Anda di halaman 1dari 27

MATERI

0
ENAM STRATEGI DESKRIPSI BAHASA-BAHASA NUSANTARA

Sudaryanto
(ilmuwan peneroka hakikat bahasa)

(1)
STRATEGI dapat dipahami sebagai TINDAKAN REKA-DAYA yang dipandang efektif dan
efisien demi terpenuhinya target yang diharapkan.
Dalam kaitannya dengan DESKRIPSI BAHASA, tentu saja adalah target deskripsi itu, sesuai
dengan yang diharapkan.

(2)
Dalam penggal pertama abad ke-21 ini, VISI utama linguis Indonesia yang terlimpahi bahasa-
bahasa Nusantara sebagai objek kajiannya, yang cukup realistis, adalah DESKRIPSI terhadap
bahasa-bahasa itu.
Untuk mewujudkannya, ada tiga hal yang sangat amat layak dan sungguh-sungguh perlu
dipahami sepenuhnya SEBAGAI BEKAL agar DESKRIPSI-nya optimal. Optimal dalam arti
MENYELURUH sekaligus MENDASAR, RINCI, SAKSAMA, dan OPERASIONAL. Adapun
pengertian DESKRIPSI ( description) lebih mengacu pada prosesnya daripada hasilnya; jadi,
lebih ke makna PEMERIAN daripada PERIAN.
Tiga hal yang dimaksud adalah ASAS deskripsi, STRATEGI deskripsi, dan METODE
deskripsi.

[Catatan: konsep deskripsi apakah itu mengacu pada proses apakah itu mengacu pada hasil,
sebaiknya tidak cuma mengenai apa dan bagaimana-nya REALITAS, tetapi juga kapan dan
mengapa-nya REALITAS (c.q bahasa keseharian biasa); cf. Mulder (1966): Pembimbing
Kedalam Ilmu Filsafat.]

1
[Catatan: ada VISI, tentu saja ada MISI sebagai penjabarannya. Dan agar misi(²) jabaran visi itu
dapat terwujud maka PROGRAM(²) strategis pun layak dibuat dan sanggup untuk dilaksanakan.
Dalam kaitan dengan misi(²) dan program(²) yang dimaksud maka misi linguis yang kiprah di
kuartal pertama abad 21 ini setidak-tidaknya adalah menerbitkan empat jenis buku mengenai
bahasa bidang kajiannya: (a) tata bahasa acuan (reference grammar), (b) kamus lengkap, (c)
tesaurus, dan (d) ensiklopedi. Masing-masing buku yang dimaksud sangat dimungkinkan
dipublikasikan berjilid-jilid.
Demi dapat diterbitkannya buku-buku yang dimaksud, tentu saja mutlak perlu adanya
program kegiatan strategis yang mengawali, yaitu penelitian ilmiah terhadap seluk beluk
kebahasaan tertentu yang relevan, yang hasil akhirnya memang diniatkan untuk dijadikan isi
buku yang dimaksud.]

(3)
ASAS deskripsi adalah PEDOMAN kinerja; STRATEGI deskripsi adalah PEMBERI ARAH
kinerja; dan METODE deskripsi adalah PENENTU KECEPATAN dan KETEPATAN kinerja.
Dengan pedoman kinerja yang tepercaya, kinerja mendeskripsi akan MANTAP; dengan arah
kinerja yang jelas dan tepat, langkah penanganan deskripsi akan EFEKTIF dan EFISIEN; dan
dengan kecepatan dan ketepatan kinerja, masalah yang menjadi fokus deskripsi akan
TERPECAHKAN secara relatif saksama dan tuntas.

(4)

(4.1)
Asas deskripsi ada tiga: lingualitas, dimensionalitas, dan tipologikalitas.
ASAS LINGUALITAS mengenai fungsi hakiki yang menentukan bahasa layak disebut
"bahasa". ASAS DIMENSIONALITAS mengenai bahasa sebagai suatu sosok utuh yang
terbangun atas unsur-unsur pokok yang disebut "dimensi" (atau "matra"); dan ASAS
TIPOLOGIKALITAS mengenai ketiadaan satu bahasa tertentu (LANGUE) pun

2
yang betul-betul terpencil sendirian, karena senantiasa punya kerabat dan corak atau tipe
bersama. Ketiganya menjadi pedoman kinerja.

(4.2)
Metode deskripsi ada tiga pula, sesuai dengan tahap deskripsinya yang juga tiga: metode tahap
PENYEDIAAN data, metode tahap ANALISIS data, dan metode tahap PENYAJIAN HASIL
analisis data.
Metode tahap penyediaan data adalah penentu kecepatan dan ketepatan kinerja dalam
penyediaan data yang SIAP (DI)ANALISIS. Metode tahap analisis data adalah penentu
kecepatan dan ketepatan kinerja memperoleh atau menemukan kaidah(- kaidah) yang SIAP
DISAJIKAN untuk khalayak sejawat (peer-group) yang layak tahu atau patut diberi tahu. Metode
tahap penyajian hasil analisis adalah penentu kecepatan mengetahui dan ketepatan memahami
kaidah(-kaidah) yang penyajiannya LAYAK BACA.

(4.3)
Adapun strategi deskripsi ada enam. (a) Pembebasan objek dari aliran waktu, dari peralihan
tempat, dan dari perpindahan lapis sosial; (b) pembedaan tiga jenis bahasa;
(c) pengambilan sepatutnya bahan sahih (valid) dan terandal (reliable); (d) pembedaan dua
dataran pemakaian bahasa; (e) pengonsepan hal-hal yang terkait langsung dengan objek yang ciri
khas atau fiturnya adalah dikenali
lewat indera; dan (f) pengawalan dan pengakhiran langkah penelitian.

(4.4)
Dalam kesempatan ini kita hanya segera memperbincangkan secara skematis
STRATEGI DESKRIPSI itu; dan dua yang lain, tidak.
Mengenai metode deskripsi, pembicaraannya yang relatif mendasar, menyeluruh, rinci,
saksama, dan operasional terdapat pada buku METODE DAN ANEKA TEKNIK ANALISIS
BAHASA, PENGANTAR PENELITIAN WAHANA KEBUDAYAAN SECARA
LINGUISTIS (disingkat MAnTAB; edisi kedua cetakan ke-1 2015, cetakan ke-3 2018).

3
Mengenai asas deskripsi, khusus mengenai asas lingualitas, seluk-beluknya dapat ditengok pada
buku MENGUAK TIGA FASET KEHIDUPAN BAHASA: FUNGSI HAKIKINYA,
PENGELOLA ILMUNYA, DAN SALING KETERIKATANNYA DENGAN
BUDAYA (Seri-1; 2017). Adapun yang asas dimesionalitas dan pemanfaatan asas tipologikalitas
disinggung dalam buku MAnTAB itu, khususnya pada bagian Lampiran tertentu (hlm. 243-251
dan 287-291).

(5)
Khusus mengenai STRATEGI DESKRIPSI, sebagaimana ditegaskan di atas, strategi itu pemberi
arah kinerja mendeskripsi. Dengan arah kinerja yang jelas dan tepat, langkah penanganan
deskripsi akan efektif dan efisien. Efektif dalam arti mencapai target yang direncanakan dan
efisien dalam arti semua hal yang perlu dimanfaatkan demi pencapaian target itu (a.l waktu,
tenaga, pikiran, biaya) dapat dimanfaatkan secara irit tetapi cukup.

(6)

(6.1)
Strategi yang berupa "pembebasan dari aliran waktu, dari peralihan tempat, dan dari perpindahan
lapis sosial" ini telah umum dilaksanakan--meskipun kurang disadari--yang terkenal dengan
istilah
SINKRONIK.

(6.2)
Ketika linguis menyatakan bahwa bahasa yang diteliti adalah bahasa yang hidup SEKARANG INI
atau KINI DI
SINI (atau di sana), yang
digunakan oleh KELOMPOK atau LAPISAN MASYARAKAT TERTENTU atau oleh ANU,
maka pada hakikatnya pernyataan itu tidak dapat dipertegas lagi
agar lebih pasti batas waktu, batas tempat, dan batas lapis sosialnya.

4
(6.3)
Mengapa? Karena pada kenyataannya yang kini, yang di sini, yang kelompok anu itu TIDAK
PERNAH SUNGGUH-SUNGGUH ADA. Itu baru ada dalam hubungannya dengan
KEPERCAYAAN bahwa bahasa yang diteliti dan
sedang digunakan oleh para penutur si pemiliknya itu TIDAK BERUBAH ciri-ciri atau fitur
yang membentuk identitasnya. Padahal, yang betul-betul sesuai dengan kenyataan yang empiris
adalah bahasa berubah terus-menerus--senantiasa berubah--sesuai dengan perubahan pemakaian
dan si pemakainya; apalagi, penutur yang memakainya tidak hanya dua orang yang berperan
bergantian sebagai pembicara dan mitra wicara.

[Catatan: Perlu dipahami bahwa BAHASA itu tidak ber-eksistensi, sehingga tidak bisa kita
alami. Yang ber-eksistensi adalah BERBAHASA yang memiliki dua unsur maknawi
'membahasa' (= menyatakan diriku dalam atau sebagai bahasa) dan 'membahasakan' (=
menyatakan apa pun di luar diriku dengan "saluran" bahasa) (cf. Kattsoff (2006): Pengantar
Filsafat).]

(6.4)
Meskipun demikian, strategi "tiga pembebasan" itu dilaksanakan, karena dari strategi itu justru
dimungkinkan nantinya hasilnya dibandingkan dengan hasil penelitian di waktu "tertentu" yang
lain, di tempat "tertentu" yang lain, dan di lapis sosial "tertentu" yang lain agar dapat
DIKONSTRUKSI perubahan dan DIREKONSTRUKSI perkembangan bahasa yang
bersangkutan, sehingga memungkinkan terwujudnya LINGUISTIK DIAKRONIK atau
LINGUISTIK HISTORIS KOMPARATIF, LINGUISTIK TIPOLOGI(S) dan STUDI
SEMESTAAN BAHASA, serta LINGUISTIK KONTRASTIF.

(7)

(7.1)
Strategi yang berupa "pembedaan tiga jenis bahasa" diperlukan ketika linguis menyadari kadar
hubungan penguasaannya dengan yang sedang diteliti.

5
Ketika linguis meneliti bahasa yang dikuasainya--yang biasa disebut BAHASA PERTAMA
atau juga BAHASA IBU (mother tongue)--maka tidak bisa cara menghadapinya sama dengan
ketika menghadapi bahasa yang belum dikuasainya (misalnya BAHASA ASING atau BAHASA
TERASING) atau bahkan bahasa yang tidak mungkin untuk dikuasainya (misalnya BAHASA
KUNA tertentu yang terabadikan sebagai bahasa tulis berwujud naskah).
Dalam kaitannya dengan kadar penguasaan itu, konsep "bahasa yang sangat banyak
jumlahnya (sampai ribuan)" sama sekali tidak berlaku.
Bagi linguis (jadi, dari perspektifnya), bahasa yang hidup sewaktu atau sama-waktu dengan
hidupnya hanya ada dua macam saja: DIKUASAI atau BELUM (MUNGKIN) dikuasai.

(7.2)
Jika dia menetapkan bahwa bahasa yang diteliti itu (sedang) dikuasai maka dirinya layak
memanfaatkan kemampuan intuisinya untuk memastikan kebenaran datanya. Dia si linguis itu
dan bahasa yang diteliti TIDAK BERJARAK PSIKOLOGIS. Sebaliknya, jika dia menyadari
bahwa bahasa yang diteliti itu belum dikuasai maka dirinya layak memanfaatkan kemampuan
intuitif penutur bahasa yang bersangkutan sebagai KEPANJANGAN dari kemampuan intuitifnya
sendiri terhadap bahasa yang bersangkutan yang sangat terbatas atau belum ada. Maka adanya
PEMBANTU BAHASA (language helper(s)) yang sungguh-sungguh menguasai bahasa yang
ditelitinya merupakan hal yang mutlak.

(7.3)
Akhirnya, jika dia menyadari bahwa bahasa yang diteliti itu tidak mungkin lagi dikuasainya
karena hidup jauh di masa lalu sebagai bahasa kuna, maka memperhatikan dan memahami
BAHASA SEKERABAT dengan bahasa kuna itu, yang hidup di masa kini, sangatlah perlu.
Bahasa sekerabat yang dimaksud merupakan JEMBATAN didalam upaya menerangjelaskan
bahasa kuna yang bersangkutan. PEMBANDINGAN dan ANALOGI berdasarkan kemiripan
(bentuk, makna, pola) layak dilakukan.

6
(8)
Adapun strategi yang berupa "pengambilan bahan sahih (valid) dan terandal (reliable)"
diperlukan ketika data harus ditetapkan. Linguistik, sebagaimana ratusan disiplin ilmu lainnya,
adalah termasuk ILMU EMPIRIS, karena objeknya dikenali lewat indera peneliti--langsung atau
tidak langsung--khususnya indera pendengarnya; maka data yang menjadi bahan(-jadi)
penelitiannya harus betul-betul berkualifikasi data (cf. Vredenbregt (1985): Pengantar
Metodologi untuk Ilmu-ilmu Empiris).
Dalam kaitannya dengan kualifikasi itu, kesahihan (validity) dan keterandalan (reliability)
adalah syarat utama. Dalam hal ini, kesahihan berkaitan dengan SAMPEL dan keterandalan
dengan NARASUMBER. Data yang berkualifikasi sahih adalah data yang kaitan eratnya dengan
sampel demikian alamiah; dia demikian saja berada dalam sampel. Data yang berkualifikasi
terandal adalah data yang kaitan eratnya dengan narasumber demikian alamiah; data semacam itu
demikian saja lahir dari kegiatan wicara penutur yang bersangkutan. Data yang demikian itu
dipandang berasal dari penutur asli (native speaker) bahasa yang didatakan itu.

(9)

(9.1)
Strategi yang berupa "pembedaan dua dataran pemakaian bahasa" mendorong linguis untuk
menyadari bahwa bahasa yang diteliti, yang memang digunakan dalam berbagai kesempatan dan
keperluan itu, sebenarnya digunakan secara PUBLIK- KOMUNIKASIONAL dan secara
DOMESTIK-KOMUNIONAL. Dikatakan secara "publik- komunikasional", kalau
penggunaannya pada dataran sosial yang di sana yang ada adalah berbagai orang di ranah publik
dalam berbagai status atau peran; dan dikatakan secara "domestiko-komunional", kalau
penggunaannya pada ranah domestik, yang di sana yang ada para persona atau beberapa pelaku
dalam perjumpaan pribadi yang sangat cenderung bebas dari status sosial yang hierarkhis.

7
(9.2)
Cap bahwa bahasa itu gejala sosial, menyusutkan bahkan melenyapkan kenyataan bahwa
berbahasa itu juga gejala personal. Dikedepankannya berbahasa sebagai gejala sosial
memberikan banyak hasil penelitian yang bersifat sosiolingual. Itu pula yang menuntun linguis
untuk menentukan bahwa fungsi (sosial) bahasa ada beraneka macam. Ada yang
mengidentifikasi tiga, lima, tujuh, dst.(Lihat berbagai pendapat tentang fungsi bahasa, antara
lain, dari Ogden & Richards (1923/1938), Sapir (1933), Bühler (1934), Révész (1956), Jakobson
(1960), Hymes (1962), Pei (1963), Leech (1981), Halliday (dalam Lyons (1972)) (cf.
Sudaryanto, 2017: Menguak Tiga Faset Kehidupan Bahasa).
Akan tetapi, strategi itu tidak memungkinkan diketahui secara pasti perbedaan antara
PENDENGAR dengan MITRA WICARA yang memiliki peran dan fungsinya masing-masing;
dan cenderung menentukan bahwa teks wacana itu sekadar rentetan sekian kalimat topik dengan
jabarannya yang diatur dengan kaidah kewacanaan tertentu. Proses pembuatannya yang
melibatkan berulang-ulang, ratusan kali, penghadiran mitra wicara tidak mampu diperhitungkan.
Akibatnya, fungsi yang khas dan hakiki yang menjadikan bahasa itu dapat disebut "bahasa"
TIDAK TERUNGKAPKAN.
Hal yang terakhir itu baru akan bisa ditentukan dan diungkapkan manakala bahasa yang
dataran pemakaiannya bersifat domestik-komunional diperhatikan.

[Catatan: Fungsi bahasa keseharian yang khas dan hakiki itu seluk-beluknya, insyaallah, dapat
diungkap oleh disiplin linguistik baru yang disebut DOMESTIKO- LINGUISTIK (baru saya
upayakan agar bisa berkembang dari Indonesia).]

(10)

(10.1)
Strategi yang berupa "pengonsepan hal-hal yang terkait langsung dengan objek yang dikenali
lewat indera" merupakan bekal yang sangat berguna dalam mengayunkan langkah pada saat
menangani objek sasaran yang dipilih sebagai pokok penelitian.

8
Hasil pengonsepan yang dimaksud di antaranya OBJEK SASARAN PENELITIAN beserta
dengan konteksnya, DATA berserta konteksnya, serta KORPUS dan MÈNTÈS. Berikut
dipaparkan secara singkat ihwalnya seturut dengan penjelasan yang ada dalam Sudaryanto
(1990), ANEKA KONSEP KEDATAAN LINGUAL DALAM LINGUISTIK.

(10.2)
Ketika linguis berniat meneliti awalan {ber-}, misalnya, tentu saja dia tidak akan menyediakan
satuan lingual {ber-} saja, tetapi kata-kata yang ada {ber-}-nya; seperti: berjalan, berkuda,
berdasi, beruang, dan yang lain sejenisnya. Demikian juga ketika berniat meneliti konjungsi atau
kata sambung ( <dan, tetapi, karena> , dan yang lain), linguis tidak hanya akan menyediakan
berbagai satuan lingual konjungsi, melainkan frasa atau kalimat yang ada konjungsinya.

(10.3)
Dalam hal semacam itu, linguis MENYEDIAKAN DATA untuk menangani objek sasaran
penelitiannya. Nampak sekilas, data merupakan satuan lingual yang lebih besar daripada objek
sasaran penelitian-nya. Kelebihbesarannya itu disebabkan setiap data pasti mengandung bagian
yang menyatu dengan si objek itu. Bagian yang menyatu itu dapat disebut KONTEKS; dalam hal
ini, KONTEKS OBJEK PENELITIAN.

(10.4)
Seperti halnya objek penelitian mempunyai konteks, dan bersama-sama dengan konteks itu
terwujudlah data, data pun memiliki konteks pula. Dalam hal ini, konteks data ada empat, yaitu
(a) isi tuturan, (b) penutur, (c) hubungan antar-penutur, (d) tuturan di luar data. ISI TUTURAN
adalah apa-apa yang diomongkan; PENUTUR adalah yang ngomong beserta apa-apa yang
"mengitari"-nya, apa-apa yang ada "pada"-nya, dan apa-apa yang ada "di dalam" dirinya.
HUBUNGAN ANTAR-PENUTUR adalah hubungan yang mengandung kadar tertentu, misalnya
intim atau formal, yang menggunakan bentuk lingual tertentu, misalnya halus atau kasar, dsb.;
dan TUTURAN DI LUAR DATA adalah tuturan yang ada mendahului tuturan yang dijadikan
data.

9
(10.5)
Dalam menangani data, keempat konteks itu dapat diperhitungkan semua, dapat hanya beberapa
atau bahkan cukup salah satu saja. Jika yang diteliti bentuk deiksis, misalnya (seperti <aku,
kamu>, <ini, itu>, <sini, situ>, <dulu, tadi, nanti>), maka isi tuturan dan penutur layak
diperhitungkan. (Lantas bentuk-bentuk deiktis semacam itu diidentifikasi sebagai bersifat PEKA-
KONTEKS atau context sensitivity.) Jika yang diteliti aneka partikel afektif (seperti <kok, rak,
ta> dalam bahasa Jawa), maka isi tuturan, penutur, hubungan antar-penutur layak diperhitungkan
secara bersama-sama.

(10.6)
Dari paparan singkat di atas, nampak bahwa konteks objek penelitian cenderung bersifat
LINGUAL; sedangkan konteks data sangat dimungkinkan bersifat EKSTRA- LINGUAL.
Hanya, kecenderungan yang bersifat lingual itu makin menipis jika objek penelitian makin tinggi
tatarannya, misalnya dialog yang bersifat pragmatik maka data utuh harus berunsurkan juga
komponen yang ekstra-lingual; sehingga konteksnya dapat bersifat ekstra-lingual pula
sepenuhnya.
[Sekadar melatih diri. Kita berniat meneliti KATA TANYA; maka jelas kata tanya itulah
objek penelitian kita. Datanya apa? Tentu saja satuan lingual yang lebih besar yang mengandung
kata tanya itu; yaitu kalimat tanya.
Kalau yang kita niati untuk diteliti KALIMAT TANYA maka kalimat tanya itulah objek
sasaran penelitian kita. Apa datanya? Datanya tentu saja satuan lingual yang lebih besar daripada
kalimat tanya itu tetapi yang mengandung kakimat tanya yang bersangkutan. Apa itu? Mestinya
wacana tanya-jawab.
Lha, kalau yang kita teliti WACANA TANYA-JAWAB? Pastilah wacana tanya-jawab itu
objek sasaran penelitian kita. Lalu, datanya apa?
Sampai pada tataran wacana yang demikian itu, data yang relevan adalah para yang terlibat
pertuturan, isi tuturan atau apa-apa yang diacu dalam pertuturan, serta suasana pertuturan
SEBAGAI SATU KEUTUHAN. Sekali lagi: sebagai satu keutuhan. (Tidak lucu dan tidak tepat
kalau kita mau meneliti wacana tanya-jawab tertentu datanya juga wacana tanya-jawab yang
bersangkutan. Ingat kembali, tidak mungkin, kan, kita mau

10
meneliti afiks jenis prefiks {ber-} datanya juga {ber-}?; pasti bukan afiks tetapi kata yang ada
{ber-}-nya. Jelas, kan?)]

(10.7)
Dengan demikian, identitas dan eksistensi data pada hakikatnya sepenuhnya bergantung pada
sang linguis yang menghadapi fenomen penggunaan bahasa yang sesungguhnya.

[Catatan: mengingat bahwa amat sangat dimungkinkan konteks data--bahkan konteks objek
penelitian (sic!) itu ekstra lingual, kemapuan memanfaatkan metode multikolom dalam
menyajikan data siap analisis sangat disarankan, karena dalam model penyajian data secara
multikolom itu menampakkan secara eksplisit saksama rinci tak terbantahkan akan semua hal
yang terkait langsung dengan kegiatan berbahasa yang dilakukan oleh para pelibat tutur tertentu,
di tempat tertentu, di waktu tertentu, dan di kondisi dan situasi tertentu. Mengenai ini semua lihat
Sudaryanto (2018): "Ihwal Metode Multikolom dan Langkah-langkah Penelitian Aktivitas"
dalam Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa, hlm. 265- 307.]

(11)

(11.1)
Akhirnya, strategi yang berupa "pengawalan dan pengakhiran langkah penelitian"; ini terkait
dengan PEMELIHARAAN KONDISI PSIKIS (atau psikologis) linguis dalam kinerja
penelitian. Awal penelitian yang sesungguhnya adalah menyediakan data dan akhir penelitian
secara formal adalah penyajian hasil analisis data. Di tengah-tengah itu adalah melakukan
analisis data.

(11.2)
Pertanyaannya: kapan kita para peneliti boleh mengatakan "saya sudah rampung menyediakan
data?" Kapan kita para peneliti boleh menyatakan "saya sudah selesai menganalisis data?"
Kapan kita para peneliti boleh menegaskan "saya sudah selesai

11
menyajikan hasil analisis data?" Dapat dijawabnya sendiri secara meyakinkan pertanyaan
"kapan" itu oleh linguis si peneliti itu akan memberi ketenangan dan menjaga staminanya selama
kinerja penelitian dilakukan.

(11.3)
Kapan dikatakan sudah rampung menyediakan data? Yaitu ketika data yang tadinya
dikumpulkan, dipilih (mana yang relevan dengan tujuan penelitian), dan dipilah (yang tipenya
sama dikelompokkan tersendiri) sudah selesai dilakukan, dan tersedia tipe-tipe data tertentu yang
karena sudah cukup anggotanya siap dianalisis. Dalam hal ini pengertian "sudah cukup"
dimengerti sebagai tidak signifikannya lagi ditambahkan data baru dalam tipe tertentu yang
sudah "jenuh anggota".

(11.4)
Kapan dinyatakan sudah selesai menganalisis data? Yaitu ketika kaidah yang dicari sudah
ditemukan, lepas dari masalah banyaknya kaidah yang ditemukan itu.

(11.5)
Kapan bisa ditegaskan penyajian hasil analisis data itu dikatakan selesai? Yaitu ketika jenis-jenis
kaidah, hubungan antar-kaidah, serta lingkup jangkauan berlakunya kaidah itu telah diketahui.

(12)
Demikianlah tentang enam strategi deskripsi bahasa-bahasa Nusantara. Sebagai penutup, perlu
saya susulkan dua catatan.

(12.1)
Catatan pertama, disebutkannya bahasa-bahasa Nusantara di sini terkait dengan skala prioritas.
Sesungguhnya strategi yang enam jumlahnya itu bisa juga digunakan untuk pegangan dalam
penelitian bahasa-bahasa di luar Nusantara pula, bahasa di mana pun, asal bahasa yang
dimaksud bahasa verbal keseharian yang masih digunakan oleh

12
masyarakat pemiliknya. Adapun kata "bahasa Nusantara" secara khusus dapat pula dibaca
"bahasa Indonesia".

(12.2)
Catatan kedua, terkait dengan kegunaan sebagai pegangan dalam penelitian; strategi yang enam
jumlahnya itu, dengan penyesuaian tertentu bisa juga dimanfaatkan ketika objek yang diteliti
sosok-sosok maujud budaya tertentu. Mengapa demikian? Alasannya adalah adanya saling
keterikatan bahasa verbal dengan sosok-sosok maujud budaya yang ada. Bahkan bukan hanya
saling terikat dengan segala kadarnya, melainkan bahasa itu sendiri juga salah satu sosok maujud
budaya.

13
BIODATA SINGKAT

SUDARYANTO terlahir 14 Mei 1944 di Surakarta,


bergelar doktor linguistik (cum laude)
1 September 1979 dari Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta (sebagai doktor ke-25 ketika UGM
berusia 30 tahun). Buah cintanya dengan Sri Mei
Yuwati Astutiningsih yang semuanya telah hidup
mandiri adalah Muncar TYAS Palupi, Sekar TYAS
Nareswari, KRISTIdes Yudoko, Haryo Dimasto
KRISTIyanto, dan Adimas KRISTIadi. Oleh karena
itu, aliasnya adalah
SDYT Ayah Tyaskristi. Dan berkat buah karya bukunya Menguak Fungsi Hakiki Bahasa (edisi
ke-1 1990), pada ultahnya yang ke-65, tahun 2009, dia "ditahbiskan" oleh para sejawat dan
seniornya, 32 orang, sebagai Ilmuwan Peneroka Hakikat Bahasa, lewat sebuah buku kumpulan
karya-karya mereka Peneroka Hakikat Bahasa, Karangan Muhibah untuk Sudaryanto (suntingan
P. Ari Subagyo dan Sudartomo Macaryus).
Takdir hidupnya adalah menjadi dosen di berbagai perguruan tinggi sejak tahun 1970 s.d
2017 (48 tahun tiada henti) dengan segala tugas ikutannya, baik di strata satu (program sarjana)
maupun terlebih-lebih di strata dua (program magister) dan di strata tiga (program doktor); di
samping menjabat pula di berbagai lembaga yang berurusan dengan bidang bahasa, budaya,
pendidikan, dan keagamaan.
Dia juga [i] penulis buku tidak kurang dari 25 judul, [ii] anggota tim perevisi terjemahan
Alkitab berbahasa Jawa untuk umat Kristen Protestan dan Katolik, [iii] salah seorang pendiri
Universitas Kristen Dutawacana (2 Mei 1985; sekaligus pernah menjadi ketua yayasannya) dan
[iv] salah seorang pendiri Masyarakat Linguistik Indonesia/MLI (15 November 1975), di
samping [v] menjadi salah satu pencetus Kongres lima tahunan Bahasa Jawa (Juli 1991; tahun
2016 yang keenam; sekaligus dua kali menjadi ketua

14
pengarahnya) serta [vi] salah satu pencetus (Februari 1975) sekaligus pengawal Pertemuan
Ilmiah tahunan--telah 42 x s.d tahun 2020--para dosen Bahasa dan Sastra Indonesia ( PIBSI) se-
Jateng dan DIY.
Akan terbit segera bukunya berjudul Cerdas Tampil di Pertemuan Ilmiah yang
merupakan hasil refleksi selama hampir setengah abad (sejak orde lama) dalam mengikuti,
menyelenggarakan, merancang berbagai jenis forum ilmiah. Buku itu merupakan pasangan
bukunya yang berjudul Cerdas Menulis Karya Ilmiah(Versi ke-3, Cetakan ke-2 Th. 2018)
Naskah bukunya yang siap terbit lainnya ada beberapa. Tiga di antaranya adalah
Menguak Saling Keterikatan Bahasa dengan Budaya(terdiri atas tiga bagian/buku), Beginilah
Tesis Berkualitas Anda, dan Merapi Benakku Laut Kidul Semangatku,(renung gumam berbagai
hal yang dialami dan disaksikan dalam kehidupan kesehariannya, Tiga Seri).
Saat ini Sudaryanto menikmati usia bonusnya yang makin bertambah (>77 tahun)
anugerah Allah yang diimaninya, di rumahnya perum. Jombor Baru, Mlati, Sleman, DIY, kecuali
dengan menulis dan membaca, juga dengan melakukan berbagai kegiatan lain yang disenanginya
(di antaranya mempersiapkan berdirinya Lembaga Kajian Jawa).

15
PRAGMATIK SEBAGAI PENANGKAL HOAKS DAN PERAN ILMUWAN BAHASA
DI ERA DIGITAL

I Dewa Putu Wijana


Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada
idp_wijana@yahoo.com

1. Pengantar
Era digital yang secara tidak meragukan telah memberikan berbagai kemudahan kepada
manusia, ternyata tidak selalu membawa kebahagian. Bertebarnya hand phone dengan berbagai
spesifikasi perangkatnya yang canggih seringkali mendatangkan masalah yang serius bagi para
penggunanya sehingga tidak jarang ada yang memiliki pandangan bahwa orang yang tidak begitu
atau sama sekali tidak tergantung dengan internet, face book, WA, dan tetek bengeknya justru
kadang-kadang merasa lebih bahagia daripada orang-orang yang hidupnya tidak terlepas dari
alat-alat komunikasi elektronik ini. Mereka yang hidup dengan perangkat ini sering kali
mengahabiskan waktu secara percuma, berjam-jam berkomunikasi di medsos, memasang status,
menerima dan membalas WA yang seringkali mengkomunikasikan hal-hal yang tidak penting.
Yang tidak jarang terjadi, penggunaan peralatan ini justru kerap menimbulkan salah paham
akibat salah mengirim gambar, berita atau foto, salah memahami isi berita, berita yang terkirim
diterima atau direaksi secara berlebihan, dsb. Dampaknya adalah anggota grup keluar dari
kelompoknya, permusuhan yang serius, bahkan sampai ada yang dilaporkan oleh polisi karena
beritanya dianggap bohong (hoaks) dan sangat merugikan pihak lain, lebih-lebih bila ada
kepentingan politik yang menunggangi. Paparan dalam uraian berikut berkenaan dengan
beberapa kasus hoaks yang beberapa di antaranya viral di media sosial yang terjadi di negara
kita, dan bagaimana sebenarnya masalah ini harus diletakkan atau ditangkal secara pragmatik.
Malakah ini juga akan memaparkan bahwa tidak semua kasus linguistik forensik adalah
permasalahan pragmatik yang eksternal, kasus ini juga membutuhkan keahlian dibidang
cabang-cabang ilmu bahasa yang murni bersifat internal, seperti fonologi,

16
morfologi, sintaksis, dan semantik, serta cabang yang bersifat sosial, yakni sosiolinguistik.
Akhirnya, paparan diharapkan akan membuka kesadaran para linguis atau calon linguis akan
penting dan sentralnya ilmu yang ditekuni dalam upaya menyelesaikan permasalahan-
permasalahan kemasyarakatan.

2. Pragmatik dan Hoaks


Pragmatik adalah cabang ilmu bahasa yang mempelajari penggunaan bahasa dalam
konteks yang kongkret dalam upaya dapat mengungkapkan maksud pembicara, baik yang
diungkapkan, maupun yang diimplikasikan oleh penuturnya. Untuk mengungkapkan itu tidak
hanya konteks internal tuturan (tuturan yang mendahului atau mengikuti) yang digunakan, tetapi
juga konteks luar bahasa dalam artian yang seluas- luasnya, seperti yang diungkapkan oleh
Sperber dan Wilson (1986, 15) berikut ini:
“Konteks adalah konstruk psikologis yang terbangun dari asumsi- asumsi
pendengar tentang dunia ini. Asumsi-asumsi inilah, dan bukannya keadaan
dunia yang sebenarnya, yang mempengaruhi interpretasinya terhadap tuturan
yang didengarnya. Konteks dalam pengertian ini tidak terbatas pada informasi
tentang mendahului atau mengikuti ujaran: ramalan atau ekspektasi tentang
tentang apa yang akan terjadi, hipotesis ilmiah, kepercayaan agama, anekdot-
anekdot di masa lalu, asumsi-asumsi budaya, keyakinan terhadap keadaan
mental pembicara, kesemuanya ini memegang peranan dalam penafsiran
sebuah tuturan.”

Karena kebenaran yang ingin dicari oleh pragmatik adalah kebenaran sintetis, bukan
kebenaran analitis (yang terdapat dalam struktur internal bahasa) atau kebenaran kontradiktif
(yang bertentangan dengan makna struktur bahasa), sebagian besar tuturan yang menjadi kajian
pragmatik adalah tuturan-tuturan sintetis yang kebenarannya bersifat luar bahasa (Lihat Parker,
1986, 39-40; Wijana, 2010, 2; Wijana, 1996, 41-43). Hoaks adalah tindakan untuk menyebarkan
berita bohong yang sifatnya tidak menyenangkan agar orang lain percaya bahwa berita itu benar.
Sebagai nomina hoaks mengacu pada berita itu sendiri (Hornby, 2010, 713). Salah atau
benarnya

17
sebuah hoaks sering kali ada di luar bahasa. Untuk ini pendekatan linguistik yang bersifat
internal (fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik tidak mampu menjelaskannya. Untuk ini
pengetahuan atau konteks luar bahasa yang menjadi piranti analisis pragmatik sangat diperlukan
meskipun kebenaran yang ada di dalamnya bukan selalu menjadi tugas ahli bahasa untuk
membuktikannya. Berikut ini akan diberikan tiga buah contoh kasus hoaks yang satu di
antaranya pernah menggegerkan kehidupan berbangsa dan bernegara kita.
Kasus pertama adalah kasus penganiayaan Ratna Sarumpet. Karena tidak berusaha
mencari fakta-fakta luar bahasa, seperti siapa itu Ratna Sarumpaet, bagaimana jenis lebam yang
dideritanya, dsb. tim sukses pasangan 02 termakan hoaks yang dihembuskannya karena
menelan mentah-mentah apa yang dikatakan oleh salah seorang anggota timnya. Kegusaran ini
membawa dampak di tengah masyarakat, seolah-olah penganiyayaan itu dilakukan oleh pihak-
pihak yang berasal dari kubu laweannya. Setelah hoaks ini terkuak, kecerobohan kubu 02 yang
percaya begitu saja, justru menjadi senjata bagi pendukung 01 dan tim pemenangannya untuk
menyerang habis-habisan tim 01 dengan mengatakan bahwa masalah begitu saja tidak mampu
mengatasi, bagaimana nanti kalau benar-benar sudah memimpin? Peristiwa ini agaknya
merupakan salah satu penyebab kekalahan pasangan 02 pada kontestasi pilpres 2019 baru-baru
ini. Usaha memecat Ratna Sarumpaet sebagai salah satu anggota tim pemenangan dianggap
sudah sangat terlambat. Hal ini mungkin lain jadinya bila cek dan ricek yang saksama dilakukan
sebelumnya.
Kasus kedua adalah kasus dilaporkannya seorang dokter simpatisan partai pendukung
pasangan 02 di salah satu pengadilan negeri di Jawa Tengah. Ia menyebarkan hoaks ke
kelompok profesinya yang kira-kira berbunyi: “PDI Tidak Butuh Suara Umat Islam / ttd
Megawati”. Kontan saja berita bohong ini membuat berang petinggi partai di wilayah itu berang,
dan melaporkan kasus ini ke polres setempat. Dengan pendekatan pragmatik ada kecenderungan
tuturan ini hoaks. Dengan analisis luar bahasa agaknya mustahil seorang ketua partai melarang
untuk “memilih” partainya, dari golongan mana pun dan dari partai apa pun asal pemilih itu.
Potensi yang mungkin ditimbulkannya, yakni kebencian umat Islam sebagai golongan agama
mayoritas yang tidak menyaring secara saksama berita itu dikhawatirkan akan menurunkan

18
pemerolehan suara di pemilahan presiden, kepala daerah, atau legislatif, atau pemilihan-
pemilahan yang lain. Kasus ini sekarang sudah diputus dan terdakwanya sudah divonis bersalah
karena sudah mengakui perbuatannya walaupun yang bersangkutan sudah meminta maaf.
Kasus ketiga terjadi di Yogyakarta, ditulis oleh seorang wanita (Damayanti) yang jatuh
hati dengan pria yang bernama Yustinus Ari, yang sebelumnya telah menjalin cinta dengan
Kusjayanti (Aya). Di dalam hoaks itu ia menulis status seolah-olah Kusjayanti berbicara:
“Namaq Aya Kusjayanti Anjay...Aku cantik, lho. Buktinya aku banyak yang mau. Aku murah
meriah, lho. Buktinya aku hamil. Siapa yang mau perkosa aku.” Kontan saja Kusjayanti melapor
penghinaan ini kepada polisi. Lalu, polisi mencari saksi ahli bahasa untuk membuktikan hoaks
ini. Dengan keahliannnya saksi ahli dengan mudah membuktikan bahwa status itu hoaks.
Dengan pengetahuan konteks luar bahasa mengenai sifat-sifat dan harga diri seorang wanita,
jelas tidak mungkin ada wanita yang menjajakan dirinya, menyuruh orang lain memperkosa
dirinya. Dengan konteks ini, kemudian dapat ditafsirkan bahwa tuturan “Aku cantik, lho.” Yang
disandingkan dengan “Aku murah meriah” dan “Lho, buktinya aku hamil” bertentangan dengan
maksud penuturnya (pembuat status) yang ingin mengatakan bahwa yang orang dimaksudkan
jelek. Lebih-lebih bila digali lebih dalam penggunaan slang anjay yang bermakna ‘anjing’.
Kasus keempat adalah ucapan tokoh partai politik “Perindo” Hary Tanusudibyo yang
mengatakan bahwa ia akan “Memberantas penegak hukum yang sering melakukan negosiasi”.
Ucapan ini bisa ditafsirkan bermacam-macam walaupun kesemuanya tergolong ke dalam “tindak
tutur komisif”. Dengan hanya berbantuan konteks bahwa penutur atau ketua partai politik,
tuturan ini hanya janji atau komitmen politik bahwa bila ia menang akan memberantas penegak
hukum yang “nakal”. Tetapi bagaimana polisi mengetahui bahwa itu ancaman kepada Jaksa
karena polisi menggunakan konteks ekstra lingual yang lain, yakni karena SMS itu dikirimkan
kepada seorang jaksa, dan pengirim diduga sedang manghadapi kasus perpajakan.

19
Secara singkat dapat disimpulkan bahwa pengetahuan tentang pragmatik beserta
perangkat analisisnya yang berupa konteks luar bahasa adalah piranti analisis bahasa di dalam
mengindentifikasi dan menangkal hoaks yang sekarang ini banyak merugikan dan meresahkan
masyarakat.
Akhirnya berkaitan dengan pandemi corona virus disease (Covid) 19 yang sekarang
telah melanda dunia sekarang ini, tentu banyak pihak yang ingin memanfaatkan situasi ini untuk
memancing di air keruh. Kesempatan ini akan dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang ingin
menjatuhkan kredibilitas pemerintah. Salah satu cara yang dipandang cukup efektif di era digital
saat ini adalah dengan menyebar berita bohong (hoaks). Di sini ahli pragmatik bisa mengambil
peran penting, yakni melakukan cek dan ricek terhadap kebenaran berita itu. Sekarang ini orang
harus lebih mengedepankan logika daripada perasaan.

3. Peran Cabang-cabang Ilmu Bahasa yang Lain


Pragmatik bukanlah satu-satunya alat ahli bahasa untuk mengungkapkan kejahatan verbal.
Cabang-cabang ilmu bahasa yang lain, seperti fonologi, gramatika (morfologi dan sintaksis),
semantik, dan sosiolinguistik juga sangat diperlukan dalam upaya menguak kasus-kasus
linguistik forensik. Karena setiap bahasa memiliki kekhasan struktur dan sistem bahasa,
pengetahuan linguistik tentang bahasa tertentu, di samping pengetahuan tentang linguistik umum
menjadi sangat penting (Duranti, 1997, 56; Kreidler, 1999, 5).
Pengetahuan fonologi sangat besar manfaatnya di dalam melacak ucapan- ucapan atau
jejak-jejak tertulis yang ditinggalkan oleh pelaku kriminal. Misalnya bila pelaku kriminal
terekam hanya mampu mengucapkan tiga vokal, yakni [a], [i], dan [u] sehingga mega diucapkan
miga, sebelas diucapkan sablas, bertemu menjadi batamu, dsb., maka pelakunya adalah
orang beretnis Banjar. Bila pelaku tidak dapat mengucapkan [t] dan [d] apikodental, tetapi setiap
kali bunyi itu diucapkan berganti dengan [th] dan [dh] sehingga batu manjadi bathu, badan
menjadi badhan, maka pelaku kejahatan adalah orang Bali atau orang Aceh. Bila pelaku
kejahatan tidak mampu mengucapkan bunyi bersuara [b], [d], dam [g] di akhir kata dan
menggantinya dengan [p], [t], dan [k], seperti sebab menjadi sebap, abad menjadi abat, dan
rembug menjadi

20
rembuk, dsb., pelaku kejahatannya adalah orang dari suku Jawa. Seringkali kebiasaan
pengucapan terefleksi dalam tulisan. Pengetahuan tentang arkhi fonem (fonem pengganti) dan
interferensi fonologis membantu menerangkan persoalan ini (Verhaar, 1996, 84-85) Misalnya
kisah penculikan bayi yang menggegerkan di kota New Jersey pada tahun 1932 terkuak karena
penculiknya membuat 14 catatan pada syarat tebusannya. Dari catatan itu sang penculik
membuat kesalahan dalam mengeja kata- kata bahasa Inggris, seperti ouer untuk our, anyding
untuk anything, someding untuk something, dan gut health untuk good health. Sang
penculik kemudian teridentifikasi Hauptmann, seorang imigran Jerman ilegal yang masuk ke
Amerika setelah melarikan diri dari penjara di Jerman (Ruby, 1963, 139).
Pengetahuan morfologi dan sintaksis (gramatika) juga besar peranannya di dalam
menagani kasus-kasus linguistik forensik. Kasus Malaysia mengklaim bahwa lagu “Rasa
Sayange” berasal dari negeri jiran sebenarnya cukup dibantah bahwa dalam bahasa Melayu dan
dialek-dialeknya tidak memiliki morfem {-e}. Yang memiliki morfem
{-e} adalah Bahasa Indonesia dialek Jakarta atau bahasa Melayu dialek Ambon. Sejumlah
bahasa daerah di Indonesia juga memiliki afiks {-e} yang berkorespondensi dengan {-nya} di
dalam bahasa Indonesia baku. Di dalam bahasa Melayu morfem ini berkorespondensi dengan {-
ny∂}. Sementara itu, secara implisit seorang manager hotel di Yogyakarta memiliki pengetahuan
tentang perbedaan konstruksi sintaksis bahasa Indonesia. Ia menolak sebuah pertemuan yang
bermasalah dengan sebutan “Pertemuan Radisson”, tetapi ia lebih memilih nama “Pertemuan di
Radisson” karena nama pertama membawa konsekuensi bertanggung jawab terhadap dampak
pertemuan itu, sedangkan dengan nama kedua hotelnya hanya sebagai tempat tanpa harus
bertanggung jawab terhadap ekses politik yang diakibatkannya. Dalam tataran sintaksis yang
lebih besar (kalimat), kasus mantan gubernur jakarta, Basuki Cahya Purnama (Ahok) yang
mempermasalahkan kalimat “Dibohongin dengan Surat Al Maida”, simpatisannya yang ahli
bahasa di acara Indonesian Lawyer Club (ILC) menganggap bahwa Ahok tidak bersalah karena
secara lengkap (penggalan) kalimat itu berbunyi “Dibohongin (oleh orang/oknum tertentu)
dengan Surat Almaida”. Sang Ahli tidak melihat bahwa di depan frase Surat Almaida ada kata
depan dengan yang menyarankan walaupun Al Maida bukan pelaku, tetapi sebagai alat
sehingga efeknya

21
sama saja (periksa Ramlan, 1987, 56-57; Ramlan, 2005, 120-121). Dalih lain yang digunakan
bahwa benda mati/tak bernyawa, yakni Surat Al Maida tidak mungkin melakukan tindakan. Di
sini sang ahli juga tidak sadar akan kemungkinan munculnya metafora yang memungkinkan
benda mati melakukan tindakan padahal sebagian besar sistem konseptual manusia bersifat
metaforis (Lakoff & Johnson, 1980, 4).
Semantik cabang ilmu bahasa yang bertugas mengkaji makna seringkali diperlukan
dalam menangani kasus-kasus linguistik forensik. Pengetahuan tentang makna kata untuk
menerangjelaskan suatu kasus. Misalnya ada perbedaan yang besar antara cek dan cross cek.
Yang pertama berarti penutur belum mengetahui kebenaran isi tuturan. Misalnya “Ada 7
kontainer surat suara yang sudah tercoblos dengan salah satu pasangan calon. Coba cek!”,
sedangkan bila diganti dengan cross cek terisyaratkan bahwa penutur sudah tahu faktanya.
Sekarang ini banyak orang tidak dapat membedakan makna menghina dan menista. Ada
kecenderungan untuk mengungkapkannya dengan menista walaupun orang itu hanya sedikit
merendahkan, bahkan mungkin hanya melapor saja. Untuk ini pengetahuan mengenai perbedaan
makna kata-kata bersinonim sangat penting. Kasus seorang anggota polisi yang dikata- katai
“Bajingan kamu polisi busuk” di salah satu tempat di Yogyakarta dapat diterangkan dengan
pengetahuan metafora mengenai perluasan makna kata bajing ‘tupai’ dan sifat-sifatnya dan kata
busuk yang secara literal digunakan untuk mengacu benda-benda yang mengeluarkan bau tidak
sedap. Kontestasi pilpres yang baru lalu juga memproduksi sejumlah metafora, seperti kampret,
cebong, tempe setipis kartu ATM, politik gendruwo, sontoloyo, dsb.
Pengetahuan tentang etimologi serta perubahan makna dapat menerangkan apakah
pulang kampung dan mudik sama atau berbeda. Pada hakikatnya sama, tetapi karena bahasa
menurut analisis wacana kritis praktik wacana (discourse practice) selalu dipengaruhi oleh
praktik sosial (social practice) makna mudik mungkin saja berubah menjadi lebih sempit, untuk
pengertian yang hanya berhubungan dengan pulang di hari lebaran. Sebaliknya kata mudik yang
dulunya hanya mengacu ke udik ‘hulu’ sebagai lawan dari hilir yang mengacu kota-kota tempat
orang bekerja, kemudian maknanya meluas menjadi ‘kampung’ atau ‘desa’ asal para pencari
kerja, tanpa

22
menghiraukan lagi apakah letaknya benar-benar di udik mungkin juga sama-sama kota.
Pokoknya mana tempat yang dituju Kembali itulah udik.
Sosiolinguistik memberi wawasan tentang bahasa sebagai semiotik sosial. Pemakaian
bahasa erat berhubungan dengan faktor-faktor kemasyarakatan, seperti status sosial ekonomi,
hubungan personal, umur, jenis kelamin para pemakai bahasa, dsb. (Wijana, 2019). Pengetahuan
ini akan dapat menjelaskan aspek-aspek sosial bahasa yang digunakan untuk menyebarkan hoaks
atau ujaran kebencian. Misalnya pengetahuan tentang slang akan mampu menerangkan mengapa
orang menggunakan namaq untuk namaku, anjrit atau anjay untuk anjing dalam kasus
Kusjayanti , atau lebay untuk lebih untuk kasus Ervany yang terjadi sebelumnya.

4. Ilmu Bahasa dan Ilmuwan Bahasa di Era Digital


Uraian di atas secara jelas menunjukkan bahwa peranan linguistik di era digital semakin
penting. Pemakaian media sosial dengan berbagai peralatan komunikasi yang canggih memang
akan membawa manfaat bagi kehidupan manusia. Akan tetapi, bila dilakukan secara tidak bijak,
akan membawa permasalahan-permalasahan yang cukup serius. Meluasnya berita hoaks dan
ujaran kebencian yang terekam di dalam sarana komunikasi akan menjadi barang bukti yang kuat
sehingga kasus kasus linguistik forensik lewat informasi transaksi elektronik (ITE) bermunculan
tidak henti-hentinya di tengah masyarakat. Kenyataan yang tak terelakkan ini, akan
membutuhkan keahlian para ahli bahasa untuk menanganinya. Sehubungan dengan itu, kehadiran
ahli bahasa yang “mumpuni” semakin dibutuhkan. Pengajaran ilmu bahasa (linguistik) yang baik
yang mampu menghasilkan linguis-linguis yang handal yang menguasai berbagai cabang ilmu
bahasa permasalahan-permasalahannya semakin dirasakan sentralitas peranannya.

23
DAFTAR PUSTAKA

Duranti, Alessandro. 1997. Linguistic Anthropology. Cambridge University Press. Hornby, AS.
2010. Oxford: Advanced Learner’s Dicationary. Eight Edition. Oxford
University Press.
Kreidler, Charles W. 1999. Introducing English Semantics: London: Routledge.
Lakoff, George & Mark Johnson. 1980. Metaphors We Live By. The University of Chicago
Press.
Parker, Frank. 1986. Linguistics for Non-Linguists. London: Francis Limited.
Ramlan, M. 1987. Kata Depan Atau Preposisi dalam Bahasa Indonesia. Yogyakarta: UB
Karyono.
Ramlan, M. 2005. Sintaksis. Cetakan ke-9. Yogyakarta: UB Karyono.
Ruby, Lionel. 1963. “What is Evidence”. Dalam Language and Ideas. Montgomery &
Sutherland (Eds.). Boston: Little Brown.
Sperber, Dan & Deidre Wilson. 1986. Relevance: Communication and Cognition.
Oxford: Basil Blackwell.
Verhaar, J.W.M. 1996. Asas-asas Linguistik Umum. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Wijana, I Dewa Putu. 1996. Dasar-darasar Pragmatik. Yogyakarta: Andi.
Wijana, I Dewa Putu. 2010. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Wijana, I Dewa Putu. Pengantar Sosiolinguistik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

24
BIODATA SINGKAT

Prof Dr. I Dewa Putu Wijana, S.U., M.A. dilahirkan di


Singaraja pada tanggal 16 Agustus 1956. Pendidikan sekolah
dasar (1969), Sekolah Menengah Pertama (1972), dan Sekolah
Menengah Atas (1975) diselesaikan di kampung halamannya.
Pada Tahun 1976 mulai kuliah di Fakultas Sastra dan
Kebudayaan UGM, Yogyakarta. Meraih Gelar B.A. tahun 1979,
meraih S1 (Drs.) di Fakultas Sastra dan kebudayaan Universitas
Gadjah Mada tahun
1981, S2 tahun 1987 (S.U.) di Fakultas Pascasarjana UGM, dan M.A. dalam bidang Applied
Linguistics di Monash University, Melbourne, Australia (1991), serta S3, Doktor (cum
Laude) di Universitas Gadjah Mada pada tahun 1995. Pada tahun 2002 dalam usia 46 tahun
meraih jabatan Guru Besar. Di usia 51 tahun, ia telah menduduki golongan kepangkatan tertinggi
(IVe). Ia sering kali diundang sebagai dosen dan peneliti tamu, penceramah, penguji disertasi,
dan peserta seminar, serta konsultan bahasa di berbagai universitas dan Balai Bahasa, seperti
Universitas Indonesia dan Gunadarma, dan Universitas Pamulang (Jakarta), Unwidha (Klaten),
Unes dan Undip, serta Balai Bahasa Jawa Tengah (Semarang), Unesa, Unair, dan UIN
(Surabaya), Universitas Malang, UMM, Universitas Kanjuruhan, UNIBRAW (Malang), UNS,
UIN dan UMS (Surakarta), Unand (Padang), USU (Medan), Balai Bahasa Sumsel dan UNSRI
(Palembang), Balai Bahasa Bangka Belitung, Unpad dan Balai Bahasa Jawa Barat (Bandung),
Unmul (Samarinda), Unsrat (Manado), Unej (Jember), UMP dan Unsoed (Purwokerto), Unud
(Denpasar), Undiksa (Singaraja), Balai Bahasa NTB, Universitas Mataram, Untirta (Serang,
Banten), Unhas (Ujung Pandang), Balai Bahasa Lampung, Balai Bahasa Sultra, Universitas
Fatoni (Pattani, Thailand), Suan Dusit Rajabath University, Bangkok (Thailand), Indiana State
University, Bloomington (USA), Nanyang Institute of Technology (Singapore), Seoul National
University (Korea), ICLL (Malaysia), ANU (Australia), Pannya Sastra (Cambodia) dan hampir
seluruh Perguruan Tinggi yang memiliki program studi bahasa dan sastra di Yogyakarta. Ia
juga menjadi

25
mitra bestari sejumlah jurnal ilmiah, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Namanya
tercatat sebagai salah satu orang populer di laman Badan Bahasa. Sebagai Penyair, di samping
antologi puisi, karyanya ikut juga menghiasi beberapa antologi puisi, seperti Di Pangkuan
Yogya, Distopia, dan Pada sebuah kamar, serta Horison Online. Selain makalah-makalah
seminar yang tidak terhitung jumlahnya, Karya-karya tulis berupa buku yang telah dihasilkan
adalah:
1. Bahasa Indonesia yang Salah dan yang Benar (karya bersama)
2. Dasar-dasar Pragmatik
3. Kartun: Studi tentang Permainan Bahasa
4. Sosiolinguistik: Kajian Teori dan Analisis (karya bersama)
5. Semantik (karya bersama)
6. Analisis Wacana Pragmatik
7. Bahasa Indonesia untuk Penulisan Ilmiah
8. Berkenalan dengan Linguistik
9. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia
10. Bahasa Gaul Remaja Indonesia
11. Tanah Lot (Kumpulan Puisi)
12. Balairung (Kumpulan Puisi)
13. Kenangan (kumpulan Puisi)
14. Wacana Teka-Teki
15. Bunga Rampai Persoalan, Linguistik, Sosiolinguistik, dan Pragamatik.
16. Metode Linguistik: Identifikasi Satuan-satuan Lingual
17. Doa Sampan Kecil (Kumpulan Puisi)
18. Pengantar Sosiolinguistik

26

Anda mungkin juga menyukai