Anda di halaman 1dari 127

TINJAUAN YURIDIS PENGGUNAAN SURAT KUASA MENJUAL DALAM JUAL

BELI TANAH DAN BANGUNAN

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk


Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh:

ARNANDO A.T. GEA


NIM : 110200185
DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2018

Universitas Sumatera Utara


TINJAUAN YURIDIS PENGGUNAAN SURAT KUASA MENJUAL DALAM JUAL
BELI TANAH DAN BANGUNAN

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk


Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh:

ARNANDO A.T. GEA


NIM : 110200185
DEPARTEMEN HUKUM PERDATA

Disetujui
Ketua Departemen Hukum Keperdataan

Dr. Rosnidar Sembiring, S.H., M.Hum


NIP. 196602021991032002

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Prof. Dr. Saidin, S.H., M.Hum.Syamsul Rizal, S.H., M.Hum.


NIP. 196202131990031002 NIP.196402161989111001

Universitas Sumatera Utara


SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT

Saya yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama : Arnando A.T. Gea

Nim : 110200185

Departemen : Hukum Keperdataan

Judul skripsi : Tinjauan Yuridis Penggunaan Surat Kuasa Menjual dalam

Jual Beli Tanah dan Bangunan

Dengan ini menyatakan :

1. Bahwa isi skripsi yang Saya tulis tersebut di atas adalah benar tidak

merupakan ciplakan dari skripsi atau karya ilmiah orang lain.

2. Apabila terbukti di kemudian hari skripsi tersebut adalah ciplakan, maka

segala akibat hukum yang timbul menjadi tanggung jawab Saya.

Demikian pernyataan ini Saya buat dengan sebenarnya tanpa ada paksaan atau

tekanan dari pihak manapun.

Medan, 16 Januari 2018

ARNANDO GEA
110200185

Universitas Sumatera Utara


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur Penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang

telah memberikan rahmat dan karunia-Nya Penulis dapat menyelesaikan skripsi

ini dengan judul “Tinjauan Yuridis Penggunaan Surat Kuasa Menjual Dalam

Jual Beli Tanah dan Bangunan”.

Skripsi ini Penulis ajukan dalam rangka melengkapi serta memenuhi syarat-

syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih ada kekurangan-kekurangannya,

baik dari segi materi maupun penyusunan kalimatnya. Untuk itu dengan senang

hati Penulis menerima kritikan dan saran yang konstruktif demi kebaikan Penulis

dalam pembuatan karya ilmiah pada masa yang akan dating.

Didalam menyelesaikan skripsi ini Penulis telah banyak mendapatkan

bantuan dari berbagai pihak, maka dalam kesempatan ini Penulis ingin

mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum, selaku Dekan pada Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara

2. Ibu Dr. Rosnidar Sembiring, SH., M.Hum, selaku Ketua Jurusan Hukum

Perdata Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Prof. Dr. Saidin, S.H, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing I yang telah

bersedia meluangkan waktunya untuk membimbing dan

mengarahkanpembuatan skripsi ini

Universitas Sumatera Utara


4. Bapak Syamsul Rizal, S.H., M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II yang

juga telah bersedia meluangkan waktunya untuk membimbing dan

mengarahkan pembuatan skripsi ini.

5. Seluruh Bapak/Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

yang dengan penuh dedikasi menuntun dan membimbing Penulis selama

mengikuti perkuliahan sampai dengan menyelesaikan skripsi ini.

6. Seluruh staf pegawai Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang

telah memberikan pelayanan kepada Penulis sehingga terciptanya skripsi

ini.

7. Kedua Orang tua Penulis yang Penulis sangat cintai dan hormati, Almarhum

Bapak M. Gea dan Ibu M. br Simanjuntak.

8. Kepada Sahabat-Sahabat terbaik penulis Agus Syahputra, Ahmad Tohir

Pane, John Willi , Muhammad Imam Fauzi, Muhammad Rifaldi Nasution,

dan Ryan Samuel Aritonang yang selalu menyemangati Penulis dalam

segala situasi, serta seluruh teman-teman penulis lainnya, khususnya Grup D

yang tidak dapat disebutkan satu per satu, terima kasih atas doa, nasehat,

dan juga dukungan semangat yang telah diberikan selama ini;

9. Seluruh teman-teman Penulis sesama mahasiswa Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara yang telah turut membantu dan memberikan

dorongan bagi Penulis dalam penulisan skripsi ini.

Pada akhirnya, Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang

tidak mungkin disebutkan satu persatu dalam kesempatan ini, hanya Tuhan Yang

Maha Esa dapat membalas budi baik semuanya.

Universitas Sumatera Utara


Semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi semua dan ilmu yang Penulis

peroleh selama ini dapat bermakna dan berkat bagi Penulis dalam hal Penulis

ingin menggapai cita-cita.

Medan,16 Januari 2018

Penulis

(ARNANDO A.T. GEA)

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ……………………………………………………….……i

DAFTAR ISI ……………………………………………………………………..iv

ABSTRAK ……………………………………………………………………….vi

BAB I PENDAHULUAN ……………………………………..………….1

A. Latar Belakang ………………………………………….……………….1

B. Permasalahan .......……………………………………………………….8

C. Tujuan Penulisan .………………………………………………………..9

D. Manfaat Penulisan .………………………………………………………9

E. Metode Penelitian ………………………………………...……………10

F. Keaslian Penulisan ……………………………………………….…….13

G. Sistematika Penulisan …………………………….……………………13

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN ………..……15

A. Pengertian Perjanjian ………………………………………….……….15

B. Subjek Perjanjian …………………………………...………………….18

C. Syarat-syarat Sahnya Perjanjian ……………………………….……….19

D. Asas-asas Hukum Perjanjian ……………………………………...……25

E. Berakhirnya Perjanjian …………………………………………………29

BAB III TINJAUAN UMUM MENGENAI KUASA ……………..……..49

A. Pengertian Kuasa …………………………………………...…………..49

B. Jenis dan Bentuk Pemberian Kuasa ……………………………………52

C. Bentuk Akta Kuasa ……………………………………..……………57

Universitas Sumatera Utara


D. Hak dan Kewajiban Para Pihak …………………………………...……59

E. Berakhirnya Kuasa …………………………………………..…………63

BAB IV TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENGGUNAAN SURAT

KUASA MENJUAL DALAM PERJANJIAN JUAL BELI

TANAH DAN BANGUNAN……………………………………67

A. Alasan Penggunaan Surat Kuasa Menjual ……………………..………67

B. Kedudukan dan Fungsi Surat Kuasa Menjual Dalam Jual Beli Tanah dan

Bangunan…………………………………...…………………......……73

C. Bentuk Surat Kuasa Menjual dan Kedudukan Surat Kuasa Menjual…..75

D. Peranan dan Tanggung Jawab Notaris Dalam Pembuatan Akta

Pengikatan Jual Beli Berdasarkan Kuasa ………………………………79

E. Putusan Pengadilan No.69/Pdt.G/2014/PN.MLG Tentang Pembatalan

Akta Pengikatan Jual Beli Yang Diserta Akta Kuasa Mutlak Dan Luas

Akibat Tidak Terpenuhinya Syarat-Syarat Jual Beli Dan Pemberian

Kuasa .....................................................................................................116

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ……………………………….. 146

A. Kesimpulan ……………………………………………..……...146

B. Saran ……………………………………………………………147

DAFTAR PUSTAKA …………………………...……………………………149

LAMPIRAN

Universitas Sumatera Utara


ABSTRAK
Arnando A.T. Gea *)
Saidin **)
Syamsul Rizal ***)

Manusia dalam menjalani kehidupannya senantiasa selalu membutuhkan


bantuan orang lain untuk memenuhi kebutuhannya. Hal ini membuktikan bahwa
setiap orang tidak mungkin bias hidup sendiri sehingga diperlukan suatu
hubungan hukum diantara sesamanya. Salah satu contoh dari hubungan hukum itu
adalah adanya perjanjian pemberian kuasa menjual. Dalam hal ini kuasa diberikan
oleh pihak penjual kepada seseorang untuk mewakili dirinya dalam transaksi jual
beli tanah.
Adapun permasalahan yang penulis kemukakan dalam penulisan skripsi ini
adalah : Mengapa orang memerlukan kuasa untuk melakukan jual beli tanah dan
bangunan, Bagaimana kedudukan dan fungsi kuasa menjual dalam jual beli tanah
dan bangunan, Bagaimana bentuk dan berlakunya surat kuasa menjual itu, dan
Bagaimana peran dan tanggung jawab Notaris dalam pengikatan perjanjian jual
beli berdasarkan kuasa.
Metodologi pendekatan yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini
adalah berupa penelitian yuridis normatif yang menekankan kepada penelitian
kepustakaan, penelitian ini dilakukan atau ditujukan pada peraturan-peraturan dan
bahan-bahan hukum tertulis. Penelitian yang penulis susun termasuk penelitian
yang bersifat deskriptif.
Berdasarkan hasil penelitian, perjanjian pemberian kuasa menjual terjadi
karena berbagai alasan yang membuat pihak pemberi kuasa berhalangan atau
tidak mampun melakukan suatu perbuatan hukum. Dalam hal ini Zainuddin
(pihak penjual) merasa kesulitan atau berhalangan dalam menemukan calon
pembeli terhadapn tanahnya sesuai dengan harga yang ditawarkannya. Oleh
karena itu ia menggunakan jasa orang lain untuk menemukan calon pembeli dan
mengurus segala hal yang terkait dengan transaksi jual beli tanah tersebut sampai
selesai. Kuasa menjual diberikan kepada Kasim Thiang dan Swie Gwek
Hwa(penerima kuasa) melalui akta otentik yang dibuat dihadapan Notaris untuk
dijadikan sebagai alat bukti yang mempunyai kekuatan hukum. Surat kuasa
tersebut berlaku selama berlangsungnya transaksi jual beli tanah.
Perjanjian pengikatan jual beli harus dibuat dihadapan Notaris sebagai
pejabat yang berwenang.Dalam hubungan dengan pelaksanaan jabatan Notaris
apabila seorang Notaris melakukan pelanggaran atau kesalahan dalam
menjalankan jabatan sehingga menimbulkan kerugian kepada orang lain, maka
Notaris bersangkutan dapat dipertanggungjawabkan secara perdata
(civielrechtelijkeaansprakelijkheid) untuk membayar kerugian yang diderita oleh
orang lain

Kata kunci : perjanjian dan kuasa menjual

*)
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
**)
Dosen Pembimbing I
***)
Dosen PembimbingII

Universitas Sumatera Utara


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan manusia di dalam masyarakat,

individu yang satu senantiasa berhubungan dengan individu yang lain. Dengan

perhubungan tersebut diharapkan kebutuhan yang dikehendaki individu yang satu

akan dipenuhi oleh individu yang lain, demikian pula sebaliknya secara timbal

balik. Perjanjian merupakan wujud dari hubungan kerjasama yang mengikat

antara dua individu atau lebih.

Hukum perjanjian bersifat terbuka atau mempunyai satu asas kebebasan

berkontrak, artinya kebebasan yang diberikan seluas-luasnya kepada siapapun

untuk mengadakan perjanjian yang berisi apa saja, asalkan tidak melanggar

undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Para pembuat perjanjian boleh

membuat ketentuan-ketentuan sendiri yang menyimpang dari Pasal-Pasal dalam

hukum perjanjian. Pasal-pasal dari hukum perjanjian bersifat pelengkap, yang

berarti pasal-pasal tersebut dapat dikesampingkan manakala dikehendaki oleh

pihak-pihak yang membuat suatu perjanjian. Kalau mereka tidak mengatur sendiri

sesuatu hal, berarti hal tersebut akan tunduk pada undang-undang yang berlaku. 1

Sistem terbuka ini dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, lazimnya

disimpulkan dalam Pasal 1338 ayat (1), yang berbunyi “semua perjanjian yang

dibuat secara sah berlaku sebagai undang-udang bagi mereka yang membuatnya”.

Dalam beberapa perjanjian yang timbul dalam masyarakat, perjanjian jual

beli semakin lama makin penting untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan manusia

1
Subekti,Hukum Perjanjian, 2002, Intermasa, Jakarta, hlm. 13

Universitas Sumatera Utara


di dalam masyarakat. Adapun yang dapat dijadikan perjanjian jual beli sangat

banyak, baik benda bergerak maupun benda tetap. Jual beli benda bergerak dapat

berupa jual beli kendaran seperti mobil, dan jual beli benda tetap contohnya

adalah jual beli tanah. Dengan perkembangan penduduk yang meningkat seperti

saat sekarang ini, terjadi keterbatasan tersedianya lahan atau tanah yang ada,

karena tanah yang tersedia dari waktu ke waktu tidak pernah bertambah,

sementara kebutuhan akan tanah atau lahan semakin tinggi. Untuk mendapatkan

tanah sekarang ini juga bukanlah hal yang mudah ditengah tingginya kebutuhan

akan tanah, terutama untuk wilayah perkotaan. Salah satu cara yang digunakan

untuk mendapatkan tanah saat ini melalui jual beli.

Dalam kehidupan interaksi antara masyarakat di zaman modern ini semua

perbuatan hukum antara masyarakat satu dengan yang lainnya perlu dibuatkan

suatu hubungan hukum agar memiliki legalitas, yang mana salah satu fungsi

hukum adalah untuk memberikan kepastian hukum dalam kehidupan

bermasyarakat. Demi tercapainya kepastian hukum tersebut dibutuhkan alat bukti

tertulis yang bersifat otentik mengenai keadaan, peristiwa, atau perbuatan hukum.

Notaris dan PPAT adalah pejabat-pejabat yang mempunyai kewenangan membuat

akta otentik berdasarkan Undang-Undang.

Akta otentik sebagai alat bukti terkuat dan penuh mempunyai peranan

penting dalam setiap hubungan hukum dalam kehidupan masyarakat. Dalam

berbagai hubungan bisnis, kegiatan di bidang perbankan, pertanahan, kegiatan

sosial, dan lain-lain, kebutuhan akan pembuktian tertulis berupa akta otentik

makin meningkat sejalan dengan berkembangnya tuntutan akan kepastian hukum

dalam berbagai hubungan ekonomi dan sosial, baik pada tingkat nasional,

Universitas Sumatera Utara


regional, maupun global. Melalui akta otentik yang menentukan secara jelas hak

dan kewajiban, menjamin kewajiban hukum, dan diharapkan pula dapat dihindari

pula terjadinya sengketa. Terkadang sengketa tersebut tidak dapat dihindari,

namun dalam proses penyelesaian sengketa, akta otentik merupakan alat bukti

tertulis dan terpenuh memberi sumbangan secara nyata bagi penyelesaian perkara

secara murah dan cepat. 2

Jual beli yang dahulu dikenal dengan asas riil terjadi jika sudah terjadi

levering atau penyerahan barang. Keadaan tersebut berbeda dengan ketentuan

tentang perjanjian jual beli yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata, karena sesuai dengan Pasal 1458 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

yang berbunyi “jual beli dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak sewaktu

mereka telah mencapai kata sepakat tentang barang dan harga, meskipun barang

itu belum diserahkan maupun harganya belum dibayar”. Atas dasar pasal tersebut,

terlihat bahwa perjanjian telah ada sejak kata sepakat.

Sebuah perjanjian untuk pelepasan hak atas tanah harus memenuhi kriteria

terang dan tunai, sebagaimana ketentuan hukum adat yang diakomodir dalam

Pasal 5 Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok

Agraria. Terang itu berarti jual beli tersebut dilakukan dihadapan pejabat umum

yang berwenang, dalam hal ini Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), sedangkan

yang dimaksud dengan tunai adalah hak milik beralih ketika jual beli tanah

tersebut dilakukan dan jual beli pada saat itu juga. Untuk kasus jual beli tanah

yang belum memenuhi persyaratan terang dan tunai, maka instrument hukum

yang digunakan adalah Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) yang dilakukan

2
Supriadi, Etika & Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia, 2008, Sinar Grafika, Jakarta,
hlm.29

Universitas Sumatera Utara


dihadapan notaris. Perjanjian Pengikatan Jual Beli yang dibuat dihadapan notaris

merupakan kesepakatan para pihak berdasarkan Pasal 1320 jo Pasal 1338 Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata sehingga memberikan kepastian dan

perlindungan hukum bagi pihak yang membuatnya. Perjanjian Pengikatan Jual

Beli (PPJB) merupakan ikatan awal antara penjual dan pembeli dalam

bertransaksi, dan harus ditindaklanjuti dengan pembuatan Akta Jual Beli (AJB),

karena PPJB belum mengalihkan hak secara hukum. 3

Dalam PPJB, isinya memuat janji-janji dari para pihak untuk dipenuhi guna

tercapainya maksud dan tujuan jual beli yang sebenarnya. Sebuah akta PPJB juga

memuat pernyataan terhadap harga tanah dan/atau bangunannya telah dibayar

lunas (terjadi pelunasan) oleh pembeli kepada penjual/pemilik tanah. Secara

yuridis hal itu berarti akta tersebut telah memenuhi syarat sebagai dasar peralihan

hak atas tanahnya. Konsekuensinya, akta PPJB akan diikuti dengan Akta Kuasa

Menjual. Dalam kuasa menjual dari pemilik tanah selaku penjual kepada pembeli,

maka segala kepentingan hukumnya dapat dilaksanakan. Selanjutnya dengan

kuasa menjual, pembeli dikemudian hari dapat menjual kepada pihak lain dengan

tanpa memerlukan bantuan hukum penjual atau dalam hal ini digunakan untuk

menjual kepada dirinya pembeli sendiri guna kepentingan peralihan hak atas tanah

dan bangunan tersebut.

Pemberian kuasa (lastgeving) merupakan suatu perjanjian dengan mana

seorang memberikan kekuasaan (wewenang) kepada seorang lain, yang

menerimannya, untuk atas namanya menyelenggarakan suatu urusan. Ketentuan

mengenai pemberian kuasa ini diatur dalam KUHPerdata, yaitu Buku III Bab XVI
3
Satrya Adhitama, “Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) versus Akta Jual Beli (AJB),
http://satryaadhitama.blogspot.com/2013/06/perjanjian-pengikatan-jual-beli-ppjb.html, diakses
tanggal 20 November 2015

Universitas Sumatera Utara


mulai dari Pasal 1792 hingga Pasal 1819. Kuasa (volmacht) tidak diatur, baik

secara khusus dalam KUHPerdata tersebut maupun dalam ketentuan Undang-

Undang lainnya, tetapi diuraikan sebagai salah satu bagian dari pemberian kuasa. 4

Disebut pemberian kuasa jika pemberi kuasa melimpahkan perwakilan atau

mewakilkan kepada penerima kuasa untuk mengurus kepentingannya, sesuai

dengan fungsi dan kewenangan yang ditentukan dalam surat kuasa. Dengan

demikian, penerima kuasa berkuasa penuh bertindak mewakili pemberi kuasa

terhadap pihak ketiga untuk dan atas nama pemberi kuasa. Jadi dengan demikian

pemberi kuasa bertanggung jawab penuh atas segala perbuatan kuasa sepanjang

perbuatan yang dilakukan kuasa tidak melebihi wewenang yang diberikan

pemberi kuasa.

Pada Pasal 1795 KUHPerdata dapat disimak macam-macam pemberian

kuasa yaitu pemberian kuasa yang dilakukan secara khusus, yaitu mengenai hanya

satu kepentingan tertentu atau lebih. Pada pihak lain ada pemberian kuasa secara

umum, yaitu meliputi segala kepentingan si pemberi kuasa. Demikian pula dalam

cara pemberian dan penerimaan kuasa dapat dilakukan dengan berbagai macam

cara, antara lain dengan akta otentik (Notarieel) yang dibuat oleh Notaris, dengan

akta bawah tangan (Onderhands geschrift), surat biasa dan atau dengan lisan5.

Sifat persetujuan kuasa adalah kotrak konsensual, artinya dengan adanya

persetujuan pemberian kuasa,hal itu sudah berkekuatan yang mengikat diantara

para pihak. Pada pemberian kuasa (lastgeving) kepada penerima kuasa agar selalu

memperhatikan ketegasan isi dari surat kuasa tersebut dalam suatu perjanjian yang

dilakukan oleh pemilik kebendaan dalam suatu perbuatan hukum. Untuk

4
Herlien Budiono, 2008, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan, 2008, Citra
Aditya Bakti, Bandung, hlm. 2

Universitas Sumatera Utara


menghindari hal-hal yang tidak diinginkan terjadi terhadap penerima kuasa maka

pemberi kuasa selalu memperhatikan konsep dan format terhadap surat kuasa

tersebut apakah bersifat khusus ataukah bersifat umum dari hal-hal inilah pemberi

kuasa dapat mempersempit ruang gerak penerima kuasa dalam melaksanakan

kewajibannya sebagai penerima kuasa.

Mengkaji deskripsi di atas, maka akta PPJB dan Kuasa Menjual

berkedudukan atau berfungsi sebagai perjanjian pendahuluan untuk menyiapkan

atau terselenggaranya AJB balik nama. Akta PPJB dan Kuasa Menjual bahkan

sebagai perjanjian yang membantu atau memperkuat perjanjian utama/pokok yang

akan dilakukan, yaitu AJB balik nama itu sendiri. Sejalan dengan hal tersebut,

Herlien Budiono mengatakan bahwa “Perjanjian bantuan berfungsi dan

mempunyai tujuan untuk mempersiapkan, menegaskan, memperkuat, mengatur,

mengubah atau menyelesaikan suatu hubungan hukum”. 5

Dalam praktek, pemberian kedudukan Kuasa Menjual seperti di atas telah

menyebabkan Kuasa Menjual dijadikan dasar pada proses dibuatnya AJB balik

nama dan sekaligus dijadikan alat pendaftaran peralihan hak atas tanahnya pada

Kantor Pertanahan di tempat tanah tersebut berada. Dengan kata lain, dijumpai

pendaftaran peralihan hak dengan berdasarkan pada akta Kuasa Menjual saja

dengan tanpa diikuti akta PPJB. Sementara itu, Kuasa Menjual tersebut dilengkapi

Surat Keterangan dari Notaris yang menerangkan bahwa akta Kuasa Menjual

dimaksud bukanlah kuasa mutlak yang dilarang oleh undang-undang atau bahwa

terhadap tanah dan bangunan sebagai obyek dalam akta Kuasa Menjual tersebut

telah terbayar lunas.

5
Herlien Budiono, artikel “Pengikat Jual Beli Dan Kuasa Mutlak” Majalah Renvoi, edisi tahun I,
No 10, Maret 2004, hal. 57.

Universitas Sumatera Utara


Dalam hal ini menjadi sangat penting untuk dikaji secara yuridis suatu AJB

yang dibuat dengan berdasar pada pemberian kuasa dalam suatu Akta Kuasa

Menjual, sesungguhnya penerima kuasa haruslah mempunyai kualitas dan

kedudukan secara hukum sebagai pemilik dari tanah dan bangunan yang

dimaksud dalam akta Kuasa Menjual tersebut. Untuk itu, penelitian tentang

keberadaan surat keterangan Notaris serta apa akibat hukum yang dapat

ditimbulkan bagi Akta Kuasa Menjual berikut kendala-kendala dalam

permohonan peralihan hak atas tanahnya menjadi menarik dan aktual untuk dikaji.

Dengan demikian adapun judul dari skripsi ini adalah “TINJAUAN YURIDIS

PENGGUNAAN SURAT KUASA MENJUAL DALAM JUAL BELI

TANAH DAN BANGUNAN.

B. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahan yang akan dibahas dalam

penulisan skripsi ini adalah :

1. Apa yang menjadi alasan dari penggunaan surat kuasa menjual dalam jual

beli tanah dan bangunan ?

2. Bagaimana kedudukan dan fungsi surat kuasa menjual dalam jual beli tanah

dan bangunan ?

3. Bagaimana bentuk dari surat kuasa dan berlakunya surat kuasa tersebut ?

4. Bagaimana peranan dan tanggung jawab Notaris sebagai PPAT dalam

pembuatan akta jual beli berdasarkan kuasa ?

Universitas Sumatera Utara


C. Tujuan Penulisan

Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan

penulisan skripsi ini secara singkat adalah :

1. Untuk menganalisa alasan penggunaan surat kuasa menjual, syarat

berlakunya serta akibat hukum dari kuasa menjual tersebut.

2. Untuk mengetahui peranan dan tanggung jawab Notaris sebagai PPAT

dalam pembuatan akta jual beli berdasarkan kuasa.

3. Untuk menganalisa bentuk dari surat kuasa menjual dan berlakunya kuasa

tersebut.

4. Untuk menganalisa peranan dan tanggungjawab Notaris dalam pembuatan

akta pengikatan jual beli berdasarkan kuasa.

D. Manfaat Penulisan

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah :

1. Manfaat Teoritis :

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang

bermanfaat dan cukup jelas bagi pengembangan disiplin ilmu hukum

pada umumnya dan hukum perdata pada khususnya.

b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan wawasan dan

pengetahuan tentang pelaksanaan kuasa jual.

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan data yang berguna bagi

masyarakat pada umumnya dan para pembaca pada khususnya mengenai kuasa

menjual.

Universitas Sumatera Utara


E. Metode Penelitian

Metode penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang

didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk

mempelajari sesuatu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan

menganalisisnya. Disamping itu, juga diadakan pemeriksaan yang mendalam

terhadap faktor hukum tersebut, untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan

atas permasalahan-permasalahan yang timbul didalam gejala yang bersangkutan. 6

Maka dalam penulisan skripsi ini bisa disebut sebagai suatu penelitian

ilmiah dan dapat dipercaya kebenarannya dengan menggunakan metode yang

tepat. Adapun metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini dapat

dijelaskan sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah

normatifkarena dalam penelitian ini penulis mempelajari akta otentik berupa

akta kuasa nomor : 6 dan akta jual beli nomor : 965/2015

2. Sifat Penelitian

Penelitian yang penulis susun termasuk penelitian yang bersifat

deskriptif. Penelitian deskriptif adalah penelitian yang mendeskripsikan

secara sistematis, faktual dan akurat terhadap suatu populasi atau daerah

tertentu, mengenai sifat-sifat, karakteristik atau faktor-faktor

6
Soerjono soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, 1981, UI Press, Jakarta, , hal.43.

Universitas Sumatera Utara


lainnya. 7Tujuannya adalah untuk melukiskan tentang suatu hal didaerah

tertentu pada saat tertentu. 8

1. Teknik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh suatu pembahasan sesuai dengan apa yang

terdapat didalam tujuan penyusunan bahan skripsi, maka jenis penulisan

yang diterapkan adalah untuk mendapatkan data yang akurat dan relevan,

pengumpulan data yang digunakan dalam penulisan ini adalah melalui

penelitian kepustakaan (library research)

Bahan hukum dikumpulkan dengan menggunakan penelitian

kepustakaan (library research) dan studi dokumen dari berbagai sumber

yang dianggap relevan, antara lain perusahaan terkait dengan perjanjian jual

beli yang diangkat dalam penelitian ini. Sumber bahan hukum sekunder

yang berupa artikel, jurnal ilmiah, buku-buku hukum yang berkaitan dengan

hukum perikatan didapat melalui Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara.

2. Jenis Data

Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

data sekunder didukung oleh data primer.

a. Data Primer

Data primer yaitu data yang diperoleh secara langsung dari

kantor Notaris yaitu berupa akta kuasa nomor : 6 dan akta jual beli

nomor : 965/2015.

b. Data Sekunder
7
Zainuddin Ali, 2009, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hal.10.
8
Suratman dan Philips Dillah, Metode Penelitian Hukum, Alfabeta, Bandung, hal.47.

Universitas Sumatera Utara


Data Sekunder yaitu data yang diperoleh melalui studi

kepustakaan guna mendapatkan landasan teoritis terhadap segi-segi

hukum perjanjian kerjasama. Selain itu tidak menutup kemungkinan

diperoleh melalui bahan hukum lain, dimana pengumpulan bahan

hukumnya dilakukan dengan cara membaca, mempelajari, serta

menelaah data yang terdapat dalam buku, literatur, tulisan-tulisan

ilmiah, dokumen-dokumen hukum dan peraturan perundang-undangan

yang berhubungan dengan objek penelitian. Bahan-bahan hukum

tersebut berupa:

1) Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mempunyai

otoritas (autoritatif) 9, yang terdiri atas peraturan perundang-

undangan yang sesuai dengan pembahasan skripsi ini, yaitu :

a) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;

b) Kitab Undang-Undang Pokok Agraria;


c) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan
Notaris
d) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan
Notaris;
2) Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang erat

hubungannya dengan batas hukum primer dan dapat membantu

menganalisis dan memahami bahan hukum primer. 10

3) Bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan yang memberikan

informasi tentang bahan hukum primer dan bahan hukum

sekunder. 11
9
Zainuddin Ali, Op.Cit. hal.47.
10
Suratman dan Philips Dillah,Op.Cit, hal 67.

Universitas Sumatera Utara


F. Keaslian Penulisan

Sepanjang sepengetahuan penulis, belum ada tulisan yang mengangkat judul

mengenai Tinjauan Yuridis Penggunaan Surat Kuasa Menjual dalam Jual Beli

Tanah dan Bangunan. Penulisan ini diangkat oleh penulis untuk mengetahu lebih

lanjut mengenai penggunaan surat kuasa menjual dan peran notaris didalamnya.

Penulisan ini disusun berdasarkan literatur-literatur yang berkaitan dengan

surat kuasa menjual dan perjanjian jual beli. Oleh karena itu tulisan ini merupakan

sebuah karya asli dan sesuai dengan asas-asas keilmuan yang jujur, rasional,

objektif, dan terbuka. Semua ini merupakan implikasi etis dan proses menemukan

kebenaran ilmiah sehingga tulisan in dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

G. Sistematika Penulisan

Untuk menyusun tesis ini peneliti membahas dan menguraikannya dalam

lima bab. Adapun maksud dari pembagian tesis ini ke dalam bab-bab dan sub bab-

bab adalah untuk menjelaskan dan menguraikan setiap permasalahan dengan baik.

Bab I : Mengenai pendahuluan, bab ini merupakan bab pendahuluan yang

berisikan antara lain latar belakang masalah, perumusan masalah,

tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, keaslian

penelitian dan sistematika penulisan.

Bab II : Di dalam bab ini akan dibahas mengenai tinjauan umum tentang

perjanjian meliputi pengertian perjanjian, subjek perjanjian, syarat-

11
Loc.cit

Universitas Sumatera Utara


syarat sahnya perjanjian, asas-asas hukum perjanjian dan berakhirnya

perjanjian.

Bab III : Di dalam bab ini akan dibahas mengenai tinjauan umum mengenai

kuasa yang meliputi pengertian kuasa, jenis pemberian kuasa, bentuk

kuasa, hak dan kewajiban pihak-pihak, dan berakhirnya kuasa.

Bab IV : Dalam bab ini akan dipaparkan mengenai hasil pembahasan dan

analisa mengenai tinjauan yuridis terhadap penggunaan surat kuasa

menjual dalam perjanjian jual beli tanah dan bangunan.

Bab V : Dalam bab ini merupakan penutup yang memuat kesimpulan dan

saran penulis dari hasil penelitian ini.

Universitas Sumatera Utara


BAB II

TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN

A. Pengertian Perjanjian

Perjanjian merupakan sumber terpenting yang melahirkan perikatan.

Perikatan merupakan hubungan hukum antara dua pihak atau lebih, dimana pihak

yang satu berhak menuntut sesuatu dari pihak yang lain, dan pihak yang lain

berkewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut.

Menurut Pasal 1313 KUHPerdata, perjanjian adalah suatu perbuatan dengan

mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau

lebih.

Menurut R. Wiryono Prododikoro “Perjanjian adalah suatu hubungan

hukum yang berkaitan dengan harta benda antara dua belah pihak, dimana suatu

pihak berjanji untuk melakukan suatu hal atau tidak melakukan suatu hal,

sedangkan pihak lain berhak untuk menuntut pelaksanaan perjanjian. 12

R. Subekti merumuskan pengertian sebagai suatu peristiwa bahwa seseorang

berjanji kepada orang lain atau dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan

sesuatu hal. Sedangkan KRMT Tirtodiningrat memberikan defenisi perjanjian

adalah suatu perbuatan hukum berdasarkan kata sepakat di antara dua orang atau

lebih untuk menimbulkan akibat-akibat hukum yang dapat dipaksakan oleh

undang-undang. 13

Beberapa ahli hukum pandangan bahwa rumusan perjanjian dalam Pasal

1313 KUHPerdata tersebut memiliki kelemahan ataupun kurang lengkap. R.

12
R. Wiryono Prododikoro, Asas-asas Hukum Perjanjian, Cet. VII, Sumur,Bandung , 1987, hal. 7.
13
R. Subekti, Op Cit, hal 1.

Universitas Sumatera Utara


Setiawan memiliki pendapat bahwa definisi perjanjian dalam Pasal 1313

KUHPerdata tersebut selain belum lengkap juga terlalu luas. Belum lengkapnya

definisi tersebut karena hanya menyebutkan perjanjian sepihak saja, terlalu luas

karena dipergunakan kata “Perbuatan” yang juga mencakup perwakilan sukarela

dan perbuatan melawan hukum. Sehubungan dengan hal tersebut, maka definisi

perjanjian perlu diperbaiki menjadi :

a. Perbuatan tersebut harus diartikan sebagai perbuatan hukum, yaitu perbuatan

yang bertujuan untuk menimbulkan akibat hukum.

b. Menambahkan perkataan “atau saling mengikatkan dirinya” dalam Pasal

1313 KUHPerdata.

Menurut R. Setiawan, perjanjian adalah “Suatu perbuatan hukum dimana

satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya

terhadap satu orang atau lebih”. 14

Abdulkadir Muhammad menganggap isi Pasal 1313 KUHPerdata tersebut di

atas memiliki beberapa kelemahan, yaitu :

1. Kata “mengikatkan” dalam rumusan pasal tersebut hanya datang dari satu

pihak saja, tidak dari kedua belah pihak. Seharusnya perumusannya adalah

“saling mengikatkan diri”, sehingga ada konsensus antara kedua belah pihak.

2. Pengertian “perbuatan” dapat diartikan luas termasuk didalamnya tindakan

melaksanakan tugas tanpa kuasa (zaakwaarneming), tindakan melawan

hukum (onrechmatigedaad) yang tidak mengandung suatu konsensus.

Seharusnya dipakai kata “persetujuan”.

14
R. Setiawan, Pokok-pokok Hukum Perikatan, Bina Cipta, Bandung, 1979, hal. 49.

Universitas Sumatera Utara


3. Pengertian perjanjian dalam pasal ini terlalu luas, karena mencakup juga

pelangsungan perkawinan, janji kawin, yang diatur dalam lapangan hukum

keluarga. Padahal yang dimaksud adalah hubungan antara debitur dan

kreditur dalam lapangan harta kekayaan saja. Perjanjian yang dikehendaki

oleh buku ketiga KUHPerdata sebenarnya adalah perjanjian yang bersifat

kebendaan, bukan perjanjian yang bersifat personal.

4. Dalam rumusan Pasal 1313 KUHPerdata tersebut, tidak menyebutkan tujuan

mengadakan perjanjian, sehingga pihak-pihak mengikatkan diri tidak jelas

untuk apa. 15

Berdasarkan alasan tersebut, Abdulkadir Muhammad merumuskan

pengertian perjanjian menjadi : “Perjanjian adalah suatu persetujuan antara dua

orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan sesuatu hal dalam

lapangan harta kekayaan”. 16

Dari perumusan perjanjian tersebut dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur

perjanjian adalah sebagai berikut :

a. Ada pihak-pihak, sedikitnya dua orang

b. Ada persetujuan antara pihak-pihak

c. Ada tujuan yang akan dicapai

d. Ada prestasi yang akan dilaksanakan

e. Ada syarat-syarat tertentu sebagai isi dari suatu perjanjian

f. Ada bentuk tertentu, lisan atau tertulis.

15
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1992, hal 78.
16
Ibid, Hal 78

Universitas Sumatera Utara


B. Subjek Perjanjian
Para pihak yang membuat atau terikat dengan suatu perjanjian merupakan

subjek dari perjanjian. Para pihak adalah mereka yang menutup suatu perjanjian,

baik langsung oleh mereka sendiri maupun melalui seorang wakil. Umumnya

orang yang menutup perjanjian, yaitu para pihak, memberikan kata sepakatnya

untuk kepentingan mereka sendiri dan dalam rangka mengikat dirinya sendiri.

Namun, dapat pula bahwa orang yang bertindak untuk menutup perjanjian

sebenarnya mewakili orang lain. Perwakilan ini dapat dilakukan karena undang-

undang atau berdasarkan perjanjian pemberian kuasa atau perwakilan organik

karena mewakili suatu organ dari badan hukum. 17

KUHPerdata membedakan tiga golongan yang tersangkut padaperjanjian,

yaitu :

a. Para pihak yang mengadakan perjanjian itu sendiri

b. Para ahli waris mereka dan mereka yang mendapat hak daripadanya.

c. Pihak ketiga.

Pada asasnya suatu perjanjian berlaku bagi pihak yang mengadakan

perjanjian itu sendiri. Asas ini merupakan asa pribadi (Pasal 1315 jo. 1340

KUHPerdata). Para pihak tidak dapat mengadakan perjanjian yang mengikat

pihak ketiga, kecuali dalam apa yang disebut janji guna pihak ketiga (beding ten

behoove van derden) Pasal 1317 KUHPerdata.

Apabila seseorang membuat sesuatu perjanjian, maka orang itu dianggap

mengadakan perjanjian bagi ahli warisnya dan orang-orang yang memperoleh hak

daripadanya (Pasal 1318 KUHPerdata). Beralihnya hak kepada ahli waris tersebut

adalah akibat peralihan dengan alas hak umum (onderalgemene titel) yang terjadi

17
Herlien Budiono, Op Cit, hal 146

Universitas Sumatera Utara


pada ahli warisnya. Beralihnya perjanjian kepada orang-orang yang memperoleh

hak berdasarkan atas alas-alas hak khusus (onderbijzondere titel), misalnya orang

yang menggantikan pembeli mendapat haknya sebagai pemilik. Hak yang terikat

kepada suatu kualitas itu dinamakan hak kualitatif.

Menurut pasal 1340 KUHPerdata, persetujuan-persetujuan tidak dapat

membawa rugi terhadap pihak ketiga, tidak dapat pihak ketiga mendapat manfaat

karenanya, selain yang diatur dalam pasal 1317 KUHPerdata. Dengan demikian

asas seseorang tidak dapat mengikat diri selain atas nama sendiri mempunyai

suatu kekecualian, yaitu dalam bentuk yang dinamakan janji untuk pihak ketiga

(derden beding). Pasal 1317 KUHPerdata menyebut bahwa lagipun diperbolehkan

juga untuk meminta ditetapkan sesuatu janji guna kepentingan seorang pihak

ketiga, apabila suatu penetapan janji yang dibuat oeh seorang untuk dirinya

sendiri atau suatu pemberian yang dilakukan pada seorang lain memuat suatu janji

yang seperti itu. 18

C. Syarat-syarat Sahnya Perjanjian

Syarat sahnya suatu perjanjian sebagaimana yang diatur dalam pasal 1320

KUHPerdata, yaitu :

a. Sepakat mereka untuk mengikatkan diri;

b. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian;

c. Suatu hal tertentu; dan

d. Suatu sebab yang halal.

18
Mariam Darus Badrulzaman dkk, Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Jakarta,
2001, hal. 69-71

Universitas Sumatera Utara


Dalam pasal 1320 KUHPerdata, syarat (a) dan (b) dinamakan syarat

subjektif, karena kedua syarat tersebut mengenai subjek perjanjian. Sedangkan

syarat (c) dan (d) disebutkan syarat objektif, karena mengenai objek dari

perjanjian.

Pada syarat yang pertama ini, dengan diperlakukannya kata sepakat

mengadakan perjanjian, maka berarti bahwa kedua pihak haruslah mempunyai

kebebasan kehendak. Para pihak tidak mendapat sesuatu tekanan yang

mengakibatkan adanya cacat bagi perwujudan kehendak tersebut. Pengertian

sepakat dilukiskan sebagai pernyataan kehendak yang disetujui (overeenstemende

wilsverklaring) antara para pihak. Penyataan pihak yang menawarkan dinamakan

tawara (offerte). Pernyataan pihak yang menerima tawaran dinamakan akseptasi

(acceptie).

Selalu dipertanyakan saat-saat terjadinya perjanjian antara para pihak.

Mengenai hal tersebut ada beberapa ajaran yaitu :

a. Teori kehendak (wilstheorie) mengajarkan bahwa kesepakatan terjadi pada

saat kehendak pihak penerima dinyatakan, misalnya dengan menuliskan surat.

b. Teori pengiriman (verzendtheorie) mengajarkan bahwa kesepakatan terjadi

pada saat kehendak yang dinyatakan itu dikirim oleh pihak yang menerima

tawaran.

c. Teori pengetahuan (vernemingstheorie) mengajarkan bahwa pihak yang

menawarkan seharusnya sudah mengetahui bahwa tawarannya diterima.

Universitas Sumatera Utara


d. Teori kepercayaan (vertrouwenstheorie) mengajarkan bahwa kesepakatan itu

terjadi pada saat pernyataan kehendak dianggap layak diterima oleh pihak

yang menawarkan. 19

Sehubungan dengan sepakat mereka yang mengikatkan diri dalam

KUHPerdata dicantumkan beberapa hal yang merupakan faktor yang dapat

menimbulkan cacat pada kesepakatan tersebut, yakni 20:

a. Kekhilafan (dwaling),

Pasal 1321 KUHPerdata menyatakan “Tidak ada sepakat yang sah

apabila sepakat itu deberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan

paksaan dan penipuan”.

Kekhilafan yang sebenarnya (eigenlijke dwaling) merujuk pada situasi

kehendak dan pernyataan satu sama lain berkesesuaian, tetapi kehendak salah

satu pihak atau dari keduanya terbentuk secara cacat. Jadi sekalipun

perjanjian telah terbentuk, perjanjian tersebut tetap dapat dibatalkan.

Ihwalnya ialah karena dalam hal perjanjian terbentuk dibawah pengaruh

kekhilafan, sedangkan bilamana kekhilafan tersebut diketahui sebelumnya,

tidak akan terbentuk perjanjian, maka sepatutnya perjanjian demikian dapat

dibatalkan. Diluar hal tersebut, undang-undang tidak akan menerima alasan

adanya kekeliruan tentang situasi atau fakta sebelum dibentuknya perjanjian.

b. Paksaan (bedreiging)

Paksaan terjadi jika seseorang menggerakkan orang lain untuk

melakukan suatu tindakan hukum, yakni dengan cara melawan hukum

mengancam akan menimbulkan kerugian pada orang atau kebendaan milik

19
Ibid, hal74
20
Herlien Budiono, Op Cit, hal 97-99

Universitas Sumatera Utara


orang tersebut. Paksaan itu menimbulkan ketakutan sedemikian sehingga

kehendak seseorang terbentuk secara cacat. Meskipun sebenarnya kehendak

tersebut muncul sebagai akibat adanya paksaan. Padahal, tanpa adanya

paksaan tersebut kehendak demikian tidak akan terwujud.

c. Penipuan (bedrog)

Jika seseorang sengaja dengan kehendak dan pengetahuan

menimbulkan kesesatan pada orang lain, disini dikatakan terjadi penipuan.

Disamping itu, berdasarkan fakta yang sama, juga dapat dikatakan telah

terjadi penyalahgunaan keadaan. Penipuan dikatakan terjadi tidak saja jika

suatu fakta tertentu dengan sengaja tidak diungkapkan atau disembunyikan,

tetapi juga bilamana suatu informasi secata keliru dengan sengaja diberikan

ataupun terjadi dengan tipu daya lainnya. Dalam hal-hal tertentu, jika

kesengajaan tidak bersumber dari perbuatannya sendiri, pihak yang tertipu

harus membuktikan adanya kesengajaan tersebut.

Pada syarat yang kedua yaitu kecakapan untuk membuat suatu perikatan,

yang dimaksud dengan kecakapan adalah kecakapan untuk melakukan perbuatan

hukum. Kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum diartikan sebagai

kemungkinan untuk melakukan perbuatan hukum secara mandiri yang mengikat

diri sendiri tanpa dapat diganggu gugat.

Menurut Pasal 1329 KUHPerdata, ”Setiap orang adalah cakap membuat

perikatan-perikatan, jika ia oleh undang-undang tidak dinyatakan cakap”. Dalam

pasal 1330 KUHPerdata dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan tidak cakap

untuk membuat perjanjian-perjanjian adalah :

a. Orang-orang belum dewasa;

Universitas Sumatera Utara


b. Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan;

c. Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang,

dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang

membuat perjanjian-perjanjian tertentu.

Syarat ketiga yaitu suatu hal tertentu dalam pasal 1320 KUHPerdata

maksudnya adalah prestasi yang menjadi pokok kontrak yang bersangkutan. Hal

ini untuk memastikan sifat dari luasnya pernyataan-pernyataan yang menjadi

kewajiban para pihak. Pernyataan-pernyataan yang tidak dapat ditentukan sifat

dan luas kewajiban para pihak adalah tidak mengikat (batal demi hukum). Lebih

lanjut mengenai hal atau objek tertentu ini dapat dirujuk dari substansi pasal 1332,

1333 dan 1334 KUHPerdata. 21 Jadi, objek dari suatu perjanjian haruslah :

a. Dapat ditentukan;

b. Dapat diperdagangkan;

c. Mungkin dilakukan;

d. Dapat dinilai dengan uang. 22

Tuntutan dari undang-undang adalah objek perjanjian haruslah tertentu.

Setidaknya objek perjanjian cukup dapat ditentukan. Tujuan dari suatu perjanjian

adalah untuk timbulnya atau terbentuknya, berubah, atau berakhirnya suatu

perikatan. Perjanjian tersebut mewajibkan kepada para pihak untuk memberikan

sesuatu, berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu. Pada akhirnya, kewajiban

tersebut haruslah dapat ditentukan.

Syarat keempat untuk sahnya perjanjian adalah suatu sebab yang halal.

Terkait dengan pengertian sebab yang halal beberapa sarjana mengajukan


21
Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial,
Kencana Prenada Media Group, 2010, Hal 191
22
Herlien Budiono,Op.Cit., hal 107

Universitas Sumatera Utara


permikirannya, antara lain H.F.A. Vollmar dan Wirjono Prodjodikoro yang

memberikan perngertian sebab (kausa) sebagai maksud atau tujuan dari

perjanjian. Sedangkan Subekti menyatakan bahwa sebab adalah isi perjanjian itu

sendiri, dengan demikian kausa merupakan prestasi dan kontra prestasi yang

saling dipertukarkan oleh para pihak. 23

Ketentuan pasal 1335 KUHPerdata menyatakan, “Suatu perjanjian tanpa

seba atau yang telah dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak

mempunyai kekuatan (hukum). Dengan kata lain, batal demi hukum.”

Kausa yang palsu dapat terjadi jika suatu kausa yang tidak sesuai dengan

keadaaan yang sebenarnya atau kausa yang disimulasikan. Kemungkinan juga

telah terjadi kekeliruan terhadap kausanya. Dengan demikian, yang penting adalah

bukan apa yang dinyatakan sebagai kausa, melainkan apa yang menjadi kausa

yang sebenarnya.

Suatu kausa atau sebab yang halal dikaitkan dengan muatan isi kontrak.

Kebebasan berkontrak akan dibatasi apabila pelaksanaan kebebasan berkontrak

dalam situasi konkret ternyata bertentangan dengan kepentingan dalam tataran

yang lebih tinggi. Undang-undang menghargai asas kebebasan berkontrak.

Namun, kebebasan tersebut dibatasi karena perjanjian harus memiliki kausa yang

halal. Menurut ketentuan pasal 1337 KUHPerdata menyatakan, “Suatu sebab

adalah terlarang, jika sebab itu dlarang oleh undang-undang atau bila sebab itu

bertentangan dengan kesusilaan atau ketertiban umum. 24

Jadi, berdasarkan kedua pasal diatas, suatu perjanjian tidak memiliki

kekuatan hukum yang mengikat atau batal demi hukum, apabila :

23
Agus Yudha Hernoko, Op.Cit., hal194
24
Herlien Budiono, Op.Cit., hal 114

Universitas Sumatera Utara


a. Tidak mempunyai kausa;

b. Kausa palsu;

c. Kausanya bertentangan dengan undang-undang;

d. Kausanya bertentangan dengan kesusilaan;

e. Kausanya bertentangan dengan ketertiban umum.

D. Asas-asas Hukum Perjanjian


Dalam suatu perjanjian terdapat asas-asas hukum yang berfungsi untuk

menjaga dan mewujudnyatakan standar nilai atau tolok ukut yang tersembunyi di

dalam atau melandasi norma-norma, baik yang tercakup di dalam hukum positif

maupun praktik hukum, berikut asas-asas hukum yang ada dalam suatu

perjanjian 25:

a. Asas Kebebasan Berkontrak,

KUHPerdata memuat asas-asas dan prinsip kebebasan untuk membuat

kontrak atau perjanjian. Dalam hukum perdata pada dasarnya setiap orang

diberi kebebasan untuk membuat perjanjian baik dari segi bentuk maupun

muatan, selama tidak melanggar ketentuan perundang-undangan, kesusilaan,

dan kepatutan dalam masyarakat. Asas ini dengan tegas dinyatakan dalam

pasal 1338 KUHPerdata, yang berbunyi, “Semua perjanjian yang dibuat

secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.

Dari pernyataan diatas mengandung suatu asas kebebasan dalam membuat

perjanjian atau menganut system terbuka. Asas ini merupakan suatu asas yang

memberikan kebebasan kepada para pihak untuk:

1. Membuat atau tidak membuat suatu perjanjian;

25
Mariam Darus Badrulzaman dkk,Op.Cit., Hal 83-88

Universitas Sumatera Utara


2. Mengadakan perjanjian dengan siapapun;

3. Menentukan isi perjanjian, pelaksaan, dan persyaratan serta

4. Menentukan bentuk perjanjiannya apakah lisan atau tulisan.

b. Asas Konsensualisme,

Kata konsensuil berasal dari kata consensus yang artinya sepakat.

Perjanjian atau kontrak sudah dianggap sah apabila para pihak telah sepakat

mengenai hal-hal yang pokok yang diperjanjikan dan tidaklah diperlukan

suatu formalitas. Asas konsensualisme dapat disimpulkan dalam Pasal 1320

ayat (1) KUHPerdata. Pada pasal tersebut ditentukan bahwa salah satu syarat

sahnya perjanjian adanya kata kesepakatan antara kedua belah pihak. Asas ini

merupakan asas yang menyatakan bahwa perjanjian pada umumnya tidak

diadakan secara formal, melainkan cukup dengan adanya kesepakatan kedua

pihak. Kesepakatan adalah persesuaian antara kehendak dan pernyataan yang

dibuat oleh kedua belah pihak.

c. Asas Kepercayaan (Vertrouwensbeginsel),

Seseorang yang mengadakan perjanjian dengan pihak lain,

menumbuhkan kepercayaan di antara kedua belah pihak itu bahwa satu sama

lain akan memegang janjinya, dengan kata lain akan memenuhi prestasinya di

belakang hari. Tanpa adanya kepercayaan itu, maka perjanjian itu tidak

mungkin akan diadakan oleh para pihak. Dengan kepercayaan ini, kedua

pihak mengikatkan dirinya dan untuk keduanya perjanjian itu mempunyai

kekuatan mengikat sebagai undang-undang.

d. Asas Kekuatan Mengikat,

Universitas Sumatera Utara


Para pihak harus memenuhi apa yang telah mereka sepakati dalam

perjanjian yang telah mereka buat. Dengan kata lain, asas ini melandasi

pernyataan bahwa suatu perjanjian akan mengakibatkan suatu kewajiban

hukum dank arena itu para pihak terikat untuk melaksanakan kesepakatan

kontraktual. Bahwa suatu kesepakatan harus dipenuhi dianggap sudah terberi

dan kita tidak pernah mempertanyakannya kembali. Kehidupan

kemasyarakatan hanya mungkin berjalan dengan baik jika seseorang dapat

memercayai perkataan orang lain. Ilmu pengetahuan kira tidak mungkin dapat

memberikan penjelasan lebih dari itu, terkecuali jika kontrak memang

mengikat karena merupakan suatu janji serupa dengan undang-undang karena

undang-undang tersebut dipandang sebagai perintah pembuat undang-undang.

Jika kepastian terpenuhinya kesepakatan kontraktual ditiadakan, seluruh

sistem pertukaran barang dan jasa yang ada didalam masyarakat akan hancur.

Oleh sebab itu, “Kesetiaan pada janji yang diberikan merupakan bagian dari

persyaratan yang dituntut akal budi alamiah”. Janji dari kata-kata yang

diucapkan sifatnya mengikat. Perjanjian dibuat sendiri oleh para pihak dan

mereka juga yang menentukan ruang lingkup serta cara pelaksaan perjanjian

tersebut. Perjanjian yang dibuat secara sah memunculkan akibat hukum dan

berlaku bagi para pihak seolah undang-undang. Keterikatan suatu perjanjian

terkandung di dalam janji yang dilakukan oleh para pihak sendiri.

Adagium pacta sunt servanda diakui sebagai aturan yang menetapkan

bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah, mengingat kekuatan hukum

yang terkandung di dalamnya, dimaksudkan untuk dilaksanakan dan pada

akhirnya dapat dipaksakan penataanya.

Universitas Sumatera Utara


e. Asas Persamaan Hukum,

Asas ini menempatkan para pihak di dalam persamaan derajat, tidak ada

perbedaan, walaupun ada perbedaan kulit, bangsa, kekayaan, kekuasaan,

jabatan dan lain-lain. Masing-masing pihak wajib melihat adanya persamaan

ini dan mengharuskan kedua pihak untuk menghormati satu sama lain sebagai

manusia ciptaan Tuhan.

f. Asas Keseimbangan,

Asas ini menghendaki kedua pihak memenuhi dan melaksanakan

perjanjian itu. Asas keseimbangan ini merupakan kelanjutan dari asas

persamaan. Kreditur mempunyai kekuatan untuk menuntut prestasi jika

diperlukan dapat menuntut pelunasan prestasi melalui kekayaan debitur

namun kreditur memikul pula beban untuk melaksanakan perjanjian itu

dengan itikad baik. Dapat dilihat di sini bahwa kedudukan kreditur yang kuat

diimbangi dengan kewajibannya untuk memperhatikan itikad baik sehingga

kedudukan kreditur dan debitur seimbang.

g. Asas Kepastian Hukum,

Asas ini menyatakan bahwa perjanjian yang sah akan berlaku sebagai

undang-undang bagi mereka yang membuatnya, sehingga para pihak yang

berjanji harus memenuhi isi dari perjanjian tersebut. Asas kepastian hukum

atau disebut juga dengan asas pacta sunt servanda merupakan asas yang

berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas pacta sunt servanda merupakan

asas bahwa hakim atau pihak ketiga harus menghormati substansi kontrak

yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah undang-undang.

Mereka tidak boleh melakukan intervensi terhadap substansi kontrak yang

Universitas Sumatera Utara


dibuat oleh para pihak. Asas pacta sunt servanda dapat disimpulkan dalam

pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata.

h. Asas Moral,

Asas ini terlihat dalam perikatan wajar, dimana suatu perbuatan

sukarela dari seseorang tidak menimbulkan hak baginya untuk menggugat

kontra-prestasi dari pihak debitur juga hal ini terlihat di dalam

zaakwaarneming, dimana seseorang yang melakukan suatu perbuatan dengan

sukarela (moral) yang bersangkutan mempunyai kewajiban (hukum) untuk

meneruskan dan menyelesaikan perbuatannya. Asas ini terdapat dalam pasal

1339 KUHPerdata. Faktor-faktor yang memberikan motivasi pada yang

bersangkutan melakukan perbuatan hukum itu berdasarkan pada kesusilaan

(moral), sebagai panggilan dari hati nuraninya.

i. Asas Kepatutan,

Asas ini dituangkan dalam pasal 1339 KUHPerdata, asas kepatutan

disini berkaitan dengan ketentuan mengenai isi perjanjian. Asas kepatutan ini

harus dipertahankan, karena melalui asas ini ukuran tentang hubungan

ditentukan juga oleh rasa keadilan dalam masyarakat.

E. Berakhirnya Perjanjian

Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, perjanjian atau persetujuan

merupakan sumber dari perikatan, di samping undang-undang. Berakhirnya

perjanjian atau persetujuan juga akan mengakhiri perikatannya itu sendiri.Menurut

ketentuan pasal 1381 KUHPerdata hapusnya suatu perikatan, yakni:

a. Pembayaran,

Universitas Sumatera Utara


Pertama sekali harus disadari, sesuai dengan maksud undang-undang,

pengertian pembayaran dalam hal ini harus dipahami secara luas tidak boleh

diartikan dalam ruang lingkup yang sempit, seperti yang selalu diartikan oleh

orang hanya terbatas pada masalah yang berkaitan dengan pelunasan hutang

semata-mata. Mengenai pembayaran diatur dalam pasal 1382 sampai 1403

KUHPerdata.

Pasal 1382 KUHPerdata mengatakan, “Tiap perikatan dapat dipenuhi

oleh siapa pun yang berkepentingan, seperti orang yang turut berutang atau

penanggung utang. Suatu perikatan bahkan dapat dipenuhi oleh pihak ketiga

yang tidak berkepentingan, asal pihak ketiga itu bertindak atas nama dan

untuk melunasi utang debitur, atau asal ia tidak mengambil alih hak-hak

kneditur sebagai pengganti jika ia bertindak atas namanya sendiri.” Yang

dimaksud dengan pembayaran oleh Hukum Perikatan bukanlah sebagaimana

ditafsirkan dalam bahasa pergaulan sehari-hari, yaitu pembayaran sejumlah

uang, tetapi setiap tindakan, pemenuhan prestasi, walau bagaimanapun sifat

dari prestasi itu. Penyerahan barang oleh penjual, berbuat sesuatau atau tidak

berbuat sesuatu adalah merupakan pemenuhan dari prestasi atau tegasnya

adalah “pembayaran”. Pihak yang wajib melakukan pembayaran , yakni :

• Debitur

• Pihak ketiga yang berkepentingan, yakni pihak yang juga turut

berkewajiban untuk membayar, yakni penanggugn utang (borg) atau

orang yang turut berutang.

Universitas Sumatera Utara


• Pihak ketiga lainnya yang tidak berkepentingan asalkan bertindak atas

namanya sendiri dengan maksud melunasi utang debitur atau atas

namanya sendiri asalkan tidak menggantikan hak-hak kreditur. 26

Seperti halnya dengan orang yang berhak membayar suatu utang, dalam

hal orang yang berhak menerima pembayaran pun dapat terdiri atas beberapa

kemungkinan. Dalam pasal 1385 KUHPerdata mengatakan “Pembayaran

harus dilakukan kepada kreditur atau kepada orang yang dikuasakan olehnya,

atau juga kepada orang yang dikuasakan oleh Hakim atau oleh undang-

undang untuk menerima pembayaran bagi kreditur. Pembayaran yang

dilakukan kepada seseorang yang tidak mempunyai kuasa menerima bagi

kreditur, sah sejauh hal itu disetujui kreditur atau nyata-nyata bermanfaat

baginya”. Jadi, orang yang berhak menerima pembayaran adalah :

• Si kreditur sendiri;

• Orang yang dikuasakan oleh si kreditur;

• Orang yang dikuasakan oleh hakim; dan

• Orang yang ditunjuk oleh undang-undang.

Syarat sahnya suatu pembayaran diatur dalam pasal 1384 KUHPerdata

yang mengatakan “agar suatu pembayaran untuk melunasi suatu utang

berlaku sah, orang yang melakukannya haruslah pemilik mutlak barang yang

dibayarkan dan pula berkuasa untuk memindahtangankan barang itu.

Meskipun demikian, pembayaran sejumlah uang atau suatu barang lain yang

dapat dihabiskan, tak dapat diminta kembali dan seseorang yang dengan

itikad baik telah menghabiskan barang yang telah dibayarkan itu, sekalipun

26
Ibid, Hal 117

Universitas Sumatera Utara


pembayaran itu dilakukan oleh orang yang bukan pemiliknya atau orang yang

tak cakap memindahtangankan barang itu”. Menurut pasal ini sahnya

pembayaran harus memenuhi syarat berikut :

• Orang yang membayar adalah pemilik mutlak barang yang digunakan

untuk membayar.

• Orang yang membayar juga harus berkuasa memindahtangankan barang

yang digunakan untuk membayar tersebut.

Pembayaran yang dilakukan oleh debitur kepada krediturnya meskipun

telah ada suatu penyitaan atau perlawanan terhadap apa yang seharusnya

diterima oleh kreditur tersebut merupakan pembayaran yang tidak sah bagi

kreditur yang telah melakukan penyitaan atau perlawanan sehingga orang

yang telah melakukan penyitaan atau perlawanan tersebut berhak meminta

kembali pembayaran dari debitur. Sebagai konsekuensi dari pembayaran

debitur untuk kedua kalinya ini, si debitur berhak meminta kembali

pembayaran pertama yang telah dilakukan terhadap kreditur tersita atau

terlawan. Sebagai penjelasan dapat dikemukakan bahwa pada dasarnya

perjanjian di atas melibatkan tiga pihak, yaitu kreditur, debitur, dan pihak

berpiutang yang melakukan penyitaan dan perlawanan. Hal ini dikemukakan

dalam pasal 1388 KUHPerdata.

Pasal 1389 KUHPerdata mengatakan, “Tiada seorang kreditur pun

dapat dipaksa menerima sebagai pembayaran suatu barang lain dan barang

yang terutang; meskipun barang yang ditawarkan itu sama harganya dengan

barang yang terutang, bahkan lebuh tinggi”. Pasal ini menerangkan tentang

tidak bolehnya debitur membayar kepada kreditur dengan barang yang

Universitas Sumatera Utara


bedadaripada yang diperjanjikan, walaupun barang tersebut sama bahkan

lebih tinggi nilainya daripada barang yang diperjanjikan. Hal ini berarti,

bahwa debitur tidak boleh mengubah pembayaran dari barang yang satu

kepada barang yang lain apabila kreditur tidak menyetujui.

Pasal 1390 KUHPerdata bahwa. “ Seorang debitur tidak dapat memaksa

kreditur untuk menerima pembayaran utang dengan angsuran, meskipun

utang itu dapat dibagi-bagi”. Dalam hal ini, debitur tidak dapat memaksa

kreditur untuk menerima pembayaran dari debitur sebagian demi sebagian,

walaupun piutang tersebut sifatnya dapat dibagi-bagi. Sebagai contoh, kalau

debitur berutang tiga buah cincin, maka debitur harus membayar sekaligus

tiga buah cincin, tidak boleh membayar dua dulu kemudian yang satunya

belakangan, walaupun tiga cincin tersebut dapat dibagi-bagi. 27

Untuk perikatan sebelah pihak, yaitu perikatan untuk memberikan

sesuatu barang tertentu maka debitur bebas dari perikatan apabila ia

memberikan barangnya dalam keadaan sebagaimana barang itu kepada

kreditur pada waktu penyerahan (Pasal 1391 KUHPerdata). Ketentuan ini

adalah tanggungan kreditur. Pengecualiannya ialah bahwa kerusakan-

kerusakan yang terdapat pada benda yang diserahkan adalah atas tanggungan

debitur apabila kerusakan-kerusakan terjadi akibat kesalahan ataupun

kelalaian debitur. 28

Dalam hal pembayaran utang barang yang ditentukan jenisnya, jika

barang yang akan diserahkan oleh debitur kepada kreditur hanya ditentukan

jenisnya, debitur tidak diwajibkan untuk menyerahkan kualitas yang terbaik,


27
Ahmadi Miru, Kontrak dan Perancangan Kontrak, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011, hal.
127
28
Mariam Darus Badrulzaman dkk,Op.Cit., Hal 122

Universitas Sumatera Utara


namun sebaliknya juga tidak boleh menyerahkan kualitas yang paling jelek.

Misalnya, kalau dalam kontrak hanya dikatakan beras, maka tidak harus beras

yang paling baik, tapi juga tidak boleh beras yang paling jelek. 29

Pada asasnya pembayaran dilakukan ditempat yang diperjanjikan.

Apabila di dalam perjanjian tidak ditentukan tempat pembayaran maka

menurut pasal 1393 KUHPerdata pembayaran terjadi :

• Di tempat di mana barang tertentu berada sewaktu perjanjian dibuat,

apabila perjanjian itu adalah mengenai barang tertentu.

• Di tempat kediaman kreditur, apabila kreditur secara tetap bertempat

tinggal di kabupaten tertentu.

• Di tempat debitur, apabila kreditur tidak mempunyai kediaman yang

tetap.

Bahwa tempat pembayaran yang dimaksud oleh Pasal 1393

KUHPerdata adalah bagi perikatan untuk menyerahkan sesuatu benda dan

bukan bagi perikatan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu. Ke dalam ini

masuklan utang uang yang pembayarannya harus diantarkan ketempat

kreditur. Pembentuk undang-undang melindungi debitur dari ongkos-ongkos

yang tidak wajar yang mungkin timbul apabila pembayaran itu harus

dilakukan di tempat kediaman kreditur yang tidak tetap. Segala biaya yang

harus dikeluarkan untuk menyelenggarakan pembayaran ditanggung oleh

debitur (Pasal 1395 KUHPerdata). Jadi jika pembayaran dilakukan dengan

cara transfer antar rekening, yang membayar biaya transfer adalh debitur.

29
Ahmad Miru dan Sakka Pati, Hukum Perikatan Penjelasan Makna Pasal 1233 sampai 1456 BW,
Rajawali Pers, Jakarta, 2008, hal 118

Universitas Sumatera Utara


Pasal 1394 KUHPerdata terkait dengan masalah pembuktian 30, pada

pasal ini umumnya segala pembayaran yang bersifat periodik, atau berjangka

waktu pendek, maka dengan adanya 3 (tiga) surat tanda pembayaran yang

menyatakan pembayaran 3 (tiga) angsuran berturut-turut, maka pembentuk

undang-undang menyimpulkan debitur telah melunaskan seluruh pembayaran

yang sebelumnya. Apabila tidak benar demikian, maka beban pembuktian

adalah pada kreditur untuk membuktikan bahwa debitur belum melunaskan

angsuran-angsuran yang terlebih dahulu. 31

Dalam hal pembayaran ada pula yang dikenal dengan subrogasi, yang

mana menurut pasal 1400 KUHPerdata bahwa subrogasi atau penggantian

hak-hak kreditur oleh pihak ketiga, yang membayar kepada kreditur itu,

terjadi baik denga perjanjian maupun demi undang-undang. Tujuan pihak

ketiga melakukan pembayaran kepada kreditur adalah untuk menggantikan

kreditur lama, bukan membebaskan debitur daru kewajiban membayar.

Subrogasi pada dasarnya merupakan pembayaran pihak ketiga kepada

kreditur baik secara langsung maupun tidak langsung yaitu melalui debitur

yang meminjam uang kepada pihak ketiga. Jadi, disini debitur yang

mempunyai utang kepada kreditur meminjam uang kepada pihak ketiga untuk

membayar uangnya kepada kreditur.

Subrogasi terjadi karena perjanjian terjadi apabila sebagai berikut 32 :

• Kreditur yang menerima pembayaran dari pihak ketiga menetapkan

bahwa pihak ketiga tersebut akan menggantikan hak-haknya, gugatan-

gugatannya, hak-hak istimewanya dan hipotik-hipotik yang dimilikinya


30
Ibid, Hal 119
31
Mariam Darus Badrulzaman dkk,Op.Cit., Hal 124
32
Ahamadi Miru, Op Cit, Hal94

Universitas Sumatera Utara


terhadap debitur. Subrogasi ini harus dinyatakan dengan tegas dan tepat

pada saat pembayaran.

• Debitur meminjam uang dari pihak ketiga untuk membayar utangnya

kepada kreditur, dan menetapkan bahwa pihak ketiga ini akan

menggantikan hak-hak kreditur. Untuk sahnya subrogasi ini, baik

perjanjian pinjam uang dari pihak ketiga maupun pelunasanya kepada

kreditur harus dibuat dengan akta autentik, dan dalam akta peminjaman

uang dari pihak ketiga harus dijelaskan bahwa pinjaman tersebut untuk

membayar kreditur dan pada tanda pembayaran juga harus dijelaskan

bahwa pelunasan tersebut dilakukan dari uang yang dipinjamkan oleh

pihak ketiga (kreditur baru). Dengan demikian, subrogasi ini terjadi tanpa

bantuan kreditur.

Subrogasi yang terjadi karena undang-undang, terjadi apabila sebagai

berikut 33 :

• Seorang kreditur melunasi utang debitur pada kreditur lain yang

berdasarkan hak-hak istimewanya atau hipotik, mempunyai hak yang

lebih tinggi.

• Pembeli suatu benda tak bergerak yang telah memakai uang harga benda

tersebut untuk melunasi utang debitur kepada kreditur yang kepadanya

dihipotekkan (dipertanggungkan) benda tersebut.

• Untuk seorang debitur yang bersama-sama dengan debitur lain (dalam

utang tanggung menanggung) atau untuk orang lain (penanggung)

33
Ibid, Hal 95

Universitas Sumatera Utara


diwajibkan membayar suatu utang, berkepentingan untuk membayar

utang itu.

• Seorang ahli waris yang menerima warisan dengan bersyarat

(pencatatan), telah membayar utang warisan dengan uangnya sendiri.

Dalam hal terjadi subrogasi berdasarkan undang-undang sebagaimana

disebutkan diatas; baik yang terjadi pada penanggung maupun terhadap para

debitur, subrogasi tersebut tidak mengurangi hak kreditur untuk didahulukan

pembayaran sisa piutangnya jika ia hanya menerima sebagian daripada

pembayaran terhadap pihak (penanggung atau debitur lainnya) yang telah

melakukan pembayaran sebagaian tersebut.

b. Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan penitipan,

Apabila seorang kreditur menolak pembayaran yang dilakukan oleh

debitur, debitur dapat melakukan penawaran pembayaran tunai atas utangnya,

dan jika kreditur masih menolak, debitur dapat menitipkan uang atau

barangnya di pengadilan.

Penawaran pembayaran yang diikuti dengan penitipan uang atau barang

di pengadilan, membebaskan debitur dan berlaku baginya sebagai

pembayaran asal penawaran itu dilakukan berdasarkan undang-undang, dan

apa yang dititipkan itu merupakan atas tanggungan si kreditur. 34

Syarat sahnya penawaran pembayaran yang dilakukan oleh debitur

tersebit sah apabila memenuhi ketentuan pasa 1405 KUHPerdata, yakni : 35

1. Bahwa penawaran itu dilakukan kepada seorang kreditur atau kepada

seorang yang berkuasa menerimannya untuk dia;

34
Ibid, hal 96
35
Mariam Darus Badrulzaman dkk, Op Cit, hal 129

Universitas Sumatera Utara


2. Bahwa penawaran itu dilakukan oleh orang yang berkuasa untuk

membayar;

3. Bahwa penawaran tu mengenai seluruh uang pokok yang dapat dituntut

dan bunga yang dapat ditagih serta biaya yang telah ditetapkan, tanpa

mengurangi penetapan kemudian;

4. Bahwa ketetapan waktu telah tiba-tiba jika itu dibuat untuk kepentingan

kreditur;

5. Bahwa syarat yang menjadi beban utang telah terpenuhi;

6. Bahwa penawaran itu dilakukan di tempat yang menurut persetujuan

pembayaran harus dilakukan dan jika tiada suatu persetujuan khusus

mengenai itu, kepada kreditur pribadi atau di tempat tinggal yang

sebenarnya atau tempat tinggal yang dipilihnya;

7. Bahwa penawaran itu dilakukan oleh seorang Notaris atau jurusita

masing-masing disertai oleh dua orang saksi.

Penawaran pembayaran tunai belum membebaskan debitur dari

perikatannya. Suatu pembebasan hanyalah terjadi apabila penawaran

pembayaran tunai itu diikut dengan penitipan dari benda atau uang yang akan

diserahkan di Pengadilan Negeri.

Menurut pasal 1404 ayat (2) KUHPerdata, maka penawaran yang

diikuti oleh penyimpanan itu berkekuatan sebagai pembayaran dan karena itu

menghapuskan perikatan. Apa yang dititipkan tersebut adalah atas

tanggungan kreditur. Untuk sahnya penitipan tersebut diperlukan adanya

Universitas Sumatera Utara


penerimaan dari kreditur atau pun keputusan Hakim yang mengatakan sahnya

penawaran dan penitipan tersebut, telah mempunyai kekuatan mutlak. 36

Untuk sahnya suatu penyimpan atau penitipan, tidak harus barang yang

dititipkan tersebut betul-betul dikuasai oleh hakim, tetapi sudah cukup jika

sebagai berikut : 37

1. Bahwa sebelm penyimpanan itu, kepada kreditur disampaikan suatu

keterangan yang memuat penunjukan hari, jam dan tempat penyimpanan

barang yang ditawarkan;

2. Bahwa debitur telah melepaskan barang yang ditawarkan itu, dengan

menitipkannya pad akas penyimpanan atau penitipan di kepaniteraan

pada Pengadilan yang akan mengadilinya jika ada perselisihan beserta

bunga sampai pada saat penitipan;

3. Bahwa oleh Notaris atau jurusita, masing-masing disertai dua orang

saksi, dibuat berita acara yang menerangkan jenis mata uang yang

disampaikan, penolakan kreditur atau ketidaktenagaannya untuk

menerima uang itu dan akhirnya pelaksanaan penyimpanan itu sendiri;

4. Bahwa jika kreditur tidak datang untuk menerimannya, berita acara

tentang penitipan diberitahukan kepadanya, dengan peringatan untuk

mengambil apa yang dititipkan itu.

Dalam hal penawaran pembayaran tunai yang disertai penitipan ini

dilakukan berdasarkan undang-undang, maka biaya yang dikeluarkan untuk

itu ditanggung oleh kreditur.

36
Ibid, hal 130
37
Loc Cit

Universitas Sumatera Utara


Apabila uang atau barang yang dititipkan oleh debitur tersebut tidak

diambil oleh kreditur, debitur dapat mengambil kembali barang tersebut,

namun hal itu tidak membebaskan orang yang turut berutang dan penanggung

utang. Penitipan yang dilakukan oleh debitur yang tidak disangkali

keabsahannya, namum apa yang dititipkan tersebut tidak diambil kreditur

dalam jangka waktu satu tahun sejak diberitahukannya penitipan tersebut, hal

itu akan membebaskan orang yang turut berutang serta para penanggung

utang.

Jika apa yang dibayarkan berupa barang yang harus diserahkan di

tempat barang tersebut berada, dengan perantara pengadilan debitur

memperingatkan dengan suatu akta agar kreditur mengambil barang tersebut.

Peringatan itu disampaikan kepada kreditur pribadi atau di tempat tinggalnya

atau di tempat tinggal yang dipilih dalam perjanjian. Apabila peringatan

tersebut telah dilaksanakan, tetapi kreditur tetap tidak mengambilnya, debitur

dapat diizinkan oleh hakim untuk menitipkan barang tersebut di tempat lain.

c. Pembaruan utang,

Pembaruan utang atau novasi pada dasarnya merupakan penggantian

objek atau subjek kontrak lama dengan objek atau subjek kontrak yang baru.

Pasal 1413 KUHPerdata menyebutkan ada tiga macam jalan untuk

pembaruan utang : 38

1. Bila seorang debitur membuat suatu perikatan utang baru untuk

kepentingan kreditur yang menggantikan utang lama, yang dihapuskan

karenanya;

38
Ibid, hal 132

Universitas Sumatera Utara


2. Bila seorang debitur baru ditunjuk untuk menggantikan debitur lama,

yang oleh kreditur dibebaskan dari perikatannya;

3. Bila sebagai akibat suatu persetujuan baru seorang kreditur bary ditunjuk

untuk menggantikan kreditur lama, yang terhadapnya debitur dibebaskan

dari perikatannya.

Seperti halnya kontrak pada umumnya, maka pembaruan utang ini juga

hanya dapat dilaksanakan oleh orang-orang yang cakap menurut hukum untuk

melakukan kontrak, dan pembaruan ini harus tegas ternyata dari

perbuatannya, dan tidak boleh terjadi hanya dengan persangkaan.

Seperti halnya jika ada seorang debitur yang menunjuk seseorang yang

mengikatkan dirinya kepada kreditur tidak mengakibatkan suatu pembaruan

utang jika kreditur tidak secara tegas menyatakan bahwa ia membebaskan

debitur lama tersebut. Dengan demikian, kreditur tidak dapat lagi menuntut

kepada debitur lama seandainya debitur baru yang ditunjuknya jatuh pailit

atau tidak mampu membayar, kecuali jika hak menuntut tersebut ditegaskan

dalam kontrak atau debitur baru yang ditunjuk sebagai pengganti tersebut

nyata-nyata bangkrut atau telah berada dalam keadaan terus menerus merosot

kekayaannya.

Penunjukan yang hanya dilakukan oleh debitur kepada orang lain untuk

membayar utangnya maupun penunjukan yang hanya dilakukan oleh kreditur

untuk menerima pembayaran dari debitur tidak menimbulkan pembaruan

utang.

d. Perjumpaan utang atau kompensasi,

Universitas Sumatera Utara


Perjumpaan utang atau kompensasi ini terjadi jika antara dua pihak

saling berutang antara satu dan yang lain sehingga apabila utang tersebut

masing-masing diperhitungkan dan sama nilainya, kedua belah pihak akan

bebas dari utangnya. Perjumpaan utang ini terjadi secara hukum walaupun hal

itu tidak diketahui oleh si debitur.

Perjumpaan ini hanya dapat terjadi jika utang tersebut berupa uang atau

barang habis karena pemakaian yang sama jenisnya serta dapat ditetapkan

dan jatuh tempo. Walaupun telah disebutkan bahwa utang tersebut harus

sudah jatuh tempo untuk dapat dijumpakan, namun dalam hal terjadi

penundaan pembayaran, tetap saja dapat dilakukan perjumpaan utang. 39

Menurut pasal 1429 KUHPerdata perjumpaan terjadi tanpa

membedakan sumber piutang kedua belah pihak itu, kecuali : 40

1. Bila dituntut pemgembalian suatu barang yang secara berlawanan dengan

hukum dirampas dari pemiliknya;

2. Bila apa yang dituntut adalah pengembalian suatu barang yang dititipkan

atau dipinjamkan;

3. Terhadap suatu utang yang bersumber pada tunjangan nafkah yang telah

dinyatakan tak dapat disita.

Dalam hal sautu utang ditanggung oleh penanggung, sedangkan

penanggung sendiri berutang kepada kreditur , dia dapat mengompensasikan

utang tersebut dengan utang yang harus dibayar oleh kreditur kepada si

debitur utama (debitur yang ditanggung) namun sebaliknya, si debitur utama

tidak boleh mengompensasikan utangnya dengan piutang penanggung

39
Ahmadi Miru, Op Cit, hal 101
40
Mariam Darus Badrulzaman, Op Cit, hal 139

Universitas Sumatera Utara


terhadap kreditur. Demikian halnya dalam utang tanggung-menanggung,

seorang debitur tidak boleh mengompensasikan utangnya dengan piutang

debitur lainnya kepada kreditur.

Pada dasarnya semua utang yang memenuhi syarat untuk

dikompensasikan dapat dikompensasikan oleh para pihak, namun jika tempat

utang tersebut berbeda, hanya dapat diperjumpakan atau dikompensasikan

jika dilakukan penggantian biaya pengiriman.

Sementara itu, dalam hal ada beberapa utang yang dapat

dikompensasikan, maka harus didahulukan utang dapat ditagih. Kalau

semuanya dapat ditagih, utang yang seharusnya dibayar lebih dahulu. Namun,

jika dalam segala hal utang tersebut sama sifatnya, semua utang dapat

dikompensasikan secara berimbang.

Walaupun kompensasi ini dimungkina bagi kreditur dan debitur,

kompensasi itu tidak dapat dilakukan jika merugikan pihak ketiga, dalam arti

apabila harta salah satu pihak yang sedianya dipakai mengompensasikan

utangnya telah disita oleh pihak ketiga tersebut karena hal itu merugikan

pihak ketiga.

Seorang yang telah membayar suatu utang yang telah dihapuskan demi

hukum karena kompensasi, pada waktu menagih utang yang tidak

dikompensasi tidak lagi dapat menggunakan hak-hak istimewa serta hipotek

yang melekat pada piutang tersebut, jika hal itu merugikan pihak ketiga,

kecuali kalau ia tidak mengetahui kalau ia mempunyai piutang yang

seharusnya dikompensasikan dengan utangnya.

e. Percampuran utang,

Universitas Sumatera Utara


Apabila kedudukan kreditur dan debitur berkumpul pada satu orang,

utang tersebut hapus demi hukum. Dengan demikian, percampuran utang

tersebut juga dengan sendirinya menghapuskan tanggung jawab penanggung

utang. Namun sebaliknya, apabila pencampuran utang terjadi pada

penanggung utang, tidak dengan sendirinya menghapuskan utang pokok.

Demikian pula pencampuran utang terhadap salah seorang piutang tanggung

menanggung tersebut tidak dengan sendirinya menghapuskan utang kawan-

kawan berutangnya.

f. Pembebasan utang,

Undang-undang tidak memberikan definisi dari apa yang disebutkan

dengan pembebasan utang. Yang dimaksud dengan pembebasan utang ialah

perbuatan atau pernyataan kehendak dari kreditur untuk membebaskan

debitur dari perikatan dan pernyataan kehendak tersebut diterima oleh

debitur. Menurut pasal 1439 KUHPerdata, maka pembebasan utang itu tidak

boleh dipersangkakan, tetapi harus dibuktikan. Hanya saja pengembalian

utang sepucuk tanda piutang asli secara sukarela oleh kreditur. Maka, hal itu

sudah merupakan suatu bukti tentang pembebasan utangnya bahkan terhadap

orang lain yang turut berutang secara tanggung menanggung.

Dalam hal gadai pemgembalian barang yang digadaikan tidak cukup

dijadikan sebagai bukti pembebasan utang, oleh karena gadai bersifat

accessoir. Gadai baru hapus apabila perikatan pokoknya hapus. 41

Jika ada perjanjian membebaskan utang untuk kepentingan salah

seorang debitur secara tanggung menanggung, berarti membebaskan juga

41
Ibid, hal 144

Universitas Sumatera Utara


debitur lainnya, kecuali si kreditur secara tegas menyatakan ingin

mempertahankan piutangnya terhadap orang-orang berutang lainnya yang

tidak dibebaskan. Namun demikian, tagihan tersebut terlebih dahulu

dikurangi dengan bagian debitur yang telah dibebaskan.

Apabila utang debitur ditanggung oleh beberapa penanggung,

pembayaran salah seorang penanggung untuk melunasi bagian yang

ditanggungnya harus dianggap sebagai pembayaran utang si debitur dan juga

berlaku bagi penaggung utang lainnya.

g. Musnahnya barang yang terutang,

Apabila benda yang menjadi objek daru suatu perikatan musnah, tidak

dapat lagi diperdagangkan atau hilang, maka berarti telah terjadi suatu

keadaan memaksa atau force majeur, sehingga undang-undang perlu

mengadakan pengaturan tentang akibat-akibat dari perikatan tersebut. 42

Menurut pasal 1444 KUHPerdata, maka untuk perikatan sepijak dalam

keadaan yang demikian itu, hapuslah perikatannya asal barang itu musnah

atau hilang di luar salahnya debitur, dan sebelum ia lalai menyerahkannya.

Ketentuan ini berpokok pangkal pada pasal 1237 KUHPerdata

menyatakan bahwa dalam hal adanya perikatan untuk memberikan suatu

kebendaan tertentu kebendaan itu semenjak perikatan dilahirkan adalah atas

tanggugan kreditur. Kalau kreditur lalai akan menyerahkannya maka

semenjak kelalaian-kebendaan adalah tanggungan debitur.

Jika suatu barang tertentu hilang, musnah, atau tidak dapat

diperdagangkan bukan karena kesalahan debitur, sedangkan terhadap barang-

42
Ibid, hal 145

Universitas Sumatera Utara


barang tersebut terdapat hak tagih atau tuntutan ganti rugi dari debitur, hak

tagih atau tuntutan ganti rugi tersebut diserahkan kepada kreditur.

h. Kebatalan atau pembatalan,

Kebatalan atau batal demi hukum suatu kontrak terjadi jika perjanjian

tersebut tidak memenuhi syarat objektif dari syarat sahnya kontrak yaitu

“suatu hal tertentu” dan “sebab yang halal”. Jadi kalau kontrak itu objeknya

tidak jelas atau bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum atau

kesusilaan, kontrak tersebut batal demi hukum.

Pembatalan kontrak sangat terkait dengan pihak yang melakukan

kontrak, dalam arti apabila pihak yang melakukan kontrak tersebut tidak

cakap menurut hukum, baik itu karena belum cukup umur 21 tahun atau

karena di bawah pengampuan, kontrak tersebut dapat dimintakan pembatalan

oleh pihak yang tidak cakap tersebut apakah diwakili oleh wali atau

pengampunya atau setelah dia sudah berumur 21 tahun atau sudah tidak di

bawah pengampuan.

Di samping karena kebelumdewasaan atau karena di bawah

pengampuan, pihak yang melakukan perjanjian juga dapat meminta

pembatalan perjanjian atau kontraknya jika kontrak tersebut dibuat karena

adanya paksaan, kekhilafan/kesesatan atau penipuan. Hal ini berarti bahwa

pembatalan kontrak itu berakibat dipulihkannya keadaan sebagaimana

sebelum terjadinya kontrak.

Pembatalan perjanjian dan pengembalian kepada keadaan semula bagi

orang yang tidak cakap melakukan kontrak hanya dapat dilakukan selama

barang tersebut masih ada pada pihak lawan atau pihak lawan tersebut telah

Universitas Sumatera Utara


memperoleh manfaat daripadanya atau berguna bagi kepentingannya.

Pembatalan-pembatalan kontrak sebagaimana disebutkan di atas, dapat pula

disertai dengan tuntutan penggantian biaya rugi dan bunga jika ada alasan

untuk itu

Sebagaimana yang diatur dalam pasal 1454 KUHPerdata, waktu

pembatalan perjanjian dengan alasan-alasan sebagai mana telah disebutkan di

atas adalah lima tahun yang dihitung berdasarkan: 43

1. Dalam hal kebelumdewasaan, dihitung sejak hari atau tanggal

kedewasaan;

2. Dalam hal pengampuan, dihitung sejak pencabutan pengampuan;

3. Dalam hal paksaan, sejak paksaan itu berakhir;

4. Dalam hal kekhilafan, sejak diketahuinya kekhilafan tersebut;

5. Dalam hal penipuan, sejak diketahuinya penipuan itu;

6. Dalam hal perbuatan debitur yang merugikan kreditur (action pauliana),

sejak adanya kesadaran yang diperlukan untuk kebatalan itu ada.

Jangka waktu sebagaimana yang disebutkan di atas hanya berlaku

sebagai ulasan tuntutan pembatalan, tetapi dalam hal diajukan sebagai

pembelaan atau tangkisan tentang adanya pembatalan tidak dibatasi oleh

jangka waktu.

i. Berlakunya syarat batal,

Hapusnya perikatan yang diakibatkan oleh berlakunya syarat batal

terjadi jika kontrak yang dibuat oleh para pihak adalah kontrak dengan syarat

batal, dan apabila syarat itu terpenuhi, maka kontrak dengan sendirinya batal,

43
Ahmadi Miru, Op Cit, hal 108

Universitas Sumatera Utara


yang berarti mengakibatkan hapusnya kontrak tersebut. Hal ini berbeda dari

kontrak dengan syarat tangguh, karena apabila syarat terpenuhi pada kontrak

dengan syarat tangguh, maka kontraknya bukan batal melainkan tidak lahir. 44

j. Kadaluarsa atau lewat waktu,

Pada pasal 1946 KUHPerdata, lewat waktu ialah suatu sarana hukum

untuk memperoleh sesuatu atau suatu alasan untuk dibebaskna dari suatu

perikatan dengan lewatnya waktu tertentu dan dengan terpenuhinya syarat-

syarat yang ditentukan dalam undang-undang. Kadaluarsa atau lewat waktu

ini juga dapat mengakibatkan hapusnya kontrak antara para pihak.

44
Ibid, hal 109

Universitas Sumatera Utara


BAB III

TINJAUAN UMUM MENGENAI KUASA

A. Pengertian Kuasa

Hukum Romawi menganut suatu asas, bahwa akibat dari suatu perbuatan

hukum hanya berlaku bagi orang yang melakukan perbuatan hukum itu sendiri.

Hal ini berarti bahwa, seseorang yang melakukan perbuatan hukum hanya dapat

mengikat dirinya sendiri dengan segala akibat hukum dari perbuatanya itu.

Dengan demikian apabila seseorang menginginkan untuk memperoleh sesuatu

hak, maka ia sendiri yang harus melakukan perbuatan guna memperoleh hak itu

dan tidak dapat diwakilkan kepada orang lain.

Sejalan dengan perkembangan taraf kehidupan dan meningkatnya

kekebutuhan masyarakat, lambat laun hukum Romawi melepaskan prinsip dasar

tersebut dan bersamaan dengan itu di dalam masyarakat mulai dikenal lembaga

perwakilan, sehingga apabila seseorang karena sesuatu hal tidak dapat melakukan

sendiri perbuatan hukum guna memperoleh sesuatu hak, maka ia dapat

mengangkat orang lain untuk mewakilinya dalam melakukan perbuatan hukum

itu. 45

Kalaupun di atas dikatakan bahwa di dalam masyarakat mulai dikenal

lembaga perwakilan, namun menurut kenyataannya pada waktu itu yang

berkembang dalam lalu-lintas hukum adalah lembaga perwakilan tidak langsung

(middellijke tegenwoordiging) Pada perwakilan tidak langsung yang bertindak

sebagai subjek hukum dalam melakukan perbuatan yang bersangkutan adalah

45
G.H.S.L. Tobing, Lembaga Kuasa, Makalah yang disampaikan dalam kursus penyegaran
Notaris, Ikatan Notaris Indonesia, di Surabaya tanggal 29-31 Mei 1988, tanpa halaman.

Universitas Sumatera Utara


yang mewakili sendiri dan dengan demikian akibat hukum dari perbuatannya itu

hanya mengikat dirinya sendiri, oleh karena ia dalarn melukukan perbuatan

hukum itu tidak bertindak untuk dan atas nama pihak lain. Baru sesudah itu

dilakukan perbuatan hukum berikutnya, dimana ia memindahkan hak-hak yang

diperolehnya dari perbuatan hukum yang dilakukannya itu kepada orang yang

sesungguhnya berkepentingan pada perbuatan hukum itu. Dengan demikian dapat

dilihat dengan jelas, bahwa pada perwakilan tidak langsung unsur perwakilan

hanya menyangkut hubungan intern antara yang diwakili dan yang mewakili.

Juga dalam hukum Perancis pada mulanya hanya dikenal

lembagaperwakilan tidak langsung (middellijke vertegenwoordiging),

namundengan terjadinya perkembangan yang sangat pesat dalam

duniaperdagangan dan karena tuntutan lalu lintas hukum dalam berbagaibidang,

maka prinsip dasar yang dianut sebelumnya lambat laun semakinditinggalkan,

untuk kemudian di dalam masyarakat dan lalu lintas hukummulai berkembang

lembaga-lembaga perwakilan, baik berupa pemberiantugas disertai pemberian

wewenang (lastgeving), pernyataan pemberiankuasa (machtiging) maupun

“volmacht” yang semuanya itu diterjemahkandalam bahwa Indonesia dengan satu

perkataan, yakni “Kuasa”. 46

Pasal 1792 KUHPerdata memberikan batasan pemberian kuasaadalah

adalah suatu persetujuan, dengan mana seseorang memberikankekuasaan kepada

orang lain, yang menerimanya, untuk atas namanya,menyelesaikan suatu urusan. 47

46
Komar Andasasmita, Notaris II Contoh Akta Otentik dan Penjelasannya, Ikatan Notaris
Indonesia, 1990, hal. 469.
47
Djaja S. Meliala, Pemberian Kuasa Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Tarsito,
Bandung, 1982, Hal. 3

Universitas Sumatera Utara


Pengertian dari suatu persetujuan apabila didasarkan pada Pasal 1313

KIHPerdata merupakan perbuatan hukum dimana satu orang atau lebih

mengikatkan dirinya kepada satu orang lain atau lebih , dan Pasal 1338 ayat (1),

menjamin kebebasan kepada pihak-pihak untuk menentukan isi daripada

persetujuan itu.

Kemudian makna kata-kata "untuk atas namanya", berarti bahwayang diberi

kuasa bertindak untuk dan atas nama pemberi kuasa, sehingga segala sebab dan

akibat dari persetujuan ini menjadi tanggungjawab sepenuhnya dari pemberi kuasa

dalam batas-batas kuasa yangdiberikan.

Pada umumnya suatu pemberian kuasa merupakan perjanjian sepihak dalam

arti bahwa kewajiban untuk melaksanakan prestasi hanya terdapat pada satu pihak

saja, yaitu penerima kuasa. 48

Kuasa adalah pernyataan, dengan mana seseorang memberikan wewenang

kepada bahwa yang diberi kuasa itu berwenang untuk mengikat pemberi kuasa

secara langsung dengan pihak lain, sehingga dalam hal ini perbuatan hukum yang

dilakukan oleh penerima kuasa berlaku secara sah sebagai perbuatan hukum yang

dilakukan oleh pemberi kuasa sendiri. Dengan perkataan lain, penerima kuasa

dapat berwenang bertindak dan/atau berbuat seolah-olah ia adalah orang yang

memberikan kuasa itu. Pasal 1792 KUHPerdata memberikan batasan (definisi)

Mengenai “lastgeving”, dimana dikatakan, bahwa “lastgeving” adalah suatu

persetujuan, dengan mana seseorang memberikan kekuasaan (macth) kepada

orang lain yang menerimanya untuk atas namanya melakukan suatu urusan”.

Perkataan-perkataan “suatu urusan” (een zaak) pada umumnya diartikan sebagai

48
Herlien Budiono, Op.Cit, hal. 69.

Universitas Sumatera Utara


suatu perbuatan hukum, sedang perkataan-perkataan “atas namanya” mengandung

arti bahwa penerima kuasa bertindak mewakili pemberi kuasa. 49

Dari gambaran hubungan seperti yang dikemukakan di atas, maka dapat

dilihat bahwa yang diikat dengan penyelenggaraan/pelaksanaan urusan itu adalah

pemberi kuasa dan bukan si penerima kuasa. Dengan perkataan lain, akibat hukum

dari pemberian kekuasaan itu yang timbul dari penyelenggaraan urusan itu

menimpa diri pemberi kuasa.

B. Jenis dan Bentuk Pemberian Kuasa

Dalam Pasal 1795 KUHPerdata, dapat ditemukan 2 (dua) jenis surat kuasa :

1. Surat Kuasa Umum

2. Surat Kuasa Khusus

ad. 1. Surat Kuasa Umum

Suatu pemberian kuasa yang diberikan secara umum adalah meliputi

perbuatan-perbuatan pengurusan yang meliputi segala kepentingan pemberi kuasa,

kecuali perbuatan pemilikan.

Dengan pemberian kuasa yang dirumuskan dengan kata-kata umum

dimaksudkan untuk memberikan kewenangan kepada seseorang (yang diberi

kuasa) untuk dan bagi kepentingan pemberi kuasa melakukan perbuatan-

perbuatan dan tindakan-tindakan yang mengenai pengurusan, meliputi segala

macam kepentingan dari pemberi kuasa, tidak termasuk perbuatan-perbuatan atau

tindakan-tindakan yang mengenai pemilikan.

49
Komar Andasasmita, Ibid, hal. 472.

Universitas Sumatera Utara


Misalnya seseorang yang diberi kuasa (Kuasa Umum) untuk menjalankan

perusahaan orang lain, maka mengandung arti bahwa penerima kuasa itu

berwenang untuk dan bagi kepentingan pemberi kuasa, demi lancar jalannya

perusahaan itu, melakukan segala tindakan dan perbuatan yang mengenai

pengurusan, tetapi sekali-kali tidak berwenang/berhak untuk menjual atau

memindahtangankan perusahaan itu.

Dalam hubungannya dengan ketentuan dalam Pasal 1795, dikaitkan dengan Pasal

1796 KUHPerdata, perlu kiranya mendapat perhatian, bahwa perkataan “umum”

dalam Pasal 1795 tidak mempunyai arti yang sama dengan perkataan “umum”

dalam Pasal 1796 KUHPerdata. Perkataan “umum” dalam Pasal 1795 mempunyai

kaitan dengan luas cakupan dari wewenang penerima kuasa, yakni meliputi segala

kepentingan dari pemberi kuasa, sedang perkataan “umum” dalam Pasal1796

tekannya adalah pada perkataan-perkataan yang dipergunakan dalam menguraikan

kewenangan yang diberikan itu, yakni yang dirumuskan dengan kata-kata umum

atau dengan perkataan lain, dengan kata-kata yang tidak tegas, yang dapat

memberikan penafsiran yang berbeda-beda.

Walaupun perkataan “umum” dalam Pasal 1793 KUHPerdata mengandung

arti meliputi segala kepentingan pemberi kuasa, namun masih ada pembatasan,

yakni kewenangan itu tidak meliputi hal-hal yang bersifat sangat pribadi (hoogat

persoonlijk), seperti misalnya pembuatan surat wasiat.

ad. 2. Surat Kuasa Khusus

Hanya mengenai satu kepentingan tertentu atau lebih; Karena itu diperlukan

suatu pemberian kuasa yang menyebutkan dengan tegas perbuatan mana yang

dapat dilakukan oleh penerima kuasa, misal : Untuk mengalihkan hak barang

Universitas Sumatera Utara


bergerak/tidak bergerak, meletakkan Hipotek, melakukan suatu perdamaian, atau

sesuatu perbuatan lain yang hanya dapat dilakukan oleh seorang pemilik. Kuasa

untuk menyelesaikan/membela suatu perkara dimuka Pengadilan, menurut Pasal

123 H.I.R, diperlukan suatu surat kuasa khusus secara tertulis. 50

Sebagaimana telah dikemukakan di atas, kuasa khusus hanya

menyangkut/mengenai satu atau lebih kepentingan tertentu. Di dalam pemberian

suatu kuasa khusus harus disebutkan secara tegas tindakan atau perbuatan apa

yang boleh dan dapat dilakukan oleh yang diberi kuasa, misalnya untuk menjual

sebidang tanah atau kuasa untuk memasang hipotek. Sudah barang tentu dapat

juga ditambah denganuraian mengenai perbuatan-perbuatan hukum yang

merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perbuatan hukum yang dikuasakan

untuk dilakukan itu, misalnya dalam hal penjualan tanah, untuk menerima uang

penjualannya dan memberikan tanda penerimaan untuk itu serta menyerahkan

tanah itu kepada pembelinya. Perbuatan-perbuatan hukum sedemikian merupakan

bagian dari perbuatan hukum yang pokok, sehingga tidak mengurangi kekhususan

dari kuasa yang diberikan itu. Hal ini adalah logis oleh karena seandainya

pemiliknya sendiri yang secara nyata melakukan penjualan itu, perbuatan-

perbuatan yang diuraikan di atas juga harus dilakukannya.

Dalam beberapa hal tertentu undang-undang mengharuskan suatu kuasa

khusus Pasal 123 HIR menetapkan persyaratan, bahwa kuasa untuk membela

suatu perkara di muka Pengadilan harus bersifat khusus dan tertulis. Syarat khusus

ini terutama dititikberatkan pada penyebutan nama dari pihak lawan dan/atau

masalah yang hendak dibela. Pasal 147 Rechtsregl Buitongew, menetapkan

50
Djaja. S. Meliala, Op.Cit., hal. 4

Universitas Sumatera Utara


persyaratan yang lebih luas, yakni bahwa kuasa itu harus berupa kuasa yang

dibuat dihadapan Notaris atau dengan akta yang dibuat oleh Panitera Pengadilan

Negeri yang bersangkutan atau dengan akta yang dibuat di bawah tangan yang

“dilegalisir” menurut ketentuan dalam Ord. Stbl. 1916 – 46 jo. 43. Diadakannya

syarat-syarat tersebut tidak lain dimaksudkan untuk menjamin keabsahan dan

kebenaran serta kepastian hukum tentang adanya pemberian kuasa itu. 51

Di samping itu juga terdapat berbagai pasal dalam KUHPerdata yang berkaitan

dengan kuasa, baik berupa kuasa umum maupun kuasa khusus, misalnya Pasal

334 KUHPerdata tentang kuasa untuk mewakili seseorang yang masih di bawah

umur oleh salah seorang anggota keluarganya Pasal 1683 KUHPerdata tentang

kuasa untuk menyatakan menerima suatu hibah, dengan persyaratan harus dengan

akta otentik, Pasal 1925 KUHPerdata tentang kuasa untuk memberikan pengakuan

di muka pengadilan dan Pasal 1934 KUHPerdata tentang kuasa untuk melakukan

sumpah, demikian juga kuasa dalam melaksanakan perkawinan.

Bentuk pemberian kuasa dalam Pasal 1793 KUHPerdata, ditentukan sebagai

berikut :

1. Akta otentik

2. Akta di bawah tangan

3. Surat biasa

4. Secara lisan

5. diam-diam. 52

Dalam hal tertentu, pihak-pihak dalam "pemberian kuasa", terikat pada

syarat-syarat formil, dalam hal :

51
Komar Andasasmita, Op.Cit, hal. 477.
52
Guse Prayudi, Seluk Beluk Perjanjian, Pustaka Pena, Yogyakarta 2007, hal.52

Universitas Sumatera Utara


1. Surat kuasa yang harus otentik :

a. Kuasa perkawinan (Pasal 79 KUHPerdata), Tetapi setelah berlakunya

Undang-undang Perkawinan, UU No. 1/1974, tidak diatur secara tegas,

karena itu dalam praktek masih sering kita jumpai surat kuasa tersebut

dibuat secara notariil.

b. Kuasa menghibahkan (Pasal 1682 KUHPerdata), Sepanjang mengenai

tanah, dengan berlakunya UUPA memang sudah dicabut, tetapi dalam

hal-hal lain belum dicabut.

c. Kuasa melakukan Hypotek (Pasal 1171 KUHPerdata).

2. Surat kuasa yang ditanda tangani dengan cap jempol, tanda tangan tersebut

harus dilegalisir oleh pejabat yang berwenang, karena cap jempol tanpa

legalisir dari pejabat yang berwenang, bukan merupakan tanda tangan. Yang

berhak memberi legalisir, ialah : Camat, Bupati, Walikota dan Notaris.

3. Pemberi kuasa diluar negri, harus dilegalisir oleh Kedutaan Besar kita diluar

negri. Jika dinegri tersebut tidak ada Perwakilan/Kedutaan Besar kita, maka

dilegalisir oleh pejabat yang berwenang disana, kemudian ke Departemen

Kehakiman dan ke Departemen Luar Negri Negara yang bersangkutan.

(Putusan Mahkamah Agung, tgl. 14 April 1973 No.208 k/Sip/1973).

4. Kuasa dengan lisan, diam-diam, dan melalui surat biasa, harus dinyatakan

dengan tegas dimuka Pengadilan, jika diberikan kepada seorang Pengacara

untuk sesuatu keperluan dimuka persidangan. 53

53
Djaja. S. Meliala, Op. Cit, hal 5-6

Universitas Sumatera Utara


C. Bentuk Akta Kuasa

Pada umumnya pemberian kuasa tidak terikat pada persyaratan bentuk,

kecuali telah ditentukan secara tegas dalam undang-undang, misanya akta kuasa

memasang hipotik harus dibuat dalam bentuk akta otentik (notaril). Jadi secara

formil bentuk akta kuasa dalam praktek Notaris dapat berbentuk akta otentik

(notaril), dan akta bawah tangan.

Akta kuasa ditinjau dari segi substansinya (materil) dalam praktek Notaris

ada tiga bentuk, yakni:

1) Akta kuasa yang berdiri sendiri

Akta kuasa yang berdiri sendiri maksudnya kuasa yang tidak bersandar

pada perjanjian lain, kuasa blanko (blanco volmacht) tidak dipergunakan

disini agar tidak disalahgunakan orang lain, misalnya kuasa menjual tanah.

2) Akta kuasa yang diikuti dengan suatu perjanjian

Akta kuasa yang diikuti dengan suatu perjanjian artinya perjanjian itu

lahir berdasarkan akta kuasa tersebut. Misalnya surat kuasa menjual dari

seorang pemberi kuasa kepada penerima kuasa, kemudian diikuti perjanjian

tentang syarat-syarat menjual.

3) Akta perjanjian yang diikuti dengan kuasa.

Akta perjanjian yang diikuti dengan akta kuasa lazimnya pada

perjanjian yang telah selesai dilaksanakan. Misalnya akta perikatan jual-beli

pada tanah-tanah yang telah bersertifikat tetapi karena belum dipenuhi syarat-

syarat tertentu, sehingga akta jual-beli belum dapat dilaksanakan dihadapan

Pejabat Pembuat Akta Tanah yang berwenang, antara lain pembeli belum

Universitas Sumatera Utara


membayar BPHTB (Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan) yang

besarnya 5% dari nilain perolehan objek pajak kena pajak 54

Pelunasan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan dari Nilai

Perolehan Objek Pajak sebesar 5% tersebut dikurangi Nilai Perolehan Objek

Pajak Tidak Kena Pajak yang berlaku saat ini sebesar Rp. 30.000.000,- (tiga

puluh juta rupiah). 55

Sementara itu bagi penjual dibebani Pajak Penghasilan sebesar 5% dari

Nilai Jual Objek Pajak yang dilihat dari SPPT-PBB (Surat Pemberitahuan

Pajak Terutang-Pajak Bumi dan Bangunan) pada tahun dilaksanakannya jual-

beli tersebut untuk nilai transaksi jual-beli sebesar Rp. 60.000.000,- (enam

puluh juta rupiah) keatas. 56

Perikatan jual-beli ini diserta dengan pemberian kuasa kosong (blanco

volamacht) atau surat kuasa tersendiri, yang biasanya diisi oleh nama pegawai

Notaris mewakili pihak penjual atau pemberi kuasa agar dapat dipergunakan

pembeli atau penerima kuasa untuk melakukan segala hal, baik pengurusan (daad

van beheren) ataupun pembuatan kepemilikan (daad van beschikking) terhadap

objek jual-beli tersebut.

Jika pemberi atau penerima kuasa tidak memenuhi kewajibannya maka

berlaku ketentuan pasal 1266 dan pasal 1267 KUHPerdata yang menyatakan

bahwa persetujuan tidak batal demi hukum tetapi pembatalan harus dimintakan

kepada hakim, dan pihak yang dirugikan dapat memilih untuk memaksa pihak lain

untuk memenuhi perjanjian atau menuntut perjanjian disertai penggantian biaya

dan bunga.
54
Madiasmo, Perpajakan, edisi revisi,Penerbit Andi, Yogyakarta, 2001, hal 271
55
Ibid, hal 274
56
Chairani Bustami, Contoh-contoh Akta Notaris, Pustaka Bangsa, Medan, 2008, hal 42

Universitas Sumatera Utara


Berbagai jenis surat kuasa antara lain adalah : 57

Kuasa umum, Surat kuasa untuk memasang hipotik pertama; Surat kuasa untuk

melakukan penghapusan hipotik atas tanah yang dibeli melalui Kantor Lelang

Negara; Surat kuasa direksi; Surat kuasa mengurus perusahaan; Surat kuasa untuk

mencarikan pekerjaan borongan dan kemudian mengerjakannya; Surat kuasa

untuk menjual; Surat kuasa untuk mengagunkan rumah di atas tanah yang

langsung dikuasai Negara; Surat kuasa mengenai harta peniggalan; Surat kuasa

untuk menghadiri rapat umum luar biasa pemegang saham perseroan terbata;

Surat kuasa unutk menggadaikan saham-saham perseroan terbatas; Surat kuasa

keuangan; Surat kuasa dari para ahli waris kepada seorang untuk menerima uang

deposito atas nama pewaris; Surat kuasa untuk melakukan pemisahan dan

pembagian; dan Pemindahan kuasa atau kuasa subsitusi.

D. Hak dan Kewajiban Para Pihak

Para pihak dalam surat kuasa menurut KUHPerdata yaitu pemberi kuasa dan

penerima kuasa. Masing-masing pihak dalam surat kuasa tersebut memiliki hak

dan kewajiban untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu sesuai yang tertera

di setiap pasal dalam surat kuasa tersebut.

1. Hak pemberi kuasa :

a) Pemberi kuasa dapat menggugat secara langsung orang yang dengannya

penerima kuasa telah melakukan perbuatan hukum dalam kedudukannya

dan dapat mengajukan tuntutan kepadanya untuk memenuhi persetujuan

yan telah dibuat.

57
M.U. Sembiring, Contoh-contoh Akta Notaris dalam Praktek Sehari-hari, jilid kedua, Program
Pendidikan Spesialis Notariat Fakultas Hukum Universitas Sumater Utara, Medan, 1991, hal i

Universitas Sumatera Utara


b) Pemberi kuasa berhak menerima laporan dari penerima kuasa tentang apa

yang telah dilakukan serta memberi serta memberi perhitungan tentang

segala sesuatu yang diterimannya berdasarkan kuasa dari pemberi kuasa,

sekalipun apa yang diterima itu tidak harus dibayar kepada pemberi

kuasa.

c) Pemberi kuasa berhak menagih dan menerima bunga atau uang pokok

dari penerima kuasa untuk keperluan penerima kuasa sendiri terhitung

saat penerima kuasa mulai memakai uang itu, begitu pula bunga atas

uang yang harus diserahkannya pada penutupan perhitungan terhitung

dari saat ia dinyatakan lalai melakukan kuasa.

2. Kewajiban pemberi kuasa :

a) Pemberi kuasa wajib memenuhi perikatan-perikatan yang dibuat oleh

penerima kuasa menurut kekuasaan yang telag ia berikannya kepadanya.

Ia tidak terikat pada apa yang telah dilakukan di luar kekuasaan itu

kecuali jika ia telah menyetujui hal itu secara tegas atau diam-diam.

b) Pemberi kuasa wajib mengembalikan persekot dan biaya yang telah

dikeluarkan oleh penerima kuasa untuk melaksanakan kuasanya, begitu

pula membayar upahnya bila tentang hal ini telah diadakan perjanjian.

Jika penerima kuasa tidak melakukan suatu kelalaian, maka pemberi

kuasa tidak dapat menghindarkan diri dari kewajiban mengembalikan

persekot dan biaya serta membayar upah tersebut di atas, sekalipun

penerima kuasa tidak berhasil dalam urusannyaitu.

Universitas Sumatera Utara


c) Pemberi kuasa harus memberikan ganti rugi kepada penerima kuasa atas

kerugian-kerugian yang dideritannya sewaktu menjalankan kuasanya asal

dalam hal itu penerima kuasa tidak bertindak kurang hati-hati.

d) Penerima kuasa hari membayar bunga atas persekot yang telah

dikeluarkan oleh penerima kuasa, terhitung mulai hari dikeluarkannya

persekot itu.

3. Hak penerima kuasa

a) Penerima kuasa berhak menerima persekot dan biaya yang telah

dikeluarkan olehnya untuk melaksanakan kuasanya.

b) Penerima kuasa berhak mendapat upah dari pemberi kuasa bila hal

tersebut telah diadakan perjanjian.

c) Penerima kuasa berhak mendapatkan ganti rugi dari pemberi kuasa atas

kerugian-kerugian yang dideritanya sewaktu menjalankan kuasanya asal

dalam hal penerima kuasa tidak bertindak kurang hati-hati.

d) Penerima kuasa berhak untuk menahan kepunyaan pemberi kuasa yang

berada di tangannya hingga kepadanya dibayar lunas segala sesuatu yang

dapat dituntutnya akibat pemberian kuasa.

4. Kewajiban penerima kuasa

a) Penerima kuasa, selama kuasanya belum dicabut, wajib melaksanakan

kuasanya dan bertanggung jawab atas segala biaya, kerugian dan bunga

yang timbul karena tidak dilaksanakannya kuasa itu.

b) Penerima kuasa wajib menyelesaikan urusan yang telah mulai

dikerjakannya pada waktu pemberi kuasa meninggal dan dapat

menimbulkan kerugian jika tidak segera diselesaikannya.

Universitas Sumatera Utara


c) Penerima kuasa tidak hanya bertanggung jawab atas perbuatan-perbuatan

yang dilakukan dengan sengaja melainkan juga atas kelalaian-kelalaian

yang dilakukan dalam menjalankan kuasanya. Akan tetapi tanggung

jawab atas kelalaian-kelalaian orang yang dengan cuma-cuma menerima

kuasa, tidaklah seberat tanggung jawab uang diminta dari orang yang

menerima kuasa dengan mendapatkan upah.

d) Penerima kuasa wajib memberi laporan kepada kuasa tentang apa yang

telah dilakukan serta memberikan perhitungan tentang segala sesuatu

yang diterimanya berdasarkan kuasanya, sekalipun apa yang diterima itu

tidak harus dibayar kepada pemberi kuasa.

e) Penerima kuasa harus membayar bunga atau uang pokok yang

dipakainya untuk keperluannya sendiri terhitung dari saat ia mulai

memakai uang itu, begitu pula bunga atas uang yang herus diserahkannya

pada penutupan perhitungan terhitung dari saat ia dinyatakan lalai

melakukan kuasa.

f) Penerima kuasa bertanggung jawab atas orang lain yang ditunjuknya

sebagau penggantinya dalam melaksanakan kuasanya.

g) Penerima kuasa yang telah memberitahkukan secara sah hal kuasanya

kepada orang yang dengannya ia mengadakan suatu persetujuan dalam

kedudukan sebagai penerima kuasa, tidak bertanggung jawab atas apa

yang terjadi di luar batas kuasa itu, kecuali jika ia secara pribadi

mengikatkan diri untuk itu.

Universitas Sumatera Utara


E. Berakhirnya Kuasa

Menurut pasal 1813 KUHPerdata menyatakan bahwa pemberian kuasa

dapat berakhir disebabkan oleh 58 :

1. Dengan penarikan kembali kuasa penerima kuasa;

2. Dengan pemberitahuan penghentian kuasanya oleh penerima kuasa;

3. Dengan meniggalnya, pengampuan atau pailitnya, baik pemberi kuasa

maupun penerima kuasa

4. Dengan kawinnya perempuan yang memberikan atau menerima kuasa.

Pemberi kuasa dapat menarik kembali kuasanya jika ada alasan untuk itu,

dengan masa pemberitahuan yang cukup kepada penerima kuasa, bahkan

penerima kuasa dapat dipaksa melalui Pengadilan untuk menyerahkan kembali

kuasa.

Penarikan kembali yang hanya diberitahukan kepada si kuasa, tidak dapat

diajukan terhadap orang-orang pihak ketiga yang karena mereka tidak mengetahui

tentang penarikan kembali itu, telah mengadakan suatu perjanjian dengan si

kuasa; ini tidak mengurangi tuntutan si pemberi kuasa kepada si kuasa. Dalam

praktek penarikan kembali itu diumumkan dalam beberapa surat kabar dan

diberitahukan dengan surat kepada para pihak atau relasi yang berkepentingan.

Bahwa si pemberi kuasa dapat menuntut penerima kuasa yang melakukan

tindakan-tindakan tanpa dasar hukum adalah sudah semestinya. 59

Penarikan kuasa dianggap telah terjadi dengan pengangkatan penerima

kuasa baru oleh pemberi kuasa.

58
R. Subekti, Aneka Perjanjian, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995, hal 152
59
R. Subekti, Op Cit, hal 151

Universitas Sumatera Utara


Beberapa putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia mengenai

penarikan kuasa ini antara lain :

a) Selama surat kuasa belum dicabut oleh pemberi kuasa, maka kedua belah

pihak terikat pada perjanjian pemberian kuasa tersebut. (Putusan MA RI

tanggal 3 November 1971 nomor 529K/Sip/1971) 60

b) Surat kuasa yang tidak dapat dicabut, masih dapat dicabut, karena hak dari

pemberi kuasa, dan ternyata penerima kuasa telah melakukan penyimpangan

dan pelanggaran terhadap surat kuasa tersebut. (Putusan MA RI tanggal 14

Oktober 1975 nomor 1060/Sip/1974) 61

Pemberitahuan penghentian kuasa oleh penerima kuasa kepada pemberi

kuasa haruslah dengan waktu yang cukup, dan dengan menggantikan kerugian

jika pemberian kuasa tersebut menimbulkan kerugian pada pemberi kuasa.

Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia mengenai hal ini

menyatakan suatu surat kuasa khusu di mana penerima kuasa semula telah

memberi kuasa kepada pemberi kuasa semula guna menyelesaikan sendiri

masalah yang merupakan objek pemberian kuasa semula, merupakan pembebasan

diri dari kewajiban dari perjanjian pemberian kuasa semula antara kedua belah

pihak, karena perbuatan tersebut telah memutuskan perjanjian penguasaan itu

seperti tersimpul dalam pasal 1817 dan 1813 KUHPerdata. (Putusan MA RI

tanggal 18 juli 1973 nomor 147/K/Sip/1973). 62

Jika pemegang kuasa tidak tahu tentang meninggalnya pemberi kuasa atau

tentang suatu sebab lain yang menyebabkan berakhirnya kuasa itu, maka

60
Komar Andasasminta, Op Cit, hal 467
61
A. Kohar, Lembaga Kuasa merupakan bagian dalam kehidupan bermasyarakat, Edisi
perkenalan Ikatan Notaris Indonesia Komisariat Jawa Timur, Media Notariat, Surabaya, 1986, hal
17
62
Komar Andasasmita, Op Cit, Hal 468

Universitas Sumatera Utara


perbuatan yang dilakukan dalam keadaan tidak tahu itu adalah sah. Dalam hal

demikian, segala perikatan yang dilakukan oleh penerima kuasa dengan pihak

ketiga yang beritikad baik, harus dipenuhi terhadapnya. Apabila ada orang pihak

ketiga yang beritikad buruk, yaitu sudah mengetahui adanya hal-hal yang

menyebabkan berakhirnya pemberian kuasa (misalnya sudah mengetahui tentang

sudah meninggalnya pemberi kuasa), maka itu merupakan suatu hal yang (dalam

suatu proses dimuka Hakim) harus dibuktikan oleh para ahli warisnya si pemberi

kuasa. 63

Sebaliknya apabila penerima kuasa yang meninggal dunia, maka ahli

warisnya harus memberitahukan hal itu kepada pemberi kuasa, dan mengambil

tindakan yang perlu untuk mengamankan kepentingan pemberi kuasa dengan

ancaman mengganti biaya, kerugian dan bunga jika ada alasan untuk itu.

Mengenai berakhirnya kuasa berdasarkan perkawinan dengan perempuan

pemberi kuasa atau penerima kuasa, saat ini seorang perempuan yang bersuami

sepenuhnya cakap menurut hukum, ketentuan tersebut diatas dengan sendirinya

tidak berlaku lagi.

Sehubungan dengan pasal 1813 KUHPerdata ini, Mahkamah Agung

Republik Indonesia melalui putusannya tanggal 16 Desember 1976 nomor

731K/Sip/1975 telah menyatakan pasal 1813 KUHPerdata tidak bersifat limitatif

dan tidak mengikat, jika sifat perjanjian memang menghendaki maka dapat

ditentukan bahwa pemberian kuasa tidak dapat dicabut kembali. Ini dimungkinkan

63
R. Subekti, Op Cit, Hal 152

Universitas Sumatera Utara


karena pada umumnya pasal-pasal dari hukum perjanjian bersifat hukum yang

mengatur. 64

Hukum yang mengatur (regelend recht) artinya para pihak dapat

menetapkan kuasa itu tidak dapat dicabut kembali dan dengan demikian maka

pembatalan secara sepihak tidak berlaku 65

64
A. Kohar, Op Cit, hal 16
65
Komar Andasasmita, Op Cit, hal 474

Universitas Sumatera Utara


BAB IV

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENGGUNAAN SURAT KUASA

MENJUAL DALAM PERJANJIAN JUAL BELI TANAH DAN

BANGUNAN

A. Alasan Penggunaan Surat Kuasa Menjual

Dalam hal perjanjian jual beli dimana penjual atau pembeli bertindak

melalui kuasa, maka suratkuasa khusus untuk menjual harus ada. Kuasa umum,

yang biasanya hanyauntuk tindakan pengurusan tidak berlaku untuk menjual.

Kuasa itu harustegas untuk menjual tanah yang dijual itu. Bentuk kuasa harus

tertulis, kuasalisan sama sekali tidak dapat dijadikan dasar bagi jual-beli tanah.

Kuasatertulis itu pun minimal dilegalisasi (oleh Camat atau

Notaris/PaniteraPengadilan Negeri/Perwakilan Negara di luar negeri). Surat kuasa

yang dibuat oleh notaris lebih baik. 66

Peraturan yang mengatur secara khusus mengenai kuasa untuk menjual

belum ada, sehingga tidak ditemukan pengertian dari kuasa untuk menjual.

Menurut kamus umum bahasa Indonesia, kuasa dapat diartikan sebagai :

a. Kemampuan atau kesanggupan untuk berbuat sesuatu.

b. Kewenangan atas sesuatu atau untuk menentukan, memerintah, mewakili, dan

mengurus sesuatu.

c. Orang yang diberi kewenangan untuk mengurus atau mewakili.

d. Mampu, sanggup, kuat. 67

66
Effendi Perangin. Hukum Agraria di Indonesia, Suatu Telaah dari Sudut Pandang Praktisi
Hukum., Jakarta: Rajawali Pers, 1991, hal. 14.
67
W.J.S. Poerwadarminta. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Cetakan ke-10. (Jakarta: Balai
Pustaka), 1987.

Universitas Sumatera Utara


Sedangkan arti kata menjual adalah memberikan sesuatu denganmendapat ganti

rugi. 68 Dari pengertian-pengertian tersebut, maka penulis merumuskan pengertian

kuasa untuk menjual sebagai kewenangan yang diberikan pemberi kuasa kepada

penerima kuasa untuk melakukan suatu perbuatan, yaitu memberikan sesuatu

dengan mendapat ganti uang atas nama si pemberi kuasa.

Pada prinsipnya sebenarnya kuasa untuk menjual diberikan oleh karena

pihak penjual (pemilik tanah) tidak dapat hadir sendiri pada saat pembuatan akta

jual beli karena alasan-alasan tertentu. Namun dalam bab ini penulis membagi

alasan-asalan penggunaan kuasa menjual kedalam dua bagian yaitu :

1. Alasan-alasan pemberian kuasa menjual yang berdiri sendiri (murni) adalah

sebagai berikut:

a. Pelaksanaan penjualan terjadi di luar kota atau ia tidak dapat

meninggalkan pekerjaannya atau dapat juga dikarenakan oleh masalah

kesehatan, misalnya karena kondisi fisik yang lemah yang tidak

memungkinkan ia untuk hadir;

b. Pihak Pembeli telah membayar lunas seluruh harga jual beli akan tetapi

jual beli tersebut belum mungkin untuk dilaksanakan;

c. Penjual (pemberi kuasa) merupakan ahli waris lebih dari satu orang dan

tidak berada pada tempat dimana tanah yang menjadi objek jual beli

berada;

d. Tanah yang bersangkutan akan dijual kembali kepada pihak lain. Hal ini

biasanya dibuat oleh mereka yang bergerak dalam bidang jual beli tanah

atau oleh para Makelar Tanah untuk menghindari pembayaran pajak;

68
Ibid., hlm. 423

Universitas Sumatera Utara


e. Pemberi kuasa mempunyai hutang-puitang dengan penerima kuasa.

Namun diantara alasan-alasan tersebut, alasan karena seseorang

beradadibawah umur atau berada dibawah pengampuan tidak dapat dijadikan

dasaruntuk menggunakan surat kuasa jual. Untuk alasan-alasan tersebut

(dibawahumur dan dibawah pengampuan), diperlukan adanya penetapan dari

PengadilanNegeri diwilayah mana jual beli akan dilakukan.

2. Alasan-alasan timbulnya pemberian kuasa menjual tanah yang tidak berdiri

sendiri (accessoir)

Pemberian kuasa menjual tanah yang tidak berdiri sendiri merupakan

bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian pokoknya. Perjanjian pokok

yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah perjanjian kredit, perikatan jual-

beli, perjanjian bangun-bagi, serta pemisahan dan pembahagian. Kuasa

menjual tanah yang mengikuti perjanjian pokok tersebut di atas memiliki

alasan yang berbeda dengan pemberian kuasa tanah yang berdiri sendiri

(murni). Alasan-alasan timbulnya pemberian kuasa menjual tanah yang tidak

berdiri sendiri berdasarkan perjanjian pokoknya tersebut adalah :

a. Pernjanjian Kredit sebagai perjanjian pokok : Pemberi kuasa berhutang

kepada Bank/Penerima kuasa;

b. Perikatan Jual-Beli sebagai perjanjian pokok : Pemberi kuasa/Penjual

memberi kuasa mutlak kepada Penerima kuasa/Pembeli untuk

melaksanakan kepentingan pembelu yang tertinggal dan seharusnya

sudah menjadi haknya;

c. Perjanjian Bangun-Bagi sebagai perjanjian pokok : Pemberi

kuasa/Pemilik tanah memberi kuasa menjual tanah/bangunan kepada

Universitas Sumatera Utara


Penerima kuasa/Pemborong yang merupakan bagian yang telah

ditentukan untuknya;

d. Pemisahan dan Pembahagian sebagi perjanjian pokok : Para pemberi

kuasa memberi kuasa kepada penerima kuasa untuk menjual tanah milik

bersama sehingga masing-masing yang berhak mendapatkan bagian yang

menjadi haknya.

Pemberian kuasa menjual tanah yang mengikuti perjanjian kredit

sebagai perjanjian pokok yakni kuasa ini ditujukan untuk tanah-tanah yang

belum berseritifikat, sedangkan tanah yang sudah bersetifikat diikat oleh akta

pengikatan hak tanggungan. Pemberian kuasa menjual yang mengikuti

perjanjian kredit yang dimakudkan sebagai jaminan untuk tanah yang belum

berserifikat atau telah habis masa berlaku hak atas tanahnya, juga diikuti

dengan pemberian kuasa untuk mengurus sertifikat tanah tersebut, dan jika

sudah berserifikat penerima kuasa diberi kuasa untuk memasang Hak

Tanggungan. Penjualan tanah sebagai jaminan terhadap perjanjian kredit,

harus dilakukan secara lelang, sungguh pun ada pemberan kuasa menjual. 69

Hal ini sejalan dengan putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

nomor 2660K/Pdt/1987, tanggal 27 Pebruari 1989, yang menyatakan bahwa

dalam hutang-piutang dengan menyerahkan sertifikat tanah debitur kepada

kreditur/bank, jika debitur lalai membayar hutang tersebut, maka penjualan

tanah jaminan tersebut harus dengan pelelangan, walau kreditur memengang

69
Kartika Sari, “Pemberan Kuasa Menjual Tanah dalam Praktekk Notaris (Penelitian di Kota
Medan),” (Thesis Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, Medan, 2004), hal. 66

Universitas Sumatera Utara


surat kuasa menjual yang bersifat mutlak dari debitur. Penjualan yang tidak

demikian adalah tidak sah dan batal demi hukum 70

Pemberian kuasa menjual dalam akta pengikatan jual-beli lunas tidak

termasuk dalam pengertian kuasa mutlak yang dilarang karena kuasa tersebut

dibuat dalam rangka mengabadikan pada suatu perjanjian dengan causa yang

sah, dan tindakan-tindakan hukum yang disebut dalam kuasa menjual tersebut

bukan untuk kepentingan pemberi kuasa tetapi untuk kepentingan penerima

kuasa, yang merupakan pelasanaan kewajiban hukum oleh pemberi kuasa

selaku penjual kepada penerima kuasa selaku pembeli disebabkan harga telah

dibayar lunas. 71

Kuasa mutlak yang dilarang dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri

tanggal 6 Maret 1982 nomor 14 tahun 1982 ditujukan kepada semua

Gubernur kepada Daerah tingkat II seluruh Indonesia untuk melarang para

Camat dan Kepala Desa atau pejabat yang setingkat dengan itu untuk tidak

lagi membuat/menguatkan surat kuasa yang bersifat mutlak, yang tidak dapat

dicabut kembali untuk mengalihkan atau melakukan pemindahan ha katas

tanah, sehingga penerima kuasa dapat bertindak seolah-olah pemegang ha

katas tanah tersebut. Perbuatan tersebut sebenarnya dimaksudkan sebagai

jual-beli tetapi dengan tanpa membayar pajak kepada Negara dengan

merugikan pemilik tanah sebenarnya. Instruksi ini diikuti surat Direktur

Jendral Agraria yang berisi pengecualia terhadap larangan kuasa mutlak

tersebut yakni terhadap kuasa penuh dalam pasal 3 blanko akta Pejabat

70
Rasjim Wiraatmadja, dkk, Himpunan Yurisprudensi Hukum Perdata Indonesia, Jakarta, Kantor
Advokat Rasjim Wiraatmadja,S.H., hal 72
71
Pieter E. Latumenten, Kuasa Menjual dalam Akta Pengikatan Jual-Beli lunas tidak termasuk
Kuasa Mutlak, Jurnal Renvoi, Jakarta, Edisi September 2003, hal 36

Universitas Sumatera Utara


Pembuat Akta Tanah, kuasa penuh dalam perjanjian Ikatan Jual-Beli (notaril),

serta kuasa memasang Hipotik (notaril) dan kuasa lainnya yang bukan

dimaksudkan sebagai pemindahan hak atas tanah. Kuasa mutlak ini tidak

berlaku surut, maksudnya mulai berlaku terhadap kuasa mutlak yang dibuat

sejak tanggal 6 Maret 1982.

Pemberian kuasa menjual tanah yang mengikuti Perjanjian Bangun-

Bagi mutlak dilakuka karena sertifikat tanah masih atas nama pemilik tanah,

belum dipecah berdasarkan jumlah bangunan yang dibangung, sehingga si

pemborong membutuhkan kuasa menjual dari pemilik tanah untuk

tanah/bangunan yang menjadi haknya. Sehingga selain kuasa menjual,

penerima kuasa juga diberi kuasa untuk mengurus pemecahan sertifikat tanah

tersebut.

Kuasa menjual tanah yang mengikuti Perjanjian Bangun-Bagi sebagai

perjanjian pokok merupakan perjanjian bersyarat, artinya kuasa tersebut baru

dapat dipergunakan si penerima kuasa/pemborong setelah ada pernyataan

dengan akta notaril atau akta di bawah tangan yang dilegalisir dari pemilik

tanah bahwa ia telah menerima tanah/bangunan yang menjadi bahagiannya

dan banguna tersebut telah selesai didirikan/dibangun. Pernyataan dari

pemilik tanah tersebut dapat berupa Berita Acara Serah Terima dalam bentuk

akta notaril atau akta di bawah tangan, dengan menyebutkan Perjanjian

Bangun-Bagi tersebut.

Pemberian kuasa yang mengikuti Akta Pemisahan dan Pembahagian

diberikan baik yang timbul dari harta warisan, dari harta bersama, atau pun

dari harta persatuan suami-istri, yang dipisah-bagi menurut hukum yang

Universitas Sumatera Utara


dipilih atau memang telah ditentukan untuk orang yang bersangkutan apakah

hukum perdata, atau hukum islan atau sesuai peraturan perundang-undangan

yang berlaku.

Pada warisan yang dipisah bagi biasanya salah seorang ahli waris

ditunjuk sebagai penerima harta warisan, sedangkan ahli waris yang lain

mendapat uang tunai senilai bagian yang merupakan haknya, sehingga

penerima harta warisan tersebut diberi kuasa yang tidak dapat dicabut

kembali atau bersifat mutlak untuk melakukan tindakan pengurusan dan

kepemilikan (termasuk kuasa menjual) terhadap harta warisan. Dapat juga

pembagian harta warisan secara kelompok (dalam hal harta warisan banyak)

sehingga masing-masing ahli waris diberi kuasa yang tidak dapat dicabut

kembali untuk melakukan tindakan pengurusan dan kepemilikan terhadapa

bagian harta masing-masing. 72

B. Kedudukan dan Fungsi Surat Kuasa Menjual dalam Jual Beli Tanah

dan Bangunan

Surat kuasa menjual pada dasarnya berkedudukan sebagai perjanjian

bantuan atau akta di bawah tangan yang berfungsi danmempunyai tujuan untuk

melindungi posisi pembeli dan juga dapat mempermudah pekerjaan Notaris bila

mana pada saat penjual tidak dapat hadir kedua kalinya atau berhalangan untuk

menanda tangani akta jual beli maka penjual dapat memberikan kuasa menjual

kepada pembeli, kuasa menjual pihak dalam suatu perjanjian tentang harga dan

barang/benda (tanah dan/atau bangunan) sebagai obyek perjanjian jual beli. Sebab

72
Kartika Sari, “Pemberan Kuasa Menjual Tanah dalam Praktekk Notaris (Penelitian di Kota
Medan),” (Thesis Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, Medan, 2004), hal. 75

Universitas Sumatera Utara


dengan sepakatnya para pihak tentang obyek perjanjian serta telah dibayar lunas

harga tanah dan/atau bangunan oleh pembeli dan diterima oleh penjual sebaliknya

penjual menyerahkan tanah dan/atau bangunannya kepada dan telah diterima oleh

pembeli, maka unsur-unsur jual beli telah terpenuhi dan oleh Notaris cukup

dijadikan alasan dibuatnya surat keterangan Notaris sebagai pengganti PPJB dan

kuasa menjual.

Dalam sebuah surat keterangan Notaris akan dapat dijumpai harga tanah

berikut bangunannya yang telah dibayar lunas (terjadipelunasan) oleh pembeli

kepada penjual/pemilik tanah. Secara yuridis berarti akta tersebut telah memenuhi

syarat sebagai dasar peralihan hak atas tanahnya, yang diikuti dengan akta kuasa

menjual. Adanya kuasa menjual dari pemilik tanah selaku penjual kepada

pembeli, maka segala kepentingan hukumnya dapat dilaksanakan. Dengan kata

lain, dengan kuasa menjual maka pembeli dikemudian hari dapat menjual kepada

pihak lain dengan tanpa memerlukan bantuan hukum penjual atau dalam hal ini

digunakan untuk menjual kepada dirinya pembeli sendiri guna kepentingan

peralihan hak atas tanah dan bangunan tersebut.

Adanya akta kuasa menjual maka seorang penerima kuasa dapat

menjalankan kekuasaan yang diberikan oleh pemberi kuasa, Namun demikain, ia

tidak boleh bertindak melampaui batas yang diberikan kepadanya oleh pemberi

kuasa. Oleh karena tindakan dan pemegang kuasa itu sebenarnya mewakili,

demikian untuk dan atas nama pemberi kuasa, maka pemberi kuasa dapat dalam

arti kata berhak untuk menggugat secara langsung dan menuntut orang ketiga

dengan siapa pemegang kuasa telah bertindak dalam kedudukannya, agar

perjanjian yang bersangkutan dipenuhinya.

Universitas Sumatera Utara


Dalam praktek serta kenyataan dimasyarakat tidak jarang terjadi suatu

keadaan

dimana si pemilik hak atas tanah (penjual) yang sertipikat tanah haknya belum

terbit atau belum terdaftar atas namanya yang disebabkan karena :

a. Masih dalam proses peralihan Hak.

b. Masih ada proses balik nama menjadi ke atas namanya yang timbul

sehubungandengan adanya pemindahan/peralihan hak, atau

c. Masih terikat sebagai jaminan atas suatu hutang.

Akan tetapi yang bersangkutan bermaksud untuk menjual tanah hak tersebut dan

ada

pembeli yang mungkin berkeinginan untuk membeli tanah tersebut dari penjual

meskipun pembeli mengetahui bahwa sertipikat tanah yang bersangkutan masih

terkendala sebagaimana yang disebutkan diatas sehingga tidak memungkinkan

dibuat dan ditanda tanganinya akta jual beli dihadapan PPAT. Guna mengatasi hal

tersebut maka disinilah akan dibuatkan suatu surat keterangan Notaris dan

berfungsinya kuasa menjual sebagai suatu perjanjian pendahuluan untuk

sementara, menantikan dipenuhinya syarat untuk perjanjian pokok yaitu

pembuatan akta jual beli dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang

berwenang untuk membuatnya.

C. Bentuk Surat Kuasa Menjual dan Berlakunya Surat Kuasa Menjual

Pemberian kuasa sebagaimana yang dirumuskan dalam pasal 1792

KUHPerdata adalah suatu persetujuan seseorang sebagai pemberi kuasa dengan

orang lain sebagai penerima kuasa, guna melakukan suatu perbuatan atau tindakan

Universitas Sumatera Utara


untuk atas nama si pemberi kuasa. Dari pengertian tersebut dalam pasa 1792

KUHPerdata diatas, sifat pemberian kuasa tiada lain daripada “mewakilkan”

kepada si penerima kuasa untuk mengurus dan melaksanakan kepentingan si

pemberi kuasa. Penerima kuasa bertindak atau berbuat sebagai wakil atau

mewakili si pemberi kuasa untuk dan atas nama si pemberi kuasa.

Dalam zaman yang penuh kesibukan seperti sekarang ini seringkali orang

tidak sempat menyelesaikan sendiri urusan-urusannya. Oleh karena itu ia

memerlukan jasa orang lain untuk menyelesaikan urusannya tersebut. Ini

membuktikan bahwa seseorang selalu membutuhkan orang lain dalam rangka

mencukupi kebutuhan hidupnya. Maka terciptalah suatu hubungan hukum antara

orang-orang tersebut yaitu dengan adanya perjanjian pemberian kuasa diantara

para pihak.

Begitupun dalam jual beli tanah hak milik, pemberian kuasa menjual yang

diberikan oleh pemberi kuasa kepada si penerima mempunyai suatu tujuan

tertentu.

Surat kuasa menjual yang merupakan bukti dari adanya suatu perjanjian atau

adanya kesepakatan kedua belah pihak mempunyai peranan yang sangat penting.

Dalam suatu perjanjian kuasa dimana pernyataan kehendak para pihak dituangkan

dalam suatu surat yang kemudian surat itu ditandatangani yang merupakan

langkah awal dari timbulnya suatu hak dan kewajiban para pihak.

Pemberian kuasa dapat diserahkan dan diterimakan dalam berbagai cara,

yakni; 73

a. Dengan akta umum/otentik;

73
I.G. Rai Widjaya, Merancang Suatu Kontrak, Megapion, Jakarta, 2008, hal 85

Universitas Sumatera Utara


b. Dengan suatu tulisan di bawah tangan;

c. Dengan sepucuk surat;

d. Secara lisan (pasal 1793 KUHPerdata).

Transaksi jual beli tanah dan bangunan yang biasanya terjadi dalam

masyarakat ada dua cara yaitu pembayarannya dengan cara mengangsur dan

secara tunai. Sehingga dari awal harus sudah ada kesepakatan diantara pihak

penjual dengan pihak pembeli. Bagaimanakan jual beli itu dilakukan ? Atas

kesepakatan kedua belah pihak mereka menghadap kepada PPAT.

Dikaitkan dengan fakta tersebut diatas yaitu kuasa menjual yang diberikan

oleh Zainuddin Sitorus dengan telah mendapat persetujuan dari istrinya Rohana

kepada penerima kuasa yang bernama Kasim Thiang dan Swie Gwek Hwa baik

secara bersama-sama maupun masing-masing untuk dan atas nama mewakili

pemberi kuasa dimana saja dan terhadap siapapun juga dalam hal dan untuk

segala tindakan, baik yang mengenai pengurusan, pengawasan maupun pemilikan,

satu dan lain khusus guna memecah, menjual dan memindahkan serta

menyerahkan hak-hak atas sebidang tanah hak milik nomor : 510/Durian, seluas

548 m2yang terletak di Propinsi Sumatera Utara, Kota Medan, Kecamatan Medan

Timur, Kelurahan Durian.

Kuasa diberikan tersebut termasuk kedalam jenis kuasa dengan suatu akta

umum/otentik yang mana dibuat dihadapan Notaris yang mana menurut Pasal

1686 KUHPerdata menyatakan bahwa suatu akta otentik adalah suatu akta yang di

dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan

pejabat umum yang berwenang untuk itu di tempat di mana akta itu dibuatnya.

Universitas Sumatera Utara


Akta tersebut dibuat bertujuan untuk menguatkan pemberian kuasa tersebut

menjadi bukti tertulis yang dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah.

Sebelum membuat akta kuasa, notaris menanyakan untuk kepentingan apa

akta kuasa tersebut dibuat dan meminta data identitas masing-masing pihak, yaitu

kartu tanda penduduk (KTP) pemberi dan penerima kuasa, kartu tanda penduduk

suami atau isteri pemberi kuasa, kartu susunan keluarga (KSK) pemberi kuasa,

atau surat nikah. Permintaan dokumen-dokumen tersebut terkait dengan

kepentingan legalitas dan persyaratan yang dituntut oleh peraturan perundang-

undangan, yaitu untuk melepaskan suatu hak kebendaan, seorang suami atau isteri

wajib untuk mendapatkan persetujuan dari pasangannya. Selain itu, notaris akan

menanyakan syarat-syarat khusus apa yang dibuat oleh para pihak, agar dapat

dicantumkan di dalam akta. 74

Sedangkan untuk masa berlakunya suatu kuasa menjual adalah sesuai

dengan batas waktu yang ditentukan dalam isi perjanjian atau selama perjanjian

pokoknya belum berakhit. Surat kuasa menjual yang diberikan Zainuddin Sitorus

kepada Kasim Thiang dan Swie Gwek Hwa dalam transaksi jual beli tanah

tersebut adalah berlaku sampai penandatangan akta jual beli atau sampai segala

urusan yang menyangkut jual beli tanah tersebut selesai.

Dalam akta kuasa tersebut juga tercantum kalimat “Kuasa ini diberikan

dengan hak untuk memindahkannya kepada pihak lain, baik sebahagian mapun

seluruhnya”. Maksudnya dalam suatu hal, pemberi kuasa selalu dianggap telah

menyerahkan kuasa kepada penerima kuasa untuk menunjuk orang lain sebagai

74
Wicaksono, Panduan Lengkap Membuat Surat-Surat Kuasa, Visimedia, Jakarta, 2009, hal 19

Universitas Sumatera Utara


penggantinya (subtitutie) untuk memindahkan kuasanya baik sebagian maupun

seluruhnya .

Dalam segala hal, sipemberi kuasa dapat secara langsung menuntut orang

yang ditunjuk oleh si penerima kuasa sebagai penggantinya (pasal 1803

KUHPerdata). Hak penerima kuasa menunjuk orang lain sebagai penggantinya

dalam melaksanakan kuasanya disebut Hak Substitusi. 75

D. Peranan dan Tanggung Jawab Notaris Dalam Pembuatan Akta

Pengikatan Jual Beli Berdasarkan Kuasa

Menurut ketentuan pasal 1 angka (1) UUJN, Notaris adalah pejabat umum

yang berwenang untuk membuat akta otentik dan memilikikewenangan lainnya

sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini atau berdasarkan undang-

undang lainnya.

Akta merupakan sebahagian dari tulisan yakni sesuatu yang memuat surat

tanda yang dapat dibaca dan yang menyatakan sebuah pikiran. Akta khusus dibuat

untuk dijadikan alat bukti atas hal yang disebut di dalamnya. 76

Ditinjau dari segi pembuatannya akta dibagi atas akta otentik dan akta

dibawah tangan.

Akta otentik menurut pasal 1868 KUHPerdata adalah “akta yang diperbuat

oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu di tempat akta itu

diperbuat dan bentuknya ditentukan oleh undang-undang”. Sedangkan akta bawah

tangan menurut pasal 1874 ayat 1 KUHPerdata adalah “surat-surat, register-

75
I.G. Rai Widjaya, Op Cit, hal 90
76
Ali Affandi, 1997, Hukum Waris-Hukum Keluarga-Hukum Pembuktian, Rineka Cipta, Jakarta,
hal 199

Universitas Sumatera Utara


register, surat-surat urusan rumah tangga dan surat lainnya yang dibuat tanpa

perantaraan seorang pegawai umum”.

Kekuatan pembuktian akta otentik dan akta di bawah tangan tidaklah sama.

Jika orang mengajukan suatu akta otentik, maka ia tidak perlu membuktikan apa-

apa lagi. Siapa yang menyangkal harus mengadakan pembuktian, sedangkan dalan

hal akta di bawah tangan kalau akta itu disangkal, maka orang yang

mempergunakan akta itu diberi beban pembuktian. 77

Meskipun ada perbedaan, jika akta di bawah tangan tersebut diakui, maka

antara akta di bawah tangan dan akta otentik tidak berbeda. Hal ini dinyatakan

dalam pasal 1875 KUHPerdata yakni “suatu tulusan di bawah tangan yang diakui

oleh orang terhadap siapa tulisan itu hendak dipakai, atau yang dengan cara

menurut undang-undang dianggap sebagai diakui, memberikan terhadap orang-

orang yang menandatanganinya serta para ahli warisnya dan orang-orang yang

mendapat hak dari pada mereka, bukti yang sempurna seperti suatu akta otentik”.

Akta otentik dapat dibagi dalam dua jenis, yaitu : 78

1. Akta yang diperbuat oleh (door een) Notaris

Akta jenis ini biasanya diberi nama “akta relaas” atau “akta pejabat” atau

akta “prosesverbal” atau “akta berita acara”.

Isi dari akta berita acara ini semuanya berupa keterangan atau kesaksian

Notaris yang membuat akta itu tentang apa yang dilihatnya, terjadi di

hadapannya atau yang disaksikannya dilakukan oleh orang lain. Misalnya

akta berita aca rapat para pemegang sahan perseroan terbatas.

2. Akta yang diperbuat dihadapan (ten overstaan van een) Notaris.

77
Ibid, hal 203
78
M.U Sembiring, 1997, Op Cit, Hal 6

Universitas Sumatera Utara


Akta ini dinamakan akta pihak-pihak (party-akte). Isi akta ini ialah

catatan Notaris yang bersifat otentik mengenai keterangan dari para

penghadap yang bertindak sebagai pihak-pihak dalam akta bersangkutan.

Ditambah dengan keterangan Notaris dalam akta itu tentang telah

dipenuhinya segala formalitas yang diperintahkan oleh undang-undang agat

akta itu memenuhi persyaratan sebagai akta otentik antara lain keterangan

Notaris bahwa akta itu telah dibacakan olehnya kepada para penghadap, dan

bahwa kemudian akta itu lantas ditandatangani oleh para penghadap, saksi-

saksi dan Notaris serta keterangan lainnya. Misalnya akta jual-beli, akta kuasa

menjual.

Akta kuasa menjual merupakan akta pihak-pihak artinya dikehendaki oleh

pemberi dan penerima kuasa. Pembuatan akta jual beli sebagai akta otentik

merupakan wewenang Notaris.

Notaris sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 Peraturan Jabatan Notaris,

Staatsblad Tahun 1860 Nomor 3 adalah :

“Pejabat umum yang satu-satunya berwenang untuk membuat akta otentik

mengenai semua perbuatan, perrjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh suatu

peraturan umum atau oleh yang berkepentingan dikehendaki untuk dinyatakan

dalam suatu akta otentik, menjamin kepastian tanggalnya, menyimpan aktanya

dan memberikan grosse, salinan dan kutipannya, semuannya sepanjang

pembuatan akta itu oleh suatu peraturan umum tidak juga ditugaskan atau

dikecualikan kepada pejabat atau oranglain”. 79

79
G.H.S.L. Tobing, 1999, Peraturan Jabatan Notaris, Erlangga, Jakarta, hal 31

Universitas Sumatera Utara


Perjanjian Pengikatan untuk Jual Beli (PPJB) yang dibuat dihadapan Notaris

merupakan perjanjian yang diangkat dan dibuat dari konsepsi Kitab Undang-

Undang Hukum Perdata yang merupakan kesepakatan para pihak mengenai hak

dan kewajiban yang dibuat berdasarkan Pasal 1320 jo Pasal 1338 Kitab Undang-

Undang Hukum Perdata sehingga dapat memberikan kepastian hukum serta

perlindungan hukum bagi para pihak yang membuatnya. Dengan

dilangsungkannya PPJB oleh para pihak maka calon Penjual dan calon Pembeli

menyatakan kehendaknya untuk melangsungkan jual beli yang sesungguhnya

yaitu jual beli yang dilangsungkan menurut ketentuan Pasal 26 Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang disebut

juga Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) bahwa jual beli merupakan salah

satu cara untuk pemindahan hak kepemilikan atas tanah. Jual beli tersebut harus

dilakukan dengan pembuatan akta otentik yang dibuat dihadapan Pejabat Pembuat

Akta Tanah (PPAT) dikenal dengan nama Akta Jual Beli. Bagaimana akibat

hukum dan perlindungan hukum terhadap para pihak dalam perbuatan hukum

peralihan hak dengan dibuatkannya Perjanjian Pengikatan untuk Jual Beli?

Dengan dibuatkannya PPJB, kepemilikan hak atas tanah belum beralih dari calon

Penjual kepada calon Pembeli meskipun seluruh harga telah dibayar penuh oleh

calon Pembeli. Dengan maksud dari para pihak bahwa hak atas objek berupa

tanah dan bangunan yang akan dijual berdasarkan PPJB tersebut tidak dapat

diperikatkan/diperjanjikan untuk dialihkan kepada pihak lain oleh pemiliknya.

Notaris sebagai pejabat yang mengatur secara tertulis dan mengesahkan hubungan

hukum para pihak dalam bentuk akta otentik, akta mana memuat peristiwa PPJB

itu dengan dasar hukum yang kuat untuk berlaku sebagai alat bukti. Kekuatan

Universitas Sumatera Utara


pembuktiannya harus memberikan nilai pembuktian yang sempurna dan mengikat

sebagai akta otentik. Sehingga dari kerangkanya apa yang syaratkan atau harus

dimuat dalam masing-masing bagian akta tersebut menurut apa yang disyaratkan

oleh undangundang serta harus mengandung unsur-unsur otentisitas.

Dikaitkan dengan fakta diatas sebelum akta jual beli tanah tersebut dibuat

dan ditandatangani dihadapan Notaris, maka terlebih dahulu Notaris akan

meminta identitas pihak calon pembeli dan pihak calon penjual (dalam hali ini

indentitas si kuasa yang bertindak untuk dan atas nama penjual). Kemudian si

penerima kuasa yang berintak untuk dan atas nama penjual akan ditanyakan

mengenai kuasa yang telah diberikan kepadanya dari si pemberi kuasa untuk

diperiksa yang mana dalam hal ini penerima kuasa adalah Kasim Thiang dengan

bertindak berdasarkan Surat Kuasa tertanggal 6 Juni 2014 nomor 6 sebagai kuasa

dari Zainuddin sebagai pihak penjual dan Bobi Hartanto sebagai pihak pembeli.

Objek jual beli berupa hak milik nomor 01691/ Durian atas sebidang tanah

sebagaimana diuraikan dalam Surat Ukur/Gambar Situasi tanggal 6 Juli 2015


2
Nomor 00137/Durian/2015 seluas 75 M dengan Nomor Identifikasi Bidang Tanah

(NIB) 02011606.01467 dan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang Pajak Bumu dan

Bangunan (SPPTPBB) Nomor Objek Pajak (NOP) : 12.75.080.009.003.0507.0.

Setelah pihak penjual dan pembeli menyepakati harga yang kemudian

dicantumkan dalam akta jual beli.

Dengan dihadiri oleh dua orang saksi dihadapan Notaris, pihak penjual dan

pembeli menandatangani akta jual beli dengan disaksikan oleh Notaris, harga

tanah dapat dilunasi sesua dengan harga yang disebutkan dalam akta jual beli akan

tetapi apabila sudah dibayar terlebih dahulu sebelum menghadap Notaris, maka

Universitas Sumatera Utara


Notaris harus menanyakan terlebih dahulu apakah harga tanah sesuai dengan yang

tercantum dalam akta telah dibayarkan oleh pembeli kepada penjual dan

sebaliknya apakah pernjual telah menerima harga tanah tersebut dari pembeli

sebab dalam akta jual beli tersebut ditulis bahwa uang pembelian sudah dibayar

lunas dan diterima penjual sehingga akta juga berlaku sebagai tanda terima yang

sah.

Suatu kesalahan dalam menjalankan profesi disebabkan oleh kekurangan

pengetahuan (onvoldoende kennis), kurang pengalaman (onvoldoende ervaring),

ataukurang pengertian (onvoldoende inzicht). 80 Demikian pula dengan kesalahan

Notaris dalam menjalankan jabatannya tidak jarang disebabkan oleh adanya

kekurangan pengetahuan Notaris terhadap persoalan yang dimintakan oleh klien

baik dari aspek hukum maupun aspek lainnya. Bagi Notaris tertentu, terutama

Notaris baru yang kurang pengalaman dalam menghadapi persoalan yang diajukan

oleh klien, maka tidak jarang terjadi kesalahan dalam menuangkan maksud dan

permintaan klien kedalam akta yang dibuat. Ketidakmengertian Notaris terhadap

apa yang disampaikan dan diminta oleh klien juga seringkali menimbulkan

kesalahan dalam pembuatan akta oleh Notaris.

Pelanggaran atau kesalahan (beroepsfout) Notaris dalam menjelaskan

jabatan dapat menimbulkan kerugian kepada klien atau pihak lain. Kesalahan

yang dilakukan oleh Notaris dalam menjalankan jabatan dapat membawa dampak

pada akta yang dibuatnya, yakni hanya mempunyai kekuatan sebagai akta di

bawah tangan (onderhandsacte) apabila ditandatangi oleh orang-orang yang

menghadap. Kebatalan dari akta otentik sebagai notariele acte yang kemudian

80
Marthalena Pohan, 1985, Tanggunggugat Advocaat, Dokter dan Notaris, Alumni, Bandung, hal.
11-15.

Universitas Sumatera Utara


berubah atau turun derajat menjadi onderhands acte dapat menyebabkan Notaris

berkewajiban untuk memberikan ganti rugi. Pihak yang dirugikan akibat

terjadinya pelanggaran atau kesalahan tersebut dapat mengajukan tuntutan atau

gugatan ganti kerugian kepada Notaris bersangkutan melalui pengadilan. Terdapat

dua dalil yang dapat digunakan untuk mengajukan tuntutan ganti yaitu : (1)

berdasarkan dail wanprestsi (ingkar janji); dan (2) berdasarkan dalil

onrechmatigedaad (perbuatan melanggar hukum).

Dail wanprestasi atau ingkar janji digunakan apabila perikatan atau

hubungan hukum yang terjadi antara para pihak timbul karena perjanjian, yang

masing-masing pihak mempunyai kewajiban untuk memenuhi prestasi sesuai

dengan isi perjanjian, selain itu juga memiliki hak untuk menuntut agar isi

perjanjian harus dipenuhi dengan baik. Wansprestasi dengan demikian dapat

dipahami sebagai tindakan yang tidak memenuhi atau lalai malaksanakan

kewajiban sebagaimana yang ditentukan dalam perjanjian yang dibuat antara

kreditu dan debitur. Dalam Restatement of the law ofContract Amerika Serikat

wanprestasi atau breach of contracts dibedakan menjadi dua macam, yaitu total

breach. Total breach yaitu pelaksanaan kontrak yang tidak mungkin dilaksanakan,

sedang partial breach adalah pelaksanaan perjanjian yang masih mungkin untuk

dilaksanakan. 81Mengenai kerugian yang timbul akibat suatu perbuatan melanggar

hukum harus berhubungan langsung dengan perbuatan tersebut, artinya terdapat

kuasa atau hubungan antara perbuatan yang dilakukan seorang dengan kerugian

yang diderita oleh orang lain.

81
Nico, 2003, Tanggungjawab Notaris selaku Pejabat Umum, Penerbit Centre for Documentation
and Studies of Business Law, Yogyakarta, hal. 98

Universitas Sumatera Utara


Suatu kesalahan oleh Notaris dalam menjalankan jabatan yang

menimbulkan kerugian kepada orang lain membawa akibat hukum menuculnya

hak dan kewajiban. Pihak yang dirugikan pempunyai hak untuk mengajukan

tuntutan ganti kerugian sebagai akibat dari perbuatan Notarisnya yang telah

melakukan kesalahan dalam menjalankan jabatannya. Di sisi lain, Notaris

berkewajiban untuk memberikan ganti rugi, biaya dan bunga sebagai akibat dari

pelanggaran dan kesalahan dalam menjalankan jabatannya. Dengan kata lain,

dalam hubungan dengan pelaksanaan jabatan Notaris apabila seorang Notaris

melakukan pelanggaran atau kesalahan dalam menjalankan jabatan sehingga

menimbulkan kerugian kepada orang lain, maka Notaris bersangkutan dapat

dipertanggungjawabkan secara perdata (civielrechtelijkeaansprakelijkheid) untuk

membayar kerugian yang diderita oleh orang lain. Sementara itu, apabila akibat

kesalahan, kelalaian atau melanggar suatu ketentuan tertentu dalam membuat

suatu akta maka akta yang dibuat oleh Notaris dapat kehilangan otentisitasnya.

Pada Pasal 84 UUJN disebutkan bahwa tindakan pelanggaran yang

dilakukan oleh Notaris terhadap ketentuan sebagaimana diatur dalam UUJN yang

mengakibatkan suatu akta hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di

bawah tangan atausuatu akta menjadi batal demi hukum dapat dijadikan alasan

bagi pihak yang menderita kerugian untuk menurut penggantian biaya, ganti rugi,

dan bunga kepada Notaris. Pada tanggung gugat berdasarkan wanprestasi, maka

penggugat harus membuktikan bahwa tergugat tidak secara cukup berusaha untuk

menjalankan jabatan sesuai ketentuan yang berlaku. Dalam hal ini kesalahan yang

dilakukan tergugat (Notaris) terjadi karena dia tidak secara sungguh-sungguh atau

sengaja melanggar kewajiban yang telah ditentukan. Perikatan antara Notaris dan

Universitas Sumatera Utara


klien termasuk dalam inspanningsverbintenis, yaitu suatu perikatan di mana

debitur hanya berjanji akan berusaha untuk mencapai suatu hasil tertentu. Dengan

demikian, tanggung gugat atas dasar perbuatan melanggar hukum berlaku

ketentuan bahwa pihak yang menuntut harus fakta-fakta dan keadaan, dan jika

perlu memberikan bukti yang menunjukkan bahwa tergugat telah melanggar

hukum dan dia bersalah. Seorang Notaris dianggap bertanggungjawab bahwa atas

dasar kenyataan bahwa kliennya merasa dirugikan, tetapi klien tersebut harus

menentukan dan apabila perlu membuktikan bahwa pada diri Notarislah terletak

kesalahan yang menimbulkan kerugiannya.

Pekerjaan Notaris dapat digolongkan dalam kewajiban menghasilkan

(resultaatsverplichtingen), artinya bahwa Notaris harus menanggung atau

menjamin bahwa akta yang dibuat menurut bentuk yang ditentukan adalah sah.

Apabila Notaris membuat akta dengan bentuk yang salah, maka ia mencederai

kewajiban untuk menghasilkan dan terhadap kerugian yang ditimbulkannya maka

Notaris harusbertanggungjawab, kecuali apabila ia mampu membuktikan bahwa

bentuk yang keliru atau salah tersebut tidak dapat dituduhkan kepadanya. 82

Pengaturan hubungan perikatan antara Notaris dan kliennya dapat dijumpai

pada Pasal 1320 KUHPerdata. Dalam hubungan tersebut pihak yang mengikatkan

diri adalah Notaris dan klien yang diikat supaya masing-masing memenuhi apa

yang telah menjadi hak dan kewajiban tersebut tidak dipenuhi oleh salah satu

pihak, maka dapat dikatakan bahwa pihak yang tidak memenuhi kewajibannya itu

telah melakukan wanprestasi atau perbuatan melanggar hukum. Oleh karena itu,

dasar untuk tanggung gugat tersebut adalah wanprestasi dan perbuatan melanggar

82
Martalena Pohan, Op. cit., hal. 92

Universitas Sumatera Utara


hukum. 83Di sisi lain, Marthalena Pohan, mengatakan bahwa suatu kesalahan yang

dilakukan oleh seseorang dalam menjalankan suatu jabatan, yang menimbulkan

wanprestasi sekaligus merupakan perbuatan melanggar hukum terhadap

lawannya, di dalam praktik tuntutan atau gugatan atas hal itu didasarkan pada

kedua alasan tersebut, yang paling penting adalah wanprestasi sebagai tambahan

oncrechtmatigedaad. 84

Sementara itu, dalam hal pembuatan akta partij (akta pihak) Notaris tidak

dapat dituntut berdasarkan wanprestasi terhadap pelanggaran atau kesalahan yang

dilakukannya. Notaris dalam hal ini dapat digugat berdasarkan perbuatan

melanggar hukum. Hal ini karena dalam akta yang dibuat di hadapannya Notaris

tidak bertindak sebagai pihak yang terkait dengan isi akta yang dibuat, sebaliknya

akta tersebut dimohon dan dibuat untuk kepentingan pihak-pihak yang menghadap

kepada Notaris. Hubungan hukum antara Notaris dengan klien dalam hal ini

bukanlah hubungan hukumyang terjadi karena adanya sesuatu yang diperjanjikan

sebagaimana yang biasa dilakukan oleh para pihak dalam membuat suatu akta.

Oleh karena itu, kebenaran isi akta pihak berada pada pihak yang mengadap untuk

membuat akta tersebut. 85

Dari uaraian di atas, pada diri Notaris selaku pejabat umum pembuat akta

otentik melekat tanggung gugat keperdataan apabila melakukan kesalahan dalam

menjalankan jabatannya. Tanggung gugat tersebut dapat berdasarkan kepada

pembuatan melanggar hukum atau pada tanggung gugat atas wanprestasi. Oleh

karena itu sebelum mengajukan gugatan kepada Notaris terkait dengan pembuatan

83
Nico, Op. cit., hal. 93
84
Martalena Pohan, Loc. cit.
85
Nico, Op. cit., hal. 98.

Universitas Sumatera Utara


akta, maka harus dicermati terlebih dahulu apakah kesalahan Notaris yang

menimbulkan kerugian tersebut bersinggungan erat dengan aspek perbuatan

melanggar hukum atau berkaitan dengan wanprestasi. Pemilihan dalil gugatan

yang tepat terhadap Notaris manakala melakukan kesalahan dalam menjalankan

jabatan akan memungkinkan keberhasilan gugatan. Ketidakjelasan penyusun dalil

gugatan kepada Notaris dapat menimbulkan kekaburan sehingga berpotensi

gugatan tidak dapat diterima atau bahkan bisa jadi akan ditolak oleh hakim.

Menurut yuridprudensi (vide Putusan MA No. 492 K/Sip/1970, tanggal 16

Desember 1970) suatu gugatan yang tidak jelas atau tidak sempurna dapat

berakibat tidak diterimanya gugatan tersebut. Sejalan dengan hal itu, menurut

Sudikno Mertokusumo, suatu gugatan yang berisi pernyataan-pernyataan yang

bertentangan satu dengan yang lain, atau disebut sebagai gugatan yang kabur

(obscuur libel, yaitu gugatan yang tidak jelas dan tidak dapat dijawab dengan

mudah oleh pihak tergugat sehingga menyebabkan ditolaknya gugatan) dapat

berkaitan pada tidak diterimanya gugatantersebut. 86Penting sekali diketahui oleh

klien sebelum menggugat Notaris apabila terjadi kesalahan dalam membuat akta

yang menimbulkan kerugian, yakni perumusan gugatan dan pemilihan dalil

gugatan harus benar-benar cermat dan tepat agar bisa dikabulkan oleh Hakim.

86
Sudikono Mertokusumo, 1991, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty Yogyakarta, hal. 41.

Universitas Sumatera Utara


E. Putusan Pengadilan No.69/Pdt.G/2014/PN.MLG Tentang Pembatalan

Akta Pengikatan Jual Beli Yang Disertai Akta Kuasa Mutlak Dan Luas

Akibat Tidak Terpenuhinya Syarat-Syarat Jual Beli Dan Pemberian

Kuasa

1. Kasus Posisi dalam Putusan Pengadilan No.69/Pdt.G/2014/PN.MLG

Kasus posisi dalam Putusan PengadilanNo.69/Pdt.G/PN.MLG dalam

perkara pembatalan akta “Pengikatan Jual Beli” yang disertai pemberian kuasa

secara luas dan mutlak, tercantum dalam akta “Kuasa” akibat tidak terpenuhinya

syarat-syarat untuk melakukan jual beli dan pemberian kuasa. Diawali dengan

adanya gugatan dari Penggugat IW yang menggugat WN sebagai Tergugat yang

merupakan ahli waris dari Sumarijah Yunus. Kasus ini bermula dari adanya

transaksi jual beli antara Penggugat IW dengan nyonya Sumarijah Yunus pada

tanggal 24 Juni 2006 dihadapan EHW Notaris di Malang, atas sebidang tanah

berikut bangunannya, terletak di jalan Candi Jago No. 115 Malang, yang

dimaksud dalam Sertifikat Hak Milik No. 501 luasnya 1.500 m2, tercatat atas

nama Sumarijah (Selanjutnya disebut objek sengketa), dengan menandatangani

akta “Pengikatan Jual Beli” No. 168 dan akta “Kuasa” No. 167 pada tanggal 24

Juni 2006, yang dibuat dihadapan EHW Notaris di Malang.

Bahwa dalam akta “Pengikatan Jual Beli” No.168 tersebut antara Penggugat

IW dengan nyonya Sumarijah Yunus harga yang disepakati adalah sebesar

Rp.180.000.000.- (seratus delapanpuluh juta rupiah), yang telah dibayar dengan

tunai dan lunas oleh Penggugat IW kepada nyonya Sumarijah Yunus. Walaupun

telah terjadi transaksi jual beli dan pemberian kuasa antara Penggugat IW dengan

nyonya Sumarijah Yunus, namun Penggugat IW masih memberi izin dan

Universitas Sumatera Utara


persetujuan kepada penjualnya nyonya Sumarijah Yunus untuk tetap

menempati/menghuni tanah dan bangunan yang telah dijual tersebut hingga

nyonya Sumarijah Yunus meninggal dunia pada tanggal 12 Maret 2012 atau

selama 6 tahun lamanya sejak terjadinya transaksi jual beli.

Bahwa sejak terjadinya jual beli tersebut dengan menandatangani akta

“Pengikatan Jual Beli” No.168 dan akta “Kuasa” No.169 tertanggal 24 Juni 2006

tersebut hingga nyonya Sumarijah Yunus meninggal dunia pada tanggal 12 Maret

2012, Penggugat IW belum sempat membalik nama sertipikat tanah tersebut ke

atas nama Penggugat IW, dirinya sendiri.

Bahwa ketika Penggugat IW datang ke Obyek Sengketa ternyata bangunan

yang telah dijual oleh nyonya Sumarijah Yunus kepada Penggugat IW telah

dihuni/ditempati oleh Tergugat WN, suami, anak-anak beserta keluarga besarnya,

tanpa mendapat izin terlebih dahulu dari Penggugat IW. Penggugat IW telah

menjelaskan kepada Tergugat WN, perihal hak Penggugat IW atas Obyek

Sengketa yang telah dibelinya dari nyonya Sumarijah Yunus, ibu Tergugat WN,

dan memohon kepada Tergugat WN, suami, anak-anak dan keluarga besarnya

untuk mengosongkan kemudian menyerahkan tanah dan bangunan kepada

Penggugat IW. Namun tetap saja Tergugat IW, suami, anak-anak dan keluarga

besarnya tidak mengerti dan tetap tinggal menempati/menghuni Obyek Sengketa.

Terakhir Penggugat IW melalui kuasa hukumnya telah menyampaikan surat

somasi kepada Tergugat IW tertanggal 3 Maret 2014. Namun tetap tidak ada

tanggapan dan Tergugat WN masih tetap tidak mau mengosongkan dan keluar

dari Obyek Sengketa.

Universitas Sumatera Utara


Berdasarkan hal-hal tersebut di atas Penggugat IW memohon kepada Ketua

Pengadilan Negeri Kota Malang agar memberikan putusan sebagai berikut :

1. Mengabulkan gugatan Penggugat seluruhnya;

2. Menyatakan sah dan berharga terhadap sita jaminan (conservatoir beslag) atas

Obyek Sengketa a quo;

3. Menyatakan akta “Pengikatan Jual Beli” beserta akta “Kuasa” yang terkait sah

menurut hukum;

4. Menyatakan Hak Milik Obyek Sengketa a quo beralih dari nyonya Sumarijah

Yunus kepada Penggugat;

5. Menyatakan Tergugat, suami dan anak-anak beserta keluarga besarnya telah

melakukan perbuatan melawan hukum (Onrechtmatige Daad);

6. Menghukum Tergugat, suami, anak-anak beserta keluarga besarnya atau

siapapun juga yang menempat/menghuni Obyek Sengketa a quo untuk

keluar/mengosongkan dan melepaskan haknya dalam bentuk apapun;

7. Menyatakan bahwa akibat perbuatan melawan hukum (Onrechtmatiga Daad)

Tergugat, yang mengakibatkan Penggugat menderita kerugian secara materiil

sebesar Rp.20.000.000.- (duapuluh juta rupiah) per tahun dikalikan masa

penguasaan hingga perkara ini memperoleh Putusan berkekuatan hukum tetap,

dan kerugian immaterial sebesar Rp.1.000.000.000.- (satu milyar rupiah);

8. Menghukum Tergugat untuk membayar ganti rugi materiil dan imateriil

tersebut di atas;

9. Menghukum Tergugat, suami, anak-anak dan keluarga besarnya secara

tanggung renteng untuk membayar uang paksa (dwangsom) sebesar

Rp.1.000.000.- (satu juta rupiah) untuk setiap hari keterlambatan menyerahkan

Universitas Sumatera Utara


Obyek Sengketa dalam keadaan kosong (tidak dihuni/ditempati oleh siapapun

juga) kepada Penggugat, terhitung sejak tanggal Putusan Perkara ini memiliki

kekuatan hukum yang tetap.

10.Menghukum Tergugat untuk membayar segala biaya yang timbul dalam

perkara ini;

11.Menyatakan Putusan ini dapat dijalankan terlebih dahulu meskipun adanya

upaya hukum lainnya (uitvoerbaar bij bono);

Terhadap gugatan yang diajukan Penggugat IW terhadap Tergugat WN,

Tergugat WN mengajukan gugatan balik (rekonpensi) yang pada pokoknya

mengajukan dalil-dalil gugatan sebagai berikut :

1. Pihak yang digugat sebagai Tergugat kurang/tidak lengkap (ekesepsiplurium

litis consortium), yaitu banyak pihak yang disebutkan dalam gugatan

melakukan tindakan melawan hukum (onrectmatige daad), yaitu suami, anak-

anak dan keluarga besar Tergugat WN, akan tetapi tidak ditarik/didudukan

sebagai pihak Tergugat, hanya mendudukkan 1 (satu) orang saja, yaitu IW

sebagai Tergugat, dengan demikian terdapat kekurangan pihak-kpihak yang

ditarik/didudukan sebagai Tergugat dalam gugatan Penggugat;

Menurut hukum dan yurisprudensi tetap Putusan Mahkamah Agung gugatan

Penggugat kabur dan haruslah dinyatakan tidak dapat diterima.

2. Penggugat IW menyebutkan bahwa ketika Penggugat datang ke Obyek

Sengketa a quo sekitar tahun 2012, Penggugat mendapati Obyek Sengketa a

quo telah dihuni/ditempati oleh Tergugat, suami, anak-anak beserta keluarga

besarnya tanpa seijin Penggugat, secara sengaja telah mengabaikan Hak

Penggugat, sehingga menimbulkan kerugian bagi Penggugat dan karenanya

Universitas Sumatera Utara


merupakan perbuatan melawan hukum (onredhtmatige daad). Apabila terdapat

hubungan hukum langsung dengan pihak-pihak lain tersebut (suami, anak-anak

dan keluarga besar) yang secara feitelijk ikut menguasai Obyek Sengketa, maka

dengan didasarkan ada pertimbangan Majelis Hakim dapat atau tidak dapat

dijalankannya suatu Putusan, dalam mendudukkan pihak pihak yang

berperkara haruslah cermat, tepat dan jelas. Berdasarkan hal-hal tersebut, maka

gugatan Penggugat yang cacat formal a quo harus dinyatakan tidak dapat

diterima.

3. Bahwa guna menjawab dalil-dalil gugatan Penggugat khususnya terkait dengan

Obyek Sengketa, berupa sebidang tanah dan bangunan yang dimaksud dalam

Sertipikat Hak Milik No.501, terletak di Kota Malang, Kecamatan Blimbing,

Kelurahan Blimbing, setempat dikenal sebagai Jalan Candi Jago No.6 Malang,

luasnya 252-M2, tercatat atas nama Sumarijah Yunus, maka Tergugat

menyampaikan fakta-fakta hukum sebagai berikut :

a. Bahwa pada tanggal 19 Juni 1962 telah dilangsungkan pernikahan antara

LAY, SEAN TJONG (almarhum) dengan nyonya SUMARIJAH YUNUS,

sebagaimana ternyata dalam “Akta Pernikahan” Tjatatan Sipil Djakarta

No.303/1962 tertanggal 5 Juli 1962.

Kemudian berdasarkan “Surat Pernyataan Ganti Nama“

No.12/Kep/12/1966, yang dikeluarkan oleh Pemerintah DKI Jakarta

tertanggal 1 September 1966, nama LAY, SEAN TJONG diganti menjadi

ACHMAD JUNUS, SEANTO;

b. Bahwa dari perkawinan tersebut telah dilahirkan anak-anak dari pasangan

suami isteri ACHMAD YUNUS SEANTO d/h LAY SEAN TJONG dan

Universitas Sumatera Utara


SUMARIJAH YUNUS, salah seorang diantaranya bernama WN

(Tergugat), sesuai dengan “Akta Kelahiran” No.1618/193 tertanggal 28

September 193, yang dikeluarkan ole Tjatatan Sipil Djakarta.

c. Bahwa Obyek Sengketa telah dibeli nyonya SUMARIJAH YUNUS pada

tanggal 22 Juni 1964 dari Sarwono, luasnya + 249,85 m2, yang masih

berstatus tanah Negara, berdasarkan “Akta Jual Beli” No.68 tertanggal 22

Juni 1964, yang dibuat dihadapan Notaris Moeslim Dalidd, setempat

dikenal sebagai Jalan Candi Jago Malang;

d. Bahwa atas Obyek Sengketa tersebut dilakukan pengurusan sertipikat

secara Prona, sehingga terbitlah Sertifikat Hak Milik No.500, terletak

dalam Propinsi Jawa Timur, Kecamatan Malang, Kelurahan Blimbing,

luasnya menjadi 252-m2, tercatat atas nama Sumarijah Yunus;

e. Bahwa Achmad Yunus Seanto d/h Lay Sean Tjong telah meninggal dunia

pada tanggal 25 April 1983, yang mana Obyek Sengketa adalah sebagai

harta bulat/harta bersana yang diperoleh semasa perkawinan Achmad

Yunus Seanto dengan nyonya Sumarijah Yunus, sehingga dengan

demikian merupakan harta peninggalan almarhum yang jatuh ke tangan

ahli waris Achmad Yunus Seanto dengan nyonya Sumarijah Yunus, yaitu

Tergugat IW;

4. Bahwa Obyek Sengketa adalah merupakan harta warisan dari Achmad Yunus

Seanto dengan nyonya Sumarijah Yunus yang belum pernah dibagi waris,

dengan demikian maka secara hukum dengan meninggalnya Achmad Yunus

Seanto dan nyonya Sumarijah Yunus, tindakan hukum apapun juga yang

dilakukan haruslah mengikutsertakan/melibatkan seluruh ahli waris.

Universitas Sumatera Utara


Tindakan hukum yang dilakukan oleh nyonya Sumarijah Yunus, yaitu

menjual Obyek Sengketa dengan menandatangani akta “Pengikatan Jual Beli”

No.168 disertai dengan pemberian kuasa secara luas dan mutlak, yakni untuk

melakukan perbuatan-perbuatan pengurusan maupun perbuatan-perbuatan

pemilikan atas Obyek Sengketa a quo, termasuk menjual, menghibahkan,

menyewakan, menjaminkan atau membebani dengan ikatan apapun termasuk

membebani Hak Tanggungan atau memindahkan, melepaskan hak dengan

cara dan dan dalam bentuk apapun juga, yang mana untuk itu tanpa mendapat

persetujuan terlebih dahulu dari anak-anak Sumarijah Yunus yang merupakan

ahli waris dari bapaknya yaitu Achmad Yunus Seanto d/h Lay Sean Tjong

adalah merupakan tindakan yang tidak sah.

5. Bahwa dibuatnya akta “Pengikatan Jual Beli” No.168 tanggal 24 Juni 2006

yang dibuat dihadapan EHW Notaris di Malang, dengan tidak melibatkan

Tergugat WN dan ahli waris lainnya dari Achmad Junus Seanto d/h Lay, Sean

Tjong, adalah perbuatan melawan hukum (onrechtmatiga daad). Ini

merupakan cara Penggugat untuk menguasai harta kekayaan peninggalan

Achmad Junus Suanto d/h Lay, Sean Tjong, dengan modus menggunakan/

memanfaatkan keadaan nyonya Sumarijah Yunus yang sudah sangat tua,

sebagaimana diketahui bahwa saat dibuatnya pengikatan jual beli dan

pembelian kuasa secara luas dan mutlak, pada saat itu nyonya Sumarijah

Yunus sudah berusia 81 tahun dan dalam keadaan udzur (pikun).

6. Bahwa upaya Penggugat untuk menguasai demgan cara melawan hukum itu

jelas sangat kentara, oleh karena pada tanggal 22 Oktober 1997, Penggugat

pernah membujuk dan memanfatkan keadaan udzur (pikun) nyonya Sumarijah

Universitas Sumatera Utara


Yunus dengan mengajaknya menghadap EHW Notaris di Malang, kemudian

dibuatkan akta “Surat Wasiat (Testament), dengan akta “Surat Wasiat”

No.513 tanggal 22 Oktober 1997.

7. Bahwa baik akta “Surat Wasiat (Testament)” No.513 tanggal 22 Oktober

1997 yang dibuat dihadapan EHW Notaris di Malang maupun akta

“Pengikatan Jual Beli” No.168 dan akta “Kuasa” No.169 tertanggal 24 Juni

2006, yang dibuat dihadapan Notaris yang sama, semuanya dibuat tanpa

sepengetahuan dan tanpa persetujuan Tergugat WN dan ahli waris lainnya,

yang mempunyai hak dan kedudukan yang sama dengan nyonya Sumarijah

Yunus selaku teman harta persekutuan dengan suaminya Achmad Junus

Seanto d/h Lay, Sean Tjong).

8. Bahwa menurut hukum jelas akta “Surat Wasiat (Testament)” No.513 tanggal

23 Oktober 1997 dan “Pengikatan Jual Beli” No.168 dan akta “Kuasa”

No.169 tertanggal 24 Juni 2006 yang dibuat dihadapan EHW Notaris di

Malang tidak sah, oleh karena tidak dipenuhinya syarat-syarat untuk

melaksanakan jual beli, yakni harus ada persetujuan dari anak-anak nyonya

Sumarijah Yunus, sebagai penggantian tempat (vlat vervuling) dari Achmad

Yunus Seanto d/h Lay Sean Tjong.

Hal tersebut menunjukkan keinginan Penggugat menguasai satu-satunya harta

peninggalan Acmad Junus Seanto d/h Lay Sean Tjong), bahkan

mengakibatkan kontradiksi/pertentangan secara yuridis, yaitu pada tahun 1997

Obyek Sengketa sudah dihibah wasiatkan oleh nyonya Sumarijah Yunus

kepada Penggugat, akan tetapi pada tahun 2006 Obyek Sengketa tersebut oleh

nyonya Sumarijah Yunus dijual belikan lagi kepada Penggugat.

Universitas Sumatera Utara


Bagaimana dapat dipikirkan rasio yuridisnya nyonya Sumarijah Yunus yang

sudah menghibah wasiatkan Obyek Sengketa tersebut kepada Penggugat,

kemudian mengikat jual beli lagi atas objek yang sama kepada orang yang

sama dan dihadapan Notaris yang sama.

9. Bahwa oleh karena gugatan Penggugat didasarkan pada recht title yang tidak

sah, maka seluruh gugatan Penggugat sudah sepatutnya dinyatakan ditolak.

10. Bahwa oleh karena semua akta-akta tersebut dibuat secara melawan hukum,

maka akta “Pengikatan Jual Beli” No.168 dan akta “Kuasa’ No.169,

tertanggal 24 Juni 2006 serta akata “Wasiat (Testament)” No.513, tanggal 22

Oktober 1997, kesemuanya dibuat dihadapan EHW Notaris di Malang,

haruslah dinyatakan batal demi hukum.

11. Bahwa semua perbuatan Penggugat IW tersebut di atas telah mengusik

ketenangan hidup Tergugat WN, mengakibatkan kerugian immaterial berupa

tekanan psikis, mengganggu konsentrasi kerja dan hilangnya suasana

tenteram pada diri Tergugat WN, kerugian ini apabila dinilai dengan uang

adalah sebesar Rp.2.500.000.000.- (dua milyar limaratus juta rupiah).

12. Bahwa oleh karena gugatan rekonpensi ini didasarkan pada dalil/alasan yang

dibenarkan menurut hukum, maka sepatutnya dimohonkan kepada Pengadilan

Negeri Malang untuk mengabulkan gugatan rekonpensi ini.

2. Analisis Pertimbangan Majelis Hakim Dalam Putusan Pengadilan

No.69/Pdt.G/2014/PN.MLG

Putusan Hakim yang membatalkan akta “Pengikatan Jual Beli” No.169

dan akta “Kuasa” No.169 tanggal 24 Juni 2006, yang dibuat dihadapan EHW

Universitas Sumatera Utara


Notaris di Malang adalah sudah tepat, karena Subjek yang melakukan tindakan

hukum untuk menjual atau memberikan kuasa atas Obyek Perkara tidak

memenuhi syarat, dimana Subjeknya yaitu nyonya Sumarijah Yunus tidak cakap

untuk melakukan tindakan hukum, dimana pada saat dilakukannya pengikatan jual

beli dan pemberian kuasa tersebut keadaan nyonya Sumarijah Yunus dalam

keadaan udzur (pikun).

Majelis Hakim dalam Putusan Mahkamah Agung pada tanggal 12 Maret

2012 No. 69/Pdt.G/PN. MLG dalam perkara pembatalan akta “Pengikatan Jual

Beli” yang disertai pemberian kuasa secara luas dan mutlak, tercantum dalam akta

“Kuasa” akibat tidak terpenuhinya syarat-syarat untuk melakukan jual beli dan

pemberian kuasa dalam pertimbangan hukumnya menyatakan bahwa akta

“Pengikatan Jual Beli” No.168 tanggal 24 Juni 2006 yang dibuat dihadapan EHW

Notaris di Malang, yang pada dasarnya mencantumkan telah terjadi penjualan

Obyek Sengketa dari Nyonya Sumarijah Yunus kepada Ika Wulandari

(Penggugat), adalah merupakan produk hukum berupa akta “Pengikatan Jual Beli”

yang bukan merupakan Alas Hak Kepemilikan atas Tanah Obyek Sengketa,

karena untuk dapat dijadikan sebagai Alas Hak Kepemilikan atas Tanah, masih

diperlukan tindakan hukum lain, yaitu harus dilakukan pembayaran harga jual beli

dan penyerahan Obyek jual beli dari Penjual kepada Pembeli, sehingga akta

“Perjanjian Jual Beli” tersebut menjadi sah menurut hukum dan dengan telah

dilakukannya jual beli atas tanah dan bangunan tersebut haruslah dipenuhi syarat-

syarat sebagaimana ditentukan dalam Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 2007

tentang Pendaftaran Tanah;

Universitas Sumatera Utara


Selain itu, tidak terdapat bukti mengenai adanya pembayaran uang harga

jual beli atas obyek yang diperjual belikan dalam akta “Pengikatan Jual Beli”

No.168 tersebut di atas, dari Pembeli (Penggugat IW) kepada Penjual nyonya

Sumarijah Yunus, baik berupa kwitansi pembayaran atau bukti surat-surat lain

yang mendukung adanya pembayaran harga jual beli Obyek Sengketa tersebut di

atas.

Dalam bunyi Pasal 3 dari akta “Pengikatan Jual Beli” No.168 tersebut di atas,

yang berbunyi sebagai berikut :

“Tanah dan bangunan yang diuraikan di atas beserta segala fasilitasnya

antara lain berupa aliran listrik, saluran air leding dan sambungan telepon

nomor 49194, mulai hari ini menjadi hak pihak kedua, dan segala

keuntungan, kerugian serta resikonya mulai hari ini menjadi hak atau

tanggungan pihak kedua, tanah dan bangunan tersebut pindah kepada

pihak kedua dalam keadaannya pada hari ini dan pihak kedua mengaku

telah menerimana dari pihak kesatu”.

-adalah merupakan produk hukum berupa akta “Pengikatan Jual Beli” No168

tanggal 24 Juni 2006 yang bukan merupakan Alas Hak Kepemilikan atas Obyek

Sengketa, maka konsekwensi yurisdisnya terhadap bunyi Pasal 3 dari akta

“Pengikatan Jual Beli” No.168 tersebut di atas tidak dapat dijadikan sebagai dasar

Alas Hak Kepemilikan atas Obyek Sengketa karena Pasal 3 adalah merupakan

substansi yang termasuk dalam akta “Pengikatan Jual Beli” No.168 tersebut di

atas, atau sudah menjadi draft baku dalam suatu akta Pengikatan Jual Beli.

Pengikatan Jual Beli tersebut disertai dengan pemberian kuasa dengan akta

“Kuasa” No.169 tanggal 24 Juni 2006, yang dibuat dihadapan EHW Notaris di

Universitas Sumatera Utara


Malang, pemberian kuasa mana dilakukan secara luas dan mutlak, yaitu untuk

menjual, menghibahkan, menyewakan, menjaminkan atau membebani dengan

ikatan apapun termasuk membebani Hak Tanggungan atau memindahkan,

melepaskan hak dengan cara dan dan dalam bentuk apapun juga, adalah juga

bertentangan dengan Yurisprudensi tetap Putusan Mahkamah Agung RI No.2584

K/Pdt/1986 tanggal 14 April 1988 dan Putusan Mahkamah Agung RI

No.Reg.No.281 K/Pdt/1994 yang telah melarang untuk bertindak selaku kuasa

atas nama dan untuk kepentingan Pemberi Kuasa dengan berdasarkan suatu kuasa

Mutlak. Pemberian Kuasa tersebut juga telah dipatahkan oleh Tergugat IW

dengan ditandatanganinya “Surat Pernyataan” dari Sumarijah Yunus tertanggal 6

Februari 2014 yang menyatakan telah mencabut akta “Kuasa” No.169 tanggal 24

Juni 2006 tersebut di atas. Apakah bisa sepihak dan secara dibawah tangan.

Obyek Sengketa berupa Sertipikat Hak Milik No.501, luasnya 252-M2,

terletak di Kota Malang, Kecamatan Blimbing, Kelurahan Blimbing, setempat

dikenal sebagai Jalan Candi Jago No.6 Malang, yang hingga saat ini masih

tercatat atas nama Sumarijah Yunus, yang berarti secara hukum belum menjadi

hak dan milik Penggugat IW, karena belum dilakukan pendaftaran peralihan

haknya pada instansi yang berwenang untuk itu, sesuai dengan Peraturan

Pemerintah No.24 Tahun 2007 tentang Pendaftaran Tanah;

Tindakan hukum menjual Obyek Sengketa yang dilakukan oleh nyonya

Sumarijah Yunus tanpa/tidak mendapat persetujuan terlebih dahulu dari anak-

anak Sumarijah Yunus, yang merupakan ahli waris dari suaminya almarhum

ACHMAD YUNUS, SEANTO d/h LAY, SEAN TJONG, dimana Obyek

Sengketa merupakan satu-satunya harta peninggalan almarhum ACHMAD

Universitas Sumatera Utara


YUNUS, SEANTO yang belum pernah dibagi waris oleh para ahli warisnya,

sehingga perbuatan tersebut adalah tidak sah menurut hukum.

Menurut pendapat Majelis Hakim Mahkamah Agung, apa yang telah

dilakukan oleh Penggugat terhadap Obyek Sengketa dalam perkara a quo telah

menunjukkan adanya Paradokdalitas secara hukum dimana terdapat

kontradiksi/pertentangan secara yuridis, yaitu pada tahun 1997 Obyek Sengketa

telah dihibah wasiatkan oleh Ny.Sumarijah Yunus kepada Penggugat IW, akan

tetapi pada tahun 2006 Obyek Sengketa tersebut diikat jual belikan lagi kepada

Penggugat IW. Rasio yuridisnya nyonya Sumarijah Yunus telah menghibahkan

Obyek Sengketa kemudian mengikat jual belikan Obyek Sengketa tersebut kepada

orang yang sama adalah menimbulkan Anomali/Keanehan di dalam hukum, dan

lebih aneh lagi semuanya dibuat dihadapan Notaris yang sama, yaitu EHW

Notaris di Malang, sehingga merupakan perbuatan hukum yang tidak sah secara

hukum.

Menurut pertimbangan hukum Majelis Hakim Mahkamah Agung, ternyata

dalil-dalil Penggugat IW yang didalilkan Penggugat IW tidak dapat dibuktikan

secara sah menurut hukum, maka Majelis Hakim berpendapat Gugatan Penggugat

haruslah dinyatakan ditolak.

Penggugat IW berada di pihak yang dikalahkan, maka harus dihukum

untuk membayar semua biaya perkara yang timbul dalam perkara ini, dan

mengembalikan asli Sertipikat Hak Milik No.501 kepada Tergugat WN dan para

ahli warisnya.

Universitas Sumatera Utara


3. Akibat Hukum Pembatalan Akta Pengikatan Jual Beli dan Pemberian

Kuasa Secara Luas dan Mutlak Dalam Putusan Pengadilan

No.69/Pdt.G/2014/PN.MLG

Pengertian berwenang menurut Kamus Bahasa Indonesia adalah mempunyai

kuasa untuk melakukan sesuatu, mempunyai tugas untuk menjalankan

kekuasaan. 87 Seseorang dikatakan sebagai subjek hak yang berwenang apabila ia

adalah orang yang mempunyai hak, atau yang memperoleh pelimpahan

berwenang dari yang mempunyai hak atau dari peraturan perundangan yang

berlaku, dan untuk tindakannya itu dibenarkan menurut peraturan perundangan

yang berlaku. Masalah kewenangan dalam pengikatan jual beli dan pemberian

kuasa tersebut di atas seharusnya orang tersebut sepenuhnya berwenang untuk

melakukan suatu tindakan atau perbuatan hukum tertentu, dengan

mengikutsertakan orang-orang yang juga memiliki hak bahagian atas tanah dan

bangunan yang diperjualbelikan tersebut, sehingga tindakan hukum jual beli dan

pemberian kuasa menjadi sah secara hukum, dan tidak cacat hukum.

Dengan meninggalnya Achmad Yunus, Seanto d/h Lay Sean, Tjong selaku

teman harta persekutuan dalam perkawinan Achmad Yunus, Seanto dengan

nyonya Sumarijah Yunus, maka terjadilah penggantian tempat (vlat vervulling),

yang mana kedudukan hukum Achmad Yunus, digantikan oleh anak-anaknya,

salah seorang diantaranya adalah Tergugat WN, akan tetapi kedudukan anak-anak

nyonya Sumarijah Yunus tersebut diabaikan/ditiadakan dalam perbuatan hukum

menjual tanah dan bangunan tersebut antara nyonya Sumarijah Yunus dengan

Penggugat IW, sehingga tindakan hukum menjual tersebut tidak sempurna karena

87Ahmad A.K Muda, Kamus Besar Bahasa Indonesia Dilengkapi Dengan Ejaan Yang

Disempurnakan, Jakarta, Realita Publisher, 2006), hal.562

Universitas Sumatera Utara


hak bahagian anak-anak nyonya Sumarijah Yunus yang merupakan ahli waris dari

Achmad Yunus, Seanto tidak turut menyerahkan hak bahagiannya kepada

Pembelinya (Penggugat IW), sehingga tindakan hukum tersebut menjadi cacat

hukum dan tidak sah.

Selain itu disebutkan dalam Putusan Mahkamah Agung

No.69/Pdt.G/2014/PN.MLG bahwa Penguggat IW menggunakan/memanfaatkan

keadaan nyonya Sumarijah Yunus yang sudah sangat tua, sebagaimana diketahui

bahwa saat dibuatnya pengikatan jual beli dan pemberian kuasa secara luas dan

mutlak, pada saat itu nyonya Sumarijah Yunus sudah berusia 81 tahun dan dalam

keadaan udzur (pikun), dengan tidak melibatkan Tergugat IW dan ahli waris

lainnya dari Achmad Junus Seanto d/h Lay, Sean Tjong, adalah perbuatan

melawan hukum (onrechtmatige daad). Sayangnya dalam Putusan Mahkamah

Agung ini tidak ada ditampilkan suatu pembuktian berupa apapun juga, yang

membuktikan bahwa pada waktu dilaksanakan pengikatan jual beli dan pemberian

kuasa tersebut bahwa keadaan nyonya Sumarijah Yunus dalam keadaan udzur

(pikun), baik berupa keterangan saksi-saksi yang menyatakan nyonya Sumarijah

Yunus dalam keadaan pikun. Jika memang benar keadaan nyonya Sumarijah

udzur (pikun) pada waktu itu, maka keadaan itu secara hukum termasuk keadaan

yang tidak cakap untuk melakukan suatu tindakan hukum. Walaupun nyonya

Sumarijah Yunus telah dewasa, namun ia tidak cakap untuk melakukan perbuatan

hukum, keadaan ini termasuk dalam orang-orang yang ditaruh dibawah

pengampuan. Untuk menyatakan nyonya Sumarijah Yunus ditaruh dibawah

pengampuan, haruslah ada suatu “Penetapan” dari Pengadilan yang menetapkan

Universitas Sumatera Utara


iaberada di bawah pengampuan. Jika tidak ada, maka tidak dapat dikatakan

nyonya Sumarijah Yunus ditaruh dibawah pengampuan.

Menurut Pasal 1446 dan Pasal 1449 KUHPerdata, bahwa : “Apabila suatu

perikatan cacat pada syarat-syarat yang subjektif, yaitu salah satu partij belum

dewasa atau kalau perikatan terjadi karena paksaan, penipuan dan kekhilafan,

maka perikatan itu dapat dibatalkan”.

Selanjutnya dalam Pasal 1446 ayat (1) KUHPerdata dinyatakan bahwa :

“Semua perikatan yang dibuat oleh orang-orang yang belum dewasa atau orang-

orang yang ditaruh di bawah pengampuan adalah batal demi hukum dan atas

penuntutan yang diajukan oleh atau dari pihak mereka, harus dinyatakan batal,

semata-mata atas dasar kebelum dewasaan atau pengampuannya”. Kata-kata

“batal demi hukum” tersebut di atas, makna sebenarnya adalah “dapat

dibatalkan”.

Akibat hukum pada pembatalan dari perikatan itu adalah “Pengembalian

pada keadaan semula” (Pasal 1451 dan Pasal 1452 KUHPerdata), yang

menyatakan : “Bahwa pihak yang menuntut pembatalan tersebut dapat pula

menuntut penggantian biaya, kerugian dan bunga apabila ada alasan untuk itu.” 88

Pembatalan tidak terjadi dengan sendirinya dengan adanya wanprestasi itu,

melainkan harus dimintakan kepada Hakim, dan Hakimlah yang akan

membatalkan perjanjian itu dengan Keputusannya. Jadi Keputusan Hakim ini

bersifat konstitutif (membatalkan perjanjian antara Penggugat dan Tergugat),

88
Mariam Darus Badrulzaman, dkk, Kompilasi Hukum Perikatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung
2001, hal.14

Universitas Sumatera Utara


bukan bersifat deklaratif (menyatakan batal perjanjian antara Penggugat dan

Tergugat). 89

Bilamana Hakim dengan keputusannya telah membatalkan perjanjian, maka

hubungan hukum antara pihak yang semula mengadakan perjanjianpun menjadi

batal, sehingga masing-masing pihak tidak perlu lagi memenuhi prestasinya. 90

Pengertian pemberian kuasa dapat dijumpai pada Pasal 1792 KUHPerdata,

yang menyatakan bahwa : “Pemberian Kuasa ialah suatu persetujuan yang

berisikan pemberian kekuasaan kepada orang lain yang menerimanya untuk

melaksanakan sesuatu atas nama orang yang memberikan kuasa”. Pengertian ini

menunjukkan bahwa sifat pemberian kuasa tidak lain untuk mewakilkan atau

perwakilan (vertegenwoordiging).

Menurut Rachmat Setiawan, kuasa adalah kewenangan yang diberikan oleh

pemberi kuasa kepada penerima kuasa untuk melakukan tindakan hukum atas

nama pemberi kuasa. Kuasa adalah suatu hak yang melahirkan suatu kewenangan

untuk mewakili, karena merupakan suatu hak, maka kuasa termasuk dalam harta

kekayaan pemberi kuasa. 91

Pemberian kuasa itu menerbitkan perwakilan, yaitu adanya seseorang yang

mewakili orang lain untuk melakukan suatu perbuatan hukum. Perwakilan seperti

ini ada yang lahir dari undang-undang dan ada yang lahir dari suatu perjanjian. 92

Setelah membaca Pasal 1796 KUHPerdata ternyata pemberian kekuasaan

kepada orang lain boleh diberikan secara luas, hal ini secara jelas dan tegas

ternyata dalam Pasal 1796 KUHPerdata, yang menyatakan :

89
Riduan Syahrani, Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, Alumni,2000, hal.242.
90
Op.Cit, hal 243
91
Rachmat Setiawan, Hukum Perwakilan dan Kuasa, Suatu Perbandingan Hukum Indonesia dan
Hukum Belanda Saat ini, Tatanusa, 2005, hal.1
92
R.Subekti, Hukum Perjanjian, PT.Intermasa, Jakarta, 1990, hal 141.

Universitas Sumatera Utara


“Pemberian Kuasa yang dirumuskan secara umum hanya meliputi

tindakan-tindakan yang menyangkut pengurusan. Untuk memindahkan

barang atau meletakkan hipotek di atasnya, untuk membuat suatu

perdamaian, ataupun melakukan tindakan lain yang hanya dapat

dilakukan oleh seorang pemilik, diperlukan suatu pemberian kuasa

dengan kata-kata yang tegas”.

Membaca bunyi Pasal 1792 KUHPerdata tersebut di atas, ternyata pemberian

kuasa luas diperbolehkan, akan tetapi dalam Putusan Mahkamah Agung

No.69/Pdt.G/2014/PN.MLG disebutkan bahwa akta Pengikatan Jual Beli No.168

disertai dengan pemberian kuasa secara luas dan mutlak, yang tercantum dalam

akta “Kuasa” No.169 tanggal 24 Juni 2006 tersebut di atas, yakni untuk

melakukan perbuatan-perbuatan pengurusan maupun perbuatan-perbuatan

pemilikan atas Obyek Sengketa a quo, termasuk menjual, menghibahkan,

menyewakan, menjaminkan atau membebani dengan ikatan apapun termasuk

membebani Hak Tanggungan atau memindahkan, melepaskan hak dengan cara

dan dan dalam bentuk apapun juga dinyatakan oleh Putusan tersebut tidak sah dan

melawan hukum. Kuasa yang tercantum dalam akta “Kuasa” No.169 tersebut di

atas adalah Kuasa luas dan tidak termasuk dalam kuasa mutlak, karena tidak

mencantumkan klausul yang terkandung dalam pasal 1813 1814 dan 1816 Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata, yang mana bunyi kuasa mutlak yang

sesungguhnya adalah sebagai berikut 93:

“Kuasa-kuasa tersebut adalah merupakan bahagian yang terpenting dan


tidak terpisahkan dari perjanjian ini, yang mana tanpa kuasa-kuasa
dimaksud perjanjian ini tidak akan diperbuat atau dilangsungkan, dan oleh
karenanya kuasa-kuasa tersebut tidak dapat dicabut/ditarik kembali

93
Dikutip dari akta Perjanjian Kredit yang dibuat dihadapan Notaris

Universitas Sumatera Utara


ataupun dibatalkan, dan tidak akan berakhir oleh karena sebab dan alasan
apapun juga, terutama sekali karena sebab-sebab yang tercantum dalam
Pasal 1813 1814 dan 1816 Kitab Undang-Undang Hukum Perdatadan Para
Pihak sepakat untuk mengenyampingkan ketentuan pasal-pasal tersebut”.

Pendapat Kuasa Hukum Tergugat IW dan Majelis Hakim Mahkamah

Agung kiranya tidak tepat yang menyatakan bahwa pemberian kuasa yang

tercantum dalam akta “Kuasa” No.169 tersebut adalah kuasa mutlak, padahal

tidak termasuk dalam kuasa mutlak, akan tetapi berupa kuasa luas, yang ternyata

kuasa luas ini diperbolehkan sesuai dengan bunyi dalam Pasal 1796 KUHPerdata

yang telah disebutkan di atas.

Agar pengertian kuasa mutlak lebih jelas lagi maksudnya sebagaimana

selalu disebut-sebut dalam Putusan Mahkamah Agung

No.69/Pdt.G/2014/PN.MLG (akan tetapi tidak termasuk dalam kategori kuasa

mutlak), dapat dilihat dalam Instruksi Menteri No.14 Tahun 1982 tentang

Larangan Pemberian Kuasa Mutlak Sebagai Pemindahan Hak Atas Tanah. Dalam

Instruksi tersebut menyebutkan 94 :

a. Melarang Camat dan Kepala Desa atau Pejabat yang setingkat dengan itu,
untuk membuat/menguatkan pembuatan Surat Kuasa Mutlak yang pada
hakekatnya merupakan pemindahan hak atas tanah.
b. Kuasa Mutlak yang dimaksud dalam Diktum Pertama adalah kuasa yang
didalamnya mengandung unsur tidak dapat ditarik kembali oleh pemberi
kuasa.
c. Kuasa Mutlak yang pada hakekatnya merupakan pemindahan hak atas tanah
adalah Kuasa Mutlak yang memberikan kewenangan kepada penerima kuasa
untuk menguasai dan menggunakan tanahnya serta melakukan segala
perbuatan hukum yang menurut hukum dapat dilakukan oleh pemegang
haknya.
d. Melarang Pejabat-pejabat Agraria untuk melayani penyelesaian status hak atas
tanah yang menggunakan Surat Kuasa Mutlak sebagai bahan pembuktian
pemindahan hak atas tanah.

Penggunaan kuasa mutlak dalam akta Pengikatan Jual Beli hak atas tanah

94
Instruksi Menteri Dalam Negeri No.14 Tahun 1982

Universitas Sumatera Utara


diberikan untuk menjaga kepentingan penerima kuasa (pembeli) apabila

kewajiban-kewajiban dari pemberi kuasa (penjual) sudah terpenuhi. Pemberian

kuasa mutlak adalah sah, apabila janji pemberian kuasa yang tidak dapat ditarik

kembali merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari suatu perjanjian

sehinggan keabsahan akta Pengikatan Jual Beli dengan penggunaan pemberian

kuasa mutlak di dalam akta Pengikatan Jual Beli adalah sah, karena pemberian

kuasa digunakan untuk kepentingan penerima kuasa dan merupakan bagian yang

tidak terpisahkan dari akta Pengikatan Jual Beli, sehingga penggunaan kuasa

mutlak dalam akta Pengikatan Jual Beli tidak bertentangan dengan Instruksi

Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1982 tentang Larangan Pewnggunaan

Kuasa Mutlak Sebagai Pemindahan Hak Atas Tanah. 95

Dampak pemberian kuasa mutlak adalah pemberi kuasa tidak dapat

mencabut kuasa. Biasanya suaut kuasa akan dianggap sebagai surat kuasa mutlak

dengan dicantumkan klausula bahwa pemberi kuasa akan mengesampingkan

berlakunya Pasal 1813 jo Pasal 1614 KUHPerdata mengenai cara berakhirnya

pemberian kuasa , dengan demikian pemberi kuasa menjadi tidak dapat lagi

menarik kembali kuasanya tanpa kesepakatan pihak penerima kuasa. Penggunaan

surat kuasa mutlak ini adalah termasuk salah satu bentuk lex mercatoria yang

sudah menjadi hukum kebiasaan sehari-hari dalam dunia bisnis. 96

Mengenai dasar pemberian kuasa diatur dalam Pasal 1792 KUHPerdata,

yang berbunyi :

“Pemberian Kuasa ialah suatu persetujuan yang berisikan pemberian kekuasaan

kepada orang lain yang menerimanya untuk melaksanakan sesuatu atas nama
95
Hendra Setiawan Boen, “Tinjauan Terhadap Surat Kuasa Mutlak”, diakses di
www.hukumonline.com tanggal 4 Nopember 2017
96
ibid, Hendra Setiawan Boen

Universitas Sumatera Utara


orang yang memberikan kuasa”.

Karena pemberian kuasa memiliki unsur sebagai suatu perjanjian yaitu

persetujuan, maka pemberian kuasa seperti halnya perjanjian menganut sistem

terbuka atau asas kebebasan berkontrak yang tercantum dalam Pasal 1338

KUHPerdata, berarti pemberi kuasa maupun penerima kuasa berhak

memperjanjikan apa saja asalkan tidak bertentangan dengan Undang-Undang,

kesusilaan dan ketertiban umum. Pemberian kuasa mutlak dapat dijumpai dalam

akta Perjanjian kredit, akta Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan

(SKMHT), yakni :

1. Dalam akta “Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan” Pasal 15 ayat (2)

UU No.4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-

Benda yang Berkaitan dengan Tanah, mengatur bahwa Surat Kuasa

Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) bersifat tidak dapat ditarik

kembali dan tidak berakhir oleh sebab apapun juga, termasuk apabila pemberi

kuasa meninggal dunia, kecuali karena telah dilaksanakannya kewajiban

pemberi kuasa, yakni melunaskan seluruh kreditnya kepada Bank.

2. Dalam akta “Perjanjian Kredit” dimana Debitur telah memberi kuasa kepada

Kreditur untuk mendebet (memotong) rekening Debitur, yang mana kuasa

tersebut tidak dapat berakhir karena sebab apapun juga sampai dengan

dilunasinya utang Debitur kepada Kreditur. Maka dengan demikian surat

kuasa tersebut tetap berlaku hingga dilunaskannya hutang-hutang Debitur. Hal

ini didasari oleh asas pacta sunt survanda dimana perjanjian mengikat sebagai

Undang-Undang bagi para pihak yang mengadakan perjanjian.

Universitas Sumatera Utara


Menurut Rachmat Setiawan, kuasa adalah kewenangan yang diberikan oleh

pemberi kuasa kepada penerima kuasa untuk melakukan tindakan hukum atas

nama pemberi kuasa. Kuasa adalah suatu hak yang melahirkan suatu kewenangan

untuk mewakili, karena merupakan suatu hak, maka kuasa termasuk dalam harta

kekayaan pemberi kuasa. 97

Pemberian kuasa itu menerbitkan perwakilan, yaitu adanya seseorang yang

mewakili orang lain untuk melakukan suatu perbuatan hukum. Perwakilan seperti

ini ada yang lahir dari undang-undang dan ada yang lahir dari suatu

perjanjian. 98Oleh karena pemberian kuasa merupakan perjanjian, maka pemberian

kuasa dapat diberikan untuk tindakan apapun juga, baik yang sudah ada aturannya

dalam undang-undang maupun yang belum ada peraturannya sama sekali, selama

hal tersebut tidak dilarang oleh undang-undang dan tidak bertentangan dengan

hukum, kesusilaan dan ketertiban umum.

Keadilan merupakan tindakan berani dan jujur yang sangat dirindukan

dalam kehidupan sosial manusia yang umumnya diakui di semua tempat di dunia

ini. Apabila keadilan itu kemudian dikukuhkan ke dalam instusi yang namanya

hukum, maka institusi hukum itu harus mampu untuk menjadi saluran agar

keadilan itu dapat diselenggarakan secara saksama dalam masyarakat, sehingga

para Hakim patut mendapat julukan sebagai “Wakil Tuhan” yang nyata di

kehidupan manusia di dunia, jika ia mati maka ia akan masuk sorga, jika ia

mengambil suatu keputusan secara tidak adil, karena suatu imbalan, maka ia telah

berbuat dosa, mengorbankan sesamanya manusia hanya demi uang, harta,

kekayaan dan kesenangan duniawi, maka jika Hakim itu mati, ia akan masuk
97
Rachmat Setiawan, Hukum Perwakilan dan Kuasa, Suatu Perbandingan Hukum Indonesia dan
Hukum Belanda Saat ini, Tatanusa, 2005, hal.1
98
R.Subekti, Hukum Perjanjian, PT.Intermasa, Jakarta, 1990, hal 141.

Universitas Sumatera Utara


neraka dan menerima segala akibat hukum yang dia perbuat. Takut akan Tuhan

adalah merupakan sumber segala berkat, maka para Hakim harus takut akan

Tuhan, jika Hakim jujur maka ia akan memperoleh berkat yang melimpah-limpah

hingga bejananya penuh melimpah-limpah.

Universitas Sumatera Utara


BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian mengenai tinjauan yuridis penggunaan surat

kuasa menjual dalam jual beli tanah dan bangunan dapat disimpulkan bahwa :

1. Suatu perjanjian pemberian kuasa sebagaimana yang diatur dalam 1792

KUHPerdata terjadi karena adanya pelimpahan kekuasaan atau wewenang

dari si pemberi kuasa kepada si penerima kuasa untuk mewakili

kepentingannya. Hal ini selain bertujuan untuk memudahkan transaksi jual

beli tanah hak milik yang terjadi diantara kedua belah pihak juga merupakan

bukti bahwa seseorang seringkali tidak dapat menyelesaikan urusannya

sendiri sehingga ia memerlukan jara orang lain, yang akhirnya menciptakan

suatu hubungan. Pemberian kuasa menjual dapar diberikan untuk melakukan

transaksi jual beli tanah atau dapat terjadi setelah ada perjanjian ikatan jual

beli maupun perjanjian jual beli tanah.

2. Pemberian kuasa yang telah disepakati oleh kedua belah pihak dan telah

ditandatangani oleh keduanya merupakan awal terjadinya perjanjian kuasa

menjual. Keabsahan pemberian kuasa tersebut tidak tergantuk pada bentuk

atau formalitasnya akan tetapi bentuknya bebas, bias berupa akta otentik,

surat dibawah tangan, surat biasa maupun secara lisan. Surat kuasa tersebut

berlaku mulai saat ditandatangani hingga batas waktu yang tercantum

didalam isi perjanjian, atau selama perjanjian pokoknya masih berlangsung.

Jangka waktu berlakunya surat kuasa menunjukkan keabsahan dari segala

tindakan yang dilakukan oleh para pihak khususnya pihak penerima kuasa.

Universitas Sumatera Utara


3. Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik

dan memilikikewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-

Undang ini atau berdasarkan undang-undang lainnya.Notaris sebagai pejabat

yang mengatur secara tertulis dan mengesahkan hubungan hukum para pihak

dalam bentuk akta otentik, akta mana memuat peristiwa PPJB itu dengan

dasar hukum yang kuat untuk berlaku sebagai alat bukti. Kekuatan

pembuktiannya harus memberikan nilai pembuktian yang sempurna dan

mengikat sebagai akta otentik. Sehingga dari kerangkanya apa yang syaratkan

atau harus dimuat dalam masing-masing bagian akta tersebut menurut apa

yang disyaratkan oleh undangundang serta harus mengandung unsur-unsur

otentisitas.

4. Dalam hubungan dengan pelaksanaan jabatan Notaris apabila seorang Notaris

melakukan pelanggaran atau kesalahan dalam menjalankan jabatan sehingga

menimbulkan kerugian kepada orang lain, maka Notaris bersangkutan dapat

dipertanggungjawabkan secara perdata (civielrechtelijkeaansprakelijkheid)

untuk membayar kerugian yang diderita oleh orang lain.

B. Saran

Adapun saran yang penulis kemukakan dalam penulisan skripsi ini adalah

sebagai berikut :

1. Perjanjian pemberian kuasa yang berarti memberikan wewenang kepada

orang lain untuk atas namanya menyelenggarakan suatu urusan, sebaiknya

dibuat atau dituangkan dalam suatu perjanjian tertulis, baik dengan akta

otentik maupun dengan akta dibawah tangan yang penandatanganannya

Universitas Sumatera Utara


dilakukan dihadapan notaris karena hal ini merupakan bukti hitam diatas

putih yang menunjukkan adanya suatu peristiwa sebagaimana yang tertulis

didalamnya, sehingga apabila ada salah satu pihak yang mengingkarinya

maka pihak lain menuntutnya berdasarkan bukti yang ada, mengingat hukum

acara perdata Indonesia hanya membutuhkan bukti formil.

2. Mengingat persoalan tanah sangat peka dalam kehidupan masyarakat kita

maka hendaknya pemerintah didalam membuat suatu keputusan harus betul-

betul memperhatikan rasa keadilan dalam masyarakat, serta keputusan

tersebut dibuat berdasarkan kewenangan yang ada diantara instansi

pemerintah, terutama peraturan dibidang pertanahan karena hal ini berdampak

pada kepercayaan masyarakat terhadap hukum yang berlaku di Negara kita.

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR PUSTAKA

BUKU-BUKU

Affandi, Ali. 1997.Hukum Waris-Hukum Keluarga-Hukum Pembuktian.


Jakarta:Rineka Cipta.
A.K Muda, Ahmad Kamus Besar Bahasa Indonesia Dilengkapi Dengan Ejaan
Yang Disempurnakan, Jakarta, Realita Publisher, 2006
Ali, Zainuddin. 2009. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Sinar Grafika.

Andasasmita, Komar.1990. Notaris II Contoh Akta Otentik dan Penjelasannya.


Ikatan Notaris Indonesia.

Badrulzaman, Mariam Darus, dkk. 2001. Kompilasi Hukum Perikatan. Jakarta:


Citra Aditya Bakti
Budiono, Herlien. 2008. Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang
Kenotariatan. Bandung: Citra Aditya Bakti

Bustami, Chairani.2008. Contoh-contoh Akta Notaris. Medan: Pustaka Bangsa.


Hernoko, Agus Yudha. 2010. Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam
Kontrak Komersial. Jakarta: Kencana Prenada Media Group
Latumenten, Pieter E. 2003. Kuasa Menjual dalam Akta Pengikatan Jual-Beli
lunas tidak termasuk Kuasa Mutlak. Jurnal Renvoi, Jakarta, Edisi
September 2003, hal 36
Madiasmo. 2001. Perpajakan, edisi revisi. Yogyakarta: Andi.

Meliala, Djaja S.1982. Pemberian Kuasa Menurut Kitab Undang-Undang Hukum


Perdata. Bandung: Tarsito.

Mertokusumo, Sudikono. 1991. Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta:


Liberty.
Miru, Ahmadi. 2011. Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak. Jakarta:
RajaGrafindo Persada

Miru, Ahmadidan Sakka Pati. 2008. Hukum Perikatan Penjelasan Makna Pasal
1233 sampai 1456 BW. Jakarta: Rajawali Pers.

Universitas Sumatera Utara


Muhammad, Abdulkadir. 1992. Hukum Perikatan. Bandung : Citra Aditya Bakti
Nico. 2003.Tanggungjawab Notaris selaku Pejabat Umum, Yogyakarta:Centre
for Documentation and Studies of Business Law.
Perangin, Effendi. 1991. Hukum Agraria di Indonesia, Suatu Telaah dari Sudut
Pandang Praktisi Hukum. Jakarta: Rajawali Pers.
Poerwadarminta, W.J.S. 1987.Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka.
Pohan, Marthalena. 1985.Tanggunggugat Advocaat, Dokter dan Notaris.
Bandung: Alumni.
Prayudi, Guse. 2007.Seluk Beluk Perjanjian. Yogyakarta: Pustaka Pena.

Prododikoro, R. Wiryono. 1987. Asas-asas Hukum Perjanjian. Bandung: Sumur

Sari, Kartikan. 2004. Pemberan Kuasa Menjual Tanah dalam Praktekk Notaris
(Penelitian di Kota Medan). Medan :Thesis Sekolah Pasca Sarjana
Universitas Sumatera Utara
Sembiring,M.U. 1991. Contoh-contoh Akta Notaris dalam Praktek Sehari-hari.
Medan: Program Pendidikan Spesialis Notariat Fakultas Hukum Universitas
Sumater Utara
Setiawan, Rachmat, 1979,Pokok-pokok Hukum Perikatan. Bandung: Bina Cipta

________________, Hukum Perwakilan dan Kuasa, Suatu Perbandingan Hukum


Indonesia dan Hukum Belanda Saat ini, Tatanusa, 2005

Soekanto, Soerjono. 1981. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press

Subekti, R. 1995,Aneka Perjanjian. Bandung: Citra Aditya Bakti.


_________ 2002, Hukum Perjanjian. Jakarta: Intermasa

Supriadi. 2008. Etika & Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia. Jakarta:
Sinar Grafika

Suratman dan Philips Dillah. 2013. Metode Penelitian Hukum. Bandung:


Alfabeta.

Syahrani, Riduan Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, Alumni,2000.

Universitas Sumatera Utara


Tobing,G.H.S.L. 1999. Peraturan Jabatan Notaris. Jakarta: Erlangga.
Wicaksono. 2009. Panduan Lengkap Membuat Surat-Surat Kuasa. Jakarta:
Visimedia.
Widjaya, I.G. Rai. 2008. Merancang Suatu Kontrak. Jakarta: Megapion.
Wiraatmadja, Rasjim dkk. Himpunan Yurisprudensi Hukum Perdata Indonesia.
Jakarta: Kantor Advokat Rasjim Wiraatmadja
Yamin, Muhammad, Beberapa Masalah Aktual Hukum Agraria, Pustaka Bangsa
Press, Medan, 2004.
Yudha Hernoko, Agus, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak
Komersial, Kencana Prenada Media Group, 2010.

ARTIKEL
Abdul Ghofur, Anshori Lembaga Kenotariatan Indonesia, Perspektif Hukum dan
Etika, UII Press, Yogyakarta, 2009.
Tobing, G.H.S.L. Lembaga Kuasa, Makalah yang disampaikan dalam kursus
penyegaran Notaris, Ikatan Notaris Indonesia, di Surabaya tanggal 29-31
Mei 1988

Budiono, Herlien artikel “Pengikat Jual Beli Dan Kuasa Mutlak” Majalah
Renvoi, edisi tahun I, No 10, Maret 2004

Kohar,A. Lembaga Kuasa merupakan bagian dalam kehidupan bermasyarakat,


Edisi perkenalan Ikatan Notaris Indonesia Komisariat Jawa Timur, Media
Notariat, Surabaya, 1986
Panjaitan, Melisa Oktavia, Analisis Yuridis Penggunaan Kuasa Mutlak Dalam
Pengikatan Jual Beli Hak Atas Tanah, Skripsi Universitas Tanjungpura
Yamin, Muhammad, Beberapa Masalah Aktual Hukum Agraria, Pustaka Bangsa
Press, Medan, 2004.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris

Universitas Sumatera Utara


Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok


Agraria.

INTERNET

Satrya Adhitama, “Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) versus Akta Jual Beli
(AJB), http://satryaadhitama.blogspot.com/2013/06/perjanjian-pengikatan-
jual-beli-ppjb.html, diakses tanggal 20 November 2015

Boen, Hendra Setiawan, “Tinjauan Terhadap Surat Kuasa Mutlak”, diakses di


www.hukumonline.com tanggal 4 Nopember 2017

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai