkan sesuatu dari suatu keadaan pada keadaan lain, sampai kepada keadaan
yang sempurna).
Huruf Ya’ yang berada di belakangnya adalah ya’ nisbah, (ya’ untuk membangsakan).
Artinya, penisbatan tersebut ditujukan kepada rabb atau Allah SWT. Yaitu orang yang alim
dan selalu taat kepada perintah Allah, dan akan diangkat derajatnya yang setinggi-tingginya
oleh Allah SWT. Oleh karena itu, rabbani adalah orang yang dibangsakan kepada Tuhan. Kata
rabbani biasanya juga ditunjukkan kepada manusia sebagai julukan (laqab) manusia rabbani
(orang yang dididik Tuhan) atau dapat bermakna semangat berketuhanan, yang merupakan inti
dari semua ajaran para Nabi dan Rasul Tuhan. Jika tali hubungannya dengan Allah sangat kuat,
tahu dan mengamalkan ajaran agama maupun kitabnya. Menurut Toshiko Izutsu, ia juga
menemukan suatu relasi kata rabb dengan kata-kata lain yang mengindikasikan makna lain
terhadap kata rabb, yakni: Tuhan yang menjamin atau memenuhi kebutuhan yang dipelihara,
mengawasi di samping juga memperbaiki segala hal, pemimpin, kepala yang diakui
kekuasaannya yang berwibawa dan yang semua perintah-perintahnya dipatuhi dan diindahkan,
ia juga bermakna raja dan pemilik. Makna-makna ini adalah relasi rabb dengan sifat-sifatnya.
Kata rabb menunjukkan adanya pemaknaan mengenai tauhid Rububiyah dimana adanya
unsur mengesakan Allah Swt, dalam mencipta, menguasai, dan mengatur alam semesta (Q.S:
Al-Zumar: 62; al-Fathir: 3; al-Mulk: 1; al-A’raf: 54). Menurut Ibnu Qoyyim konsekuensi
Rububiyah adalah adanya perintah dan larangan kepada hamba, membalas yang berbuat baik
dengan kebaikan, serta menghukum yang jahat atas kejahatannya. Rabb adalah"Tuhan Sang
Maha Pencipta", yang meciptakan keseluruhan alam ini tidak hanya sekedar menciptakan tetapi
juga di maksudkan sebagai " Sang Maha Pemelihara". Dan juga setiap kejadian tidak lepas dari
kekuasaan-Nya sebagai" Sang Maha Pengatur". Dari sisi pengakuan, tidak hanya kaum
muslimin yang mengakui adanya Rabb. Banyak orang di dunia barat tidak secara formal
beragama tetapi mereka mengakui adanya "Dia" Tuhan Yang Maha Pencipta.
Allah Swt. berfirman, "Akulah al-Rahmān (Yang Maha Pemurah), Aku telah
menciptakan rahim dan Aku belahkan salah satu nama-Ku buatnya. Maka barang siapa yang
menghubungkannya, niscaya Aku berhubungan (dekat) dengannya; dan barang siapa yang
memutuskannya, niscaya Aku putus (jauh) darinya.
Al-Qurtubi mengatakan bahwa nas hadis di atas mengandung isytiqaq (pengasalan
kata), maka tidak ada maknanya untuk diperselisihkan dan dipertentangkan. Adapun orang-
orang Arab ingkar terhadap nama al-Rahmān karena kebodohan mereka terhadap Allah dan
apa-apa yang diwajibkannya. Selanjutnya Al-Qurtubi mengatakan bahwa menurut pendapat
lain lafaz al-Rahmān dan al-rahīm mempunyai makna yang sama; perihalnya sama dengan
lafaz nadmana dan nadim, menurut Abu Ubaid. Menurut pendapat yang lainnya lagi, sebuah
isim yang ber-wazan fa'lana tidak sama dengan yang ber-wazan fa'ilun, karena wazan fa'-lana
hanya dilakukan untuk tujuan mubalagah fi'il, yang dimaksud misalnya seperti ucapan “rajulun
gadbanu” ditujukan kepada seorang lelaki yang pemarah. Sedangkan wazan fa'ilun adakalanya
menunjukkan makna fa'il dan adakalanya menunjukkan makna maful.
Abu Ali Al-Farisi mengatakan bahwa al-Rahmān adalah isim yang mengandung makna
umum dipakai untuk semua jenis rahmat yang khusus dimiliki oleh Allah Swt., sedangkan al-
rahīm hanya di-khususkan buat orang-orang mukmin saju, seperti pengertian yang terkandung
di dalam firman-Nya:
وَ ﻛَﺎنَ ﺑِﺎ ْﻟﻤُﺆْ ﻣِ ﻨِﯿﻦَ رَ ﺣِ ﯿﻤًﺎ
Dan adalah Dia Maha Penyayang kepada orang-orang beriman. (Al-Ahzab: 43).
Ibnu Abbas mengatakan bahwa keduanya merupakan isim yang menunjukkan makna
lemah lembut, sedangkan salah satu di antaranya lebih lembut daripada yang lainnya, yakni
lebih kuat makna rahmat-nya daripada yang lain. Kemudian diriwayatkan dari Al-Khattabi dan
lain-lainnya bahwa mereka merasa kesulitan dalam mengartikan sifat ini, dan mereka
mengatakan barangkali makna yang dimaksud ialah lembut, sebagaimana pengertian yang
terkandung di dalam sebuah hadis, yaitu:
ِﻋﻠَﻰ ا ْﻟﻌُﻨْﻒ
َ ﻖ ﻣَﺎ َﻻ ﯾُﻌْﻄِ ﻲ
ِ اﻟﺮ ْﻓ
ّ ِ ﻋﻠَﻰ
َ اﻟﺮﻓْﻖَ وﯾﻌﻄﻲ
ّ ِ إِنﱠ ﱠ َ رَ ﻓِﯿﻖٌ ﯾُﺤِ ﺐﱡ
Sesungguhnya Allah Mahalembut, Dia mencintai sikap lembut dalam semua perkara,
dan Dia memberi kepada sikap yang lembut pahala yang tidak pernah Dia berikan kepada sikap
yang kasar.
Ibnul Mubarak mengatakan makna ar-rahman ialah "bila diminta memberi", sedangkan
makna ar-rahim ialah "bila tidak diminta marah", sebagaimana pengertian dalam sebuah hadis
yang diriwayatkan oleh Imam Turmuzi dan Imam Ibnu Majah melalui hadis Abu Saleh Al-
Farisi Al-Khauzi, dari Abu Hurairah r.a. yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah
bersabda:
Ibnu Jarir mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami As-Sirri ibnu Yahya At-
Tamimi, telah menceritakan kepada kami Usman ibnu Zufar yang mengatakan bahwa ia pernah
mendengar Al-Azrami berkata sehubungan dengan makna ar-rahmanir rahim, " al-Rahmān
artinya Maha Pemurah kepada semua makhluk (baik yang kafir ataupun yang mukmin),
sedangkan al-Rahīm Maha Penyayang kepada kaum mukmin." Mereka (para ulama ahli tafsir)
mengatakan, mengingat hal tersebut dinyatakan di dalam firman-Nya:
ﻗُ ِﻞ ا ْدﻋُﻮا ﱠ َ أ َ ِو ا ْدﻋُﻮا اﻟﺮﱠ ﺣْ ﻤﻦَ أ َﯾﺎ ﻣَﺎ ﺗ َ ْﺪﻋُﻮا ﻓَﻠَﮫُ ْاﻷَﺳْﻤﺎ ُء ا ْﻟ ُﺤﺴْﻨﻰ
Katakanlah, "Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. Dengan narna yang mana saja
kamu seru, Dia mempunyai asma-ul husna (nama-nama yang terbaik)." (Al-Isra: 110).
Dalam ayat lainnya lagi Allah Swt. telah berfirman:
ﻗُ ِﻞ ا ْدﻋُﻮا ﱠ َ أ َ ِو ا ْدﻋُﻮا اﻟﺮﱠ ﺣْ ﻤَﻦَ أ َﯾﺎ ﻣَﺎ ﺗ َ ْﺪﻋُﻮا ﻓَﻠَﮫُ اﻷ ْﺳﻤَﺎ ُء ا ْﻟ ُﺤ ْﺴﻨَﻰ
"Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia
mempunyai asma-ul husna (nama-nama yang terbaik)." (Al-Isra: 110).
Sesungguhnya Musailamah Al-Kazzab dari Yamamah secara kurang ajar berani
menamakan dirinya dengan sebutan "al-Rahmān" hanya karena dia sesat, dan tiada yang mau
mengikutinya kecuali hanya orang-orang sesat seperti dia. Adapun lafaz al-Rahīm, maka Allah
Swt. menyifati selain diri-Nya dengan sebutan ini, sebagaimana yang disebutkan di dalam
firman-Nya:
ً َﺼﯿﺮا
ِ ﻄ َﻔ ٍﺔ أ َﻣْ ﺸﺎجٍ ﻧَ ْﺒﺘَﻠِﯿ ِﮫ َﻓ َﺠﻌَﻠْﻨﺎهُ ﺳَﻤِ ﯿﻌﺎ ً ﺑ
ْ ُاﻹﻧْﺴﺎنَ ﻣِ ﻦْ ﻧ
ِ ْ إِﻧﱠﺎ َﺧﻠَ ْﻘﻨَﺎ
Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur
yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu Kami jadikan dia
mendengar dan melihat. (Al-Insan: 2).
Dapat disimpulkan bahwa sebagian dari asma-asma Allah ada yang dapat disandang
oleh selain-Nya dan ada yang tidak boleh dijadikan nama selain-Nya, seperti lafaz Allah, al-
Rahmān, al-Razīq, dan al-Khalīq serta lain-lainnya yang sejenis. Karena itulah dimulai dengan
sebutan nama Allah, kemudian disifati dengan al-Rahmān karena lafaz ini lebih khusus dan
lebih makrifat daripada lafaz al-Rahīm. Karena penyebutan nama pertama harus dilakukan
dengan nama paling mulia, maka dalam urutannya diprioritaskan yang lebih khusus. Jika
ditanyakan, "Bila lafaz al-Rahmān lebih kuat mubalagah-nya, mengapa lafaz al-Rahīm juga
disebut, padahal sudah cukup dengan menyebut al-Rahmān saja?" Telah diriwayatkan dari Ata
Al-Khurrasani yang maknanya sebagai berikut: Mengingat ada yang menamakan dirinya
dengan sebutan al-Rahmān selain Dia, maka didatangkanlah lafaz al-Rahīm untuk membantah
dugaan yang tidak benar itu, karena sesungguhnya tiada seorang pun yang berhak disifati
dengan julukan al-rahmānirrahīm kecuali hanya Allah semata. Demikian yang diriwayatkan
oleh lbnu Jarir, dari Ata, selanjutnya Ibnu Jarirlah yang mengulasnya. Tetapi sebagian dari
kalangan mereka ada yang menduga bahwa orang-orang Arab pada mulanya tidak mengenal
kata al-Rahmān sebelum Allah memperkenalkan diri-Nya dengan sebutan itu melalui firman-
Nya:
ﻗُ ِﻞ ا ْدﻋُﻮا ﱠ َ أ َ ِو ا ْدﻋُﻮا اﻟﺮﱠ ﺣْ ﻤَﻦَ أ َﯾﺎ ﻣَﺎ ﺗ َ ْﺪﻋُﻮا ﻓَﻠَﮫُ اﻷ ْﺳﻤَﺎ ُء ا ْﻟ ُﺤ ْﺴﻨَﻰ
Katakanlah, "Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja
kamu seru, Dia mempunyai asma-ul husna (nama-nama yang terbaik)." (Al-Isra: 110).
Karena itulah orang-orang kafir Quraisy di saat Perjanjian Hudaibiyyah dilaksanakan
—yaitu ketika Rasulullah Saw. bersabda, "Bolehkah aku menulis (pada permulaan perjanjian)
kata bismillāhirrahmānirrahīm (dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha
Penyayang)?"— mereka mengatakan, "Kami tidak mengenal al-Rahmān, tidak pula al-Rahīm."
Demikian menurut riwayat Imam Bukhari. Sedangkan menurut riwayat lain, jawaban mereka
adalah, "Kami tidak mengenal al-Rahmān kecuali Rahmān dari Yamamah" (maksudnya
Musailamah Al-Kazzab).
Allah Swt. telah berfirman:
ً وَ إِذا ﻗِﯿ َﻞ ﻟَ ُﮭ ُﻢ ا ْﺳ ُﺠﺪ ُوا ﻟِﻠﺮﱠ ﺣْ ﻤﻦِ ﻗﺎﻟُﻮا وَ ﻣَﺎ اﻟﺮﱠ ﺣْ ﻤﻦُ أ َ َﻧ ْﺴ ُﺠﺪ ُ ﻟِﻤﺎ ﺗَﺄْﻣُﺮُ ﻧﺎ وَ زادَ ُھ ْﻢ ﻧُﻔُﻮرا
Dan apabila dikatakan kepada mereka, "Sujudlah kalian kepada Yang Maha Rahman
(Pemurah)," mereka menjawab, "Siapakah Yang Maha Penyayang ihi? Apakah kami akan
sujud kepada Tuhan Yang kamu perintahkan kami (bersujud kepada-Nya)?", dan (perintah
sujud iru) menambah mereka jauh (dari iman). (Al-Furqan: 60).
Menurut pengertian lahiriahnya ingkar yang mereka lakukan itu hanya merupakan
sikap membangkang, ingkar, dan kekerasan hati mereka dalam kekufuran. Karena
sesungguhnya telah ditemukan pada syair-syair Jahiliah mereka penyebutan Allah dengan
istilah Rahmān. Ibnu Jarir menyebutkan bahwa ada seseorang Jahiliah yang bodoh mengatakan
syair berikut:
أ ََﻻ ﻗَﻀَﺐَ اﻟﺮﱠ ﺣْ ﻤَﻦُ رَ ﺑِّﻲ ﯾَﻤِ ﯿ َﻨﮭَﺎ... أ ََﻻ ﺿَﺮَ ﺑَﺖْ ﺗِﻠْﻚَ ا ْﻟﻔَﺘ َﺎة ُ ھَﺠِ ﯿ َﻨﮭَﺎ
Mengapa gadis itu tidak memukul (menghardik) untanya, bukankah tongkat rahman
Rabbku berada di tangan kanannya?
Salamah ibnu Jundub At-Tahawi mengatakan dalam salah satu bait syairnya:
ﻖ
ِ ﻄ ِﻠ
ْ ُﺸ ِﺄ اﻟﺮﱠ ﺣْ ﻤَﻦُ ﯾَ ْﻌ ِﻘﺪ ُ وَ ﯾ
َ َوَ ﻣَﺎ ﯾ... ﻋﻠَ ْﯿ ُﻜ ُﻢ
َ ﻋﺠﻠﺘﻢ ﻋﻠﯿﻨﺎ إذ ﻋﺠﻠﻨﺎ
Kalian terlalu tergesa-gesa terhadap kami di saat kami tergesa-gesa terhadap kalian,
padahal Tuhan Yang Maha Pemurah tidak menghendaki adanya akad. lalu talak (putus
hubungan).
Ibnu Jarir mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah
menceritakan kepada kami Usman ibnu Sa'id, telah menceritakan kepada kami Bisyr ibnu
Imarah, telah menceritakan kepada kami Abu Rauq, dari Dahhak, dari Abdullah ibnu Abbas
yang mengatakan bahwa Rahmān adalah wazan fa'lana dari lafaz Rahmān, dan ia termasuk
kata-kata Arab. Ibnu Jarir mengatakan, al-rahmānirrahīm artinya "Yang Maha Lemah Lembut
lagi Maha Penyayang kepada orang yang Dia suka merahmatinya, dan jauh lagi keras terhadap
orang yang Dia suka berlaku keras terhadapnya". Demikian pula semua asma-Nya, yakni
mempunyai makna yang sama. Ibnu Jarir mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami
Muhammad ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Mas'adah, dari Auf,
dari Al-Hasan yang mengatakan bahwa Rahmān adalah isim yang dilarang bagi selain Dia
menyandangnya. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id
Yahya ibnu Sa'id Al-Qattan, telah menceritakan kepada kami Zaid ibnul Habbab, telah
menceritakan kepadaku Abul Asyhab, dari Al-Hasan yang mengatakan bahwa Rahmān adalah
isim yang tiada seorang manusia pun mampu menyandangnya; Allah menamakan diri-Nya
dengan isim ini.
Muhammad Quraish Shihab menyatakan cenderung menguatkan pendapat yang
menyatakan baik al-Rahmān maupun al-Rahīm terambil dari akar kata Rahmat. Dalam salah
satu hadist qudsi dinyatakan bahwa Allah berfirman: “Aku adalah al-Rahmān, Aku
menciptakan rahīm, kuambilkan untuknya nama yang berakar dari nama-Ku. Siapa yang
menyambungnya (silaturrahim) akan Ku-sambung (rahmat-Ku) untuknya dan siapa yang
memutuskannya Kuputuskan (rahmat-Ku baginya). (HR. Abudaud dan Attirmizi melalui
Abdurrahman bin ‘Áuf). Quraish menguatkan pendapatnya dengan mengetengahkan pendapat
menurut pakar bahasa Ibnu Faris (w. 395 H) semua kata yang terdiri dari huruf-huruf Ra’ Ha’
dan Mim, mengandung makna “kelemahlembutan, kasih sayang dan kehalusan”. Hubungan
silaturahim adalah hubungan kasih sayang. Rahim adalah peranakan/kandungan yang
melahirkan kasih sayang. Kerabat juga dinamai rahim, karena kasih sayang yang terjalin
diantara anggota-anggotanya. Rahmat lahir dan nampak dipermukaan bila ada sesuatu yang
dirahmati dan setiap yang dirahmati pastilah sesuatu yang butuh, karena itu yang butuh tidak
dapat dinamai rahim. Di sisi lain siapa yang bermaksud memenuhi kebutuhan pihak lain tetapi
secara faktual dia tidak melaksanakannya, maka ia juga dapat dinamai Rahim. Bila itu tidak
terlaksana karena ketidakmampuannya, maka boleh jadi dia dinamai rahim, ditinjau dari segi
kelemahlembutan, kasih sayang dan kehalusan yang menyentuh hatinya. Tetapi yang demikian
ini adalah sesuatu yang tidak sempurna.
Rahmat yang menghiasi diri seseorang, tidak luput dari rasa pedih yang dialami oleh
jiwa pemiliknya. Rasa itulah yang mendorongnya untuk mencurahkan rahmat kepada yang
dirahmati. Rahmat dalam pengertian demikian adalah rahmat makhluk, Al-Khaliq (Allah) tidak
demikian. Seperti -tulis Al-Ghazali- “Jangan Anda duga bahwa hal ini mengurangi makna
rahmat Tuhan, bahkan di sanalah kesempurnaannya. Rahmat yang tidak dibarengi oleh rasa
pedih – sebagaimana rahmat Allah – tidak berkurang karena kesempurnaan rahmat yang ada
di dalam, ditentukan oleh kesempurnaan buah/hasil rahmat itu saat dianugerahkan kepada yang
dirahmati dan betapapun Anda memenuhi secara sempurna kebutuhan yang dirahmati, yang
bersangkutan ini tidak merasakan sedikitpun apa yang dialami oleh yang memberinya rahmat.
Kepedihan yang dialami oleh sipemberi merupakan kelemahan makhluk”. Adapun yang
menunjukkan kesempurnaan rahmat Ilahi walaupun Yang Maha Pengasih itu tidak merasakan
kepedihan, maka menurut Imam Al-Ghazali adalah karena makhluk yang mencurahkan rahmat
saat merasakan kepedihan itu, hampir-hampir saja dapat dikatakan bahwa saat ia
mencurahkannya – ia sedang berupaya untuk menghilangkan rasa pedih itu dari dirinya, dan
ini berarti bahwa pemberiannya tidak luput dari kepentingan dirinya. Hal ini mengurangi
kesempurnaan makna rahmat, yang seharusnya tidak disertai dengan kepentingan diri, tidak
pula untuk menghilangkan rasa pedih tetapi semata-mata demi kepentingan yang dirahmati.
Demikianlah Rahmat Allah Swt.
Masih menurut Quraish Shihab, menurut Al-Ghazali buah yang dihasilkan oleh al-
Rahmān pada aktivitas seseorang adalah bahwa “ia akan merasakan rahmat dan kasih sayang
kepada hamba-hamba Allah yang lengah, dan ini mengantar yang bersanguktan untuk
mengalihkan mereka dari jalan kelengahan, menuju Allah. Dengan memberinya nasehat secara
lemah lembut – tidak dengan kekerasan, memandang orang-orang berdosa dengan pandangan
kasih sayang- bukan dengan gangguan. Memandang setiap kedurhakaan yang terjadi di alam
raya, bagai kedurhakaan terhadap dirinya, sehingga dia tidak menyisihkan sedikit upaya
apapun untuk menghilangkannya sesuai kemampuannya, sebagai pengejewantahan dari
rahmatnya terhadap si durhaka jangan sampai ia mendapatkan murka-Nya dan kejauhan dari
sisi-Nya”. Sedang buah al-Rahīm menurut Al-Ghazali adalah, “Tidak membiarkan seorang
yang butuh kecuali berupaya memenuhi kebutuhannya, tidak juga membiarkan seorang fakir
disekililingnya atau di negerinya kecuali dia berusaha untuk membantu dan menampik
kefakirannya, dengan harta, kedudukan, atau berusaha melalui orang ketiga, sehingga
terpenuhi kebutuhannya. Kalau semua itu tidak berhasil ia lakukan, maka hendaklah ia
membantunya dengan doa serta menampakkan rasa kesedihan dan kepedihan atas
penderitaanaya. Itu semua, sebagai tanda kasih sayang dan dengan demikian ia bagaikan serupa
dengan yang dikasihnya itu dalam kesulitan dan kebutuhan. Demikian Al-Ghazali.
Kita juga dapat berkata bahwa seseorang yang menghayati bahwa Allah adalah al-
Rahmān (Pemberi Rahmat) karena Dia al-Rahīm (melekat pada dirinya sifat rahmat), akan
berusaha memantapkan pada dirinya sifat rahmat dan kasih sayang, sehingga menjadi ciri
kepribadiannya. Selanjutnya ia tak akan ragu atau segan mencurahkan rahmat kasih sayang itu
kepada sesama manusia tanpa membedakan suku, ras atau agama maupun tingkat keimanan
serta memberi pula rahmat dan kasih sayang kepada makhluk-makhluk lain baik yang hidup
maupun yang mati. Ia akan menjadi bagai matahari yang tidak kikir atau bosan memancarkan
cahaya dan kehangatannya kepada siapapun dan dimanapun. Kalaupun terdapat perbedaan
dalam perolehan cahaya dan kehangatan, maka itu lebih banyak disebabkan oleh posisi
penerima bukan posisi pemberi, karena matahari selalu konsisten dalam perjalannya lagi
memiliki aturan atau hukum-hukum yang tidak berubah. Itulah buah yang diharapkan dari
bacaan al-Rahmān dan al-Rahīm.
Sejak kecil kita sudah diajarkan oleh orang tua atau guru kita untuk memulai segala
sesuatu dengan membaca Bismillah, namun Bismillah yang kita baca tidak lebih dari sebuah
keyaqinan kita tentang keagamaan yang paling terkesan dimasa kanak-kanak dan merupakan
kebiasaan yang kita bawa hingga dewasa dan naïfnya kebiasan itu tetap stagnan tanpa
pemahaman lebih mengenai makna Bismillah yang sesungguhnya. Padahal Bismillah bukan
hanya ajaran Islam semata, bukan doktrin yang tanpa makna, melainkan adalah sebuah kalimat
yang sarat akan makna dan tersaji husus untuk ummat Muhammad demi kebaikan ummatnya.
Rosulullah meskipun bergelar al-ummi tapi beliau tidak bodoh. Karena ada Tuhan Allah Yang
Maha Cerdas, Maha Baik dan bijaksana dibalik semua ajaran dan anjurannya. Sehingga dalam
memerintahkan segala sesuatu pasti ada hikmah dan tujuannya yang tentu saja untuk kebaikan
kita sebagai ummatnya, termasuk didalamnya adalah perintah berbismillah dalam memulai
setiap aktivitas atau kegiatan yang kita lakukan.
Berangkat dari itu maka rasionalisasi bismillah menjadi sangat penting. Rasionalisasi
yang saya maksudkan adalah bagaimana konsep membaca bismilah sebelum melakukan
aktivitas seperti yang di anjurkan dalam Islam adalah sebuah teory yang logis dalam
menghasilkan energy positif bagi manusia yang produktif, khususnya sebagai khalifah di atas
bumi ini. Rasionalisasi bismillah adalah proses dimana bismillah ternyata adalah konsep yang
pas bahkan bagi manusia yang mendewakan logika modernitas. Salah satunya adalah bahwa
bismilah ternyata bersinergi dengan konsep ilmu perencanaan, bahkan lebih komplit dalam
cara pandangnya karena harus melibatkan kekuatan memandang dengan mata pikiran dan mata
hati. Sebab ketika Bismillah menjadi point penting dari prilaku dan akhlaq nabi Muhammad,
maka pastilah mengandung kebaikan bagi ummatnya dan itu berlaku tak kenal waktu tak
pandang sekarang nanti atau dulu.
Kebaikan dan efektifivas Bismillah bukan saja mengantar kita pada ke Khusu’an
beribadah, tapi juga dalam memberi pencerahan pemikiran dan kepribadian yang kita butuhkan
untuk sampai pada gerbang kesuksesan baik financial maupun spiritual. Seorang Maxwell
Maltz menuturkan bahwa kita harus mengusahakan diri kita memiliki ke-7 ciri kepribadian
untuk bisa menjadi manusia yang sukses menjalani hidup di dunia. Diantaranya adalah Sense
of Direction, Understanding, Courage, Chairty, Self-Acceptance, Self-Confidence. Esteem
(Self-Esteem). Dari ketujuh pandangan Maxwell Maltz tersebut sebenarnya secara tersirat
sudah diajarkan oleh Bismillah yang kita baca setiap harinya. Bahkan bismillah jauh lebih
sempurna memandang arti kesuksesan itu, karena bismillah juga mengajarkan kita bagaimana
kita mampu menikmati kesuksesan tersebut dengan konsep bahagia dalam hidup bahkan
membawanya hingga ke surga yang kita yaqini adanya. Bismillah seperti kunci gerbang utama
menuju kesempurnaan akhlak kita sehingga dengan kunci itu kita bisa membuka pintu sukses
kepribadian kita untuk menjadi kaya, bahagia dan masuk surga. Dalam prakteknya untuk bisa
sampai pada titik pengertian itu memang dibutuhkan kemampuan berfikir dan kematangan
memaknai bismillah itu sendiri, dan buku ini setidaknya akan membawa kita pada ranah
pemikiran dan pemaham tersebut. Singkat memang, tapi setidaknya akan dapat membuka
cakrawala berfikir kita di dalam ruang-ruang tafakkur kita.
Soekarno, Presiden Pertama Indonesia berpendapat bahwa kata-kata rahman, rahim yang
merupakan sifat prerogatif Tuhan menunjukkan pada kasih sayang Tuhan, namun makna yang
jauh berbeda. Kata-kata al-Rahman menurutnya berarti ‘pemurah’ atau kemurahan Tuhan
untuk memberikan sesuatu kepada manusia sekalipun manusia tidak beramal kepada Tuhan.
Dengan kata lain, al-Rahim menunjukkan kepada pemberian Tuhan sebagai ganjaran dari amal
yang diperbuat manusia. Tanpa amalan maka manusia tidak akan memperoleh ganjaran apa-
apa. Soekarno memberi contoh dari sifat al-Rahman Tuhan sebagai berikut:
“Misalnya kita diberi tanah air oleh Tuhan. Kita di-procotkan (dilahirkan, pen.) dari gua qardha ibu,
tidak didasar laut, atau tidak di awang-awang, dirgantara. Tidak dirgantara itu angkasa, itu yang
dinamakan oleh Ki Dalang Dirgantara. Tidak, kita dilahirkan dalam suatu keadaan yang di situ ada
buminya, yang kita bisa hidup di atasnya, yang di situ ada air yang kita bisa hidup. Pendek kata yang dengan
satu perkataan, kita simpulkan dengan perkataan tanah air. Salah satu kerahmanan Tuhan kepada kita”.
Dapat disebut bahwa bagi Soekarno tanah air adalah merupakan pemberian Tuhan sebagai
aplikasi dari rahmān Tuhan. Oleh karenanya, manusia berkewajiban memelihara dan
mempertahankannya. Pemikiran Soekarno tersebut dapat dipahami bahwa Soekarno ingin
membangkitkan dan membakar semangat juang rakyatnya dalam membela negara. Hal ini
sangat beralasan karena dalam lanjutan pidatonya, Soekarno menyebutkan, “Tanah air ini,
saudara-saudara diancam bahaya. Tuhan perintahkan kepada kita, hai buatlah tanah airmu
ini terhindar dari bahaya, tanah air ini adalah satu amanah Tuhan dan diancam tanah air ini
oleh bahaya, kewajiban kita untuk menyelamatkannya dari bahaya”. Selain itu Soekarno juga
berpendapat bahwa Tuhan mempunyai kesenangan, karena kesenangan menjalankan sifatnya
itu pulalah Tuhan menurunkan agama, oleh karenanya manusia berkewajiban membuat senang
kepada Tuhan, yakni dengan cara menjalankan agama, dan menjalankan amar ma’rūf nahī
munkar sebagai kewajiban yang diperintahkan Allah. Tuhan bisa menjalankan rahmaniah-Nya.
Antara lain terhadap tanah air dan masyarakat ini.
Bagi Soekarno, Tuhan adalah kekuatan, kekuatan yang tidak ada tandingannya. Oleh
karenanya, Soekarno menghendaki negara Indonesia merupakan negara yang memiliki teologi
ketuhanan, bukan seluleristik ataupun ateistik. Namun demikian, temuan penulis, teologi bagi
bangsa itu merupakan suatu bentuk berketuhanan yang dicirikan oleh dua corak teologi, yaitu:
berkebudayaan dan berperadaban. Teologi berkebudayaan merupakan suatu corak teologi yang
inklusifistik, dengan tiada egoisme agama. Teologi yang berkeadaban, suatu teologi yang
pluralis, saling hormat-menghormati antar satu agama ataupun keyakinan yang tumbuh-
kembang di Nusantara ini.
Uniknya, malah Soekarno menganggap suatu keanehan bahwa ada orang yang
berpendapat, orang yang intelek tidak percaya adanya Tuhan (ateistik). Karena, menurut
Soekarno, makna intelek itu adalah otak, atau orang intelek itu adalah orang yang
berpendidikan. Selanjutnya Soekarno menganggap, beliau dianggap intelek karena telah
menyandang gelar insinyur dan 16 doktor dari berbagai jurusan ilmu, serta mendapat gelar
professor. Pernah ada yang bertanya, “Bung Karno yang intelek, yang professor dan
menyandang 16 doktor, mengapa percaya adanya Tuhan? Apa bukti adanya Tuhan?” Dengan
lantang dan penuh keyakinan, Soekarno memberi jawaban:
“Ya, jikalau saya harus membuktikan kepada saudara bahwa Tuhan itu ada, saya tidak bisa, tetapi bisa
membuktikan kepada diriku sendiri, kepada ku sendiri bahwa Tuhan ada, bahkan saya sering bercakap-
cakap dengan Tuhan. Saya sering meminta kepada zat itu, itupun belum merupakan bukti Tuhan itu ada.
Bahwa saya sering meminta kepada zat itu dan zat itu memberikan kepadaku apa yang kuminta. Nah, itulah
bagiku satu bukti yang nyata bahwa Tuhan itu ada”.
Selanjutnya Soekarno menjelaskan, beliau sering memohon sesuatu kepada zat yang
dinamakan Allah Subhanahu wata’ala, dan apa yang Soekarno minta diberikan. Oleh
karenanya, bagi Soekarno itu sudah merupakan bukti yang kuat, yang teguh, yang nyata, yang
tidak dapat dibantah bahwa yang Soekarno minta itu ada, bahwa Tuhan itu pasti ada.
Berdasarkan pengalaman tersebut, dalam setiap pidatonya selalu memuji dan mengharapkan
pertolongan Tuhan. Sebagai contoh ketika Soekarno berceramah dihadapan para mahasiswa di
Universitas Katolik Bandung, tanggal 16 Januari 1961:
“Nah, saya yang di dalam hal yang demikian itu, sebagai tadi saya katakana, selalu, ya, mohon dari
taufik hidayah daripada Tuhan, mana ada kekuatan yang lebih besar daripada yang berasal daripada
Tuhan? Saya selalu berkata di dalam pidato-pidato saya, bahwa dengan bantuan Tuhan saya bisa
menyelenggarakan ini, tanpa bantuan Tuhan saya tidak bisa menyelenggarakan ini, saudara-saudara”.
Seandainya orang ingin menjumpai dengan Tuhan, orang itu tidak harus naik setinggi-
tingginya, cukup hanya turun ke dalam hatinya, demikian menurut Soekarno. Manusia
dianugerahkan akal atau rasio oleh Tuhan. Dengan rasionya manusia mampu menciptakan alat-
alat canggih yang dapat membawa manusia naik ke langit, dapat sampai ke planet yang
manusia inginkan. Otak manusia semakin berkembang, namun menurut Soekarno setinggi
apapun perkembangan otak manusia itu tidak akan mampu menjadikan manusia dapat bertemu
dengan Tuhan, sebagaimana Nabi Muhammad yang dapat berhadapan langsung dengan Tuhan,
itu pun atas seizin Allah. Menurut Soekarno sebagaimana disampaikan dalam memperingati
Isra’ dan Mi’raj di Istana Negara, pada tanggal 16 Januari 1961:
“Kalau kita hendak menjumpai Tuhan saudara-saudara, meskipun kita memakai explorer, meskipun kita
memakai sputnik, meskipun kita memakai alat perkakas apapun yang kita bisa sampai mendarat di bintang-
bintangnya Bima Sakti, kalau kita tidak turun di dalam hati kita malahan kita tidak akan berjumpa dengan
Allah Subhanahu wata’ala. Profesor botak yang membikin perkakas, atau ingenieur botak yang membikin
perkakas yang membawa manusia ke bulan, belum tentu dia berjumpa dengan Tuhan; tetapi ambillah orang
yang hina-hina, kadang-kadang dia berjumpa dengan Tuhan meskipun dengan tidak dengan dia punya
pancaindera”.
Menurut Soekarno yang penting bagi manusia untuk dapat berjumpa dengan Tuhan adalah
dalam rangka meningkatkan keimanan. Tuhan tidak di mana-mana, Tuhan itu Esa, tetapi ada
di mana-mana. Siapa saja yang berkeinginan untuk bertemu dengan Tuhan, tidak harus
manusia naik ke langit setinggi-tingginya dengan memakai berbagai macam peralatan.
Manusia boleh saja bercita-cita untuk dapat bertemu dengan Tuhan Sang Pencipta, namun
menurut Soekarno manusia harus turun, turun ke sini (dengan penuh keyakinan sambil
Soekarno menunjuk ke dadanya), turun ke dalam hatinya. Soekarno bicara tentang hati,
berbicara soal hati berarti berbicara soal keimanan. Iman menyangkut hati seseorang,
menyangkut keyakinan, dengan keimanan menjadikan Tuhan sebagai satu-satunya arah dan
tujuan hidup. Dengan iman, manusia akan memiki kembali hidupnya yang autentik dan
tentunya tidak mengalami penyimpangan. Manusia harus hidup sejalan dengan bisikan suci
hati nurani, sebagai pusat dorongan jiwa manusia untuk “bertemu” dengan Tuhan.
Manusia merupakan hamba Allah, berarti manusia harus selalu menyesuaikan kepada
keinginan Tuhannya. Keyakinan akan menjadikan manusia untuk selalu berbuat baik, baik
untuk dirinya, manusia, dan kepada Tuhannya. Hal ini menunjukkan penghambaan manusia
kepada Tuhan dikarenakan manusia merupakan makhluk yang dhaif. Bagi Soekarno, tanpa
adanya keyakinan pastilah seseorang tidak akan mampu bertemu dengan Tuhannya, sekalipun
memiliki kapasitas intelektual yang luar biasa. Kemudian Soekarno juga menegaskan bahwa
manusia hanya dapat berjumpa dengan Tuhannya apabila telah mengerjakan segala yang
diperintahkan Tuhan dan meninggalkan segala larangannya. Selain itu, dapat dipahami bahwa
kalimat “berjumpa dengan Tuhan” yang dimaksud oleh Soekarno adalah mampu merasakan
bahwa Tuhan itu ada, dan yakin sekalipun manusia tidak dapat melihat Tuhan dan tentu Tuhan
melihatnya. Dengan demikian berjumpa dengan Tuhan bukanlah dalam arti yang sebenarnya,
melainkan dalam makna majazi, sebagaimana ungkapan Soekarno di atas.
Islam menghendaki agar supaya manusia sujud kepada Tuhan, mem-persatukan diri
dengan Tuhan, tetapi juga mempersatukan dengan semua manusia, dan dalam Islam bahkan
banyak hukum yang mengatur antara sesama manusia, menjadikan manusia sebagai insan
masyarakat. Manusia diberi hak oleh Tuhan untuk menjadi makhluk yang paling tinggi, bahkan
lebih tinggi dari malaikat. Islam tidak mengajarkan setiap manusia untuk mementingkan diri
sendiri, di sinilah menjadikan Islam sebagai agama kemanusiaan. Menurut Soekarno, dalam
ajaran Islam banyak sekali membahas hukum-hukum yang berkaitan dengan kemasyarakatan.
Menurut agama Islam, manusia dilatih dan dididik dalam rangka mempersiapkan manusia
untuk kemasyarakatan. Oleh karenanya, manusia ditakdirkan Tuhan sebagai makhluk yang
tinggi derajat dan martabatnya. Yang mempersatukan manusia dengan Tuhannya.
Faisal Ismail dalam Islam, Politics and Ideology in Indonesia: A Study of the Process of
Muslim Acceptance of the Pancasila (1995), sebagaimana yang dikutip oleh Syaiful Arif,
Tenaga Ahli Badan Pembinaan Ideologi Pancasila, menjelaskan, Bung Karno menempatkan
Ketuhanan Yang Maha Esa atau Ahad sebagai basis etik keempat sila di atasnya. Sebab di
dalam pemikirannya, Pancasila memiliki dimensi politik dan etis. Dimensi politik merupakan
tugas utama Negara meliputi kebangsaan, kemanusiaan, demokrasi dan kesejahteraan sosial.
Sisi dimensi etis bersifat religius karena sejak awal, bangsa Indonesia berketuhanan. Menurut
Bung Karno dan dalam Pancasila, kebangsaan ini tidak menegasikan atas Islam. Tapi, menjadi
blok historis yang memayungi semua ideologi, demi satu cita-cita: merdeka. Ini juga terkait
dengan sum-sum ide Pancasila itu sendiri yang merupakan sintesis antar-ideologi. Sintesis ini
terjadi tidak hanya demi kompromi politik antargolongan, melainkan cerminan dari cara pikir
masyarakat yang eklektik. Islam selalu memberi dan menerima dari nasionalisme dan
sebaliknya.
Menurut Syaiful Arif, konsepsi hubungan agama dan negara menurut dasar negara sangat
strategis baik bagi umat beragama maupun kalangan nasionalis. Konsepsi itu merujuk pada
hubungan toleransi kembar di mana negara dan agama saling menjaga jarak, sekaligus
mendukung di ranah masing-masing. Negara melindungi kebebasan beragama dan
memfasilitasi kehidupan sosialnya. Sementara itu, agama menguatkan negara melalui
pengembangan etika politik yang mendukung keadaban publik. Persis seperti ditegaskan Imam
al-Ghazali: Negara dan agama merupakan saudara kembar. Salah satunya tak bisa hidup, tanpa
lainnya. Agama menjadi dasar bagi masyarakat dan negara melindunginya. Keselarasan antara
konsepsi Pancasila dan Islam ini juga terdapat pada desain politik yang diawali transendensi
(ketuhanan) dan diakhiri transformasi (keadilan sosial). Inilah alasan Kuntowijoyo menyebut
demokrasi Pancasila sebagai teo-demokrasi: demokrasi berketuhanan. Di dalam desain ini,
makna politik menurut Islam dan Pancasila bertemu dalam satu kata: keadilan sosial.
Sila Ketuhanan Yang Maha Esa Pancasila sepadan dengan worldview nilai teologi Islam
berupa prinsip tauhid. Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan suatu bentuk tanda keimanan
seluruh rakyat Indonesia. Iman menyangkut hati seseorang, menyangkut keyakinan, dengan
keimanan menjadikan Tuhan sebagai satu-satunya arah dan tujuan hidup. Dengan iman,
manusia akan memiki kembali hidupnya yang autentik dan tentunya tidak mengalami
penyimpangan. Manusia harus hidup sejalan dengan bisikan suci hati nurani, sebagai pusat
dorongan jiwa manusia untuk “bertemu” dengan Tuhan.
KEGIATAN BELAJAR 2
MUKJIZAT, KAROMAH DAN SIHIR
Pokok-Pokok Materi
1. Konsepsi tentang Mukjizat.
2. konsepsi tentang Karomah.
3. konsepsi tentang Sihir.
URAIAN MATERI
A. Konsep tentang Mukjizat
Terma mukjizat berasal dari Bahasa Arab yang telah dibakukan ke dalam Bahasa
Indonesia, yaitu al-Mu’jizat ()اﻟﻤﻌﺠﺰة. Al-mu’jizat adalah bentuk kata mu’annas (female) dari
kata mudhakkar (male) al-mu’jiz. Al-mu’jiz adalah isim fā’il (nama atau sebutan untuk pelaku)
dari kata kerja (fi’l) a’jaza ()أﻋﺠﺰ. Kata ini terambil dari akar kata ‘ajaza-yu’jizu-ajzan wa
‘ajuzan wa ma’jizan wa ma’jizatan/ma’jazatan ()ﻋﺠﺰ – ﯾﻌﺠﺰ – ﻋﺠﺰا – وﻋﺠﻮزا – وﻣﻌﺠﺰا – وﻣﻌﺠﺰة,
yang secara harfiah antara lain berarti lemah, tidak mampu, tidak berdaya, tidak sanggup, tidak
dapat (tidak bias), dan tidak kuasa. Al-‘ajzu adalah lawan dari kata al-qudrah yang berarti
sanggup, mampu, atau kuasa. Jadi, al-‘ajzu berarti tidak mampu alias tidak berdaya. Dalam
pada itu, istilah mu’jiz atau mu’jizat lazim diartikan dengan al’ajib ()اﻟﻌﺠﯿﺐ, maksudnya sesuatu
yang ajaib (menakjubkan atau mengherankan) karena orang atau pihak lain tidak ada yang
sanggup menanding atau menyamai sesuatu itu. Juga sering diartikan dengan amrun khāriqun
lil-‘ādah ()أﻣﺮ ﺧﺎرق ﻟﻠﻌﺎدة, yakni sesuatu yang menyalahi tradisi.
Dalam al-Qur’an, kata a’jaza dalam berbagai bentuk (derivasinya) terulang sebanyak
26 kali dalam 21 surat dan 25 ayat. Dan kata ‘ajaza dalam al-Qur’an digunakan untuk beberapa
pengertian, di antaranya “tidak mampu” seperti terdapat dalam QS. Al-Māidah/5: 31 dan QS.
Al-Jin/72: 12:
ْﻋﺠَﺰْ تُ أ َن
َ َ ض ِﻟﯿ ُِﺮﯾَﮫُ َﻛﯿْﻒَ ﯾُﻮَ ِاري ﺳَﻮْ أَة َ أ َﺧِ ﯿ ِﮫ ﻗَﺎ َل ﯾَﺎ وَ ْﯾﻠَﺘ َﺎ أ
ِ ْﻓَﺒَﻌَﺚَ ﱠ ُ ﻏُﺮَ اﺑًﺎ ﯾَ ْﺒﺤَﺚُ ﻓِﻲ اﻷر
(٣١) َﺻﺒَ َﺢ ﻣِ ﻦَ اﻟﻨﱠﺎدِﻣِ ﯿﻦ
ْ َ ي ﺳَﻮْ أَة َ أ َﺧِ ﻲ ﻓَﺄ
َ ب ﻓَﺄ ُوَ ِار
ِ أَﻛُﻮنَ ﻣِ ﺜْ َﻞ َھﺬَا ا ْﻟﻐُﺮَ ا
“Kemudian Allah menyuruh seekor burung gagak menggali-gali di bumi untuk
memperlihatkan kepadanya (Qabil) bagaimana seharusnya menguburkan mayat saudaranya.
Berkata Qabil: "Aduhai celaka aku, mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak
ini, lalu aku dapat menguburkan mayat saudaraku ini?" Karena itu jadilah dia seorang diantara
orang-orang yang menyesal.”
Dalam kedua ayat di atas, kata ‘ajaza digunakan untuk pengertian tidak mampu atau
tidak sanggup. Dalam kamus al-mu’jam al-Wasi>t}, mukjizat dirumuskan dengan:
Adapun yang dimaksud dengan mukjizat dalam terminologi ahli-ahli ilmu Al-Qur’an,
seperti diformulasikan Manna> al-Qat}t}a>n dan lain-lain ialah:
1. Unsur utama dan pertama mukjizat ialah harus menyalahi tradisi atau adat kebiasaan
(kha>riqun lil ‘a>dah). Sesuatu (mukjizat) yang tidak menyalahi tradisi, atau kejadiannya
sesuai dengan kebiasaan yang umum atau bahkan lazim berlaku, tidak dapat dikatakan
mukjizat. Itulah sebabnya mengapa banyak hal aneh yang dikeluarkan oleh ahli-ahli sulap
bahkan ahli-ahli sihir tidak dinyatakan sebagai mukjizat (QS. Al-Nisa>/4: 171). Mengingat
pada dasarnya tidak menyalahi kebiasaan karena dia tidak sungguh-sungguh, dan banyak
orang lain yang bisa melakukan hal serupa atau bahkan lebih dari itu. Berbeda dengan
kemampuan Nabi ‘I<sa> almasi>h} menghidupan orang mati yang tidak pernah bisa
dilakukan oleh siapa pun. Demikian pula dengan kemukjizatan tongkat Nabi Mu>sa> as
yang bisa berubah menjadi ular sunggguhan (Thu’ba>nun mubi>n) (QS. Al-A’ra>f /7:107
dan QS. As-Shu>ra>/26: 32). Contoh mukjizat lain ialah kemampuan Nabi Sulaima>n as
berkomunikasi dengan semua hewan (QS. Al-Anbiya>/21: 81 dan QS. Al-Ma>idah/5:
110). Begitu pula dengan ketidakterbakaran Nabi Ibra>hi>m as saat dilemparkan ke dalam
kawah yang sedang mendidih (QS. Al-Anbiya>/21: 68-69).
Semua peristiwa yang baru disebutkan dinamakan mukjizat, karena semua peristiwa
ini memang tidak pernah mentradisi. Maksudnya, masing-masing peristiwa di atas hanya
terjadi sekali atau sesekali sepanjang zaman dan untuk orang-orang tertentu saja di tengah-
tengah sekian banyak manusia. Atas dasar ini, maka sihir, seperti disinggung di atas, tidak
dapat dikatakan sebagai mukjizat karena kejadiannya tidak sungguhan semisal lipatan
kertas atau dedaunan menjadi uang, sapu tangan menjadi burung, dan lain-lain. Demikian
pula dengan tukang sulap meskipun sering dianggap menyalahi kebiasaan. Sebab sihir,
sesuai dengan salah satu makna harfiahnya, berarti dusta alias tipu daya (tidak
sesungguhnya). Sedangkan mukjizat adalah sesuatu yang benar-benar terjadi.
2. Unsur pokok kedua dari mukjizat ialah bahwa mukjizat harus dibarengi dengan
perlawanan. Maksudnya, mukjizat harus diuji dengan melalui pertandingan atau
perlawanan sebagaimana layaknya sebuah pertandingan. Untuk membuktikan bahwa itu
mukjizat, harus ada upaya konkret lebih dulu dari pihak lain (lawan) untuk menandingi
mukjizat itu sendiri. Dan pihak yang menandingi itu harus sepadan atau sebanding dengan
yang ditandingi. Jika pihak yang menandingi atau melawan tidak sebanding kelasnya,
maka itu bukan lagi mukjizat namanya. Sebab, kekalahan yang diderita pihak lawan yang
tidak selevel misalnya, tidak menunjukkan kehebatan si pemenang, dan tidak pula berarti
mengisyaratkan ketidakmampuan pihak yang kalah (lawan).
Sebagai contoh, tongkat Nabi Mu>sa as yang dilemparkan menjadi ular sungguhan
yang dalam Al-Qur’an dibahasakan dengan thu’banun mubi>n, itu benar-benar ditandingi
oleh sa>hiri>n (Para penyihir) yang dikendalikan Fir’aun. Tapi, sihir-sihir yang
dikerahkan seluruh kaki tangan Fir’aun itu kemudian ternyata dikalahkan dan tidak pernah
mampu mengalahkan mukjizat Allah yang diberikan kepada Nabi Mu>sa> as, dalam
kaitan ini tongkat yang menjadi ular.
3. Mukjizat itu tak terkalahkan. Unsur ketiga dari suatu mukjizat adalah bahwa mukjizat itu
setelah dilakukan perlawanan terhadapnya, ternyata tidak terkalahkan untuk selama-
lamanya. Jika sesuatu/seseorang memiliki kemampuan luar biasa, tetapi hanya terjadi
seketika atau dalam waktu tertentu, maka itu tidak dikatakan mukjizat. Katakanlah
misalnya seorang petinju kelas berat sekaliber siapapun, tidak dapat dikatakan memiliki
mukjizat. Selain karena mukjizat hanya diberikan kepada nabi Allah, juga dalam
kenyataannya tidak satu pun petinju kelas berat dunia yang sakti dan abadi dalam artian
terus menerus tak terkalahkan sepanjang karirnya sebagai petinju. Demikian pula misalnya
dengan pesilat, pegulat, pebulu tangkis, dan lain sebagainya.
Mukjizat sendiri dibagi menjadi dua bagian pokok yaitu: mukjizat yang bersifat material
indriawi lagi tidak kekal, dan mukjizat material, logis, lagi dapat dibuktikan sepanjang masa.
Mukjizat nabi-nabi terdahulu kesemuanya merupakan jenis pertama. Mukjizat mereka bersifat
material dan indriawi dalam arti keluarbiasaan tersebut dapat disaksikan atau dijangkau
langsung lewat indara oleh masyarakat tempat nabi tersebut menyampaikan risalahnya.
Contohnya, perahu Nabi Nu>h} as yang dibuat atas petunjuk Allah sehingga mampu bertahan
dalam situasi ombak dan gelombang yang demikian dahsyat, tidak terbakarnya Nabi Ibra>hi>m
as dalam kobaran api yang sangat besar; tongkat Nabi Mu>sa> as yang beralih wujud menjadi
ular, penyembuhan yang dilakukan oleh Nabi ‘I<sa> almasi>h} atas izin Allah, dan lain-lain.
Kesemuanya bersifat material indiriawi, sekaligus terbatas pada lokasi tempat Nabi
tersebut berada, dan berakhir dengan wafatnya masing-masing nabi. Ini berbada dengan
mukjizat Nabi Muhammad saw. yang sifatnya bukan indirawi atau meterial, namun dapat
dipahami oleh akal. Karena sifatnya yang demikian, ia tidak dibatasi oleh suatu tempat atau
masa tertentu. Mukjizat Al-Qur’an dapat dijangkau oleh setiap orang yang mengunakan
akalnya di manapun dan kapan pun.
Perbedaan ini disebabkan oleh dua hal pokok. Pertama, para nabi sebelum Nabi
Muhammad saw, ditugaskan untuk masyarakat dan masa tertentu. Karena itu, mukjizat mereka
hanya berlaku untuk masa dan masyarakat tersebut, tidak untuk sesudah mereka. Ini berbeda
dengan Nabi Muhammad Saw. yang diutus untuk seluruh umat manusia hingga akhir zaman,
sehingga bukti kebenaran ajarannya harus selalu siap dipaparkan pada setiap orang yang ragu
di manapun dan kapanpun mereka berada. Jika demikian halnya, tentu mukjizat tersebut tidak
mungkin bersifat meterial, karena kematerialan membatasi ruang dan waktunya. Kedua,
manusia mengalami perkembangan dalam pemikirannya. Sedangkan fungsi mukjizat sendiri
adalah sebagai bukti kebenaran para nabi. Keluarbiasaan yang tampak atau terjadi melalui
mereka itu diibaratkan sebagai ucapan Tuhan: “Apa yang dinyatakan sang nabi adalah benar.
Dia adalah utusan-Ku, dan buktinya adalah Aku melakukan mukjizat itu.”
Perbedaan Penafsiran ayat-ayat mukjizat yang kontroversial di antara para Mufassir telah
menjadi kajian yang menarik. Hal ini berawal dari prinsip penafsiran kesembilan Sir Ahmad
Khan (1817-1898) terhadap Al-Qur’an. Dikatakan bahwa tidak ada sesuatupun dalam Al-
Qur’an sebagai firman Tuhan (saying of God) yang bertentangan dengan ciptaan Tuhan
(creation of God). Karena Al-Qur’an sebagai firman Tuhan tidak mungkin menyalahi hukum
alam sebagai ciptaan-Nya. Keselarasan keduanya bersifat esensial. Jika firman Tuhan
bertentangan dengan ciptaan-Nya, maka Al-Qur’an tidak layak disebut firman Tuhan yang
suci. Prinsip penafsiran Ahmad Khan ini menghantarkannya pada satu kesimpulan bahwa tidak
satupun dalam Al-Qur’an yang bertentangan dengan hukum alam dan akal. Dengan prinsip ini,
Ahmad Khan telah menolak hal-hal yang bersifat supranatural dalam Al-Qur’an seperti
penjelasan mengenai mukjizat para nabi tidak terkecuali mukjizat Nabi Muhammad saw. Pada
akhirnya, Sir Ahmad Khan mengadopsi pendapat Ibnu Rushd yang mengatakan bahwa antara
kebenaran menurut akal (al-m’aqu>l) tidak boleh bertentangan dengan kebenaran menurut
wahyu (al-manqu>l). Jika keduanya terjadi kontradiksi, maka wahyu harus dipahami secara
metaforis.
Senada dengan pemahaman Sir Ahmad Khan adalah Rashid Rid}a (1865-1935),
mengatakan bahwa Al-Qur’an tidak akan pernah bertentangan dengan akal sehingga dengan
tegas ia mengingkari semua mukjizat Nabi Muhammad saw kecuali Al-Qur’an. Ia menolak
hadis-hadis sekalipun s}ah}i>h} yang menjelaskan tentang mukjizat Nabi Muhammad saw
selain Al-Qur’an. Penolakan itu disebabkan karena mukjizat selain Al-Qur’an tidak sesuai
dengan akal dan kalaupun ia menerima hadis yang menjelaskan tentang mukjizat, maka ia akan
menafsirkan melalui takwi>l sehingga bisa selaras dengan akal.
Sebetulnya, genetik pemikiran Rashid Rid}a (1865-1935) tentang mukjizat berakar pada
pemikiran gurunya, Muhammad ‘Abduh (1849-1905), yaitu memberikan keleluasaan
menggunakan akal (al-ra’yu) dalam menafsirkan teks (al-wah}yi). Muhammad Abduh
mengemukakan bahwa dalam menyikapi ayat-ayat yang mutasha>bih, ulama tafsir terbagi
menjadi dua kelompok; pertama adalah mereka yang menafsirkannya dengan cara
menakwilkannya sehingga selaras dengan akal (al-ma’qu>l). Sementara kelompok kedua
adalah para ulama yang mendiamkannya (al-mauqu>f). Muhammad ‘Abduh, lebih cenderung
memilih pada kelompok yang pertama. Hal ini bisa dilihat dalam pendapatnya tentang
malaikat, mukjizat dan kejadiaan-kejadian luar biasa lainnya yang diceritakan dalam Al-
Qur’an.
Maulana Muhammad Ali (1876-1951), seorang tokoh dan pendiri Ahmadiyah Lahore
tidak berbeda jauh dengan pola penafsiran Ahmad Khan, Muhammad ‘Abduh dan Rashid
Rid}a, yaitu memberi ruang gerak yang dominan terhadap akal sehingga mengalahkan wahyu.
Muhammad Ali berprinsip bahwa mukjizat yang terjadi pada para nabi bukanlah sesuatu yang
luar biasa dan suprarasional akan tetapi merupakan hal yang rasional. Mukjizat dalam
pengertian sesuatu yang luar biasa adalah bertentangan dengan akal manusia sehingga mustahil
terjadi.
Prinsip ini berbeda jauh dengan pendapat M. Quraish Shihab tentang mukjizat, ia
mengatakan bahwa mukjizat sebagaimana yang didefinisikan oleh para ulama, ialah peristiwa
“luar biasa” yang terjadi dari seseorang yang mengaku Nabi sebagai bukti kenabiannya,
sebagai tantangan terhadap orang yang meragukannya, dan orang yang ditantang tidak mampu
untuk menandingi kehebatan mukjizat tersebut. Pengertian peristiwa yang luar biasa adalah
sesuatu yang berada diluar jangkauan sebab dan akibat yang lumrah terjadi atau yang umum
dalam pandangan manusia. Menurutnya, kemustahilan terbagi menjadi dua, yaitu mustahil
dalam pandangan akal dan mustahil dalam pandangan kebiasaan. Bila dikatakan bahwa 1+1=
11 atau 1 lebih banyak dari 11 maka pernyataan ini mustahil dalam pandangan akal. Namun,
bilamana dikatakan bahwa matahari terbit dari sebelah barat, maka pernyataan ini mustahil
dalam pandangan kebiasaan.
Lebih jauh M. Quraish Shihab berpendapat bahwa secara garis besar mukjizat dapat
dibagi menjadi dua bagian pokok, yaitu mukjizat yang bersifat material inderawi lagi tidak
kekal, dan mukjizat immaterial, logis lagi bisa dibuktikan sepanjang masa. Mukjizat Nabi-Nabi
terdahulu kesemuanya merupakan jenis mukjizat pertama. Mukjizat mereka bersifat material
dan inderawi dalam arti keluarbiasaan tersebut dapat disaksikan atau dijangkau langsung lewat
indera oleh masyarakat tempat Nabi tersebut menyampaikan.
Hal senada juga diungkapkan oleh Said Aqil Munawar, bahwa mukjizat terbagi dua yaitu
mukjizat hissi (material dan iderawi) dan mukjizat ma’nawi (immateral dan logis), karakteristik
mukjizat yang kedua ini bersifat immortal, sementara mukjizat yang pertama bersifat temporal.
Dan ia mengutip pendapat ulama bahwa ada lima syarat yang harus dipenuhi hal itu dikatakan
mukjizat, bila salah satu dari kelima itu tidak terpenuhi, maka itu bukanlah mukjizat; pertama
mukjizat ialah sesuatu yang tidak sanggup dilakukan oleh siapapun selain Allah, Tuhan Yang
Maha Kuasa. Kedua, Tidak sesuai dengan kebiasaan dan berlawanan dengan hukum alam.
Ketiga, Mukjizat harus menjadi saksi terhadap risa>lah ila>hiyyah yang dibawa oleh orang
yang mengaku Nabi, sebagai bukti akan kebenarannya. Keempat, Terjadi bertepatan dengan
pengakuan Nabi yang mengajak bertanding menggunakan mukjizat tersebut. Kelima, Tidak
ada seorangpun yang dapat membuktikan dan membandingkan dalam pertandingan tersebut.
Menurut Muhammad Ali, Al-Qur’an sama sekali tidak menyebutkan secara konkrit bahwa
Nabi Ibra>hi>m as dilempar dan dibakar dalam kobaran api, sehingga Allah mengintruksikan
kepada api agar tidak membakar Nabi Ibra>hi>m as dalam Al-Qur’an surah al-‘Ankabu>t: 29:
24:
َﻓَﻤَﺎ ﻛَﺎنَ ﺟَﻮَ ابَ ﻗَﻮْ ﻣِ ِﮫ إِﻻ أ َنْ ﻗَﺎﻟُﻮا ا ْﻗﺘُﻠُﻮهُ أ َوْ ﺣ ِ َّﺮﻗُﻮهُ ﻓَﺄ َ ْﻧﺠَﺎهُ ﱠ ُ ﻣِ ﻦَ اﻟﻨﱠﺎرِ إِنﱠ ﻓِﻲ ذَﻟِﻚ
(٢٤) َت ِﻟﻘَﻮْ مٍ ﯾُﺆْ ﻣِ ﻨُﻮن
ٍ ﻵﯾَﺎ
“Maka tidak ada jawaban kaumnya (Ibrahim), selain mengatakan, “Bunuhlah atau bakarlah dia”,
lalu Allah menyelamatkannya dari api. Sungguh, pada yang demikian itu pasti terdapat tanda-tanda
(kebesaran Allah) bagi orang yang beriman.”
Ayat ini menjelaskan bahwa kaum Nabi Ibra>hi>m as memvonis untuk membunuhnya
atau membakarnya, dan Allah menyelamatkan dari kobaran api itu. Akan tetapi dalam ayat
tersebut, tidak terdapat redaksi ayat yang secara konkrit menjelaskan bahwa Nabi Ibra>hi>m
as dibakar.
(٧٠) َوَ أ َرَ ادُوا ﺑِ ِﮫ َﻛ ْﯿﺪًا ﻓَ َﺠﻌَ ْﻠﻨَﺎ ُھ ُﻢ اﻷﺧْ ﺴَﺮِ ﯾﻦ
“Dan mereka hendak berbuat jahat terhadap Ibrahim, Maka Kami menjadikan mereka itu orang-
orang yang paling rugi”.
Diceritakan bahwa kaum Nabi Ibra>hi>m as hendak memperdaya Nabi Ibra>hi>m as akan
tetapi Allah menggagalkannya, dan Maulana Muhammd Ali melanjutkan pada Al-Qur’an
surah al-S{affa>t: 37: 98:
Dijelaskan bahwa Allah swt menyelamatkan Nabi Ibra>hi>m as dari makar mereka dan
merekapun mengalami kehinaan, sedangkan Nabi Ibra>hi>m as dan anak saudaranya Nabi
Lu>t} as hijrah ke negara yang aman yaitu Pelestina atau Sha>m. Empat ayat diatas merupakan
data otoritatif dan argumentatif bahwa Nabi Ibra>hi>m as tidak dibakar seperti dalam
pemahaman mayoritas penafsir dan kalangan umat Islam lainnya. Menurutnya, pengertian ayat
yang menjelaskan bahwa Allah swt menyelamatkan Nabi Ibra>hi>m as dari api adalah
menyelamatkan dari kejahatan kaumnya dengan memerintahkan hijrah ke negara lain
sebagaimana Allah menyelamatkan Nabi Muhammad saw dari kejahatan kaum musyrik
Mekkah dengan memerintahkan hijrah ke Ethiopia dan Yathrib.
Ini berbeda jauh dengan penafsiran M. Quraish Sihab yang menafsirkan ayat-ayat mukjizat
dengan jelas. Penafsiran M. Quraish Shihab terhadap ayat-ayat mukjizat berangkat dari prinsip-
prinsip penafsiran yang ia bangun, yaitu ketertundukan akal pada wahyu, menurutnya akal dan
wahyu mempunyai wilayah masing-masing. Ia meyakini bahwa peristiwa pembakaran yang
dialami oleh Nabi Ibra>hi>m as itu merupakan suatu peristiwa “keluarbiasan”, yakni diluar
hukum alam yang kita kenal yaitu yang menganut hukum kebiasaan yang sering terjadi
disekitar kita, karena itu kita tidak mengetahui hakikat daripada peristiwa itu. Objek akal adalah
sesuatu yang terjadi dan sering berulang-rulang kemudian melahirkan hukum alam atau
sunnatullah, misalnya air yang mengalir ke tempat yang rendah dan api yang mempunyai daya
bakar serta matahari terbit dari barat, semua itu telah memunculkan teori tentang hukum alam
dan sebab akibat. Hal ini tentu berseberangan dengan pemaknaan mukjizat.
Penilaian bahwa sesuatu itu mustahil karena akal terpaku pada kebiasaan atau hukum
alam yang biasa terjadi di depan mata, atau yang diketahui selama ini. Sehingga, bila ada
sesuatu yang berseberangan dengan jalan yang biasa dilihat atau biasa terjadi, boleh jadi
kemudian ditolak bahkan mustahil. Dari dulu, mustahil menurut pandangan akal seorang nenek
akan melahirkan cucunya. Akan tetapi, kemustahilan itu menjadi rapuh karena kecanggihan
tekhnologi rekayasa genetik. Ia mengutip pernyataan David Hume (1711-1776), seorang
filosof terkenal dari Inggirs menyatakan bahwa cahaya yang kita lihat ketika meletusnya
meriam bukanlah sebab meletusnya meriam. Dan mengutip pendapatnya al Ghazali (1059-
1111) yang berkata bahwa ayam yang berkokok sebelum fajar bukan menjadi sebab terbitnya
fajar. Menurut sementara pemikir lain, mungkin apa yang merupakan kebetulan hari ini, bisa
jadi merupakan proses dari kebiasaan atau hukum alam. ia juga mengutip riwayat yang
mengatakan bahwa Jibril datang ketika itu dan menawarkan pertolongan akan tetapi Nabi
Ibra>hi>m as menolaknya karena ia hanya mengharapkan pertolongan Allah swt.
Mukjizat juga mendapatkan perhatian dan kajian mendalam bagi para Saintis dan
Filosof, Salah Satunya yaitu St. Thomas Aquinas (1226-1274) yang mengatakan bahwa
Mukjizat merupakan suatu kejadian teratur yang bersifat supranatural dan disebabkan oleh
faktor-faktor ilahi. Menurut Aquinas sendiri, di alam semesta ada dua bentuk keteraturan yang
berjenjang dan bertingkat.
Pertama, keteraturan alami yang terdapat pada benda-benda dimana berasal dari
kehendak dan keinginan Tuhan dan bukan dari kemestian esensi dan alami dari benda-benda
tersebut. Namun, Tuhan juga meletakkan keteraturan yang bersifat Kausalitas pada semua
benda di alam, benda-benda tersebut tersebut berjalan di atas keteraturan esensial dan alaminya
masing-masing. Kedua, keteraturan mutlak Tuhan, dimana berasal dari ilmu dan kehendak
Tuhan. Oleh karena itu, walaupun realitas mukjizat “bertentangan” dengan keteraturan dan
tatanan alam tapi tak bertolak belakang dan bahkan sesuai dengan keteraturan mutlak dan
kehendak Tuhan.
Bagian kedua dari makalah tersebut ia berargumentasi bahwa, dengan asumsi mukjizat
dapat dibuktikan, walaupun terdapat bukti-bukti sejarah yang otentik dimana digunakan oleh
semua orang beragama untuk menyampaikan kejadian mukjizat, tetapi tak satupun yang
dapat dijadikan sandaran dan karena itulah kita tidak memiliki bukti-bukti sejarah yang otentik
dan dalil yang kuat atas kejadian mukjizat. Disini jelas bahwa David Hume menolak adanya
mukjizat, ada beberapa Argumen David Hume dalam menolak adanya kemungkinan
pembuktian mukjizat, berpijak pada dasar-dasar di bawah ini:
1. Eksperimen ilmiah merupakan satu-satunya petunjuk dan tolok ukur kita dalam
berargumen tentang masalah-masalah yang terjadi dan sebagai sumber otentik untuk
penyelesaian segala perbedaan.
2. Orang yang berakal niscaya menyesuaikan kepercayaan dan keyakinannya dengan dalil
dan argumen, oleh karena itu, semakin jauh subyek permasalahan (kejadian) dengan
realitas keseharian kita, maka untuk sampai pada keyakinan kuat atas sesuatu yang terjadi
mesti dibutuhkan dalil-dalil yang semakin kuat pula. Kebutuhan akan dalil dan bukti yang
kuat akan semakin urgen ketika diperhadapkan dengan subyek masalah yang ajaib, asing,
aneh dan bahkan bertentangan dengan hukum-hukum alam, karena dalam hal ini, kita
berhadapan dengan dua realitas yang saling bertolak belakang, maka kita terpaksa
membandingkan dua realitas tersebut dan kemudian memilih salah satu realitas tersebut
yang mengandung tingkat persentase pertentangan yang rendah.
3. Keyakinan kita kepada bukti, dalil, laporan dan berita berpijak pada pendekatan
empirisitas. Alasan kepercayaan kita kepada setiap pembawa berita dan para saksi sama
sekali tidak berangkat dari hubungan kemestian dan keniscayaan antara bukti-bukti dan
realitas peristiwa yang diketahui saling mendahului satu sama lain.
4. Pertentangan mukjizat dengan kenyataan hakiki alam dan alur panjang pengalaman
kehidupan manusia serta dalil-dalil empiris merupakan alasan yang terkuat atas kerumitan
pembuktiannya.
Berdasarkan pokok-pokok tersebut di atas, Hume berkata, “Jika ada bukti dan dalil yang
kuat atas kejadian mukjizat, maka kita bisa namakan dalil tersebut sebagai dalil versus
dalil atau bukti lawan bukti, karena dari satu sisi bukti dan dalil tersebut sebegitu kuat dan
otentik sehingga ketika obyek berita dinafikan maka dalil tersebut secara esensial merupakan
dalil yang sempurna.
Ah}mad ibn Ish}a>q al-Ruwa>ndi> (w. akhir abad III H) seorang Filsuf berkebangsaan
Yahudi mengatakan Mukjizat hanya semacam cerita khayal belaka yang hanya menyesatkan
manusia. Siapa yang dapat menerima batu dapat bertasbih dan serigala dapat berbicara. Kalau
sekiranya Allah swt membantu umat Islam dalam perang Badar mengapa dalam Perang Uhud
tidak? al-Ruwa>di> juga mengingkari mukjizat Al-Qur’an karena Al-Qur’an bukan persoalan
yang luar biasa (Kha>riq al-‘a>dah). Orang non-Arab jelas heran dengan bala>ghah Al-
Qur’an, karena mereka tidak kenal dan mengerti bahasa Arab dan Muhammad adalah orang
yang paling fasih di kalangan orang Arab. Sehingga daripada membaca kitab suci lebih berguna
membaca buku Filsafat Epicurus, Plato, Aristoteles, dan buku Astronomi, Logika, serta Obat-
obatan.
Berdasarkan paparan di atas, makna mukjizat mempunyai perbedaan antara para sainstis,
Filosofis, dan tokoh agama. Dengan makna yang berbeda-beda menimbulkan penafsiran yang
berbeda dalam Al-Qur’an. Makna mukjizat yang berbeda-beda disebabkan oleh sudut pandang
yang berbeda-beda mengenai sesuatu di luar nalar manusia biasa. Para mufassir dalam
menafsirkan ayat-ayat mukjizat dalam al-Qur’an mempunyai perbedan penafsiran. Ada
mufassir yang mencoba menafsirkan dengan makna majazi seakan-akan rasional dan masuk
akal, mufassir lain menafsirkan dengan makna hakiki dan memaknai bahwa mukjizat adalah
sesuatu yang luar biasa. Namun, ketika memaknai Al-Qur’an sebagai mukjizat Rasulallah saw
terdapat kerancuan, dikarenakan memaknai mukjizat para Nabi sebelumnya majazi sedangkan
Al-Qur’an secara hakiki. Menerima Al-Qur’an sebagai mukjizat, namun tidak menerima
perkara yang luar biasa yang dilakukan oleh para Nabi sebelumnya sebagai mukjizat.
ب أَﻧَﺎ آﺗِﯿﻚَ ﺑِ ِﮫ ﻗَ ْﺒ َﻞ أ َنْ ﯾَﺮْ ﺗَﺪﱠ إِﻟَﯿْﻚَ طَﺮْ ﻓُﻚَ ﻓَﻠَﻤﱠﺎ رَ آهُ ُﻣ ْﺴﺘَﻘِﺮ ا ِﻋ ْﻨﺪَهُ ﻗَﺎ َل
ِ ﻗَﺎ َل اﻟﱠﺬِي ِﻋ ْﻨﺪَهُ ِﻋ ْﻠ ٌﻢ ﻣِ ﻦَ ا ْﻟ ِﻜﺘ َﺎ
ﺷﻜَﺮَ ﻓَﺈِﻧﱠﻤَﺎ ﯾَ ْﺸﻜُﺮُ ِﻟﻨَ ْﻔ ِﺴ ِﮫ وَ ﻣَﻦْ َﻛﻔَﺮَ ﻓَﺈ ِنﱠ رَ ﺑِّﻲ َﻏﻨِ ﱞ
ﻲ َ ْﻀ ِﻞ رَ ﺑِّﻲ ِﻟ َﯿ ْﺒﻠُﻮَ ﻧِﻲ أَأ َ ْﺷﻜُﺮُ أ َ ْم أ َ ْﻛﻔُﺮُ وَ ﻣَﻦ
ْ ََھﺬَا ﻣِ ﻦْ ﻓ
ﻛ َِﺮﯾ ٌﻢ
“Berkatalah seorang yang mempunyai ilmu dari Al Kitab: “Aku akan membawa
singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip”. Maka tatkala Sulaiman melihat
singgasana itu terletak di hadapannya, iapun berkata: “Ini termasuk kurnia Tuhanku untuk
mencoba aku apakah aku bersyukur atau mengingkari (akan nikmat-Nya). Dan barang siapa
yang bersyukur maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan barang
siapa yang ingkar, maka sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia”.
Selain itu, kejadian yang Dialami Maryam binti Imran, Nabi Zakaria a.s. menemukan
makanan setiap hadir di mihrab Maryam binti Imran. Allah berfirman dalam Q.S. Ali Imran:
37,
“Maka Tuhannya menerimanya (sebagai nazar) dengan penerimaan yang baik, dan
mendidiknya dengan pendidikan yang baik dan Allah menjadikan Zakaria pemeliharanya.
Setiap Zakaria masuk untuk menemui Maryam di mihrab, ia dapati makanan di sisinya. Zakaria
berkata: “Hai Maryam dari mana kamu memperoleh (makanan) ini?” Maryam menjawab:
“Makanan itu dari sisi Allah”. Sesungguhnya Allah memberi rezeki kepada siapa yang
dikehendaki-Nya tanpa hisab.”
Peristiwa yang disaksikan Nabi Zakaria a.s. merupakan karamah yang dianugerahkan
Allah SWT kepada maryam binti Imran. Allah SWT mentakdirkan bahwa pengasuh Maryam
adalah pamannya sendiri, yakni Nabi Zakaria a.s. Karomah memang identik dengan hal-hal
yang tidak masuk nalar. Akan tetapi ia adalah nyata dan haqq, seperti halnya mukjizat para
nabi. Bedanya, jika mukjizat disertai dengan pengakuan kenabian (nubuwwah), pada karomah
hal itu tidak ada. Karomah ini oleh Allah diberikan kepada para wali yang benar-benar beriman
dan bertakwa hanya kepada Allah. Firma Allah mengenai sifat-sifat dari wali Allah ini yaitu
sebagai berikut:
َﻋﻠَﯾۡ ﮭِمۡ وَ َﻻ ھُمۡ ﯾ َۡﺣزَ ﻧُونَ ٱﻟﱠذِﯾنَ ءَا َﻣﻧُواْ وَ ﻛَﺎﻧُواْ ﯾَﺗﱠﻘُون
َ ٌَﻻ إِنﱠ أ َۡو ِﻟﯾَﺎ ٓ َء ٱ ﱠ ِ َﻻ ﺧ َۡوف
َٓأ
“Ketahuilah sesungguhnya wali-wali Allah itu tidak ada kekhawatiran pada mereka dan
tidak pula mereka bersedih hati, yaitu orang-orang yang beriman dan mereka senantiasa
bertaqwa”. (QS. Yunus: 62-63).
Berdasarkan ayat di atas, diketahui bahwa sifat-sifat dari wali Allah yaitu: “Orang-
orang yang beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya
dan hari akhir serta beriman dengan takdir yang baik maupun yang buruk.” Menurut Imam al-
Qusyairi dalam ar-Risalah, seorang wali tidak akan merasa nyaman dan peduli terhadap
karomah yang dianugerahkan kepadanya. Meskipun demikian, kadang-kadang dengan adanya
karomah, keyakinan mereka semakin bertambah sebab mereka meyakini bahwa semuanya itu
berasal dari Allah.
Pengertian dari karomah itu sendiri menurut Abul Qasim al-Qusyairi yaitu karomah
merupakan suatu aktivitas yang dianggap sebagai hal yang bertentangan dengan adat kebiasaan
manusia pada umumnya, yaitu dapat juga dianggap sebagai realitas sifat wali-wali Allah
tentang sebuah makna kebenaran dalam situasi yang dianggap kurang baik. Karomah ini juga
dapat dianggap sebagai hal yang sangat luar biasa yang diberikan oleh Allah kepada kekasih-
kekasih pilihanNya. Sedangkan menurut Syeck Ibrahim Al Bajuri dalam kitabnya dijelaskan
bahwa karomah adalah sesuatu luar biasa yang tampak dari kekuasaan seorang hamba yang
telah jelas kebaikannya yang diteyapkan karena adanya ketekunan didalam mengikuti syariat
nabi.
Selanjutnya Said Hawwa juga menjelaskan bahwa karomah memang benar-benar telah
terjadi dan akan tetap terjadi pada wilayah tasawuf. Karomah juga bisa terjadi pada orang yang
belum sempurna istiqamahnya. Tapi bagi orang-orang yang benar-benar lurus, istiqamah, dan
tampak karomahnya, barangkali karomahnya tersebut identik dengan tanda kewalian. Karomah
dapat berarti juga peristiwa yang luar biasa, yang keluar dari hukum alam. Namun karomah
tersebut dapat pula berarti merupakan akibat dari suatu sebab tapi masih dalam lingkup
manifestasi taufik Allah.
Adapun dalam kitab Jauharut Tauhid karya Syaik Ibrahim al-Laqqani ini sendiri
tertulis atau tergambar berbagai macam tokoh atas bermacam-macam karomah, yaitu dimana
salah satunya ialah kisah dari pada Ashabul Kahfi yakni ketujuh orang pemuda keturunan
bangsawan dari Rum yang sangat mengkhawatirkan keimanan mereka. Peristiwa ini terjadi
sesudah zaman Nabi Isa A.S. Raja mereka tidak sepaham bahkan sangat benci sekali dengan
apa yang mereka yakini. Mereka pun keluar menjauhi kerajaan dan masuk kedalam gua lalu
tertidur didalamnya selama 309 tahun. Dan itulah salah satu dari pada bentuk karomah yang
ada dalam islam versi kitab Jauharut Tauhid karangan Syaikh Ibrahim Al-Laqqani. Adapun
jika kita mengambil contoh lain ialah kejadian yang dialami oleh Maryam Binti Imran R.A.
yang selalu mendapatkan makanan di Mihrab, sedangkan Maryam sendiri tidak pernah keluar
dari Mihrab. Hal ini diabadikan dalam Q.S. Al-Imran ayat 37. Selain itu, kejadian pada Amir
Bin Fuhairah ketika wafat, jasadnya diangkat oleh para malaikat dan disaksikan oleh para
sahabatnya Amir bin Thufail.
Kemudian pada buku Meluruskan Pemahaman Tentang Wali karya Abu Fajar
Alqalami, dijelaskan bahwa karomah atau kekeramatan disebut juga khariqul ’adah, yaitu suatu
kejadian yang dianggap luar biasa. Karomah ini diberikan oleh Allah kepada kekasih-kekasih
pilihanNya yang bertakwa, shalih sebagai hujjah agamaNya dan untuk menolong mereka dari
usuh-musuh Allah, sebagaimana mukjizat para nabi sebagai hujjah orang-orang yang ingkar
kepada Allah. Lebih lanjut lagi, dijelaskan bahwa menurut arti asalnya karomah ialah
kemuliaan atau kemurahan hati. Sedangkan menurut istilah perwalian, karomah mempunyai
makna kejadian luar biasa (khairqul’adah) yang terjadi pada wali (kekasih-kekasih Allah).
Karomah pemberian Allah itu pada dasarnya adalah sebagian dari mukjizat-mikjizat para
nabiNya. Sebagian mukjizat Nabi Muhammad SAW diantaranya yaitu Nabi Muhammad SAW
dapat membelah bulan dengan ijin Allah (HR. Bukhari dan Muslim), dan batu-batu kerikil tiba-
tiba mengucapkan tasbih ketika dipegang dan diletakkan ditelapak tangan Nabi SAW (HR.
Bazzar dari Abu Dzar). Di samping itu, ada juga sahabat-sahabat Nabi yang termasuk dalam
kategori wali Allah dan mempunyai karomah dalam dirinya. Wali Allah sama sekali tidak
pernah dengan sengaja menampakkan kekeramatannya di depan orang banyak sekedar agar
mendapat pujian. Namun kekeramatannya itu muncul karena hujjah atau dalam keadaan
terpaksa.
Adapun bilamana ada seorang wali Allah yang dimana dirinya hanya mengharapkan
untuk mendapatkan karomah, maka wali tersebut tidak termasuk dalam golongan wali yang
tinggi derajatnya. Ibnu Athaillah pernah mengatakan bahwa: “Kemahuan yang tinggi tidak
sampai menembusi tembok-tembok takdir.” Maksud dari perkataan Ibnu Athaillah ini adalah
karomah tidak akan bertentangan dengan takdir yang telah ditetapkan, karena semua yang
terjadi di alam raya ini baik hal biasa maupun hal yang luar biasa sumber utamanya adalah
takdir yang telah ditetapkan oleh Allah. Oleh karena hal tersebut, maka pada umumnya apa-
apa kemauan dari wali tidaklah pernah bertentangan dengan takdir yang telah ditetapkan
tersebut.
Selanjutnya, sebagian ciri-ciri seorang hamba yang memiliki karomah diantaranya
yaitu: (1) tidak memiliki doa-doa khusus sebagai suatu bacaan; (2) karomah hanya terjadi pada
seorang yang sholeh; (3) seseorang yang memiliki karomah tidak pernah secara sengaja
mengaku-ngaku bahwa dirinya memiliki karomah. Maksud atau tujuan dari pemberian
karomah tersebut kepada para wali ialah: (1) dapat lebih meningkatkan keimanan kepada
Allah; (2) masyarakat menjadi lebih percaya kepada seorang wali Allah, yang senantiasa
meneruskan perjuangan nabi Muhammad SAW; dan (3) karomah merupakan bukti nyata
meninggikan derajat seorang wali agar dirinya selalu tetap istiqomah di jalan Allah.
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas, pada penelitian ini peneliti hendak
mengkaji lebih jauh mengenai konsep karomah berdasarkan kitab Jauharut Tauhid karya Syaik
Ibrahim al-Laqqani dan buku Meluruskan Pemahaman Tentang Wali Karya Abu Fajar
Alqalami. Hal ini bertujuan untuk membandingkan bagaimanakah konsep karomah antara
keduanya dengan dihubungkan pada kehidupan nyata sekarang ini. Dengan mengetahui konsep
karomah tersebut, diharapkan hal ini akan dapat meningkatkan keimanan serta ketaqwaan
kepada Allah SWT, serta tidak akan salah mengenai konsep karomah sesungguhnya,
mengingat di era modern ini ditemukan banyak orang-orang yang mengaku-ngaku dirinya
memiliki karomah.
Banyak diskusi tentang perwalian menjadi berhenti karena takut salah membahas. Atau
diskusi perwalian menjadi dangkal karena bahan materi yang tersedia tidak terlalu banyak.
Termasuk diskusi perwalian menjadi terhambat karena yang mengajak diskusi bukan wali dan
dihentikan dengan kalimat “la ya’rifu al-wali illa al-wali”, tidak mengetahui kewalian
seseorang kecuali seseorang wali”. Nampaknya memang suasana yang demikian butuh
pencerahan. Satu sisi memang positif bahwa membincang soal wali bukan hanya sekedar bicara
individu manusia saja. Akan tetapi lebih luas karena wali merupakan orang pilihan dan harus
dihormati. Namun jika diskusi membahas wali itu berhenti, maka generasi yang akan datang
tidak akan mendapat kisah tentang wali-wali dan bakal tersimpan rapat oleh generasi
tua. Bagaimana Syekh Muhammad Sholeh bin Umar Assamarani (Mbah Sholeh Darat)
memberi dasar tentang pemahaman wali dan karomahnya? Diantara penjelasan Mbah Sholeh
Darat tentang wali dan karamah adalah dalam syarh nadzam Jauhar al-Tauhid Syekh Ibrahim
Allaqani:
Macam-Macam Karomah
Macam-macam Karomah itu banyak, tetapi karomah yang paling besar yang dimiliki
seorang wali adalah mendapat pertolongan untuk taat dan terjaga dari kemaksiatan dan
pertentangan. Diriwayatkan dari Sahal bin Abdullah bahwa dia berkata: “Barang siapa zuhud
di dunia ini selama empat puluh lima hari dengan betul-betul tulus keluar dari hatinya dan
ikhlas. Maka ia akan mempeoleh karomah. Barang siapa yang tidak memperoleh, maka
zuhudnya tidak benar”. Sahal pernah ditanya “Bagaimana karomah itu diperoleh” Dia
menjawab “Dia harus mengambil apa yang dia kehendaki seperti dia kehendaki dan dari tempat
yang di kehendaki.
Dalam Iqādhul Himami sarah dari al-Hikam disebutkan karomah itu ada dua macam,
karomah hissyah seperti terbang di udara, berjalan di atas air, dan karomah ma’nawiyah seperti
terbukanya hijab kelalaian, sucinya hati/kasyaf, nyatanya ‘irfan dan naik pada maqam ihsan.
Seseorang mendapatkan karomah hissiyah karena dirinya telah keluar dari kebiasaan-
kebiasaan yang dilakukan oleh manusia, banyak makan, minum, tidur, berpakain indah,
campur dengan manusia, banyak bicara, permusuhan dan tengelam dalam ibadah dhahir dan
ilmu-ilmu dhahir. Sedangkan karomah ma’nawiyah diperoleh karena dia telah meninggalkan
kebiasaan ma’nawiyah seperti cinta pada kedudukan dan kemulyaan, mencari keistimewaan,
cinta dunia dan pujian, dengki, ujub, sombong, riya’, tama’ takut miskin dan lain-laim. Jadi
barang siapa yang meninggalkan kebiasaan-kebiasaan hissiyah (jasad) dengan riadhah maka
dirinya akan mendapatkan karomah hissiyah seperti terbang di udara, berjalan di atas air dan
lain sebagainya. Dan barang siapa yang meninggalkan kebiasaan-kebiasaan ma’nawi maka
akan mendapat karomah ma’nawiyah, seperti kasyaf. Imam Tajus Subhi menyebutkan dalam
Tabaqaatul Qubra Karomah itu bermacam-macam.
Imam Taajus Subhi mengatakan “Dugaan saya mengatakan bahwa karomahnya para
wali itu lebih dari seratus, saya telah meninggalkan dan mendatangkan sesuatu yang cukup dan
sampai bagi orang-orang yang hilang sifat kelalaianya. Macam-macam karomah dari setiap
macam karomah sangat banyak dijumpai dalam kisah-kisah yang sangat masyhur dan juga
dalam hadits, maka di kemudian hari tidaklah kebenaran tetapi kesesatan setelah datangnya
kebenaran dan tidak ada sesuatu setelah penjelasan petunjuk kecuali kemustahilan dan bagi
orang-orang yang mendapat pertolongan menerimanya, semoga Allah SWT menjumpakan
orang-orang shaleh seperti itu, karena mereka dijalan yang lurus. Seandainya saya menukil
tentang perkara yang ada pada orang shaleh maka akan menyesakkan nafas dan kertas.
Dalam Muqaddimah Thabaqotus Shughra Imam Abdur Ra’uf menjelaskan tentang
model-model karomah dalam bentuk lain. Beliau tidak menisbatkan Thabaqatnya dari Sayyid
Muhyiddin bin Al-Arabi dalam kitabnya Mawaqiun Nujum tetapi Abdur Ra’uf Munadi
meringkas, memilih dan menyuguhkan sekira kitab itu jelas baginya. Imam Abdur Ra’uf Al-
munadi mengatakan: “Ketahuilah sesungguhnya yang dimaksud dengan kejadian karomah
adalah: Bahwa Allah menampakkan keajaibannya kepada kekasihnya (wali).
Adapun Alam ruhani thīn (tanah) yaitu setiap hamba yang memiliki sifat-sifat malaikat
yang selalu menghadap Allah dalam kesungguhan perjuangan dan memiliki sifat-sifat yang
sempurna seperti Nabi Khidhir, dan hamba sepertinya. Tidakkah kamu melihat Ibrahim Al-
Khawas ketika berkumpul dengan Nabi Khidhir, bagaimana berkumpulnya Ibrahim dengannya
dijadikan karomah. Maka Ibrahim berkata kepada Nabi Khidhir “Dengan apa aku dapat
melihatmu?” Nabi Khidhir menjawab “Dengan kebaikanmu terhadap ibumu”. Maka
berkumpul dengan para sayyid menjadikan wali berbahagia, dan nyatalah bahwa Allah SWT
menemani para wali, yaitu Allah mengumpulkan para wali dengan hamba yang ta’at dan hamba
yang istimewa dan Allah melimpahkan rasa cinta di antara mereka.
Menurut buku yang di kutip dari Ensiklopedi Tasawuf karya Azyumardi Azra. Dalam
kosakata Bahasa Indonesia, karamah dikenal dengan istilah keramat. Maka karamah al-
Awaliyya berarti keramat para wali. Perkataan karamah adalah kosa kata Bahasa arab yang
secara Bahasa mengandung tiga pengertian yakni, al-ikrām, kemuliaan atau kehormatan; al-
Taqdir, penghargaan; dan al-Wala, persahabatan atau pertolongan. Jadi karamah berdasarkan
pengertian kebahasaan tersebut adalah kemuliaan, kehormatan dan penghargaan yang dimiliki
para wali berkat persahabatan mereka dengan Allah dan pertolongan Allah kepada mereka.
Dalam hal ini, karamah termasuk salah satu perlakuan khusus yang diberikan Allah kepada
para wali atau hamba-hamba pilihan-Nya.
Para ulama sepakat bahwa karamah terjadi pada diri para wali. Menurut al-Hujwiri (w.
465 H/ 1072 M) seorang penulis tasawuf, karamah bisa diberikan kepada seorang wali selama
ia tidak melanggar ketentuan-ketentuan agama. Sebab karamah itu merupakan tanda kelurusan
seorang wali. Allah tidak akan pernah memberikan karamah kepada orang yang tidak
berpegang teguh kepada syari‟at, meskipun ia mengaku dirinya wali. Pengakuan orang menjadi
wali dan mendapatkan karamah, padahal ia tidak berpegang teguh kepada syari‟at menunjukan
bahwa pengakuannya sebagai wali itu palsu. Sejalan dengan pendapat al-Hujwiri, Syaikh
Yusuf Taj al-Khalwat (1699 M) menyatakan, “Kaum arīfun bi Allah (para sufi yang telah
ma‟rifat kepada Allah) bersepakat bahwa berpegang kepada syari‟at merupakan syarat
memperoleh ke alian. Tanpa berpegang dan mengamalkan syari‟at, seseorang selamanya tidak
akan pernah menjadi wali meskipun dapat menunjukan sesuatu yang bertentangan dengan
hukum alam. Sebab, sesuatu yang bertentangan dengan hukum alam bisa terjadi pada seseorang
yang bukan wali yang dinamakan istidraj.
Karamah muncul dari seorang yang shaleh yang berpegang kepada syariat.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah, yaitu: “Wali Allah adalah
orang-orang mukmin yang bertaqwa kepada Allah. Ingatlah sesungguhnya wali-wali Allah itu
tidak ada ketakutan pada diri mereka dan mereka tidak merasa hawatir. Mereka beriman dan
bertaqwa kepada Allah, bertaqwa dalam pengertian mentaati firman-firman-Nya, penciptaan-
Nya, izin-Nya, dan kehendak-Nya yang termasuk dalam ruang lingkungan agama. Semua itu
kadang-kadang menghasilkan berbagai karamah pada diri mereka sebagai hujjah dalam agama
dan bagi kaum muslimin, tetapi karamah tersebut tidak akan pernah ada kecuali dengan
menjalankan syari’at yang dibawa Rasulullah saw.
Al-Husayni, penulis kitab Jamharat al-Awliya wa A’lam Ahl al-Tasawwuf, membagi
Karamah kedalam dua jenis. Pertama, Karamah al-Hisiyyah atau karamah yang bersifat fisik-
indrawi. Kedua, Karamah al-Ma’nawiyyah atau karamah yang bersifat maknawi. Karamah
yang pertama merupakan sesuatu yang bertentangan dengan kebiasaan atau hukum alam secara
fisik-indrawi seperti kemampuan seseorang berjalan diatas air atau berjalan di udara. Karamah
yang kedua merupakan sikap istiqamah seorang hamba di dalam menjalin hubungan dengan
Allah secara lahiriah maupun secara batiniah yang menyebabkan hijab (tabir) tersingkap dari
kalbunya hingga ia mengenal kekasihnya dan merasa ketentraman dengan Allah. 4 Allah
memberikan Karamah kepada Maryam, seperti tergambar pada ayat Allah dalam al-Qur‟an
surat Ali Imran ayat 37:
ﻋﻠَﯾۡ ﮭَﺎ زَ ﻛَرِ ﯾﱠﺎ ٱﻟۡ ﻣِ ۡﺣرَ ابَ وَ َﺟ َد ِﻋﻧ َدھَﺎ ِر ۡزﻗٗ ۖﺎ
َ ﻓَﺗَﻘَﺑﱠﻠَﮭَﺎ رَ ﺑﱡﮭَﺎ ﺑِﻘَﺑُو ٍل َﺣﺳ َٖن وَ أ َﻧۢ ﺑَﺗَﮭَﺎ ﻧَﺑَﺎﺗ ًﺎ َﺣﺳَﻧٗ ﺎ وَ َﻛﻔﱠﻠَﮭَﺎ زَ ﻛ َِرﯾﱠ ۖﺎ ُﻛﻠﱠﻣَﺎ َد َﺧ َل
ب
ٍ ﺷﺎ ٓ ُء ﺑِﻐَﯾۡ رِ ﺣِ ﺳَﺎ
َ َﻗَﺎ َل َٰﯾﻣ َۡرﯾَ ُم أَﻧ ٰﱠﻰ ﻟَكِ َٰھ َذ ۖا ﻗَﺎﻟ َۡت ھُوَ ﻣِ ۡن ﻋِﻧ ِد ٱ ﱠ ۖ ِ إِنﱠ ٱ ﱠ َ ﯾ َۡرزُ قُ ﻣَن ﯾ
Maka Tuhannya menerimanya (sebagai nazar) dengan penerimaan yang baik, dan
mendidiknya dengan pendidikan yang baik dan Allah menjadikan Zakariya pemeliharanya.
Setiap Zakariya masuk untuk menemui Maryam di mihrab, ia dapati makanan di sisinya.
Zakariya berkata: "Hai Maryam dari mana kamu memperoleh (makanan) ini?" Maryam
menjawab: "Makanan itu dari sisi Allah". Sesungguhnya Allah memberi rezeki kepada siapa
yang dikehendaki-Nya tanpa hisab. (QS. Ali Imran ayat 37).
Sebagai bentuk ketaatan, Allah memerintahkan Maryam agar selalu menyembah-Nya,
selalu bersujud dan ruku kepada-Nya bersama dengan orang-orang yang menyembah Allah.
Sampai suatu hari Allah memberikan suatu keajaiban yang tidak disangka-sangka bagi
Maryam. Allah memberikan sebuah kemuliyaan terhadapnya sebagaimana yang digambarkan
Allah dalam firmannya diatas, bahwasanya Maryam memperoleh makanan yang dikirimkan
kepadanya sebagai tanda bahwa Allah telah memberikan kelebihan kepadanya. Sebagian ahli
tafs r mengatakan makanan yang diperoleh oleh Maryam adalah buah-buahan musim panas
diperolehnya ketika musim dingin, buah-buahan di musim dingin diperolehnya ketika musim
panas, ini adalah bukti kekuasaan Allah yang telah Allah anugerahkan kepada hamba pilihan.
Ibnu Katsir menjelaskan bahwa:
Al-Hafiz Abu Ya'la mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sahi ibnu Zanjilah, telah
menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Saleh, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu
Luhai'ah, dari Muhammad ibnu Munkadir, dari Jabir, bahwa Rasulullah saw. Pernah tinggal selama
beberapa hari tanpa makan sesuap makananpun hingga kelihatan beliau sangat berat. Lalu beliau
berkeliling kerumah istri-istrinya, tetapi tidak menemukan sesuap makananpun pada seseorang diantara
mereka. Maka beliau saw. Datang kerumah Fatimah (putrinya), lalu bersabda, "Hai anakku, apakah
engkau mempunyai sesuatu makanan yang dapat ku makan? Karena sesungguhnya aku sedang lapar."
Fatimah menjawab, "Tidak, demi Allah." Ketika Nabi saw. Pergi dari rumahnya, tiba-tiba Siti Fatimah
mendapat kiriman dua buah roti dan sepotong daging dari tetangga wanitanya, lalu Fatimah mengambil
sebagian darinya dan diletakan didalam sebuah panci miliknya, dan ia berkata kepada dirinya sendiri,
"Demi Allah, aku benar-benar akan mendahulukan Rasulullah saw. Dengan makanan ini dari pada diriku
sendiri dan orang-orang yang ada didalam rumahku," padahal mereka semua memerlukan makanan yang
cukup. Kemudian Fatimah menyuruh Hasan atau Husain untuk mengundang Rasulullah saw. Ketika
Rasulullah saw datang kepadanya, maka ia berkata, "Demi Allah, sesungguhnya Allah telah memberikan
suatu makanan, lalua kusembunyikan buatmu." Nabi saw. bersabda, "Cepat berikanlah kepadaku, hai
anakku." Aisyah melanjutkan kisahnya, bahwa lalu ia menyuguhkan panci tersebut dan membukanya.
Tiba-tiba panci itu telah penuh berisikan roti dan daging. Ketika Fatimah melihat kearah panci itu, maka
ia merasa kaget dan sadar bahwa hal itu adalah berkah dari Allah swt. Karena itu, ia memuji kepada
Allah dan mengucapkan salawat buat Nabi-Nya. Lalu Fatimah menyuguhkan makanan tersebut kepada
Rasulullah saw. Ketika beliau saw. melihatnya, maka beliau memuji kepada Allah dan bertanya, "Dari
manakah makanan ini, hai anakku?" Fatimah menjawab bahwa makanan tersebut dari sisi Allah.
Di antara Karomah para wali yang disebutkan dalam Al Qur’an adalah apa yang terjadi
pada Dzul Qornain yaitu seorang raja yang shalih yang Allah nyatakan: “Sesungguhnya kami
telah memberi kekuasaan kepadanya di muka bumi dan kami telah memberikan kepadanya
jalan untuk mencapai segala sesuatu”. (Al Kahfi :84) Dan juga dialah yang telah membuat
pembatas yang membatasi antara manusia dengan Ya’juj dan Ma’juj hingga hari akhir, kisah
ini terdapat dalam surat Al Kahfi:83-98.
Di antara Karomah para wali juga apa yang terjadi pada kedua orang tua seorang anak
yang dibunuh oleh nabi Khidhir yang ketika itu nabi Musa mengatakan: “Mengapa engkau
bunuh jiwa yang bersih padahal dia tidak membunuh orang lain,” yang kemudian Khidhir
menjawabnya: “Dan adapun anak itu maka kedua orang tuanya adalah orang yang mukmin dan
kami khawatir bahwa dia akan menariknya kepada kesesatan dan kekafiran.” (Al Kahfi:74)
Apa yang disebutkan di dalam kisah tiga orang yang berlindung kedalam gua namun
tiba-tiba jatuhlah batu besar sehingga menutupi pintu gua dan akhirnya mereka tekurung di
dalamnya, kemudian mereka bertawassul dengan amalan-amalan shalih masing-masing. Salah
seorang diantara mereka ada yang bertawassul dengan amalan shalihnya yaitu berbakti kepada
kedua orang tuanya, yang kemudian ia berdoa: “Ya Allah jika perbuatan ini semata-mata
karena mengharap ridho-Mu maka geserlah batu ini.” Kemudian batu itu bergeser sedikit.
Orang kedua pun bertawassul dengan amalan shalihnya yaitu dengan dia bisa menjaga dirinya
dari terjatuh ke dalam perbuatan zina dengan saudara sepupunya, padahal ia mampu untuk
melakukan perbuatan itu. Kemudian batu itu bergeser sedikit namun mereka belum bisa keluar.
Kemudian orang yang ketiga bertawassul dengan amalan kebaikannya, yang ketika dulu ia
pernah berbuat baik kepada karyawannya yang pergi meninggalkannya tanpa mengambil
gajinya terlebih dahulu, kemudian gajinya itu dia kembangkan dengan penuh amanah sampai
harta tersebut menjadi banyak, selang beberapa tahun karyawan itu datang kembali untuk
mengambil gajinya yang dulu belum ia ambil, kemudian orang itu memberikan semua gajinya
yang telah berkembang menjadi harta yang banyak, maka batu pun bergeser sehingga mereka
dapat keluar dari gua tersebut, Allah selamatkan mereka dengan sebab tawassul mereka itu.
Kisah tersebut terdapat dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim dari sahabat
Abdullah bin Umar radliyallahu ‘anhuma. Para ulama menyebutkan bahwa kisah di atas
termasuk Karomah para wali.
Apa yang terjadi pada Ummul mukminin Khodijah bahwasanya Jibril datang pada
Rasulullah dengan menyampaikan salam Allah untuk Khodijah serta menyampaikan berita
gembira baginya bahwa ia akan mendapatkan rumah yang terbuat dari permata berlian yang
indah di jannah. (HR. Bukhori dari sahabat ‘Aisyah). Dan ini merupakan dalil bahwa Karomah
pun terjadi pada seorang perempuan. 7. Apa yang telah mutawatir tentang berita salafus shalih
akan perkara Karomah yang terjadi pada diri mereka, dan generasi setelah mereka.
Mu’jizat terjadinya dengan unsur kesengajaan dan ada kaitannya dengan kenabian,
adapun Karomah terjadinya tidak demikian. Karomah terjadinya pada seseorang baik laki-laki
maupun perempuan merdeka maupun budak, selama ia seorang yang shalih. Sedang mu’jizat
tidaklah terjadi kecuali pada seorang Nabi atau Rasul yang tentunya seorang Nabi atau Rasul
adalah seorang laki-laki dan bukan seorang budak. Ada sesuatu yang bukan mu’jizat dan juga
bukan Karomah, dia adalah “al-Ahwal al-Syaithoniyyah” (perbuatan syaithon). Inilah yang
banyak menipu kaum muslimin, dengan anggapan bahwa ia Karomah, padahal justru tidak ada
kaitannya dengan Karomah, karena karomah datangnya dari Allah sedangkan ia jelas
datangnya dari syaithon. Sebagaimana yang terjadi pada Musailamah al-Kadzdzab dan al-
Aswad al-Ansyi (dua orang pendusta di zaman Rasulullah yang mengaku menjadi nabi) dan
menyampaikan perkara-perkara yang ghoib, ini jelas merupakan perbuatan syaithon. Demikian
pula Karomah para wali disebabkan karena kuatnya keimanan dan ketaatan mereka kepada
Allah.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan: “Barang siapa yang bertaqwa kepada Allah
maka ia pun menjadi wali Allah”. Sedangkan perbuatan syaithon ini dikarenakan kufurnya
mereka kepada Allah dengan melakukan kesyirikan-kesyirikan serta kemaksiatan kepada
Allah, dan syarat-syarat tertentu yang harus ia lakukan. Karomah merupakan suatu pemberian
dari Allah kepada hamba-Nya yang shalih dengan tanpa susah payah darinya, berbeda dengan
perbuatan syaithon, maka ini terjadi dengan susah payah setelah sebelumnya ia berbuat syirik
kepada Allah. Karomah para wali tidak bisa disanggah atau dibatalkan dengan sesuatupun.
Berbeda dengan perbuatan syaithon yang dapat dibatalkan dengan menyebut nama-nama Allah
atau dibacakan ayat kursi atau yang semisalnya dari ayat-ayat Al Qur’an.
Bahkan, Syaikhul Islam menyebutkan bahwa ada seseorang yang terbang di atas udara
kemudian datang seseorang dari Salafushshalih lalu dibacakan ayat kursi kepadanya maka
seketika itu dia jatuh dan mati. Karomah itu tidaklah menjadikan seseorang sombong dan
merasa bangga diri, justru dengan adanya Karomah ini menjadikannya semakin bertaqwa
kepada Allah dan semakin mensyukuri nikmat Allah. Adapun perbuatan syaithon bisa
menjadikan seseorang bangga diri atau sombong dengan kemampuan yang dia miliki serta
angkuh terhadap Allah, sehingga jelaslah bagi kita akan hakekat Karomah dan perbuatan
syaithon.
Ada beberapa kelompok yang mengingkari adanya Karomah, yaitu: Jahmiyah,
Mu’tazilah’ dan Wahabiyah. Mereka berdalil dengan syubhat-syubhat yang dilandasi dengan
akal mereka yang rendah. Mereka mengatakan: “Bahwa terjadinya Karomah itu hanya
merupakan perkara yang akan menjadikan kesamaran antara nabi dengan para wali dan antara
wali dengan Dajjal.” Bantahan syubhat ini (secara ringkas) adalah: Pertama: kita yakin dengan
keyakinan yang penuh bahwa Karomah itu benar-benar ada berdasarkan dalil baik dari al-
Qur’an maupun Sunnah Nabi dan kenyataan yang ada. Kedua: ucapan mereka bahwa Karomah
dapat menjadikan kesamaran antara wali dengan seorang Nabi, justru tidaklah demikian karena
wali sama sekali tidak berkaitan dengan kenabian, dan apa yang terjadi dari Karomah itu
dikarenakan kuatnya keimanan dan ketakwaan dia kepada Allah dan disebabkan waro’nya.
Sedangkan kesamaan antara wali dengan Dajjal, maka sungguh dapat dilihat dari kehidupan
seseorang yang terjadi padanya keluarbiasaan itu. Kemudian dilihat dari keadaan orang ini
apakah dia seorang yang shalih atau seorang yang fasiq. Demikianlah timbangan yang benar
di dalam menghukumi seseorang yang terjadi padanya perkara-perkara yang diluar kebiasaan
manusia.
Karomah sebagaimana mukjizat adalah sesuatu yang luar biasa yang dianugrahkan
kepada para kekasih Allah, namun tidak disertai dnegan pengakuan kenabian dari mereka. Lain
halnya dengan mukjizat, ketampakannya itu disertai dnegan pengakuan kenabian dari seorang
nabi yang membawa risalah kenabiannya. Seorang wali itu ia orang yang mengerti dan paham
tentang ketuhanan melalui sifat-sifat kesempurnaan-Nya, ia juga orang yang taat menjalankan
segala perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, serta menghindari hal-hal yang
menghantarkannya pada kenikmatan duniawi dan sahwat. Tampaknya suatu karomah atau
kekeramatan dari seorang wali adalah sebagai penghormatan baginya dari Tuhannya dan
isyarat atas diterimanya segala perbuatan yang telah dilakukannya sebagai persembahan dan
ibadah kepada Tuhannya (Allah Swt).
Satu hal lagi, bahwa seorang wali itu adalah umat dari seorang nabi, maka seseorang
itu tidak akan menjadi wali tanpa mengakui risalah kenabian dari nabinya tersebut. Dan
mengikutinya dengan sungguh-sungguh dalam menjalankan segala ajaran yang dibawa oleh
Nabinya. Maka apabila ada seseorang yang dengan sendirinya tanpa mengikuti risalah
kenabian dari nabinya, maka dapat dipastikan ia tidak akan dianugrahi karomah, dan tidak akan
menjadi seorang wali (kekasih) bagi Tuhan yang Maha Pengasih. Melainkan ia menjadi
kekasih dan pemuja para syaithan, sebagaimana telah diisyaratkan oleh Allah Swt dengan
melalui wahyu-Nya kepada Nabi Muhammad Saw, untuk sampaikan kepada orang-orang yang
menyangka dirinya menyintai Allah Swt.
ﺿ ْﻨﻜًﺎ
َ ً ﺸﺔ
َ ض ﻋَﻦْ ِذﻛ ِْﺮي ﻓَﺈ ِنﱠ ﻟَﮫُ َﻣﻌِﯿ
َ َوَ ﻣَﻦْ أَﻋْﺮ
Dunia sihir dan perdukunan telah tersebar di tengah-tengah masyarakat, mulai dari
masyarakat desa hingga menjamah ke daerah kota. Mulai dari sihir pelet, santet, dan “aji-
aji” lainnya. Berbagai komentar dan cara pandang pun mulai bermunculan terkait masalah
tukang sihir dan ‘antek-antek’-nya. Sebagai seorang muslim, tidaklah kita memandang
sesuatu melainkan dengan kaca mata syariat, terlebih dalam perkara-perkara ghaib, seperti
sihir dan yang semisalnya. Marilah kita melihat bagaimanakah syariat Islam yang mulia ini
memandang dunia sihir dan ‘antek-antek’-nya.
Sebenarnya Adakah Sihir Itu?
Sebagaimana yang disinggung di depan, bahwa terdapat persilangan pendapat tentang
kebenaran hakikat sihir. ‘Apakah sihir hakiki?’, ‘Apakah orang yang terkena sihir, benar-benar
merasakan pengaruhnya?’, ‘Atau kah sihir hanya sebatas tipuan mata dan tipu muslihat
semata?’ Abu Abdillah Ar Rozi rahimahullah dalam tafsirnya menjelaskan “Kelompok
Mu’tazilah mengingkari adanya sihir dalam aqidah mereka. Bahkan mereka tidak segan-segan
mengkafirkan orang yang meyakini kebenaran sihir. Adapun ahli sunnah wal jama’ah,
meyakini bahwa mungkin saja ada orang yang bisa terbang di angkasa, bisa merubah manusia
menjadi keledai, atau sebaliknya. Akan tetapi meskipun demikian ahli sunnah meyakini bahwa
segala kejadian tersebut atas izin dan taqdir dari Allah ta’ala”. Allah ta’ala berfirman (yang
artinya), “Dan mereka itu (para tukang sihir) tidak akan memberikan bahaya kepada seorang
pun melainkan dengan izin dari Allah” (QS. Al-Baqarah: 102). Al Qurthubi rahimahullahu
mengatakan, “Menurut ahli sunnah wal jama’ah, sihir itu memang ada dan memiliki hakikat,
dan Allah Maha Menciptakan segala sesuatu sesuai kehendak-Nya, keyakinan yang demikian
ini berbeda dengan keyakinan kelompok Mu’tazilah.”
Inilah keyakinan yang benar, insya Allah. Banyak sekali kejadian, baik di masa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam atau pun masa-masa setelahnya yang menunjukkan
secara kasat mata bahwa sihir memiliki hakikat dan pengaruh. Bukankah Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah disihir oleh Lubaid bin Al A’shom Al Yahudi hingga
beliau jatuh sakit? Kemudian karenanya Allah ta’ala menurunkan surat al-Falaq dan surat al-
Nās (al-mu’awidaztain) sebagai obat bagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini
sangat jelas menunjukkan bahwa sihir memiliki hakikat dan pengaruh terhadap orang yang
terkena sihir. Namun tidaklah dipungkiri, bahwa ada jenis-jenis sihir yang tidak memiliki
hakikat, yaitu sihir yang hanya sebatas pengelabuan mata, tipu muslihat, “sulapan”, dan yang
lainnya. Jenis-jenis sihir yang demikian inilah yang dimaksudkan oleh perkataan beberapa
ulama yang mengatakan bahwa sihir tidaklah memiliki hakikat.
Sihir termasuk dosa besar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jauhilah
dari kalian tujuh perkara yang membinasakan!” Para shahabat bertanya, “Wahai Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, Apakah tujuh perkara tersebut?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam berkata, “[1] menyekutukan Allah, [2] sihir, [3] membunuh seorang yang Allah
haramkan untuk dibunuh, kecuali dengan alasan yang dibenarkan syariat, [4] mengkonsumsi
riba, [5] memakan harta anak yatim, [6] kabur ketika di medan perang, dan [7] menuduh
perempuan baik-baik dengan tuduhan zina” (HR. Bukhari dan Muslim, dari shahabat Abu
Hurairah).
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan Nabi Sulaiman tidaklah kafir, akan tetapi
para syaitan lah yang kafir, mereka mengajarkan sihir kepada manusia” (Al-Baqarah: 102).
Imam Adz Dzahabi rahimahullah berdalil dengan ayat di atas untuk menegaskan bahwa orang
yang mempraktekkan ilmu sihir, maka dia telah kafir. Karena tidaklah para syaitan
mengajarkan sihir kepada manusia melainkan dengan tujuan agar manusia menyekutukan
Allah ta’ala. Syaikh al-Sa’diy rahimahullah menjelaskan bahwa ilmu sihir dapat dikategorikan
sebagai kesyirikan dari dua sisi.
1. Orang yang mempraktekkan ilmu sihir adalah orang yang meminta bantuan kepada para
syaitan dari kalangan jin untuk melancarkan aksinya, dan betapa banyak orang yang terikat
kontrak perjanjian dengan para syaitan tersebut akhirnya menyandarkan hati kepada
mereka, mencintai mereka, ber-taqarrub kepada mereka, atau bahkan sampai rela
memenuhi keinginan-keinginan mereka.
2. Orang yang mempelajari dan mempraktekkan ilmu sihir adalah orang yang mengaku-
ngaku mengetahui perkara ghaib. Dia telah berbuat kesyirikan kepada Allah dalam
pengakuannya tersebut (syirik dalam rububiyah Allah), karena tidak ada yang mengetahui
perkara ghaib melainkan hanya Allah ta’ala semata.
Syaikh Ibnu ’Utsaimin rahimahullah merinci bahwa orang yang mempraktekkan sihir,
bisa jadi orang tersebut kafir, keluar dari Islam, dan bisa jadi orang tersebut tidak kafir
meskipun dengan perbuatannya tersebut dia telah melakukan dosa besar. Pertama, Tukang sihir
yang mempraktekkan sihir dengan memperkerjakan tentara-tentara syaitan, yang pada
akhirnya orang tersebut bergantung kepada syaitan, ber-taqarrub kepada mereka atau bahkan
sampai menyembah mereka. Maka yang demikian tidak diragukan tentang kafirnya perbuatan
semacam ini. Kedua, Adapun orang yang mempraktekkan sihir tanpa bantuan syaitan,
melainkan dengan obat-obatan berupa tanaman ataupun zat kimia, maka sihir yang semacam
ini tidak dikategorikan sebagai kekafiran.
Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu pernah suatu ketika, di akhir kekhalifahan beliau,
mengirimkan surat kepada para gubernur, sebagaimana yang dikatakan oleh Bajalah bin
‘Abadah radhiyallahu ‘anhu, “Umar bin Khattab menulis surat (yang berbunyi): ‘Hendaklah
kalian (para pemerintah gubernur) membunuh para tukang sihir, baik laki-laki ataupun
perempuan”. Dalam kisah Umar radhiyallahu ‘anhu di atas memberikan pelajaran bagi kita,
bahwa hukuman bagi tukang sihir dan ‘antek-antek’-nya adalah hukuman mati. Terlebih lagi
terdapat sebuah riwayat, meskipun riwayat tersebut diperselisihkan oleh para ulama tentang
status ke-shahihan-nya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hukuman bagi
tukang sihir adalah dipenggal dengan pedang.”
Dalam kisah Umar di atas pun juga memberikan pelajaran penting bagi kita, bahwa
menjadi kewajiban pemerintah tatkala melihat benih-benih kekufuran, hendaklah pemerintah
menjadi barisan nomor satu dalam memerangi kekufuran tersebut dan memperingatkan
masyarakat tentang bahayanya kekufuran tersebut, sebagaimana yang dilakukan oleh Umar bin
Khattab radhiyallahu ‘anhu.
Inilah yang mungkin menjadi kerancuan di benak masyarakat, yang kemudian
kerancuan ini menjadikan mereka membolehkan belajar sihir, karena alasan “keadaan darurat”.
Terlebih lagi tatkala sihir yang digunakan untuk mengobati sihir terkadang terbukti manjur dan
mujarab. Bukankah segala sesuatu yang haram pada saat keadaan darurat, akan menjadi
mubah? Bukankah ketika di tengah hutan, tidak ada bahan makan, bangkai pun menjadi boleh
kita makan? Memang syariat membolehkan perkara yang haram tatkala keadaan darurat,
sampai-sampai para ulama membuat sebuah kaidah fiqhiyah, “Keadaan yang darurat dapat
merubah hukum larangan menjadi mubah.” Namun kita pelu cermati bahwa para ulama pun
juga memberikan catatan kaki terhadap kaidah yang agung ini. Terdapat sedikitnya dua syarat
yang harus dipenuhi untuk mengamalkan kaidah ini, yaitu:
1. Tidak ada obat lain yang dapat menyembuhkan sihir, selain dengan sihir yang semisal.
Pada kenyataannya tidaklah terpenuhi syarat pertama ini. Syariat telah memberikan obat
dan jalan keluar yang lebih syar’i untuk menangkal dan mengobati gangguan sihir.
Bukankah syari’at telah menjadikan Al Quran sebagai obat, lah ada dan teruqyah-ruqyah
syar’i yang telah diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
2. Sihir yang digunakan harus terbukti secara pasti dapat menyembuhkan dan menghilangkan
sihir. Dan setiap dari kita tidaklah ada yang dapat memastikan hal ini, karena semua hal
tersebut adalah perkara yang ghaib.
Maka dengan ini jelaslah bahwa mempelajari sihir, apapun alasannya adalah terlarang,
bahkan diancam dengan kekufuran, Allah ta’ala telah tegaskan di dalam firmannya (yang
artinya), “Dan tukang sihir itu tidaklah menang, dari mana pun datangnya.” (QS. Ath Thaahaa:
69). Syaikh Muhammad Al Amin Asy Syinqithi rahimahullah berkata dalam tafsirnya
menyatakan bahwa ayat ini mencakup umum, segala macam kemenangan dan keberuntungan
akan ditiadakan dari para tukang sihir, terlebih lagi Allah tekankan dengan firman-Nya, ‘dari
mana pun datangnya’. Dan secara umum, tidaklah Allah meniadakan kemenangan dari
seseorang, melainkan dari orang kafir.
Sihir tidak akan luput dari kehidupan manusia sehari-hari yang digunakan oleh orang-
orang yang tidak mengerti atau tidak paham mengenai dampak dari perbuatan tersebut. Sihir
ini telah tersebar di tengah-tengah peradaban manusia masa kini maupun masa lalu. Mulai dari
sihir berupa pelet, santet, gendam dan lain sebagainya. Padahal telah jelas dalam Al-Quran
bahwasannya sihir ini dapat membuat seseorang yang melakukan perbuatan tersebut menjadi
kafir (musyrik). Pada hakikatnya kita tidak boleh takut akan adanya sihir ini, karena segala
sesuatu itu terjadi hanyalah atas izin Allah Swt semata bukan karena hal lainnya terutama sihir.
Akan tetapi banyak orang yang salah dalam memahami sihir sehingga bentuk kebodohan serta
kemusyrikan terjadi, orang-orang tersebut beramai-ramai mempraktekan sihir untuk
mempermudah suatu urusan di dalam kehidupan sehari-hari.
Syetan selalu berusaha untuk memasukan suatu kesan kepada ummat muslim bahwa
sihir ini bukanlah suatu perbuatan yang berdampak kepada dosa yang sangat besar. Bahkan
Syetan memberikan pelajaran yang dapat menyentuh perasaan kepada manusia, sehingga
mereka menganggap bahwa sihir adalah suatu perbuatan yang harus ditempuh oleh manusia
untuk mencari kebaikan. Misalnya untuk memikat hati seorang wanita ataupun laki-laki yang
dilakukan dengan cara guna-guna atau zaman sekarang sering disebut dengan pelet, itu semua
diperbolehkan oleh agama karena digunakan untuk kebaikan dengan dalih (menyatukan ummat
manusia dalam sebuah perjodohan) sehingga sebagian ummat yang terpedaya mengatakan
bahwa semua hal tersebut merupakan muhabbah. Padahal menurut Syara sihir itu merupakan
perbuatan kufur dan orang yang bermain-main dengan sihir adalah kafir.
Sihir berarti sesuatu yang lembut dan halus (tidak terlihat). Secara terminologis, sihir
adalah suatu perbuatan oleh orang tertentu (disebut tukang sihir) dengan syarat-syarat tertentu
mempergunakan peralatan yang tidak lazim untuk dipakai, serta dengan cara yang sangat
rahasia, untuk menimbulkan efek jahat dalam diri orang lain yang menjadi korbannya. Sihir
dapat dinamai juga santet, teluh, magic, vodoo dan lain sebagainya. Pada umumnya sasaran
sihir ini ada dua, ada yang langsung dikenakan kepada diri korban dengan mempengaruhi hati,
jiwa dan badannya, untuk disakiti ataupun dibunuh. Ada juga yang dikenakan terhadap harta
benda korban untuk dirusak ataupun dimusnahkan serta sihir ini digunakan untuk memutuskan
cinta kasih sepasang suami istri (kekasih). Sebelum melakukan sihir biasanya ada kesepakatan
antara tukang sihir dengan syetan, syaratnya adalah tukang sihir harus melakukan perbuatan
syirik atau kufur. Baik secara terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi. Sementara syetan
harus melayani tukang sihir, atau menundukan orang yang melayaninya. Oleh karena itu,
tukang sihir menundukan jin tersebut untuk melakukan pekerjaan jahat yang dia inginkan. Dan
jika jin tersebut membangkang, maka tukang sihir akan mendekati pemimpin kelompoknya
dengan menggunakan sang pemimpin serta meminta pertolongan kepadanya, bukan kepada
Allah Swt.
Seseorang yang mendatangi tukang sihir (dukun, peramal, paranormal) lalu bertanya
kepadanya, dia terkena ancaman tidak diterima shalatnya selama 40 telah jatuh kepada dosa
kafir (Syirik kepada Allah Swt). Sedangkan dalam kamu Mu’zam Al-Mufradat karya Al-Ragib
Al-Ashfahani dikatakan terdapat beberapa arti dari kata “Sahara”. Pertama, gambaran atau
tipuan imajinasi yang tidak nyata, seperti halnya yang dilakukan oleh pesulap yang dapat
memalingkan pandangan dengan kecepatan tangannya dan juga seperti yang dilakukan oleh
seorang pengadu domba, memfitnah dengan ucapan-ucapan manis yang dapat mempengaruhi
pandangan orang lain mengenai suatu perkara. Kedua, meminta pertolongan kepada syetan
dengan cara melakukan sebuah ritual mendekatkan diri kepadanya. Ketiga, suatu perbuatan
yang dapat membuat seseorang menjadi sedih, senang, takut, penurut dan lain sebagainya yang
denganya dapat merubah suatu karakter seseorang. Seperti khimar (hipnotis) akan tetapi hal ini
tidak bersifat nyata, hanyalan sebuah ilussi.
Dari ragam dan fenomena pemaknaan tentang sihir, kiranya masih layak untuk dikaji
lebih jauh, bagaimana sesungguhnya sihir dalam pandangan para mufasir, ketika menafsirkan
ayat-ayat al-Quran yang berbicara masalah sihir. Sebenarnya, sihir ini telah ada sejak zaman
Nabi Sulaiman As. Allah Swt memberikan seatu mukjizat kepada Nabi Sulaiman As yaitu
dapat memerintahkan manusia, hewan dan jin sebagai pasukan kerajaannya. Seperti firman
Allah Swt dalam Al-Quran Surat Al-Baqarah 102:
“Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh syetan-syetan pada masa kerajaan Sulaiman (dan
mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (tidak
mengerjakan sihir), hanya syetan-syetanlha yang kafir (mengerjakan sihir). Mereka mengajarkan sihir
kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua orang malaikat di negeri Babil yaitu Harut dan
Marut, sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorangpun sebelum mengatakan:
“Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir”. Maka mereka
mempelajari dari kedua malaikat itu pa yang dengan sihir itu, mereka dapat menceraikan antara seorang
(suami) dengan isterinya. Dan mereka itu (ahli sihir) tidak memberi mudharat dengan sihirnya kepada
seorangpun, kecuali dengan izin Allah. Dan mereka mempelajari sesuatu yang tidak memberi mudharat
kepadanya dan tidak memberi manfaat. Demi sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa barangsiapa
yang menukarnya (kitab Allah) dengan sihir itu, tiadalah baginya keuntungan di akhirat, dan amat
jahatlah perbuatan mereka menjual dirinya dengan sihir. Kalau mereka mengetahui.”
Dalam Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 102 disebutkan bahwa dengan segala kebolehan
(Mu‟jizat) yang diberikan Allah Swt kepda Nabi Sulaiman, akan tetapi orang-orang kafir
menuduh bahwa Nabi Sulaiman tidak lain hanyalah seorang ahli sihir yang mengajarkan ilmu
sihirnya terhadap pengikutnya, padahal semua itu semata-mata hanyalah perbuatan syetan.
Sihir dalam kehidupan masa lalu bisa dilihat dari dua sudut pandang. Pertama, sudut
pandang keagamaan dan yang kedua dari sudut pandang non keagamaan. Dalam
perkembangannya sudut pandang non keagamaan ini lebih banyak dikedepankan oleh aspek
ilmu pengetahuan atau keilmuan di masa modern, dimana ada pergeseran makna yang semula
pada dasarnya adalah sihir namun menurut pandangan mereka ini di identikan dengan sulap.
Berbeda halnya menurut ajaran atau pengetahuan keislaman bahwa sulap adalah sulap, sihir
adalah sihir. Sihir tetap saja merupakan suatu perbuatan yang dapat merusak aqidah dan tauhid
seorang muslim karena dekat sekali dengan kesyirikan.
Jika dilihat dalam konteks zaman sekarang dibanyak Negara, termasuk di Barat dan di
Timur Tengah, sihir biasanya digambarkan sebagai suatu perbuatan yang memungkinkan
pelakunya dapat mengubah sesuatu menjadi benda lain yang di inginkannya. Dalam kisah Nabi
Musa As, sebagaimana dijelaskan dalam Al-Quran. Para penyihir firaun dapat mengubah tali
menjadi ular. Sementara dalam film-film atau novel Barat, seorang penyihir yang biasanya
digambarkan bertopi runcing dan bertampang yang buruk dan mengerikan, dapat mengubah
seseorang menjadi hewan, ataui apa saja dengan mantra-mantra dan ramuan yang mereka buat.
Mereka juga memiliki sapu terbang untuk membawanya terbang kemana saja.
Peradaban modern masa kini hanya percaya bahwa orang yang dapat membuat
keajaiban itu hanyalah seorang pesulap, bukanlah seorang penyihir. Dan, sekelompok pesulap
itu tidak menggunakan kekuatan magis. Mereka melakukan keanehan-keanehan secara murni
sekaligus menggunakan trik atau tipuan mata, dan tidaklah lebih dari semua itu. Sesuatu yang
tidak dapat dijawab dengan ilmu pengetahuan, biasanya langsung dikaitkan dengan
ketidaklaziman. Dan, ketidaklaziman mudah dikaitkan dengan kekuatan sihir. Oleh karena itu,
berkaitan dengan penafsiran terhadap ilmu sihir perlu dilakukan secara hati-hati dengan
terlebih dahulu meninjau masalah sihir melalui sudut ilmu pengetahuan masa kini. Sihir dalam
paradigma masa kini telah memunculkan ambiguitas, disatu sisi dipandang sebagai sebuah trik
ataupun tipuan karena disamakan dengan sulap akan tetapi dipihak lain menurut sudut pandang
agama sihir adalah dimensi kesyirikan yang akan merusak aqidah. Oleh karenanya realitas ini
harus diselsaikan, dimurnikan supaya tidak subhat atau tercampur antara sihir dengan sulap.
Fenomena mistis, tentang sihir juga sampai ke masa kita sekarang. Masyarakat sangat
menggandrungi tayangan-tayangan televisi yang menyiarkan acara-acara mistis. Mulai dari
tayangan yang dikemas dalam film-film sejarah klasikal hingga telenovela-telenovela
kehidupan modern. Selain itu, kemunculan tokoh-tokoh mistis seperti Dedi Corbuzer, Romi
Rafael dan David Cover Field, menyebabkan antusias masyarakat kepada dunia mistik semakin
tajam dan menjurus kepada kesesatan. Bahkan pengaruh tayangan-tayangan tersebut meresap
sampai ke anak-anak kecil, yang notabenenya adalah penerus-penerus perjuangan agama dan
bangsa.
Adapun sihir, sebagaimana tinjauan makna bahasa yang lalu, hanyalah sebuah tipuan
pandangan mata. Kemampuan sihir muncul dari seorang yang kafir, fasik dan munafik. Allah
Swt., memang memberikan kelebihan tersebut kepada mereka sebagai istidrâj. Yaitu agar
mereka tetap tenggelam dalam kekufuran, kefasikan dan kemunafikannya. Kemampuan sihir
seseorang sering digunakan untuk menghancurkan atau menipu. Oleh karenanya, kemampuan
sihir ada yang didapatkan dari proses pembelajaran atau latihan dan ada juga lewat bantuan
setan.
Ada sekelompok orang yang meyakini eksistensi black magic dan white magic. Bila
sesuatu yang luar biasa tersebut keluar dari seorang nabi, wali, ulama atau orang yang shalih,
maka mereka mengatakan hal itu adalah white magic. Begitu juga sebaliknya, bila muncul dari
seorang dukun, peramal atau non muslim dinamakan black magic. Dari pengertian ini tampak
ada kesimpang siuran, sehingga sangat perlu dicari pengertian yang lebih logis.
Dalam memahami kenyataan dan pengaruh yang dikeluarkan dari sihir, pendapat para
ulama terbagi dalam dua kelompok, yaitu:
1. Kelompok yang meyakini bahwa sihir mempunyai pengaruh dan benar-benar nyata.
Pendapat ini diusung oleh mufassir-mufassir dari kelompok ahl al-sunnah wa al-jamā’ah.
Mereka berpedoman kepada surat al-Baqarah (2): 102 dan riwayat asbāb al-nuzūl surat
al-Falaq (113): 4 yaitu, hadis yang diriwayatkan oleh Zaid ibn al-Arqam tentang seorang
Yahudi yang bernama Labîd ibn al-A’sham menyihir Nabi Muhammad saw., sehingga
beliau sakit dan merasa berbuat sesuatu, padahal tidak.
2. Kelompok yang tidak meyakini keberadaan dari fakta sihir dan juga tidak percaya bahwa
sihir itu berpengaruh. Pendapat ini diusung oleh mufassir-mufassir dari kelompok
Muktazilah. Mereka berpedoman kepada surat al-A’rāf (7): 116 dan Thāhā (20): 66-69.
Mereka juga berpendapat bahwa jika sihir dapat membuat sesuatu yang luar biasa, seperti
berjalan di atas air, terbang di udara atau merubah tanah menjadi emas, maka kehebatan
mukjizat akan sirna, sebab keduanya sama-sama sebuah perbuatan yang dilakukan dengan
luar biasa. Di samping itu, manusia tidak perlu susah-susah bekerja, cukup dengan sihir
saja maka kebutuhan hidup terpenuhi.
Imam al-Zamakhsyâri dalam tafsir al-Kasysyāf mewakili kelompok Muktazilah,
menyatakan bahwa sihir sebenarnya sesuatu tipuan yang tidak pernah terjadi dengan sebenar-
benarnya. Ini ditemukan ketika dia menafsirkan surat al-falq pada ayat yang mengandung kata
al-naffātsāt. Secara zahir, apa yang dilakukan orang-orang yang meniup tali temali dengan
membaca mantera-mantera menurutnya tidak mempengaruhi apa-apa. Jika seseorang ingin
mempelajarinya, tentu ia akan mampu dan bisa melakukan seperti yang dilakukan oleh para
tukang sihir tersebut. Imam al-Zamakhsyāri juga menukil sebuah sya'ir yang menyebutkan
bahwa mempelajari sihir bukan untuk diamalkan, tetapi untuk mencari kelemahannya. Menurut
penulis, ungkapan Imam al-Zamakhsyāri ini, menjadi salah satu sebab yang membuat Imam
al-Rāzi termotivasi untuk melakukan penafsiran maksimal terhadap ayat-ayat tentang sihir.
Adapun Syeikh Muhammad Abduh dalam tafsir al-Manār mengingkari keberadaan sihir.
Ini ditemukan ketika dia menafsirkan surat al-Falaq pada ayat yang berbunyi, wa min syarr al-
naffātsāt fi al-'uqad. Menurutnya, yang dimaksud dengan al-naffātsāt adalah orang-orang yang
mengadu domba antar sesama. Merekalah orang-orang yang memutuskan persaudaraan dan
tali silaturrahim. Mereka juga membakar semangat dendam di antara kelompopk- kelompok
orang yang telah menjalin ikatan persaudaraan. Mereka ini dinamakan al-namīmah. Sedangkan
al-namīmah menurutnya merupakan salah satu cabang dari ilmu sihir. Di samping itu,
perbuatan al-namīmah membawa kepada kesesatan, karena orang yang berbuat demikian akan
cenderung ingin menyesatkan orang lain. Pengkaburan kebenaran menjadi kesesatan menurut
Syeikh Muhammad Abduh adalah perbuatan sihir.
Begitu juga Syeikh Rasyîd Ridha. Sebagai murid Muhammad Abduh, dan banyak
memberi komentar dalam tafsir al-Manâr berpendapat bahwa ilmu sihir hanya sebuah
kebohongan dan tipu daya belaka. Dia sependapat dengan gurunya Muhammad Abduh dan
mengusung pendapat kelompok Muktazilah. Ini ditemukan dalam penafsirannya terhadap surat
al-An'ām: 7. Menurutnya, ayat tersebut sangat jelas menerangkan bahwa sihir merupakan
perbuatan tipuan dan kebohongan dan tidak dapat memberi manfa'at atau mudharat. Sedangkan
terhadap hadis Imam Bukhari yang menceritakan bahwa Rasulullah saw pernah tersihir, Rasyid
Ridhâ mentakwilkannya. Bahwa Rasul tidak tersihir tetapi pandangan istri-istrinya yang
tersihir sehingga melihat Nabi saw seolah-olah melakukan sesuatu padahal beliau tidfak
melakukannya. Selain itu, menurutnya perawi hadis tersebut dinilai cacat oleh mayoritas
ulama. Ibn Kastīr dalam Tafsīr al-Qurān al-'Azhīm menyatakan bahwa ilmu sihir dapat
dipelajari dan nyata keberadaannya. Bahkan seseorang yang mahir sihir dapat merubah sesuatu
kepada sesuatu yang lain. Tetapi mempelajari ilmu sihir menurutnya makruh karena hanya
akan mendatangkan bahaya.
Al-Marāghi dalam penafsirannya terhadap surat al-Baqarah: 102 menyatakan bahwa para
penyihir sanggup melakukan sesuatu yang luar biasa karena menggunakan perantara. Ada yang
menggunakan jin dan ada juga yang menggunakan alat-alat yang dibacakan mantera.
Semuanya ini membuktikan bahwa sihir ada dan bisa dipelajari. Hanya terdapat perbedaan
ulama dalam hukum mempelajarinya. Imam Fakhr al-Dīn al-Rāzi tampil dengan kitab tafsirnya
Mafātih al-Ghaib mewakili kalangan mufassir-mufassir ahl al-sunnah wa al-jamā’ah banyak
memberikan kontribusi pemikiran dan perhatian terhadap masalah sihir. Pendapat Imām al-
Rāzi tentang kenyataan sihir berbeda dengan mazhab yang dianutnya, yaitu mazhab ahl al-
sunnah wa al-jamā’ah. Bahkan, di sisi lain Imām al-Rāzi mewajibkan belajar ilmu sihir,
sebagaimana wajib belajar terhadap ilmu-ilmu Agama yang lain. Upayanya ini sangat terlihat
ketika dia menafsirkan firman Allah Swt., dalam surat al-Baqarah (2): 102. Dalam
menjelaskan ayat tersebut, Imām al-Rāzi mengaitkannya dengan ayat sebelumnya, yaitu al-
Baqarah (2): 99-101. Kelompok ayat-ayat tersebut menceritakan tentang keburukan pekerjaan
Yahudi. Salah satunya adalah mempelajari sihir dan mengajarkannya guna menghancurkan
orang lain.
Menurutnya, Sihir adalah sesuatu yang sebab kemunculannya masih tertutup atau
tersembunyi, sehingga yang tergambar bukan hakikat sebenarnya, melainkan sebuah tipu daya
dari kebohongan belaka. Selanjutnya, ia menyatakan bahwa sihir hanyalah perbuatan yang
memalingkan pandangan orang dari pandangan yang sebenarnya. Dia juga melandasi
penafsirannya ini kepada surat al-A’râf (7): 116. Dalam hal ini, terlihat Imâm al-Râzi seolah-
olah hendak menyatakan bahwa selama seseorang belum mengetahui hakikat sesuatu, maka
dia masih tersihir oleh sesuatu itu. Kemudian Imâm al-Râzi menyatakan bahwa sihir bisa dan
wajib dipelajari dan diperbolehkan untuk mengajarkannya, apalagi digunakan untuk
menghancurkan sihir juga.
Salah satu persoalan yang menjadi perhatian besar tentang sihir adalah semua perbuatan
yang memalingkan kondisi dari keadaan yang sebenarnya menjadi keadaan yang samar-samar.
Artinya sihir bersifat tipuan terhadap pandangan mata saja. Untuk itu, sihir bisa dipelajari, dan
bahkan menurut al-Rāzi mewajibkan belajar semua jenis ilmu sihir, dengan maksud untuk
mengetahui hakekatnya dan cara kerjanya. Selain itu, mempelajari sihir dapat mendatangkan
manfa’at dan mashlahat. Selain sihir masih ada mukjizat dan karamah, karena ketiganya masuk
dalam lingkup khawāriq li al-‘ādah. Dari penelusuran di atas ditemukan perbedaan mendasar
di antara ketiga term tersebut, yaitu:
Pertama, Sihir bersumber dari orang yang fasik dan kafir, mukjizat bersumber dari
seorang Nabi dan Rasul, sedangkan karamah bersumber dari seorang waliullah yang ta’at
mengerjakan perintahNya dan menjauhi laranganNya. Kedua, Sihir muncul dengan adanya
usaha atau memang diusahakan, mukjizat muncul dari qudrat iradat Allah, sedangkan karamah
muncul tanpa sebab yang tidak diketahui oleh orangnya. Ketiga, Sihir diwujudkan untuk
menghancurkan orang lain, mukjizat diwujudkan untuk menaklukkan tantangan risalah Nabi
atau Rasul, sedangkan karamah terwujud sebagai bukti kemuliaan yang diberikan Allah kepada
seseorang. Oleh karena ilmu sihir tidak tercela dan tidaklah buruk untuk mempelajarinya,
tentunya hukum kafir bagi para ahli sihir perlu ditinjau ulang. Sungguh cepat keputusan untuk
mengkafirkan dukun, penyihir, tukang ramal atau apapun namanya, tanpa diselidiki terlebih
dahulu, kemanfa’atan sihirnya dan kemashlahatannya. Mengenai pengobatan sihir, Imâm al-
Râzi membolehkan pengobatan dengan cara nusyrah (jampi-jampi) dan pengobatan dengan
cara ruqyah (mantera). Kedua cara pengobatan tersebut diterima, selama berada dalam jalur-
jalur yang dibenarkan syari’at. Selain itu, seseorang yang memiliki kemahiran dalam nusyrah
atau ruqyah harus meyakini terlebih dahulu bahwa apa yang dilakukannya hanyalah mencari
sebab-sebab yang telah dibuat Allah, bukan dia yang menentukan sembuh atau tidaknya.
Demikian kesimpulan yang dapat penulis simpulkan.
KEGIATAN BELAJAR 3
HARI AKHIR
Pokok-Pokok Materi
Pengertian Hari Akhir, ruang lingkup dan pokok-pokok bahasan Hari Akhir, Nama-nama Hari
Akhir, Kiamat Sugro dan Kiamat Kubro.
URAIAN MATERI
A. Definisi Hari Akhir dan Kiamat
Beriman (meyakini) adanya hari akhir adalah bagian dari rukun iman. Syekh Thahir bin
Shalih al-Jazairy (w. 1338 H) dalam Al-Jawahir al-Kalamiyah Menyampaikan bahwa rukun
iman atau rukun akidah Islam itu meliputi enam hal, yaitu:
“Rukun akidah Islamiyah itu ada enam hal, yaitu: (1) iman kepada Allah, (2) iman
kepada malaikat Allah, (3) iman kepada kitab-kitab Allah, (4) iman kepada para rasul Allah,
(5) iman kepada hari akhir, dan (6) iman kepada qadar (takdir) Allah.”
Iman kepada hari akhir ini adalah penting sekali. Sedemikian pentingnya maka dalam
Al-Qur’an dan hadits keimanan pada hari akhir ini kerap disandingkan dengan keimanan
kepada Allah. Dan memang ada dua hal pokok berkaitan dengan keimanan yang banyak
dijabarkan dalam ayat-ayat Al-Qur’an, yaitu pembuktian tentang keesaan Allah, yang berarti
ini tentang iman kepada Allah, dan kedua, uraian atau pembuktian tentang hari akhir. Al-
Qur’an telah memberitakan kepada manusia bahwa alam semesta ini telah diciptakan dan akan
sampai pada titik akhirnya (Q.S. al-Mukmin/ 40:59 dan Q.S. al-H{ajj/22:7). Segala yang
berawal maka akan berakhir, baik manusia, tumbuhan, hewan, alam semesta, maupun malaikat
semuanya akan mati, hanya Allah saja yang tidak berawal dan tidak berakhir. Waktu yang
ditetapkan dimana alam semesta dan segala makhluk di dalamnya mulai dari mikroorganisme
sampai makhluk yang paling indah bentuknya yaitu manusia, termasuk bintang-bintang dan
galaksi-galaksi semuanya akan hancur pada hari dan jam yang telah ditentukan oleh sang
penciptanya dan hanya Dia yang mengetahuinya. Waktu atau hari tersebut dikenal dengan
nama Hari Akhir atau Kiamat.
Al-Qur'an menyebut istilah al-yaum al-ākhir ()اﻟﯿﻮم اﻻﺧﺮ, hari akhir, sebanyak 26 kali
dan menyebut istilah al-ākhirah ()اﻻﺧﺮة, akhirat, sebanyak 115 kali. Istilah ini, al-ākhir, secara
kebahasaan, menurut ar-Rāgib al-Asfahānī, mengandung arti akhir atau yang kemudian yang
merupakan lawan dari perkataan awal. Istilah al-ākhir biasanya dihubungkan dengan istilah
yaum ( )اﻟﯿﻮمsehingga menjadi al-yaum al-ākhir ()اﻟﯿﻮم اﻻﺧﺮ, berarti Hari Akhir atau hari Kiamat.
Sementara itu, istilah al-ākhirah ()اﻻﺧﺮة, akhirat sering dihubungkan dengan istilah dār yang
berarti negeri atau kampong, seperti dalam ungkapan al-dār al-ākhirah, yang berarti negeri
akhirat.
Kiamat atau al-yaum al-ākhir (hari akhir) tidaklah seperti hari-hari di dunia yang 1 hari
sebanding dengan 24 jam. Hari akhir merupakan hari yang terjadi pada kehidupan akhirat, yang
1 hari jika menggunakan ukuran hari-hari dunia bisa sangat relatif atau tidak terbatas, bisa
sebanding dengan 1000 tahun (as-Sajdah/32: 5); bahkan bisa berbanding dengan 50.000 tahun
(al-Ma‘ārij/70: 4). Ini wajar saja, sebab ia tidak dibatasi oleh ruang dan waktu (nirwaktu).
Penyebutan al-yaum al-ākhir, yang dirangkai dengan iman kepada Allah, pada hakikatnya
dimaksudkan sebagai hari perhitungan (al-hisāb) dan pembalasan (al-jazā'), sehingga oleh Al-
Qur'an ia dijadikan sebagai sarana yang efektif untuk menumbuhkan kejujuran, ketakwaan,
kedermawanan, berani berkorban demi kebenaran dan keadilan, dan sebagainya. Artinya,
seandainya seseorang bersikap jujur, lalu tidak mendapatkan hasil duniawi yang diinginkan,
maka keimanan kepada hari akhir itulah yang menjadikan dirinya tetap sabar dan konsisten,
sebab ia yakin ganjaran yang sesuai akan diperoleh di hari akhir kelak. Begitu juga, ia bisa
dijadikan tameng dari perilakuperilaku buruk, misalnya kemunafikan, ria, dan sebagainya.
Sebagaimana yang disebutkan dalam beberapa firman Allah seperti: “Dan di antara manusia
ada yang berkata, “Kami beriman kepada Allah dan hari akhir,” padahal sesungguhnya mereka
itu bukanlah orang-orang yang beriman. (al-Baqarah/2: 8).
Ayat ini merupakan koreksi terhadap perilaku orang-orang munafik yang mengaku
beriman kepada Allah dan hari Akhir, padahal kenyataannya tidak. Mereka mengukur
keimanannya melalui ucapan, sedangkan Allah mengukur keimanannya melalui perbuatan.
Penggunaan redaksi wa minan-nās, menurut Ibnu ‘Āsyūr menunjuk kepada perilaku buruk.
Sedemikian buruknya, sehingga Al-Qur'an merasa “malu” untuk mengungkapkannya secara
jelas. Oleh karena itu, ayat ini sekaligus menjadi koreksi bagi siapa saja yang menyatakan
beriman kepada Allah dan hari akhir tetapi perbuatannya tidak mencerminkan nilai-nilai
keimanan itu sendiri. Dengan demikian, indikasi seseorang yang beriman kepada hari akhir
tentunya bukan terbatas kepada ucapan, sebagaimana hal itu bisa saja dilakukan oleh orang-
orang munafik, tetapi harus direalisasikan dalam perbuatannya. Bahkan, bukan sekadar
perbuatan tetapi perbuatan baik, yang lazim disebut dengan “amal saleh”.
Hari Akhir atau Hari Kiamat merupakan tahapan yang harus dilewati menuju Negeri
Akhirat. Ungkapan al-dār al-ākhirah merupakan lawan dari al-dār al-dunyā, sebagaimana
termaktub di dalam ayat Al-Qur'an sebagai berikut:
Umar Sulaiman al-Asyqar dalam buku Al-Yaumul Ākhir Qiyāmah Kubrā menyebut 22
istilah populer tentang hari akhir dalam Al-Qur’an. Ia juga menyebutkan istilah tambahan
lainnya yang diserap dari Al-Qur’an, serta tambahan istilah lainnya dari para ulama. Ia
mengutip al-Qurthubi yang membolehkan penggunaan penyebutan hari akhir dengan istilah
lain yang relevan. Ada tiga istilah yang paling banyak disebutkan Al-Qur’an terkait hari akhir
ini, yaitu yaumul qiyamah (hari kebangkitan), terulang tujuh puluh kali; as-sā‘ah (waktu),
terulang empat puluh kali; al-ākhirah (akhir; penghabisan) terulang seratus lima belas kali.
Adapun yaumul ākhir terulang 24 kali; Yaumud Din (hari pembalasan) terulang enam kali;
yaumul fashl (hari keputusan) terulang enam kali; yaumul fath (hari pengadilan) terulang dua
kali; yaumut talāq (hari pertemuan) terulang dua kali; yaumul jam’i (hari pengumpulan)
terulang dua kali; yaumul khulūd (hari kekekalan) terulang dua kali; yaumul khurūj (hari
keluar) terulang dua kali; yaumul ba’ts (hari kebangkitan) terulang dua kali; yaumut tanād (hari
panggilan) terulang dua kali. Kemudian ada yaumul hasrah (hari penyesalan), yaumul azifah
(hari mendekat), dan yaumu taghabun (hari terbukanya aib yang masing-masing sekali. Juga
ada istilah al-qāriah (bencana yang menggetarkan); al-ghāsyiah (bencana yang tak tertahan),
as-shakhkhah (bencana yang memekakkan, al-hāqah (kebenaran besar), dan al-wāqiah
(peristiwa besar).
َﻋ ِﺔ أَﯾﱠﺎنَ ﻣُﺮْ ﺳَﺎھَﺎ ﻗُﻞْ إِﻧﱠﻤَﺎ ِﻋ ْﻠ ُﻤﮭَﺎ ِﻋ ْﻨﺪَ رَ ﺑِّﻲ َﻻ ﯾُ َﺠﻠِّﯿﮭَﺎ ﻟِﻮَ ْﻗﺘِﮭَﺎ إ ﱠِﻻ ھُﻮ
َ ﯾَ ْﺴﺄَﻟُﻮﻧَﻚَ ﻋَﻦِ اﻟﺴﱠﺎ
“Mereka menanyakan kepadamu tentang kiamat: ‘Bilakah terjadinya?’ Katakanlah:
‘Sesungguhnya pengetahuan tentang kiamat itu adalah pada sisi Tuhanku; tidak seorangpun
yang dapat menjelaskan waktu kedatangannya selain Dia’.”
Dalam al-Ahzab ayat 63 dinyatakan bahwa pengetahuan tentang kiamat itu adalah dari
Allah, dan boleh jadi sudah dekat waktunya.
.« ﱠﺎس
ِ ﻋﻠَﻰ ﺷِﺮَ ِار اﻟﻨ
َ ﻋﺔُ إِﻻﱠ
َ ﻗَﺎ َل » ﻻَ ﺗَﻘُﻮ ُم اﻟﺴﱠﺎ-ﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ- ﻰ
ّ ِ ﻋَﻦْ َﻋ ْﺒ ِﺪ ﱠ ِ ﻋَﻦِ اﻟﻨﱠ ِﺒ
)رواه ﻣﺴﻠﻢ( ـ
Nabi bersabda: “Kiamat tidak akan terjadi kecuali kepada manusia paling buruk.” (HR
Muslim)
Abdullah bin Amr bin ‘Ash: “Kiamat tidak akan terjadi kecuali kepada manusia
terburuk. Mereka lebih buruk dari pada Jahiliyah. Mereka tidak minta kepada Allah kecuali
Allah menolaknya.” (Muslim).
Gambaran seburuk-buruk manusia itu karena mereka sudah melupakan Allah, karena
mereka sudah tidak mau menyebut nama Allah.
ض
ِ ْﻋﺔُ َﺣﺘ ﱠﻰ ﻻَ ﯾُﻘَﺎ َل ﻓِﻰ اﻷ َر
َ ﻗَﺎ َل » ﻻَ ﺗَﻘُﻮ ُم اﻟﺴﱠﺎ-ﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ- ِ ﻋَﻦْ أَﻧ ٍَﺲ أ َنﱠ رَ ﺳُﻮ َل ﱠ
)رواه ﻣﺴﻠﻢ( ـ.« ُ ﱠ ُ ﱠ
Nabi bersabda: “Tidak akan terjadi kiamat hingga di bumi tidak ada yang mengucapkan
Allah Allah” (HR Muslim).
Dalam Surat Muhammad ayat 18, Allah menyatakan bahwa kedatangan kiamat itu
terjadi secara tiba-tiba. Walau demikian, sebelum kedatangan itu ada tanda-tandanya. Al-
Hafidz Jalaluddin as-Suyuthi dalam tafsir ad-Durrul Mantsur banyak meriwayatkan hadits
tentang tanda-tanda kiamat, baik yang shughra atau kubra.
ﺛﻢ إِذَا ﺗﺼﺮم اﻟﺰﻣﺎن وﻗﺮب ﯾﻮم اﻟﻘﯿﺎﻣﺔ ظﮭﺮت ﻟﮫ ﻋﻼﻣﺎت ﻣﻨﮭﺎ اﻟﻌﻼﻣﺎت اﻟﺼﻐﺮى اﻟﺘﻰ ظﮭﺮ
ﻣﻨﮭﺎ ﻓﻰ ھﺬا اﻟﺰﻣﺎن اﻟﻜﺜﯿﺮ وﻣﻨﮭﺎ اﻟﻌﻼﻣﺎت اﻟﻜﺒﺮى وھﻲ ﻋﺸﺮ ظﮭﻮر اﻟﻤﮭﺪي وﺧﺮوج اﻟﺪﺟﺎل
وﻧﺰول ﺳﯿﺪﻧﺎﻋﯿﺴﻰ ﻋﻠﯿﮫ اﻟﺴﻼم وﺧﺮوج ﯾﺄﺟﻮج وﻣﺄﺟﻮج وﺧﺮوج اﻟﺪاﺑﺔ اﻟﺘﻰ ﺗﻜﻠﻢ اﻟﻨﺎس
وطﻠﻮع اﻟﺸﻤﺲ ﻣﻦ ﻣﻐﺮﺑﮭﺎ وظﮭﻮراﻟﺪﺧﺎن وﯾﻤﻜﺚ ﻓﻰ اﻷرض ارﺑﻌﯿﻦ ﯾﻮﻣﺎ ﯾﺼﯿﺐ اﻟﻜﺎﻓﺮ ﺣﺘﻰ
ﯾﺼﯿﺮ ﻛﺎﻟﺴﻜﺮان وﯾﺼﯿﺐ اﻟﻤﺆﻣﻦ ﻣﻨﮫ ﻛﮭﯿﺌﺔ اﻟﺰﻛﺎم وﺧﺮاب اﻟﻜﻌﺒﺔ ﻋﻠﻰ ﯾﺪ اﻟﺤﺒﺸﺔ ﺑﻌﺪ ﻣﻮت
ﻋﯿﺴﻰ ﻋﻠﯿﮫ اﻟﺴﻼم ورﻓﻊ اﻟﻘﺮان ﻣﻦ اﻟﻤﺼﺎﺣﻒ واﻟﺼﺪور ورﺟﻮع اھﻞ اﻻرض ﻛﻠﮭﻢ ﻛﻔﺎرا
“Apabila zaman itu hampir berakhir dan hari kiamat telah dekat, maka muncullah
beberapa tanda. Di antara tanda itu ada tanda kecil yang telah muncul sebagian besarnya di
zaman ini, dan di antaranya ada tanda besar yang jumlahnya ada sepuluh yaitu; munculnya al-
Mahdi, keluarnya dajal, turunnya Isa, keluarnya yakjuj makjuj, keluarnya hewan yang dapat
berbicara kepada manusia, matahari terbit dari barat, timbulnya asap selama empat puluh hari
yang menimpa orang kafir sehingga ia menjadi seperti orang yang mabuk dan menimpa orang
beriman sehingga ia menjadi seperti orang yang flu, runtuhnya Ka’bah oleh orang habasyah
setelah Isa wafat, diangkatnya Al-Qur’an dari mushhaf dan dada, serta kembalinya penghuni
bumi pada kekufuran.”
Kiai Sahal Mahfudh dalam buku Dialog dengan Kiai Sahal Mahfudh menyatakan,
“Jadi, sebenarnya kiamat bisa diperpanjang jatuh temponya oleh perilaku manusia sendiri,
sepanjang masih berperilaku dengan ketentuan-ketentuan ilahiah (agama), tidak menampakkan
tanda-tanda itu, maka insyaallah kiamat tidak akan buru-buru datang. Apakah sekarang ini kita
sudah mendekati hari kiamat, ada baiknya pertanyaan itu kita renungkan dalam hati sanubari
masing-masing. Jangan-jangan kita sendirilah yang telah menjadikan kiamat semakin dekat
karena perilaku yang tidak sesuai dengan ketentuan-ketentuan ilahiah.
« " ﺖ اﻟﻤﻘﺪس
ِ " َﻓﺘْ ُﺢ ﺑﯿ: ﻓَﺬَﻛَﺮَ ﻣِ ْﻨﮭَﺎ.... : ﻋ ِﺔ
َ » ا ْﻋﺪ ُ ْد ﺳِﺘﺎ ﺑَﯿْﻦَ ﯾَﺪَي ِ اﻟﺴﱠﺎ
‘Hitunglah enam (tanda) menjelang datangnya hari Kiamat .........’ dan beliau
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyebutkan diantaranya : ‘Penaklukan Baitul Maqdis’.”
(HR. Al-Bukhari).
Pada masa (khalifah) Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu ‘Anhu, kemudian
terjadi penaklukan Baitul Maqdis pada tahun 16 Hijriyah, sebagaimana pendapat dari para
pakar sejarah. Sebenarnya ‘Umar Radhiyallahu ‘Anhu sendiri yang langsung mendatangi,
mendamaikan penduduknya dan menaklukan (wilayah)nya, serta mensterilkannya dari
kaum Yahudi dan Nashrani. Beliau Radhiyallahu ‘Anhu mendirikan masjid di arah kiblat
Baitul Maqdis.
4. Wabah Tha’un ‘Amwas
Masih dalam hadits ‘Auf bin Malik Radhiyallahu ‘Anhu sebelumnya, sabdanya:
ًﺻﺪَﻗَﺔ
َ ُِﯿﺾ َﺣﺘ ﱠﻰ ﯾُ ِﮭ ﱠﻢ رَ بﱠ ا ْﻟﻤَﺎ ِل ﻣَﻦْ ﯾَ ْﻘﺒَﻠُﮫُ ﻣِ ْﻨﮫ
َ ﻋﺔُ َﺣﺘ ﱠﻰ َﯾ ْﻜﺜ ُﺮَ ﻓِﯿ ُﻜ ْﻢ ا ْﻟﻤَﺎ ُل ﻓَﯿَﻔ
َ » ﻻَ ﺗَﻘُﻮ ُم اﻟﺴﱠﺎ
« وَ ﯾُ ْﺪﻋَﻰ إِﻟَ ْﯿ ِﮫ اﻟﺮﱠ ُﺟ ُﻞ ﻓَﯿَﻘُﻮ ُل ﻻَ أ َرَ بَ ﻟِﻲ ﻓِﯿ ِﮫ
“Tidak akan terjadi hari Kiamat hingga harta benda banyak pada kalian, lalu
melimpah ruah, sampai-sampai menyusahkan pemilik harta (mencari) orang yang
menerima sedekah darinya, dan seorang dipanggil (untuk) menghadapnya, lalu dia
berkata, ‘Aku tidak memiliki keperluan terhadapnya’.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
6. Munculnya Beragam Fitnah
Al-fitan bentuk plural dari fitnah, berarti cobaan dan ujian. Kemudian (kata ini)
banyak digunakan untuk setiap hal yang mengandung ujian yang dibenci. Selanjutnya dia
diidentikan kepada segala hal yang dibenci atau kembali kepadanya, seperti dosa,
kekufuran, pembunuhan, pembakaran dan bentuk-bentuk kebencian lainnya.
Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah mengabarkan bahwa diantara
tanda-tanda Kiamat adalah munculnya fitnah-fitnah besar yang mencampur adukkan
antara yang haq dan yang batil. Maka terjadilah keguncangan iman sampai-sampai (ada)
seseorang yang di pagi hari ia beriman dan di sore harinya ia menjadi kafir. (Ada) yang di
sore harinya ia beriman dan di pagi harinya menjadi kafir. Setiap kali muncul fitnah, (saat
1 Qu’ash adalah penyakit yang menyerang hewan-hewan ternak (ad-dawab). Ia mejangkitkan sesuatu (wabah)
melalui kedua lubang hidung, lalu (hewan-hewan yang terjangkit) mati mendadak.
itu) orang beriman berkata, “Inilah yang membinasakanku”, kemudian terbuka dan
muncullah (fitnah) lainnya, maka ia berkata, “Inilah (... seperti ucapan sebelumnya, pent)”.
Senantiasa (fitnah-fitnah) bermunculan di tengah-tengah manusia hingga Kiamat terjadi.
Dalam hadits dari Abu Musa al-Asy’ary Radhiyallahu ‘Anhu bertutur, “Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
ِ ﻋ ُﻢ أَﻧﱠﮫُ رَ ﺳُﻮ ُل ﱠ
ُ ْﻋﺔُ َﺣﺘ ﱠﻰ ﯾُ ْﺒﻌَﺚَ دَﺟﱠﺎﻟُﻮنَ َﻛﺬﱠاﺑُﻮنَ ﻗ َِﺮﯾﺐٌ ﻣِ ﻦْ ﺛَﻼَﺛِﯿﻦَ ُﻛﻠﱡ ُﮭ ْﻢ ﯾَﺰ
َ » ﻻَ ﺗَﻘُﻮ ُم اﻟﺴﱠﺎ
«
“Tidak akan terjadi hari Kiamat hingga dibangkitkan ‘para dajjal (pendusta)’
yang (jumlahnya) mendekati tiga puluh, semuanya mengaku bahwa mereka adalah utusan
Allah (Rasulullah).”
Diantara mereka yang tiga puluh itu telah muncul Musailamah al-Kadzdzab
(sang pendusta), ia mengaku sebagai nabi di akhir masa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam. Ada pula al-Aswad al-‘Ansi di negeri Yaman yang dibunuh oleh sahabat
Radhiyallahu ‘Anhu Demikian dengan Sajah (binti Harits, pent.), seorang wanita yang
mengkalim dirinya sebagai nabi, dan Musailamah menikahinya. Kemudian setelah
Musailamah terbunuh, ia kembali memeluk Islam. Begitu juga Thulaihah bin Khuwailid
al-Asadi, kemudian ia kembali memeluk Islam dan baik keislamannya. Kemudian muncul
al-Mukhtar bin Abi ‘Ubaid ats-Tsaqafi yang menampakkan kecintaan kepada ahlul bait
(keturunan nabi). Ada lagi al-Harits al-Kadzdzab (si pendusta) yang muncul di era
kekhalifahan ‘Abdul Malik bin Marwan, maka dibunuh. Dan di masa sekarang, adalah
Mirza Ahmad al-Qadiyani di India.
8. Tersebarnya Stabilitas Keamanan
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu bertutur, “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam bersabda:
«ﻖ
ِ ﺿﻼَ َل اﻟﻄ ِﱠﺮﯾ
َ ق وَ َﻣ ﱠﻜﺔَ ﻻَ َﯾﺨَﺎفُ إِﻻﱠ
ِ ﻋﺔُ َﺣﺘ ﱠﻰ َﯾﺴِﯿﺮَ اﻟﺮﱠ اﻛِﺐُ َﺑﯿْﻦَ ا ْﻟﻌِﺮَ ا
َ » ﻻَ ﺗَﻘُﻮ ُم اﻟﺴﱠﺎ
‘Tidak akan terjadi Kiamat hingga seseorang pengendara (kendaraan) berjalan di
antara Irak dan Mekkah tidak merasa takut kecuali (takut) tersesat di jalan’.” Dikeluarkan
oleh Ahmad dalam Musnadnya.
9. Fenomena Api Hijaz
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam bersabda:
..... ﱠﺎس
َ ب ا ْﻟﺒَﻘ َِﺮ ﯾَﻀ ِْﺮﺑُﻮنَ ِﺑﮭَﺎ اﻟﻨ
ِ ط َﻛﺄ َ ْذﻧَﺎ
ٌ ﻗَﻮْ ٌم َﻣ َﻌ ُﮭ ْﻢ ِﺳﯿَﺎ: ﱠﺎر َﻟ ْﻢ أ َرَ ُھﻤَﺎ
ِ ﺻ ْﻨﻔَﺎنِ ﻣِ ﻦْ أ َ ْھ ِﻞ اﻟﻨ
ِ »
«
‘Dua kelompok manusia penghuni neraka yang belum pernah aku lihat, (yaitu)
golongan orang-orang yang membawa cemeti seperti buntut sapi, mereka memukuli
manusia dengannya ....’.”
Dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda kepada Abu Hurairah
Radhiyallahu ‘Anhu:
« "اﻟﺰﻧَﺎ
ّ ِ َﻈﮭَﺮ
ْ "وَ َﯾ: وَ ذَﻛَﺮَ ﻣِ ْﻨﮭَﺎ.... : ﻋ ِﺔ
َ » إنﱠ ﻣِ ﻦْ أَﺷْﺮَ اطِ اﻟﺴﱠﺎ
‘Sesungguhnya diantara tanda-tanda Kiamat adalah .........’ dan beliau Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam menyebutkan diantaranya : ‘Merebaknya perzinaan’.”
14. Riba Merajalela
Dalam Shahih al-Bukhari dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu bahwa
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
« ٍﱠﺎس زَ ﻣَﺎنٌ ﻻَ ﯾُﺒَﺎﻟِﻰ ا ْﻟﻤَﺮْ ُء ِﺑﻤَﺎ أ َ َﺧﺬَ ا ْﻟﻤَﺎ َل ِﺑ َﺤﻼَ ٍل أ َ ْم ِﺑﺤَﺮَ ام
ِ ﻋﻠَﻰ اﻟﻨ
َ » ﻟَﯿَﺄ ْ ِﺗﯿَﻦﱠ
“Sungguh akan datang suatu zaman pada manusia, seseorang tidak peduli (lagi)
dengan (status) kehalalan atau keharaman harta yang ia peroleh”
« ﺖ ا ْﻟﯿَﮭُﻮ ُد وَ اﻟﻨﱠﺼَﺎرَ ى
ِ َ» ﻟَﺘ ُﺰَ ﺧْ ِﺮﻓُﻨﱠﮭَﺎ َﻛﻤَﺎ زَ ﺧْ ﺮَ ﻓ
“Sungguh kamu akan menghiasinya (yaitu: masjid-masjidmu) sebagaimana bangsa Yahudi dan
Nashrani menghias (tempat-tempat ibadah mereka).” HR. Al-Bukhari secara mu’allaq.
Selain Hadis-hadis di atas, di antara tanda tanda Hari Kiamat Kecil ialah muncul banyak
fitnah, banyak terjadi pembunuhan, perbuatan hina merajalela, perbuatan keji dan
kemungkaran seperti zina, minum arak, perjudian, merasa bangga dengan perbuatan buruk
dilakukan secara terang-terangan. Sehingga, orang yang berpegang teguh pada agamanya
bagaikan orang yang menggenggam bara api. Selain itu, di antara tanda tanda hari kiamat kecil
lainnya ialah dicabutnya ilmu, banyaknya kebodohan, kuantitas kaum perempuan banyak
sekali, kaum laki-laki hanya sedikit, sutra banyak dipakai, banyak orang menjadi penyanyi,
seseorang melewati kuburan orang lain, lalu dia berkata, “Seandainya saja aku berada di posisi
dia.”
Tanda tanda hari kiamat kecil lainnya adalah munculnya para dai yang menyesatkan,
para pemimpin yang menyimpang, amanat disia-siakan dengan diserahkan kepada orang yang
bukan ahlinya. Minimnya kebaikan, jarang hujan, sering terjadi gempa, banjir, harga-harga
barang sangat tinggi, para perempuan keluar dengan tidak berpakaian, berpakaian namun
telanjang. Di samping itu, tanda tanda hari kiamat kecil lainnya adalah waktu berjalan terasa
cepat, sehingga setahun seakan-akan hanya sebulan, sebulan seakan-akan hanya satu jam, dan
satu jam bagaikan bara api yang membakar. Al-Qur’an pun menjadi lenyap, yang tersisa
hanyalah tulisannya, mushaf-mushaf dihias dengan emas, kaum perempuan jadi pembicara,
dan masjid-masjid juga dihias. Gimana? Adakah tanda tanda hari kiamat kecil itu hadir di
sekeliling Anda? Selain kiamat kecil, ada juga kiamat besar.
Tanda-tanda Kiamat Besar, yaitu:
1. Terbitnya Matahari dari Arah Barat. Rasulullah SAW bersabda, “Kiamat tidak akan
datang, sebelum matahari terbit dari arah Barat. Apabila orang-orang melihat hal ini, maka
semua orang yang ada di atasnya beriman. Hal ini pada saat tidak berguna lagi iman
seseorang yang memang belum beriman sebelum itu, atau (belum) berusaha berbuat
kebajikan dengan imannya itu”.
2. Kabut. Kabut tebal memenuhi antara langit dan bumi yang muncul sebelum kiamat datang,
dimana akan mengambil nafas orang-orang kafir, sehingga mereka hampir tercekik
sedangkan bagi orang-orang mukmin seperti mengalami pilek. Kabut ini berlangsung di
bumi selama 40 hari.
3. Munculnya Binatang yang Dapat Berbicara dengan Manusia. Keluarnya binatang dari
dalam bumi yang dapat berbicara dengan manusia dengan bahasa yang fasih, yang dimana
bahasa itu dapat dipahami oleh semua yang mendengarnya. Binatang atau Dabbah ini
muncul di akhir zaman saat manusia telah mengalami kebobrokan. Di mana para manusia
meninggalkan perintah-perintah Allah SWT, dan mengganti agama yang benar. Dabbah
keluar dengan membawa tongkat Nabi Musa ‘alaihissalam dan cincin Nabi Sulaiman
‘alaihissalam. Dan wajah orang mukmin menjadi terang berkat tongkat tersebut, sehingga
dapat dikenali antara orang mukmin dan orang kafir.
4. Munculnya al-Masih Dajjal. Dinamai al-A’war ad-Dajjal karena dia buta sebelah matanya
yang kanan. Fitnahnya merupakan fitnah terbesar yang menimpa orang-orang di akhir
zaman. Al-A’war ad-Dajjal tidak hanya mengaku-aku sebagai nabi, bahkan dia juga
mengaku-aku sebagai Tuhan. Muncul beberapa hal-hal yang luar biasa melalui kedua
tangannya sebagai bentuk istidraj dari Allah Subhanahu wa Ta’ala kepadanya dan sebagai
ujian bagi para manusia. Dia mengelilingi seluruh permukaan bumi. Semua daerah yang
dia masuki pasti dia berbuat kerusakan di dalamnya, kecuali Mekah dan Madinah.
5. Keluarnya Yajug Ma’juj. Ya’juj Ma’juj merupakan kabilah dari keturunan Yafits bin Nuh.
Mereka keluar di akhir zaman setelah dinding penghalang yang dibuat oleh Dzulqarnain
jebol. Lantas mereka membuat kerusakan di muka bumi dengan berbagai macam tindakan
keji dan kerusakan. Saking banyaknya, mereka memakan makanan dan tanaman apa saja
yang dijumpainya dan meminum danau Thabariyah sampai seakan-akan tidak pernah ada
airnya.
6. Keluarnya Api yang Menggiring Manusia ke Padang Mahsyar. Api ini keluar dari tanah
‘Adn, merupakan api besar yang menakutkan. Tidak ada sesuatu pun yang dapat
memadamkannya. Api ini menggiring manusia ke padang Mahsyar.
Itu tadi tanda tanda kiamat besar. Anda dapat memohon kepada Allah Subhanahu wa
Ta’ala agar diselamatkan dari api baik di dunia dan akhirat. Semoga Allah menyelamatkan diri
ini dari ngerinya kiamat karena anugerah-Nya dan kemuliaan-Nya.
Para ulama berbeda pendapat terkait urutan terjadinya tanda-tanda kiamat. Imam Al-
Qurṭūbī mengatakan, tanda-tanda kiamat besar yang disebutkan secara bersamaan dalam
hadits-hadits di atas tidaklah berurutan, tidak terkecuali riwayat Muslim dari Hudzaifah. Salah
satu hadits sahih yang berkaitan dengan kiamat (as-sāʽah) yang pasti adalah hadits yang
diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Sahihnya dan juga diriwayatkan oleh beberapa perawi
hadits serta diakui oleh para ulama adalah hadits berikut, yaitu:
، ﻛﺎﻧﻮا ﻋﻠﻰ ﺣﺬر ﻣﻨﮭﺎ،واﻟﺴﺒﺐ ﻓﻲ إﺧﻔﺎء اﻟﺴﺎﻋﺔ ﻋﻦ اﻟﻌﺒﺎد؟ أﻧﮭﻢ إذا ﻟﻢ ﯾﻌﻠﻤﻮا ﻣﺘﻰ ﺗﻜﻮن
ﻻ: ﺛﻢ إﻧﮫ ﺗﻌﺎﻟﻰ أﻛﺪ ھﺬا اﻟﻤﻌﻨﻰ ﻓﻘﺎل، وأزﺟﺮ ﻋﻦ اﻟﻤﻌﺼﯿﺔ/ ،ﻓﯿﻜﻮن ذﻟﻚ أدﻋﻰ إﻟﻰ اﻟﻄﺎﻋﺔ
ﻻ ﯾﻈﮭﺮھﺎ ﻓﻲ وﻗﺘﮭﺎ اﻟﻤﻌﯿﻦ إﻻ: واﻟﻤﻌﻨﻰ،ﯾﺠﻠﯿﮭﺎ ﻟﻮﻗﺘﮭﺎ اﻟﺘﺠﻠﯿﺔ إظﮭﺎر اﻟﺸﻲء واﻟﺘﺠﻠﻲ ظﮭﻮره
.ھﻮ أي ﻻ ﯾﻘﺪر ﻋﻠﻰ إظﮭﺎر وﻗﺘﮭﺎ اﻟﻤﻌﯿﻦ ﺑﺎﻹﻋﻼم واﻹﺧﺒﺎر إﻻ ھﻮ
“Adapun sebab dirahasiakannya kiamat dari seorang hamba adalah jika mereka tidak
mengetahui waktu terjadinya kiamat, maka mereka akan senantiasa menjadikannya sebagai
peringatan. Maka hal itu akan lebih dekat dengan ketaan dan menghindari dari maksiat.
Kemudian sungguh Allah SWT menguatkan makna ini dengan potongan ayat, ‘Tidak
seorangpun yang dapat menjelaskan waktu kedatangannya.’ Makna dari al-tajliyah adalah
menjelaskan kedatangan sesuatu. Maksudnya, tidak akan dijelaskan waktu kejadian tersebut
secara terperinci kecuali Allah SWT, yakni tidak ada yang kuasa menjelaskan waktu terjadinya
kiamat dengan kabar dan pemberitahuan kecuali Allah SWT,”
Maka dari itu, cara bijak memahami dan mempertemukan hadits-hadits tentang kiamat
yang berbeda-beda tersebut adalah dengan meninjau maksud nabi (maqasidi) ketika
menyebutkan tanda-tanda tersebut kepada para sahabat. Saat itu para sahabat masih bertanya-
tanya tentang kebenaran adanya kiamat. Jawaban Rasul SAW dengan menyebutkan tanda-
tanda tersebut bertujuan agar para sahabat tidak menghabiskan waktunya untuk selalu
memikirkan kiamat. Selain itu, ketidakpastian tanda-tanda kiamat yang ada dalam hadits Rasul
SAW ini hanya sebagai penguat bahwa kiamat memang ada, tetapi tidak akan disebutkan kapan
terjadi. Semuanya ini bertujuan agar orang Mukmin senantiasa beribadah kapan dan di mana
saja tanpa mengenal waktu. Jika kiamat dan tanda-tandanya sudah jelas, maka setiap orang
akan meremehkan ibadahnya dan hanya beribadah ketika mendekati kiamat.
Selain itu, al-Qur’an bukanlah penghambat dalam mengembangkan ilmu pengetahuan
dan teknologi penjelasan kiamat atau kehancuran alam di atas sejalan dengan pendekatan ilmu
pengetahuan. Dengan pendekatan itu, diharapkan kiamat dapat dijelaskan secara lebih rasional
lagi dengan menggunakan berbagai teori-teori dan penemuan-penemuan ilmu pengetahuan
yang modern dengan masih berpijak pada al-Qur’an sebagai petunjuk untuk manusia. Sehingga
antara al-Qur’an dan ilmu pengetahuan akan saling melengkapi dengan menghilangkan
dikotomi di antara keduanya. Oleh karena itu, bagi para ilmuwan dan umat Islam pada
umumnya serta penyusun pada khususnya, dapatlah mengembangkan diri dan bangkit serta
kembali menguasai ilmu pengetahuan, sesuai dengan disiplin ilmu yang dikuasai atau
diketahui.
Kiamat merupakan peristiwa yang bila ditinjau dari sisi sains, maka potensi alam
semesta ini berakhir akan sangat mungkin terjadi. Salah satu peristiwa alam yang menandai
awal kiamat ialah guncangan dahsyat. Dalam buku Tafsir Ilmi “Kiamat dalam perspektif Al-
Quran dan Sains” yang disusun oleh Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Quran, Badan Litbang &
Diklat Kementerian Agama RI dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
mengungkap mengenai keadaan Bumi pada hari Kiamat. Ada tanda-tanda yang bisa diamati
oleh mata manusia sebelum terjadinya kiamat. Ilmuwan bahkan telah mengemukakan skema-
skema yang terjadi seperti Bumi bertabrakan dengan planet lain atau hantaman asteroid dan
sebagainya.
Apapun skema atau teori yang diungkap ilmuwan, terdapat kekacauan besar yang akan
dialami oleh Bumi. Salah satunya ialah guncangan yang dahsyat yang terjadi di Bumi. Ayat
Al-Quran telah mengungkap mengenai peristiwa kiamat tersebut. “Apabila bumi digoncangkan
dengan goncangan (yang dahsyat), dan bumi telah mengeluarkan beban-beban berat (yang
dikandung)-nya.” (QS. Az-Zalzalah:1-2). Kata az-Zalzalah (guncangan yang dahsyat) adalah
ism masdar (bentuk kata benda) dari zalzala – yuzalzilu – zalzalatan, yang mengguncangkan.
Dengan demikian, az-zalzalah berarti guncangan. Karena penyebutannya dalam Surah az-
Zalzalah diikuti oleh maf’ul mutlaq, maka kata ini dimaknai sebagai guncangan hebat yang
terjadi di seluruh penjuru Bumi. Dalam Al-Quran, kata ini dengan semua bentuk jadiannya
disebut sebanyak 6 kali, dua kali di antaranya disebut dalam Surah az-Zalzalah ayat 1. Ayat ini
menerangkan bahwa peristiwa kiamat diawali dengan guncangan yang dahsyat yang meliputi
seluruh Bumi. Fenomena gempa ini berbeda dengan yang selama ini terjadi, hanya bersifat
lokal dan tidak menyeluruh ke seantero Bumi. Peristiwa ini menjadi penanda yang
mengingatkan manusia bahwa akhir kehidupan dunia telah datang, yang diikuti kemudian oleh
kehidupan akhirat.
KEGIATAN BELAJAR 4
QADHA DAN QADAR
Pokok-Pokok Materi
Konsep tentang Keimanan kepada Qadha dan Qadhar, Takdir, Pengertian Mubram dan
Muallaq, Arti Kebebasan Manusia.
URAIAN MATERI
A. Pengertian Qadha dan Qadar
Kita sejak lama menggunakan kata “qadha” dan “qadar”. kepercayaan terhadap konsep
kata ini juga merupakan salah satu rukun iman dalam agama Islam. Kita sering menggunakan
kedua kata itu secara bergantian untuk sebuah pengertian yang sama. Tetapi ulama menyimpan
penjelasan kedua kata tersebut yang mengandung pengertian berbeda. Di samping memiliki
pengertian berbeda, kata “qadha” dan “qadar” juga dipahami secara berbeda oleh para ulama
tauhid atau mutakallimin. Dengan kata lain, kelompok Asyariyyah, kelompok Maturidiyyah,
dan sejumlah kelompok ulama lainnya berbeda pendapat perihal pengertian kata “qadha” dan
“qadar”. Imam Nawawi mengatakan bahwa:
اﺧﺘﻠﻔﻮا ﻓﻲ ﻣﻌﻨﻰ اﻟﻘﻀﺎء واﻟﻘﺪر ﻓﺎﻟﻘﻀﺎء ﻋﻨﺪ اﻷﺷﺎﻋﺮة إرادة ﷲ اﻷﺷﯿﺎء ﻓﻲ اﻷزل ﻋﻠﻰ ﻣﺎ
ھﻲ ﻋﻠﯿﮫ ﻓﻲ ﻏﯿﺮ اﻷزل واﻟﻘﺪر ﻋﻨﺪھﻢ إﯾﺠﺎد ﷲ اﻷﺷﯿﺎء ﻋﻠﻰ ﻗﺪر ﻣﺨﺼﻮص ﻋﻠﻰ وﻓﻖ اﻹرادة
“Ulama tauhid atau mutakallimin berbeda pendapat perihal makna qadha dan qadar.
Qadha menurut ulama Asy’ariyyah adalah kehendak Allah atas sesuatu pada azali untuk sebuah
‘realitas’ pada saat sesuatu di luar azali kelak. Sementara qadar menurut mereka adalah
penciptaan (realisasi) Allah atas sesuatu pada kadar tertentu sesuai dengan kehendak-Nya pada
azali.” Iman kepada Qadla dan Qadar adalah termasuk pokok-pokok iman yang enam (Ushûl
al-Îmân as-Sittah) yang wajib kita percayai sepenuhnya. Belakangan ini telah timbul beberapa
orang atau beberapa kelompok yang mengingkari Qadla dan Qadar dan berusaha
mengaburkannya, baik melalui tulisan-tulisan, maupun di bangku-bangku kuliah. Tentang
kewajiban iman kepada Qadla dan Qadar, dalam sebuah hadits shahih Rasulullah bersabda:
Dengan demikian segala apapun yang dikehendaki oleh Allah terhadap kejadiannya
maka semua itu pasti terjadi. Karena bila ada sesuatu yang terjadi di luar kehendak-Nya, maka
hal itu menunjukkan akan kelemahan, padahal sifat lemah itu mustahil bagi Allah. Bukankah
Allah maha kuasa?! Maka di antara bukti kekuasaannya adalah bahwa segala sesuatu yang
dikehendaki-Nya pasti terlaksana. Oleh karena itu, dari sudut pandang syara’ dan akal,
terjadinya segala sesuatu yang dikehendaki oleh Allah akan kejadiannya adalah perkara yang
wajib adanya. Dalam hal ini Allah berfirman:
Makna firman Allah “illā lī-ya’budūn” dalam ayat di atas artinya “illā lī-‘āmurahum
bi ‘ibādatī”, artinya bahwa Allah menciptakan manusia dan jin tidak lain ialah untuk Dia
perintah mereka agar beribadah kepada-Nya. Makna ayat ini bukan “Aku (Allah) ciptakan
manusia dan jin melainkan aku berkehendak pada mereka untuk menyembah-Ku”. Karena jika
diartikan bahwa Allah berkehendak dari seluruh manusia dan jin untuk beriman atau beribadah
kepada-Nya, maka berarti kehendak Allah dikalahkan oleh kehendak orang-orang kafir, karena
pada kenyataannya tidak semua hamba beriman dan beribadah kepada Allah, tapi ada di antara
mereka yang kafir dan menyembah selain Allah. Tentunya mustahil jika kehendak Allah
dikalahkan oleh kehendak makhluk-makhluk-Nya sendiri.
Syekh M Nawawi Banten memberikan contoh konkret qadha dan qadar menurut
kelompok Asyariyyah. Qadha adalah putusan Allah pada azali bahwa kelak kita akan menjadi
apa. Sementara qadar adalah realisasi Allah atas qadha terhadap diri kita sesuai kehendak-Nya.
ﻓﺈرادة ﷲ اﻟﻤﺘﻌﻠﻘﺔ أزﻻ ﺑﺄﻧﻚ ﺗﺼﯿﺮ ﻋﺎﻟﻤﺎ ﻗﻀﺎء وإﯾﺠﺎد اﻟﻌﻠﻢ ﻓﯿﻚ ﺑﻌﺪ وﺟﻮدك ﻋﻠﻰ وﻓﻖ اﻹرادة
ﻗﺪر
“Kehendak Allah yang berkaitan pada azali, misalnya kau kelak menjadi orang alim
atau berpengetahuan adalah qadha. Sementara penciptaan ilmu di dalam dirimu setelah ujudmu
hadir di dunia sesuai dengan kehendak-Nya pada azali adalah qadar,”
وﻗﻮل اﻷﺷﺎﻋﺮة ھﻮ اﻟﻤﺸﮭﻮر وﻋﻠﻰ ﻛﻞ ﻓﺎﻟﻘﻀﺎء ﻗﺪﯾﻢ واﻟﻘﺪر ﺣﺎدث ﺑﺨﻼف ﻗﻮل اﻟﻤﺎﺗﺮﯾﺪﯾﺔ
وﻗﯿﻞ ﻛﻞ ﻣﻨﮭﻤﺎ ﺑﻤﻌﻨﻰ إرادﺗﮫ ﺗﻌﺎﻟﻰ
“Pandangan ulama Asy’ariyyah cukup masyhur. Atas setiap pandangan itu, yang jelas
qadha itu qadim (dulu tanpa awal). Sementara qadar itu hadits (baru). Pandangan ini berbeda
dengan pandangan ulama Maturidiyyah. Ada ulama berkata bahwa qadha dan qadar adalah
pengertian dari kehendak-Nya.”
Hanya saja yang perlu diperhatikan adalah bahwa qadha merupakan sesuatu yang
ghaib. Oleh karena itu, dalam tradisi ahlussunnah wal jamaah keyakinan kita atas qadha dan
qadar itu tidak boleh menjadi alasan kita untuk bersikap pasif. Tradisi ahlussunnah wal jamaah
justru mendorong kita untuk melakukan ikhtiar dan upaya-upaya manusiawi serta
mendayagunakan secara maksimal potensi yang Allah anugerahkan kepada manusia sambil
tetap bersandar memohon inayah-Nya. Misalnya, pada usia belasan dalam tradisi Islam
Nusantara sering mendengar doa dan sedekah sebagai tolak bala.
B. Takdir: Mubram dan Muallaq
Di atas telah dijelaskan bahwa segala sesuatu terjadi dengan kehendak Allah. Apa bila
Allah menghendaki sesuatu akan terjadi pada seorang hamba-Nya, maka pasti sesuatu itu akan
menimpanya, sekalipun orang tersebut bersedekah, berdoa, bersilaturrahim, dan berbuat baik
kepada sanak kerabatnya; kepada ibunya, dan saudara-saudaranya, atau lainnya. Artinya, apa
yang telah ditentukan oleh Allah tidak dapat dirubah oleh amalan-amalan kebaikan bentuk
apapun. Adapun hadits Rasulullah yang berbunyi:
Qadla di dalam hadits di atas adalah Qadlā Mu’allaq. Di sini harus kita ketahui bahwa
Qadla terbagi kepada dua bagian: Qadlā Mubram dan Qadlā Mu’allaq. Pertama: Qadlā
Mubram, ialah ketentuan Allah yang pasti terjadi dan tidak dapat berubah. Ketentuan ini hanya
ada pada Ilmu Allah, tidak ada siapapun yang mengetahuinya selain Allah sendiri, seperti
ketentuan mati dalam keadaan kufur (asy-Syaqāwah), dan mati dalam keadaan beriman (as-
Sa’ādah), ketentuan dalam dua hal ini tidak berubah. Seorang yang telah ditentukan oleh Allah
baginya mati dalam keadaan beriman maka itulah yang akan terjadi baginya, tidak akan pernah
berubah. Sebaliknya, seorang yang telah ditentukan oleh Allah baginya mati dalam keadaan
kufur maka pasti itulah pula yang akan terjadi pada dirinya, tidak ada siapapun, dan tidak ada
perbuatan apapun yang dapat merubahnya. Allah berfirman:
Kedua, Qadlā Mu’allaq, yaitu ketentuan Allah yang berada pada lambaran-lembaran
para Malaikat, yang telah mereka kutip dari al-Lauh al-Mahfuzh, seperti si fulan apa bila ia
berdoa maka ia akan berumur seratus tahun, atau akan mendapat rizki yang luas, atau akan
mendapatkan kesehatan, dan seterusnya. Namun, misalkan si fulan ini tidak mau berdoa, atau
tidak mau bersillaturrahim, maka umurnya hanya enam puluh tahun, ia tidak akan mendapatkan
rizki yang luas, dan tidak akan mendapatkan kesehatan. Inilah yang dimaksud dengan Qadlâ
Mu’allaq atau Qadar Mu’allaq, yaitu ketentuan-ketentuan Allah yang berada pada lebaran-
lembaran para Malaikat. Dari uraian ini dapat dipahami bahwa doa tidak dapat merubah
ketentuan (Taqdīr) Allah yang Azali yang merupakan sifat-Nya, karena mustahil sifat Allah
bergantung kepada perbuatan-perbuatan atau doa-doa hamba-Nya. Sesungguhnya Allah maha
mengetahui segala sesuatu, tidak ada suatu apapun yang tersembunyi dari-Nya, dan Allah maha
mengetahui perbuatan manakah yang akan dipilih oleh si fulan dan apa yang akan terjadi
padanya sesuai yang telah tertulis di al-Lauh al-Mahfuzh. Namun demikian doa adalah sesuatu
yang diperintahkan oleh Allah atas para hamba-Nya. Dalam al-Qur’an Allah berfirman:
ﻋﻨِّﻲ ﻓَﺈِﻧِّﻲ ﻗ َِﺮﯾﺐٌ أ ُﺟِ ﯿﺐُ دَﻋْﻮَ ة َ اﻟﺪﱠاعِ إِذَا دَﻋَﺎنِ ﻓَ ْﻠﯿَ ْﺴﺘ َﺠِ ﯿﺒُﻮا ﻟِﻲ وَ ْﻟﯿُﺆْ ﻣِ ﻨُﻮا ﺑِﻲ
َ ﺳﺄَﻟَﻚَ ِﻋﺒَﺎدِي
َ وَ إِذَا
َﺷﺪُون
ُ ْﻟَﻌَﻠﱠ ُﮭ ْﻢ ﯾَﺮ
Ayat di atas menjelaskan bahwa seorang yang berdoa tidak akan sia-sia belaka. Ia pasti
akan mendapatkan salah satu dari tiga kebaikan; dosa-dosanya yang diampuni, permintaannya
yang dikabulkan, atau mendapatkan kebaikan yang disimpan baginya untuk di kemudian hari
kelak. Semua dari tiga kebaikan ini adalah merupakan kebaikan yang sangat berharga baginya.
Dengan demikian maka tidak mutlak bahwa setiap doa yang dipintakan oleh para hamba pasti
dikabulkan oleh Allah. Akan tetapi ada yang dikabulkan dan ada pula yang tidak dikabulkan.
Yang pasti, bahwa setiap doa yang dipintakan oleh seorang hamba kepada Allah adalah sebagai
kebaikan bagi dirinya sendiri, artinya bukan sebuah kesia-siaan belaka. Dalam keadaan apapun,
seorang yang berdoa paling tidak akan mendapatkan salah satu dari kebaikan yang telah kita
sebutkan di atas.
Pada nisfyu Sya’ban, dari dulu tradisi Islam Nusantara juga mengajukan tiga
permintaan kepada Allah SWT. Bagaimana memahami semua pengertian itu di tengah tuntutan
keimanan pada takdir? Dari semua itu kemudian tradisi Islam Nusantara beranggapan bahwa
doa bermanfaat bagi putusan atau takdir Allah yang masih menggantung di Lauh Mahfuzh.
Terkait ini, selanjutnya dikenal dengan istilah takdir mubram dan takdir muallaq di kalangan
tradisi Islam Nusantara. Doa atau permintaan masyarakat dalam nisfu Syaban atau melalui
bentuk sedekah dipercaya oleh tradisi Islam Nusantara dapat “mengubah” bala yang
ditakdirkan Allah SWT akan menimpa mereka, terutama takdir muallaq yang realisasinya
sangat berkaitan erat dengan doa.
.واﻟﺪﻋﺎء ﯾﻨﻔﻊ ﻣﻤﺎ ﻧﺰل وﻣﻤﺎ ﻟﻢ ﯾﻨﺰل وإن اﻟﺒﻼء ﻟﯿﻨﺰل وﯾﺘﻠﻘﺎه اﻟﺪﻋﺎء ﻓﯿﺘﻌﺎﻟﺠﺎن إﻟﻰ ﯾﻮم اﻟﻘﯿﺎﻣﺔ
أﻣﺎ اﻟﺜﺎﻧﻰ ﻓﻼ اﺳﺘﺤﺎﻟﺔ ﻓﻲ رﻓﻊ ﻣﺎ ﻋﻠﻖ رﻓﻌﮫ.واﻟﺪﻋﺎء ﯾﻨﻔﻊ ﻓﻲ اﻟﻘﻀﺎء اﻟﻤﺒﺮم واﻟﻘﻀﺎء اﻟﻤﻌﻠﻖ
ﻣﻨﮫ ﻋﻠﻰ اﻟﺪﻋﺎء وﻻ ﻓﻲ ﻧﺰول ﻣﺎ ﻋﻠﻖ ﻧﺰوﻟﮫ ﻣﻨﮫ ﻋﻠﻰ اﻟﺪﻋﺎء
“Doa bermanfaat terhadap apa yang datang dan apa yang belum datang (dari langit).
Bala pun akan datang dan bertemu dengan doa. Keduanya (bala dan doa) senantiasa
‘berperang’ hingga hari qiamat. Doa bermanfaat pada qadha mubram dan qadha muallaq.
Perihal yang kedua (qadha muallaq), maka tidak mustahil menghilangkan apa (putusan) yang
penghilangannya digantungkan pada doa dan tidak mustahil mendatangkan apa (putusan) yang
penghadirannya digantungkan pada doa.”
Situasi takdir muallaq berlainan dengan takdir mubram. Doa tidak dapat mengubah
kenyataan yang digariskan dalam takdir mubram. Meskipun demikian, doa dipercaya dapat
meminimalisir dampak bala yang timbul karena takdir mubram.
وأﻣﺎ اﻷول ﻓﺎﻟﺪﻋﺎء وإن ﻟﻢ ﯾﺮﻓﻌﮫ ﻟﻜﻦ ﷲ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﯾﻨﺰل ﻟﻄﻔﮫ ﺑﺎﻟﺪاﻋﻰ ﻛﻤﺎ إذا ﻗﻀﻰ ﻋﻠﯿﮫ ﻗﻀﺎء
ﻣﺒﺮﻣﺎ ﺑﺄن ﯾﻨﺰل ﻋﻠﯿﮫ ﺻﺨﺮة ﻓﺈذا دﻋﺎ ﷲ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﺣﺼﻞ ﻟﮫ اﻟﻠﻄﻒ ﺑﺄن ﺗﺼﯿﺮ اﻟﺼﺨﺮة ﻣﺘﻔﺘﺘﺔ
ﻛﺎﻟﺮﻣﻞ وﺗﻨﺰل ﻋﻠﯿﮫ
“Adapun perihal pertama (qadha mubram), (peran) doa meskipun tidak dapat
menghilangkan bala, tetapi Allah mendatangkan kelembutan-Nya untuk mereka yang berdoa.
Misalnya, ketika Allah menentukan qadha mubram kepada seseorang, yaitu kecelakaan berupa
tertimpa batu besar, ketika seseorang berdoa kepada Allah, maka kelembutan Allah datang
kepadanya, yaitu batu besar yang jatuh menimpanya menjadi remuk berkeping-keping
sehingga dirasakan olehnya sebagai butiran pasir saja yang jatuh menimpanya.”
Meskipun takdir terbagi dua, muallaq dan mubram, kita sebagai manusia tidak
mengetahui mana takdir muallaq dan takdir mubram. Oleh karena itu, ahlusunnah wal jamaah
memandang doa sebagai ikhtiar manusiawi yang tidak boleh ditinggalkan sebagaimana pada
umumnya aliran ahlusunnah wal jamaah memandang perlunya ikhtiar dalam segala hal, bukan
menyerah begitu saja pada putusan takdir. Dari sini, kita dapat memahami tiga permintaan atau
doa yang lazim diamalkan masyarakat Indonesia di malam nisfu Syaban sebagai bentuk ikhtiar
dalam menolak bala dan ikhtiar dalam mendatangkan kemaslahatan.
واﻧﻘﺴﺎم اﻟﻘﻀﺎء إﻟﻰ ﻣﺒﺮم وﻣﻌﻠﻖ ظﺎھﺮ ﺑﺤﺴﺐ اﻟﻠﻮح اﻟﻤﺤﻔﻮظ وأﻣﺎ ﺑﺤﺴﺐ اﻟﻌﻠﻢ ﻓﺠﻤﯿﻊ اﻷﺷﯿﺎء
ﻣﺒﺮﻣﺔ ﻷﻧﮫ إن ﻋﻠﻢ ﷲ ﺣﺼﻮل اﻟﻤﻌﻠﻖ ﻋﻠﯿﮫ ﺣﺼﻞ اﻟﻤﻌﻠﻖ وﻻ ﺑﺪ وإن ﻋﻠﻢ ﷲ ﻋﺪم ﺣﺼﻮﻟﮫ ﻟﻢ
ﯾﺤﺼﻞ وﻻ ﺑﺪ ﻟﻜﻦ ﻻ ﯾﺘﺮك اﻟﺸﺨﺺ اﻟﺪﻋﺎء اﺗﻜﺎﻻ ﻋﻠﻰ ذﻟﻚ ﻛﻤﺎ ﯾﺘﺮك اﻷﻛﻞ اﺗﻜﺎﻻ ﻋﻠﻰ إﺑﺮام
ﷲ اﻷﻣﺮ ﻓﻰ اﻟﺸﺒﻊ
“Pembagian qadha menjadi mubram dan muallaq itu tampak pada Lauh Mahfuzh.
Adapun dari sisi ilmu Allah, semua putusan itu bersifat mubram karena ketika Allah
mengetahui datangnya putusan muallaq, maka hasillah muallaq tersebut, dan tidak boleh tidak
ketika Allah mengetahui ketiadaan putusan muallaq, maka tiadalah muallaq tersebut. Tetapi
manusia tiada jalan lain, seseorang tidak boleh meninggalkan doa hanya karena bersandar pada
putusan qadha tersebut sebagaimana larangan seseorang untuk meinggalkan makan karena
bersandar pada putusan Allah perihal kenyang.”
Sementara aliran muktazilah tidak mempercayai peran dan manfaat doa karena kata
‘doa’ dalam Al-Quran itu adalah ibadah secara umum. “Siapa saja yang beribadah, niscaya
Allah akan menerimanya,” menurut mereka. Mereka tidak mengartikan ayat itu demikian,
“Siapa saja yang berdoa, niscaya Allah akan mengabulkannya.”
وأﻣﺎ ﻋﻨﺪ اﻟﻤﻌﺘﺰﻟﺔ ﻓﺎﻟﺪﻋﺎء ﻻ ﯾﻨﻔﻊ وﻻ ﯾﻜﻔﺮون ﺑﺬﻟﻚ ﻷﻧﮭﻢ ﻟﻢ ﯾﻜﺬﺑﻮا اﻟﻘﺮآن ﻛﻘﻮﻟﮫ ﺗﻌﺎﻟﻰ ادﻋﻮﻧﻲ أﺳﺘﺠﺐ ﻟﻜﻢ ﺑﻞ
أوﻟﻮا اﻟﺪﻋﺎء ﺑﺎﻟﻌﺒﺎدة واﻹﺟﺎﺑﺔ ﺑﺎﻟﺜﻮاب
“Bagi kalangan Muktazilah, doa tidak memberikan manfaat. Tetapi mereka tidak jatuh
dalam kekufuran dengan pandangan demikian karena mereka tidak mendustakan Al-Quran
perihal ini seperti ayat ‘Serulah Aku, niscaya Aku membalasnya.’ Mereka menakwil kata
‘seruan’ dengan ibadah, dan ‘balasan’ dengan pahala.” Meskipun demikian, kelompok
ahlusunnah wal jamaah Asy’ariyah tidak menempatkan aliran muktazilah ke dalam aliran
kufur karena mereka masih meyakini Al-Quran sebagai wahyu Allah. Semua pengertian yang
diangkat oleh pendukung kelompok ahlusunnah wal jamaah Asy’ariyah ini dimaksudkan agar
umat Islam tidak salah paham menempatkan signifikansi doa, peran ikhtiar manusia, dan dapat
meningkatkan keimanan terhadap takdir di tengah peran atau ikhtiar manusiawi. Semua ini
dijelaskan oleh pendukung kelompok ahlusunnah wal jamaah asy’ariyah agar masyarakat sunni
tidak bersikap su'ul adab dan su'uzzhan kepada Allah.
C. Kebebasan Manusia dan Takdir
Hampir setiap orang menginginkan kemauannya terwujud baik itu kemauan baik
maupun kemauan buruk. Hanya saja ada kemauan tertentu yang dapat terwujud dengan syarat-
syarat tertentu. Di sini hukum kausalitas berlaku. Tetapi ada juga kemauan orang-orang tertentu
yang terwujud tanpa bergantung pada syarat apapun. Meski demikian, kemauan yang terwujud
itu tak mungkin bersalahan dengan takdir Allah SWT sebagai tampak pada hikmah berikut ini.
ﺳﻮاﺑﻖ اﻟﮭﻤﻢ ﻻ ﺗﺨﺮق أﺳﻮار اﻷﻗﺪار
Kalau mau dipetakan, menurut Syekh Zarruq kemauan manusia terdiri atas tiga macam.
Pertama, ada kemauan yang tinggal kemauan tanpa upaya dan tanpa hasil. Kemauan seperti
ini kerap kali kita dapati melekat pada banyak orang di sekitar kita terutama pada kebaikan
sehingga kita sering mendengar orang mengatakan, ‘Saya sebenarnya ingin sekali menghadiri
majelis taklim, menuntut ilmu,’ tanpa ada upaya riil. Kedua, kemauan kuat yang diiringi usaha
nyata dengan atau tanpa hasil. Ini kita temukan pada pegawai kantoran, petani, nelayan,
pemulung, pengusaha, dan seterusnya. Ketiga, kemauan kuat tanpa upaya, tetapi membawa
hasil. Kemauan seperti ini jarang kita temukan karena kemauan seperti ini hanya dimiliki oleh
para rasul, wali Allah, dan para wali setan seperti penyihir dan lain sebagainya.
ﻓﻘﺪ ﻗﺎل، ﺣﺴﺒﻤﺎ دﻟﺖ ﻋﻠﯿﮫ اﻟﻌﻘﻮل وﻗﻀﺎﯾﺎ اﻟﺸﺮع واﻟﻨﻘﻮل، ﺑﻞ ﺗﺪور ﻣﻊ اﻟﻘﺪر ﻛﯿﻔﻤﺎ دار: ﻗﻠﺖ
وﻗﺎل ﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ ﻛﻞ ﺷﻲء ﺑﻘﻀﺎء وﻗﺪر.ً ﺷ ْﻲءٍ ُﻣ ْﻘﺘَﺪِرا
َ ﻋﻠَﻰ ُﻛ ِّﻞ
َ ُﱠ َﷲ ﺗﻌﺎﻟﻰ وَ ﻛَﺎن
وھﻲ اﻟﺘﻰ ﺗﻘﺘﻀﻰ اﻟﻌﺰم واﻟﺤﺰم ﻣﻦ: اﻟﮭﻤﻢ اﻟﻘﻮاﺻﺮ: وأﻧﻮاع اﻟﮭﻤﻢ ﺛﻼﺛﺔ.ﺣﺘﻰ اﻟﻌﺠﺰ واﻟﻜﯿﺲ
، واﻟﮭﻤﻢ اﻟﻤﺘﻮﺳﻄﺔ وھﻲ اﻟﺘﻰ ﺗﻮﺟﺐ ﻣﻊ اﻟﻌﺰم ﻓﻌﻼ وﻣﻊ اﻟﺤﺰم ﻛﻤﺎﻻ. ﻏﯿﺮ ﻓﻌﻞ وﻻ اﻧﻔﻌﺎل
واﻟﮭﻤﻢ اﻟﺴﻮاﺑﻖ وھﻲ ﻗﻮى اﻟﻨﻔﺲ اﻟﻔﻌﺎﻟﺔ ﻓﻰ اﻟﻮﺟﻮد ﺑﻼ ﺗﻮﻗﻒ ﻛﻤﺎ.ﺳﻮاء وﻗﻊ اﻧﻔﻌﺎل أم ﻻ
ﯾﻜﻮن ﻣﻦ اﻟﻌﺎﺋﻦ ﻋﻦ ﺧﺒﺜﺔ وﻣﻦ اﻟﺴﺎﺣﺮ ﻋﻦ ﻋﻘﺪه وﻧﻔﺜﮫ وﻣﻦ اﻟﻤﺘﺮﯾﺾ ﻋﻦ ﺗﺠﺮﯾﺪ ﻗﻮى ﻧﻔﺴﮫ
وﻣﻦ اﻟﻮﻟﻲ ﻋﻦ ﺗﺤﻘﻘﮫ ﻓﻰ ﯾﻘﯿﻨﮫ إذ ﻻ ﯾﺘﻮﻗﻒ اﻧﻔﻌﺎل ﻓﻰ ﻛﻞ ﻋﻦ ﺣﺮﻛﺔ وذﻟﻚ ﺑﻘﻀﺎء وﻗﺪره ﻛﻤﺎ
ِ َﺎرﯾﻦَ ﺑِ ِﮫ ﻣِ ﻦْ أ َ َﺣ ٍﺪ إ ﱠِﻻ ﺑِﺈِذْنِ ﱠ
ّ ِ وﻗﺪ ﻗﺎل ﻓﻲ ﺣﻖ اﻟﺴﺤﺮة وَ ﻣَﺎ ُھ ْﻢ ﺑِﻀ.ھﻮ
“Menurut saya, kemauan keras itu dapat terjadi sesuai ke mana takdir itu berpihak. Hal
ini ditunjukkan oleh dalil aqli dan naqli seperti firman Allah, ‘Allah menentukan segala
sesuatu,’ dan sabda Rasulullah SAW, ‘Segala sesuatu itu sesuai dengan putusan dan takdir
termasuk kelemahan dan kecerdasan.’ Kemauan terbagi tiga. Pertama, kemauan lemah, yaitu
hasrat yang menghadirkan tekad dan keteguhan tanpa upaya nyata dan pengaruh konkret
(hasil). Kedua, kemauan standar, yaitu hasrat yang melahirkan upaya nyata di samping tekad,
dan totalitas di samping keteguhan baik berhasil atau tidak atas upaya dan tekadnya. Ketiga,
kemauan keras, yaitu hasrat berupa kekuatan jiwa yang berpengaruh dalam dunia nyata tanpa
tergantung pada sebab seperti ahli hipnotis dengan mata, penyihir berdasar simpul-simpul
peraga, mereka yang melatih konsentrasinya dengan memfokuskan pikiran, atau seorang wali
berdasarkan keyakinannya. Pengaruh dari kemauan keras mereka atas sesuatu dapat nyata
terjadi tanpa didasarkan pada gerak (upaya). Tetapi semua itu terjadi berdasarkan putusan dan
takdir Allah. Allah berfirman mengenai para penyihir pada Surat Al-Baqarah ayat 102,
‘Mereka tidak bisa memberi mudharat pada apapun selain dengan izin Allah.”
Kemauan keras atau kemauan pada kategori ketiga dapat dikategorikan menjadi dua.
Pertama, kemauan untuk tujuan baik (kemauan mulia) seperti mencari ridha Allah,
kemakrifatan, dan seterusnya. Kedua, kemauan untuk tujuan buruk (kemauan tercela) seperti
kesenangan duniawi dan seterusnya. Tetapi sekuat apapun kemauan keras itu, putusan dan
takdir Allah tetap mengatasinya sehingga para rasul, para wali Allah, dan hali makrifat lainnya–
ketika kemauan kerasnya tak terwujud–tetap menjaga adab waktu.
رﺟﺎﻻً ﻟﻮ أﻗﺴﻤﻮا وﻟﻤﺎ ﻛﺎﻧﺖ ھﻤﺔ اﻟﻔﻘﯿﺮ اﻟﻤﺘﺠﺮد ﻻ ﺗﺨﻄﻲء ﻓﻲ اﻟﻐﺎﻟﺐ ﻟﻘﻮﻟﮫ ﻋﻠﯿﮫ اﻟﺴﻼم أن
ً ﻋﻠﻰ ﷲ ﻷ ﺑﺮھﻢ ﻓﻲ ﻗﺴﻤﮭﻢ ﻗﺎل ﺷﯿﺨﻨﺎ و رﺟﺎل إذا اھﺘﻤﻮا ﺑﺎﻟﺸﻲء ﻛﺎن ﺑﺈذن ﷲ وﻗﺎل أﯾﻀﺎ
ﻋﻠﯿﮫ اﻟﺴﻼم اﺗﻘﻮا ﻓﺮاﺳﺔ اﻟﻤﺆﻣﻦ ﻓﺈﻧﮫ ﯾﻨﻈﺮ ﺑﻨﻮر ﷲ ﺧﺸﻰ اﻟﺸﯿﺦ أن ﯾﺘﻮھﻢ أﺣﺪ أن اﻟﮭﻤﺔ ﺗﺨﺮق
ﺳﻮر اﻟﻘﺪر وﺗﻔﻌﻞ ﻣﺎ ﻟﻢ ﯾﺠﺮ ﺑﮫ اﻟﻘﻀﺎء واﻟﻘﺪر ﻓﺮﻓﻊ ذﻟﻚ ﺑﻘﻮﻟﮫ ﺳﻮاﺑﻖ اﻟﮭﻤﻢ ﻻ ﺗﺨﺮق أﺳﻮار
اﻷﻗﺪار
واﻟﮭﻤﺔ ﻗﻮة اﻧﺒﻌﺎث اﻟﻘﻠﺐ ﻓﻲ طﻠﺐ اﻟﺸﻲء واﻻھﺘﻤﺎم ﺑﮫ ﻓﺈن ﻛﺎن ذﻟﻚ اﻷﻣﺮ رﻓﯿﻌﺎ ً ﻛﻤﻌﺮﻓﺔ ﷲ
وطﻠﺐ رﺿﺎه ﺳﻤﯿﺖ ھﻤﺔ ﻋﺎﻟﯿﺔ وإن أﻣﺮا ً ﺧﺴﯿﺴﺎ ً ﻛﻄﻠﺐ اﻟﺪﻧﯿﺎ وﺣﻈﻮظﮭﺎ ﺳﻤﯿﺖ ھﻤﺔ دﻧﯿﺔ
وﺳﻮاﺑﻖ اﻟﮭﻤﻢ ﻣﻦ إﺿﺎﻓﺔ اﻟﻤﻮﺻﻮف إﻟﻰ اﻟﺼﻔﺔ أي اﻟﮭﻤﻢ اﻟﺴﻮاﺑﻖ ﻻ ﺗﺨﺮق أﺳﻮار اﻷﻗﺪار أي
إذا اھﺘﻢ اﻟﻌﺎرف أو اﻟﻤﺮﯾﺪ ﺑﺸﻲء وﻗﻮﯾﺖ ھﻤﺘﮫ ﺑﺬﻟﻚ ﻓﺈن ﷲ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﯾﻜﻮن ذﻟﻚ ﺑﻘﺪرﺗﮫ ﻓﻲ ﺳﺎﻋﺔ
ﻓﮭﻤﺔ اﻟﻌﺎرف ﺗﺘﻮﺟﮫ ﻟﻠﺸﻲء ﻓﺈن وﺟﺪت اﻟﻘﻀﺎء ﺳﺒﻖ ﺑﮫ ﻛﺎن...واﺣﺪة ﺣﺘﻰ ﯾﻜﻮن أﻣﺮه ﺑﺄﻣﺮ
ذﻟﻚ ﺑﺈذن ﷲ وإن وﺟﺪت ﺳﻮر اﻟﻘﺪر ﻣﻀﺮوﺑﺎ ً ﻋﻠﯿﮫ ﻻ ﺗﺨﺮﻗﮫ ﺑﻞ ﺗﺘﺄدب ﻣﻌﮫ وﺗﺮﺟﻊ ﻟﻮﺻﻔﮭﺎ
وھﻲ اﻟﻌﺒﻮدﯾﺔ ﻓﻼ ﺗﺘﺄﺳﻒ وﻻ ﺗﺤﺰن ﺑﻞ رﺑﻤﺎ ﺗﻔﺮح ﻟﺮﺟﻮﻋﮭﺎ ﻟﻤﺤﻠﮭﺎ وﺗﺤﻘﻘﮭﺎ ﺑﻮﺻﻔﮭﺎ وﻗﺪ ﻛﺎن
ﺷﯿﺦ ﺷﯿﻮﺧﻨﺎ ﺳﯿﺪي ﻋﻠﻲ رﺿﻲ ﷲ ﻋﻨﮫ ﯾﻘﻮل ﻧﺤﻦ إذا ﻗﻠﻨﺎ ﺷﯿﺌﺎ ً ﻓﺨﺮج ﻓﺮﺣﻨﺎ ﻣﺮة واﺣﺪة وإذا
ﻟﻢ ﯾﺨﺮج ﻓﺮﺣﻨﺎ ﻋﺸﺮ ﻣﺮات وذﻟﻚ ﻟﺘﺤﻘﻘﮫ ﺑﻤﻌﺮﻓﺔ ﷲ ﻗﯿﻞ ﻟﺒﻌﻀﮭﻢ ﺑﻤﺎذا ﻋﺮﻓﺖ رﺑﻚ ﻗﺎل ﺑﻨﻘﺾ
اﻟﻌﺰاﺋﻢ وﻗﺪ ﯾﺤﺼﻞ ھﺬا اﻟﺘﺄﺛﯿﺮ ﻟﻠﮭﻤﺔ اﻟﻘﻮﯾﺔ وإن ﻛﺎن ﺻﺎﺣﺒﮭﺎ ﻧﺎﻗﺼﺎ ً ﻛﻤﺎ ﯾﻘﻊ ﻟﻠﻌﺎﯾﻦ واﻟﺴﺎﺣﺮ
ً ﻋﻦ ﺧﺒﺜﮭﻤﺎ أو ﻟﺨﺎﺻﯿﺔ ﺟﻌﻠﮭﺎ ﷲ ﻓﯿﮭﺎ إذا ﻧﻈﺮا ﻟﺸﻲء ﺑﻘﺼﺪ اﻧﻔﻌﻞ ذﻟﻚ ﺑﺈذن ﷲ وھﺬا ﻛﻠﮫ أﯾﻀﺎ
ﻻ ﯾﺨﺮق أﺳﻮار اﻷﻗﺪار ﺑﻞ ﻻ ﯾﻜﻮن إﻻ ﻣﺎ أراد اﻟﻮاﺣﺪ اﻟﻘﮭﺎر ﻗﺎل ﺗﻌﺎﻟﻰ "وﻣﺎ ھﻢ ﺑﻀﺎرﯾﻦ ﺑﮫ
ﻣﻦ أﺣﺪ إﻻ ﺑﺈذن ﷲ" وﻗﺎل ﺗﻌﺎﻟﻰ "إﻧﺎ ﻛﻞ ﺷﻲء ﺧﻠﻘﻨﺎه ﺑﻘﺪر وﻗﺎل ﺗﻌﺎﻟﻰ "وﻣﺎ ﺗﺸﺎؤن إﻻ أن
ﯾﺸﺎء ﷲ" وﻗﺎل ﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ ﻛﻞ ﺷﻲء ﺑﻘﻀﺎء وﻗﺪر ﺣﺘﻰ اﻟﻌﺠﺰ واﻟﻜﯿﺲ أي اﻟﻨﺸﺎط
ﻟﻠﻔﻌﻞ وأﺷﻌﺮ ﻗﻮﻟﮫ ﺳﻮاﺑﻖ أن اﻟﮭﻤﻢ اﻟﻀﻌﯿﻔﺔ ﻻ ﯾﻨﻔﻌﻞ ﻟﮭﺎ ﺷﻲء وھﻮ ﻛﺬﻟﻚ ﻓﻲ اﻟﺨﯿﺮ واﻟﺸﺮ
وﻓﻲ اﺳﺘﻌﺎرﺗﮫ اﻟﺨﺮق واﻷﺳﻮار ﻣﺎ ﯾﺸﻌﺮ ﺑﺎﻟﻘﻮة ﻓﻲ اﻟﺠﺎﻧﺒﯿﻦ ﻟﻜﻦ اﻟﺤﺎﺻﺮ ﻗﺎھﺮ ﻓﻼ ﻋﺒﺮة ﺑﻘﻮة
اﻟﻌﺒﺪ اﻟﻘﺎﺻﺮ وإذا ﻛﺎﻧﺖ اﻟﮭﻤﺔ ﻻ ﺗﺨﺮق أﺳﻮار اﻷﻗﺪار ﻓﻤﺎ ﺑﺎﻟﻚ ﺑﺎﻟﺘﺪﺑﯿﺮ واﻻﺧﺘﯿﺎر اﻟﺬي أﺷﺎر
.إﻟﯿﮫ ﺑﻘﻮﻟﮫ أرح ﻧﻔﺴﻚ ﻣﻦ اﻟﺘﺪﺑﯿﺮ ﻓﻤﺎ ﻗﺎم ﺑﮫ ﻏﯿﺮك ﻋﻨﻚ ﻻ ﺗﻘﻢ ﺑﮫ أﻧﺖ ﻟﻨﻔﺴﻚ
“Ketika kemauan keras seorang sufi yang tajrid (sebuah maqam di mana kebutuhannya tersedia
tanpa usaha) tak pernah meleset karena sabda Rasulullah SAW ‘Allah mempunyai sejumlah hamba yang
bila bersumpah atas nama-Nya niscaya Allah akan mewujudkannya,’ kata guru kami, ‘Allah mempunyai
sejumlah hamba yang bila menginginkan sesuatu niscaya terjadi berkat izin-Nya,’ dan sabda Rasulullah,
‘Takutlah kepada firasat orang beriman karena ia melihat dengan cahaya Allah,’ Syekh Ibnu Athaillah
khawatir seseorang mengira bahwa kemauan keras (himmah) mereka dapat menerobos pagar takdir dan
bergerak di luar ketentuan putusan dan takdir Allah. Karenanya Syekh Ibnu Athaillah mengangkat
hikmah, ‘Kemauan keras tak bisa menerobos pagar takdir...’ Kemauan (himmah) adalah kekuatan hati
yang tergugah dalam menuntut sesuatu dan memikirkannya. Bila sesuatu itu mulia, yaitu makrifatullah
dan pengharapan atas ridha-Nya, maka kemauan itu disebut himmah ‘aliyah. Tetapi jika sesuatu itu nista,
yaitu mengejar dunia dan bagian-bagian dari duniawi, maka kemauan itu disebut himmah daniyyah.
‘Sawabiqul himam’ merupakan pelekatan diterangkan (D) pada menerangkan (M). Maksud dari
‘Kemauan keras tak bisa menerobos pagar takdir’ adalah bila seorang arifin dan murid memikirkan
sesuatu dan berkemauan keras, niscaya Allah mewujudkannya seketika dengan kuasa-Nya hingga semua
urusannya menjadi urusan Allah. Kemauan al-arif billah mengarah pada sesuatu. Jika sesuai dengan
putusan Allah, maka kemauan itu akan terwujud dengan izin-Nya. Tetapi bila pagar takdir tertutup, maka
keinginan itu tak bisa menerobosnya tetapi justru ia menyesuaikan dengan adab yang seharusnya dalam
kondisi demikian terhadap Allah dan keinginan itu kembali pada sifatnya, yaitu penghambaan tanpa
penyesalan dan kesedihan. Bahkan ia menjadi senang karena keinginan itu kembali pada tempatnya dan
sesuai pada sifat aslinya. Guru dari guru kami, Syekh Ali RA berkata, ‘Kami bila ingin sesuatu dan
mengatakannya, lalu terwujud, kami sekali senang. Tetapi bila keinginan kami tak terwujud, maka kami
sepuluh kali lipat senangnya.’ Hal ini terjadi karena kesejatian makrifatullah orang tersebut. Ketika
ditanya, ‘Dengan apa kau kenal Tuhanmu?’ Seorang ulama menjawab, ‘Dengan pembatalan kemauan
dan hasrat (kami).’ Kemauan kuat dapat terwujud sekalipun orang yang menginginkannya tidak
sempurna seperti mereka yang mengandalkan kekuatan mata dan penyihir atau sebuah benda yang Allah
berikan keistimewaan padanya. Ketika keduanya memandang sesuatu dengan tujuan tertentu, maka
sesuatu yang dipandang itu akan berubah sesuai kemauan mereka berdua dengan izin Allah. Semua itu
juga takkan dapat menerobos pagar takdir. Itu terjadi hanya karena kehendak Allah yang maha esa dan
kuasa sesuai firman Allah, ‘Mereka tidak bisa mencelakai seorang pun kecuali dengan izin Allah,’
‘Sungguh, kami menciptakan sesuatu dengan takdir,’ ‘Tidaklah kalian berkehendak kecuali Allah
menghendaki,’ dan sabda Rasulullah SAW, ‘Setiap sesuatu mesti sesuai putusan dan takdir termasuk
lemah dan kecerdasan (maksudnya semangat bergerak).’ Hikmah ini menyatakan secara tersirat bahwa
kemauan yang kendur dan lemah tidak membekas apapun dalam kehidupan nyata sekalipun itu berupa
kebaikan maupun keburukan. Kata ‘menerobos’ dan ‘pagar’ mengisyaratkan kekuatan di kedua pihak.
Tetapi dinding yang memagari itu begitu perkasa sehingga tiada artinya kekuatan seorang hamba yang
serba terbatas. Kalau sebuah kemauan keras saja (dalam pengertian Syekh Zarruq) tidak bisa menerobos
pagar takdir, apa artinya gagasan yang masih dalam rencana dan upaya sebagai diisyaratkan dalam
hikmah Ibnu Athaillah berikutnya, ‘Rihatkan dirimu dari rencana-rencana. Apa yang dilakukan oleh
selainmu (Allah) untukmu, jangan lagi kau melakukannya.”
Meskipun semua terjadi berdasarkan kehendak Allah, kita tetap harus
mempertimbangkan hukum kausalitas, hukum alam sebagai ketetapan Allah. Pasalnya, hukum
kausalitas dan hokum alam sebagai sunatullah cukup kuat dan kuasa. Syekh M Said Ramadhan
Al-Buthi menjelaskan bahwa:
إن اﻟﺠﻮاب ﯾﺘﻠﺨﺺ ﻓﻲ أن اﻟﺘﻌﺎﻣﻞ ﻣﻊ ﷲ إﻧﻤﺎ ﯾﻜﻮن ﺑﺎﻻﻧﺴﺠﺎم ﻣﻊ أواﻣﺮه واﻟﺘﻌﺎﻣﻞ ﻣﻊ ﻧﻈﺎﻣﮫ
وإذا، وإذا ظﻤﺌﻨﺎ أن ﻧﺸﺮب، و ﻗﺪ أﻣﺮﻧﺎ إذا ﺟﻌﻨﺎ أن ﻧﺄﻛﻞ.اﻟﺬي أﻗﺎم ھﺬا اﻟﻜﻮن ﻋﻠﻰ أﺳﺎﺳﮫ
. وأن ﻧﺄﺧﺬ ﺣﺬرﻧﺎ ﻣﻤﺎ ﯾﺒﺪو أﻧﮫ ﺳﺒﺐ ﻟﻶﻻم أو اﻟﮭﻼك أو اﻷﺳﻘﺎم،ﻣﺮﺿﻨﺎ أن ﻧﺒﺤﺚ ﻋﻦ اﻟﺪواء
وأن ﻧﻌﻠﻢ أن ﷲ ھﻮ، وأن ﻻ ﺗﺄﺛﯿﺮ إﻻ ﺑﺤﻜﻢ ﷲ، ﺛﻢ أﻣﺮﻧﺎ أن ﻧﻌﻠﻢ ﻋﻠﻢ اﻟﯿﻘﯿﻦ أن ﻻ ﻓﺎﻋﻠﯿﺔ إﻻ
ُاﻟﺨﺎﻟﻖ ﻟﻜﻞ ﺷﻲء واﻵﻣﺮ ﻟﮫ ﺑﺄداء اﻟﻮظﯿﻔﺔ اﻟﺘﻲ وﻛﻠﺖ إﻟﯿﮫ أ ََﻻ ﻟَﮫُ ا ْﻟ َﺨﻠْﻖُ وَ ْاﻷ َﻣْ ﺮ
“Jawabannya dapat diringkas bahwa sikap kita terhadap Allah harus sesuai dengan
perintah-Nya. Sedangkan sikap kita terhadap sunatullah harus sesuai dengan hukum-hukum
alam yang ditetapkan oleh-Nya sebagai asas keteraturan alam. Allah memerintahkan kita untuk
makan bila lapar, minum bila haus, mencari obat bila sakit, dan menjaga kesehatan serta
waspada terhadap segala yang menyebabkan kita celaka dan sakit. Kemudian Allah juga
memerintahkan kita untuk mengetahui dengan ilmul yakin bahwa tidak ada satupun yang
berbuat sesuatu selain Allah, tiada sesuatu berpengaruh selain dengan sunatullah. Kita juga
diperintahkan untuk meyakini bahwa Allah menciptakan segala sesuatu dan memerintahkan
segala sesuatu di alam ini untuk menjalankan tugas sesuai amanah yang dititipkan padanya
sebagai firman Allah pada Surat Al-Araf ayat 54, ‘Ketahuilah, di hanya milik-Nya segenap
makhluk dan segenap urusan.”
Syekh Said Ramadhan Al-Buthi menempatkan takdir dengan menyarankan untuk
memperhatikan hukum kausalitas dan hukum alam. Meskipun sakit dan sehat adalah kehendak
Allah, kita sebagai manusia–menurutnya–harus tetap berupaya untuk menjaga kesehatan dan
berupaya hidup sehat. Di tangan Syekh Said Ramadhan Al-Buthi, takdir mengajarkan kita
menjadi manusia secara wajar dan fithri. Jangan sekali-kali tidak tertib lalu lintas. Jangan
berdiam diri tanpa mencari obat ketika sakit meski kesembuhan ada di tangan Allah. Jangan
coba-coba berdiam diri tidak belajar, tidak sekolah, tidak ngaji, tidak mondok.
Aqidah Ahlussunnah menetapkan bahwa Allah yang menciptakan kebaikan dan
keburukan. Namun demikian ada beberapa faham yang berusaha mengaburkan kebenaran ini
dengan mengutip beberapa ayat yang sering disalahpahami oleh mereka, di antaranya, mereka
mengutip firman Allah:
ُﺑِﯿَﺪِكَ ا ْﻟ َﺨﯿْﺮ
“Dengan kekuasaan-Mu segala kebaikan”. (QS. Ali ‘Imran: 26).
Dalam ayat di atas, terkesan Allah hanya menyebutkan kata “al-Khayr” (kebaikan)
saja, tidak menyebutkan al-Syarr (keburukan). Dengan demikian maka Allah hanya
menciptakan kebaikan saja, adapun keburukan bukan ciptaan-Nya. Kata al-Syarr (keburukan)
tidak disandingkan dengan kata al-Khayr (kabaikan) dalam ayat di atas bukan berarti bahwa
Allah bukan pencipta keburukan. Ungkapan semacam ini dalam istilah Ilmu Bayan (salah satu
cabang Ilmu Balaghah) dinamakan dengan al-Iktifâ’; yaitu meninggalkan penyebutan suatu
kata karena telah diketahui padanan katanya. Contoh semacam ini di dalam al-Qur’an firman
Allah:
ﺳ ُﻜ ْﻢ
َ ْ وَ َﺟﻌَ َﻞ ﻟَ ُﻜ ْﻢ ﺳَﺮَ اﺑِﯿ َﻞ ﺗَﻘِﯿ ُﻜ ُﻢ ا ْﻟﺤَﺮﱠ وَ ﺳَﺮَ اﺑِﯿ َﻞ ﺗَﻘِﯿﻜُﻢ ﺑَﺄ
“Dia (Allah) menjadikan bagi kalian pakaian-pakaian yang memelihara kalian dari dari
panas”. (QS. an-Nahl: 81).
Yang dimaksud ayat ini adalah pakaian yang memelihara kalian dari panas, dan juga
dari dingin. Artinya, tidak khusus memelihara dari panas saja. Demikian pula dengan
pemahaman firman Allah: “Bi-Yadika al-Khayr” (QS. Ali ‘Imran: 26) di atas bukan berarti
Allah khusus menciptakan kebaikan saja, tapi yang yang dimaksud adalah menciptakan segala
kebaikan dan juga segala keburukan. Kemudian dari pada itu, dalam ayat lain dalam al-Qur’an
Allah berfirman:
Kata “Syai’”, yang secara hafiyah bermakna “sesuatu” dalam ayat ini mencakup segala
suatu apapun selain Allah. Mencakup segala benda dan semua sifat benda, termasuk segala
perbuatan manusia, juga termasuk segala kebaikan dan segala keburukan. Artinya, segala
apapun selain Allah adalah ciptaan Allah. Dalam ayat lain firman Allah:
Dari makna firman Allah di atas: “Engkau (Ya Allah) berikan kerajaan kepada orang
yang Engkau kehendaki”, kita dapat pahami bahwa Allah adalah Pencipta kebaikan dan
keburukan. Allah yang memberikan kerajaan kepada raja-raja kafir seperti Fir’aun, dan Allah
pula yang memberikan kerajaan kepada raja-raja mukmin seperti Dzul Qarnain. Adapun firman
Allah:
Sabda Rasulullah dalam hadits di atas, “… maka sembuhlah ia dengan izin Allah”
adalah bukti bahwa obat tidak dapat memberikan kesembuhan dengan sendirinya. Fenomena
ini nyata dalam kehidupan kita sehari-hari, seringkali kita melihat banyak orang dengan
berbagai macam penyakit, ketika berobat mereka mempergunakan obat yang sama, padahal
jelas penyakit mereka bermacam-macam, dan ternyata sebagian orang tersebut ada yang
sembuh, namun sebagian lainnya tidak sembuh. Tentunya apa bila obat bisa memberikan
kesembuhan dengan sendirinya maka pastilah setiap orang yang mempergunakan obat tersebut
akan sembuh, namun kenyataan tidak demikian. Inilah yang dimaksud sabda Rasulullah: “…
maka akan sembuh dengan izin Allah”. Dengan demikian dapat kita pahami bahwa adanya
obat adalah dengan kehendak Allah, demikian pula adanya kesembuhan sebagai akibat dari
obat tersebut juga dengan kehendak dan ketentuan Allah, obat tidak dengan sendirinya
menciptakan kesembuhan. Demikian pula dengan sebab-sebab lainnya, semua itu tidak
menciptakan akibatnya masing-masing. Kesimpulannya, kita wajib berkeyakinan bahwa sebab
tidak menciptakan akibat, akan tetapi Allah yang menciptakan segala sebab dan segala akibat.
Salah satu tanda orang mukmin sejati adalah memiliki sikap tawakal kepada Allah
subhānahu wa ta‘ālā. Tawakal merupakan bagian dari buah tauhid. Allamah Sayyid Abdullah
bin Alawi Al-Haddad dalam kitabnya berjudul Risālatul Mu‘āwanah wal Mudhāharah wal
Muwāzarah menjelaskan tentang tiga tanda orang yang benar-benar bertawakal sebagai
berikut:
“Ada tiga tanda bagi orang yang bertawakal dengan sebenarnya, yakni pertama, tidak
berharap kecuali kepada Allah sekaligus tidak takut kecuali kepada-Nya. Hal itu ditandai
dengan keberaniannya mengatakan sesuatu yang benar di hadapan seseorang yang umumnya
orang memiliki harapan sekaligus merasa takut kepadanya seperti para amir dan raja.”
Tanda pertama ini berkiatan erat dengan apa yang diucapkan seorang Muslim dalam
setiap menunaikan shalatnya, yakni pada saat membaca surah Al-Fatihah, ayat 5:
ُإِﯾﱠﺎكَ ﻧَ ْﻌﺒُﺪ ُ وَ إِﯾﱠﺎكَ ﻧَ ْﺴﺘَ ِﻌﯿْﻦ
“Hanya kepada Engulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami
memohon pertolongan.”
Wujud menyembah dan memohon pertolongan hanya kepada Allah tentu saja tidak
hanya berupa shalat, tetapi juga dalam bertawakal kepada-Nya dalam seluruh urusan hidup dan
mati. Orang-orang yang benar-benar bertawakal kepada Allah tidak merasa takut untuk berkata
benar di depan para penguasa maupun orang-orang kaya yang bisa memberikan fasilitas apa
saja. Demikian pula mereka tidak takut berkata “tidak” ketika suatu persoalan bertentangan
dengan apa yang telah disyariatkan oleh Allah meskipun mendapat ancaman atau hukuman
dari para penguasa maupun dari orang-orang kaya yang bisa memberikan fasilitas apa saja.
Jadi orang yang bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benarnya akan menyerahkan seluruh
urusannya kepada Yang Maha Satu semata sehingga tidak ada yang mereka takuti kecuali
Allah.
واﻟﺜﺎﻧﯿﺔ أن ﻻ ﯾﺪﺧﻞ ﻗﻠﺒﮫ ھ ﱡﻢ اﻟﺮزق ﺛﻘﺔ ﺑﻀﻤﺎن ﷲ ﺑﺤﯿﺚ ﯾﻜﻮن ﺳﻜﻮن ﻗﻠﺒﮫ ﻋﻨﺪ ﻓﻘﺪ ﻣﺎ ﯾﺤﺘﺎج
اﻟﯿﮫ ﻛﺴﻜﻮﻧﮫ ﻓﻲ ﺣﺎل وﺟﻮده وأﺷﺪ
“Kedua, tidak pernah merisaukan masalah rezeki disebabkan merasa yakin akan
adanya jaminan Allah sehingga hatinya tetap tenang dan tentram di kala suatu keuntungan luput
darinya, sama seperti di kala ia memperolehnya.” Tanda kedua ini berkaitan erat dengan
jaminan Allah tentang rezeki sebagaimana termaktub dalam surah Al-An’am, ayat 151:
واﻟﺜﺎﻟﺜﺔ أن ﻻ ﯾﻀﻄﺮب ﻗﻠﺒﮫ ﻓﻲ ﻣﻈﺎن اﻟﺨﻮف ﻋﻠﻤﺎ ﻣﻨﮫ أن ﻣﺎ أﺧﻄﺄه ﻟﻢ ﯾﻜﻦ ﻟﯿﺼﯿﺒﮫ وﻣﺎ أﺻﺎﺑﮫ
ﻟﻢ ﯾﻜﻦ ﻟﯿﺨﻄﺌﮫ
“Ketiga, tidak pernah hatinya terguncang pada saat diperkirakan akan datangnya suatu
bahaya disebabkan ia yakin sepenuhnya bahwa tak satu pun ditetapkan ia terhindari darinya,
akan tetap menimpanya; dan tak satu pun ditetapkan akan menimpanya, akan terhindar dari
dirinya.”
Tanda ketiga ini berkaitan dengan keyakinan akan ketetapan Allah. Orang-orang yang
benar-benar bertawakal kepada Allah tentu bersikap tenang menghadapi segala keadaan yang
mungkin terjadi disebabkan keridhaannya atas apa yang telah ditetapkan-Nya. Ancaman
bahaya sebesar apapun tidak akan mengguncangkan jiwa mereka. Mereka meyakini apa yang
akan terjadi kepada mereka hanyalah apa yang telah ditetapkan-Nya. Singkatnya, orang-orang
yang benar-benar bertawakal kepada Allah akan terlihat tanda-tandanya dari tiga hal. Pertama,
mereka mandiri dan berani dalam mengatakan kebenaran tanpa rasa takut akan hukuman dari
orang-orang berkuasa dan berpengaruh. Kedua, mereka tidak merisaukan soal rejeki karena
meyakini Allah telah menjamin rezeki bagi semua yang diciptakan-Nya. Ketiga, mereka
bersikap tenang terhadap musibah yang akan menimpa atau tidak akan menimpa mereka karena
mengimani takdir dan iradat Allah.