Anda di halaman 1dari 5

I.

Ortodoksi dan Keotentikan Empat Kitab Suci

Salah satu ciri khas yang menghubungkan seluruh darwis dalam tradisi Bektashiyah apapun
tarekat dan jalur sanadnya adalah keimanan kepada Empat Kitab Suci, yang secara unik
membedakannya dari tradisi-tradisi Sufi, Syiah, dan Islam ortodoks lainnya. Betapa pun
heterodoksnya Islam, Sufi dan Syiah arus utama akan memandangnya, ortodoksi dalam
Bektashi justru terkait dengan tradisi keyakinan kepada 12 Imam, iman kepada Empat Kitab
Suci, memuliakan Haji Bektash Wali, diet kosher yang mengharamkan jenis kelinci seperti
Imamat 11, penggunaan bahasa lokal, dan kesetaraan gender. Empat hal ini, yaitu tradisi akan
Empat Kitab Suci, Haji Bektash Wali sebagai patron dalam berbagai variasinya, penggunaan
bahasa lokal, dan diet kosher akan kelinci adalah garis pembeda dari tradisi-tradisi Islam,
Sufi dan Syiah lainnya. Dan, Empat Kitab Suci itu meliputi Taurat, Zabur dan Injil
(Perjanjian Baru) yang kini dihimpun dalam Alkitab. Selain itu, penting untuk dicatat, bahwa
segala jenis perayaan, tradisi relasi, dan kebiasaan religius dalam tradisi Bektashi dapat
ditemukan asal-muasalnya dari kisah-kisah dan tradisi Alkitabiah.

II.
Ada suatu pertanyaan yang selalu muncul mengenai bagaimana kami menerima kanonitas,
dan menerima keotentikan Alkitab? Saya akan menjawabnya di sini. Saya tahu lebih banyak
Muslim, baik Sufi maupun Syiah, apalagi kalangan Sunni dan Wahabi yang menolak
keotentikan Alkitab yang terhimpun sebagai satu kanon hari ini, daripada mereka yang tidak
walau pun mereka bukanlah seorang Bektashi. Pertanyaan itu: Apakah Alkitab hari ini adalah
Alkitab yang dimaksud dalam al-Quran? Bukankah mereka sudah diragukan validitasnya?

Saya tidak terlalu mengetahui bagaimana tradisi-tradisi dalam tarekat Bektashiyah lain dalam
memandang keotentikan dan kekanonan suatu Alkitab, terutama yang meneruskannya dari
sanad Balim Sultan yang memapankan tradisi Bektashiyah pada abad ke-15 M. Mereka itu
seperti kaum Alevi dan tradisi monastik Bektashi di Albania. Sepengetahuan saya, mereka
lebih menekankan aspek batin atau gnostik dari Empat Kitab Suci, bukan lagi secara liturgi.

Haji Bektash Wali sendiri hidup pada sekitar abad ke-13 M dan tidak pernah mendirikan atau
memapankan suatu tarekat, melainkan hanya mengorganisasi sekelompok kecil murid.
Tradisi populer dari Balim Sultan mengklaim bahwa penerus dari Haji Bektash Wali adalah
Fatma Nuriyah istrinya yang digelari sebagai Kadincik Ana, lalu Kadincik Ana
mewariskannya kepada Pir Sultan Abdal, tetapi secara historis kronologis, transmisi ini
tidaklah langsung. Ada pun mengenai ini saya tidaklah berkeberatan sama sekali.

Ada banyak tradisi Bektashiyah selain jalur Balim Sultan, dan sebelum masa Balim Sultan.
Kebanyakan mereka mengambil entah mazhab fikih Hanafi, dengan pengecualian kosher
kelinci, atau pun Jafari dan tentu saja tak sedikit yang melakukan taqiyah. Syaikh Tapduk,
atau Tapduk Emre adalah salah satunya yang paling terkenal. (Emre adalah suatu gelar
seperti halnya Dede, Baba, Ana dan Rehber). Bagaimana pun corak ortodoksi Bektashi dapat
terlihat dalam kelompok sufinya yang digambarkan dalam sejarah penyair, darwis dan bapa
bahasa Turki terkemuka, Yunus Emre, dari abad ke-14 M. Tapduk Emre merupakan guru dari
Yunus Emre, seorang mantan kadi beraliran Sunni di wilayah Ottoman. Puisi-puisi Yunus
Emre tak sedikit mengekspresikan iman kepada Empat Kitab Suci ini. Selain, tentunya,
penggunaan bahasa Turki bukan bahasa Persia seperti Rumi. Haji Bektash Wali dikenal
menentang imperialisme bahasa Arab dan Persia dalam kehidupan religius dan spiritual, dan
mengadvokasi bahasa lokal serta elemen-elemen kepercayaan lokal – dalam hal Turki sudah
pasti Shamanisme.

Sinosi Koc seorang Dede (kyai) terpandang dalam Alevi, menjelaskan dalam bukunya
“Apakah yang Allah Sesunguhnya Inginkan dari Umat Manusia?” mengenai suatu hukum
ilahi yang dapat ditemukan dalam halaman-halaman Alkitab dan alQuran dan kitab-kitab suci
serta tradisi berbagai agama lain baik di Timur maupun Barat. Hukum ilahi ini adalah
Dekalog.

Alevi merupakan suatu bentuk tradisi Bektashiyah yang bersifat turun-temurun atau
kesukuan. Jadi, jika ditanyakan apa bedanya Alevi dengan Bektashi, adalah bahwa seorang
Alevi adalah seorang Bektashi karena ayahnya atau ibunya atau keduanya seorang Alevi.
Seorang Alevi mungkin saja mendirikan cabang-cabang lain Bektashi, atau menjadi darwis
seperti kaum Qalandariyah dan Malamatiyah yang punya kaitan dengan Bektashiyah.
Sedangkan seorang Bektashi ialah bisa siapa saja yang menerima dan menjalani ciri-ciri
ortodoksi Bektashi itu.

Pendapat Sinosi tersebut menjadi pendukung bagi tradisi Daudiyah yang meletakkan Dekalog
sebagai fokus religius dan spiritualnya. Oleh karena itu, berbeda dari tradisi akademik
maupun liberal dalam memandang keotentikan Alkitab, atau tradisi Kristen dan Islam yang
ortodoks, bagi seorang Daudi dan Daudi-Baptis ialah mengevaluasi seluruh Alkitab dalam
cahaya Dekalog. Ini mudah, sederhana, sekaligus Alkitabiah dan alQuraniah, dan bisa
diterapkan untuk mengevaluasi segala teks lain, baik alQuran, hadis-hadis, tradisi Rabbini,
tradisi Bapa-bapa Gereja maupun kitab-kitab suci lain. Itu sebabnya, himpunan Alkitab
kanon dan alQuran kanon, walau penghimpunannya mungkin meragukan, selain
kebertahanannya sebagai kanon telah berlangsung berabad-abad baik secara arus utama
maupun tidak, juga adalah karena nilai-nilai Dekalog di dalamnya.

AlQuran menyebut Dekalog sebagai Keterangan dalam al-Baqarah 53, maka adalah
keheterodoksan kaum Kristen bagi kami ketika al-Quran tidak dianggap otentik dan valid
duduk bersama-sama Alkitab. Sebab, al-Quran sungguh-sungguh hanya mengukuhkan,
melengkapi dan mensyarahkan Alkitab. Tentu, demikian juga bagi kami keheterodoksan
tradisi Islam arus utama yang menyangsikan atau meragukan validitas dan keotentikan
Alkitab hari ini tanpa bisa memastikan hari ini itu adalah sejak kapan, sedangkan al-Quran
sesungguhnya menjadi pincang ketika dibaca tanpa di sampingnya kita meletakkan Alkitab
saat membaca ayat-ayat yang di dalam al-Quran membahas ayat-ayat Alkitab.

Injil Barnabas yang menurut para sejarawan dari abad ke-15 M dapatlah diduga kuat
merupakan suatu bentuk salinan Injil dari tradisi Syiah heterodoks, yang tak lain adalah dari
kalangan Bektashi yang mengimani Empat Kitab Suci dengan sepenuh hati tidak
sebagaimana tradisi-tradisi Islam lainnya. Alasan utamanya adalah karena hanya suatu tarekat
yang memiliki kepentingan membaca Empat Kitab Suci sebagai liturgi akan menyalin suatu
kitab dalam Alkitab. Adapun jika ada bagian-bagian yang dianggap tidak valid haruslah
diduga motifnya jika ini tradisi Bektashi yang Syiah merupakan suatu bentuk taqiyah untuk
penyintasan (surviving) dalam wilayah empirium Islam. Maka, adalah lebih tepat menyebut
Injil Barnabas sebagai pseudografis pada masa ketika teknologi percetakan belum ditemukan
dan rezim Ottoman sedang berkuasa. Bagi kami, keberadaan Injil Barnabas harus semata-
mata dilihat pada nilai-nilai spiritual Dekalogis yang diajarkan di dalamnya mengenai apa
kata Yesus, dan bukan sisi historisnya yang tampak jelas merupakan suatu gaya dongeng
untuk menceritakan sesuatu yang lebih esensial dan batiniyah kepada kita.

Ortodoksi dalam Bektashiyah melipu¡

III.

Ortodoks lebih kurang secara sederhana adalah suatu pendapat yang benar dari pikiran yang
benar, untuk membedakannya dengan pendapat yang salah dari pikiran yang salah. Dalam
tradisi-tradisi keagamaan itu berarti ada yang dianggap ortodoks dan ada yang dianggap salah
yaitu heterodoks. Pengertian bahwa ortodoks adalah  ajaran yang lurus, adalah yang dapat
dimaknai demikian. Meskipun heterodoks dianggap lain atau berbeda, saja, tetapi
kenyataannya dalam sejarah sampai hari ini yang disebut heterodoks disesat-sesatkan dan
disalahkan. Ortodoksi masing-maasing sekte yang ratusan ribu dalam agama Ibrahim juga
tidak punya Standar Yang Disebut Lurus yang sama. Inilah bedanya bagi kami yang murni
kembali kepada iman Adam, Nuh, Ibrahim dan Musa. Juga Yesus, Muhammad, Ali dan al-
Mahdi.

Sekte-sekte populer dan arus utama dalam Agama Ibrahim mempunyai ortodoksi mereka
masing-masing. Misalnya, mengenai KEOTENTIKAN KITAB SUCI atau memiliki rukun
iman masing-masing.

Bagi tradisi keagamaan kami yang mengkalim sebagai Agama Ibrahim yang Murni (hehehe)
sekte-sekte lain yang populer dan mayoritas adalah heterodoks dalam hal mencerai-beraikan
Agama Ibrahim yang murni, sederhana, ajeg, berkesinambungan,, rasional, esensial dan
universal.
Bagi kami, ORTODOKSI adalah kembali kepada Dekalog yang disebut sebagai al-Furqan
dalam surah al-Baqarah, yang merupakan teologi terutama yang disampaikan oleh Yesus, dan
dinyatakan oleh banyak orang di dunia sebagai sumber hukum ilahi yang fundamental dan
prinsipal. Sumber hukum moral, spiritual dan religius yang esensial dan murni. Dekalog
merupakan satu-satunya Khotbah Allah kepada publik, suatu jamaah besar, yakni jemaat
Musa yang direkam dalam al-Quran, Alkitab dan banyak tradisi oral rakyat dunia dalam
ekspresi yang beragam.

Banyak orang yang menerima Dekalog yang istimewa itu misalnya: mereka adalah St Philo
dari Alexandria sang gnostik dari abad ke-5 M, St Edward Elwall dari abad ke-16 M yang
menulis surat kepada Raja Inggris mengenai unitarian (tauhid), St Francis Bampfield dari
abad ke-17 M sang Sabbatarian Baptis yang martir, St Mary Boone dari abad ke-18 M sang
pembantu miskin yang mengklaim ditemui Yesus untuk meneguhkan pesan ini, St Emannuel
Eckerlin sang Ismailyah (pengikut Ismail) yang ikut mendirikan Ephrata Cloister dari abad
ke-18 M, St Sanusi atau Dede Sinosi Koc sang guru besar Alevi-Bektashi abad ke-20 M,
serta Habib al-Jifri yang terkenal itu pun mendukung gerakan Dekalogisme ini beberapa
tahun silam sebagai jembatan antar iman Millah Ibrahim. Lima prinsip moral dalam
Konfucius dan prinsip-prinsip moral Buddhisme juga terangkum dalam Dekalog. Memayu
hayuning bhawana ambhrasta dur angkara juga kami maknai sebagai ringkasan dari
Dekalog. Bhinneka Tunggal Ika juga, ika-nya kami yakini terletak dalam Dekalog. Imam
Mahdi (afs) dalam syarahannya untuk Mazmur juga menekankan hal ini.

Oleh karena itu, bagi kami untuk mengevaluas keoteentikan Empat Kitab Suci (Alkitab dan
alQuran), adalah dengan Dekalog. Ketika membaca dan menghayati menurut pengalaman
individual dan lokal kami yang masing-masing unik juga berdasarkan Dekalog. Demikian
pula dalam mengevaluasi seluruh tradisi keagamaan, budaya, doktrin, pendapat dan lainnya,
adalah semata-mata dlam cahaya Dekalog. Inilah ortodoksi bagi kami. Segala tradisi religius
dan spiritual yang mengaku-aku meneruskan agama Ibrahim, jika mengabaikan Dekalog dan
atau menggantinya dengan standar evaluasi lain selain yang sudah dikhotbah Allah di muka
umum itu adalah heterodoks. .

Tentu dalam hal ini, baik Rukun Islam, Rukun Iman Sunni, Rukun Iman Syiah maupun
Kredo Iman Romawi Kuno kami terima berdasarkan nilai-nilai Dekalog di dalamnya.

Maka, ortodoksi dalam Bektashiyah meliputi enam corak yaitu:

1. Keimaman kepada  12 Imam


2. Keimanan kepada Empat Kitab Suci
3. Kesetaraan Gender
4. Penggunaan bahasa lokal
5. Memuliakan Haji Bektash Wali
6. Diet religius atau kosher tidak makan kelinci  mirip Imamat 11

Ortodoksi dalam Daudiyah menambahkan meliputi (1) Fokus kepada Dekalog sebagai
sumber hukum spiritual, moral dan religius, (2) Otoritas keimanan hanya kepada
Empat Mursyid yang membimbing saat ini yaitu Khidr/Enokh, Elia, Yesus dan al-
Mahdi serta keimanan kepada empat malaikat dari yang tujuh,  (4) Prinsip=prinsip
Baptis dalam kebijakan kongregasional atau kedaulatan setiap darwis/pondok, dan
“priesthood for all believers.” Prinsip-prinsip ini oleh ADiSTI dijabarkan dalam (1)
Memelihara Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika, dan (2) prinsip-pinsip ultra-
ekumenikal dan universalisme, yaitu kerjasama dalam fokus Dekalog dan keselamatan
universal dalam wewenang mutlak Allah.

Apa yang membedakan tradisi Daudiyah yang berasal dari tradisi Bektashi yang terdapat
dalam berbagai variasi (Daudi-Sufi, Daudi-Baptis, dan Daudi-lokal) dengan
– perennialisme, teosofia, Syed Hussein Nasr, Schuonian, dan sekelompoknya,
– Karen Armstrong,
– Noahide Law
– Pdt Ann H Redding yang menyatakan dirinya Muslim-Kristen,
– beberapa gereja Afrika yang menyatakan gereja Islam-Kristen
– kelompok-kelompok sufi, kabbalah, gnostik, new age,
– dan dengan Bektashi, Syiah 12, Unitarian dan Baptis lainnya?
 
1. Fokus kami adalah Dekalog. Mereka semua yang kami sebut itu tidak menekankan ini
secara literal dan hanya mengeksprikan darinya secara sepotong-potong.
 
Dekalog yang disebut sebagai al-Furqan dalam surah al-Baqarah53, yang merupakan teologi
terutama yang disampaikan oleh Yesus (Khotbah di atas Bukit), dan dinyatakan oleh banyak
orang di dunia sebagai sumber hukum ilahi yang fundamental dan prinsipal. Sumber hukum
moral, spiritual dan religius yang esensial dan murni. Sumber hukum yang bahkan ditemukan
dalam banyak hukum sekuler sejak Kode Hukum Hammurabi.
 
Dekalog merupakan satu-satunya Khotbah Allah kepada publik, yaitu umat manusia/jamaah
dalam jumlah besar, yakni jemaat Musa yang direkam dalam al-Quran, Alkitab dan banyak
tradisi oral rakyat dunia dalam ekspresi yang beragam.
Rumusan-rumusan mereka yang saya sebut itu adalah rumusan-rumusan manusia.
(Setidaknya bagi kami yang mengimani wahyu ilahi) Yaitu, mereka merumuskan, sedangkan
kami hanya menerima Khotbah Alah satu-satunya ke publik itu.
 
2. Kami memiliki tradisi yang sangat panjang sejak sekurang-kurangnya tujuh abad lalu dari
Haji Bektash Wali jauh kepada Imam Musa Kazim dan kepada Imam Ja’far as-Asshadiq dan
terus sampai kepada Yesus (kalau Anda meyakini Muhammad meneruskan ajaran Yesus).
 
3. Jika yang lain boleh mengklaim otoritas keimanan mereka, maka kami mengklaim bahwa
mentor-mentor kami dibimbing langsung oleh Imam Mahdi afs (di antaranya Thomas
McElwain), dan Imam Mahdi, bersama-sama Khidr/Enokh, Elia/Ilyas dan Yesus/Isa adalah
otoritas keimanan mutlak yang diberikan oleh Allah, masih berwenang pada hari ini. Mentor-
mentor kami bukanlah otoritas keimanan kami, tetapi keempat pembimbing ilahi itulah, yang
jelas dapat kami temukan cahaya para otoritas keimanan sejati di dalam karya-karya mereka.
 
4. Jika Ellen G White, atau St Theresa dari Avila atau Bt Chiara Lubich boleh mengklaim
dibimbing oleh Yesus atau mendapat sesuatu darinya, maka kenapa saya  (Gayatri WM)tidak
boleh mengklaim hal yang sama, yang secara personal saya dapat dari Yesus? Hehehe. Di
sini saya tidak sedang mengklaim otoritas apapun, kiranya ayat Perjanjian Baru ini dapat
menjelaskan (2 Pet1: 20). Saya manusia biasa, dan hanya menerima otoritas keimanan dari
Keempat Mursyid Sejati itu yang berkesinambungan dari sejak Adam sampai Yesus sampai
ke Muhammad ke Ali hingga al-Mahdi.
 
Bimbingan spiritual dan religius bersifat personal, maka setiap orang dapat mengalaminya.
Para Nabi dan Imam juga hakim=hakim, dari Allah langsung, sedangkan kita manusia biasa
dari para otoritas keimanan yang diberikan Allah sesuai masa dan pengetahuan kita masing-
masing. Setiap wali dibimbing oleh mereka dan bisa jadi diperbantukan oleh mereka untuk
membimbing kita. Sesederhana itu.
Sedangkan satu-satunya bimbingan ke publik oleh Allah langsung adalah Dekalog. Maka itu,
ia harus menjadi cahaya bagi kami untuk kehidupan moral, spirital dan religius kami.
Adakah prinsip-prinsip dan sumber hukum yang lebih keren daripada Dekalog? Adakah
sesuatu yang lebih keren daripada khotbah Allah satu-satunya kepada umat manusia banyak
bagi mereka yang beragama Ibrahim?

https://miryamkhatun.wordpress.com/kebun/ortodoksi-dan-keotentikan-empat-kitab-suci/

Anda mungkin juga menyukai