Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Era globalisasi merupakan suatu era keterkaitan dan ketergantungan antara
satu manusia dengan manusia lainnya, baik dalam hal perdagangan, investasi,
perjalanan, budaya populer, dan lainnya. Globalisasi menuntut kebutuhan
akan arus informasi dan pengetahuan yang sangat tinggi. Informasi yang
didapat beragam jenisnya, bisa jadi dari buku maupun akses data dan
informasi seperti internet. Tidak dapat dipungkiri bahwa globalisai
menyimpan beragam keuntungan dan tantangan besar yang harus dihadapi
bagi orang-orang yang terlibat didalamnya. Dalam hal ekonomi khususnya,
salah satu keuntungan dengan adanya era globalisasi adalah hadirnya peluang-
peluang baru namun juga diikuti oleh tantangan-tantangan baru, khususnya
bagi perusahaanperusahaan yang beroperasi di Indonesia. Di sisi lain, keadaan
tersebut memunculkan persaingan yang makin ketat baik antar sesama
perusahaan dalam negeri maupun dengan perusahaan asing (Susanti, 2011).
Persaingan ini berdampak pada semakin meningkatnya usaha perusahaan
di dalam meningkatkan baik kualitas internal maupun eksternalnya. Seperti
halnya yang terjadi pada industri ritel Nasional dimana perkembangan jumlah
ritel di Indonesia terus bertambah secara pesat seperti supermarket,
hypermarket, minimarket, dan ritel lainnya yang terus bermunculan (Susanti,
2011).
Seiring dengan berkembangnya teknologi, keberadaan bisnis ritel di
tengah kebutuhan masyarakat menjadi semakin penting. Hal ini terjadi karena
adanya perubahan pola belanja masyarakat yang semakin selektif, dan adanya
perbedaan cara pandang masyarakat mengenai bisnis ritel. Industri ritel
Indonesia tahun 2012 tumbuh menjadi Rp. 1.206 triliun dan diperkirakan
melonjak menjadi Rp.2.007 triliun pada tahun 2015 (Imas Widowati, 2014).
Bisnis ritel yang semula dinilai hanya sebatas penyedia barang dan jasa saja,
sekarang dinilai sebagai bisnis yang semakin inovatif, dinamis, dan
kompetitif. (Ria Arifianti, 2015).

1
Perkembangan bisnis ritel di Indonesia dapat dikatakan cukup pesat akhir-
akhir ini, terutama ritel modern dalam semua variasi jenisnya, dimulai dari
Store Retailer, Non-Store Retailer, dan Retailer Organization. Salah satu
faktor pendukung perkembangan usaha ritel modern di Indonesia adalah
cukup terbukanya peluang pasar diiringi dengan perkembangan usaha
manufaktur yang semakin baik. Berdasarkan uraian tersebut, penulis tertarik
untuk mengkaji bagaimana sejarah perkembangan ritel di Indonesia beserta
dampaknya terhadap perekonomian.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah sejarah perkembangan retailing di Indonesia?
2. Bagaimanakah dampak retailing terhadap perekonomian di Indonesia?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui sejarah perkembangan retailing di Indonesia
2. Mengetahui dampak retailing terhadap perekonomian di Indonesia
1.4 Manfaat
1. Memberikan pengetahuan baru bagi pendidikan khususnya tentang sejarah
perkembangan retailing di Indonesia dan dampaknya terhadap
perekonomian di Indonesia.
2. Menambah pengalaman bagi penulis dalam menerapkan ilmu yang
diperoleh selama berada di bangku perkuliahan terutama mengenai
retailing.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Retailing
Ritel atau bisnis eceran ataupun penjualan eceran merupakan mata rantai
saluran distribusi barang, ia termasuk kegiatan perdagangan yang
menyediakan komuditas untuk konsumen akhir, dilaksanakan secara
tradisional maupun modern (Alma, 2014; Ayers & Odegaard, 2018;
Dwiyananda, Martha, & Mawardi, 2015; Foster, 2008; Perpres RI No 112,
2007; Sujana, 2012), seperti: toko, supermarket dan minimarket.
Retail adalah semua kegiatan yang dilibatkan dalam penjualan barang atau
jasa langsung ke konsumen akhir untuk penggunaan pribadi non-bisnis (Kotler
dan Amstrong, 2010). Keseluruhan aktivitas bisnis yang menyangkut
penjualan barang atau jasa, atau barang dan jasa, yang dilakukan oleh
perusahaan atau institusi bisnis secara langsung kepada konsumen akhir yang
digunakan untuk keperluan pribadi, keluarga, atau rumah tangganya, dengan
volume penjualan terutama atau lebih dari 50% dari konsumen akhir dan
sebagian kecil dari pasar bisnis (Utomo, 2010).
Menurut Berman dan Evans (1998: 3),
“Retailing consist of those business activities involved in the sale of goods and
services to consumers for their personal, family, or household use. It is the
final stage in the distribution process.”
Menurut Levy dan Weitz (2004: 6),
“Retailing is the set of business activities that adds value to the products and
services sold to consumers for their personal or family use.”
Menurut Guy (1998: 255),
“A retail outlet can be defined as a building from which retailing is carried
out. In order to exclude buildings concerned solely with mail order sales, etc.
a retail outlet should normally store retail goods which can be sold to
members of the public from the premises, without prior appointment.”
Menurut Dunne dan Lusch (2008: 4)

3
“Retailing, as we use the term in this text, consist of the final activities and
steps needed to place a product made elsewhere into the hands of the
consumer or to provide services to the consumer.”
Menurut Tjiptono (2008: 191),
“Retailing merupakan semua kegiatan penjualan barang dan jasa secara
langsung kepada konsumen akhir untuk pemakaian pribadi dan rumah
tangga, bukan untuk keperluan bisnis.”
Dari beberapa definisi mengenai retailing tersebut, dapat disimpulkan
bahwa retailing adalah segala sesuatu yang mencakup kegiatan penjualan
barang dan atau jasa kepada konsumen akhir untuk penggunaan yang sifatnya
pribadi, keluarga, atau rumah tangga – bukan bisnis, tanpa ada perjanjian
sebelumnya. Dalam salurannya kepada konsumen, bisnis ritel (eceran)
merupakan usaha terpenting yang menghubungkan manufaktur dengan end
user. Retailing merupakan tahap akhir dari proses distribusi yang bukan hanya
sekedar berupa proses penjualan saja melainkan juga proses mengoptimalkan
kepuasan dengan memperoleh value dari pertukaran.
2.2 Fungsi Retailing
Keberadaan bisnis ritel selain berimplikasi terhadap perkembangan bisnis
lain sebenarnya juga menjalankan beberapa fungsi. Ritel memiliki fungsi-
fungsi penting yang dapat dipisahkan dari sisi konsumen maupun fungsi dari
sisi produsen. Fungsi yang dijalankan ritel dipandang dari sisi konsumen
adalah dapat meningkatkan nilai produk dan jasa yang mereka jual pada
konsumen. Adapun dari sisi produsen ritel menjalankan fungsi dalam
memudahkan distribusi produk- produk tersebut bagi mereka yang
memproduksinya. Menurut Levy dan Weitz (2004), fungsi tersebut
diantaranya adalah:
1. Menyediakan Berbagai Macam Produk dan Jasa (Providing Assortments)
Konsumen selalu mempunyai pilihan sendiri terhadap berbagai
macam produk dan jasa. Sebagai pelaku bisnis ritel berusaha
menyediakan berbagai macam kebutuhan konsumen yaitu beraneka ragam
produk dan jasa. Misalnya adalah Supermarket yang menyediakan produk-
produk makanan, kesehatan, perawatan kecantikan dan produk rumah

4
tangga, sedangkan Department Store menyediakan berbagia macam
pakaian dan aksesoris.
2. Memecah (Breaking Bulk)
Memecah berarti memecah beberapa ukuran produk menjadi lebih
kecil, yang akhirnya menguntungkan produsen dan konsumen. Jika
produsen memproduksi barang dan jasa dalam jumlah besar, maka harga
barang atau jasa tersebut menjadi tinggi. Sedangkan konsumen juga
membutuhkan barang atau jasa dengan tidak dalam jumlah besar dan
mereka menghendaki harga yang lebih rendah. Kemudian ritel
menawarkan produk-produk tersebut dalam jumlah kecil yang disesuaikan
dengan pola konsumsi para konsumen secara individual dan rumah tangga.
3. Mengadakan Inventory (Holding Inventory)
Ritel juda dapat berposisi sebagai perusahaan yang menyimpan
stok atau persediaan dengan ukuran lebih kecil. Dalam hal ini, pelanggan
akan diuntungkan karena akan terdapat jaminan ketersediaan barang atau
jasa yang disimpan ritel. Fungsi utama ritel adalah mempertahankan
inventory yang sudah ada, sehingga produk akan tersedia saat para
konsumen menginginkannya. Jadi para konsumen dapat mempertahankan
inventaris kecil produk di rumah, karena mereka tahu ritel akan
menyediakan produk-produk tersebut pada waktu dan tempat yang tepat.
4. Memberikan Jasa atau Layanan (Providing Service)
Dengan adanya ritel, konsumen akan mendapat kemudahan dalam
mengkonsumsi produk-produk yang dihasilkan produsen. Selain itu, ritel
juga dapat mengantar produk hingga lokasi dimana konsumen berada. ritel
pun menyediakan jasa yang membuat mudah bagi konsumen membeli dan
menggunakan produk.
5. Meningkatkan Nilai Produk dan Jasa
Pelanggan akan membutuhkan ritel, karena tidak semua barang dijual
dalam keadaan lengkap. Pembelian salah satu barang pada ritel akan
menambah nilai barang tersebut karena mampu memenuhi kebutuhan
konsumen. Sedangkan menurut Lamba (2003:22) terdapat empat fungsi
ritel, yaitu:

5
1. Deciding on an appropriate mix of product and services
2. Converting large quantities purchased into individual units
3. Holding inventory
4. Providing display and additional services
Dengan menjalankan fungsi-fungsi tersebut, peritel dapat berinteraksi
dengan konsumen akhir dengan memberikan nilai tambah bagi produk atau
barang dagangan dan memberikan layanan lainnya seperti pengantaran,
pemasangan, dan sebagainya
2.3 Macam-Macam Bisnis Ritel
Bisnis ritel dapat pula dibagi menjadi tiga kelompok usaha perdagangan
eceran yaitu:
1. Grosir (pedagang besar) atau hypermarket.
Kelompok ini umumnya hanya ada di kota-kota besar dan jumlahnya
sedikit. Di Indonesia yang termasuk dalam kelompok ini adalah:
a. PT Alfa Retailindo dengan nama gerai Alfa.
b. PT Makro Indonesia dengan nama gerai Makro.
c. PT Carrefour Indonesia dengan nama gerai Carrefour.
d. PT Goro Batara Sakti dengan nama gerai Goro.
e. PT Hero Supermarket dengan nama gerai Giant. f. PT Matahari Putra
Prima dengan nama gerai Matahari.
2. Pengecer besar atau menengah dengan jumlah gerai sekitar 500 gerai.
3. Minimarket modern. Pelaku kelompok ini tidak banyak namun mengalami
perkembangan pesat.
Menurut Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam Negeri, Departemen
Perdagangan Republik Indonesia (1997), jenis-jenis perdagangan eceran terdiri
dari:
1. Pasar tradisional, adalah tempat transaksi barang atau jasa antara penjual
dan pembeli, yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a. memperjualbelikan barang/jasa kebutuhan sehari-hari secara eceran
b. melibatkan banyak pedagang eceran berskala kecil
c. Bangunan dan fasilitas pasarnya relatif sederhana
d. Pemilikan dan pengelolaannya umumnya oleh pemerintah daerah

6
2. Supermarket (swalayan/rumah belanja), adalah pasar modern tempat
penjualan barang-barang eceran yang berskala besar dengan pelayanan
yang bersifat self service. Kepemilikannya bisa dimiliki oleh satu orang
atau lebih. Komoditi inti yang dijual adalah barang-barang rumah tangga,
makanan, minuman, dan lain-lain.
3. Departement Store (Toko Serba Ada), adalah pasar modern tempat
penjualan barang-barang eceran yang berskala besar. Komoditi inti yang
dijual adalah jenis-jenis fashion, seperti pakaian, sepatu, tas, kosmestik,
perhiasan, dan lain-lain. Pelayanan dibantu oleh pramuniaga dan adapula
yang self service.
4. Pasar Grosir, adalah tempat transaksi barang atau jasa antara penjual dan
pembeli secara partai besar, untuk kemudian diperdagangkan kembali.
5. Pasar Grosir tradisional, adalah pasar grosir dengan jumlah pedagang grosir
relatif banyak, seperti Pasar Tanah Abang Jakarta, Pasar Cipulir, Pasar
Mangga Dua Jakarta, dan lain sebagainya.
6. Pasar Grosir Modern, adalah pasar grosir dengan pelayanan yang bersifat
self service, seperti Pasar Grosir Makro, Alfa, dan lain-lain.
7. Pusat perbelanjaan/pusat perdagangan (mall/plaza/shopping center), adalah
suatu arena penjualan berbagai jenis komoditi yang terletak dalam satu
gedung perbelanjaan. Dalam pusat perbelanjaan terdapat departement store,
supermarket, dan toko-toko lain dengan berbagai macam produk.
Contohnya: Galeria Mall, Blok M Plaza, dan lain-lain.
8. Toko bebas pajak (duty free shop), adalah tempat melakukan kegiatan
usaha perdagangan barang yang memperdagangkan barang-barang tanpa
dikenakan pajak sehingga dapat dibeli dengan harga yang murah namun
tidak semua orang dapat berbelanja di tempat tersebut. Biasanya pembeli
harus menjadi anggota terlebih dahulu dan diprioritaskan untuk orang
asing. Toko ini berbentuk badan hukum.
9. Pasar percontohan, merupakan suatu tempat berupa pasar fisik yang berada
di daerah yang perekonomiannya relatif terbelakang dan diharapkan dapat
berkembang mandiri serta mampu mendorong berkembangnya potensi
ekonomi daerah sekitarnya, Jenis barang yang diperjualbelikan adalah

7
barang-barang kebutuhan sehari-hari serta barang-barang hasil produksi
pertanian dan kerajinan masyarakat setempat.
10. Pertokoan, adalah suatu wilayah yang terdapat bangunan toko-toko
sepanjang jalan raya dan ditetapkan oleh pemerintah daerah sebagai
pertokoan.
11. Pasar induk, adalah pasar tempat transaksi barang atau jasa antara penjual
dengan pembeli dalam partai besar untuk kemudian diperdagangkan
kembali ke pasar-pasar lainnya, seperti Pasar Induk Kramat Jati Jakarta dan
Pasar Induk Beras Cipinang.
2.4 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Keberhasilan Retailing
Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan retailing adalah sebagai
berikut:
1. Lokasi usaha. Pemilihan lokasi yang baik adalah faktor penting untuk
keberhasilan bisnis ini. Lokasi yang dipilih bukan hanya sekedar yang
strategis dan memiliki ukuran yang cukup besar (luas) namun juga perlu
diperhatikan tentang masalah akses yang baik ke berbagai lokasi-lokasi
penting lain, suasana yang menyenangkan, lahan parkir yang luas dan
aman, mudah dijangkau serta harus lebih unggul dari pesaing.
2. Teknologi canggih. Upaya yang ditempuh antara lain dengan menerapkan
sistem Efficient Consumer Response (ECR) yang ditunjang dengan
Electronic Data Interchange (EDI).
3. Harga lebih murah. Harga merupakan pertimbangan tertinggi konsumen
dalam menentukan pilihan berbelanjanya.
4. Kelengkapan produk. Kelengkapan produk dan lancarnya pasokan
merupakan hal penting untuk mengungguli pesaing.
5. Biaya opersional yang rendah, didukung oleh pemanfaatan teknologi yang
optimal.
6. Superior atas infomasi mengenai core customer wants.
7. Produk-produk yang berkualitas dengan harga yang murah dan services.
8. Network terhadap produsen dan distributor yang kuat.
9. Kemampuan permodalan yang kuat.

8
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Sejarah Perkembangan Retailing di Indonesia


Kata ritel berasal dari bahasa Perancis, ”ritellier”, yang berarti
memotong atau memecah sesuatu. Dalam Bahasa Indonesia, kata ritel bisa juga
diartikan ”eceran”. Terkait dengan aktivitas yang dijalankan, maka ritel
menggambarkan kegiatan untuk memecah barang atau produk yang dihasilkan
dan didistribusikan dalam jumlah besar dan massal untuk dapat dikonsumsi
oleh konsumen akhir dalam jumlah kecil sesuai dengan kebutuhannya (Utami,
2010).
Kapan awal mula retailing ada? Dengan karakteristik industri ritel yang
tidak membutuhkan keahlian khusus serta pendidikan tinggi untuk
menekuninya, maka banyak rakyat Indonesia terutama yang tergolong dalam
kategori UKM masuk dalam industri ritel ini. Dalam perkembangannya, justru
pedagang-pedagang kecil inilah yang mendominasi jumlah tenaga kerja dalam
industri ritel di Indonesia. Pedagang-pedagang ini menjelma menjadi pedagang
pasar tradisional, pedagang toko kelontong bahkan masuk ke industri informal
yaitu Pedagang Kaki Lima (PKL). Munculnya pedagang-pedagang ini memang
tidak dapat dihindari mengingat pertumbuhan penduduk yang pesat tiap
tahunnya yang tidak diimbangi pertumbuhan lapangan kerja. Di sisi lain,
industri pertanian yang sebelumnya menjadi primadona masyarakat kemudian
berubah dan beralih ke industri lain yang lebih menjanjikan. Dengan melihat
mayoritas pedagang di industri ritel yang berasal dari kalangan menengah ke
bawah, maka perkembangan dalam industri ritel seharusnya senantiasa
memperhatikan kepentingan pedagang kecil dengan maksud agar tidak
menimbulkan permasalahan sosial yang besar.
Sejak tahun 1998, peta industri ritel mengalami perubahan besar terutama
setelah Pemerintah melakukan liberalisasi. Liberalisasi ditandai dengan
ditandatanganinya letter of intent dengan IMF yang memberikan peluang
investasi kepada pihak asing untuk masuk dalam industri ritel. Sejak saat itu,
peritel-peritel asing mulai berdatangan dan meramaikan industri ritel
Indonesia. Menurut Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (APRINDO), bisnis

9
ritel atau usaha eceran di Indonesia mulai berkembang pada kisaran tahun 1980
an seiring dengan mulai dikembangkannya perekonomian Indonesia. Hal ini
timbul sebagai akibat dari pertumbuhan yang terjadi pada masyarakat kelas
menengah, yang menyebabkan timbulnya permintaan terhadap supermarket
dan departement store (convenience store) di wilayah perkotaan. Trend inilah
yang kemudian iperkirakan akan berlanjut di masa-masa yang akan datang. Hal
lain yang mendorong perkembangan bisnis ritel di Indonesia adalah adanya
perubahan gaya hidup masyarakat kelas menengah ke atas, terutama di
kawasan perkotaan yang cenderung lebih memilih berbelanja di pusat
perbelanjaan modern. Perubahan pola belanja yang terjadi pada masyarakat
perkotaan tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan berbelanja saja namun juga
sekedar jalan-jalan dan mencari hiburan.
Berkembangnya usaha di industri ritel ini juga diikuti dengan persaingan
yang semakin ketat antara sejumlah peritel baik lokal maupun peritel asing
yang marak bermunculan di Indonesia. Industri ritel di Indonesia saat ini
semakin berkembang dengan semakin banyaknya pembangunan gerai-gerai
baru di berbagai tempat. Kegairahan para pengusaha ritel untuk berlomba-
lomba menanamkan investasi dalam pembangunan gerai-gerai baru tidaklah
sulit untuk dipahami. Dengan pertumbuhan ekonomi rata-rata di atas 3% sejak
tahun 2000 dan makin terkendalinya laju inflasi, bisa menjadi alasan mereka
bahwa ekonomi Indonesia bisa menguat kembali di masa mendatang.
Ramainya industri ritel Indonesia ditandai dengan pembukaan gerai-gerai baru
yang dilakukan oleh pengecer asing seperti Makro (Belanda), Carrefour
(Perancis), dan Giant (Malaysia, yang kemudian juga digandeng oleh PT Hero
Supermarket Tbk), yang tersebar di kotakota besar seperti Jakarta, Makassar,
Semarang, Bandung, Yogyakarta, dan lain sebagainya.
Tahapan pada evolusi perkembangan industri ritel sebagai berikut:
1. Era sebelum tahun 1960 an: era perkembangan ritel tradisional yang terdiri
atas pedagang-pedagang independen.
2. Tahun 1960 an: Era perkenalan ritel modern dengan format departement
store ditandai dengan dibukanya gerai ritel pertama Sarinah di Jl. MH.
Thamrin Jakarta.

10
3. Tahun 1970-1980 an: Era perkembangan ritel modern dengan format
supermarket dan departement store, ditandai dengan hadirnya peritel
modern seperti Matahari, Hero, dan Ramayana.
4. Tahun 1990 an: Era perkembangan convenient store, yang ditandai dengan
maraknya pertumbuhan minimarket seperti Indomaret. Pertumbuhan high
class departement store, dengan masuknya Sogo, Metro, dan lainnya.
Pertumbuhan format cash and carry dengan berdirinya Makro, diikuti
Goro, Alfa.
5. Tahun 2000-2010: Era perkembangan hypermarket dan perkenalan e-
retailing. Era ini ditandai dengan hadirnya Carrefour dengan format
hypermarket dan hadirnya Lippo-Shop yang memperkenalkan e-retailing di
Indonesia berbasis pada pengguna internet. Konsep ini masih asing dan
sukar diterima oleh kebanyakan masyarakat Indonesia yang masih terbiasa
melakukan perdagangan secara langsung.
3.2 Dampak Retailing terhadap Perekonomian di Indonesia
Ritel atau yang juga sering disebut dengan bisnis eceran termasuk salah
satu indikator ekonomi dalam komponen perdagangan yang memberikan
kontribusi cukup besar yaitu sebesar 19–31% terhadap Pendapatan Domestik
Regional Bruto (PDRB) tiap daerah yang ada di Indonesia. Selain itu, sektor
ritel juga merupakan sektor yang menyerap tenaga kerja terbesar selain sektor
pertanian dengan serapan pada tahun 2011 mencapai 23,4 juta tenaga kerja
atau 21,3% dari total tenaga kerja Indonesia (Basri et al., 2012). Sejalan
dengan hal tersebut, saat ini bisnis ritel di Indonesia berkembang semakin
pesat seiring dengan kemajuan perekonomian Indonesia. Dalam periode
beberapa tahun terakhir, dari tahun 2005 hingga 2013, jumlah gerai usaha ritel
di Indonesia mengalami pertumbuhan rata-rata sekitar 19% untuk
pertumbuhan jumlah ritel modern dan sekitar 6% per tahun untuk
pertumbuhan jumlah ritel tradisional.
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2016, ritel memiliki kontribusi
15,24 persen terhadap total PDB dan menyerap tenaga kerja sebesar 22,4 juta
atau 31,81 persen dari tenaga kerja non pertanian. Situasi Ritel di Indonesia
saat ini telah dan akan terus bertransformasi sejak dikeluarkannya UU

11
Perdagangan No.7/2014 tentang Perdagangan Ritel Modern (Toko Swalayan)
yang terdiri dari Minimarket, Supermarket, Hypermarket, Wholeseller,
Department Store / Speciality Store, serta Ritel Tradisional (Pasar Rakyat).
Dengan adanya transformasi tersebut, sudah selayaknya pemerintah dan
pelaku usaha bersama-sama menyelaraskan sudut pandang yang seimbang dan
adil, tanpa dipengaruhi oleh berbagai opini dan konsep pemikiran yang hanya
mengedepankan salah satu jenis ritel dan atau menghambat jenis ritel lainnya.
Semakin berkembangnya jumlah populasi dan kepadatan penduduk di
suatu wilayah, akan berdampak pada semakin meningkatnya permintaan
kebutuhan hidup masyarakat. Hal ini berdampak pada demand masyarakat
akan fasilitas yang mampu menyediakan kebutuhan hidup juga semakin
tinggi. Hal tersebut menjadi salah satu peluang yang dimanfaatkan bagi
masyarakat atau pelaku bisnis untuk membangun dan mengembangkan ritel.
Sebagian besar masyarakat yang memiliki modal terbatas akan lebih banyak
bergerak di bidang ritel tradisional, sedangkan untuk pelaku usaha atau pelaku
bisnis yang memiliki modal besar akan bergerak banyak di bidang ritel
modern.

12
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan, penulis menyimpulkan bahwa :
1. Bisnis ritel atau usaha eceran di Indonesia mulai berkembang pada kisaran
tahun 1980 an timbul sebagai akibat dari pertumbuhan yang terjadi pada
masyarakat kelas menengah, yang menyebabkan timbulnya permintaan
terhadap supermarket dan departement store (convenience store) di
wilayah perkotaan. Bisnis ritel masih terus berkembang dari era 1980an-
sekarang.
2. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2016, ritel memiliki kontribusi
15,24 persen terhadap total PDB dan menyerap tenaga kerja sebesar 22,4
juta atau 31,81 persen dari tenaga kerja non pertanian.
4.2 Saran
Dengan berkembangnya bisnis ritel di Indonesia, masyarakat disarankan untuk
bijak dan aktif mengikuti perkembangan zamana agar tidak tertinggal dan
dapat merasakan dampak positif keberadaan bisnis ritel.

13
DAFTAR PUSTAKA
Alma, B. (2014). Kewirausahaan Untuk Mahasiswa dan Umum. Bandung:
Alfabeta.
Ayers, J. B., & Odegaard, M. A. (2018). Retail supply chain management, Second
Edition. 6000 Broken Sound Parkway NW, Suite 300: CRC Press Taylor
& Francis Group.
Basri, M. C., dkk. (2012). Rumah Ekonomi Rumah Budaya. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam Negeri-Departemen Perdagangan,
Kebijakan Pengembangan Bisnis Ritel Modern
Dwiyananda, Martha, O., & Mawardi, I. (2015). Pengaruh Produk, Harga,
Tempat, Proosi Ritel Modern terhadap Keberlangsungan Usaha Ritel
Tradisional di Gresik. JESTT (Jurnal Ekonomi Syariah Teori & Terapan),
2 No. 9 September 2015.
Fandy, Tjiptono. (2008). Strategi Pemasaran Edisi III, Yogyakarta: CV Andi
Offset.
Foster, B. (2008). Manajemen Ritel. Bandung: Alfabeta.
Levy, M. dan Barton a Weits. (2004). 5th edition. Retailing management. New
York: McGraw-Hill.
Perpres RI No 112. (2007). Tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional,
Pusat Perbelanjaan dan Ritel Modern.
Sujana, A. S. (2012). Manajemen Minimarket. Jakarta: Raih Asa Sukses.
Utami, C. W. (2010). Manajemen Ritel: Strategi dan Implementasi Operasional
Bisnis Ritel Modern di Indonesia. Jakarta: Penerbit Empat Salemba.

14

Anda mungkin juga menyukai