NIM: 0503182140
KELAS: PS VIC
• Karena Imam Zaid mempunyai nasab yang paling mulia dinegeri arab, dan didalam
tubuhnya mengalir darah suci Rasulullah SAW.
• Karena beliau dan keluarganya telah lulus ujian yang diberikan Allah kepada mereka,
sehingga Allah mengangkat derajat mereka.
• Karena keluarganya yang selalu mengarahkannya kepada ilmu pengetahuan, serta
menganggap suatu ujian sebagi hiburan yang pada akhirnya akan berbuah pengetahuan.
Dari tiga faktor internal inilah, Imam Zaid Bin Ali tumbuh dan berkembang selalu dalam
pengawasan ayahnya hingga menjadi seorang ulama’ terkemuka di Kuffah, yang alim dan
banyak menguasai ilmu pengetahuan tentang islam. Dia adalah seorang imam yang ahli
dalam bidang Qira’aat, seperti ilmu Al-Qur’an beserta tafsirnya, ilmu Nasikh Wal Mansukh,
dan dia juga seorang ulama’ aqidah yang banyak dijadikan rujukan. Disamping ilmu qira’at,
Imam Zaid juga seorang yang mumpuni dalam bidang fiqih dan hadits, karena beliau
mengambil hadits langsung dari ayahnya, ahlul bait, dan selainnya. Bahkan banyak syekh
dari Kuffah yang belajar kepadanya. Berbagai pujian dan sanjungan datang kepada beliau
dari orang yang pernah belajar kepadanya, diantaranya ialah Imam Abu Hanifah (yang
ungkapannya penulis kutipkan diatas), Abdullah Bin Al-Hasan Bin Al-Hasan, Abu
Muhammad , Ibrahim, dll.
Dalam satu pujiannya, Abdullah Bin Hasan mengungkapkan tentang keilmuan yang dimiliki
oleh Imam Zaid dengan mengatakan bahwa dia belum pernah melihat seorangpun semasanya
yang menandingi keahliannya, dan tidak pula dari ahlul bait-nya.
Ilmu tanpa dihisai dengan sulukiyah al-hasanah tidak akan bermanfaat. Maka, selain
menguasai ilmu keislaman, Imam Zaid juga menguasai sulukiyah al-hasanah sebagai sarana
bersosialisasi dan berinteraksi dengan masyarakat dalam menyebarkan pemikirannya. Seperti
keikhlasan, karena keikhlasan itu bagaikan cahaya yang akan menerangi dirinya; pemberani,
sabar, kesadaran berfikir, kefasihan dalam bertutur kata, insting yang kuat, haibah yang
tinggi, dll.
Dalam pengembaraannya mencari ilmu, Imam Zaid tidak hanya berkutat di Madinah bersama
Alul Bait, tapi dia sudah mengembara kepenjuru negeri arab hanya untuk memperdalam
pengetahuannya. Seperti hijrahnya ke Iraq, disana ia mendapatkan ilmu baru yang tidak ia
dapatkan sebelumnya di Madinah, seperti ilmu tentang filsafat, ilmu al-adyan, dan ‘ilmu al-
firaq.
2) Guru – gurunya: Guru utama Zaid bin Ali bukan lain adalah ayahnya sendiri, Ali
Zainal Abidin, seorang fakih dan perawi hadis yang sangat gandrung dengan ilmu dan
menjauhi politik. Pada tahun 25 Muharram 95 H/ 713 Masehi ayahnya wafat, beliau
kemudian diasuh oleh saudara tertua ayahnya, yaitu Muhammad al–Baqir (57–113
H/677–732 M), ayah Imam Ja’far as–Sidiq. Selain itu, beliau juga dididik oleh
Abdullah bin Husain bin Fatimah binti Nabi Muhammad, guru Imam Abu Hanifah,
Imam Malik, dan Sufyan as-Sauri. Zaid bin Ali juga belajar kepada Muhammad bin
Hanafiyah bin Ali bin Abu Thalib, seorang pakar ilmu kalam pada zaman itu.
Kecintaan pada ilmu pengetahuan dan semangatnya dalam menyebarkan kebaikan
membuatnya berkeliling ke berbagai daerah. Tujuannya untuk bertemu dengan para
alim saat itu guna memperdalam ilmu di bidang akidah, fikih dan hadis. Di Basrah,
Zaid bin Ali sempat berjumpa dengan seorang pemuka Mu’tazilah, yakni Wasil bin
Atha’.
3) Kitab karyanya: Karya Zaid Ibn Ali yakni Al Majmu’. Kitab ini merupakan kitab
fiqih pertama diawal abad 2 H yang sampai pada zaman kini dan menjadi rujukan
utama madzhab Zaidiyah[2]. Buku ini kemudian disyarah32 oleh Syarifuddin al
Husain Ibn Haimi al Yamani as San’ani dengan judul Ar Raud an Nadir Syarh
Majmu’ al Fiqh al Kabir.
Ketika gerakan Zaid sudah semakin mantap dan konstelasi sudah meruncing ke arah
perjuangan bersenjata, sebagian pendukungnya malah berkhianat kepadanya. Mereka
mulai berargumen kepada Zaid dan berkata kepadanya, “Pertama, katakan kepada kami
tentang Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Umar bin Khattab?”
Zaid menjawab, “Aku tidak pernah mendengar siapapun di keluargaku menyebut mereka
dengan sebutan yang buruk.”
Mereka berkata, “Anggota keluargamu yang berhak atas kekhalifahan, dan mereka tidak
merasa tersinggung dengan direbutnya kekhalifahan oleh mereka berdua (Abu Bakar dan
Umar), dan sekarang Bani Umayyah, bukankah engkau akan merebutnya? Jadi
bagaimana engkau dapat menyebut mereka (Bani Umayyah) tidak adil dan melawan
mereka?” Setelah berkata demikian mereka pergi meninggalkannya, dan Zaid kemudian
menyebut mereka dengan sebutan rafidhah (bahasa Arab, artinya adalah “menolak” /
“tidak menerima”).
Setelah kejadian ini, kini hanya tinggal tersisa 220 orang yang setia kepada Zaid. Dengan
jumlah yang sangat sedikit, mereka mesti berhadapan dengan pasukan Yusuf bin Umar
al-Thaqafi yang berjumlah ribuan. Zaid kemudian mendatangi setiap rumah
pendukungnya, mengingatkan atas baiat yang pernah mereka berikan sebelumnya, dan
meminta dukungan mereka kembali, namun tak seorangpun yang kini bersedia.
Akhirnya, pertempuran tidak terelakkan, dengan jumlah pasukan seadanya Zaid terpaksa
menghadapi gempuran pasukan Bani Umayyah. Pada awalnya dia sempat memukul
mundur pasukan musuh, namun karena jumlah yang tidak seimbang, pada akhirnya
pasukan Zaid dikalahkan. Zaid sendiri tertembak panah di bagian dahinya, dia jatuh
tersungkur dan tewas.
Gubernur Yusuf lalu memenggal kepala Zaid dan mengirimkannya kepada khalifah Bani
Umayyah, Hisyam bin Abdul-Malik, di Damaskus. Putra Zaid, Yahya bin Zaid berhasil
melarikan diri ke Nainawa (sekarang berada di pantai timur Sungai Tigris, di seberang
Mosul, Irak), dan untuk sementara bersembunyi di sana sebelum akhirnya dia bertolak ke
Khurasan.
Tindakan Bani Umayyah kali ini, semakin membuat mereka dibenci oleh rakyat. Di sisi
lain, simpati rakyat terhadap Bani Hasyim (kabilah Arab yang masih memiliki hubungan
kekeluargaan yang lebih dekat dengan Nabi Muhammad, Alawi dan Abbasi termasuk di
dalamnya) terus bertambah.
Lalu bagaimana dengan Abu Hanifah? Dia sendiri tidak sampai dihukum mati, tapi dia
menerima hukuman cambuk yang diberikan kepadanya oleh Gubernur Irak pengganti
Yusuf, yakni Yazid bin Hubayrah (wafat 132 H / 750 M). Abu Hanifah kemudian
mencari perlindungan politik di Makkah, di mana dia tinggal di sana selama lebih dari
sepuluh tahun. Dia baru kembali ke Kufah setelah Dinasti Abbasiyah berkuasa pada tahun
132 H / 750 M.
2) Kondisi ekonomi Zaid bin Ali: Pada masanya Zayd bin Ali suadah mulai
berkembang proses jual beli barang dengan system kredit atau transaksi pembayaran
yang ditangguhkan. Pada saat itu harga yang lebih tinggi ditentukan oleh penjual, jika
pembeli menangguhkan pembayaran menyicil maka sebagai kompensasi kepada
penjual, dikarenakan penjual memberikan kemudahan kepada pembeli dalam
pembayaran. Transaksi ini sah dan dibenarkan selama transaksi tersebut dilandasi
oleh prinsip sama sama ridha diantara kedua pihak.
D. Substansi Pemikiran Tokoh:
1) Sanad hadist yang diutamakan ialah yang berasal Ahli Bait.
2) Khalifah bukanlah jabatan keturunan.
3) Melaksanakan amar ma’ruf merupakan kewajiban atas setiap muslim karena itulah ia
bertempur dengan khalifah Zayd.
4) Pelaku dosa besar diletakkan antara kufur dan iman, mereka dinamakan fasiq.
5) Manusia merupaka ikhtiar dan bertindak sesuai dengan kemampuan.
6) Para imam tidak mempunyai mukjizat.
E. Respon Tokoh terhadap Ekonomi: Zayd bin Ali adalah penggagas penjualan secara
kredit dengan harga yang lebih tinggi disbanding harga tunai. Zayd bin Ali
memperbolehkan penjualan hal tersebut. Hanya saja Zayd bin Ali tidak
memperbolehkan harga yang ditangguhkan pembayarannya lebih tinggi dari
pembayaran tunai, seperti penambahan pembayaran dalam penundaan pengembalian
pinjaman, dikarenakan penambahan terhadap penundaan adalah riba.
PEMIKIRAN EKONOMI MENURUT ZAYD BIN ALI DAN ABU HANIFAH ~ GUBUK
TATANG
E. Respon tokoh terhadap ekonomi: Imam Abu Hanifah terkenal sebagai pemuka
madzhab dalam masalah fiqh. Sehingga tidak ditemukan kebijakan-kebijakan atau
gagasa-gagasan khusus mengenai ekonomi yang ditawarkan oleh Abu Hanifah,
namun ia mengemukakan banyak pendapat dalam akad-akad muamalat dalam segi
pandang fiqh.
Sumber: Abu Hanifah - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Pemikiran Ekonomi Islam Abu Hanifah | Abdurrachman Tsanie (rohman-utm.blogspot.com)
Islam Is A Real Asset: Sejarah dan pemikiran Ekonomi Abu Hanifa, Abu Yusuf, Abu
Muhammad bin Al Hasan (Al Syaibani) dan Abu Ubaid (annajihah91.blogspot.com)
1) Perjalanan Pendidikan: Abu Yusuf mempunyai minat yang kuat terhadap ilmu
pengetahuan sejak kecil. Kecendrungan dan minat kuat tersebut selalu memacu beliau
untuk lebih giat menimba ilmu pengetahuan dari beberapa tokoh yang hidup pada
masanya dan ini pula yang mendorongnya untuk menekuni beberapa kajian, terutama
dalam kajian-kajian hadis, meskipun dalam perjalanan pendidikannya harus berbaur
dengan beberapa pekerjaan lain yang memaksa beliau untuk mencari nafkah dalam
upaya pemenuhan kebutuhan orang tuanya yang tergolong dalam kelompok garis
kemiskinan. Karir pendidikan Abu Yusuf dimulai dari mempelajari hadis dari para
tabi’in yang mempunyai nama besar dan termasyhur pada masa itu. Bakat dan
ketekunan Abu Yusuf dalam belajar ini telah menggugah hati Abu Hanifah untuk
membiayai seluruh keperluan pendidikannya, bahkan biaya hidup keluarganya. Hal
ini dikarenakan besarnya harapan Abu Hanifah terhadap Abu Yusuf dalam
melanjutkan dan menyebarluaskan paham fiqh beliau keberbagai wilayah. Hal ini
terliht dari ungkapan Abu Hanifah yang mengatakan bahwa Abu Yusuf adalah
seorang yang sangat kuat hafalan dan ilmunya. Tidak ada lagi seorangpun diseluruh
dunia yang lebih luas ilmu fiqhnya dari pemuda ini. Ungkapan tersebut memberi
gambaran bahwa sekiranya Abu Hanifah tidak mempunyai murid selain Abu Yusuf,
niscaya beliau sendiri (Abu Yusuf) telah cukup untuk menjadi kebanggan bagi
manusia.
2) Pertemuan dengan guru – gurunya: Abu Yusuf menjadi murid Abu Hanifah selama
17 tahun dan sejumlah ulama terkemuka pada masa itu. Antara lain (1) Jalil „Ata' bin
al-Sha‟bi seorang tabi'in senior, yang memiliki keahlian di bidang fikih dan hadis, (2)
al-A'mash yang nama lengkapnya Sulaiman bin Mahran, (3) Hisham ibn Urwah al-
Asadi al-Madani beliau adalah ulama hadis yang sangat terkenal pada masanya serta
termasuk dalam tabaqāt para tabiin yang banyak melahirkan murid terutama para
ulama Hijaz seperti al-Zuhri, Imam Malik dan lainnya , Abu Ishaq al-Shaibani,
Sofyan al-Thauri seorang imam yang ahli dalam bidang hadis, beliau juga salah
seorang mujtahid besar yang mempunyai pengikut dan pengaruh yang amat besar,
Muhammad Ibnu Abdillah Ibnu Abi Laila, beliau dikenal sebagai mujtahid yang
berpegang kepada ra‟yu dan pernah menjabat hakim di Kufah selama 33 tahun, yaitu
sejak masa Bani Umayyah sampai beberapa masa pada daulat Bani Abbasiyyah.
Selain itu juga tokoh seperti Sulaiman al-Tamimi dan Yahya Ibnu Said. Masing-
masing ulama besar tersebut sempat menjadi tempat Abu Yusuf menimba ilmu
pengetahuan (Azis, 1997: 16).
3) Kitab – kitab karyanya: · Kitab Al-Atsar yaitu kitab yang menghimpun hadits-
hadits yang diriwayatkan dari para gurunya dan juga ayahnya.
- Ketika Abu Hanifah meninggal dunia 183 H/798 M, dia pindah ke Madinah dan belajar
kepada Malik dan al-Awza’i, lalu dia menguasai fiqh yang mengandalkan hadis.
- Pada usia 19 tahun Asy-Syaibani belajar kepada Imam Abu Hanifah.
D. Respon tokoh terhadap ekonomi: Dari teori lain yang digagas oleh asy-syaibani
apabila dikaitkan pada kondisi ekonomi bisa kita lihat bahwa banyak manusia yang
kaya pada dunia ini akan tetapi di dalam hatinya tidak pernah merasakan kecukupan,
semakin kaya seseorang semakin merasa kekurangan di dalam hatinya, hal ini bisa
kita lihat bahwa masih banyak penjabat yang melakukan korupsi untuk menambah
harta kekayaannya padahal menurut asy-Syaibani sendiri menyatakan apabila manusia
telah merasa cukup dari apa yang dibutuhkan kemudian bergegaas pada kebajikan,
sehingga mencurahkan perhatian pada urusan akhiratnya, adalah lebih baik bagi
mereka.
D. Respon tokoh terhadap ekonomi: Pandangan ibn Miskawaih yang terkait dengan
aktivitas ekonomi adalah tentang pertukaran dan peranan uang. Ia menyatakan bahwa
manusia merupakan makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri. Untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya, manusia harus bekerjasama dan saling membantu dengan
sesamanya. Oleh karena itu, mereka akan saling memberi dan menerima.
Konsekuensinya mereka akan menuntut kompensasi yang pantas. Dalam hal ini, dinar
akan menjadi suatu penilaian dan penyeimbang yang tepat. Ia juga menegaskan
persyaratan mata uang bahwa logam yang dijadikan mata uang merupakan logam
yang dapat diterima secara universal melalui konvensi, yakni tahan lama, mudah
dibawa, tidak mudah rusak, dikehendaki orang dengan fakta orang senang melihatnya.
Sumber:
Pemikiran_Filsafat_Akhlak_dan_Ekonomi_Ib.pdf
7. Ibnu Taimiyah ( 661H – 728H / 1263M – 1328M )
A. Nama dan tahun penting kehidupannya
1) Nama Lengkap: Taqiyuddin Ahmad bin Abdul Al Hakim bin Taimiyah
2) Tahun penting kehidupannya: - Lahir di kota Haram, wilayah Syiria, pada hari Seni
10 Rabiul Awwal tahun 611 H.
- Pada tahun 1268 M, Ibnu Taimiyyah dibawa mengungsi oleh keluarganya ke
Damaskus.
- Setelah ayahnya wafat pada tahun 1284, Ibnun Taimiyyah yang baru berusia 21
tahun,menggantikan kedudukan sang ayah sebagai guru dan khatib pada masjid-
masjid sekaligus mengawali karirnya yang kontroversial dalam kehidupan masyarakat
sebagaiteolog yang aktif.
- Pada tahun 705 H / 1306 M, ia kembali dijebloskan kepenjara dibenteng Kairo,
karena mempertanggung jawabkan tulisannya tentang sifat- sifat Tuhan, yang dinilai
penguasa menimbulkan keresahan dan kerisuhan.
- Dan Ibnu Taimiyyah dibebaskan pada tahun 702 H / 1306 M.
- Selesai menjalani hukuman, pada tanggal 8 Syawal 709 H / 11 Maret 1310 M, Ibnu
Taimiyyah kembali ke Kairo dan tinggal disana sekitar tiga tahun lamanya.
- Pada Zulkaidah 712 H / Februari 1313 M, Ibnu Taimiyyah yang ketika itu telah cukup
lanjut usia ( sekitar 51 tahun ), beliau diperintahkan lagi pergi bertempur bersama-
sama tentara Islam ke medan perang Yerussalem.
- Pada bulan Juli 1326 M / bulan Sya‟ban 726 H, Ibnu Taimiyyah ditangkap lagi dan
dimasukkan lagi kepenjara di benteng Damaskus.
B. Perjalanan Pendidikan, pertemuan dengan guru gurunya, kitab – kitab
karyanya
1) Perjalanan pendidikannya: Ibnu Taimiyyah tumbuh dalam lingkungan keluarga
yang berpendidikan tinggi. Ia mulai belajar agama ketika ia masih kecil,
berkatkecerdasan dan kejeniusannya Ibnu Taimiyyah yang masih berusia muda sudah
dapat menghafal Al-Qur‟an dan telah mampu menamatkan sejumlah mata pelajaran
seperti tafsir, hadits, fiqh, matematika dan filsafat, serta berhasil menjadi yang terbaik
diantara teman-teman seperguruannya. Ibnu Taimiyyah menyelesaikan pendidikannya
dalam bidang yurisprudensi (Fiqh), hadits nabi, tafsir al-Qur‟an, matematika dan
filsafat pada usia yang sangat muda. Disebabkan oleh pemikirannya yang
revolusioner yakni gerakan tajdid (pembaharu) dan ijtihadnya dalam bidang
muamalah, membuat namanya terkenal diseluruh dunia.
2) Peretemuan dengan guru gurunya: Ibnu Taimiyyah belajar teologi Islam dan
Hukum Islam dari ayahnya sendiri. Disamping itu ia juga belajar dari ulamaulama
hadits yang terkenal. Guru Ibnu Taimiyyah berjumlah kurang lebih 200 orang,
diantaranya adalah Syamsuddin alMaqdisi, Ahmad bin Abu bin al-Khair, Ibnu Abi al-
Yusr dan alKamal bin Abdul Majd bin Asakir.
3) Kitab – kitab karyanya: a. Kitab fi Ushul Fiqh b. Kitab Manasiki al-Haj c. Kitab al-
Farq al-Mubin baina al-Thlaq wa al Yamin
C. Keadaan sosiologis, poltik Kondisi ekonomi:
1) Keadaan sosiologis: Struktur masyarakat Mamluk terbagi dalam beberapa kelas.
Pertama, bangsa Mamluk, yaitu mereka yang seketurunan dengan penguasa, para
pemimpin yang menduduki jabatan pemerintahan dan yang ikut berperang. Kedua,
kaum serbanan (ahl al-imamah), yaitu mereka yang bekerja di sejumlah kantor
pemerintahan. Ketiga, kelas para pedagang dan pengusaha, mereka sangat kaya raya
karena berkembangnya sektor perdagangan. Selain ketiga kelas di atas, ada kelas
masyarakat lainnya, yaitu: para buruh, perajin, pedagang kecil dan kaum miskin.
Mayoritas di antara mereka adalah kaum fallahin (petani dan buruh tani). Kondisi
mereka sangat buruk karena men-jadi sasaran dari berbagai pungutan pajak yang tak
sesuai dengan tingkat pendapatan masyarakat di wilayah itu.
2) Keadaan politik: Sekitar 13 tahun sebelum Ibnu Taimi-yah lahir, Dinasti Mamluk
membangun kekuasaan di Suriah dan Mesir. Penguasa pertama dari Dinasti Mamluk
(1260-1383 M) dikenal dengan nama Bahrite Mamluks. Masa pemerintahan awal
dinasti itu bersamaan dengan masa hidup Ibnu Taimiyah (1263-1328 M), ketika ia
tinggal di Damaskus maupun di Kairo. Baibar menjadi sultan Mesir pada tahun 1260-
1277 M. Pada masanya, banyak ulama, ahli hukum tertarik pergi ke Mesir yang
menjadi fokus dari per-kembangan dunia Islam dan pusat peng-kajian di dunia Islam
pada saat itu. Setelah Baibar meninggal dunia, Sultan Nasir Muhammad Qawalun
menaiki tahta (1293-1341 M). Inilah masa emas bagi Dinasti Mamluk, Ia
memperkenalkan sejumlah pembaruan politik dan ekonomi dan memperluas
hubungan diplomatik dengan negara-negara tetangga. Ia sangat menghargai ulama
para ulama dan kaum terpelajar. Pada masa ini, Ibnu Taimiyah mampu meraih
pengalaman akademik, politik dan ekonomi. Sultan Nasir memberinya kedudukan
yang tinggi di antara para ulama, setelah dia dijemput dari penjara akibat sejumlah
kesalahpahaman, perbedaan dan perselisihan pendapatnya dengan sejumlah ahli
hukum (ulama) yang menentang dirinya dan gagasan-gagasan-nya.
3) Kondisi ekonomi: Orang-orang Mamluk mengetahui bahwa stabilitas dan kesuksesan
pemerintahannya sangat tergantung pada kekuatan ekonomi. Oleh karena itu mereka
berusaha menggali sumber-sumber kesejahteraan, mengembangkan pertanian,
perdagangan dan industri. Sektor pertanian memperoleh prioritas pertama masa itu
sebagai sumber utama kesejahteraan masyarakat. Karena kehidupan masyarakat pada
waktu itu sangat tergantung kepada hasil produksi pertanian. Sejumlah lahan tanah
pada masa Dinasti Mamluk didistribusikan kepada para Amir sebagai bentuk iqta’
(pengganti gaji atau tanah ganjaran) sebagai bentuk hadiah dari pemerintah.7
D. Substansi pemikiran tokoh:
1) Kompensasi dan Harga Konsep Ibnu Taimiyah tentang kom-pensasi yang adil
(‘iwad al-mitsl) dan harga yang adil (tsaman al-mitsl) tidaklah sama. Kompensasi
yang adil adalah penggantian sepadan yang merupakan nilai harga yang setara dari
sebuah benda menurut adat kebiasaan. Kompensasi yang setara diukur dan ditaksir
oleh hal-hal yang setara tanpa ada tambahan dan pengurangan.
2) Keuntungan yang setara (adil) Ibnu Taimiyah menganjurkan penjual berhak
memperoleh keuntungan yang diterima secara umum (al-ribh al-ma’ruf) tanpa
merusak kepentingannya dan kepentingan pelanggannya. Keuntungan yang adil
adalah keuntungan normal yang secara umum diperoleh dari berbagai macam model
perdagangan, tanpa saling merugikan.
3) Mekanisme Pasar Ibnu Taimiyah memiliki pandangan yang jernih bagaimana dalam
sebuah pasar bebas, harga dipengaruhi oleh kekuatan permintaan dan penawaran.20 Ia
berkata: “Naik dan turunnya harga tidak selalu berkait dengan kezaliman (zulm) yang
di-lakukan seseorang. Sesekali, alasannya ada-lah adanya kekurangan dalam produksi
atau penurunan impor dari barang-barang yang diminta.
4) Regulasi harga Ibnu Taimiyah membedakan dua tipe penetapan harga yaitu: 1) Tidak
adil dan tidak sah adalah memaksa penduduk menjual barang-barang dagangan tanpa
dasar kewajiban untuk menjual, merupakan tindakan yang tidak adil dan
ketidakadilan itu dilarang; 2) Adil dan sah: saat pemerintah memaksa seseorang
menjual barangbarangnya pada harga yang jujur, jika pen-duduk sangat
membutuhkannya.
5) Uang dan Kebijakan Moneter , Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa pemerintah
harus mencetak mata uang yang sesuai dengan nilai transaksi yang adil dari
penduduk, tanpa keterlibatan kezaliman didalamnya. Dan juga para penguasa jangan
memplopori bisnis mata uang dengan membeli tembaga kemudian mencetaknya
menjadi mata uang koin, bahkan pemerintah harus mencetak mata uang dengan harga
yang sebenarnya tanpa bertujuan mencari keuntungan apapun dari pencetakannya
agar kesejahteraan publik terjamin.
E. Respon tokoh terhadap ekonomi: Pandangan Ibnu Taimiyyah tentang masalah
ekonomi sangat jelas. Seluruh kegiatan ekonomi dibolehkan, kecuali apa yang secara
tegas dilarang oleh syari’at. Dalam batasan larangan syari’at itu, semua orang
mengetahui hal itu demi kebaikan bagi mereka dan mereka bebas melakukan
transaksi, membuat kontrak atau mengerjakan berbagai masalah keduniaan dengan
cara yang adil dan jujur. Hal ini mengikuti doktrin Islam pokok dari tauhid dan secara
wajar mementingkan keadilan. Berkaitan dengan keadilan ini, beliau menulis,
“Keadilan berkait dengan tauhid dan tauhid merupakan fondamen dari keadilan.
Inilah yang memberikan keunggulan berkaitan dengan korupsi, yang merupakan dasar
dan fondasi dari ketidakadilan.
634-1410-1-SM.pdf
1) Analisis sosiologi: pada masa tokoh : Pemikiran Ibnu Khaldun dalam konteks
sosiologi dan sejarah Arab sangat menarik untuk dikaji. Dia membagi masyarakat
menjadi tiga tingkatan. Pertama, masyarakat primitif (wahsy), di mana mereka belum
mengenal peradaban, hidup berpindah-pindah dan hidup secara liar. Kedua,
masyarakat pedesaan, hidup menetap walaupun masih sederhana. Mata pencaharian
mereka dari pertanian dan peternakan. Dalam kelas ekonomi mereka dibagi menjadi
tiga, yaitu: petani, penggembala sapi dan kambing serta penggembala unta.
Sedangkan yang Ketiga, masyarakat kota. Masyarakat ini menurutnya sebagai
masyarakat berperadaban, di mana mata pencahariannya dari perdagangan dan
perindustrian. Tingkat ekonomi dan kebudayaan cukup tinggi, mampu mencukupi
kebutuhannya bukan hanya kebutuhan pokok, melainkanjuga kebutuhan sekunder dan
mewah. Kebesaran pemikiran Ibnu Khaldun telah banyak
mempengaruhi filosuf Eropa dan pemikir pada masa pencerahan. Ibnu Khaldun telah
mampu membuka sinyal teori evolusi biologi sebelum dilontarkan oleh Herbert
Spencer, teori pemindahan solidaritas mekanis ke solidaritas unsur sebelum
didengungkan oleh Durkheim dan, teori hegemoni kekuasaan sebelum disampaikan
oleh Max Weber mengungkap teori surplus nilai sebelum Karl Marx dan
kaidah dialektikasebelum Hegel, di samping teori lain seperti filsafat evolusi sejarah
dan kreasi barunya, ilmu sosiologi serta ilmu budaya.
3) Keadaan peradaban dan budaya pada masa tokoh :Masyarakat menurut Ibnu Khaldun
merupakan sekumpulan manusia yang berkontribusi dalam menjalankan aktivitasnya
sebagai penggerak di muka bumi.Fitrah manusia yang paling dasar adalah membentuk
sebuah perkumpulan untuk saling membutuhkan satu sama lain dan kuat dalam
menghadapi kehidupan, yang bertujuan untuk memberikan perlindungan terhadap
kejahatan dan penjajahan yang dilakukan oleh sekelompokorang.Ibnu Khaldun
membagi masyarakat ke dalam dua jenis, yaitu masyarakat Badui, yang memiliki
watak keras dan memiliki rasa solidaritas yang tinggi terhadap anggota keluarga,
kelompok, dan golongannya, dan masyarakat kota, yang memiliki sifat menetap, tidak
berpindah-pindah, dan malas.Tulisan ini berusaha menggali pokok persoalan sekitar
latar belakang kehidupan Ibnu Khaldun, pandangannya tentang konsep masyarakat,
serta hubungan agama dan negara dalam masyarakat. Studi ini bertujuan untuk
mengetahui konsep pemikiran Ibnu Khaldun, pandangannya tentang konsep
masyarakat serta hubungan agama dan negara dalam masyarakat.
4) Kondisi ekonomi pada saat pemikiran itu muncul Salah satu karya fenomenal Ibnu
Khaldun adalah Kitab Al-Muqaddimah,
yang Selesai penulisan nyapada Nopember 1377. Sebuah kitab yang sangat
menakjubkan, karena isinya mencakup ilmu dan kehidupan manusia pada ketika itu.
Al-Muqaddimah secara harfiah bararti 'pembukaan' atau 'introduksi' dan merupakan
jilid pembuka dari tujuh jilid tulisan sejarah. Al-Muqaddimah mencoba untuk
menjelaskan prinsip-prinsip yang menentukan kebangkitan dan keruntuhan dinasti
yang berkuasa (daulah) dan peradaban ('umran). Tetapi bukan hanya itu saja
yang dibahas.Al Muqaddimah juga berisi diskusi ekonomi, sosiologi dan ilmu politik,
yang merupakan kontribusi orisinil Ibnu Khaldun untuk cabang-cabang ilmu tersebut.
Ibnu Khaldun juga layak mendapatkan penghargaan atas formula dan ekspresinya
yang lebih jelas dan elegan dari hasil karya pendahulunya atau hasil karya ilmuwan
yang sejaman dengannya. Melahirkan karya Al-Muqaddimah menjadikan Ibnu
Khaldun sebagai seorang genius polymath (jenius dalam berbagaibakat) dan
seorang renaissance manyang menguasai banyak bidang ilmu. Di dalam kitab ini,
Ibnu Khaldun membincangkan berbagai topik seperti sejarah, geografi, matematik,
agama, sistem kerajaan, sistem ekonomi, sistem pendidikan dan lain-lain.
1) Teori tentang harga -Tingkat keuntungan yang wajar akan mendorong tumbuhnya
perdagangan, tingkat keuntungan yang rendah jika berlanjut perniagaan akan macet,
dan pasar menjadi hancur serta modal tidak kembali (Muqaddimah, h. 398)
- Kemerosotan harga dari produk pertanian akan membawa kegoncangan petani, jika
berlanjut petani akan jatuh pada kemiskinan modal mereka tidak Kembali
- Kerendahan harga yang melampaui batas, serta kemahalan harga yang ekstrim akan
merugikan kaum pedagang (muqaddimah)
- Emas dan perak merupakan logam mulia yang menjadi ukuran harga dan akumulasi
modal/kapital, serta menjadi simpanan dan kekayaan bagi penduduk (muqaddimah)
2) Sektor pertanian
Pertanian pada dasarnya merupakan sektor penghidupan yang dapat mendorong
pertumbuhan sektor lain (muqaddimah, h. 383)
3) Sektor industri
Industri akan berkembang, jika permintaan konsumen meningkat dan industri akan
bangkrut jika permintaan konsumen merosot (muqaddimah, h. 408)
4) Faktor Tumbuhnya Produksi
– Alam (kekayaan alam)
– Pekerja
– Modal
– Pasar (muqaddimah, h. 403)
5) Teori tentang mata uang
- Mata uang sebagai alat pengukur harga barang kekayaan (muqaddimah, h.381)
- Fungsi uang yang pertama sebagai alat penukaran dan kedua sebagai nilai 3)
Kekayaan suatu negara tidak ditentukan oleh banyaknya uang disuatu negara
melainkan ditentukan oleh tingkat produksi suatu negara.
Pada tahun 791 H (1389 M), Sultan Barquq mengangkat Al-Maqrizi sebagai muhtasib di
kairo.Jabatan itu diembannya selama dua tahun. Pada masa ini, Al-Maqrizi mulai banyak
bersentuhan dengan berbagai permasalahan pasar, perdagangan, dan mudharabah, sehingga
perhatiaannya terfokus pada harga-harga yang berlaku, asal-usul uang, dan kaidah-kaidah
timbangan.(Hammd bin Abdurrahman Al-Janidal, 1406 H : 208 dikutip dalam buku
Adiwarman Azwar Karim, 2004 : 381). Pada tahun 811 H (1408 M), Al-Maqrizi sebagai
pelaku administrasi wakaf di Qalanisiyah, sambil bekerja di rumah sakit an-Nuri, Damaskus.
Pada tahun yang sama, ia menjadi guru hadis di Madarasah Asyrafiyyah dan Madarasah
Iqbaliyyah. Kemudian, Sultan Al-Malik Al-Nashir Fajr bin Barquq (1399-1412)
menawarinya jabatan wakil pemerintahan Dinasti Mamluk di Damaskus. Namun, tawaran ini
ditolak Al-Maqrizi. (Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam, 1999 : 42 dikutip dalam buku
Adiwarman Karim, 2004 : 381).
Dari perspektif objek pembahasan, apabila kita telusuri kembali berbagai literatur Islam
klasik, pemikiran terhadap uang merupakan fenomena yang jarang diamati para cendikiawan
Muslim, baik pada periode klasik maupun pertengahan.
2. Teori Inflasi
akibat dominasi para pejabat bermental korup dalam suatu pemerintahan, pengeluaran negara
mengalami peningkatan yang sangat drastis. Sebagai kompensasinya, mereka menerapkan
sistem perpajakan yang menindas rakyat dengan memberlakukan berbagai pajak baru serta
menaikan tingkat pajak yang sudah ada.Hal ini sangat mempengaruhi kondisi para petani
yang merupakan kelompok mayoritas dalam masyarakat. Para pemilik tanah yang ingin
selalu berada dalam kesenangan akan melimpahkan beban pajak kepada para petani melalui
peningkatan biaya sewa tanah. Karena tertarik dengan hasil pajak yang sangat menjanjikan,
tekanan para pejabat dan pemilik tanah terhadap para petani menjadi lebih besar dan
intensif.Frekuensi berbagai pajak untuk pemeliharaan bendungan dan pekerjaan-pekerjaan
yang serupa semakin meningkat.(Al-Ashraf Sha’ban, dalam Al-Maqrizi 1986 : 50-51 dikutip
dalam Adiwarman Azwar Karim, 2006 : 428)
5. Peningkatan sirkulasi Mata Uang Fulus Seperti yang telah disinggung diatas, pada
awalnya uang fulus yang mempunyai nilai instrintik jauh lebih kecil dibandingkan dengan
nilai nominalnya dicetak sebagai alat transaksi untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari
yang tidak signifikan. Oleh sebab itu, jumlah mata uang ini hanya sedikit yang terdapat dalam
peredaran. Keadaan ini menempatkan fulus sebagai standar nilai bagi sebagian besar barang
dan jasa.Kebijakan pencetakan fulus secara besar-besaran, menurut Al-Maqrizi, sangat
mempengaruhi penurunan nilai mata uang secara drastis.Akibatnya, uang tidak lagi bernilai
dan harga-harga membumbung tinggi yang pada gilirannya menimbulkan kelangkaan bahan
makanan.
PEMIKIRAN_EKONOMI_AL_MAQRIZI.pdf
https://media.neliti.com/media/publications/287387-pemikiran-ekonomi-al-maqrizi-
c6dc494b.pdf
10. Abu Ubayd al-Qasim Ibn Sallam ( 154H – 224H / 770M – 838M )
A. Nama dan tahun penting kehidupannya
1) Nama Lengkap: Abu 'Ubaid al-Qasim bin Sallam al-Khurasani al-Harawi
2) Tahun penting kehidupannya: - Abu Ubaid al-Qasim bin Salam (lahir
di Herat tahun 154 H/770
- ia menghabiskan masa kecilnya di Herat hingga mencapai usia 20 tahun,
- emudian pada tahun 179 H/795 ia pindah ke berbagai kota seperti Kufah, Bagdad,
Tartus dan kota-kota di Syam untuk belajar dari para ahli fikih, tafsir, nahwu dan
bahasa Arab.
- Kemudian ia kembali ke Herat, dan bekerja sebagai sastrawan, lalu ia menjadi Qadi di
Tartus pada tahun 192 H/807 dan menduduki jabatan tersebut hingga 18 tahun,
- kemudian ia pindah ke Khurasan pada tahun 210 H/826, karena ia dekat dengan
penguasa disana maka ia diangkat sebagai wali.
B. Karyanya: Al-Gharibal-MushannifatauGharibal-MushannifatauAl-GharibalMu`allif,
Gharibal-Hadits,
C. Substansi pemikiran tokoh: Kitab al Amwal merupakan sebuah mahakarya tentang
ekonomi yang dibuat oleh Abu‘Ubaid yang menekankan beberapa issu mengenai
perpajakan, hukum,serta hukum administrasi dan hukum internasional. Kitab Al-
Amwal secara komprehensif membahas tentang sistem keuangan publik islam
terutama pada bidang administrasi pemerintahan. Abu‘Ubaid ,dalam Kitab Al-
Amwal, banyak mengutip pandangan dan perlakuan ekonomi dari imam dan ulama
terdahulu .Ia sering mengutip pandangan Malik ibn Anas dan pandangan sebagian
besar ulama madzhab Syafi’I lainnya, dan juga mengutip beberapa ijtihad Abu
Hanifah,Abu Yusuf dan Muhammad ibn alHasan asy-Syaibani.
D. Respon tokoh terhadap ekonomi: Buku yang berjudul al-Amwal di tulis oleh Abu
Ubayd al-Qasim merupakan suatu buku yang membahas keuangan publik atau
kebijakan fiskal secara komprehensif. Di dalamnya dibahas secara mendalam tentang
hak dan kewajiban negara, pengumpulan dan penyaluran zakat, ‘khums, kharaj, fay,
dan bebagai sumber penerimaan negara lainnya. Buku ini juga kaya dengan paparan
sejarah ekonomi negara Islam pada masa dua abad sebelumnya, selain juga
merupakan kompendium yang auntentik tentang kehidupan ekonomi negara Islam
pada masa Rasulullah.