Anda di halaman 1dari 106

USM

IMPLEMENTASI PENDAFTARAN TANAH ASET DAERAH


PEMERINTAH KOTA SEMARANG

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas


dan memenuhi syarat-syarat guna menyelesaikan
Program Studi Strata 1 Ilmu Hukum

Oleh:

Nama : Anditiya Witjaya Kusuma


NIM : A.131.16.0201

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEMARANG
SEMARANG
2020

1
SURAT PERNYATAAN ORISINALITAS

Implementasi Pendaftaran Tanah Aset Daerah Pemerintah Kota Semarang

Dipersiapkan dan disusun oleh:

Nama : Anditiya Witjaya Kusuma

Nim : A.131.16.0201

Bersama ini saya menyatakan bahwa :

1. Skripsi dengan judul tersebut diatas tidak terdapat karya yang diajukan untuk

memperoleh gelar sarjana di suatu perguruan tinggi dan sepanjang

pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis

atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali secara tertulis diacu dalam naskah ini

dan disebutkan dalam daftar pustaka.

2. Saya bertanggung jawab sepenuhnya terhadap orisinalitas isi skripsi ini.

Semarang, ............Nopember 2020


Penulis,

Anditiya Witjaya Kusuma


A.131.16.0201

2
USM

IMPLEMENTASI PENDAFTARAN TANAH ASET DAERAH


PEMERINTAH KOTA SEMARANG

Dipersiapkan dan disusun

Oleh:

Anditiya Witjaya Kusuma


A.131.16.0201

Skripsi dengan judul tersebut diatas sudah disetujui


untuk diperbanyak dan diuji dihadapan Penguji

Pembimbing I Pembimbing II

Supriyadi, S.H., M.Kn. Dr. Muh. Afif Mahmud, S.H., M.H.

3
USM

IMPLEMENTASI PENDAFTARAN TANAH ASET DAERAH


PEMERINTAH KOTA SEMARANG

Oleh:

Anditiya Witjaya Kusuma


A.131.16.0201

Telah diujikan di depan Dewan Penguji


Pada tanggal:

Semarang,

Penguji I

(........................................................)

Penguji II Penguji III

(...........................................) (.............................................)

Mengetahui,
Dekan

B. Rini Heryanti, S.H., M.H.

4
DOKUMENTASI PERPUSTAKAAN
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEMARANG

Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Semarang dengan ini menerangkan, bahwa


skripsi di bawah ini :

Judul : Implementasi Pendaftaran Tanah Aset Daerah Pemerintah Kota

Semarang
Peneliti : Nama : Anditiya Witjaya Kusuma

NIM : A.131.16.0201

Telah didokumentasikan dengan nomor : .................................................................

di Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Semarang untuk dipergunakan


sebagaimana mestinya.

Semarang,
Bagian Adminitrasi Perpustakaan
Fakultas Hukum Universitas Semarang

(....................................................)

KATA PENGANTAR

5
Segala puja dan puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah

melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan

skripsi dengan judul “Implementasi Pendaftaran Tanah Aset Daerah Pemerintah

Kota Semarang”. Skripsi ini disusun dalam rangka menyelesaikan Program Studi

Strata 1 untuk mencapai gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas

Semarang.

Dalam menyelesaikan skripsi ini, penulis menyadari bahwa penyelesaian

skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan dorongan berbagai pihak, untuk itu

perkenankan penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. Ibu B. Rini Heryanti, S.H., M.H., Dekan Fakultas Hukum Universitas

Semarang.

2. Bapak Drs. Muh. Afif Mahmud, S.H.,M.H, selaku dosen pembimbing I yang

telah memberikan bimbingan, masukan dan saran dalam menyusun skripsi ini.

3. Bapak Supriyadi, S.H., M.Kn., selaku dosen pembimbing II yang telah

memberikan bimbingan, masukan dan saran dalam menyusun skripsi ini.

4. Bapak/Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Semarang yang telah

memberikan bimbingan kepada penulis selama penulis menuntut ilmu di

Fakultas Hukum Universitas Semarang.

5. Yang sangat saya cintai Ayah, Ibu, dan Adik yang telah memberikan

dukungan moril, materi, semangat serta doa selama kuliah dan menyelesaikan

skripsi ini. Semoga Allah SWT selalu memberikan kasih sayangnya serta

kesehatan dan kemudahan dalam mencari rejeki.

6
6. Bapak Poerwo Adilogo dan Sahabat terkasih Luthfi Ayu Anindya yang selalu

mendukung, memberikan semangat serta doa selama proses menuntut ilmu di

Falkutas Hukum Universitas Semarang maupun proses penyelesaian skripsi.

7. Teman seperjuangan dan seluruh angkatan 2016 Fakultas Hukum Universitas

Semarang terimakasih atas semangat dan bantuannya untuk menyelesaikan

skripsi ini.

8. Semua pihak yang telah membantu dengan sukarela yang tidak dapat peneliti

sebutkan satu persatu.

Atas dukungan semua pihak yang telah membantu penulisan skripsi ini,

penulis ucapkan terima kasih. Semoga bantuan yang telah diberikan baik moral

maupun material mendapat balasan yang setimpal dari Allah SWT. Dengan segala

kerendahan hati penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna

sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Semoga

skripsi ini dapat memenuhi persyaratan di dalam menyelesaikan pendidikan

sarjana dan bermanfaat bagi para pembaca semua pada umumnya.

Semarang, .................
Penulis

Anditiya Witjaya Kusuma


A.131.16.0201

7
MOTTO DAN PERSEMBAHAN

MOTTO

"Butuh sebuah keberanian untuk memulai sesuatu, dan butuh jiwa yang kuat
untuk menyelesaikannya." - Jessica N.S. Yourko"

PERSEMBAHAN
 Orangtua dan keluargaku tercinta.
 Sahabat-sahabat tercinta.
 Almamaterku Fakultas Hukum Universitas Semarang.

8
ABSTRAK

Penelitian tentang “Implementasi Pendaftaran Tanah Aset Daerah


Pemerintah Kota Semarang” untuk menganalisis implementasi pendaftaran tanah
aset daerah pemerintah kota semarang serta mengetahui hambatan dalam
implementasi pendaftaran tanah aset daerah pemerintah Kota Semarang.
Berdasarkan hal tersebut maka jenis penelitian ini adalah yuridis normatif dengan
pendekatan kasus, pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual,
spesifikasi penelitiannya diskriptif analitis, metode pengumpulan datanya
dilakukan dengan cara studi pustaka dan studi dokumentasi, dan data tersebut
kemudian dianalisis secara kualitatif. Berdasarkan penelitian yang dilakukan,
diperoleh hasil bahwa Implementasi pendaftaran tanah aset daerah pemerintah
Kota Semarang belum berjalan dengan baik, sebagaimana yang tercantum dalam
peraturan pemerintah dan juga didapat hambatan-hambatan dalam implementasi
pendaftaran tanah aset daerah pemerintah Kota Semarang. Hal ini juga dibuktikan
dalam data Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Kota
Semarang, baru ada 11 persen bidang aset daerah yang sudah bersertifikat.
Padahal, jumlah keseluruhannya mencapai 14.437 bidang yang menghasilkan nilai
sebesar 54,6% yang berarti bahwa pendaftaran tanah aset daerah pemerintah Kota
Semarang berjalan kurang baik.
Kata Kunci : Implementasi, Perdaftaran, Tanah Aset Daerah

9
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.......................................................................................i
HALAMAN PENGESAHAN.......................................................................iii
HALAMAN IDENTITAS..............................................................................v
KATA PENGANTAR...................................................................................vi
DAFTAR ISI..................................................................................................x
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang...................................................................1
1.2 Rumusan Masalah..............................................................9
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian...........................................9
1.4 Sistematika Penulisan ......................................................10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Umum tentang Pendaftaran Tanah....................11
2.2 Tinjauan Umum tentang Tanah Aset Daerah...................19
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian.................................................................29
3.2 Spesifikasi Penelitian.......................................................30
3.3 Metode Pengumpulan Data..............................................30
3.4 Sumber Data.....................................................................31
3.5 Metode Analisis Data.......................................................33
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Pelaksanan Pendaftaran Tanah Aset Daerah Pemerintah
Kota Semarang.................................................................34
4.2 Faktor-Faktor Yang Menghambat Pelaksanaan
Pendaftaran Tanah Aset Daerah Pemerintah Kota
Semarang..........................................................................70
BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan ......................................................................87
5.2 Saran ................................................................................88
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................91

10
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tanah sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa merupakan sumber daya alam

yang sangat diperlukan oleh manusia untuk mencukupi kebutuhan, baik untuk

bercocok tanam, bertempat tinggal, maupun untuk melaksanakan usaha, seperti

perdagangan, industri, perkebunan, pendidikan, pembangunan sarana dan

prasarana serta kebutuhan lainnya.1

Di Indonesia pengelolaan sumber daya alam diatur dalam Pasal 33 Ayat (3)

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pasal ini

merupakan landasan hukum bahwa bumi dan air serta kekayaan alam yang

terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-

besarnya kemakmuran rakyat.2 Berdasarkan hal tersebut, maka negara selaku

badan penguasa atas bumi, air, ruang angkasa, serta kekayaan alam yang

terkandung di dalamnya berwenang untuk mengatur dalam rangka mencapai

sebesar besarnya kemakmuran rakyat Indonesia.

Pasal 33 ayat 3 ini dijabarkan dalam Undang-Undang No.5 Tahun 1960

tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA).

Bahkan, sebagian pakar menyebut bahwa undang-undang ini merupakan tafsir

otentik terhadap Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945 tersebut. Undang-Undang

Suardi. Hukum Agraria. (Jakarta: Badan Penerbit IBLAN, 2005), hlm. 1.


1

Bachtiar Effendie. Kumpulan Tulisan tentang Hukum Tanah. (Bandung: Alumni, 1993),
2

hlm. 2.

11
Pokok Agraria mengatur pengelolaan sumber daya alam di Indonesia termasuk

tanah. Bahkan 80% subtansinya berkaitan dengan tanah. UUPA didasarkan pada

hokum adat yang telah di shaneer (disaring).3

Hak menguasai tanah oleh negara merupakan pelaksanaan tugas

kewenangan bangsa yang didalamnya terkandung unsur hukum publik. Sebagai

pemegang hak dan dalam tingkatan tertingginya selaku organisasi kekuasaan

seluruh rakyat, maka negaralah yang melaksanakan tugas dan kewenangan bangsa

untuk mengelola seluruh tanah bersama itu.4 Pasal 2 Ayat (1) UUPA mengatur

kekuasaan negara terhadap tanah-tanah yang telah dimiliki seseorang atau badan

hukum maupun tanah-tanah bebas yang belum dimiliki seseorang atau badan

hukum yang langsung dikuasai oleh negara.5

Hak menguasai negara atas tanah diatur dalam Pasal 2 UUPA. Pasal 2 ayat

(2) UUPA berisi wewenang hak menguasai negara, yaitu6:

a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan,


dan pemeliharaan bumi, air, dan ruang angkasa;
b. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara
orangorang dengan bumi, air, dan ruang angkasa;
c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-
orang dan perbuatan-perbuatan hukum mengenai bumi, air, dan ruang
angkasa.

Pengertian “dikuasai” oleh negara bukan berarti “dimiliki”, melainkan hak

yang memberi wewenang kepada negara dalam pengelolaan agraria nasional.

Kewenangan negara yang bersumber pada hak menguasai sumber daya alam oleh

3
Boedi Harsono. Hukum Agraria Indonesia Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum
Tanah, (Jakarta: Djambatan, 2005), hlm. 3.
4
Winahyu Erwiningsih. Hak Menguasai Negara Atas Tanah, (Yogyakarta: Total Media,
2009), hlm. 83.
5
Bachtiar Effendie. Pendaftaran Tanah di Indonesia dan Peraturan-Peraturan
Pelaksanaannya. (Bandung: Alumni, 1993), hlm. 2.
6
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.

11
negara bersifat publik yaitu wewenang untuk mengatur (wewenang regulasi),

mengurus, mengawasi, memberikan izin, mengelola dan bukan wewenang untuk

menguasai tanah secara fisik dan menggunakan tanahnya sebagaimana wewenang

pemegang hak atas tanah yang “bersifat pribadi”.7

Menurut Pasal 2 ayat (3) UUPA,8 wewenang yang bersumber pada hak

menguasai sumber daya alam oleh negara itu digunakan untuk mencapai sebesar-

besar kemakmuran rakyat. Semua kebijakan pemerintah di bidang agraria yang

dituangkan dalam bentuk perarturan perundang-undangan harus dapat

meningkatkan kemakmuran, kesejahteraan rakyat Indonesia seluruhnya.

Kewenangan negara yang bersumber pada hak menguasai tanah oleh negara

berada di tangan pemerintah pusat. Daerah-daerah swatantra (sekarang pemerintah

daerah), baru mempunyai wewenang tersebut apabila ada pelimpahan

(pendelegasian) wewenang pelaksanaan hak menguasai tanah oleh negara dari

Pemerintah Pusat.9 Pernyataan ini merupakan penegasan dari ketentuan Pasal 2

ayat (4) UUPA yang mengatur bahwa hak menguasai dari negara pelaksanaannya

dapat dikuasakan kepada daerah-daerah swatantra dan masyarakat-masyarakat

hukum adat sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan

nasional. Pada Pasal 1 huruf c Peraturan Pemerintah No 8 Tahun 1953 tentang

Penguasaan Tanah-Tanah Negara, yang dimaksud daerah swatantra adalah daerah

yang diberi hak untuk mengatur rumah tangganya sendiri sebagai yang dimaksud

dalam Pasal 131 Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia.

7
Boedi Harsono. Op.cit., hlm. 37.
8
Ibid., hlm. 6.
9
Muhammad Bakri. Hak Menguasai Tanah oleh Negara (Paradigma Baru untuk Reformasi
Agraria). (Jakarta: Citra Media, 2007), hlm. 37.

12
Pemberian otonomi seluas-luasnya kepada daerah diharapkan dapat mempercepat

terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan,

pemberdayaan dan peran serta masyarakat. Pelimpahan tugas dari pusat ke daerah

adalah secara medebewind.

Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tugas

pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah kepada daerah dan/ atau desa dari

pemerintah propinsi kepada kabupaten/ kota dan/ atau desa serta dari pemerintah

kabupaten/ kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu. 10 Tujuan

diberikannya tugas pembantuan (medebewind) adalah untuk lebih meningkatkan

efektivitas dan efesiensi penyelenggaraan pembangunan serta pelayanan umum

kepada masyarakat. Selain itu, pemberian tugas pembantuan juga bertujuan

memperlancar pelaksanaan tugas dan penyelesaian permasalahan serta membantu

mengembangkan pembangunan daerah dan desa sesuai dengan potensi dan

karakteristikn.11 Dalam menjalankan kewenangan tersebut pemerintah

membutuhkan sarana dan prasana termasuk tanah guna menunjang kegiatan

operasionalnya maupun mengerjasamakannya kepada pihak ketiga guna

menunjang pembangunan daerah tersebut. Pengusaan tanah oleh pemerintah

daerah ini membutuhkan kepastian dan perlindungan hukum.

Salah satu tujuan dari pembentukan UUPA adalah meletakan dasar-dasar

untuk memberikan kepastian dan perlindungan hukum mengenai hak atas tanah

bagi rakyat indonesia seluruhnya. Guna dapat mewujudkan hal tersebut maka

Pasal 1 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.


10

Sadu Wasistiono; Etin Indrayani dan Andi Pitono. Memahami Asas Tugas Pembantuan,
11

(Bandung: Fokus Media, 2006), hlm. 2.

13
diselenggarakan pendaftaran tanah sebagaimana diatur dalam Pasal 19 UU No.5

Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.12

Pada Pasal 19 ayat (1) UUPA diatur bahwa untuk menjamin kepastian

hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik

Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan peraturan pemerintah.

Pada Pasal 19 ayat (2) diatur bahwa pendaftaran tanah tersebut meliputi: pertama,

pengukuran, pempetaan dan pembukuan tanah. Kedua, pendaftaran hak-hak atas

tanah dan peralihan hak-hak tersebut. Ketiga, pemberian surat-surat tanda bukti

hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.13

Pendaftaran tanah diselenggarakan dengan mengingat keadaan negara dan

masyarakat, keperluan lalu lintas sosial ekonomi serta kemungkinan adanya setiap

jengkal tanah baik status hak maupun pemegang haknya menjadi jelas. Tanah

tersebut wajib didaftarkan di kantor-kantor pertanahan. Bukti bahwa tanah

tersebut telah terdaftar adalah sertifikat tanah yang sekaligus sebagai bukti

penguasaan atau pemilikan atas tanah tersebut.14

Sebagai tindak lanjut dari perintah Pasal 19 Ayat (1) UUPA, pemerintah

mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran

Tanah. Akibat perkembangan yang begitu pesat dan banyaknya persoalan

pendaftaran tanah yang tidak mampu diselesaikan oleh PP No. 10 Tahun 1961

maka setelah berlaku selama kurang lebih 38 tahun maka pemerintah

mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran

12
Pasal 19 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria.
13
Boedi Harsono. Op.cit., hlm. 14.
14
Ibid.

14
Tanah, yang diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 57

Tahun 1997. Substansi peraturan pemerintah ini kemudian dijabarkan dalam yang

Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3

Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24

Tahun 1997.

Tanah-Tanah yang wajib didaftarkan termasuk tanah aset daerah (barang

milik daerah). Tanah adalah salah satu bentuk aset yang dimiliki Pemerintah

Daerah. Aset milik daerah pada dasarnya memiliki dua fungsi yakni fungsi

pelayanan dan fungsi budgeter. Fungsi pelayanan bermakna tanah aset daerah

digunakan untuk memenuhi kebutuhan organisasi sesuai dengan tugas pokok dan

fungsinya, sedangkan fungsi budgeter bermakna aset dapat menjadi sumber

tambahan Pendapatan Asli Daerah melalui bentuk sewa, kerjasama pemanfaatan,

bangun guna serah, dan bangun serah guna15

Bentuk-bentuk pemanfaatan tersebut nampaknya masih berdasarkan

Pemendagri Nomor 17 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Barang

Milik Daerah sedangkan saat ini bentuk-bentuk pemanfaatannya semakin luas

sebagaimana yang terdapat dalam Pemendagri Nomor 19 Tahun 2016 tentang

Pedoman Pengelolaan Barang Milik Daerah. Bentuk Pemanfaatan Barang milik

daerah berupa: sewa, pinjam pakai, KSP (kerja sama pemanfaatan), BGS (bangun

guna serah atau BSG (bangun serah guna), dan KSPI (kerja sama penyediaan

infrastruktur).

Noorsyamsa Djumara. Prinsip-Prinsip Manajemen Aset/Barang Milik Daerah, (Jakarta:


15

Lembaga Dalam Negeri dan Lembaga Administrasi Negara, 2007), hlm. 2.

15
Menurut Permendagri Nomor 19 Tahun 2016, barang milik daerah adalah

semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban anggaran pendapatan dan

belanja daerah atau perolehan lainnya yang sah. Adapun yang dimaksud dengan

perolehan lainnya yang sah yakni dengan tukar menukar, hibah, undang-undang

dan putusan pengadilan yang berkuatan hukum tetap. Pengelolaan aset daerah

mencakup lingkungan perencanaan kebutuhan dan penganggaran, pengadaan,

pengamanan, pemanfaat, dan pemeliharaan, penelitian, penghapusan,

pemindahtanganan, penatausahaan, pembinaan, pengawasan, dan pengendalian.

Salah satu bentuk pengamanan tanah asset daerah adalah pengamanan yuridis

berupa pendaftaran tanah untuk menjamin kepastian hukum atas tanah tersebut.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharan

Negara, Pasal 49 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 diatur bahwa

barang milik Negara/Daerah yang berupa tanah yang dikuasai oleh pemerintah

Pusat/Daerah harus disertifikatkan atas nama pemerintah Republik

Indonesia/pemerintah daerah yang bersangkutan.

Kewajiban pendaftaran tanah ini juga terdapat dalam Pasal 33 Peraturan

Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik

Negara/Daerah yang mengatur bahwa:

1. Barang milik negara/daerah berupa tanah harus disertipikatkan atas


nama Pemerintah Republik Indonesia/pemerintah daerah yang
bersangkutan.
2. Barang milik negara/daerah berupa bangunan harus dilengkapi dengan
bukti kepemilikan atas nama Pemerintah Republik
Indonesia/pemerintah daerah yang bersangkutan.
3. Barang milik negara selain tanah dan/atau bangunan harus dilengkapi
dengan bukti kepemilikan atas nama pengguna barang.

16
4. Barang milik daerah selain tanah dan/atau bangunan harus dilengkapi
dengan bukti kepemilikan atas nama pemerintah daerah yang
bersangkutan.16

Sehubungan dengan hal tersebut untuk tanah-tanah yang dimiliki oleh

pemerintah di Kota Semarang, maka perlu dilakukan pendaftaran tanah aset guna

memperoleh sertifikat tanah. Pensertifikatan tanah-tanah yang dimiliki atau

dikuasai oleh pemerintah kota Semarang penting dilakukan. Sebagaimana

diketahui, sertifikat adalah tanda bukti hak atas tanah, yang merupakan hasil dari

kegiatan pendaftaran tanah. Dengan adanya sertifikat, bidang tanah dapat

diketahui kepastian letak tanah, batas-batas tanah, luas tanah, bangunan dan jenis

tanaman yang ada diatasnya, serta untuk memperoleh kepastian mengenai status

tanahnya, siapa pemegang haknya dan ada atau tidak adanya hak pihak lain.

Semuanya itu diperlukan untuk mencegah timbulnya sengketa di kemudian hari.17.

Realitasnya, menurut data Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah

(BPKAD) Kota Semarang, baru ada 11 persen bidang aset daerah yang sudah

bersertifikat. Padahal, jumlah keseluruhannya mencapai 14.437 bidang. Kondisi

tersebut sangat rawan untuk terjadi penyerobotan oleh pihak-pihak tertentu.

Minimnya pendaftaran tanah aset daerah akan menimbulkan ketidakpastian dan

tidak adanya perlindungan hukum terhadap tanah aset daerah.18

Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk mengadakan penelitian

yang berjudul “Implementasi Pendaftaran Tanah Aset Daerah Pemerintah Kota

Semarang”

16
Pasal 33 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik
Negara/Daerah.
17
Boedi Harsono. Op.cit., hlm. 71.
18
https://www.suaramerdeka.com/newers/baca/205183/bidang-aset-daah-bersertifikat-baru-
11-persen, (diakses pada 16 Juni 2020, pukul 03.00).

17
1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana pelaksanaan pendaftaran hak atas tanah pada aset daerah

Pemerintah Kota Semarang?

2. Apa faktor-faktor yang menghambat pelaksanaan pendaftaran hak atas tanah

pada aset daerah pemerintah Kota Semarang?

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.3.1 Tujuan Penelitian

Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah:

1. Untuk menjelaskan pelaksanaan pendaftaran hak atas tanah pada aset daerah

pemerintah Kota Semarang.

2. Untuk menelusuri faktor-faktor yang menghambat pelaksanaan pendaftaran

hak atas tanah pada aset daerah pemerintah Kota Semarang.

1.3.2 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan ilmiah

bagi ilmu hukum dalam pengembangan hukum agraria, khususnya

Implementasi Pendaftaran Tanah Aset Daerah Pemerintah Kota Semarang.

2. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan bisa menjadi bahan

pertimbangan dan sumbangan pemikiran bagi pengambil kebijakan terkait

Pendaftaran Tanah Aset Daerah

1.4 Sistematika Penulisan

18
Bab I. Pendahuluan yang berisi latar belakang, perumusan masalah, tujuan

dan manfaat penelitian, dan diakhiri dengan sistematika penulisan.

Bab II. Tinjauan Pustaka yang berisi tentang tinjauan Umum tentang

pendaftaran tanah, tinjauan umum tentang tanah aset daerah.

Bab III. Metode Penelitian yang berisi tentang jenis penelitian, spesifikasi

penelitian, sumber data, metode pengumpulan data, dan diakhiri dengan metode

analisis data.

Bab IV. Hasil Penelitian dan Analisis Data yang membahas mengenai fokus

penelitian yang diajukan dalam perumusan masalah, yaitu yang dibagi ke dalam 2

(dua) sub bab; a) pelaksanaan pendaftaran tanah aset daerah pemerintah Kota

Semarang; dan b) faktor-faktor yang menghambat pelaksanaan pendaftaran tanah

aset daerah pemerintah Kota Semarang.

BAB V PENUTUP

Bab V. Penutup atau bab terakhir yang berisi tentang kesimpulan dari hasil

penelitian serta memberikan beberapa saran guna mengatasi permasalahan yang

ada.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Umum tentang Pendaftaran Tanah

19
2.1.1 Pengertian Pendaftaran Tanah

Pendaftaran tanah secara etimologis berasal dari bahasa latin yakni

“capitastrum”, di Jerman dan Italian disebut “catastro”, di Perancis disebut

“cadastre”, di Belanda dan juga di Indonesia dengan istilah “kadastrale” atau

“kadaster.” Maksud dari capitastrum atau kadaster dari segi bahasa adalah suatu

register atau capita atau unit yang diperbuat untuk pajak tanah romawi, yang

berarti suatu istilah teknis untuk suatu record(rekaman) yang menunjuk kepada

luas, nilai dan kepemilikan atau pemegang hak atas suatu bidang tanah, sedang

kadaster yang modern bisa terjadi atas peta yang ukuran besar dan daftar-daftar

yang berkaitan.19

Pasal 19 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar

Pokok-Pokok Agraria tidak mendefinisikan pendaftaran tanah. Definisi

pendaftaran tanah terdapat dalam Pasal 1 butir 1 Peraturan Pemerintah Nomor 24

Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Pada pasal tersebut, pendaftaran tanah

didefinisikan sebagai rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah secara

terus-menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan,

19
Yamin Lubis dan Abd. Rahim Lubis. Hukum Pendaftaran Tanah Edisi Revisi Peraturan
Pemerintah No. 13 Tahun 2010 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan
Pajak yang Berlaku Pada Badan Pertanahan Nasional. (Bandung: CV. Mandar Maju, 2010), hlm.
17-18.

20
pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data

yuridis dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan

rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang

tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak

tertentu yang membebaninya.

Menurut Boedi Harsono, pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang

dilakukan oleh pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur,

meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan

data fisik dan yuridis dalam bentuk peta dan daftar mengenai bidang-bidang tanah

dan satuan-satuan rumah susun termasuk pemberian sertifikat sebagai surat tanda

bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas

satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya.20

Kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali diatur dalam Pasal 12 ayat

(1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 yang menentukan bahwa

kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali meliputi:

1. pengumpulan dan pengolahan data fisik.


2. pembuktian hak dan pembukuannya.
3. penerbitan sertifikat.
4. penyajian data fisik dan data yuridis.
5. penyimpanan daftar umum dan dokumen.

Kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali merupakan kegiatan yang

dilakukan terhadap obyek tanah yang belum didaftarkan.

2.1.2 Asas-asas Pendaftaran Tanah

20
Boedi Harsono. Op.cit.,hlm. 474.

32
Pada pendaftaran tanah, menurut Soedikno Mertokusumo dikenal 2 (dua)

macam asas, yaitu:

1. Asas specialiteit (asas spesialitas) berarti bahwa pelaksanaan pendaftaran


tanah itu diselenggarakan terhadap bidang tanah tertentu yang secara teknis
menyangkut masalah pengukuran, pemetaan, dan pendaftaran peralihannya.
Pelaksanaan pendaftaran tanah dapat memberikan kepastian hukum terhadap
data fisik mengenai letak tanah, letak batas-batasnya dan luas bidang
tanahnya.
2. Asas openbaarheid (asas publisitas) artinya asas ini memberikan data yuridis
mengenai siapa yang menjadi subjek haknya atau orang-orang yang menjadi
pemegang hak, apa nama hak atas tanah, serta bagaimana terjadinya peralihan
dan pembebanannya. Data ini sifatnya terbuka untuk umum, artinya setiap
orang berhak melihatnya.

Asas spesialitas dan asas publisitas ini dimuat dalam suatu daftar guna dapat

diketahui secara mudah oleh siapa saja yang ingin mengetahuinya sehingga siapa

saja yang ingin mengetahui data-data baik fisik maupun yuridis atas tanah itu

tidak perlu lagi mengadakan penyelidikan langsung ke lokasi.

Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 dinyatakan bahwa

pendaftaran tanah dilaksanakan berdasarkan asas:

1. Asas sederhana. Asas ini dimaksudkan agar ketentuan-ketentuan pokoknya


maupun prosedurnya dengan mudah dapat dipahami oleh pihak-pihak yang
berkepentingan, terutama para pemegang hak atas tanah.
2. Asas aman bermakna pendaftaran tanah perlu diselenggarakan secara teliti
dan cermat sehingga hasilnya dapat memberikan jaminan kepastian hukum
sesuai tujuan pendaftaran tanah itu sendiri.
3. Asas terjangkau dimaksudkan keterjangkauan bagi pihak-pihak yang
memerlukan, khususnya dengan memperhatikan kebutuhan dan kemampuan
golongan ekonomi lemah. Pelayanan yang diberikan dalam rangka
penyelenggaraan pendaftaran tanah harus bisa terjangkau oleh pihak yang
memerlukan.
4. Asas mutakhir bermakna kelengkapan yang memadai dalam pelaksanaannya
dan berkesinambungan dalam pemeliharaan datanya. Data yang tersedia harus
menunjukkan keadaan yang mutakhir. Untuk itu diikuti kewajiban mendaftar
dan pencatatan perubahan-perubahan yang terjadi dikemudian hari. Asas ini
menuntut dipeliharanya data pendaftaran tanah secara terus menerus dan
berkesinambungan, sehingga data yang tersimpan di Kantor Pertanahan selalu
sesuai dengan keadaan nyata di lapangan.

33
5. Asas terbuka bermakna masyarakat dapat mengetahui atau memperoleh
keterangan mengenai data fisik dan data yuridis yang benar setiap saat di
Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota.

2.1.3 Tujuan Pendaftaran Tanah

Tujuan pendaftaran tanah adalah sebagai berikut:21

1. Terselenggaranya tertib administrasi pertanahan, terselenggaranya

pendaftaran tanah secara baik merupakan dasar dari perwujudan tertib

administrasi terhadap setiap bidang tanah dan satuan rumah susun, termasuk

peralihan dan hapusnya. Tertib administrasi pertanahan bagian dari catur

tertib pertanahan.

Penyediaan data-data penggunaan tanah untuk pemerintah ataupun

masyarakat. Data-data disimpan di kantor BPN baik tentang subyek ataupun

obyek hak atas tanah disusun sedemikian rupa telitinya agar dikemudian hari

dapat memudahkan siapapun yang ingin melihat data-data tersebut, apakah

calon pembeli atau kreditur atau bahkan pemerintah sendiri dalam rangka

memperlancar setiap peralihan hak atas tanah atau dalam rangka pelaksanaan

pembangunan oleh pemerintah.

Dalam penyajian data dilakukan oleh Kantor Pertanahan Kota, tata

usaha pendaftaran tanah atau yang dikenal sebagai daftaran umum, yang

terdiri atas peta pendaftaran, daftar tanah, surat ukur, buku tanah dan daftar

nama. Maka data tersebut diberi sifat terbuka untuk umum. Hal ini sesuai

dengan asas pendaftaran Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997.

Peta pendaftaran adalah peta yang menggambarkan bidang atau bidang-

Bachtiar Effendie. Pendaftaran Tanah di Indonesia dan Peraturan Pelaksanaannya.


21

(Bandung: Penerbit Alumni, 1993), hlm. 20-21.

34
bidang tanah untuk kepentingan pembukuan tanah. Daftar tanah adalah

dokumen dalam bentuk daftar yang memuat identitas bidang tanah dengan

suatu sistem penomoran.

2. Jaminan kepastian hukum terhadap hak-hak atas tanah. Adapun kepastian

yang dimaksud adalah: Pertama, kepastian mengenai orang/badan hukum

menjadi pemegang hak atas tanah. Kepastian berkenaan dengan siapa

pemegang hak atas tanah itu disebut dengan kepastian mengenai subyek hak

atas tanah. Kedua, kepastian mengenai letak tanah, batas-batas tanah, panjang

dan lebar tanah. Kepastian berkenaan dengan letak, batas-batas dan panjang

serta lebar tanah ini disebut dengan kepastian mengenai obyek hak atas tanah.

2.1.4 Jenis-jenis Pendaftaran Tanah

Jenis-jenis pendafataran tanah dilaksanakan melalui:

1. Pendaftaran tanah secara sporadik

Pendaftaran tanah secara sporadik adalah kegiatan pendaftaran tanah

untuk pertama kali mengenai suatu atau beberapa obyek pendaftaran tanah

dalam wilayah atau bagian wilayah suatu desa/kelurahan secara individual

atau massal. Pendaftaran tanah secara sporadik dilaksanakan atas permintaan

pihak yang berkepentingan.22 Dalam Pasal 1 angka 11 Peraturan Pemerintah

Nomor 24 Tahun 1997, pendaftaran tanah secara sporadik didefinisikan

sebagai kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali mengenai satu atau

beberapa objek pendaftaran tanah dalam wilayah atau bagian wilayah suatu

Florianus SP Sangsun. Tata Cara Mengurus Sertifikat Tanah. (Jakarta : Visi Media,
22

2007), hlm. 24.

35
desa/kelurahan secara individual atau massal, berarti pula seluruh biaya

dibebankan kepada pemohon.23

Kegiatan awal pendaftaran tanah secara sporadik dilakukan atas

permohonan pemegang hak yang bersangkutan, di antaranya:

a. permohonan pengukuran

b. permohonan pendaftaran hak baru

c. permohonan pendaftaran hak lama

d. permohonan pendaftaran peralihan hak dan lain-lain.

Permohonan pengukuran bidang tanah diajukan untuk keperluan:

a. persiapan permohonan hak baru

b. pemecahan, pemisahan dan penggabungan bidang tanah

c. pengembalian batas

d. pemetaan batas dalam rangka konsolidasi tanah

e. inventarisasi pemilikan dan penguasaan tanah dalam rangka pengadaan

tanah sesuai ketentuan yang berlaku.

f. lain-lain keperluan dengan persetujuan pemegang hak

2. Pendaftaran tanah sistematis

Menurut Florianus SP Sangsun, pendaftaran tanah secara sistematis

adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali yang dilakukan secara

serentak yang meliputi semua obyek pendaftaran tanah yang belum didaftar

dalam wilayah atau bagian wilayah suatu desa/kelurahan. Pendaftaran tanah

secara sistematis didasarkan pada suatu rencana kerja dan dilaksanakan di

Bambang Eko Muljono. “Pendaftaran Tanah Pertama Kali Secara Sporadik Melalui
23

Pengakuan Hak”. Jurnal Fakultas Hukum Universitas Islam Lamongan.

36
wilayah-wilayah yang ditetapkan oleh Menteri. Pendaftaran tanah secara

sistematis dilaksanakan atas prakarsa Pemerintah, maka kegiatan tersebut

didasarkan pada suatu rencana kerja yang ditetapkan oleh Menteri.24

Pada pendaftaran tanah secara sistematis, pemegang hak atas tanah,

kuasanya atau pihak lain yang berkepentingan memiliki kewajiban dan

tanggung jawab untuk:

a. Memasang tanda-tanda batas pada bidang tanahnya sesuai ketentuan yang

berlaku.

b. Berada di lokasi pada saat panitia ajudikasi melakukan pengumpulan data

fisik dan data yuridis.

c. Menunjukkan batas-batas bidang tanahnya kepada panitia ajudikasi

d. Menunjukkan bukti kepemilikkan atau penguasaan tanahnya kepada

panitia ajudikasi

e. Memenuhi persyaratan yang ditentukan bagi pemegang hak atau

kuasanya atau selaku pihak lain yang berkepentingan.

2.1.5 Obyek Pendaftaran Tanah

Obyek Pendaftaran Tanah berdasarkan Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor

24 Tahun 1997 meliputi:

1. Bidang-bidang tanah yang dipunyai dengan hak milik, hak guna usaha, hak
guna bangunan dan hak pakai.
2. Tanah hak pengelolaan.
3. Tanah wakaf.
4. Hak milik atas satuan rumah susun.
5. Hak tanggungan.
6. Tanah negara.

24
Florianus SP Sangsun. Op.cit., hlm. 23.

37
Pada objek pendaftaran tanah tersebut, tanah pemerintah tersebut dapat

didaftarkan menjadi tanah hak pakai dan hak pengelola.

2.1.6 Sistem Publisitas Pendaftaran Tanah di Indonesia

Sistem publikasi diperlukan dalam penyelenggaraan pendaftaran tanah

untuk menjawab permasalahan sejauh manakah orang boleh mempercayai

kebenaran data yang disajikan tersebut dan sejauh manakah hukum melindungi

kepentingan-kepentingan orang yang melakukan perbuatan hukum mengenai

tanah yang haknya sudah didaftar.

Sistem pubikasi tanah yang dianut oleh beberapa Negara yang

menyelenggarakan pendaftaran tanah yaitu:25

1. Sistem Publikasi Positif, Menurut sistem ini, sertifikat tanah yang diberikan
itu adalah berlaku sebagai tanda bukti hak atas tanah yang mutlak serta
merupakan satu-satunya tanda bukti hak atas tanah. Sehingga pendaftaran
tanah adalah menjamin dengan sempurna bahwa nama yang terdaftar dalam
buku tanah adalah tidak dapat dibantah.
2. Sistem Publikasi Negatif, Menurut sistem ini, segala apa yang tercantum
dalam sertifikat tanah dianggap benar sampai tidak dapat dibuktikan di muka
sidang pengadilan.

Indonesia menganut sistem publikasi negatif bertendensi positif, hal ini

mengacu Penjelasan Pasal 32 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun

1997 tentang Pendaftaran Tanah.26 Hal ini dapat dibuktikan dari hal-hal berikut:

1. Pendaftaran tanah menghasilkan surat tanda bukti yang berlaku sebagai alat
pembuktian yang kuat, bukan sebagai alat pembuktian yang mutlak (sistem
publikasi negatif)
2. Sistem pendaftaran tanah menggunakan sistem pendaftaran hak
(registrationof titles), bukan sistem pendaftaran akta (registration of deed)
(sistem publikasi positif)
3. Negara tidak menjamin kebenaran data fisik dan data yuridis yang tercantum
dalam sertifikat (sistem publikasi negatif)
25
http://tanahlaw.blogspot.co.id/2015/11/sistem-pendaftaran-tanah-sistem.html , (diakses
pada tanggal 16 Juni 2020 pukul 19.48).
26
Boedi Harsono. Op.cit., hlm. 477.

38
4. Petugas pendaftaran tanah adalah untuk memberikan jaminan kepastian
hukum (sistem publikasi positif)
5. Pihak lain yang dirugikan atas diterbitkannya sertifikat dapat mengajukan
keberatan kepada penyelenggara pendaftaraan tanah untuk membatalkan
sertifikat atau mengajukan gugatan ke pengadilan agar sertifikat dinyatakan
tidak sah (sistem publikasi negatif)27

2.2 Tinjauan Umum tentang tanah aset daerah

Aset atau barang daerah merupakan potensi ekonomi yang dimiliki oleh

daerah. Potensi ekonomi bermakna adanya manfaat finansial dan ekonomi yang

bisa diperoleh pada masa yang akan datang guna menunjang peran dan fungsi

pemerintah daerah sebagai pemberi pelayanan publik kepada masyarakat. Dari

definisi tersebut diatas maka aset daerah adalah sama dengan barang daerah.

Dalam ketentuan Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang

Perbendaharaan Negara, menentukan bahwa “Barang Milik Daerah adalah semua

barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBD atau berasal dari perolehan

lainnya yang sah”.28

Selanjutnya Pasal 1 angka 2 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia

Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah

Perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan

Barang Milik Negara/Daerah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan

Pemerintah Nomor 38 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah

Nomor 6 Tahun 2006 Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah,

menentukan bahwa “Barang milik daerah adalah semua barang yang dibeli atau

Urip Santoso. Op.cit., hlm. 271-272.


27

Nunuy Nur Afiah. Implementasi Akuntansi Keuangan Pemerintah Daerah, (Jakarta:


28

Kencana, 2009), hlm. 6.

39
diperoleh atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah atau berasal dari

perolehan lainnya yang sah”.

Aset daerah, meliputi sumber daya ekonomi yang dikuasai dan/atau dimiliki

oleh pemerintah daerah sebagai akibat dari peristiwa masa lalu dan dari mana

manfaat ekonom dan/atau social dimasa depan diharapkan dapat diperoleh baik

oleh pemerintah maupun masyarakat serta dapat diukur dalam satuan uang

termasuk sumber daya non keuangan yang diperlukan untuk penyediaan jasa bagi

masyarakat umum dan sumber-sumber daya yang dipelihara karena alasan sejarah

dan budaya.29

Barang milik daerah disamping berasal dari pembelian atau perolehan atas

beban Anggaran Pendapatan Belanja Daerah juga berasal dari perolehan lainnya

yang sah. Barang milik Negara/Daerah yang berasal dari perolehan lainnya yang

sah, selanjutnya dalam Pasal 2 ayat (2) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia

Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah

diperjelas lingkupnya yang meliputi barang yang diperoleh dari

hibah/sumbangan/sejenisnya, diperoleh sebagai pelaksanaan perjanjian/kontrak,

diperoleh berdasarkan ketentuan undang-undang dan diperoleh berdasarkan

putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.30

2.2.1 Definisi Tanah Aset Daerah

Tanah aset daerah adalah tanah-tanah yang dikuasai oleh instansi

pemerintah daerah. Tanah aset pemerintah termasuk dalam golongan tanah hak

dan merupakan aset yang penguasaan dan pengelolaannya ada pada instansi yang

29
Ibid.
30
Ibid.

40
bersangkutan. Adapun yang dimaksud dengan manajemen/ pengelolaan barang

daerah adalah suatu rangkaian kegiatan dan tindakan terhadap daerah yang

meliputi: perencanaan kebutuhan dan penganggaran; pengadaan; penggunaan;

pemanfaatan; pengamanan dan pemeliharaan; penilaian; pemindahtanganan;

pemusnahan; penghapusan; penatausahaan; pembinaan, pengawasan dan

pengendalian; dan ganti rugi dan sanksi.31

Pengamanan sebagai salah satu bentuk pengelolaan tanah aset daerah dapat

dibagi menjadi tiga, yaitu:

1. Pengamanan fisik

Tata Cara Pengamanan Tanah Pengamanan fisik tanah dilakukan dengan

antara lain:

a. Memasang tanda letak tanah dengan membangun pagar batas.

b. Memasang tanda kepemilikan tanah.

c. Melakukan penjagaan.

Pengamanan fisik sebagaimana dimaksud dilaksanakan dengan

mempertimbangkan kemampuan keuangan pemerintah daerah dan kondisi

atau letak tanah yang bersangkutan.

2. Pengamanan administrasi

Pengamanan administrasi tanah dilakukan dengan:

a. Menghimpun, mencatat, menyimpan, dan menatausahakan dokumen

bukti kepemilikan tanah secara tertib dan aman.

b. Melengkapi bukti kepemilikan atau menyimpan sertifikat tanah.

c. Membuat kartu identitas barang.


31
Ibid.

41
d. Melaksanakan inventarisasi/sensus barang milik daerah sekali dalam 5

(lima) tahun serta melaporkan hasilnya.

e. Mencatat dalam Daftar Barang Pengelola/Pengguna Barang/Kuasa

Pengguna.

3. Pengamanan yuridis

Pengamanan yuridis tanah dilakukan terhadap:

a. Tanah yang belum memiliki sertifikat

b. Tanah yang sudah memiliki sertifikat namun belum atas nama pemerintah

daerah.

Pengamanan hukum terhadap tanah yang belum memiliki sertifikat

sebagaimana dimaksud dilakukan dengan cara :

1. Apabila barang milik daerah telah didukung oleh dokumen awal kepemilikan,

antara lain berupa Letter Of Credit, akte hibah, atau dokumen lainnya, maka

pengelola barang atau pengguna barang dan kuasa pengguna barang segera

mengajukan permohonan penertiban sertifikat atas nama pemerintah daerah

kepada Badan Peertahanan Nasional atau Kantor Wilayah Badan Pertahanan

Nasional setempat.

2. Apabila barang milik daerah tidak didukung dengan dokumen kepemilikan,

pengelola barang atau pengguna barang dan kuasa pengguna barang

mengupayakan untuk memperoleh dokumen awal kepemilikan seperti riwayat

tanah. Pengamanan hukum terhadap tanah yang sudah hak atas tanah kepada

kantor pertahanan setempat menjadi atas nama pemerintah daerah bersetifikat

namun belum atas nama pemerintah daerah sebagaimana dimaksud dilakukan

42
dengan cara pengelola barang atau kuasa pengguna barang segera mengajukan

perrmohonan perubahan nama sertifikat

2.2.2 Jenis Hak Atas Tanah Bagi Pemerintah Daerah

Subjek Hak Milik atas tanah berdasarkan Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang

Pokok Agraria, menegaskan bahwa hanya Warga Negara Indonesia. Di samping

perseorangan warga negara Indonesia, subjek Hak Milik atas tanah adalah badan

hukum yang ditetapkan oleh Pemerintah. Badan hukum yang dapat memiliki

tanah menurut Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963 tentang Penunjukan

Badan-Badan Hukum yang Dapat Memiliki Tanah, yaitu bank yang didirikan oleh

negara (bank negara), koperasi pertanian, badan keagamaan, dan badan sosial.

Menurut Pasal 8 ayat (1) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan

Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan

Pembatalan Pemberian Hak atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan, badan

hukum yang dapat memiliki tanah adalah bank pemerintah, badan keagamaan, dan

badan sosial yang ditunjuk oleh pemerintah.

Hak atas tanah dapat dimiliki atau dikuasai oleh perseorangan atau badan

hukum. Perseorangan yang dapat memiliki atau menguasai hak atas tanah adalah

warga negara Indonesia atau orang asing yang berkedudukan di Indonesia. Badan

hukum yang dapat memiliki atau menguasai hak atas tanah adalah badan hukum

privat atau badan hukum publik, atau badan hukum Indonesia atau badan hukum

asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia. Salah satu badan hukum yang

dapat menguasai hak atas tanah adalah Pemda, yaitu Pemerintah Propinsi, atau

Pemerintah Kabupaten/Kota.

43
Hak atas tanah yang dapat dikuasai oleh Pemda adalah Hak Pakai dan Hak

Pengelolaan. Hak Pakai diatur dalam Pasal 41 ayat (1) Undang-Undang Pokok

Agraria adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang

dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang lain, yang memberi

wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh

pejabat yang berwenang memberikannya atau dengan perjanjian dengan pemilik

tanahnya, yang bukan perjanjian sewa menyewa atau perjanjian pengolahan tanah,

segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan Undang-Undang

Pokok Agraria.

Pengertian Hak Pengelolaan disebutkan secara tegas dalam Pasal 2 ayat (3)

Undang-Undang No. 20 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.

21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan juncto Pasal

1 Peraturan Pemerintah No. 112 Tahun 2000 tentang Pengenaan Bea Perolehan

Hak atas Tanah dan Bangunan karena Pemberian Hak Pengelolaan, yaitu hak

menguasai dari negara atas tanah yang kewenangan pelaksanaannya sebagian

dilimpahkan kepada pemegang haknya untuk merencanakan peruntukan dan

penggunaan tanah, mempergunakan tanah untuk keperluan pelaksanaan tugasnya,

menyerahkan bagian-bagian tanah Hak Pengelolaan kepada pihak ketiga dan atau

bekerja sama dengan pihak ketiga.

Mengacu uraian di atas, maka dasar penguasaan hak atas tanah bagi Pemda

adalah Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963 tentang Penunjukan Badan-

Badan Hukum yang Dapat Memiliki Tanah, yaitu hak pakai dan hak pengelolaan.

1. Hak pakai

44
Menurut Pasal 41 Undang-Undang Pokok Agraria, hak pakai adalah hak

untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai

langsung oleh negara atau tanah milik orang lain, yang memberikan

wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya

oleh pejabat atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya yang bukan

perjanjian sewa menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu

asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan Undang-Undang ini.

Hak penguasaan atas tanah Negara sebagai dimaksud dalam Peraturan

Pemerintah No. 9 tahun 1965 tentang Pelaksanaan Konversi Hak Penguasaan

Atas Tanah Negara Dan Ketentuan-Ketentuan Dan Kebijakan Selanjutnya ,

yang diberikan kepada departemen-departemen, direktorat-direktorat dan

daerah-daerah swatantra sebelum berlakunya peraturan ini sepanjang tanah-

tanah tersebut hanya dipergunakan untuk kepentingan instansi-instansi itu

sendiri dikonversi menjadi hak pakai sebagaimana dimaksud dalam Undang-

Undang Pokok Agraria yang berlangsung selama tanah tersebut dipergunakan

untuk keperluan itu oleh instansi jang bersangkutan.

Pemda termasuk badan hukum publik. A.P. Parlindungan menyatakan

bahwa Hak Pakai yang dipunyai oleh badan hukum publik disebut Hak Pakai

publik adalah right to use, yaitu menggunakannya untuk waktu yang tidak

terbatas selama pelaksanaan tugas, namun tidak ada right of dispossal, yaitu

tidak dapat dialihkan dalam bentuk apapun kepada pihak ketiga dan juga tidak

dapat dijadikan objek Hak Tanggungan.32

A.P. Parlindungan. “Beberapa Konsep tentang Hak-Hak atas Tanah”, Majalah CSIS,
32

Tahun XX Nomor 2, Jakarta, Maret- April 1990, hlm. 135.

45
Pemda menguasai tanah Hak Pakai dan Hak Pengelolaan melalui

permohonan pemberian hak atas tanah negara, yaitu Pemda mengajukan

permohonan Hak Pakai dan Hak Pengelolaan atas tanah yang berasal dari

tanah negara. Tanah negara adalah tanah yang diatasnya belum terdapat

sesuatu hak atas tanah tertentu atau tanah yang di atasnya belum dibebani

dengan hak atas tanah tertentu. Sebagai tanda bukti Pemda menguasai tanah

Hak Pakai dan Hak Pengelolaan diterbitkan Sertipikat Hak Pakai dan

Sertipikat Hak Pengelolaan oleh Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota.

2. Hak pengelolaan

Hak ini untuk pertama kali disebut dan diatur dalam Peraturan Menteri

Agraria Nomor 9 Tahun 1965 tentang Pelaksanaan Konversi Hak Penguasaan

atas Tanah Negara dan Ketentuan-ketentuan tentang Kebijakan Selanjutnya jo

Peraturan Menteri Agraria Nomor 1 Tahun 1966 tentang Pendaftaran Hak

Pakai dan Hak Pengelolaan dan dihubungan dengan Peraturan Pemerintah

Nomor 8 Tahun 1953 tentang Penguasaan Tanah-tanah Negara. Yaitu dalam

menegaskan pelaksanaan konversi hak-hak penguasaan atau “Beheer” yang

ada pada Departemen-departemen dan Daerah-daerah Swatantra berdasarkan

Peraturan Pemerintah tersebut.33

Adanya Hak Pengelolaan dalam Hukum Tanah Nasional tidak disebut

dalam UUPA tetapi tersirat dalam penjelasan umum yang menyatakan bahwa

dengan berpedoman pada tujuan yang disebutkan di atas, Negara dapat

memberikan tanah yang dimaksud adalah tanah yang tidak dipunyai dengan

33
Urip Santoso. Hukum Agraria dan Hak-hak atas Tanah, (Jakarta: Kencana, 2006), hlm.
73.

46
sesuatu hak oleh seseorang atau pihak lain) kepada sesorang atau badan-badan

dengan sesuatu hak menurut peruntukannya atau keperluannya misalnya

dengan Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai

atau memberikannya dengan pengelolaan kepada suatu badan penguasa

(Departemen, Jawatan Atau Daerah Swatantra) untuk dipergunakan bagi

pelaksanaan tugasnya masing-masing .34

Pengertian yang lebih lengkap tentang Hak Pengelolaan dinyatakan

dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (3) huruf f UU No. 20 Tahun 2000 tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea

Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, jo. Pasal 1 Peraturan Pemerintah

No. 112 Tahun 2000 tentang Pengenaan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan

Bangunan Karena Pemberian Hak Pengelolaan, yaitu hak menguasai negara

atas tanah yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada

pemegang haknya untuk merencanakan peruntukan dan penggunaan tanah,

mempergunakan tanah untuk keperluan pelaksanaan tugasnya, dan

menyerahkan bagian-bagian tanah tersebut kepada pihak ketiga dan atau

bekerja sama dengan pihak ketiga.

Hak pengelolaan ini dapat diberikan kepada badan hukum pemerintah

atau pemerintah daerah yang dipergunakan untuk usahanya sendiri maupun

untuk kepentingan pihak ketiga. Bentuk dari hak pengelolaan berdasarkan

Undang-undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 Penjelasan Umum II

angka (2), menyatakan bahwa dengan berpedoman pada tujuan yang

disebutkan di atas negara dapat memberikan tanah yang dikuasai negara


34
Ibid., hlm. 277.

47
kepada seseorang atau badan hukum dengan sesuatu hak menurut peruntukan

dan keperluannya, misalnya hak milik, hak guna usaha, hak bangunan, dan

hak pakai atau memberikannya dalam pengelolaan kepada suatu badan

penguasa (departemen, jawatan, atau daerah swatantra untuk dipergunakan

bagi pelaksanaan tugasnya masing-masing Pasal 2 ayat (4).35

Penggunaan Tanah Aset Daerah diatur dalam Pasal 13 sampai dengan Pasal

18 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 Jo Pasal 21 sampai dengan Pasal

24 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 17 Tahun 2007. Tanah Aset Daerah

ditetapkan status penggunaannya untuk menyelenggarakan tugas pokok dan

satuan fungsi Satuan Kerja Perangkat Daerah (SPKD) dan dapat dioperasikan oleh

pihak lain dalam rangka mendukung pelayanan umum sesuai tugas pokok dan

fungsi SKPD yang bersangkutan.

Status penggunaan Tanah Aset Daerah ditetapkan dengan Keputusan Kepala

Daerah dengan ketentuan bahwa tanah digunakan untuk kepentingan

penyelenggarakan tugas pokok dan fungsi pengguna dan/atau kuasa pengguna.

Pengguna atau Kuasa Pengguna wajib menyerahkan tanah yanh tidak digunakan

untuk kepentingan penyelenggaraan tugas pokok fungsi pengguna dan/atau kuasa

pengguna kepada Kepala Daerah melalui pengelola.

Pengguna yang tidak menyerahkan tanah yang tidak digunakan untuk

penyelenggaraan tugas pokok fungsi SKPD kepada Kepala Daerah dikenakan

sanksi berupa pembekuan dana pemeliharaan tanah dimaksud. Tanah yang

digunakan tidak sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya SKPD, dicabut

penetapan status penggunaannya dan dapat dialihkan kepada SKPD lainnya.


35
Ibid., hlm. 276.

48
Pasal 6 Peraturan Menteri Agraria Nomor 9 Tahun 1965 tentang

Pelaksanaan Konversi Hak Penguasaan Atas Tanah Negara dan Ketentuan-

Ketentuan tentang Kebijaksanaan Selanjutnya, hak pengelolaan memberikan

kewenangan kepada pemegangnya untuk:

a. Merencanakan peruntukan dan penggunaan tanah yang bersangkutan.


b. Menggunakan tanah tersebut untuk keperluan pelaksanaan tugasnya.
c. Menyerahkan bagian-bagian dari tanah itu kepada pihak ketiga dengan
hak pakai yang berjangka waktu 6 tahun.
d. Menerima uang pemasukan dan/atau uang wajib tahunan.

Tata cara permohonan dan penyelesaian pemberian hak atas bagian-bagian

tanah hak pengelolaan serta pendaftarannya diatur dalam Peraturan Menteri

Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 1977 yaitu Permohonan untuk memperoleh hak

pengelolaan diajukan kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional melalui Kepala

Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya setempat yang bersangkutan rangkap 6

(enam) dengan dilampiri:

a. Akta tentang pendirian badan hukumnya, bila perusahaan tersebut


merupakan badan hukum
b. Izin lokasi/penunjukan pencadangan tanah dari pejabat yang berwenang
c. Keterangan tentang status tanahnya.
d. Keterangan pendaftaran tanah, bila tanahnya sudah bersertifikat
e. Girik/petuk/ketikir atau riwayat tanah yang dibuat oleh kantor Ipeda
setempat, bila tanah adalah milik adat.
f. Keterangan tentang penguasaan tanah (jual/beli), pembebesan, tukar
menukar dan lain-lain/disertai dengan bukti-bukti cara perolehan/
penguasaan tanahnya.

Sebagai Aset, maka pengelolaan tanah-tanah tersebut harus berdasarkan atas

peraturan tentang pengelolaan Aset Daerah yang juga disebut “Barang Daerah”.

Pada saat ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang

Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah (LNRI TH.2006 No. 20; TLNRI No.

4609) dan selanjutnya berdasarkan ketentuan Pasal 74 ayat (3) Peraturan

49
Pemerintah tersebut, diterbitkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 17

Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah.

Hak penguasaan atas tanah yang dapat dikuasai oleh pemerintah daerah

adalah hak pakai dan hak pengelolaan. Hak pakai dan hak pengelolaan dapat

diperoleh pemerintah daerah melalui penegasan konversi yang berasal dari hak

penguasaan atas tanah tanah negara, atau melalui pemberian hak yang berasal dari

tanah negara. Sebagai tanda bukti haknya diterbitkan sertifikat hak pakai atau hak

pengelolaan oleh kantor pertanahan kabupaten/kota.

Wewenang pemerintah daerah terhadap hak pakainya adalah

mempergunakan tanah hak pakai untuk kepentingan pelaksanaan tugasnya.

Wewenang pemerintah daerah terhadap hak pengelolaannya adalah merencanakan

peruntukan dan penggunaan tanah, mempergunakan tanah untuk kepentingan

pelaksanaan tugasnya dan menyerahkan bagian-bagian tanah hak pengelolaan

kepada pihak ketiga dan atau bekerja sama dengan pihak ketiga. Pemerintah

daerah tidak diperbolehkan menyewakan tanah hak pakai atau hak pengelolaan

kepada pihak ketiga karena hal ini bertentangan dengan ketentuan Pasal 44

UUPA. Tanah yang dapat disewakan kepada pihak lain hanya tanah yang

berstatus hak milik.

50
BAB III

METODE PENELITIAN

Metode penelitian adalah metode atau cara yang digunakan oleh peneliti

dalam menyusun dan melaksanakan penelitian. Metode penelitian ini disusun dan

dipilih berdasarkan pemahaman mengenai masalah yang akan diteliti. Menurut

Soerjono Soekanto, penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang

didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu yang bertujuan

51
mempelajari sesuatu atau beberapa gejala hukum tertentu.36 Hasil dari suatu

penelitian dipercaya apabila disusun dengan mempergunakan suatu metode yang

tepat. Metode merupakan cara kerja untuk memahami objek yang menjadi sasaran

penelitian. Dalam karya ilmiah ini, penulis menggunakan metode penelitian

sebagai berikut:

3.1 Jenis Penelitian

Permasalahan yang telah dirumuskan di atas akan dijawab atau dipecahkan

dengan menggunakan metode pendekatan yuridis empiris. Pendekatan yuridis

(hukum dilihat sebagai norma atau das sollen) karena dalam membahas

permasalahan penelitian ini dengan menggunakan bahan-bahan hukum (baik

hukum yang tertulis37 maupun hukum yang tidak tertulis38 atau baik bahan hukum

36
Ibid.
37
Hukum yang tertulis adalah hukum yang dibuat oleh pejabat yang berwenang yang
berlaku umum dengan ancaman sanksi yang tegas
38
Hukum yang tidak tertulis adalah hukum yang berlaku dalam masyarakat, yang ditaati dan
diikuti sebagai pedoman hidup bermasyarakat.

52
primer maupun bahan hukum sekunder). Pendekatan empiris (hukum sebagai

kenyataan sosial, kultural atau das sein), karena dalam penelitian ini digunakan

data primer yang diperoleh dari lapangan atau fenomena yang terjadi di

masyarakat.

Berdasarkan pemahaman tersebut, hukum dipahami bukan hanya sebagai

peraturan perundang-undangan tetapi juga realitas masyarakat.

3.2 Spesifikasi Penelitian

Spesifikasi dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif analitis, yaitu

penelitian yang mendeskripsikan secara terperinci hasil analisis mengenai

pendaftaran tanah aset daerah Pemerintah Kota Semarang. Suatu penelitian

deskripsi dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang

implementasi pendaftaran tanah aset daerah tersebut. Diharapkan penelitian ini

dapat memberikan gambaran yang lebih jelas, rinci dan sistematis yang mengacu

pada norma hukum yang terdapat pada peraturan perundang-undangan dan realitas

mengenai pendaftaran tanah aset daerah pemerintah Kota Semarang.39 Data

tersebut kemudian di analisis berdasarkan bahan-bahan hukum yang ada.

3.3 Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dalam penelitian hukum ini adalah studi literatur

dan wawancara kepada pihak-pihak yang kompeten mengenai masalah yang

dikaji. Adapun literatur yang digunakan adalah literatur yang relevan dengan

penelitian ini.

39
Ibid.

37
3.4 Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi 2 jenis data, yaitu:

1. Data Primer

Data primer merupakan data yang diperoleh secara langsung dari lapangan

berdasarkan wawancara terhadap narasumber.

2. Data Sekunder

Pengumpulan data dalam studi pustaka ini dilakukan penelitian dengan cara

mempelajari dan mengumpulkan data yang berhubungan dengan objek

penelitian. Data-data tersebut diperoleh dari buku-buku kepustakaan,

peraturan perundang-undangan, browsing internet, dan dokumen-dokumen

lainnya. Dalam hal ini peneliti mencari buku-buku yang dibutuhkan. Data

sekunder dikelompokkan menjadi 3 jenis bahan hukum, yaitu:

a. Bahan hukum primer Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang

mengikat atau bahan yang berkait erat dengan permasalahan yang diteliti,

meliputi:

1) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

2) Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-

Pokok Agraria.

3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Pembendaharaan

Negara.

4) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional

Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan tentang

38
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran

Tanah.

5) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional

Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan

Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan.

6) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 19 Tahun 2016 tentang

Pedoman Pengelolaan Barang Milik Negara.

7) Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1953 Tentang Penguasaan

Tanah-Tanah Negara.

8) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran

Tanah.

9) Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan

Barang Milik Negara.

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder berfungsi memberikan penjelasan mengenai

bahan hukum primer, yaitu:

1) Buku-buku yang berkaitan dengan judul dan permasalahan yang akan

dikaji dalam penulisan skripsi ini.

2) Hasil penelitian dan karya tulis ilmiah yang berkaitan dengan

penulisan skripsi ini.

3) Makalah-makalah seminar terkait dengan penulisan skripsi ini.

4) Jurnal hukum dan literatur yang terkait dengan penulisan skripsi.

39
c. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier yaitu bahan yang memberikan petunjuk atau

penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder,

yaitu:

1) Kamus Hukum

2) Kamus Bahasa Indonesia

3) Kamus Bahasa Inggris

4) Ensiklopedia terkait.

3.5 Metode Analisis Data

Langkah-langkah yang dilakukan dalam kegiatan analisis data penelitian ini

adalah data dan informasi yang telah dikumpulkan dari hasil penelitian kemudian

dianalisis secara deskriptif kualitatif yaitu suatu metode analisis data dengan cara

mengelompokkan dan menyeleksi data yang diperoleh dari penelitian berdasarkan

relevasi dengan objek penelitian. Kemudian data tersebut dihubungkan dengan

teori-teori dan peraturan perundang-undangan yang diperoleh dari studi dokumen

sehingga diperoleh jawaban atas permasalahan dalam penelitian ini. Kemudian

disusun menjadi bentuk laporan penelitian guna menjawab rumusan masalah

mengenai Implementasi Pendaftaran Tanah Aset Daerah Pemerintah Kota

Semarang.40

40
Ibid.

40
BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Pelaksanaan Pendaftaran Tanah Aset Daerah Pemerintah Kota

Semarang

Sejak adanya Undang‐Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi

Daerah yang diubah dengan Undang‐Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintah Daerah sebagaimana diubah dengan Undang‐Undang Nomor 12

Tahun 2008, Pemerintah Pusat mendesentralisasikan sebagian urusan

pemerintahan kepada Pemerintah Daerah. Salah satu dampak dari desentralisasi

adalah adanya perubahan dalam pembagian alokasi keuangan antara Pemerintah

Pusat dan Pemerintah Daerah. Perubahan pembagian alokasi keuangan

dilaksanakan secara proporsional, demokratis, adil, dan transparan dengan

memperhatikan potensi, kondisi, dan kebutuhan daerah. Hal ini sesuai dengan

Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan. Dampak

lain dari adanya desentralisasi adalah Pemerintah Daerah memiliki kekuasaaan

yang lebih luas dalam pengelolaan sumber‐sumber pendapatan daerah.41

Halim dan Damayanti menjelaskan bahwa dengan adanya desentralisasi,

Pemerintah Daerah diharapkan mampu mengurangi ketergantungan terhadap

Pemerintah Pusat mengingat ketergantungan semacam ini akan mengurangi

kreativitas lokal untuk mengambil kebijakan terkait dengan penerimaan lokal

41
A. Halim dan T. Damayanti. Seri Bunga Rampai Manajemen Keuangan Daerah:
Pengelolaan Keuangan Daerah. Edisi Kedua. (Yogyakarta: UPP STIM YKPN, 2007).

41
yang lebih efisien.42

Spirit desentralisasi di atas selaras dengan kehidupan manusia yang terus

berkembang sejalan dengan perkembangan peradaban kehidupan itu sendiri, yang

menjadikan hubungan antar manusia semakin rumit mengenai tanah. Seiring

dengan pertumbuhan penduduk, perpindahan penduduk, juga pesatnya

pembangunan, menjadikan tanah yang luasnya tetap dan terbatas akan memicu

konflik penguasaan hak atas tanah. Oleh karena diperlukan aturan-aturan hukum

yang akan menjamin kepastian hukum bagi para pemegang hak atas tanah, dan

oleh karena itu pulalah kewenangan kepada daerah diberikan oleh Pemerintah

Pusat.

Tanah adalah permukaan bumi, yang dalam penggunaannya meliputi juga

sebagaian tubuh bumi yang ada di bawahnya dan sebagaian dari ruang yang ada di

atasnya.43 Di dalam hukum nasional, tanah dibedakan menjadi 2 (dua) kelompok,

yakni apa yang disebut dengan Tanah Hak dan Tanah Negara. Tanah Hak adalah

tanah yang dibebani suatu hak di atasnya, tanah hak juga dikuasai oleh negara

akan tetapi penggunaanya tidak secara langsung, sebab ada pihak tertentu di

atasnya dan diatur dalam Pasal 33 ayat 1 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960

tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, yang sering disebut dengan

UUPA. Sedangkan pengertian Tanah Negara adalah tanah yang langsung dikuasai

oleh negara dan tidak ada pihak lain selain negara yang menguasai tanah tersebut

dan sudah diatur dalam Pasal 33 ayat 3 UUPA.

Tanah adalah hak milik yang sangat berharga bagi kehidupan setiap

Ibid.
42

Boedi Harsono. Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan UUPA. (Jakarta:


43

Djambatan, 1999), hlm. 265.

90
manusia. Tanah termasuk sumber daya alam yang paling penting dalam kehidupan

manusia, segala kegiatan makhluk hidup dilakukan dengan bantuan tanah sebagai

media untuk beraktivitas dan menjalani kehidupan. Tanah merupakan salah satu

bagian dari bumi,yaitu tempat di mana manusia hidup dan melaksanakan segala

aktivitas sehari-hari. Oleh karena itu tanah merupakan sumber daya alam penting

bagi kehidupan manusia di bumi ini.

Tanah adalah salah satu bentuk aset yang dimiliki Pemerintah Daerah.

Peruntukan dari tanah milik Pemerintah Daerah ada yang digunakan untuk

kepentingan umum, misalnya taman terbuka dan ada yang digunakan untuk fungsi

pelaksanaan pemerintahan. Abdul Halim44, menjelaskan bahwa aset milik daerah

pada dasarnya memiliki 2 (dua) fungsi yakni fungsi pelayanan dan fungsi

budgeter. Fungsi pelayanan diartikan sebagai aset digunakan untuk memenuhi

kebutuhan organisasi sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya, sedangkan fungsi

budgeter diartikan bahwa aset dapat menjadi sumber tambahan Pendapatan Asli

Daerah (PAD) melalui bentuk sewa, kerjasama pemanfaatan, bangun guna serah,

dan bangun serah guna.

Hukum tanah adalah keseluruhan ketentuan-ketentuan hukum, baik tertulis

maupun tidak tertulis, yang semuanya mempunyai objek pengaturan yang sama

yaitu hak-hak penguasaan atas tanah sebagai lembaga-lembaga hukum dan

sebagai hubungan hukum yang konkret, beraspek publik dan privat, yang dapat

disusun dan dipelajari secara sistematis, sehingga keseluruhannya menjadi satu

kesatuan yang merupakan satu sistem.

Abdul Halim. Bunga Rampai Manajemen Keuangan Daerah Edisi Pertama. (Yogyakarta:
44

UPP AMP YKPN, 2001).

91
Dalam rangka pembangunan nasional dan regional diperlukan penggalian

potensi, nilai-nilai lokal, identitas serta kepribadian masyarakat yang dapat

menumbuhkan semangat dan nilai-nilai luhur bagi pembentukan identitas nasional

dan pembangunan nasional. Sebagai bagian dari wilayah Propinsi Jawa tengah

dan bagian integral dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia,

keberadaan Kota Semarang sangat perlu diketahui dan dipahami secara jelas.

Permasalahan dalam tanah merupakan permasalahan yang sering terjadi di

Indonesia dan merupakan persoalaan esensial bagi kehidupan dan penghidupan

umat manusia. Tanah juga menjadi sumber kehidupan manusia, yaitu sebagai

tempat tinggal, tempat bekerja dan hidup. Dalam hal ini tanah multi dimensi,

berbagai aspek terkait dengan politik, hukum, sosial dan budaya. Hak milik

merupakan hak dasar bagi setiap warga negara yang dijamin konstitusi, oleh

karena itu kepastian hukum pemilikan atas tanah merupakan salah satu kebutuhan

yang hakiki.

Pentingnya memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum atas

pengelolaan aset tanah, maka dilakukan pengaturan terhadap aset tanah Instansi

Pemerintah yang meliputi perolehan, pelepasan, maupun perbuatan-perbuatan

hukum lainnya, di dalam berbagai peraturan perundang-undangan karena aset

tanah Instansi Pemerintah secara notabene merupakan ”barang milik negara”.

Pengelolaan terhadap ”barang milik negara” telah diatur dalam Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan Peraturan Pemerintah

No. 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah.

Pemerintah Kota Semarang merupakan salah satu Pemerintah Daerah yang

92
dituntut agar mampu melaksanakan otonomi daerah dengan sebaik‐baiknya.

Dalam pelaksanaan pemerintahannya diketahui bahwa penerimaan pendapatan

dari aset tanah pada Pemerintah Kota Semarang pada tahun 2010 dan tahun 2011

jika dibandingkan dengan nilai Pendapatan Asli Daerah hanya sebesar 5,85% dan

4,42%. Hal ini sangat bertolak belakang dengan pengelolaan aset tanah di

Ethiopia yang melalui sistem land leasing. Penelitian yang dilakukan oleh

Peterson menunjukkan bahwa pemasukan dari aset tanah mencapai kurang lebih

sebesar 20% hingga 45% dari total pendapatan.45 Hal ini menunjukkan bahwa

pengelolaan aset khususnya tanah di Kota Semarang belum dilakukan secara

optimal.

Berdasarkan LHP BPK RI Nomor 56B/LHP/XVIII.SMG/05/2011 Tanggal

24 Mei 201146 diketahui bahwa pengelolaan aset tanah di Kota Semarang selama

Tahun 2010 ternyata memilki beberapa permasalahan. Permasalahan tersebut

antara lain: terdapat aset tanah yang tidak diketahui keberadaannya namun masih

diakui sebagai aset tanah, masih adanya tanah‐tanah yang tidak jelas status

kepemilikannya, masih adanya aset tanah milik Pemerintah Kota yang belum

bernilai atau tidak diketahui nilainya dan adanya tanah yang diakui milik

Pemerintah Kota Semarang ternyata bukan milik Pemerintah Kota Semarang

melainkan milik instansi pemerintah lain. Berdasarkan permasalahan di atas, maka

penelitian yang dapat dilakukan terkait permasalahan tersebut adalah sebuah

kajian mengenai Pengelolaan Aset Tanah Milik Pemerintah Kota Semarang.

45
G.E. Peterson. “Land leasing and Land Sale as an Infrastructure‐Financing Option”.
World Bank Policy Research Working Paper 4043. (New York: World Bank. 2006).
46
Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia. Laporan Hasil Pemeriksaan Atas
Laporan Keuangan Pemerintah Kota Semarang Tahun 2010 No. 56/LHP/XVIII.SMG/05/2012
Tanggal 24 Mei 2011. Semarang: BPK RI Perwakilan Provinsi Jawa Tengah, 2011.

93
1. Gambaran Umum Wilayah

Kota Semarang secara geografis terletak antara 6o50’ sampai 7o10’

Lintang Selatan (LS) dan 109o56’ sampai 110o35’ Bujur Timur (BT). Kota

Semarang memilki luas wilayah sebesar 373,70 km2. Terdiri dari tanah sawah

seluas 39,56 km2 (10,59%) dan 334,14 km2 (89,41%) bukan sawah. Kota

Semarang secara administratif terbagi ke dalam 16 Kecamatan dan 177

Kelurahan.

Batas‐batas wilayah Kota Semarang sebagai berikut:

a. Sebelah Utara : Laut Jawa

b. Sebelah Selatan : Kabupaten Semarang

c. Sebelah Barat : Kabupaten Kendal

d. Sebelah Timur : Kabupaten Demak

Pemerintah Kota Semarang selaku instansi pengelola aset/barang milik

daerah telah telah menerbitkan Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2007

tentang Pengelolaan Barang Milik Daerah serta Peraturan Walikota Nomor

19A Tahun 2009 tentang Petunjuk Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah

Kota Semarang. Perda dan Perwali tersebut mengacu kepada Peraturan

Perundang‐undangan yang berlaku yakni Peraturan Pemerintah Nomor 6

Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milk Daerah beserta peraturan

perubahannya yakni Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2008 dan

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 17 Tahun 2007 tentang Pedoman

Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah. Jumlah aset tanah milik Pemerintah

Kota Semarang sampai dengan tahun 2010 adalah sebesar Rp.

94
3.231.376.300.352 dan tahun 2011 sebesar Rp 3.311.833.580.864 yang

dikelola oleh 38 Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Pemerintah Kota

Semarang dengan luas total aset mencapai ±71.444.405,05 m2 dengan jumlah

bidang tanah sebanyak ±3151 bidang yang terdapat pada 38 SKPD.

Gambar wilayah administratif Kota Semarang dapat dilihat pada

Gambar 4.1 berikut:

Gambar 4.1
Wilayah Administratif Kota Semarang

2. Kebijakan Daerah

Penguasaan dan pengelolaan Tanah Aset Daerah yang terjadi sejak

jaman Hindia Belanda diberlakukan Staatblad 1911 Nomor 110 sampai

berlaku UUD 1945 berdasarkan pendekatan historis ini, telah menunjukan

bahwa penguasaan tanah oleh Negara yang kemudian mengalir oleh Daerah

sangat dipengaruhi filosofis Hindia Belanda yang mendudukan Negara

95
sebagai pemilik atas tanah, sehingga pada akhirnya di daerah kepemilikan

tersebut masih berwujud hubungan keperdataan atas tanah.

Pemerintah Daerah sebagai pemilik atas tanah dengan istilah Gemeente

Grond, sedangkan Tanah Negara dengan sebutan Gouvernmment Groud.

Philipus M. Hadjon, dkk, menyatakan bahwa; “menurut hukum Belanda

penguasa selaku pemilik dalam banyak hal mempunyai kewenangan

penguasaan berdasarkan hukum keperdataan, namun ia tidak dapat

menggunakannya secara bertentangan dengan asas-asas pemerintah yang

baik”.47

Lebih lanjut dijelaskan bahwa:

Dalam pada itu, barang-barang milik pribadi Pemerintah/Negara (het


privat van de overhead) memiliki status yang kurang lebih sama dengan
barang-barang milik pribadi seseorang atau badan hukum perdata, artinya
barang-barang dimaksud digunakan untuk pemakaian sendiri dan tidak
ditujukan untuk peruntukan umum (niet bestemb voor openbare
bestemming).48

Setelah lahirnya UUD 1945 Pasal 33 ayat (3) dan UUPA Pasal 2 ayat

(4) semestinya arah kebijakan Pemerintah mengenai penguasaan dan

pengelolaan Tanah Negara menjadi lebih jelas dan tegas dan tidak justru

kembali lagi kepada konsepsi jaman Hindia Belanda yaitu domeinverklaring.

Konsep, teori, ideologi tentang Hak Menguasai Negara49, sesungguhnya

telah mengalami banyak perkembangan dan masih cukup relevan untuk

dipertahankan di Indonesia, yaitu dengan melakukan beberapa penyesuaian


47
Philipus M. Hadjon,dkk., Pengantar Hukum administrasi Indonesia, (Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press, 2002), hlm. 182.
48
Ibid.
49
Boedi Harsono. Hukum Agraria Indonesia Sejarah Penysusunan, Isi dan Pelaksanaannya,
(Jakarta: Penerbit Djambatan, 2003), hlm. 234. Lihat juga Achmad Sodiki. “Penataan Pemilikan
Hak Atas Tanah di Daerah Perkebunan Kabupaten Malang (Studi tentang Dinamika Hukum)”.
Disertasi. Tidak diterbitkan, (Malang, 1994), hlm. 136.

96
dengan tafsir otentik berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Perkara: No.

001-021-022/PUU-I/2003 dan No. 002-021-022/PUU-I/2003. Rakyat secara

kolektif telah dikonstruksikan oleh UUD 1945 dan memberikan mandat

kepada negara kebijakan (beleid), tindakan pengurusan (bestuursdaad),

pengaturan (regelendaad), pengelolaan (beheersdaad), pengawasan

(toezichthoudensdaad) untuk tujuan mencapai sebesar-besarnya kemakmuran

rakyat. Fungsi pengurusan (bestuursdaad).50

Telah terjadi pergeseran internal dalam UUPA yaitu; a) Bergesernya

asas hubungan hukum publik (publiekrechtelijke) antara negara dan/atau

Daerah dengan tanah, men jadi adanya hubungan yang bersifat hubungan

hukum privat (privaatrechtelijke) antara negara dan/atau Daerah dengan

tanah. Pergeseran internal terjadi akibat adanya pergeseran internal dalam

UUPA yaitu; a) antara UUPA dengan peraturan perundang-undangan di luar

UUPA; b) dan semakin jauh pergeseran terjadi atas subyek-subyek pelaksana

Hak Menguasai Negara atas tanah, Hak Pakai, Hak Pengelolaan yang

beraspek hukum publik, bergeser ke aspek hukum privat dalam peraturan

perundang-undangan di luar UUPA.

3. Hak Pendahuluan atas Tanah Daerah

Tanah-tanah yang klaim sebagai dikuasai dan didaftar dalam Daftar

Inventaris daerah pada umunya telah dimanfaatkan oleh masyarakat dengan

cara menyewa. Tanah-tanah Negara yang disewakan kepada masyarakat

50
Supriyadi. Aspek Hukum Tanah Aset Daerah (Menemukan Keadilan, Kemanfaatan, dan
Kepastian atau Eksistensi Tanah Aset Daerah). (Jakarta: Prestasi Pustaka Publiser, 2010),
hlm.309. Lihat Subadi. Penguasaan dan Penggunaan Tanah Kawasan Hutan (Menuju
Pendayagunaan yang Berwawasan Lingkungan, berkelanjutan dan Berpihak Pada Rakyat),
(Jakarta: Prestasi Pustaka Pelajar, 2010).

97
merupakan kelanjutan dari persewakan yang didasarkan kepada Peraturan

Daerah tentang Ijin Tempat-Tempat Tertentu yang dikuasai oleh Pemerintah

Daerah.

Selanjutnya pelepasan tanah Negara kepada masyarakat oleh

Pemerintah Daerah setelah mendapatkan persetujuan dari Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah (DPRD) dan tanah-tanah Hak Pendahuluan tersebut

merupakan Tanah Negara bebas yang pada umunya telah berdiri bangunan

milik masyarakat pemohon hak. Pemberian hak atas tanah tersebut diberikan

dengan membayar “uang pemasukan kepada Negara yang harus dibayar oleh

penerima hak, yang diatur dalam Pearturan Menteri Negara AgrariaKepala

BPN No. 4 Tahun 1998 tentang Pedoman Uang Pemasukan Dalam Pemberian

hak Atas Tanah Negara yang telah dirubah dengan Permenag/Kepala BPN

No. 6 Tahun 1998.

Dengan demikian, penerima hak atas tanah yang semula dikuasai

Pemerintah Daerah dengan Hak Pendahuluan Atas Tanah, dikenakan

kewajiban membayar sebanyak 2 (dua) kali, yaitu; pertama pembayaran

kepada Pemerintah Daerah yang berupa uang santunan dan; kedua, kepada

Negara berupa uang pemasukan kepada Negara.

Selanjutnya penguasaan Tanah-Tanah Negara oleh Daerah dapat

dikuatklan dengan bukti-bukti sebagai berikut:

a. Keberadaan Peta Pendaftaran

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Badan Pertanahan Nasional, bukti

penguasaan atas tanah-tanah Negara oleh Daerah berdasarkan atas Peta

98
Pendaftaran yang dibuat pada jaman Hindia Belanda yang menunjukan

adanya tanah-tanah penguasaan Daerah dengan Hak Eigendom atas nama

de Stadsgemeente. Dengan berdasarkan Pasal 2 Peraturan Pemerintah

Nomor 8 Tahun 1953, maka tanah-tanah Negara yang dikuasai oleh

Daerah Swatantra termasuk tanah-tanah dengan status Hak Eigendom atas

nama Kota Praja (de Stadsgemeente), tetap berada pada Kota

Praja/Pemerintah Kota.

b. Keberadaan Ijin Pemakaian tempat-tempat tertentu oleh Daerah

Berdasarkan Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1953 di atas

membawa konsekuensi bahwa seharusnya penguasaan tanah Negara

berada pada Menteri Dalam Negeri (sekarang BPN), sedangkan

penggunaan tanah Negara harusnya mendapat ijin dari BPN, akan tetapi

dalam kenyataan sekarang ijin diberikan oleh Pemerintah Daerah.

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, untuk menyelesaikan

permasalahan tersebut juga harus merujuk pada Pasal 3 Undang-Undang

Nomor 51 Prp. Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa

Izin Yang Berhak atau Kuasanya.

c. Kedudukan Hukum Hak Sewa oleh Daerah

Sejak jaman Hindia Belanda asas Hak Milik Negara telah meletakan

kedudukan Negara sebagai Badan Hukum Perdata atau perorangan yang

dapat berbuat atau bertindak dalam lapangan hukum Keperdataan yang

bersifat privaatrechtelijke dengan obyek tanah. Setelah diterbitkan UUD

1945 dan UUPA, perbutan hukum Hak Sewa jelas tidak sah, namun

99
setelah diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 24 tentang

Pendaftaran Tanah, maka tanah-tanah Negara juga merupakan obyek

pendaftaran tanah, sehingga tanah Negara yang sudah terdaftar dalam

daftar tanah, telah masuk dalam pengertian Tanah Aset Daerah yang

dapat dikelola berdasarkan Peraturan Daerah.

d. Pengenaan Pembayaran Uang Pemasukan ke Kas Negara

Sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2002 tentang

Penerimaan Negara Bukan Pajak Pada Badan Pertanahan Nasional,

pengenaan pembayaran uang pemasukan ke Negara terjadi 2 (dua) kali,

yang pertama adalah pada saat memperoleh pelepasan hak penguasaan

dari Daerah dan pengenaan kedua pada saat memperoleh hak atas tanah

dari Badan Pertanahan Nasional.

4. Tanah Hak Pendahuluan atauTanah Penguasaan Daerah

Kriteria Tanah sebagai Aset Daerah apabila memenuhi syarat-syarat

sebagai berikut: 1) Diperoleh dengan maksud untuk dipakai dalam kegiatan

operasional Pemerintah Daerah dan dalam kondisi siap pakai; 2) Adanya

bukti penguasaan secara hukum, misalnya sertifikat Hak Pakai, Hak

Pengelolaan atas nama Daerah, atau adanya bukti pembayaran dan

penguasaan Sertifikat tanah atas nama pemilik sebelumnya; 3) dapat diukur

dengan satuan uang.

Bagaimana dengan tanah-tanah yang belum ada Sertifikat Hak Pakai

atau hak Pengelolaan agar dapat dikategorikan sebagai Tanah Aset Daerah.

Dalam hal ini dapat diperoleh dengan dua cara, yaitu:

100
a. Melalui konversi hak penguasaan berdasrkan Peraturan Menteri Agraria

Nomor 9 Tahun 1965 Jo Peraturan Menteri Agraria Nomor 1 Tahun 1966;

b. Melalui pemberian hak atas tanah Negara berdasarkan Peraturan Menteri

Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 1972 Jo Peraturan Menteri Agraria Nomor

9 Tahun 1999.

Kebijakan daerah tentang pengelolaan Tanah Aset Daerah

padaumumnya telah sinkron dengan peraturan perundang-undangan di

atasnya yaitu; a) dengan Perda tentang ijin menempati tempat-tempat tertentu

yang dikuasai Pemerintah Daerah; b) Tanah-tanah dengan Hak Pendahuluan

yang semula berasal dari; tanah Negara bekas Hak Eigendom atas nama

Stadsgemeente, tanah Negara bebas dalam penguasaan Daerah berdasarkan

pengakuan dari masyarakat serta pengakuan dari BPN yang berupa sikap

diam-nya terhadap penguasaan tanah-tanah Negara oleh Daerah, tanah bekas

Hak Eigendom harus telah jelas batas, luas, dan status tanahnya, sedangkan

pendaftaran menjadi Hak Pakai, Hak Pengelolaan tidak mengahalangi hak

penguasaan oleh Daerah menjadi Tanah Aset Daerah.

5. Pengelolaan Aset Tanah Daerah

Dalam melakukan pengelolaan aset diperlukan sebuah sistem yang

memadai, salah satunya adalah manajemen aset. Witter, dkk menjelaskan

bahwa:

manajemen aset adalah sebuah kumpulan alat dan cara atau skill yang
dapat membantu manajer dalam proses pengambilan keputusan untuk
dapat mewujudkan dalam proses pemeliharaan dan perbaikan atas aset

101
dan dari segi investasi. Manajemen aset memiliki tahapan‐tahapan yang
harus dilaksanakan agar aset dapat dikelola dengan baik.51

Menurut Siregar tahapan dalam manajemen aset ada 5 (lima) yakni (1)

inventarisasi aset; (2) legal audit; (3) penilaian aset; (4) optimalisasi aset, dan

(5) pengawasan dan pengendalian (sistem informasi manajemen aset).52 Aset

tanah merupakan salah satu sumber pendapatan asli daerah. Kemandirian

keuangan daerah adalah kemampuan pemerintah daerah dalam membiayai

sendiri kegiatan pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan terhadap

masyarakat yang telah membayar pajak dan retribusi daerah sebagai sumber

pendapatan yang diperlukan daerah.53

Rumus kemandirian keuangan daerah adalah sebagai berikut:

Pendapatan Asli Daerah (PAD)


Rasio Kemandirian =
Bantuan Pemerintah Pusat/Provinsi & Sumbangan Daerah

Hasil perhitungan dari rasio kemandirian menunjukkan bagaimana pola

hubungan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Harsey & Blanchard dalam

Halim (2001) membagi pola hubungan ke dalam 4 (empat) tipe, yakni:54

a. Pola hubungan instruktif, peranan pemerintah pusat lebih dominan


daripada kemandirian daerah (daerah yang tidak mampu melaksanakan
otonomi daerah);
b. Pola hubungan konsultatif, campur tangan pemerintah pusat sudah mulai
berkurang, karena daerah dianggap sedikit lebih mampu dalam
melaksanakan otonomi daerah;
c. Pola hubungan partisipatif, peranan pemerintah pusat semakin berkurang,
mengingat daerah yang bersangkutan tingkat kemandiriannya mendekati
mampu melaksanakan urusan otonomi;

51
Witter. E; Bitter. J. and Kasprzak. C. “Asset Management and City Government”.
Proceeding of the 2003 Mid Continent Transportation Research Symposium. (Iowa State
University, 2003),
52
Doli D. Siregar. Manajemen Aset. (Jakarta: Gramedia. 2004)
53
Abdul Halim. Loc.cit.
54
Ibid.

102
d. Pola hubungan delegatif, campur tangan pemerintah pusat, sudah tidak
ada karena daerah telah benar‐benar mampu dan mandiri dalam
melaksanakan otonomi daerah.

Dalam pengelolaan aset tentunya ditemukan berbagai permasalahan.

Noorsyamsa, menyebutkan bahwa permasalahan dalam pengelolaan aset di

daerah pada umumnya disebabkan oleh beberapa hal yakni:55

a. Belum ada inventarisasi seluruh aset yang ada;


b. Inefisiensi dalam pemanfaatan aset;
c. Landasan hukum yang belum terpadu dan menyeluruh;
d. Tersebarnya lokasi dan hak penguasaannya;
e. Koordinasi yang lemah;
f. Pengawasan yang lemah;
g. Beragam kepentingan dan distorsi lainnya; dan
h. Mudahnya terjadi penjarahan aset.

Salah satu solusi terkait penyelesaian permasalahan dalam manajemen

aset di daerah adalah melalui proses optimasi aset. Sutrisno menjelaskan

bahwa optimasi aset merupakan sebuah proses dalam manajemen aset yang

bertujuan untuk mengoptimalkan potensi fisik, lokasi, nilai, jumlah/volume,

legal dan ekonomi yang dimiliki suatu aset.56 Siregar menjelaskan bahwa

optimasi pengelolaan aset terdiri dari tiga hal yakni:57

a. Pemaksimalan ketersediaan aset;

b. Pemaksimalan penggunaan aset; dan

c. Meminimalisasikan biaya kepemilikan.

Untuk menjawab pertanyaan penelitian, maka upaya yang dapat

dilakukan adalah dengan melaksanakan optimasi aset. Optimasi aset di sini

55
Djumara Noorsyamsa. Modul 3 Analisis SWOT. (Jakarta: Lembaga Administrasi Negara.
2007).
Mei Sutrisno. “An Investigation of Participation Project Appraisal in Developing
56

Countries Using Elements of Value an Risk Management (Volume 1)”. (Manchester: University of
Manchester Institute. 2004).
57
Doli D. Siregar. Loc.cit

103
berdasarkan kajian pustaka dan pemahaman penulis dapat dibedakan ke dalam

beberapa tahapan yakni:

a. Tahap Inventarisasi Aset tanah milik Pemerintah Kota Semarang,

termasuk inventarisasi atas permasalahan yang dihadapi dalam

pengelolaan aset serta pensertifikatan atas semua tanah milik Pemerintah

Kota Semarang.

b. Penilaian terhadap seluruh aset tanah yang dimiliki oleh Pemerintah Kota

Semarang.

c. Penyusunan daftar aset milik Pemerintah Daerah yang berpotensi dan

tidak berpotensi.

d. Penyusunan rencana strategis dan program yang dijalankan oleh Tim

ataupun instansi/dinas terkait.

e. Penyusunan Peraturan Daerah yang mengatur tentang rencana strategis

tentang optimasi aset milik Pemerintah Kota Semarang.

Sebagai aset, maka pengelolaan tanah-tanah tersebut harus berdasarkan

atas peraturan tentang pengelolaan Aset Daerah yang juga disebut “Barang

Daerah”.58 Pada saat ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun

2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah (LNRI TH.2006 No.

20; TLNRI No. 4609) dan selanjutnya berdasarkan ketentuan Pasal 74 ayat

(3) Peraturan Pemerinah tersebut, diterbitkan Peraturan Menteri Dalam Negeri

Nomor 17 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Barang Milik

Daerah.
58
Barang milik Daerah adalah semua kekayaan Daerah baik yang dibeli atau diperoleh atas
beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah maupun yang berasal dari perolehan lain, .....dst
(Periksa Lampiran PMDN No.17 Tahun 2007, Tgl 21 Maret 2007).

104
Berdasarkan uraian di atas dapat ditemukan dan dianalisis beberapa

kegiatan masing-masing yang meliputi:

a. Penggunaan

Penggunaan Tanah Aset Daerah diatur dalam Pasal 13 sampai dengan

Pasal 18 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 Jo Pasal 21 sampai

dengan Pasal 24 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 17 Tahun 2007.

Tanah Aset Daerah ditetapkan status penggunaannya untuk

menyelenggarakan tugas pokok dan satuan fungsi Satuan Kerja Perangkat

Daerah (SPKD) dan dapat dioperasikan oleh pihak lain dalam rangka

mendukung pelayanan umum sesuai tugas pokok dan fungsi SKPD yang

bersangkutan. Status penggunaan Tanah Aset Daerah ditetapkan dengan

Keputusan Kepala Daerah dengan ketentuan bahwa tanah digunakan

untuk kepentingan penyelenggarakan tugas pokok dan fungsi pengguna

dan/atau kuasa pengguna.59 Pengguna atau Kuasa Pengguna wajib

menyerahkan tanah yanh tidak digunakan untuk kepentingan

penyelenggaraan tugas pokok fungsi pengguna dan/atau kuasa pengguna

kepada Kepala Daerah melalui pengelola. Pengguna yang tidak

menyerahkan tanah yang tidak digunakan untuk penyelenggaraan tugas

pokok fungsi SKPD kepada Kepala Daerah dikenakan sanksi berupa

pembekuan dana pemeliharaan tanah dimaksud. Tanah yang digunakan

59
Pengguna adalah pengguna barang milik Daerah yaitu pejabat pemegang kewenangan
penggunaan barang kilik Daerah. Kuasa Pengguna adalah Kuasa pengguna barang milik Daerah
yaitu Kepala satuan Kerja atau Pejabat yang ditunjuk oleh pengguna untuk menggunakan barang
milik Daerah yang berada pada penguasaannya.

105
tidak sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya SKPD, dicabut penetapan

status penggunaannya dan dapat dialihkan kepada SKPD lainnya.

b. Pemanfaatan.

Pemanfaatan Tanah Aset Daerah diatur dalam BAB VI Pasal 19 sampai

dengan Pasal 31 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 Jo BAB VIII

Pasal 31 sampai dengan Pasal 35 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor

17 Tahun 2007.

Manfaat adalah pendayagunaan Tanah Aset Daerah yang tidak

digunakan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi SKPD dalam bentuk

sewa, pinjam pakai, kerjasama pemanfaatan, bangun guna serah, dan

bangun serah guna dengan tidak mengubah status kemilikannya.

Pemanfaatan Tanah Aset Daerah telah ditentukan beberapa kriteria yaitu:

1) Pemanfaatan Tanah Aset Daerah yang dipergunakan untuk

menunjang penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi SKPD,

dilaksanakan oleh pengguna setelah mendapat persetujuan pengelola.

2) Pemanfaatan Tanah Aset Daerah yang tidak dipergunakan untuk

menunjang penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi SKPD,

dilaksanakan oleh pengelola setelah mendapat persetujuan Kepala

Daerah.

3) Pemanfaatan Tanah Aset Daerah dilaksanakan berdasarkan

pertimbangan teknis dengan mempertimbangkan kepentingan Daerah

dan kepentingan umum.

106
Analisis terhadap pemanfaatan Tanah Aset Daerah ini menunjukan

keterkaitannya dengan Hak Pengelolaan atas tanah yaitu di samping

dipergunakan sendiri juga untuk diserahkan pemanfaatannya kepada

pihak lain. Bentuk pemnafaatan merupakan perjanjian dengan pihak lain

dapat berupa:

1) Sewa

Sewa adalah pemanfaatan Tanah Aset Daerah oleh pihak lain

dalam jangka waktu tertentu dengan menerima imbalan uang tunai.

Penyewaan Tanah aset daerah dilaksanakan oleh pengelola setelah

mendapat persetujuan oleh Kepala Daerah.

2) Pinjam Pakai

Pinjam Pakai adalah penyerahan penggunaan Tanah Aset

Daerah antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah dan antar

Pemerintah Daerah dalam jangka waktu tertentu tanpa menerima

imbalan dan setelah jangka waktu tertentu diserahkan kembali kepada

pengelola. Pinjam pakai dilaksanakan setelah mendapat persetujuan

Kepala Daerah dan hanya dilakukan dengan tidak merubah status

kepemilikan Tanah Aset Daerah.

3) Kerjasama Pemanfaatan

107
Kerjasama pemanfaatan adalah pendayagunaan Tanah Aset

Daerah oleh pihak lain dalam jangka waktu tertentu dalam rangka

pengingkatan penerimaan daerah bukan pajak /pendapatan Daerah

dan sumber pembiayaan lainnya. Kerjasama pemanfaatan Tanah Aset

Daerah dengan pihak lain dilaksanakan dalam rangka: i)

mengoptimalkan daya guna dan hasil guna barang milik daerah; dan

ii) meningkatkan penerimaan Daerah.

Kerjasama pemanfaatan Tanah Aset Daerah dilaksanakan

dengan sebagai berikut; a) Tanah Aset Daerah yang sudah diserahkan

oleh pengguna kepada pengelola, dilaksanakan oleh pengelola setelah

mendapatkan persetujuan Kepala daerah; b) Kerjasama pemanfaatan

atas sebagian Tanah Aset Daerah yang masih digunakan oleh

pengguna, dilaksanakan oleh pengguna setelah mendapat persetujuan

penggelola.

4) Bangun Guna Serah dan Bangun Serah Guna

Bangun Guna Serah adalah pemanfaatan Tanah Aset Daerah

oleh pihak lain dengan cara mendirikan bangunan dan/atau sarana

berikut fasilitasnya, kemudian didayagunakan oleh pihak lain dalam

jangka waktu tertentu yang telah disepakati untuk selanjutnya

diserahkan kembali tanah beserta bangunannya dan/atau sarana

berikut fasilitasnya setelah berakhir jangka waktunya.

c. Penghapusan

108
Penghapusan Tanah Aset Daerah adalah tindakan penghapusan dari

Daftar Inventaris Daerah, dengan cara menerbitkan Surat Keputusan

Kepala Daerah, tentang Penghapusan Tanah Aset Daerah berdasarkan

pertimbangan atau alasan-alasan sebagai berikut; a) rusak berat; b)

terkena bencana alam (force majeure); c) tidak dapat digunakan secara

optimal idle); d) kebutuhan organisasi karena perkembangan tugas; e)

penyatuan lokasi dalam rangka efisiensi dan memudahkan koordinasi; f)

pertimbangan dalam rangka pelaksanaan rencana strategis Hankam.

d. Pemindah-tanganan

Pemindahan tanganan Tanah Aset Daerah adalah pengalihan kepemilikan

sebagai tindak lanjut dari penghapusan yang ditetapkan berdasrkan

Keputusan kepala Daerah setelah mendapatkan persetujuan dari Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Persetujuan DPRD tersebut tidak

diperlukan apabila; a) tanah sudah tidak sesuai dengan tata ruang wilayah

dan tata kota; b) tanah diperuntukan bagi pegawai negeri; c) diperuntukan

bagi kepentingan umum; d) dikuasai negara berdasarkan keputusan

pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan/atau

berdasarkan peraturan perundang-undangan yang secara ekonomis tidak

layak dipertahankan.

Bentuk pemindahtanganan sebagai tindak lanjut dari penghapusan

Tanah aset Daerah meliputi; a) Penjualan; b) Tukarmenukar; c) Hibah; d)

Penyertaan Modal Pemerintah Daerah.

e. Pembinaan, Pengawasan dan Pengendalian

109
Pembinaan, pengawasan dan pengendalian diatur dalam BAB XII Pasal

74 s/d Pasal 77 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 Jo BAB XII

Pasal 82 s/d Pasal 83 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 17 Tahun

2007. Menteri Keuangan menetapkan kebijakan umum tentang

pengelolaan Tanah Aset Daerah, sedangkan Menteri Dalam Negeri

menetapkan kebijakan teknis sesuai dengan kebijakan sebagaimana yang

ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Menteri Dalam Negeri melakukan

pembinaan pengelolaan Tanah aset daerah sedangkan Kepala Daerah

melakukan pengendalian pengelolaan tanah milik negara.

Pengelolan/Pengguna /Kuasa Pengguna dapat meminta aparat

pengawasan fungsional untuk melakukan audit tindak lanjut hasil

pemantauan dan penertiban tersebut dan menindaklanjuti hasil audit

dimaksud sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

f. Pembiayaan.

Dalam BAB XIII Ketentuan Lain-Lain, Pasal 74 s/d Pasal 78 Peraturan

Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 Jo BAB XII Pasal 87, tentang

pembiayaan antara lain menyatakan bahwa; dalam pelaksanaan tertib

administrasi pengelolaan Tanah aset daerah disediakan anggaran yang

dibebankan kepada APBN.

g. Tuntutan Ganti Rugi

Ganti rugi dan sanksi diatur dalam BAB IV Pasal 82 Peraturan

Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 Jo Pasal 85 Peraturan Menteri Dalam

Negeri Nomor 17 Tahun 2007, yang menyatakan bahwa; Setiap kerugian

110
daerah akibat kelalaian penyalahgunaan/pelanggaran hukum atas

pengelolaan Tanah aset Daerah diselesaikan melalui tuntutan ganti rugi

sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Setiap pihak yang

mengakibatkan kerugian Daerah dapat dikenakan sanksi administratif

dan/ atau sanksi pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Hasil analisis yang telah dilakukan terhadap siklus pengelolaan aset

diperoleh beberapa hal yang mempengaruhi kurang optimalnya kontribusi

aset terhadap pendapatan Kota Semarang, antara lain:

a. Pelaksanaan pengelolaan tidak sesuai dengan kondisi ideal.

Pelaksanaan pengelolaan yang tidak sesuai dengan kondisi ideal

dikarenakan merupakan kelemahan dari segi kebijakan. Kebijakan di sini

dilaksanakan oleh manajer puncak dan manajer menengah dan manajer

tingkat pertama hanya melaksanakan kebijakan dari manajer di atasnya.

b. Pelaksanaan tahap pemanfaatan yang belum optimal.

Pemerintah Kota Semarang telah melakukan pemanfaatan aset dengan

adanya 4 (empat) bentuk pemanfaatan namun belum ada Perda maupun

Perwali yang secara khusus mengatur tentang Optimasi Aset.

c. Kelemahan dari segi pengurus barang

Keengganan staf di masing-masing SKPD untuk menjadi pengurus

barang dan seringnya terjadi pergantian pengurus barang.

d. Kelemahan dari segi fungsi manajemen.

Terdapat kekurangan dari segi planning dan organizing. Kelemahan dari

segi planning dalam tahap siklus manajemen aset adalah tahap

111
perencanaan kebutuhan dan pengganggaran, sedangkan dari segi

organizing adalah pada tahap Tahap Penerimaan, Penyimpanan dan

Penyaluran, serta Tahap Pengamanan dan Pemeliharaan.

Analisis yang kedua adalah analisis pemahaman pelaku pengelolaan

aset. Analisis ini dilakukan untuk memahami bagaimana pemahaman masing-

masing pelaku pengelolaan aset atas pengelolaan aset yang dilakukan di Kota

Semarang dengan menggunakan variabel berdasarkan siklus manajemen aset

yang terdiri atas 5 (lima) tahap yakni:60 (1) inventarisasi aset; (2) legal audit;

(3) penilaian aset; (4) optimalisasi aset, serta (5) pengawasan dan

pengendalian (sistem informasi manajemen aset).

Hasil analisis menunjukkan bahwa secara umum tidak terlalu terdapat

perbedaan pemahaman antara manajer tingkat pertama, menengah, dan

manajer puncak atas pernyataan dalam masing‐masing variabel. Perbedaan

pemahaman antara manajer pelaksana (manajemen tingkat pertama dan

manajemen menengah) dengan manajer puncak terjadi pada 3 pernyataan.

Pada 2 pernyataan yakni: 1) terkait inventarisasi aset tanah yang dibantu oleh

appraisal; 2) pemanfaatan aset di SKPD, menunjukkan bahwa manajemen

pelaksana memilki pemahaman bahwa kedua hal tersebut tidak terlalu penting

dan tidak dilaksanakan dengan optimal (Kuadran IV) sedangkan manajer

puncak beranggapan bahwa kedua hal tersebut sangat penting dan kinerja

manajemen pelaksana perlu ditingkatkan. Sedangkan pada pernyataan

pengawasan dan pengendalian atas aset telah dilaksanakan dengan baik dan

periodik, manajemen pelaksana telah melaksanakan dengan baik, namun pada


60
Ibid.

112
manajer puncak hal tersebut tidak menjadi perhatian. Hasil analisis juga

menunjukkan bahwa pemahaman 3 (tiga) tingkatan manajer terhadap variabel

optimalisasi aset dianggap tidak mempengaruhi kinerja atas pengelolaan aset

dan dianggap tidak terlalu penting untuk dilaksanakan.

Analisis yang ketiga adalah analisis kontribusi aset terhadap pendapatan

Kota Semarang. Analisis ini dilakukan dengan tujuan untuk melihat

sejauhmana kemampuan keuangan Pemerintah Kota Semarang dalam

membiayai pembangunan di Kota Semarang dengan melihat potensi

pendapatan asli daerah termasuk di dalamnya pendapatan dari aset yang

dimiliki oleh Pemerintah Kota Semarang. Hasil analisis menunjukkan bahwa

tingkat kemampuan keuangan daerah Pemerintah Kota Semarang pada tahun

2014 adalah sebesar 24,84% dan kemampuan keuangan Pemerintah Kota

Semarang termasuk dalam kategori rendah sekali. Pola hubungan antara

Pemerintah Kota Semarang dengan Pemerintah Pusat masih instruktif, di

mana menurut pendapat Harsey dan Blanchard dalam Halim 61 Pemerintah

Kota Semarang tidak mampu melaksanakan otonomi daerah. Namun pada

tahun 2015 dan 2016 terdapat peningkatan rasio kemandirian menjadi 25,32%

dan 34,03% sehingga ada peningkatan dari awalnya pola instruktif menjadi

konsultatif.

Hasil analisis juga menunjukkan bahwa penerimaan dari pengelolaan

aset pada tahun 2015 sudah mencapai 20,97% dari PAD, namun apabila

dibandingkan dengan TPD sebesar 4,21%. Pada Tahun 2016 terdapat

Abdul Halim. Bunga Rampai Manajemen Keuangan Daerah. Edisi Pertama. (Yogyakarta:
61

UPP AMP YKPN, 2001).

113
peningkatan penerimaan aset secara nilai dari sebesar Rp 68.794.652.330

menjadi Rp. 79.849.697.615. Namun peningkatan penerimaan tidak

sebanding dengan peningkatan persentase terhadap PAD, di mana terjadi

penurunan persentase dari 20,97% (tahun 2015) menjadi 15,31% (tahun 2016)

dan penurunan persentase penerimaan aset terhadap TPD di mana dari 4,21%

(tahun 2015) menjadi 3,89% (tahun 2016). Hal ini sesuai dengan pendapat

dari Halim ed. bahwa terdapat 4 (empat) permasalahan dalam pengelolaan

keuangan dan pendapatan daerah antara lain: 62

a. masalah pemanfaatan sumber-sumber pendapatan daerah;

b. masalah pengukuran potensi-potensi sumber penerimaan daerah;

c. masalah penggalian dan pemungutan pajak daerah, serta;

d. masalah pengadministrasian penerimaan daerah (sistem dan organisasi).

Analisis yang keempat adalah pengelolaan aset tanah milik Pemerintah

Kota Semarang. Analisis ini dilakukan dengan metode kuantitatif deskriptif

yakni dengan menghubungkan analisis pada 3 (tiga) analisa sebelumnya yakni

analisa siklus pengelolaan aset, analisis pemahaman pelaku, dan analisis

kontribusi aset tanah terhadap pendapatan daerah. Hasil analisis menunjukkan

bahwa penyebab utama belum optimalnya kontribusi aset terhadap

pendapatan daerah Kota Semarang disebabkan oleh “Pelaksanaan dalam

siklus pengelolaan aset Kota Semarang yang belum optimal”. Berdasarkan

hasil analisa tersebut, maka diperlukan sebuah upaya untuk meningkatkan

kinerja pelaku dan pengelolaan aset milik Pemerintah Kota Semarang. Upaya

yang dapat dilakukan adalah optimasi aset.


62
Ibid.

114
Hasil analisis dengan menggunakan langkah-langkah optimasi aset

menunjukkan beberapa hal sebagai berikut:

a. Pemerintah Kota Semarang telah menginventarisir semua tanah yang

dimiliki oleh Pemerintah Kota Semarang dan diinput dalam sistem

manajemen aset daerah;

b. Pemerintah Kota Semarang telah melakukan penilaian terhadap aset tanah

yang dimiliki dengan menggunakan penilai eksternal yakni Kantor Jasa

Penilai Publik dan diinput dalam sistem manajemen aset daerah. Namun

data dari Bidang Aset DPKAD menunjukkan beberapa aset yang belum

bernilai. Dari hasil informasi lebih lanjut diketahui bahwa aset tanah yang

belum bernilai kebanyakan berupa taman-taman publik yang berada di

perumahan yang dibangun oleh pengembang real estate;

c. Pemerintah Kota Semarang belum memiliki daftar aset tanah yang

berpotensi dan aset tanah yang tidak berpotensi;.

d. Pemerintah Kota Semarang telah menyusun Rencana Induk

Pengembangan Perekonomian (RIPE). Salah satu strategi yang disusun

dalam RIPE memuat tentang optimalisasi manajemen pengelolaan aset

daerah yang diproritaskan pada tersedianya data aset yang akurat dan

pengamanan aset daerah serta meningkatkan kerjasama pengelolaan aset;

e. Pemerintah Kota Semarang belum memilki Perda yang khusus membahas

tentang optimasi aset.

Dari hasil analisis terkait langkah-langkah yang telah dijalankan oleh

Pemerintah Kota Semarang tentang optimasi aset, dapat diambil sebuah

115
simpulan bahwa Pemerintah Kota Semarang belum menjalankan atau

menyusun rencana khusus tentang optimasi aset.

6. Pendaftaran Tanah Aset

Pendaftaran hak atas tanah sangat penting dilakukan karena menjadi

kejelasan status hukum dan sesuai peruntukannya mulai hak milik, hak guna

usaha, hak guna bangunan, hak sewa, hak membuka tanah, hak memunggut

hasil hutan dan lain sebagainya, dari beberapa hak-hak tersebut maka harus

dibuat sebuah aturan agar di kemudian hari tidak terjadi sebuah sengketa atas

tanah.

Pendaftaran hak atas tanah adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan

oleh Pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur,

meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan dan penyajian serta

pemeliharaan data fisik dan yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai

bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian

surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada hak

miliknya atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya.

Pengertian ini diatur di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997

Pasal 1 tentang Pendaftaran Tanah. Seperti yang terjadi saat ini yang terjadi di

wilayah Kota Semarang, Jawa Tengah. Saat ini Pemerintah Kota Semarang

sedang melaksanakan program pensertifikatan tanah aset daerah Kota

Semarang melalui kantor atau dinas terkait yaitu Dinas Pengelolaan

Pendapatan Keuangan dan Aset Daerah.

116
Pemerintah Kota Semarang melaksanakan kegiatan pengamanan dan

pemeliharaan barang aset milik daerah Kota Semarang yaitu berupa

pensertifikatan tanah yang belum berganti nama kepemilikan yaitu

Pemerintah Kota Semarang. Pemerintah Kota Semarang membuat sebuah

Peraturan Daerah yang mengatur tentang Penggelolaan Barang Milik Daerah

yaitu Peraturan Pemerintah Daerah Kota Semarang Nomor 12 Tahun 2009

tentang Pokok-pokok Pengelolaan Barang Milik Daerah. Di dalam Peraturan

Daerah ini yang mengatur tentang pengaman dan pemeliharaan aset milik

daerah berupa tanah adalah Pasal 29 Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2009

Kota Semarang.

Sesuai Peraturan Daerah Kota Semarang Nomor 12 Tahun 2009 tentang

Pokok-pokok Pengelolaan Barang Milik Daerah Pasal 29 ayat 1 menyebutkan

“Barang milik daerah berupa tanah harus disertifikatkan atas nama

Pemerintah Daerah”. Program ini sekaligus juga sebagai pencatatan

inventarisasi dan dapat dikelola sebaik mungkin untuk dimanfaatkan oleh

Pemerintah Kota Semarang sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Daerah

Nomor 12 Tahun 2009 tentang Pokok-pokok Pengelolaan Barang Milik

Daerah Kota Semarang. Inventarisasi adalah kegiatan untuk melakukan

pendataan, pencatatan, dan pelaporan hasil pendataan barang milik

pemerintah daerah.

Perencanaan dalam pengelolaan aset daerah mencakup perencanaan

kebutuhan, penganggaran, pengadaan, penerimaan, penyimpanan serta

penyaluran barang daerah. Perencanaan aset daerah dimulai saat penyusunan

117
atau perencanaan barang kebutuhan daerah, sistem perencanaan aset daerah.

Dalam pembelian aset daerah ada 2 (dua) macam perencanaan yang harus

dilakukan setiap tahunnya yaitu perencanaan kebutuhan aset daerah dan

perencanaan pemeliharaan aset daerah. Tahapan dimulai dengan penyusunan

Rencana Kebutuhan Barang Unit (RKBU) dan Rencana Kebutuhan

Pemeliharaan Barang Unit (RKPBU) yang dianggarkan dalam RKA oleh

masing-masing SKPD. Selanjutnya terdapat tahapan pengadaan barang daerah

yang dilakukan dengan sistem tender. Dengan kata lain, dalam sistem

perencanaan untuk pembelian aset/barang milik daerah, ada 2 (dua) macam

perencanaan yang dilakukan setiap tahun, yaitu: perencanaan akan pengadaan

kebutuhan aset/barang milik pemerintah daerah, dan perencanaan

pemeliharaan aset/barang milik pemerintah daerah.

Pelaksanaan mencatat dan menghitung aset daerah mencakup siklus

penggunaan, penatausahaan, pemanfaatan, pengamanan, pemeliharaan,

penilaian, penghapusan dan pemindahtanganan. Siklus pertama adalah

penggunaan, pada pemerintah daerah penggunaan barang milik daerah sudah

sesuai dengan tugas dan fungsi SKPD. Mencatat dan menghitung aset/barang

bertujuan untuk mengetahui kebutuhan terhadap aset daerah oleh setiap

Satuan Kerja Perangkat Daerah. Mencatat dan menghitung aset/barang yang

menjadi kebutuhan tahunan SKPD dilakukan juga pemanfaatan aset daerah

dalam bentuk sewa, pinjam pakai, kerjasama pemanfaatan, bangun guna serah

dan bangun serah guna. Pengamanan aset daerah harus didukung sistem

administrasi yang tertib khususnya dalam buku inventaris, selain itu perlu

118
dilakukan pemberian kode untuk menjaga registrasi barang daerah dan

menghindari klaim pihak lain.

Pemeliharaan aset daerah masih dianggap kurang karena biaya yang

minim dalam pemeliharan barang daerah. Penilaian aset daerah yang

merupakan kegiatan menilai atas suatu barang milik daerah yang bertujuan

untuk penyusunan neraca pemerintah daerah dan pemindahtanganan. Tahapan

pengawasan dan pemeliharaan aset daerah sangat penting untuk menghindari

penyimpangan serta menjaga agar aset daerah tersebut tidak hilang dan tetap

terjaga kondisinya secara baik.

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 mempunyai kedudukan

yang sangat strategis dan menentukan, bukan hanya sekedar sebagai

pelaksanaan ketentuan Pasal 19 UUPA, tetapi lebih dari itu. Peraturan

Pemerintah itu menjadi tulang punggung yang mendukung berjalannya

administrasi pertanahan sebagai salah satu program Catur Tertib pertanahan

dan Hukum Pertanahan di Indonesia. Di sisi lain, Peraturan Pemerintah

Nomor 24 Tahun 1997 secara tegas menyatakan bahwa Instansi Pemerintah

yang mengadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia

menurut Pasal 5 adalah Badan Pertanahan Nasional (BPN). Selanjutnya,

dalam Pasal 6 Ayat 1 ditegaskan bahwa dalam rangka penyelenggaraan

pendaftaran tanah tersebut, tugas pelaksanaannya dilakukan oleh Kepala

Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota. Sejalan dengan aturan-aturan di atas,

kurang memahami pentingnya pendaftaran tanah untuk pertama kali,

menyebabkan minimnya kepemilikan sertifikat oleh masyarakat juga pada

119
pejabat instansi pemerintahan. Dalam rangka mengatasi hal di atas, maka

pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014

tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah.

Upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk melaksanakan

pendaftaran tanah aset pemerintah daerah di seluruh wilayah Indonesia terus

berjalan, dengan melakukan perbaikan, penyempurnaan aturan-aturan yang

telah dikeluarkan. Ini juga dapat diketahui, dalam tahun yang sama terdapat

kembali aturan mengenai Percepatan Pelaksanaan Pendaftaran Tanah

Sistematis Lengkap, yakni Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala

Badan Pertanahan Nasional Nomor 35 Tahun 2016.

Pada tahun berikutnya, Peraturan Menteri Agraria dan Tata

Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 35 Tahun 2016 tentang

Percepatan Pelaksanaan Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dirubah

dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala

Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas

Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan

Nasional Nomor 35 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Pendaftaran

Tanah Sistematis Lengkap. Obyek pendaftaran tanah tersebut meliputi seluruh

bidang tanah tanpa terkecuali, baik bidang tanah hak, tanah aset

Pemerintah/Pemerintah Daerah, tanah Badan Usaha Milik Negara/Badan

Usaha Milik Daerah, tanah desa, Tanah Negara, tanah masyarakat hukum

adat, kawasan hutan, tanah obyek landreform, tanah transmigrasi, dan bidang

tanah lainnya.

120
Dalam Peraturan Menteri ATR tentang Percepatan PTSL sebelumnya,

yaitu Pasal 3 ayat (2) Permen ATR/Kepala BPN Nomor 12 Tahun 2017,

obyek PTSL disebutkan secara rinci yaitu meliputi seluruh bidang tanah tanpa

terkecuali;

a. baik bidang tanah yang belum ada hak atas tanahnya maupun bidang
tanah hak;
b. baik merupakan tanah aset Pemerintah/Pemerintah Daerah;
c. tanah Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah;
d. tanah desa;
e. tanah Negara;
f. tanah masyarakat hukum adat;
g. kawasan hutan;
h. tanah obyek landreform;
i. tanah transmigrasi; dan
j. bidang tanah lainnya.63

Dalam rangka mewujudkan pendaftaran tanah di seluruh wilayah

Indonesia, meski telah didukung dengan dikeluarkannya aturan-aturan yang

mengatur mengenai pendaftaran tanah, dan dalam rangka percepatan

pendaftarannya dilakukan secara sistematis, yang kemudian dinamakan

kegiatannya yaitu Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap, tetap

dimungkinkan adanya hambatan atau kendala yang ini dapat merupakan suatu

tantangan tersendiri untuk mewujudkan amanah yang terdapat dalam Pasal 19

ayat (1) UUPA.

Untuk dapat menggunakan tanah negara tersebut maka perlu

dimohonkan haknya terlebih dahulu. Selanjutnya dengan diperolehnya hak

atas tanah tersebut maka sesuai dengan ketentuan Pasal 4 Undang-Undang

Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960, hal ini berarti bahwa negara telah

63
Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 12 Tahun 2017
tentang Percepatan Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap, Pasal 3 ayat (2).

121
memberikan kewenangan kepada pemegang hak atas tanah untuk

mempergunakan tanah yang bersangkutan sekedar diperlukan untuk

kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam

batas-batas menurut undang-undang dan peraturan lainnya. Untuk tertib

hukum dan tertib administrasi tanah-tanah yang dikuasai oleh negara atau

badan hukum atau instansi pemerintah, maka harus didaftarkan sesuai

ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran

Tanah.

Dari uraian di atas, maka dapat diketahui bahwa pelaksanaan program

pensertifikatan tanah aset daerah merupakan kewajiban Dinas Pendapatan,

Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah Kota Semarang karena Dinas ini diberi

tugas dan kewenangan oleh Peraturan Perundang-undangan yaitu Peraturan

Daerah Nomor 5 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Barang Milik Daerah serta

Peraturan Walikota Nomor 19A Tahun 2009 tentang Petunjuk Teknis Pengelolaan

Barang Milik Daerah Kota Semarang, untuk melaksanakan tugas penginventarisan

aset daerah dalam hal ini adalah pencatatan dan pendaftaran tanah yang dikuasai

pemerintah daerah tapi belum atas nama pemerintah daerah Kota Semarang.

Pemerintah Kota Semarang telah menginventarisir semua tanah yang

dimiliki oleh Pemerintah Kota Semarang dan diinput dalam sistem manajemen

aset daerah. Pemerintah Kota Semarang juga telah melakukan penilaian terhadap

aset tanah yang dimiliki dengan menggunakan penilai eksternal yakni Kantor Jasa

Penilai Publik dan diinput dalam sistem manajemen aset daerah. Namun data dari

Bidang Aset DPKAD menunjukkan beberapa aset yang belum bernilai. Dari hasil

122
informasi lebih lanjut diketahui bahwa aset tanah yang belum bernilai kebanyakan

berupa taman‐taman publik yang berada di perumahan yang dibangun oleh

pengembang real estate. Pemerintah Kota Semarang telah menyusun Rencana

Induk Pengembangan Perekonomian (RIPE). Salah satu strategi yang disusun

dalam RIPE memuat tentang optimalisasi manajemen pengelolaan aset daerah

yang diproritaskan pada tersedianya data aset yang akurat dan pengamanan aset

daerah serta meningkatkan kerjasama pengelolaan aset.

Dalam menjaga aset daerah yang dimiliki oleh pemerintah daerah maka

diperlukan sebuah peraturan dalam hal ini seperti Peraturan Daerah mengenai

pengelolaan aset daerah di daerah tersebut. Pada Kota Semarang Peraturan Daerah

mengenai Pengelolaan aset daerah telah terdapat Peraturan Walikota Semarang

Nomor 5 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Barang Milik Daerah yang disahkan

pada tanggal 30 Oktober 2007.

Dapat diketauhi bahwa jumlah tanah di Kota Semarang 2018-2019

berjumlah 1087 persil. Di mana Dinas Pendidikan mempunyai jumlah tanah lebih

banyak dibanding SKPD lainnya, yakni berjumlah 284 persil. Untuk menjaga aset

daerah berupa tanah yang dimiliki oleh pemerintah Kota Semarang maka perlu

dilakukan penyertifikatan sebagai langkah tepat untuk menata aset daerah milik

Pemerintah Daerah Kota Semarang yakni sebagai berikut.

Tabel 4.1
Data Alas Hak Aset Tetap Tanah Kota Semarang Tahun 2018-2019

No Alas Hak Atas Aset Tanah Jumlah (persil)


1 Sertifikat 216
Surat Keterangan Ganti Rugi
2 443
(SKGR)
3 Hibah/Surat Keterangan Tanah 428

123
(SKT)
Jumlah 1087
Sumber: Data primer yang diolah.

Berikut disajikan rekapitulasi data aset tetap tanah milik Pemerintah Daerah

Kota Semarang.

Tabel 4.2
Data Aset Tetap Tanah Kota Semarang Tahun 2015-2018
Sudah
No Tahun Proses sertifikat Belum sertifikat
bersertifikat
1 2015 875 80 94
2 2016 899 74 76
3 2017 947 56 46
4 2018 972 46 31
Sumber: Data primer yang diolah.

4.2 Faktor-faktor yang Menghambat Pelaksanaan Pendaftaran Tanah Aset

Daerah Pemerintah Kota Semarang

Faktor-faktor yang menghambat pelaksanaan pendaftaran tanah aset daerah

Pemerintah Kota Semarang merupakan suatu kendala yaitu sesuatu yang menjadi

alasan suatu peraturan hukum tidak dapat berjalan dengan baik dan efektif.

Kendala tersebut baru dapat diketahui apabila suatu peraturan hukum telah

dilaksanakan dan diterapkan di lapangan. Kendala dalam hal ini juga berarti

segala sesuatu yang dapat mengakibatkan pelaksanaan dari suatu kegiatan menjadi

tidak maksimal. Hal ini bisa juga berasal dari prosedurnya maupun instasi terkait.

Terdapat 6 (enam) faktor yang menghambat atau kendala yang ditemui

dalam pelaksanaan pengelolaan barang milik daerah yaitu: 1) rendahnya

kepatuhan aparatur daerah; 2) belum adanya peraturan daerah yang mengatur

secara rinci proses pengelolaan aset daerah sebagai turunan dari Peraturan Menteri

124
Dalam Negeri Nomor 19 Tahun 2016; 3) inventarisasi aset yang belum efektif dan

optimal; 4) kompetensi sumber daya manusia yang belum mendukung

pengelolaan aset daerah; 5) komitmen pimpinan yang kurang tegas dan belum

maksimal serta 6) kendala pada sumber daya dalam bentuk anggaran dan fasilitas

pengelolaan aset daerah.

1. Rendahnya Kepatuhan Aparatur Daerah

Kendala pertama yaitu kepatuhan yang ditemukan dalam proses

perencanaan kebutuhan dan penganggaran, penggunaan, pengamanan dan

pemeliharaan, penatausahaan serta pembinaan, pengawasan dan pengendalian.

Kendala kepatuhan yang terjadi dalam proses perencanaan kebutuhan dan

penganggaran ditemukan bahwa masih banyak SKPD yang tidak patuh dalam

membuat dan menyerahkan daftar Rencana Kebutuhan Barang Milik Daerah

(RKBMD) dan daftar Rencana Kebutuhan Pemeliharaan Barang Milik Daerah

(RKPBMD) kepada Badan Keuangan Daerah selaku SKPKD. Proses

penggunaan belum sesuai dengan Permendagri Nomor 19 Tahun 2016,

dikarenakan dalam penetapan status pengguna maupun pengurus barang tidak

disertai dengan SK dari Walikota, hanya berdasarkan SK Kepala SKPD.

Kendala kepatuhan dalam proses pengamanan dan pemeliharaan

disebabkan tidak adanya penetapan status pengguna barang dalam proses

penggunaan yang sesuai dengan Permendagri No. 19 Tahun 2016. Sehingga

proses pengamanan barang yang tidak diketahui siapa pengguna barang yang

disebabkan kelalaian SKPD dalam membuat berita acara dalam rangka serah

terima pengguna barang dengan pengurus barang. Proses penatausahaan yang

125
baik belum terjadi dikarenakan adanya kendala ketidakpatuhan oleh SKPD

dalam mencatat dan melaporkan KIB masih secara “gelondongan” artinya

tidak secara rinci memenuhi spesifikasi mulai dari jenis, volume hingga harga

per satuan barang yang ada di SKPD serta pelaporan tiap SKPD hanya

dilakukan oleh sebagian kecil SKPD. Ketidakpatuhan dalam proses

pembinaan, pengawasan dan pengendalian khususnya dalam proses

pembinaan masih belum terlaksana secara efektif dikarenakan pengurus

barang yang dilibatkan dalam pelatihan pengelolaan aset daerah tidak

mengikuti bimbingan teknis dengan baik, namun sebaliknya kegiatan bimtek

hanya dihadiri untuk formalitas saja dan untuk memenuhi kewajiban absensi.

Perspektif pertama dalam memahami keberhasilan suatu implementasi

adalah kepatuhan para implementor dalam melaksanakan regulasi yang

tertuang dalam dokumen regulasi.64 Implementasi kebijakan pada prinsipnya

merupakan cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya. Lester dan

Stewart yang dikutip oleh Winarno, menjelaskan bahwa implementasi

kebijakan dipandang dalam pengertian luas merupakan alat administrasi

hukum di mana berbagai aktor, organisasi, prosedur dan teknik yang bekerja

bersama-sama untuk menjalankan kebijakan guna meraih dampak atau tujuan

yang diinginkan.65 Kepatuhan pada regulasi dalam pengelolaan barang milik

daerah merupakan pelaksanaan dari azas kepastian hukum, yaitu pengelolaan

barang milik daerah harus dilaksanakan berdasarkan hukum dan peraturan

64
Irwan Agus Purwanto dan Dyah Ratih Sulistyastuti. Implementasi Kebijakan Publik:
Konsep dan Aplikasinya di Indonesia. (Yogyakarta: Gava Media, 2012), hlm. 69.
65
Budi Winarno. Kebijakan Publik: Teori dan Proses. (Yogyakarta: Media Presindo, 2002),
hlm. 101.

126
perundang-undangan. Agar implementasi suatu kebijakan pengelolaan barang

milik daerah berhasil secara efektif dan efisien, para pelaksana (implementers)

harus mengetahui apa yang harus dilakukan dan mempunyai kemampuan

untuk melakukan kebijakan itu, serta mempunyai kemauan untuk

melaksanakan kebijakan tersebut.66

2. Belum adanya regulasi yang Mengatur secara rinci Proses Pengelolaan Aset

Daerah sebagai Turunan dari Permendagri No. 19 Tahun 2016

Kendala kedua yaitu regulasi yang ditemukan dalam proses perencanaan

kebutuhan dan penganggaran, pemanfaatan, serta pengamanan dan

pemeliharaan. Proses perencanaan kebutuhan dan penganggaran hanya

dilaksanakan sesuai dengan Permendagri No. 19 Tahun 2016. Hal ini

disebabkan belum tersedianya peraturan daerah yang mengatur lebih rinci

tentang teknis dan mekanisme perencanaan kebutuhan dan penganggaran

barang milik daerah, sehingga pelaksanaan perencanaan tidak terarah dan

terkoordinasi dengan baik sesuai dengan kondisi pada masing-masing SKPD.

Proses pemanfaatan belum dilaksanakan secara optimal karena terkendala

regulasi yang mengatur mekanisme bentuk-bentuk pemanfaatan aset yang

dimiliki daerah. Tidak adanya regulasi dalam bentuk peraturan daerah dan

peraturan bupati mengakibatkan proses pemanfaatan aset tidak jelas, bahkan

belum dapat dilaksanakan dalam sebagian besar bentuk pemanfaatan karena

regulasi yang menjelaskan tata cara dan mekanisme hingga perhitungan waktu

dan keuntungan bagi pemerintah daerah yang belum tersedia. Kendala

66
Inayah. “Studi Persepsi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Implementasi Kebijakan
Pengelolaan Aset Daerah di Kota Tangerang”. Tesis. (FISIP. Universitas Indonesia, 2010).

127
regulasi yang belum tersedia dalam bentuk peraturan daerah menyulitkan

aparatur daerah yang bertugas untuk mengelola dan bertanggung jawab atas

keamanan barang milik daerah dalam proses pengamanan dan pemeliharaan.

Peraturan Daerah adalah peraturan yang ditetapkan kepala daerah atas

persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dalam rangka

menyelenggarakan otonomi daerah. Peraturan Daerah dibuat berdasarkan

Undang-Undang atau penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-

undangan yang lebih tinggi. Untuk melaksanakan Peraturan Daerah dan atas

kuasa peraturan perundang-undangan lain yang berlaku, kepala daerah

menetapkan keputusan kepala daerah.67 Landasan yang digunakan dalam

menyusun Perundang-Undangan yang tangguh dan berkualitas menurut

Tjandra dan Harsono68 yang berkaitan dengan pengelolaan aset daerah yang

terkendala regulasi yaitu landasan yuridis. Landasan yuridis yakni ketentuan

hukum yang menjadi dasar kewenangan (bevoegheid competentie) pembuat

Peraturan Perundang-Undangan agar dapat menata dan mengatur Standar

Operasional Pelaksanaan Pengelolaan Aset daerah yang secara rinci dan

sesuai dengan keadaan dan kondisi daerahnya.

3. Inventarisasi Aset yang belum Efektif dan Optimal;

Kendala yang ketiga yaitu inventarisasi aset yang ditemukan dalam

proses perencanaan kebutuhan dan penganggaran, pemanfaatan dan

penatausahaan. Proses perencanaan kebutuhan khususnya dalam perencanaan

67
Soenobo Wirjosoegito. Proses & Perencanaan Peraturan Perundang-Undangan.
(Jakarta: Ghalia Indonesia, 2004), hlm. 14.
68
W. Riawan Tjandra dan Kresno Budi Harsono. Legislatif Drafting Teori dan Teknik
Pembuatan Peraturan Daerah. (Yogyakarta: Universitas Atma Jaya, 2009), hlm. 25.

128
kebutuhan pemeliharaan barang milik daerah belum dicatat dan dilaporkan

secara rinci oleh masing-masing SKPD kepada SKPKD. Sedangkan pada

proses pemanfaatan masih banyak aset yang bisa dimanfaatkan namun tidak

diakui dan dicatat dalam neraca daerah dan Kartu Invetaris Barang, sehingga

pemanfaatan tidak bisa dilakukan karena aset yang berpotensi untuk di

sewakan atau dipinjampakaikan tidak didasari dengan inventarisasi yang

akurat dan handal. Proses lain yang paling banyak mengalami kendala dalam

pencatatan yaitu proses penatausahaan seperti salah catat dalam penggolongan

aset tetap, tidak dilaksanakan pencatatan atau pemindahan saldo aset yang

telah dipindahtangankan atau telah dihapuskan serta tidak adanya rincian

barang sehingga hal tersebut dianggap “gelondongan” atau tidak diketahui

secara jelas dan rinci penggolongan dan kodefikasi barang.

Untuk proses penatausahaan, ketiadaan bukti kepemilikan ini menjadi

penghambat dalam hal pengakuan aset yang menjadi tidak andal sebagaimana

yang dijelaskan dalam PSAP No. 7 tentang akuntansi aset tetap yang

menyatakan bahwa keandalan pengakuan suatu aset akan lebih andal apabila

disertai dengan bukti kepemilikan tersebut. Prinsip Keandalan merupakan

catatan atau laporan akuntansi yang didasarkan atas data/informasi yang

tersedia yang paling dapat diandalkan (data yang dapat dibuktikan/ditelusuri

kebenarannya), sehingga catatan dan laporan tersebut akan menjadi akurat

dan berguna. Di dalam akuntansi, prinsip keandalan muncul saat penilaian

harga dapat dilakukan oleh orang-orang yang profesional di bidangnya secara

independen dan objektif.

129
4. Kompetensi sumber daya manusia yang belum mendukung pengelolaan aset

daerah;

Kendala keempat yaitu kompetensi sumber daya manusia yang

ditemukan dalam proses perencanaan kebutuhan dan penganggaran,

penggunaan, pemanfaatan serta pembinaan, pengawasan dan pengendalian.

Kendala yang ditemui dalam proses perencanaan kebutuhan dan

penganggaran adalah pemahaman sumber daya manusia dalam hal ini

aparatur daerah selaku pelaksana pengelolaan aset daerah yang masih belum

memadai. Pemahaman atas biaya pemeliharaan dan proses pengadaan yang

sesuai dengan regulasi yang ditetapkan tidak sejalan dengan pemahaman yang

dimiliki oleh aparatur daerah sehingga hal ini menghambat pengelolaan aset

daerah. Dalam proses penggunaan, kurangnya kompetensi sumber daya

manusia yang dimiliki oleh aparatur daerah dalam mengemban tugas sebagai

pengurus aset membuat proses penunjukkan pengurus aset di SKPD, kepala

SKPD hanya menunjuk orang yang bersedia menjadi pengurus aset tanpa

melihat kriteria yang seharusnya dipenuhi oleh pengurus barang tersebut.

5. Komitmen pimpinan yang kurang tegas dan belum maksimal serta

Kendala kelima yaitu kesadaran dari aparatur daerah dalam hal

penggunaan aset daerah yang tidak mengembalikan aset pada pengurus

barang pada saat aparatur tersebut pindah ke SKPD lain maupun ke daerah

tugas yang baru. Proses pemanfaatan aset yang terjadi di lapangan belum

efektif dikarenakan persepsi aparatur daerah di SKPD tertentu yang masih

terdapat ego sektoral yang memanfaatkan aset seperti pada lahan yang

130
dijadikan lahan percontohan, namun karena persepsi aparatur maka muncul

ego sektoral untuk memanfaatkan lahan tersebut tidak secara efektif dan

efisien. Kendala kompetensi sumber daya manusia yang paling banyak

ditemui yaitu dalam proses pembinaan, pengawasan dan pengendalian. Hal

tersebut terjadi karena adanya sikap dan persepsi dari aparatur daerah yang

mengakibatkan timbul kendala lain yaitu kepatuhan. Akibat sikap dan

persepsi dari aparatur daerah yang menganggap pengelolaan aset sebagai hal

yang tidak memiliki pengaruh penting dibandingkan pengelolaan keuangan

daerah, maka aparatur menjadi tidak patuh terhadap regulasi yang ditetapkan.

Dalam proses pembinaan, sikap aparatur daerah yang menjadi pengurus dan

pengguna barang mengikuti kegiatan Pembinaan Teknis (Bimtek) tidak secara

sungguh-sungguh dan bertanggung jawab. Begitu pun dalam proses

pengawasan, kendala persepsi aparatur daerah sebagai pengguna barang yang

menganggap aset yang dikuasainya sudah menjadi barang miliknya, sehingga

pada saat pengguna aset ditugaskan ke tempat yang baru, pengguna aset

tersebut menguasainya dan tidak mengembalikannya pada pengurus aset.

Menurut Munaim69 diperlukan pemahaman dan kesamaan persepsi dan

langkah secara integral dan menyeluruh dari semua SKPD dalam menjamin

terlaksananya pengelolaan barang milik daerah. Hutapea dan Thoha70

mengungkapkan bahwa ada tiga komponen utama pembentukan kompetensi,

yang menjadi kendala kompetensi SDM dalam pengelolaan aset Kota

69
Munaim. “Kebijakan Pengelolaan Barang Milik Daerah Pada Pemerintah Provinsi Nusa
Tenggara Barat”. Tugas Akhir Program Magister (TAPM). Program PascaSarjana. (Mataram:
Universitas Terbuka. UPNJJ, 2012).
70
Parulian Hutapea dan Thoha Nurianna. Kompetensi Plus. (Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama, 2008), hlm. 8.

131
Semarang yaitu pengetahuan (knowledge), keterampilan (skill) dan sikap

(attitude). Suharto71 menyatakan bahwa kualitas sumber daya manusia

merupakan kemampuan dari pegawai dalam menjalankan proses pengelolaan

yang dilihat dari kemahiran seseorang, latarbelakang pendidikan, persyaratan

yang harus diikuti untuk dapat menjalankan proses pengelolaan, pelatihan-

pelatihan, masalah professional dan sosialisassi peraturan yang mengalami

perubahan. Kunci keberhasilan pengelolaan barang milik daerah adalah harus

tersedianya pegawai yang kompeten dalam bidang pengelolaan barang milik

daerah. Untuk mendapatkan pegawai yang kompeten maka diperlukan adanya

suatu standar yaitu pegawai yang memiliki pengetahuan tentang aset daerah,

yang mempunyai keterampilan tentang pengelolaan aset daerah, dan pegawai

yang mempunyai sikap terhadap pengelolaan aset daerah.72

6. Kendala pada sumber daya dalam bentuk anggaran dan fasilitas pengelolaan

aset daerah

Kendala keenam yaitu komitmen pimpinan yang ditemukan dalam

proses perencanaan kebutuhan dan penganggaran, penggunaan, penghapusan

dan penatausahaan. Pada saat kepemimpinan yang lama, lemahnya komitmen

organisasi dan pimpinan berupa ketegasan dalam pelaksanaan pengelolaan

aset, menjadi kendala serta berpengaruh terhadap jalannya pengelolaan aset

daerah yang baik. Tidak adanya sistem pemberian penghargaan maupun

sanksi bagi SKPD maupun pengurus barang yang patuh ataupun lalai dalam

melaksanakan proses pengelolaan aset yang sesuai dengan regulasi yang


71
Edi Suharto. Analisis Kebijakan Publik. (Bandung: Alfabeta, 2012).
72
Mohammad Yusuf. Langkah Pengelolaan Aset Daerah Menuju Pengelolaan Keuangan
Daerah Terbaik. (Jakarta: Salemba Empat, 2010), hlm. 47.

132
ditetapkan oleh Pemerintah. Kendala komitmen pimpinan berupa tidak adanya

kesesuaian antara perilaku pimpinan dengan regulasi yang menyatakan bahwa

dalam proses penggunaan harus ditetapkan dengan adanya SK dari Walikota

yang dilaksanakan berdasarkan usulan dari Kepala Dinas melalui Sekretaris

Daerah. Ketetapan dalam bentuk SK Walikota ini mengatur tentang

penunjukkan pengurus aset untuk tiap-tiap SKPD. Namun hal tersebut tidak

terjadi di setiap SKPD, para pengurus barang hanya memiliki dasar

penunjukkan sebagai pengurus barang dari Kepala SKPD tanpa adanya SK

resmi dari Walikota.

Komitmen pimpinan yang menjadi kendala dalam proses penghapusan

aset di Kota Semarang terjadi pada saat Badan Keuangan Daerah selaku

SKPKD secara kolektif mengusulkan untuk melakukan proses penghapusan

atas aset dan telah menyerahkan usulan tersebut dalam bentuk SK

penghapusan ke pihak pimpinan daerah. Namun karena kendala komitmen

pimpinan yang kurang baik, hingga saat ini SK Penghapusan tersebut tidak

ada tindak lanjutnya. Sehingga hal ini mengakibatkan saldo aset yang masuk

dalam SK Pengusulan Penghapusan masih terus tercatat dalam neraca LKPD.

Kurangnya pemahaman dan ketegasan dari pimpinan membuat proses

penatausahaan aset daerah menjadi tidak baik dan tidak optimal serta

membuat para pelaksana di masing-masing SKPD lalai dan tidak berupaya

semaksimal mungkin dalam mengelola aset dengan baik dan

bertanggungjawab.

Tanpa adanya komitmen dari pimpinan untuk menerapkan peraturan

133
tersebut maka peraturan tersebut tidak akan berhasil dalam penerapannya.

Oleh karena itu, kepatuhan pada regulasi yang dilakukan oleh para pelaksana

pengelola barang milik daerah membutuhkan komitmen pimpinan. Komitmen

pimpinan juga dibutuhkan dalam pelaksanaan komunikasi pada suatu

organisasi. Menurut Simamora73, komitmen pimpinan diperlukan dalam

mengatasi permasalahan yang menyangkut pengelolaan aset milik daerah.

Komitmen Kepala SKPD dibutuhkan dalam hal tidak sering melakukan

pergantian personal pengurus dan penyimpan barang. Pengurus dan

penyimpan barang harus bekerja satu tahun anggaran sesuai dengan surat

keputusan pengangkatan. Jika pergantian petugas pengelola barang diperlukan

harus ada kaderisasi terlebih dahulu terhadap penggantinya. Selain itu, kepala

SKPD memberikan perhatian serius bagi aset yang dikelolanya secara

professional dengan tidak menomorduakan urusan pengelolaan barang milik

daerah, karena posisi kepala SKPD selain sebagai pengguna anggaran juga

sebagai pengguna barang yang bertanggungjawab terhadap barang milik

daerah yang dikelolanya.

Kendala yang terakhir adalah sumber daya dalam bentuk anggaran dan

fasilitas yang ditemukan dalam proses pengamanan dan pemeliharaan serta

pembinaan, pengawasan dan pengendalian. Proses pengamanan dan

pemeliharaan tidak dapat dilakukan secara maksimal karena terhambat

anggaran yang tidak dapat memenuhi pemeliharaan aset-aset seperti di Dinas

Rudianto Simamora. “Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengelolaan Aset Pasca


73

Pemekaran Wilayah dan Pengaruhnya Terhadap Kualitas Laporan Keuangan Pemerintah di


Kabupaten Tapanuli Selatan”. Jurnal Ekonomi dan Bisnis. Volume 10 Nomor 01, hlm. 47-61.
(Yogyakarta: Universitas Gajah Mada, 2012).

134
Pekerjaan Umum masih sangat membutuhkan anggaran untuk memelihara

aset seperti eskavator yang jika dipelihara bisa menambah pendapatan asli

daerah. Kendala anggaran juga menjadi kendala dalam proses inventarisasi

aset di Dinas Pendidikan dan berpengaruh pada insentif yang diterima oleh

pengurus barang yang tidak sesuai dengan beban kerja yang harus dilakukan.

Selain itu tidak adanya gudang menyulitkan pengurus barang untuk

menyimpan dan mengamankan barang baik yang masih dalam kondisi baik

maupun yang sudah dalam kondisi rusak.

Sumber daya anggaran merupakan sumber daya yang mempengaruhi

implementasi setelah adanya sumber daya menusia, terbatasnya anggaran

yang tersedia menyebabkan kualitas pelayanan terhadap publik yang harus

diberikan kepada masyarakat juga terbatas. Terbatasnya anggaran

menyebabkan disposisi para pelaku rendah bahkan akan terjadi goal

displacement yang dilakukan oleh pelaku terhadap pencapaian tujuan dan

sasaran yang telah ditetapkan.74 Sumber daya peralatan juga merupakan

sumber daya yang mempengaruhi terhadap keberhasilan dan kegagalan suatu

implementasi. Sumber daya peralatan merupakan sarana yang digunakan

untuk operasionalisasi implementasi suatu kebijakan yang meliputi gedung,

tanah dan sarana yang semuanya akan memudahkan dalam memberikan

pelayanan dalam implementasi kebijakan.75

Dalam pengelolaan aset tentunya ditemukan berbagai permasalahan. Siregar

menyebutkan bahwa:
74
George C. Edward III. Implementing Public Policy. (Washington: Congressional
Quarterly Press. 1980.
75
Ibid., hlm. 102

135
permasalahan dalam pengelolaan aset di daerah pada umumnya
disebabkan oleh beberapa hal yakni: (1) Belum ada inventarisasi seluruh
aset yang ada; (2) Inefisiensi dalam pemanfaatan aset; (3) Landasan
hukum yang belum terpadu dan menyeluruh; (4) Tersebarnya lokasi dan
hak penguasaannya; (5) Koordinasi yang lemah; (6) Pengawasan yang
lemah; (7) Beragam kepentingan dan distorsi lainnya; dan (8) Mudahnya
terjadi penjarahan aset.

Salah satu solusi terkait penyelesaian permasalahan dalam manajemen aset

di daerah adalah melalui proses optimasi aset. Siregar menjelaskan bahwa

optimasi aset merupakan sebuah proses dalam manajemen aset yang bertujuan

untuk mengoptimalkan potensi fisik, lokasi, nilai, jumlah/volume, legal dan

ekonomi yang dimiliki suatu aset.76 Siregar menjelaskan bahwa optimasi

pengelolaan aset terdiri dari tiga hal yakni (1) Pemaksimalan ketersediaan aset; (2)

Pemaksimalan penggunaan aset; dan (3) Meminimalisasikan biaya kepemilikan.77

Untuk menjawab pertanyaan penelitian, maka upaya yang dapat dilakukan

adalah dengan melaksanakan optimasi aset. Optimasi aset di sini berdasarkan

kajian pustaka dan pemahaman penulis dapat dibedakan ke dalam beberapa

tahapan yakni:

1) Tahap Inventarisasi Aset tanah milik Pemerintah Kota Semarang,


termasuk inventarisasi atas permasalahan yang dihadapi dalam
pengelolaan aset serta pensertifikatan atas semua tanah milik
Pemerintah Kota Semarang;
2) Penilaian terhadap seluruh aset tanah yang dimiliki oleh Pemerintah
Kota Semarang;
3) Penyusunan daftar aset milik Pemerintah Daerah yang berpotensi dan
tidak berpotensi;
4) Penyusunan rencana strategis dan program yang dijalankan oleh Tim
ataupun instansi/dinas terkait;
5) Penyusunan Peraturan Daerah yang mengatur tentang rencana strategis
tentang optimasi aset milik Pemerintah Kota Semarang.

Untuk menyelesaikan masalah dan kendala terkait pemindahtanganan dan


76
Doli D. Siregar. Loc.cit.
77
Ibid.

136
penghapusan, maka upaya yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Semarang yaitu

melakukan penilaian terhadap barang-barang yang rusak dan yang sudah lewat

masa manfaatnya berdasarkan usulan dari tiap SKPD untuk dinilai oleh pihak

yang independen dalam hal ini dilaksanakan oleh Kantor Pelayanan Kekayaan

Negara dan Lelang (KPKNL) Semarang. Kemudian hasil penilaian yang sudah

dilakukan oleh KPKNL nantinya akan ditindaklanjuti dengan proses

pemindahtanganan (lelang) atas barang-barang yang telah dinilai, selanjutnya

akan diterbitkan Surat Keputusan Walikota Semarang tentang penghapusan

barang milik daerah yang telah di lelang. Selain itu, proses penilaian juga

dilakukan dalam rangka pengamanan dan pemeliharaan aset.

Penilaian aset ini juga dilakukan dalam rangka mengamankan aset-aset

berupa kendaraaan dinas yang masih berada di tangan pejabat-pejabat yang telah

pindah tugas daerah, atau pindah SKPD maupun pejabat yang telah pensiun.

Penilaian adalah sebuah penganggaran atau estimasi nilai dari suatu kepentingan

atas sebuah properti/harta untuk suatu tujuan tertentu. 78 Penilaian aset daerah

dilakukan oleh lembaga independen yang bersertifikat di bidang pekerjaan

penilaian barang, sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan ditunjuk oleh

Kepala Daerah.

Upaya legal audit dimaksudkan untuk memenuhi proses pengamanan dan

pemeliharaan aset. pemerintah daerah melalui Badan Keuangan Daerah dan

SKPD sedang mengupayakan adanya sertifikat untuk pengamanan aset secara

legal audit pada aset berupa tanah yang dimiliki oleh pemerintah daerah. Para

Wahyu Hidayat dan Budi Harjanto. Konsep Dasar Penilaian Properti, Edisi pertama,
78

(Yogyakarta: BPFE UGM, 2013), hlm. 12.

137
pengurus barang juga sedang melakukan penarikan aset berupa kendaraan yang

berada di tangan pejabat sebagai bentuk pengamanan aset secara fisik. Legal audit

merupakan lingkup kerja manajemen aset berupa inventarisasi status penguasaan

aset, sistem dan prosedur penguasaan atau pengalihan aset, identifikasi dan

mencari solusi atas permasalahan legal dan upaya untuk memecahkan berbagai

permasalahan legal yang terkait dengan penguasaan atau pengalihan aset.

Permasalahan legal yang sering ditemui antara lain status hak penguasaan yang

lemah, aset dikuasai pihak lain, pemindahtanganan aset yang tidak termonitor dan

lain-lain.

Selanjutnya upaya inventarisasi aset dilakukan melalui proses pembinaan,

pengawasan dan pengendalian, pengamanan dan pemeliharaan,

pemindahtanganan dan penghapusan untuk mengetahui keberadaan aset dan

berguna untuk memperbaiki pencatatan aset dalam Kartu Inventaris Barang dan

Neraca Daerah. Sensus barang ini baru mulai dilakukan pada saat bergantinya

kepala daerah yang baru dengan tujuan untuk mengupayakan pengamanan,

pemanfaatan, penilaian, pemindahtanganan dan penghapusan aset yang telah

rusak atau tidak bisa digunakan/diperbaiki lagi. Inventarisasi ini dimulai dengan

menelusuri aset-aset beserta bukti kepemilikan seperti aset tetap berupa tanah.

Pentingnya inventarisasi aset sebagai salah satu upaya yang dilakukan pemerintah

Kota Semarang untuk menelusuri dan mengumpulkan aset-aset yang dimiliki

guna memperbaiki pengelolaan aset mulai dari pencatatannya, agar data akuntansi

dan fisik, sesuai serta dapat mengamankan dan memanfaaatkan aset secara

optimal.

138
Berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 152 Tahun 2004

Tentang Pedoman Pengelolaan Barang Daerah, menyatakan inventarisasi adalah

kegiatan atau tindakan untuk melakukan perhitungan, pengurusan,

penyelenggaraan, pengaturan, pencatatan data dan pelaporan barang dalam

pemakaian, dari kegiatan inventarisasi disusun buku inventaris yang menunjukkan

semua kekayaan daerah yang bersifat kebendaan, baik yang bergerak maupun

yang tidak bergerak. Siregar79 menyatakan bahwa buku inventaris tersebut

memuat data yang meliputi lokasi, jenis/merk, tipe, jumlah, ukuran, harga, tahun

pembelian, asal barang, keadaan barang dan sebagainya. Agar buku inventaris

dapat digunakan sesuai fungsi dan peranannya, maka pelaksanaannya harus tertib,

teratur dan berkelanjutan, berdasarkan data yang benar, lengkap dan akurat

sehingga mampu memberikan informasi yang tepat, berfungsi dan berperan yang

sangat penting dalam rangka a) pengendalian, pemanfaatan, pengamanan dan

pengawasan setiap barang; b) usaha untuk menggunakan, memanfaatkan setiap

barang secara maksimal sesuai dengan tujuan dan fungsinya masing-masing; dan

c) menunjang pelaksanaan tugas pemerintahan.

Upaya terakhir yaitu komitmen pimpinan yang dilakukan melalui proses

pembinaan, pengawasan dan pengendalian. Setelah bergantinya kepala daerah

yang baru, serta dirombaknya struktur organisasi yang ada sebelumnya, maka

tindaklanjut atas kelemahan sistem pengendalian intern terkait pengelolaan aset

daerah yang dimulai dari komitmen organisasi lewat pimpinan yang bertugas

untuk mengawasi dan mengendalikan jalannya pengelolaan baik itu pengelolaan

keuangan maupun pengelolaan aset daerah. Dengan adanya terobosan dari


79
Doli D. Siregar. Op.cit., hlm. 518.

139
Sekertaris Daerah dan Kepala Bidang Aset Badan Keuangan Daerah yaitu dalam

rangka pengawasan dan pengendalian aset yang diharapkan dapat berjalan dengan

baik serta memberikan feedback bagi pengelolaan aset daerah sebagai bentuk dari

tindaklanjut atas rekomendasi yang diberikan oleh BPK pada tahun 2015 dan

2016.

Menurut Rivai80 pemimpin harus menjalin hubungan kerja yang efektif

melalui kerja sama dengan orang-orang yang dipimpinnya. Semua program kerja

akan terlaksana berkat bantuan orang-orang yang dipimpin, karena setiap

pemimpin tidak mungkin bekerja sendiri. Menurut Gusman 81 kesuksesan suatu

organisasi tergantung pada kinerja para pegawai yang berada paling bawah dalam

suatu piramida organisasi, dan para pegawai yang bekerja membutuhkan

dukungan dari pimpinan. Sebagus apapun gagasan dari bawah tanpa adanya

dukungan dari pemimpin maka gagasan tersebut tidak akan berjalan dengan baik.

Hal ini juga berlaku untuk pengelolaan aset dan barang milik daerah. Menurut

Yusuf, pengelolaan aset atau barang milik daerah selain membutuhkan

kompetensi sumber daya manusia yang memadai, juga sangat memerlukan

komitmen pimpinan untuk mendorong aparat dibawahnya agar mencapai visi dan

misi yang telah ditetapkan.82

Veithzal Rivai. Manajemen Sumber Daya Manusia untuk Perusahaan. (Jakarta: PT. Raja
80

Grafindo Persada. 2008), hlm. 45.


81
Ibid.
82
Mohammad Yusuf. 2010. Langkah Pengelolaan Aset Daerah Menuju Pengelolaan
Keuangan Daerah Terbaik. (Jakarta: Salemba Empat, 2010), hlm. 47.

140
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

141
Berdasarkan uraian tentang pelaksanaan pendaftaran tanah Aset Daerah

Pemerintah Kota Semarang di atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Berdasarkan hasil penelitian, model pelaksanaan administrasi yang dimulai

dari permintaan laporan aset tanah dari masing-masing OPD disertai bukti-

bukti pendukung semisal sertifikat. Selanjutnya laporan tersebut dilakukan

verifikasi dan sinkronisasi oleh Bidang Aset BPPKAD untuk kemudian

dituangkan dalam Buku Besar Aktiva Tetap. Jika terdapat aset yang belum

lengkap secara administrasi, selanjutnya dilakukan pengamanan hukum.

Selanjutnya model pengamanan hukum yang ditawarkan dimulai dari melacak

status aset tanah, apabila ditemukan aset yang belum bersertifikat maka

dilakukan pensertifikatan tanah ke BPN. Aset tanah yang sudah dilakukan

pengamanan hukum dan sudah jelas statusnya kemudian perlu ditindaklanjuti

melalui pengamanan fisik yang mencakup lahan/tanah milik pemerintah

daerah yang digunakan oleh pihak lain atau disalahgunakan oleh pihak yang

melanggar ketentuan perjanjian penggunaan tanah milik pemerintah daerah

dengan cara pemagaran atau pemasangan tanda kepemilikan. Model

pelaksanaan pendaftaran aset tidak bergerak tersebut diharapkan dapat

menjadi salah satu bahan pertimbangan untuk membuat Standar Operasional

Prosedur (SOP) mengenai pengamanan aset tidak bergerak di Kota Semarang.

142
Selain dengan adanya SOP, disarankan juga Pemerintah Kota Semarang

membuat Peraturan Daerah terkait pengelolaan aset daerah sehingga

pelaksanaan pengelolaan aset di Kota Semarang dapat terlaksana dengan baik

dan dapat mengangkat opini BPK terhadap Kota Semarang menjadi Wajar

Tanpa Pengecualian (WTP).

2. Faktor-faktor yang menghambat pelaksanaan pendaftaran tanah aset daerah

Pemerintah Kota Semarang merupakan suatu kendala yaitu sesuatu yang

menjadi alasan suatu peraturan hukum tidak dapat berjalan dengan baik dan

efektif. Kendala tersebut baru dapat diketahui apabila suatu peraturan hukum

telah dilaksanakan dan diterapkan di lapangan. Kendala dalam hal ini juga

berarti segala sesuatu yang dapat mengakibatkan pelaksanaan dari suatu

kegiatan menjadi tidak maksimal. Hal ini bisa juga berasal dari prosedurnya

maupun instasi terkait. Upaya-upaya yang dilakukan oleh pemerintah dalam

mendukung pelaksanaan pendaftaran tanah akan menjadi sia-sia, akibat tidak

adanya dukungan dari masyarakat dan instansi pemerintah terkait untuk

berpartisipasi mendukung program tersebut. Akibat dari belum berjalannya

pelaksanaan pendaftaran tanah secara baik, sehingga sangat banyak sekali

permasalahan yang kemudian terjadi terkait sengketa pertanahan tersebut,

misalnya saja tumpang tindih hak kepemilikian atas tanah, sengketa tapal

batas (perbatasan), sertifikat ganda, dan lainnya.

B. Saran

1. Bagi Pemerintah Kota Semarang

Pemerintah Kota Semarang seharusnya dapat memberikan perhatian yang

94
lebih terhadap program pensertifikatan tanah aset daerah Kota Semarang yang

dilaksanakan oleh Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah

agar program tersebut dapat berjalan dengan efektif dan maksimal tepat dalam

penyelesaiannya. Hal ini di karenakan kurangnya perhatian pemerintah daerah

Kota Semarang dalam hal sarana dan prasarana operasional ini sangat penting

bagi Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah untuk dapat

menjalankan tugas dan fungsinya dalam melakukan sosialisasi kepada

masyarakat tentang tentang program pensertifikatan tanah berdasarkan

Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Barang Milik

Daerah serta Peraturan Walikota Nomor 19A Tahun 2009 tentang Petunjuk

Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah Kota Semarang.

2. Bagi Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah Kota

Semarang

Dalam program pensertifikatan tanah aset daerah Kota Semarang yang

dilaksanakan oleh Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah

Kota Semarang sebaiknya dinas terkait segera menambah jumlah petugas

yang mempunyai tanggung jawab dan tugas di bidang aset khususnya Seksi

Pengelolaan dan Inventarisasi Aset agar pelaksanaan program ini berjalan

dengan cepat, tepat, efektif dan lebih mengoptimalkan atau memaksimalkan

kerja, melakukan koordinasi antar instansi terkait.

3. Bagi Masyarakat

Dalam program pensertifikatan tanah aset daerah Kota Semarang hendaknya

masyarakat ikut berperan aktif dan bekerja sama dengan baik dengan petugas

95
dari dinas terkait agar program tersebut dapat berjalan dengan lancar dan

efektif. Program ini diharapkan dapat memberikan dampak posistif bagi

masyarakat. Selain itu, masyarakat sebagai warga negara yang baik

seharusnya mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga

tujuan dari pembuatan peraturan tersebut dapat tercapai dan memberikan

manfaat bagi masyarakat banyak.

96
DAFTAR PUSTAKA

Buku
Abdul Halim dan T. Damayanti. Seri Bunga Rampai Manajemen Keuangan
Daerah: Pengelolaan Keuangan Daerah. Edisi Kedua. (Yogyakarta:
UPP STIM YKPN, 2007).
Abdul Halim. Bunga Rampai Manajemen Keuangan Daerah Edisi Pertama.
(Yogyakarta: UPP AMP YKPN, 2001).
Adrian Sutedi. Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya (Jakarta: Sinar
Grafika. 2007.
Adrian Sutedi. Sertifikat Hak Atas Tanah. (Jakarta: Sinar Grafika. 2011).
Ali Achmad Chomzah. Hukum Agraria (Pertanahan Indonesia). (Jakarta: Prestasi
Pustakaraya. 2003.)
Bachtiar Effendie. Kumpulan Tulisan tentang Hukum Tanah. (Bandung: Alumni,
1993).
Bachtiar Effendie. Pendaftaran Tanah di Indonesia dan Peraturan
Pelaksanaannya. (Bandung: Penerbit Alumni, 1993).
Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia. Laporan Hasil Pemeriksaan
Atas Laporan Keuangan Pemerintah Kota Semarang Tahun 2010 No.
56/LHP/XVIII.SMG/05/2012 Tanggal 24 Mei 2011. Semarang: BPK
RI Perwakilan Provinsi Jawa Tengah, 2011.
Bambang Eko Muljono. “Pendaftaran Tanah Pertama Kali Secara Sporadik
Melalui Pengakuan Hak”. Jurnal Fakultas Hukum Universitas Islam
Lamongan.
Boedi Harsono. Hukum Agraria Indonesia Himpunan Peraturan-Peraturan
Hukum Tanah, (Jakarta: Djambatan, 2005).
Djumara Noorsyamsa. Modul 3 Analisis SWOT. (Jakarta: Lembaga Administrasi
Negara. 2007).
Doli D. Siregar. Manajemen Aset. (Jakarta: Gramedia. 2004)
Florianus SP Sangsun. Tata Cara Mengurus Sertifikat Tanah. (Jakarta: Visi
Media, 2007).
G.E. Peterson. “Land leasing and Land Sale as an Infrastructure‐Financing
Option”. World Bank Policy Research Working Paper 4043. (New
York: World Bank. 2006).
Herman Hermit. Cara Memperoleh Sertifikat Tanah (tanah hak milik, tanah
negara, tanah Pemda, dan balik nama) Teori dan Praktek
Pendaftaran Tanah di Indonesia. (Bandung: Mandar Maju, 2009).

97
Irawan Soerodjo. Kepastian Hukum Hak Atas Tanah di Indonesia, (Surabaya:
Arloka, 2003).
Mei Sutrisno. “An Investigation of Participation Project Appraisal in Developing
Countries Using Elements of Value an Risk Management (Volume
1)”. (Manchester: University of Manchester Institute. 2004).
Muhammad Bakri. Hak Menguasai Tanah oleh Negara (Paradigma Baru untuk
Reformasi Agraria). (Jakarta: Citra Media, 2007).
Noorsyamsa Djumara. Prinsip-Prinsip Manajemen Aset/Barang Milik Daerah,
(Jakarta: Lembaga Dalam Negeri dan Lembaga Administrasi Negara,
2007).
Nunuy Nur Afiah. Implementasi Akuntansi Keuangan Pemerintah Daerah,
(Jakarta: Kencana, 2009).
Sadu Wasistiono; Etin Indrayani dan Andi Pitono. Memahami Asas Tugas
Pembantuan, (Bandung: Fokus Media, 2006).
Suardi. Hukum Agraria. (Jakarta: Badan Penerbit IBLAN, 2005).
Supriadi. Hukum Agraria. (Jakarta: Sinar Rafika. 2007).
Urip Santoso. Hukum Agraria dan Hak-hak atas Tanah, (Jakarta: Kencana, 2006).
Urip Santoso. Pendaftaran dan Peralihan Hak atas Tanah. Cet. IV, (Jakarta:
Prenada Media Group, 2010).
Winahyu Erwiningsih. Hak Menguasai Negara Atas Tanah, (Yogyakarta: Total
Media, 2009).
Witter.E; Bitter. J. and Kasprzak.C. “Asset Management and City Government”.
Proceeding of the 2003 Mid Continent Transportation Research
Symposium. (Iowa State University, 2003),
Yamin Lubis dan Abd. Rahim Lubis. Hukum Pendaftaran Tanah Edisi Revisi
Peraturan Pemerintah No. 13 Tahun 2010 tentang Jenis dan Tarif
Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku Pada
Badan Pertanahan Nasional. (Bandung: CV. Mandar Maju, 2010).
Zaenudin Ali. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: P.T.Sinar Grafika. 2010.

Perundang-undangan
Sekretariat Negara RI. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria. Jakarta. 1960.
Sekretariat Negara RI. Undang-Undang Nomer 1 Tahun 2004 tentang
Pembendaharan Negara.
Sekretariat Negara RI. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah.

98
Sekretariat Negara RI. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah. Jakarta 1997.
Sekretariat Negara RI. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang
Pengelolaan Barang Milik Negara. Jakarta 2006
Sekretariat Negara RI. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang
Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah.
Sekretariat Negara RI. Peraturan Menteri Agraria Nomor 3 Tahun 1997 tentang
Ketentuan Pelaksanaan tentang Peraturan Pemerintah Nomor 24
Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Jakarta 1997.
Sekretariat Negara RI. Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 12 Tahun 2017 tentang Percepatan Pendaftaran
Tanah Sistematis Lengkap.
Sekretariat Negara RI. Peraturan Menteri ATR/Kepala BPN Republik Indonesia
Nomor 6 Tahun 2018.
Sekretariat Negara RI. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 19 Tahun 2016
tentang Pedoman Pengelolaan Barang Milik Daerah. Jakarta 2016.
Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Barang Milik
Daerah.
Peraturan Walikota Nomor 19A Tahun 2009 tentang Petunjuk Teknis Pengelolaan
Barang Milik Daerah Kota Semarang
Wawancara

Wawancara dengan Nurhidayat Agam. Kantor ATR BPN Kuningan, Jakarta,


Oktober 2019.
Website

https://www.suaramerdeka.com/newers/baca/205183/bidang-aset-daah-
bersertifikat-baru-11-persen, (diakses pada 16 Juni 2020, pukul 03.00).

Selfie Miftahul Jannah. “Alasan Jokowi Bagi Sertifikat Tanah Gratis”.


https://finance.detik.com/properti, 26 Maret 2018.
http://tanahlaw.blogspot.co.id/2015/11/sistem-pendaftaran-tanah-sistem.html,
(diakses pada tanggal 16 Juni 2020 pukul 19.48).

99

Anda mungkin juga menyukai