Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH KELOMPOK

PSIKOLOGI FORENSIK

Disusun oleh:
Fakhira 17011146
Nurul Atika 17011047
Dhea Safira Hendrika 17011143
Nathasia Aini Gaumena 17011285

Dosen Pengampu :
Tesi Hermaleni, S.Psi.,M.Psi.

JURUSAN PSIKOLOGI
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2020
A. Adiksi
Menurut Howitt (2009) Salah satu misteri perilaku kriminal adalah kegigihannya
pada beberapa individu meskipun memiliki konsekuensi negatif yang serius.
Pengamatan dasar ini telah menyebabkan beberapa orang (Hodge, McMurran dan
Hollin, 1997) mengusulkan bahwa kejahatan dapat memiliki banyak kesamaan
dengan perilaku yang diklasifikasikan sebagai kecanduan (Adiksi). Pada awalnya,
tampaknya tidak mungkin penjelasan biologis sederhana tentang kecanduan dapat
menjelaskan kejahatan. Tidak ada zat yang masuk ke tubuh, tidak ada perubahan
dalam metabolisme atau aktivitas otak yang telah diidentifikasi. Namun, beberapa
psikolog yang berspesialisasi dalam bidang Adiksi berpegang teguh pada model
Adiksi biologis murni. Ada sejumlah penjelasan sosio-psikologis untuk menjelaskan
setidaknya beberapa penjelasan aspek adiksi.
Dari sudut pandang yang lebih luas ini, kecanduan adalah produk dari interaksi
faktor pribadi dan lingkungan di mana adiksi biologis stereotip hanyalah sebagiannya.
Salah satu konsekuensi dari ini adalah bahwa konsep seperti kecanduan seks atau
kecanduan judi mulai dilihat dari sudut pandang yang berbeda. Alasan untuk
mempertimbangkan beberapa kejahatan sebagai kecanduan meliputi:
a. Kecanduan, penyalahgunaan zat dan penyalahgunaan alkohol semuanya sering
terjadi dalam populace kriminal. Terjadinya kecanduan mungkin menyiratkan
bahwa ada kepribadian yang rentan kecanduan atau penjelasan predisposisi yang
serupa. Kebersamaan tidak terjadi dengan semua jenis pelanggaran. Ambillah,
misalnya, pelanggaran seks. Untuk kejahatan semacam itu, bukti kejadian
bersama beragam, paling banter, dan secara keseluruhan cukup lemah (McGregor
dan Howells, 1997). Namun, ada bukti bahwa faktor risiko atau anteseden atau
prediktor perilaku adiktif hampir sama dengan kriminalitas (misalnya masalah
sekolah, kesulitan berperilaku di masa kanak-kanak, hubungan dengan teman
sebaya yang nakal).
b. Kegigihan dan eskalasi: meskipun ada kecenderungan terkenal untuk
menurunnya aktivitas kriminal seiring bertambahnya usia - menjadi produk masa
muda - tidak demikian halnya untuk semua pelanggar. Untuk sebagian kecil,
perilaku antisosial tampak lebih seperti karier seumur hidup
c. Proses perubahan: perawatan yang berhasil hampir sama untuk berbagai
kejahatan dan berbagai kecanduan. Mereka cenderung mengadopsi model
perilaku kognitif. Selain itu, proses perubahan terapi tidak berbeda dengan
penyalahgunaan zat dan kejahatan (McMurran, Hodge dan Hollin 1997).

Enam karakteristik umum dari kecanduan dapat dievaluasi menggunakan data


yang dikumpulkan dari joyriders:
1. Toleransi: kebutuhan lebih untuk menghasilkan efek yang sama. Banyak
pencurian adalah norma, mulai dari 50 hingga angka tak tentu dalam ratusan.
Mobil yang lebih cepat dan lebih aman menjadi sasaran khusus. Secara universal,
para pelanggar berbicara tentang mencuri sesuai permintaan atau ketika mereka
membutuhkan uang.
2. Salience: semakin pentingnya kecanduan dalam gaya hidup. Joyriders mobil
sering kali mengabaikan minat mereka sebelumnya pada hal-hal seperti tinju,
snooker, dan video game. Pencurian mobil cenderung episodik - yaitu, setelah
sesi minum atau episode mengendus, anak-anak mencuri mobil selama dua atau
tiga hari, menguras tenaga dan beristirahat untuk mendapatkan tidur yang
nyenyak
3. Konflik: meningkatkan kesadaran akan konsekuensi negatif. Sementara semua
anak muda menyadari konsekuensi negatifnya, apakah ini meningkat atau tidak
sulit untuk dinilai. Pastinya, lebih dari setengah dari mereka mencoba berhenti.
4. Penarikan: kesusahan setelah periode non-keterlibatan. Beberapa telah melarikan
diri dari sekolah ke joyride, dan melarikan diri adalah fitur yang sangat umum
dari joyriders di institusi lain.
5. Nafsu keinginan: tekanan yang berhubungan dengan keinginan untuk terlibat
kembali. Beberapa, tapi tidak semuanya, memiliki lamunan seputar tema
kegembiraan.
6. Relaps: pemulihan setelah keputusan untuk berhenti atau berkurang. Ada
beberapa bukti kesulitan pada mereka yang mencoba untuk berhenti tetapi ini
tidak universal.

B. Biososial
‘Mengapa kita berprilaku dengan cara yang diinginkn secara sosial? Jawaban dari
Eyesenck adalah bahwa kita belajar untuk tidak menjadi penjahat. Teori Eyesenck
kemudian disebut sebgai biososial, Eyesenck berpendapat bahwa faktor genetik
memberikan kontribusi yang besar atas perilaku manusia tetapi efeknya ada dibawah
pengaruh faktor lingkungan dan sosial. Variasi genetik mempengaruhi perbedaan
psikologis antara orang-orang yang mengarah pada kecenderungan memiliki
hubungan dengan kejahatan.
1. Bawaan dan Kepribadian
Pada teori Eyesenck terdapat tiga komponen kepribadian yaitu, ekstraversi,
neuroticism dan psikotisme. Setiap komponen kepribadian ini terdapat ciri-ciri khas,
yaitu :
a. Ektraversi : Aktif, tegas , kreatif, tanpa beban, dominan, lincah, mencari
sensasi dan berani.
b. Psikopatisme : agresi, anti sosial, dingin, kreatif, egosentris, impersonal,
impulsif, tangguh, kurang empati.
c. Neuroticism : cemas, depresi, emosional, rasa bersalah, irrasional, harga diri
rendah, murung, pemalu, tegang.
Berdasarkan komponen kepribadian tersebut Eyesenck berpendapat bahwa dari
semua komponen kepribadian, pejahat menunjukan semua komponen kepribadian
pada level yang tinggi.
2. Teori tipe genetika
a. Twin Studies
Studi ini mendukung anggapan bahwa sifat yang diwariskan dapat
meningkatkan resiko pelaku kriminal. Studi ini membandingkan tingkat
perilaku kriminal pada anak kembar yang secara genetik identik atau
komber monozigot dengan anak kembar yang tidak identik atau kembar
dizigotik untuk menilai peran pangaruh genetik dan lingkungan. Menurut
Eyesenck studi anak kembar merupakan faktor penting dalam teorinya.
Eyesenck yakin bahwa bukti dari studi kembar yang dibesarkan bersama
dan yang terpisah mendukung hipotesis bahwa ada warisan genetika dalam
perilaku kriminal.
Kembar identik atau monozigot cenderung mirip dalam hal kriminal.
Pernyataan ini didukung dengan pendapat Dalgaard dan Kringlen, yang
menurut mereka bahwa kecenderungan perilau kriminal dari kembar
identik adalah kemungkinan bahwa mereka hidup dan dibesarkan di
lingkungan yang sama, dan sangat jarang kasus dimana anak kembar
dirawat terpisah. Menurut Carey (1992) menyatakan bahwa kembar
identik mungkin saling meniru satu sama lain dibandingkan kembar tidak
identik.
b. Adoption Studies
Pada studi ini dilakukan esperiman alami untuk mneguji keberadaan
dan kekuatan predisposisi yang diturunkan pada anak yang di adopsi yang
telah berpisah sejak lahir dengan orang tua kandung mereka. Dan dengan
demikian kesamaan antara anak adopsi dan orang tua kandung dapat
diperkirakan sebagai pengaruh genetik sedangkan persamaan antara anak
adopsi dengan orang tua angkat dapt dianggap sebagai pengaruh dari
lingkungan.
c. Teori Kromosom
Genetika dasar seks adalah wanita memiliki kromosom X dan pria
memiliki kromosom X dan kromosom Y, teradang pria dilahirkan dengan
dua kromosom Y yaitu XYY. Beberapa diantara merea yang terlahir
demikian cederung memiliki IQ rendah, dan mungkin menunjukan sifat
ektra maskulin, dimana masulinitas terkait dengan agresi. Jadi
kemungkinan pria dengan kromosom XYY lebih agresi, oleh karena itu
berkembang gagasan bahwa para pelanggar di penjara merupakan pria
dengan kromosom XYY. Pada pria-pria dengan kromosn XYY ini mereka
tidak secara khusus terlibat dalam kejahatan berupa ekerasan, mereka
hanya melakukan kejahatan tanpa kekerasan. Pria yang memiliki pola
kromosom XYY menunjukan kelainan, pada sekitar tiga perempat kasus
hal iini tidak terdeksi karena mereka menunjukan mental dan fisik yang
memuaskan dalam perembangannya. Dan kemudian ditemukan pria
dengan kromosom XYY yang dipilih karena mereka tinggi, agresif dan
dengan IQ rendah. Selain kromosom XYY, terdapat kasus seorang anak
laki-laki dengan pola kromosom XXYY yang sangat langka, dan dia
melakukan melakukan pelecehan seksual terhadap anak-anak.

C. LEARNING
1. Teori Asosiasi Diferensial
Teori ini dikemukakan oleh Edwin H. Shuterland yaitu tidak ada tingkah laku
yang diwariskan oleh kedua orang tua. Perilaku jahat tidak diwariskan, tetapi
dipelajari melalui pergaulan lingkungan. Tingkah laku jahat dipelajari melalui
interaksi komunikasi dan dalam kelonpok mempelajari teknik melakukan kejahatan
dan alasan yang mendukung melakukan perilaku kejahatan. (Moon, Hwang, &
McCluskey, 2011) menemukan bahwa teori asosiasi diferensial adalah salah satu
prediktor siswa melakukan kekerasan di sekolah seperti kasus bullying. Seperti yang
diketahui bahwa teori asosiasi deferensial ini tidak dipengaruhi oleh gen tetapi
lingkungan di dalam penelitia ini ditemukan hal sebaliknya yaitu tidak ada hubungan
yang signifikan antara teori asosiasi dengan teman sebaya yang nakal
2. Teori Imitasi
Imitasi kriminal adalah kejahatan yang dilakukan oleh individu yang ditiru dari
kejahatan lain. Kejahatan terbentuk karena adanya pengaruh liputan media seperti
tempat kerja yang melakukan kekerasan, kejahatan rasial, pembunuhan massal,
pembajakan dan terorisme. Lalu juga dipengaruhi oleh penggambaran secara fiksi
seperti perampokan, pembunuhan, pemerkosaan dan kejahatan lain melalui media TV,
film, dan video game. Efek dari imitasi ini dapat disebut sebagai efek penularan
karena mengacu pada kelompok komunikasi massa yang mempengaruhi perilaku
serupa. Contohnya adanya kasus bunuh diri yang terkenal pada tahun 1962 karena
adanya efek penularan dan peniru, setelah kejadian tersebut meningkatnya kasus
bunuh diri di amerika sebanyak 12% terutama pada wanita. Karena adanya kasus
bunuh diri di amerika hal tersebut menjadi acuan untuk bunuh diri berikutnya
(Helfgott, 2015)
3. Teori Behavioristik
Teori behavior ini BF. Skinner memberikan mekanisme pembelajaran utama
perilaku sosial adalah operant conditioning. Dalam teori kejahatan perilaku ini
dibentuk karena adanya stimulus yang mengikuti atau sebagai konsekuensi dari
perilaku yang ada. Pengkondisian ini secara langsung dan perilaku imitasi merupakan
hal penting dalam menentukan pembentukan perilaku seta adanya dorongan positif
dan menghindar dari hukuman untuk memeperkuat perilaku tersebut. Untuk
menentukan apakah seseorang itu menyimpang tergantung oleh perbedaan dorongan
yang dilakukan oleh perilaku tersebut karena manusia belajar norma, sikap, nilai dan
lain-lain melalui orang yang dianggap penting bagi dirinya. Oleh karena itu asosiasi
kita dengan orang yang kita angggap penting bagi diri kita akan membentuk stimuli
untuk perilaku kita .
4. Social Learning
Sudah diketahui sejak lama bahwa individu dapat belajar melalui proses peniruan.
Efek modeling Miller dan Dollard (1994) menganggap peniruan adalah sebagai
bentuk pembelajaran melalui pengamatan pengalaman orang lain. Albert Bandura
pada tahun 1950 memunculkan teori belajar sosial, studi awalnya yaitu anak-anak
meniru tindakan orang dewasa seperti memukul boneka badut tiup dengan palu. Hal
ini merupakan bukti bahwa pembelajaran dapat diamati melalui pengalaman perilaku
dari proses pengkondisian. Menyarankan orang untuk mempelajari tindakan
kekerasan dan kriminal mereka dari orang lain adalah sesuatu hal yang lemah.
Kecuali kekerasan dan kejahatan sepenuhnya dari genetik maka akan dipelajari secara
sosial dalam beberapa cara. Dalam menyelidiki kasus kejahatan diperlukan ilmu dari
sudut pandang forensik dan kriminal. Misalnya psikolog menganalisis kasus kejahatan
yang mana ditemukan seseorang melakukan tindakan kriminal pada dasarnya ada
tujuan yang sesuai dengan teori sosiologis yang mengarahkan kepada peluang dan
kesempatan yang ada (Duff, 2016)

D. Social Constructionism
1. Definisi konstruksi sosial
Konstruksi sosial adalah proses sosial melalui perilaku dan interaksi
individu dalam menciptakan suatu realitas secara kontinu yang dimiliki dan
dialami bersaya secara subjektif (Poloma, 204). Tujuan dari konstruksi sosial
adalah unutk menjelaskan bagaimana fenomena sosial dibangun. Dalam kajian
psikologis, kontruksi sosial didefinisikan sebagai upaya memahami secara
holistik apa yang manuasia kakukan dan apa makna dari manusia itu sendiri
(Harre dan Langenhove, 1999).
DeLamater dan hyde menyatakan bahwa konstruksi sosial tidak memiliki
esensi atau pokok yang benar, realitas merupakan kontruksi sosial karena
memfokuskan pada variasi budaya dalam mempertimbangkan apa yang
menjadi daya tarik terhadap sesuatu (Ngangi, 2011). Luckmann menyatakan
mengenai kontruksi sosial dalam realitas bahwa makna dan pemahaman
individu berasal dari proses interaksi dengan indivudu lainnya. dari
pembahasan tersebut terdapat asumsi-asumsi dasar Berger dan Lucmann
(Ngangi, 2011) mengenai teori konstruksi sosial, yaitu:

a) Realitas merupakan hasil ciptaan manusia kreatif melalui kekuataan


konstruksi sosial terhadap dunai sosial di sekelilingnya.
b) Hubungan antara pemikiran manusia dan konteks sosial tempat pemikiran
itu timbul, bersifat berkembang dan dilembagakan.
c) Kehidupan masyarakat itu dikonstruksi secara terus menerus.
d) Membedakan antara realitas dengan pengetahuan. Realitas diartikan
sebagai kualitas yang terdapat di dalam kenyataan yang diakui sebagai
memiliki keberadaan (being) yang tidak bergantung kepada kehendak kita
sendiri. Sementara pengetahuan didefinisikan sebagai kepastian bahwa
realitas-realitas itu nyata (real) dan memiliki karakteristik yang spesifik.

2. Entry Concept Of Social Constructivism


Berger dan Luckman (1990) mengatakan institusi masyarakat tercipta dan
dipertahankan atau diubah melalui tindakan dan interaksi manusia. Meskipun
masyarakat dan institusi sosial terlihat nyata secara obyektif, namun pada
kenyataan semuanya dibangun dalam definisi subjektif melalui proses
interaksi. Objektivitas baru bisa terjadi melalui penegasan berulang-ulang
yang diberikan oleh orang lain yang memiliki definisi subyektif yang sama.
Pada tingkat generalitas yang paling tinggi, manusia menciptakan dunia dalam
makna simbolis yang universal, yaitu pandangan hidupnya yang menyeluruh,
yang memberi legitimasi dan mengatur bentuk-bentuk sosial serta memberi
makna pada berbagai bidang kehidupannya.
Proses konstruksinya, jika dilihat dari perspektif teori Berger & Luckman
berlangsung melalui interaksi sosial yang dialektis dari tiga bentuk realitas
yang menjadi entry concept, yakni subjective reality, symbolic
reality dan objective reality. Selain itu juga berlangsung dalam suatu proses
dengan tiga momen simultan, eksternalisasi, objektivikasi dan internalisasi.
a) Objective reality, merupakan suatu kompleksitas definisi realitas
(termasuk ideologi dan keyakinan ) serta rutinitas tindakan  dan tingkah
laku yang telah mapan terpola, yang kesemuanya dihayati oleh individu
secara umum sebagai fakta.
Objektivasi adalah hasil yang telah dicapai baik mental maupun fisik dari
kegiatan eksternalisasi manusia. Hasil itu menghadapi sang penghasilnya
sendiri sebagai suatu faktisitas yang ada di luar dan berlainan dari
manusia yang menghasilkannya. Lewat proses ini masyarakat menjadi
suatu realitas sui generis. Objektivasi masyarakat meliputi beberapa unsur
misalnya institusi, peranan, identitas. Keluarga merupakan contoh sebuah
institusi yang secara objektif real “ada di sana” dapat memaksakan pola-
pola tertentu pada individu yang hidup dalam lingkungannya. Suatu
peranan memiliki objektivitas yang serupa (Ngangi, 2011).
b) Symblolic reality, merupakan semua ekspresi simbolik dari apa yang
dihayati sebagai “objective reality” misalnya teks produk industri media,
seperti berita di media cetak atau elektronika, begitu pun yang ada di film-
film.
c) Subjective reality, merupakan konstruksi definisi realitas yang dimiliki
individu dan dikonstruksi melalui proses internalisasi. Realitas subjektif
yang dimiliki masing-masing individu merupakan basis untuk melibatkan
diri dalam proses eksternalisasi, atau proses interaksi sosial dengan
individu lain dalam sebuah struktur sosial. Melalui proses eksternalisasi
itulah individu secara kolektif berpotensi melakukan objectivikasi,
memunculkan sebuah konstruksi objektive reality yang baru. (Hidayat,
2003)

Berger menemukan konsep untuk menghubungkan antara yang subjektif dan


objektif melalui konsep dialektika, yang dikenal dengan eksternalisasi-objektivasi-
internalisasi.
a) Eksternalisasi ialah penyesuaian diri dengan dunia sosio-kultural sebagai
produk manusia. “Society is a human product”.
b) Objektivasi ialah interaksi sosial dalam dunia intersubjektif yang
dilembagakan atau mengalami institusionalisasi. “Society is an objective
reality”.
c) Internalisasi ialah individu mengidentifikasi  diri di tengah lembaga-lembaga
sosial atau organisasi sosial di mana individu tersebut menjadi anggotanya.
“Man is a social product” (Basrowi dan Sukidin, 2002) .
Dialektika atau timbal balik berjalan simultan, artinya ada proses menarik keluar
(eksternalisasi) sehingga seakan-akan hal itu berada di luar (objektif) dan kemudian 
ada proses penarikan kembali ke dalam (internalisasi) sehingga sesuatu yang berada
di luar tersebut seakan-akan berada dalam diri  atau kenyataan subyektif.
Konstruksi sosialnya mengandung dimensi objektif dan subyektif.  Ada dua hal
yang menonjol  melihat realitas peran media dalam dimensi objektif yakni
pelembagaan dan legitimasi.
a) Dalam perspektif Berger (Suparno, 1997), perlembagaan atau intitusi berawal
ketika semua kegiatan manusia mengalami proses pembiasaan (habitualisasi).
Artinya setiap tindakan yang sering dilakuann secara berulang pada akhirnya
akan menjadi suatu pola yang kemudian bisa direproduksi, dan dipahami oleh
pelakunya sebagai pola yang dimaksudkan itu. Pelembagaan terjadi apabila
suatu tipikasi yang timbal-balik dari tindakan-tindakan yang sudah terbiasa
bagi berbagai tipe pelaku.
b) Legitimasi menghasilkan  makna-makna baru yang berfungsi untuk
mengintegrasikan makna-makna yang sudah diberikan kepada proses-proses
kelembagaan yang berlainan. Fungsi legitimasi adalah untuk membuat
obyektivasi  yang sudah dilembagakan menjadi tersedia secara obyektif dan
masuk akal secara subyektif.  Hal ini mengacu kepada dua tingkat, pertama
keseluruhan tatanan kelembagaan harus bisa dimengerti secara bersamaan oleh
para pesertanya dalam proses-proses kelembagaan yang berbeda. Kedua
keseluruhan individu (termasuk di dalam media ), yang secara berturut-turut
melalui berbagai tatanan dalam tatanan kelembagaan harus diberi makna
subyektif. 
DAFTAR PUSTAKA

Duff, S. (2016). Dennis Howitt, Introduction to Forensic and Criminal Psychology .


In Psychology Learning & Teaching (Vol. 15).
https://doi.org/10.1177/1475725715622172
Helfgott, J. B. (2015). Criminal behavior and the copycat effect: Literature review and
theoretical framework for empirical investigation. Aggression and Violent
Behavior, 22, 46–64. https://doi.org/10.1016/j.avb.2015.02.002
Moon, B., Hwang, H. W., & McCluskey, J. D. (2011). Causes of school bullying:
Empirical test of a general theory of crime, differential association theory, and
general strain theory. Crime and Delinquency, 57(6), 849–877.
https://doi.org/10.1177/0011128708315740
Kuliah ke-5 Gadjah Mada University . http://koentjoro-psy.staff.ugm.ac.id/wp-
content/uploads/Kriminologi-2.pdf tanngal 29 September 2020
Howitt, D. (2009). Introduction to Forensic and Criminal Psychology (6th ed). Pearson
Education
Basrowi dan Sukidin. (2002). Metode Penelitian Perspektif Mikro: Grounded theory,
Fenomenologi, Etnometodologi, Etnografi, Dramaturgi, Interaksi Simbolik,
Hermeneutik, Konstruksi Sosial, Analisis Wacana, dan Metodologi
Refleksi.  Surabaya: Insan Cendekia.
 Peter, B., dan Luckman, T. (1990). Tafsiran Sosial Atas Kenyataan Risalah Tentang
Sosiologi Pengetahuan. LP3ES, Jakarta.
Ngangi, C. R. (2011). Konstruksi sosial dalam realitas sosial. Agri-
Sosioekonomi, 7(2), 1-4. Diakses September 2020
http://ejournal.unsrat.ac.idindex.phpjiseparticledownload8581.
Poloma, M. (2004). Sosiologi Kontemporer. Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada.
Suparno. (1997). Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta:
Kanisius.

Anda mungkin juga menyukai