Anda di halaman 1dari 5

Namo Tassa Bhagavato Arahato Sammāsambuddhassa

Di dalam hidup ini, sering kita bertanya-tanya mengapa kita dilahirkan di sini?
Mengapa kita bisa menderita? Mengapa mereka bisa bahagia? Apakah ada sesuatu yang
sudah menetapkan hidup kita mesti demikian? Banyak manusia-manusia sibuk mencari
jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut. Mereka bertanya ke satu agama dan agama
lainnya guna untuk mencari jawaban tersebut. Apa tujuan mereka mencari jawaban tersebut?
Tentu karena ingin bahagia. Mereka mencari penyebab-penyebab ketidakbahagiaan mereka
ke sana ke mari dengan tujuan untuk mengatasi ketidakbahagiaan.
2600 tahun yang lalu, guru agung kita Buddha Gotama telah menemukan jawaban
atas pertanyaan-pertanyaan tersebut. Jawaban atas pertanyaan tersebut dinyatakan oleh
Buddha dalam paticcasamuppada (hukum sebab musabab yang saling bergantungan).
Fenomena nama dan rupa (batin dan materi) merupakan fenomena yang terkondisi. Batin
dengan kebencian muncul karena ada kondisinya, demikian juga batin dengan cinta kasih.
Penderitaan muncul karena ada kondisinya, demikian juga dengan kebahagiaan.
Di dalam khotbah pertama Buddha Gotama, Dhammacakkappavattana Sutta, Buddha
mempostulatkan bahwa di dalam kehidupan sehari-hari kita tidak terhindar dari dukkha /
ketidakpuasan. Usia tua, kematian, kesedihan, ratap tangis, sakit fisik, duka cita dan
keputusasaan berkumpul dengan mereka yang tidak kita senangi, berpisah dengan mereka
yang kita senangi, tidak mendapatkan apa yang diinginkan adalah penderitaan. Setelah
memahami bahwa kita tidak dapat menghindari penderitaan, Buddha kemudian menganalisis
penyebab dari penderitaan-penderitaan tersebut. Penyebab dari penderitaan tersebut tidak lain
adalah kelahiran. Inilah yang di dalam patticcasamuppada disebutkan jati paccaya jarā-
marana, soka, parideva, dukkha, domanassa, upayasa (Dengan terkondisinya kelahiran,
terkondisilah usia tua dan kematian, kesedihan, ratap tangis, sakit fisik, duka cita,
keputusasaan).
Apa sesungguhnya yang menyebabkan kelahiran? Sesungguhnya kita datang ke dunia
ini bukan karena kita dilahirkan, melainkan kita terlahirkan. Terlahir di dunia ini tentu bukan
karena kehendak makhluk lain, melainkan ada kondisi-kondisi yang terpenuhi sehingga kita
dapat terlahir di suatu alam. Tidak ada satu pun makhluk ataupun sosok yang menempatkan
Anda terlahir di alam ini, terlahir di alam itu. Anda dapat terlahir di suatu alam karena adanya
kondisi-kondisi yang terpenuhi. Salah satu kondisi yang menjadi penyebab terlahir di suatu
alam adalah keinginan untuk terlahir atau dalam bahasa pali disebut sebagai bhava. Inilah
yang di dalam patticcasamuppada disebutkan bhava paccaya jāti (karena adanya keinginan
untuk lahir, maka timbulah kelahiran). Anda masih menginginkan terlahir di alam manusia,
bertemu dengan keluarga Anda. Anda ingin terlahir sebagai laki-laki, perempuan, dewa,
brahma. Anda menolak untuk terlahir di alam rendah. Itu semua adalah bhava. Anda masih
ingin terlahir lagi. Selain bhava, kondisi yang mesti dipenuhi agar dapat terlahir kembali di
alam manusia, dewa dibutuhkanlah timbunan kamma baik yang akan membuahkan hasilnya
sebagai patisandhi citta (jenis kesadaran yang mempelopori kelahiran kembali). Untuk
terlahir di alam manusia dan juga dewa dibutuhkan berbuahnya maha vipaka citta (kesadaran
hasil yang baik) pada momen patisandhi. Oleh karena itu, banyak orang melakukan
kebajikan-kebajikan agar maha vipaka citta dapat berbuah pada momen patisandhi di
kehidupan selanjutnya. Untuk terlahir di alam brahma dibutuhkan berbuahnya rupavacara
vipaka citta (kesadaran hasil alam materi halus) ataupun arupavacara vipaka citta (kesadaran
hasil alam non-materi) pada momen patisandhi. Karena hal inilah, banyak orang yang
bermeditasi dengan tujuan mencapai jhana. Perlu diketahui bahwa tujuan utama berbuat
kebajikan dan juga bermeditasi bukanlah untuk hal itu. Terlahir di alam brahma, alam dewa,
alam manusia bukanlah tujuan dari umat Buddha. Mengapa? Karena selama kita masih
terlahir di 31 alam kehidupan, kita tidak akan terhindar dari penderitaan-penderitaan yang
telah disebutkan sebelumnya. Tujuan kita sebagai umat Buddha adalah untuk tidak terlahir
lagi agar tidak ada lagi penderitaan yang dapat kita alami. Oleh karena itu, perlu diselidiki
lebih lanjut lagi apa yang menjadi penyebab munculnya bhava.
Penyebab munculnya bhava adalah kemelekatan atau dalam bahasa pali disebut
dengan upādāna. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, kita ingin terlahir lagi itu karena
adanya kemelekatan kita terhadap hidup. Kita melekat akan kehidupan di alam manusia
bersama keluarga tercinta. Kita melekat pada kehidupan di alam brahma, alam dewa yang
katanya di alam tersebut, semua objek-objek yang kita inginkan dapat terpenuhi. Kita tergiur
akan panjangnya umur kehidupan di alam-alam tersebut. Makhluk-makhluk peta terlahir
karena masih adanya kemelekatan terhadap materi duniawi, sanak keluarga yang telah
ditinggalkan. Makhluk-makhluk di alam neraka terlahir karena adanya kemelekatan untuk
menghancurkan objek yang tidak disenangi. Karena melekat pada jubah, Bhikkhu Tissa
terlahir sebagai kutu yang terlahir di dalam lipatan jubahnya. Inilah yang di dalam
patticcasamuppada disebut sebagai upādāna paccaya bhava (karena adanya kemelekatan,
maka timbulah keinginan untuk lahir). Darimanakah asal munculnya kemelekatan?
Penyebab munculnya kemelekatan tidak lain adalah karena nafsu keinginan. Nafsu
keinginan disini merujuk pada nafsu keinginan akan enam objek indera yakni nafsu keinginan
akan objek mata, objek suara, objek bau, objek rasa, objek sentuhan, dan objek pikiran.
Karena nafsu keiginan akan objek-objek menyenangkan yang tidak terkendalilah akan
memunculkan kemelekatan. Akan diberikan sebuah contoh mengenai bahayanya nafsu
keinginan yang tidak terkendali. Katakanlah terdapat sebotol madu dan semut yang menyukai
rasa manis madu tersebut. Ketika semut melihat sebotol madu tersebut, muncul nafsu
keinginan untuk mencicipi madu tersebut. Kemudian semut tersebut masuk ke dalam botol
madu tersebut dan mencicipi madu tersebut. Tidak ada salahnya kalau semut tersebut hanya
mencicipi seteguk madu untuk menghilangkan dahaganya, namun yang terjadi adalah nafsu
keinginan semut tersebut tidak terkendali. Semut tersebut mencicipi madu tersebut terus
menerus hingga pada akhirnya semut tersebut jatuh dan tenggelam dalam madu tersebut.
Itulah bahayanya nafsu keinginan yang telah berkembang menjadi kemelekatan. Inilah yang
disebut dalam patticcasamuppada disebut dengan taṇhā paccaya upādāna (karena nafsu
keinginan, maka muncullah kemelekatan). Apakah penyebab munculnya nafsu keinginan
(taṇhā)?
Nafsu keinginan muncul karena adanya perasaan. Perlu diketahui bahwa perasaan
menyenangkan muncul karena adanya objek menyenangkan. Batin kita tertipu akan perasaan
sehingga kita menganggap perasaan menyenangkan sebagai kebahagiaan. Akibatnya kita
menjadi sibuk mencari objek-objek eksternal yang menyenangkan. Mata terus-menerus
mencari objek penglihatan yang menarik, menonton film-film menarik. Telinga
mendengarkan objek-objek suara yang enak didengar, pujian-pujian. Hidung mencari
wewangian-wewangian. Lidah mencari rasa-rasa yang lezat. Tubuh mencari sentuhan-
sentuhan yang lembut. Pikiran memikirkan kenangan-kenangan masa lalu dan pengharapan
masa depan yang indah. Batin kita tertipu menganggap kebahagiaan berasal dari objek-objek
eksternal tersebut sehingga muncul nafsu keinginan. Perasaan menyenangkan yang berasal
dari kenikmatan atas objek-objek tersebut akan menimbulkan keinginan dan karena keinginan
yang amat sangat ini maka timbullah kemelekatan. Saya coba berikan sebuah contoh
sederhana : ketika kita memiliki luka di anggota tubuh kita dan luka tersebut menimbulkan
rasa gatal yang amat sangat sehingga kita ingin menggaruknya; kita mengetahui bahwa kalau
kita menggaruk, maka luka tersebut akan semakin parah. Pikiran kita cenderung berpikir
untuk tetap menggaruknya walaupun sudah tahu bahwa tindakan tersebut hanya akan
membuat luka semakin parah. Kemudian kita menggaruknya. Mengapa hal tersebut terjadi ?
Karena ketika kita menggaruk koreng atau luka tersebut, kita merasakan kepuasan. Kita
melekat terhadap rasa puas tersebut. Kita tidak memperdulikan lagi bahwa tindakan tersebut
akan memberikan akibat yang buruk yaitu memperparah luka. Kita hanya mendambakan
perasaan menyenangkan yang didapat dari menggaruk tersebut.Inilah yang dalam
patticcasamuppada disebut dengan vedanā paccaya taṇhā (karena perasaan, maka timbullah
nafsu keinginan).
Darimana asal mula timbulnya perasaan? Tentu karena adanya kontak. Adanya
kontak dengan enam objek eksternal menyenangkan yang menyebabkan munculnya perasaan
menyenangkan. Objek penglihatan menyenangkan kontak dengan landasan kesadaran mata.
Suara-suara yang enak didengar mengalami kontak dengan landsadan kesdaran pendengaran.
Bau-bau wewangian mengalami kontak dengan landasan kesadaran penciuman. Rasa-rasa
yang lezat mengalami kontak dengan landsasan kesadaran pengecapan. Sentuhan-sentuhan
yang lembut mengalami kontak dengan landasan kesadaran peraba. Pikiran-pikiran yang
menyenangkan mengalami kontak dengan landasan batin (hadaya vatthu). Objek-objek
menyenangkan mengalami kontak dengan landasan kesadaran kita yang akan memunculkan
perasaan. Dari objek menyenangkan akan memunculkan perasaan menyenangkan. Dari objek
tidak menyenangkan akan memunculkan perasaan tidak menyenangkan. Inilah yang dalam
patticcasamuppada disebut dengan phassa paccaya vedanā (karena kontak, maka timbullah
perasaan).
Kontak memiliki fungsi sebagai penghubung antara landasan objek eksternal dengan
landasan internal. Oleh karena itu, supaya adanya kontak maka diperlukan landasan. Keenam
jenis kontak muncul karena adanya enam landasan objek (salāyatana). Tanpa adanya
landasan-landasan tersebut, kontak antara landasan objek dengan objek tidak akan terjadi.
Inilah yang dalam patticcasamuppada disebut dengan salāyatana paccaya phassa (karena
adanya enam landasan objek, maka timbullah kontak).
Apakah yang menyebabkan munculnya enam landasan objek tersebut? Enam
landasan objek tersebut dikondisikan oleh adanya nāma dan rūpa (batin dan materi). Keenam
landasan objek yang dimaksud dalam paticcasamuppada tidak lain adalah landasan mata,
landasan telinga, landasan hidung, landasan lidah, landasan sentuhan, dan landasan batin.
Kenam landasan tersebut muncul merupakan konsekuensi dari kamma masa lampau yang
telah kita perbuat. Keenam landasan tersebut merupakan materi hasil dari kamma (kammaja
rūpa) yang timbul karena aktivitas dari nāma dan rūpa kita sendiri di masa lampau. Suatu
perbuatan akan menjadi kamma apabila perbuatan tersebut disertai oleh cetana dan yang
merupakan bagian dari nāma. Tentu tidak hanya cetana, ketika suatu perbuatan dilakukan
maka citta akan bersekutu dengan berbagai cetana beserta cetasika lain dan juga cittaja rupa
(materi hasil dari citta). Dalam hal ini, nāma dan rūpa memainkan peran yang cukup penting
dalam menghasilkan materi hasil kamma berupa enam landasan objek. Inilah yang dalam
patticcasamuppada disebut dengan nāma-rūpa paccaya salāyatana (karena adanya
mentalitas dan materi, maka muncullah enam landasan objek).

Apakah yang menyebabkan munculnya nāma dan rūpa? nāma dan rūpa muncul
karena adanya viññāna (kesadaran). Dalam konteks patticcasamuppada, viññāna yang
dimaksud adalah patisandhi viññāna. Patisandhi viññāna muncul tidaklah sendiri melainkan
akan bersekutu dengan faktor-faktor mental penyertanya seperti perasaan (vedānā), persepsi
(saññā), kontak (phassa), kehendak (cetanā), pemelihara kehidupan (jīvitindriya) dan juga
faktor-faktor mental penyerta lainnya sesuai dengan cuti citta (kesadaran kematian). Pada
masa konsepsi di dalam rahim ibu, patisandhi viññāna muncul bersamaan dengan 3
kammaja-rūpakalāpa yakni kāya-dasaka kalapa (kelompok jasmani), hādaya-dasaka kalapa
(kelompok landasan jantung), dan bhāva-dasaka kalapa (kelompok landasan jenis kelamin).
Setelah patisandhi viññāna lenyap, maka kesadaran yang lain akan melaksanakan fungsinya
dan menghasilkan rūpa yang baru. Rūpa yang baru tersebut dapat berupa rūpa hasil batin,
rūpa hasil kamma, rūpa hasil temperatur, dan rūpa hasil nutrisi. Mayat dikatakan merupakan
benda mati walupun memiliki rūpa hasil kamma, temperatur, dan juga nutrisi karena tidak
memiliki citta. Ketika kematian datang menjemput, jīvitindriya akan lenyap sehingga citta
beserta faktor mental penyertanya tidak lagi memiliki kemampuan untuk hidup. Demikianlah
hubungan yang erat antara viññāna dengan nāma-rūpa. Inilah yang dalam
patticcasamuppada disebut dengan viññāna paccaya nāma-rūpa (karena adanya kesadaran
kelahiran kembali, muncullah mentalitas dan materi).
Apakah yang mengondisikan munculnya kesadaran? Kesadaran muncul didukung
oleh energi berupa faktor-faktor mental (saṅkhāra). Pada saat batin dengan keserakahan
muncul, maka akan didukung oleh faktor mental berupa keserakahan. Demikian pula dengan
batin dengan kebencian. Pada saat batin dengan kebencian muncul maka akan muncul pula
faktor mental berupa kebencian. Pada saat bermeditasi pandangan benar, akan muncul batin
faktor mental berupa perhatian penuh. Energi dari faktor-faktor mental inilah yang akan
menyimpan potensi dalam batin berupa kamma pada momen kesadaran javana. Inilah yang
dikatakan dalam patticcasamuppada disebut sebagai saṅkhāra paccaya viññāna (faktor-
faktor mental mengondisikan munculnya kesadaran kelahiran kembali).
Darimanakah faktor-faktor mental yang menyebabkan kamma ini muncul? Faktor-
faktor mental yang menyebabkan munculnya kamma tidak lain adalah ketidaktahuan. Karena
tidak mengetahui akan empat kebenaran mulia, maka seseorang mencari kebahagiaan-
kebahagiaan dengan berbagai cara. Kebahagiaan yang didapat hanyalah sebatas kebahagiaan
sementara bukanlah kebahagiaan sejati. Mereka berpikir bahwa mereka akan bahagia apabila
hal yang mereka kejar itu telah mereka dapatkan. Karena ketidaktahuan, seseorang
melakukan perbuatan buruk seperti mencuri, membunuh untuk mendapat objek kebahagiaan
yang dikejar. Karena ketidaktahuan juga, seseorang melakukan meditasi dan melekat pada
ketenangan jhana. Mereka menganggap bahwa ketenangan jhana merupakan kebahagiaan
sejati. Perlu diketahui bahwa kebahagiaan karena mendapat objek-objek eksternal,
kabahagiaan jhana adalah tidak kekal. Segala sesuatu yang tidak kekal, apabila tidak
dipahami dengan baik hanya akan membawa penderitaan. Mengapa demikian? Karena tanpa
kebijaksanaan, seseorang melakukan segala perbuatan akan disertai dengan akar-akar baik
lobha, dosa, moha maupun alobha, adosa, amoha. Perbuatan yang disertai akar akan
meninggalkan potensi kamma pada momen kesadaran javana yang akan berbuah menjadi
patisandhi viññāna di kehidupan berikutnya. Inilah yang dikatakan dalam
patticcasamuppada sebagai avijja paccaya saṅkhāra (ketidaktahuan mengondisikan
munculnya faktor-faktor mental).
Setelah memahami sebab-sebab penderitaan, seyogianya seseorang dapat melakukan
upaya untuk terbebas dari lingkaran samsara ini. 12 mata rantai telah sangat jelas diuraikan
oleh Guru Agung kita, Buddha Gotama. Demikian pula cara untuk melihat
patticcasamuppada telah dijelaskan oleh Buddha Gotama. Ketika seseorang memahami
hubungan sebab akibat, maka dapat dikatakan bahwa orang tersebut telah menembusi
kebenaran mulia yang kedua yakni kebenaran mulia tentang asal mula penderitaan. Oleh
karena itu, marilah kita berlatih sesuai instruksi yang telah disampaikan oleh Guru Agung
kita sampai mampu menembusi kebenaran mulia yang kedua ini.
Semoga dhammadesana ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Idaṁ me puññam, nibbānasa paccayo hotu

Anda mungkin juga menyukai