Bab 13 - Break Event Point
Bab 13 - Break Event Point
PENDAHULUAN
Setiap usaha bisnis didirikan dengan tujuan memperoleh laba.Laba dalam
suatu bisnis merupakan tujuan utama dan pening dalam perusahaan.Keuntungan
merupakan salah satu ukuran keberhasilan manajemen perusahaan dalam
mengoperasikan suatu perusahaan. Mengingat upaya meraih laba tidak mudah, maka
seluruh kegiatan harus direncanakan lebih dahulu dengan baik. Pihak manajemen
suatu perusahaan harus mengerahkan dan mengarahkan seluruh unit dalam
perusahaan untuk mencapai satu tujuan, yakni mendapat laba. Dengan demikian
seluruh peserta dan unit usaha turut bertanggng jawab dalam mencapai tujuan bisnis
tersebut.
Terdapat beberapa faktor ekstern maupun intern yang dapat mempengaruhi
tingkat laba yang diperoleh perusahaan, yakni :
Besarnya biaya yang dikeluarkan untuk memproduksi suatu barang/jasa yang
dicerminkan oleh harga pokok penjualan (HPP) atau harga pokok produksi
(cost of goods sold)
Jumlah barang/jasa yang diproduksi dan dijual
Harga jual barang bersangkutan
Upaya meraih laba yang direncanakan perusahaan dipengaruhi oleh kegiatan
unsur tesebut, sehingga pihak manajemen perusahaan harus berusaha
mengendalikan ketiga hal tersebut.
Hal yang perlu diupayakan adalah agar seluruh barang yang diproduksi dapat
dijual. Dalam rangka menentukan penghasilan, diasumsikan bahwa barang yang
diproduksi habis terjual seluruhnya.
Pada faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat laba, upaya pihak manajemen
dapat melakukan penekanan terhadap biaya ke tingkat biaya yang paling minimum.
Di lain pihak volume penjualan barang/jasa dapat ditingkatkan ke tingkat yang
paling maksimum, sehingga barang yang diproduksi habis terjual. Adapun penentuan
harga jual ditetapkan dengan meraih tingkat keuntungan per-unit yang memadai,
sehingga harga jualnya dapat dijangkau masyarakat-konsumen.
Usaha pihak manajemen perusahaan dalam upaya mencari keuntungan
tersebut harus didasarkan pada berapa jumlah barang yang harus diproduksi lalu
dijual. Pada tahap perencanaan produksi, manajemen perusahaan harus menentukan
lebih dahulu tingkat produksi yang paling minimum agar perusahaan tidak rugi.
Dengan kata lain pada tahap awal perencanaan produksi harus di dasarkan kepada
upaya jangan rugi atau minimal impas. Maksud dari impas adalah total penghasilan
(total revenue) perusahaan sama dengan total biaya yang dikeluarkan ( TR = TC ).
Break even dapat diartikan suatu keadaan dimana dalam operasi perusahaan,
perusahaan tidak memperoleh laba dan tidak menderita rugi (penghasilan =
total biaya). (Munawir, 1986)
Break Even Point adalah titik produksi, dimana hasil penjualan sama persis
dengan total biaya produksi. (Alwi, 1993)
Pengertian Break Even Point Analysis (BEPA)
Analisa break even adalah suatu analisa untuk menentukan tingkat penjualan
yang harus dicapai oleh suatu perusahaan agar perusahaan tersebut tidak
menderita kerugian, tetapi juga belum memperoleh keuntungan. Dengan
analisa break even ini juga akan diketahui berbagai tingkat keuntungan atau
kerugian untuk berbagai tingkat penjualan. (Munawir, 1986)
Dari segi produksi, BEPA adalah titik yang menunjukkan tingkat produksi
barang/jasa yang dijual tetapi tidak memberikan keuntungan maupun
kerugian. Atau tingkat produksi barang/jasa dijual, di mana total penghasilan
dan biaya dalam keadaan impas atau sama besarnya. (Alwi, 1993)
Jadi, BEPA dapat dilihat dari aspek pemasaran dan aspek produksi. Dari aspek
”marketing” (pemasaran) BEP berarti volume penjualan di mana total penghasilan
(TR) sama dengan total biaya (TC), sehinggga perusahaan dalam posisi tidak untung
maupun tidak rugi.
Sedangkan bila ditinjau dari segi produksi, BEPA adalah titik yang
menunjukkan tingkat produksi barang/jasa yang dijual tetapi tidak memberikan
keuntungan maupun kerugian. Atau tingkat produksi barang/jasa dijual, di mana
total penghasilan dan biaya dalam keadaan impas atau sama besarnya.
Sehingga BEPA adalah alat perencanaan penjualan, sekaligus perencanaan
tingkat produksi, agar perusahaan secara minimal tidak mengalami kerugian.
Selanjutnya karena harus untung berarti perusahaan harus berproduksi di atas BEP.
Jadi, BEP bukan tujuan tetapi merupakan dasar penentuan kebijakan
penjualan dari kebijakan produksi, sehingga operasi perusahaan dapat berpedoman
dengan titik impas. Dengan kata lain, BEPA adalah alat menentukan kebijakan
berproduksi dan upaya penjualan barang agar minimal tidak rugi, bahkan harus
untung. (Prawirasentono, 1997)
Komposisi biaya operasi, asumsi lain dari analisis peluang pokok adalah
bahwa biaya dapat diklasifikasikan ke dalam biaya tetap dan biaya variable. Dalam
kenyataannya biaya tetap dan biaya variable saling tergantung satu sama lain dalam
range tertentu dan jangka waktu tertentu.
Produk ganda, analisis peluang pokok mengasumsikan bahwa perusahaan
memproduksi dan menjual produk tunggal atau kombinasi produk yang konstan atas
berbagai produk yang dihasilkan. Dalam kenyataannya banyak perusahaan yang
Untuk menentukan posisi BEP dalam grafik, maka perlu digambar variable-
variable yang ikut menentukan BEP seperti biaya total (biaya tetap dan biaya
variable) dan pendapatan total. Pertama, kita menggambarkan grafik fungsi
pendapatan (TR). seperti dijelaskan dimuka bahwa grafik TR akan dimulai dari titik
origin (titik nol). kenapa dimulai dari titik nol? Hal ini karena pada saat itu
perusahaan belum memperoleh pendapatan ketika produksi atau penjualannya sama
dengan nol. Grafik ini akan naik dari titik nol tersebut ke kanan atas. Kedua, kita
menggambar grafik biaya tetap (FC). Grafik biaya tetap ini sejajar dengan sumbu
kuantitas dari kiri ke kanan. Mengapa sejajar dengan biaya tetap? Hal ini karena
grafik biaya tetap ini menunjukan biaya yang tidak berubah walaupun produk yang
dihasilkan berubah. Ketiga, kita menggambar biaya total (TC). Grafik biaya total ini
dimulai dari titik potong antara grafik FC dengan sumbu vertical (di mulai dari grafik
FC) ke kanan atas memotong grafik TR. Mengapa TC dimulai dari grafik FC? Hal ini
karena TC merupakan penjumlahan antara biaya tetap dan biaya variable (VC).
Ketika perusahaan belum berproduksi maka biaya totalnya adalah sebesar biaya
tetapnya. Sedangkan VC merupakan biaya yang jumlahnya tergantung pada volume
produksi yang dihasilkan sehingga VC ini memiliki karakteristik grafik seperti Grafik
TR dimana grafik ini dimulai dari nol. untuk lebih jelasnya kita lihat Grafik BEP
berikut ini :
TC
VC
--------------
FC
0 Qo Q (jumlah unit)
Gambar 17.1: Grafik Break Even Point
dimana:
R = Revenue (Penghasilan)
C = Cost (Biaya)
TR = Total Revenue (Total penghasilan)
TC = Total Cost (total biaya)
VC = Variabel Cost (biaya variable)
FC = Fixed Cost (biaya tetap)
BEP = Break Even Point (titik pulang pokok)
Qo = Kuantitas produk pada keadaan BEP (dalam unit)
R,Co = Penghasilan dan biaya pada keadaan BEP (dalam rupiah)
Untuk menentukan posisi BEP secara sistematis dapat dicari formula (rumus)
untuk mencari atau menentukan BEP dalam unit dan BEP dalam rupiah. Kedua
rumus BEP dalam unit dan rupiah tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
BEP terjadi pada saat total pendapatan sama dengan total biaya : TR = TC
TR = harga per unit dikalikan kuantitas = P x Q
TC = Biaya tetap ditambah biaya variable = FC + VC
dimana adalah kuantitas pada keadaan BEP, atau BEP dalam unit tercapai pada:
Adapun keadaan BEP dalam hal rupiah dapat dicari dengan mengalikan kuantitas
pada posisi BEP dengan harga jualnya. keadaan BEP dalam rupiah juga dapat dicari
dengan rumus berikut:
pada keadaan kedua ruas dikalikan dengan harga per unit atau P
sehingga :
dimana : adalah pendapatan pada keadaan BEP dan VC/P (sering juga ditulis
dengan VC/S) adalah rasio variable terhadap harga penjualan. sehingga BEP dalam
rupiah tercapai pada:
1.600 ------------------
800
Rugi Biaya Tetap
Jadi BEP tercapai pada jumlah produk sebesar 4000 unit, yang berarti turun
dari nilai semula sebesar 10.000 unit jika kita menghitung BEP sebelum harga
naik, atau pada saat penghasilan / biaya mencapai sebesar Rp.640.000.
c. Apabila Biaya tetap naik sebesar Rp 200.000 dan biaya variable turun
menjadi Rp. 50 Per unit
biaya tetap menjadi = Rp. 400.000 + Rp. 200.000 = 600.000
Biaya variable turun menjadi Rp. 50 per unit, maka VC = 50
Jadi BEP tercapai pada jumlah produk sebesar 12.000 unit, yang berarti naik
2.000 unit dari semula sebesar 10.000 unit jika kita menghitung sebelum ada
kenaikan biaya tetap, atau pada penghasilan biaya mencapai sebesar Rp.1.200.000
d. apabila Perusahaan memproduksi 5.000 unit, maka yang terjadi:
Q = 5.000 unit
TR = 5.000 x Rp. 100,- = Rp.500.000
TC = 400.000 + (5.000 X 60) = Rp.700.000
Rugi = Rp. 200.000
jadi apabila perusahaan hanya menjual 5.000 unit, maka akan menderita kerugian
sebesar Rp.200.000,-
Break even point,dapat diartikan sebagai suatu titik atau keadaan dimana
perusahaan di dalam operasinya tidak memperoleh keuntungan dan tidak menderita
rugi. Dengan kata lain, pada keadaan itu keuntungan atau kerugian sama dengan nol.
Hal ini bisa terjadi, bila perusahaan di dalam operasinya menggunakan biaya
tetap, dan volume penjualan hanya cukup untuk menutup biaya tetap dan variabel.
Apabila penjualan hanya cukup menutup biaya variabel dan sebagian biaya
tetap, maka perusahaan menderita rugi. Dan sebaliknya akan memperoleh
keuntungan, bila penjualan melebihi biaya variabel dan biaya tetap yang harus
dikeluarkan.
Analisis break even, secara umum, dapat memberikan informasi kepada
pimpinan, bagaimana pola hubungan antara volume penjualan, cost dan tingkat
Fixed cost
Fixed cost merupakan jenis biaya yang selalu tetap, dan tidak terpengaruh
oleh volume penjualan melainkan dihubungkan dengan waktu (function of time),
sehingga jenis biaya ini akan konstan selama periode tertentu. Contoh, sewa (rent)
Sesuai asumsi yang ada, analisis BEP digunakanbagi perusahaan yang menjual
satu macam produk saja. Apanila perusahaan menjual 2 macam produk atau lebih,
maka komposisi atau perimbangan penjualannya (sales mix) rasio kontribusi
marjinnya harus tetap. Rasio kontribusi marjin merupakan perimbangan antara
kontribusi marjin dengan penjualan. Sedangkan kontribusi marjin merupakan selisih
antara penjualan dengan biaya variable. dalam BEP diperoleh:
1 – VC/S merupakan rasio kontribusi marjin. apabila dua produk memiliki rasio
kontribusi marjin yang berbeda, maka perbedaan sales mix kedua produk tersebut
akan merubah BEP. Tetapi apabila dua produk memiliki rasio kontribusi marjin yang
sama, maka perubahan sales mix tidak merubah BEP total kedua produk tersebut.
untuk lebih jelasnya diberikan contoh sebagai berikut:
Contoh 17.3
Perusahaan “BHAKTI KARYA” menghasilkan dua macam produk A dan B. Perusahaan
memproduksi produk A sebanyak 10.000 unit dengan harga Rp.10.000 per unit dan
produk B sebanyak 5.000 dengan harga Rp.30.000 per unit. biaya variable produk A
dan B masing-masing sebesar 60% dari penjualan. sedangkan biaya tetap Produk A
sebesar Rp.20.000.000 dan produk B sebesar Rp.30.000.000. Data laporan laba rugi
untuk produk A dan B tersebut adalah sebagai berikut:
BEP total tercapai pada total penjualan produk A dan B sama dengan total biayanya
yakni sebesar Rp. 125.000.000. Pada keadaan BEP total ini tiap-tiap produk tidak
harus dalam keadaan BEP. Mungkin saja pada saat terjadi BEP total, suatu produk
mengalami kerugian sedangkan produk lain mengalami keuntungan Untuk contoh
diatas, jumlah unit tiap-tiap produk dalam keadaan BEP total dapat dihitung sebagai
berikut:
Apakah pada perimbangan produk A sebesar 5.000 unit dan produk B sebesar 2.500
unit tercapai pada BEP secara total, kita buktikan dengan perhitungan berikut:
Bagaimana jika jumlah produk B yang naik sebesar 50% sehingga menjadi 7.500 unit
sedangkan produk A tetap? bagaimana BEP total yang baru?
Sales mix yang baru produk A dan B = 1 : 2,25 atau 100.000.000 : 225.000.000
dari perubahan salesmix yang pertama dan perubahan sales mix yang kedua ternyata
BEP total setelah perubahan tetap sama dengan sebelum perubahan yaiti sebesar
Rp.125.000.000. Perubahan sales mix tersebut diatas tidak merubah BEP total
karena rasio kontribusi marjin kedua produk tersebut ternyata sama yaitu sebesar
40% atau 0,4
Untuk membandingkan apakah penambahan produk A lebih baik disbanding
penambahan produk B atau sebaliknya, kita lihat perhitungan sebagai berikut
Tabel 17.5 Perbandingan keadaan produk A dan B sebelum dan setelah adanya
perubahan sales mix
Keterangan Sebelum perubahan Produk A bertambah Produk B bertambah
50% 50%
Sales mix A : B 1 : 1,5 1:1 1 : 2,25
Laba operasi Rp. 50.000.000 Rp. 70.000.000 Rp. 80.000.000
Presentase perubahan - 40% 60 %
laba operasi
Besarnya BEP Rp. 125.000.000 Rp. 125.000.000 Rp. 125.000.000
Analisis BEP yang telah kita bahas diatas terutama digunakan untuk keadaan
yang berubah secara linier.Pada analisis BEP yang non linier, analisis BEP yang akan
kita bahas sekarang apabila fungsi pendapatan dan biayanya tidak linier (non linier).
pada keadaan non linier ini, maka dalam grafik akan kita dapatkan keadaan BEP
lebih dari satu titik. pada dasarnya analisis biaya, volume dan laba (BEP) baik
menggunakan fungsi linier maupun non linier tidak berbeda. perbedaan terjadi pada
perilaku biaya dan pendapatan itu sendiri sehingga mengakibatkan penggambaran
grafiknya berbeda.
sudah kita ketahui bahwa biaya produksi terdiri dari biaya tetap (FC) dan biaya
variable (VC). Biayatotal (TC) merupakan penjumlahan dari biaya tetap dengan
biaya variable. selain pengertian biaya tetap, biaya variable dan biaya tota tersebu,
kita kenal pula biaya yang lain yaitu biaya rata-rata (average cost=AC) dan biaya
marjinal atau biaya tambahan (marjinal cost =MC) biaya rata-rata merupakan hasil
bagi antara biaya total dengan dengan jumlah unit barang yang diproduksi.
sedangkan biaya marjinal merupakan tambahan biaya yang dikeluarkan perusahaan
untuk menghasilkan tambahan satu unit produk barang yang dihasilkan.
Apabila volume produksi dihubungkan dengan biaya produksi, maka volume
produksi ini akan menentukan besarnya jumlah biaya yang harus dikeluarkan untuk
membuat barang tersebut. disamping biaya total dapat juga dapat juga ditentukan
biaya variable, biaya tetap, biaya rata-rata, dan biaya marjinalnya. volume produksi
biasanya diberi notasi Q (Quantity). secara matemais, hubungan antara biaya
tersebut diatas dan volume produksi dapat dijelaskan berikut:
Biaya total (TC)_ = VC +FC
Variabel Cost (VC) = f(Q)
Fixed cost (FC) = k (Konstanta).
sehingga TC = F(Q) + k
average cost (AC) = TC/ Q
Average Variabel cost (AFC) = VC / Q
average Fixed cost (AFC) = FC / Q
karena TC = VC + FC, maka AC = AVC + AFC
pada analisi BEP non linier,pendapatan maksimal dari barang yang akan dijual
akan tercapai pada titik puncak fungsi pendapatan yang dimaksud. sedangkan laba
maksimal akan tercapai pada titik puncak fungsi labanya. untuk memberikan
gambaran yang lebih jelas, berikut ini diberikan contoh perhitungan:
Contoh 17.5
Perusahaan “BAHANA” menghadapi fungsi permintaan atas produk yang dijualnya
sebagai berikut : P = -4Q + 520, dan fungsi biayanya adalah TC = Q2 + 200Q + 3500.
dari informasi tersebut ditanyakan:
a. BEP
b. Pendapatan (Total revenue) maksimal
c. keuntungan (laba) maksimal
jawab
a. BEP
TR = P x Q = (-4Q + 520) Q
TR = -4Q2 + 520 Q
TC = Q2 +20Q + 3.500.000
BEP tercapai pada TR = TC -4Q2 + 5.200Q = Q2 +20Q + 3.500
Untuk Q1 = 7,58
TR = -4Q + 520Q = -4Q (7,58)2 +520 (7,58)
TR = -229,83 +3, 941,6
TR = 3.711,77 = Rp 3.712 (dibulatkan)
P = -4Q +520
P = -4Q (7,58) +520 → P = 489,68 → Sebagai P1 490 (dibulatkan)
Untuk Q2 = 92,43
TR = -4Q + 520Q = -4Q (92,43)2 +520 (92,43)
TR = -34.173,22 + 48.063,6
TR = 13.890,38 = Rp. 13.890,- (dibulatkan)
P = -4Q + 520
P = -4 (92,43) + 520 → P = -369,72+ 520
P = 150,28 → sebagai P2 = 150 (dibulatkan)
Jadi BEP terjadi pada saat
BEP1 → Q1= 7,28 dan P1= 489,68
BEP2→ Q2 = 92,43 dan P1 = 150, 28
16 TC = Q2 + 20Q + 3.500
C
4
→ BEP1 (7,58; 3.712) TR = -4Q2 + 520Q
unit
0 1050 65 92
Q1 Q3 Q4 Q2
Keterangan :
Q1 dan Q2 = jumlah produksi pada keadaan BEP
B – C = Laba maksimal
BEP1 = BEP pertama pada titik (7,83; 3.712)
BEP2 = BEP kedua pada titik (92,43; 13.890)
A = Titik puncak fungsi pendapatan (pendapatan maksimal)
Q3 = Jumlah produksi pada laba maksimal (50 unit)
Q4 = Jumlah produksi pada pendapatan maksimal (65 unit)
Analisis Break Even Point (BEP) sangat bermanfaat untuk merencanakan laba
perusahaan. Dengan mengetahui besarnya BEP maka kita dapat menentukan berapa
jumlah minimal produk yang harus dijual (budget sales) dan harga jualnya (sales
price) apabila kita menginginkan laba tertentu. Dengan mengetahui Budget sales
tersebut kita juga dapat mengetahui besarnya margin of safety yang harus
dipertahankan oleh perusahaan. Margin of safety (MOS) merupakan presentase batas
penurunan penjualan sampai dengan keadaan BEP.Margin of safety ini juga
Jadi, agar perusahaan dapat memperoleh laba sebesar 20% maka harus
memperoleh laba penjualan sebesar RP. 21.427.041 atau 3.571 unit (dibulatkan).
Buktinya:
Penjualan = Rp 21.427.041
Biaya variable : 3.571 x Rp 2.000 = Rp 7.142.340 (-)
Kontribusi marjin = Rp 14.284.701
Biaya tetap = Rp 10.000.000 (-)
Laba = Rp 4.284.701
Laba (%) = (4.284.701 : 21.427.041) x 100% = 20%
Margin of safety tahun 2002 sebesar 16,67% artinya batas penurunan penjualan
tahun 2002 maksimal sebesar 16,67%. Apabila penurunan penjualan melebihi
16,67% maka perusahaan akan menderita kerugian. sebaliknya apabila penurunan
penjualan kurang dari 16,67% perusahaan masih mendapat untung.
Apabila hasil penjualan perusahaan hanya dapat menutup biaya tetap tunai
saja,maka perusahaan sebaiknya ditutup saja. Keadaan ini disebut titik tutup pabrik
(shut down point). Pada keadaan tutup pabrik ini besarnya kontribusi marjin yang
diperoleh hanya dapat untuk menutup biaya variable dan biaya tetap tunai yang
ditanggung. Biaya tetap tunai misalnya biaya asuransi, biaya gaji, biaya sewa dan
biaya promosi. Sedangkan biay tetap yang tidak tunai misalnya biaya depresiasi.
Padahal biaya tetap (baik tetap tunai maupun ridak tunai) merupakan biaya yang
besarnya tidak terpengaruh oleh besarnya jumlah produk yang dijual. Hal ini berarti
berapapun penambahan jumlah produk yang dijual tidak menambah keuntungan
atau penambahan jumlah penjualan akan sama dengan tambahan biaya variabelnya.
sehingga penambahan penjualan tidak menambah keutungan. Jika perusahaan
mengalami hal demikian, maka perusahaan ditutup saja. untuk itu diasumsikan biaya
tetap tunai sebesar 60% dari total biaya tetapnya yaitu sebesar 60% x RP.10.000.000
= Rp 6.000.000, maka titik tutup pabriknya diformulasikn sebagai berikut:
15.000
BEP
10.000 Biaya tetap total
8.999
Q (unit
0 1.500 2.500 3000
DAFTAR PUSTAKA
Alwi, Drs. Syafrudin MS. 1993. Alat – alat Analisis dalam Pembelanjaan. Andi
Offset. Yogyakarta
Munawir, Drs. S. 1979. Analisis Laporan keuangan. Liberty. Yogyakarta.