Anda di halaman 1dari 20

TUGAS 3

MENGULAS KOMPONEN ELEMEN FISIK


PERANCANGAN KOTA DI YOGYAKARTA
MATA KULIAH ARSITEKTUR KOTA

DISUSUN OLEH :
NAMA : ISMI MUFITA KALOKO

DOSEN : Dr. Wahyu Utami, ST, MT.

DEPARTEMEN ARSITEKTUR
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2020/2021
1. Gambaran Umum Kota Yogyakarta
1.1 Batas Wilayah
Kota Yogyakarta berkedudukan sebaggai ibukota Propinsi DIY dan merupakan satu-
satunya daerah tingkat II yang berstatus Kota di samping 4 daerah tingkat ll lainnya yang
berstatus Kabupaten. Kota Yogyakarta terletak ditengah-tengah Propinsi DIY, dengan
batas-batas wilayah sebagai berikut :

Sebelah utara : Kabupaten Sleman

Sebelah timur : Kabupaten Bantul & Sleman

Sebelah selatan: Kabupaten Bantul

Sebelah barat: Kabupaten Bantul & Sleman

Wilayah Kota Yo2gyakarta terbentang antara 110° 24 19 sampai 110° 28' 53 Bujur
Timur dan 70 15 24 sampai 7° 49 26 Lintang Selatan dengan ketinggian rata-rata 114 m
diatas permukaan laut.

1.2 Keadaan Alam


Secara garis besar Kota Yogyakarta merupakan dataran rendah dimana dari barat ke
timur relatif datar dan dari utara ke selatan memiliki kemiringan t 1 derajat, serta terdapat 3
(tiga) sungai yang melintas Kota Yogyakarta, yaitu :

Sebelah timur adalah Sungai Gajah Wong

Bagian tengah adalah Sungai Code

Sebelah barat adalah Sungai Winongo

1.3 Luas Wilayah


Kota Yogyakarta memiliki luas wilayah tersempit dibandingkan dengan daerah
tingkat Il lainnya, yaitu 32,5 Km2 yang berarti 1,025% dari luas wilayah Propinsi DIY
Dengan luas 3.250 hektar tersebut terbagi menjadi 14 Kecamatan, 45 Kelurahan, 617 RW,
dan 2.531 RT, serta dihuni oleh 428.282 jiwa dengan kepadatan rata-rata 13.177 jiwa/Km2

1.4 Iklim
Tipe iklim "AM dan AW", curah hujan rata-rata 2.012 mm/thn dengan 119 hari
hujan, suhu rata-rata 27,2°C dan kelembaban rata- rata 24,7%. Angin pada umumnya
bertiup angin muson dan pada musim hujan bertiup angin barat daya dengan arah 220°
bersifat basah dan mendatangkan hujan, pada musim kemarau bertiup angin muson
tenggara yang agak kering dengan arah t 90° - 140° dengan rata-rata kecepatan 5-16
knot/jam.
2. Elemen-Elemen Fisik Perancangan Kota di Yogyakarta
2.1. Tata Bangunan di Bangirejo Taman
Kota Yogyakarta merupakan salah satu kota kolonial yang ada di Indonesia.
Mengutip dari Surjomiharjo (2008), pihak kolonial Belanda telah mengambil peran pada
perkembangan Kota Yogyakarta semenjak awal pendirian Kota Yogyakarta pasca
Perjanjian Giyanti tahun 1755 dengan pendirian berbagai bangunan kolonial. Perumahan
kolonial Belanda di kawasan Bangirejo Taman merupakan fasilitas rumah dinas bagi
pegawai pemerintahan kolonial Belanda (amtenar) yang didirikan pada tahun 1930 an.
Ambtenaar Regering Instantie jika diartikan dalam Bahasa Indonesia adalah instansi
pegawai pemerintahan yang menempati rumah tinggal dinas milik pemerintah kolonial
Belanda. Bangirejo Taman disinyalir merupakan nama baru yang diberikan oleh
masyarakat setelah masa kemerdekaan. Dari peta lama yang diterbitkan oleh Pemerintah
Kolonial Belanda periode tahun 1924-1935, kawasan tersebut memiliki identitas sebagai
Prinses Juliana Laan.

Permukiman kolonial Belanda di Bangirejo Taman diperkirakan tumbuh pada awal


abad ke-20. Hal ini berdasarkan pengamatan terhadap 5 buah peta lama yang dikumpulkan
oleh peneliti yaitu tahun 1790, 1812, 1830, 1833, dan 1878 dimana kawasan permukiman
kolonial Belanda di Bangirejo Taman belum tergambarkan atau masih digambarkan
sebagai zona hijau yang tidak terdapat jalan maupun bangunan di dalamnya.

Gambar 1. Hoofdplaats (peta inti) kota Yogyakarta 1790 (kiri) dan Peta jalan kota Yogyakarta
1812 (kanan), belum menggambarkan kawasan Bangurejo Taman.
Gambar 2. Platteground (site plan) Yogyakarta 1830 (kiri) dan peta situasi kota Yogyakarta 1833 (kanan),
belum menggambarkan Bangirejo Taman.

Gambar 3. Peta Yogyakarta 1878 (kiri), Plattegrounds (Peta Lantai /Site Plan) Djokdjakarta 1903(kanan).
Pada kedua peta tersebut Kawasan Bangirejo Taman digambarkan sebagai Kawasan Pertanian (kiri), atau
Belum Digambarkan (kanan).

Gambar 4. Peta Yogyakarta Omstreken 1925

Gambar 5. Peta Yogyakarta 1935


Gambar 6. Foto Udara Bangirejo Taman Tahun 2019 (kiri), Block Plan Bangirejo Taman Tahun 2020
(kanan)

Bentuk-bentuk rumah tinggal di kawasan Bangirejo Taman memiliki kemiripan yang


cukup kuat antara satu dengan yang lainnya. Dari 22 bangunan yang ada, sebagian besar
bentuk bangunan rumah tinggal relatif tidak berubah dari bentuk aslinya. Jika terdapat
perubahan, umumnya adalah perubahan minor seperti misalnya perubahan warna atau
material penutup, dan perubahan sedang yaitu berupa penambahan ruang tanpa merubah
bentuk asli dari bangunan. Perubahan mayor berupa penambahan atau perubahan bentuk
yang sama sekali berbeda dengan bentuk aslinya.

Beberapa ciri khas yang membedakan kawasan Bangirejo Taman dengan permukiman
kolonial di sekitarnya.

 Adanya 2 buah taman di sudut Timur dan Barat sebagai wujud penyelesaian
desain sekaligus menjadi buffer bagi kawasan Bangirejo Taman dengan
sekitarnya.
 Adanya pemisah berupa jalan kecil atau selokan yang mengelilingi bagian
belakang dari rumah-rumah tinggal kolonial di Bangirejo Taman. Pemisah
tersebut tampaknya selain memiliki fungsi sebagai buffer kawasan Bangirejo
Taman, juga memiliki fungsi sanitasi lingkungan mengingat bagian belakang
dari rumah tinggal kolonial umumnya merupakan bagian servis.
 Adanya jarak sempadan antara pemisah berupa jalan kecil/selokan yang
mengitari kawasan dengan saluran drainase dan pengairan.

Rumah-rumah tinggal kolonial di kawasan Bangirejo Taman tidak memiliki massa


bangunan yang saling menempel. Setiap rumah tinggal memiliki halaman depan dan
halaman samping di sebelah kanan dan kiri bangunan. Hal ini akan menyebabkan sirkulasi
udara pada semua sisi bangunan akan lancar meskipun luasan tanah tidak terlampau besar
yaitu sekitar 200m² untuk lahan bangunan yang tidak berada di ujung kawasan, dan sekitar
300-400 m² untuk lahan bangunan yang berada di ujung kawasan. Setiap kavling bangunan
dibatasi dengan pagar rendah berketinggian kurang lebih 70-80 cm. Orientasi bangunan
rumah tinggal kolonial di kawasan Bangirejo Taman berorientasi pada taman yang berada
di bagian tengah dari kawasan. Dengan bentuk kawasan menyerupai segitiga, maka
bangunan rumah tinggal memiliki orientasi ke Utara, Tenggara, dan Barat Daya. Ketiga
orientasi tersebut merupakan orientasi yang cukup nyaman bagi bangunan karena
mendapatkan aliran udara yang baik dimana rata-rata angin di Yogyakarta berhembus dari
Utara ke Selatan dan sebaliknya.

2.1.1 Karakteristik Bangunan Pada Permukiman Kolonial Belanda di Bangirejo Taman

A. Tata Massa dan Ruang pada Bangunan

Tipologi tata ruang pada bangunan rumah tinggal kolonial di kawasan Bangirejo Taman
hanya terdiri dari 1 tipe saja. Namun demikian 1 tipe bangunan tersebut memiliki 2 buah
bentuk lahan yang berbeda, yaitu lahan yang berada di ujung kawasan, dan yang berada di
tengah kawasan.

Bangunan rumah tinggal di kawasan Bangirejo Taman bukan merupakan massa tunggal,
melainkan terdiri dari beberapa bagian yaitu bangunan inti (hoofdgebouw), bangunan
servis (bijgebouw) dan selasar. Bangunan inti merupakan bangunan dimana ruang-ruang
inti seperti ruang tidur, ruang keluarga, ruang tamu, dan ruang lainnya yang sehari-hari
lebih banyak digunakan oleh tuan rumah. Sedangkan bangunan servis merupakan halaman
bangunan dimana ruang-ruang penunjang bangunan inti seperti ruang dapur, kamar mandi,
WC, dan ruang lainnya yang sehari-hari lebih sering digunakan oleh pembantu rumah
tangga.

Gambar 7. Diagram Bentuk Massa Bangunan Rumah Tinggal di Kawasan Bangirejo Taman

Menurut Akihary (1998), dan Passchier (2009) serta dikaitkan dengan pernyataan Nix
(1949) maka bangunan rumah tinggal kolonial di Kawasan Bangirejo Taman tergolong
pada rumah tinggal tipe kecil karena memiliki luas lahan kurang dari 600 m². Adapun yang
perlu dijadikan catatan adalah bangunan rumah tinggal di Kawasan Bangirejo Taman tidak
didesain untuk mengakomodir keberadaan pembantu rumah tangga, hal ini tampak dari
tidak adanya ruang tidur untuk pembantu rumah tangga.

B. Orientasi Bangunan
Orientasi bangunan inti orientasi menghadap ke jalan (street frontage) dengan arah hadap
ke arah Timur, Barat, Utara, dan Selatan. Perbedaan arah hadap tersebut menyesuaikan
bentuk lahan kawasan. Orientasi bangunan inti menghadap jalan didesain untuk
mendapatkan kemudahan aksesibilitas bangunan baik menggunakan kendaraan ataupun
berjalan kaki.
Gambar 8. Diagram Bentuk Massa Bangunan Rumah Tinggal di Kawasan Bangirejo Taman

C. Bentuk dan Susunan Ruang

Bentuk ruang pada bangunan inti maupun bangunan servis pada rumah tinggal di Kawasan
Bangirejo Taman semuanya menggunakan bentuk persegi atau persegi panjang yang
didasarkan pada efektifitas dan efisiensi ruang. Susunan ruang-ruang pada bangunan inti
rumah tinggal di kawasan Bangirejo Taman menggunakan pola 2x2 buah lapisan ruang
sehingga massa bangunan inti mendekati persegi. Berbeda dengan bangunan inti, susunan
ruang pada bangunan servis hanya memiliki 1 lapisan ruang yang disusun linier ke arah
samping sehingga massa bangunan servis cenderung berbentuk persegi panjang.

Gambar 9. Diagram Bentuk dan Susunan Ruang Bangunan Rumah Tinggal di Kawasan Bangirejo Taman

D. Pola Sirkulasi Pada Bangunan


Bangunan rumah tinggal di kawasan Bangirejo Taman memiliki pintu masuk berjumlah
1 yang berada di ujung lahan serta tidak segaris dengan arah masuk pada bangunan inti
merupakan salah satu cara yang ditempuh agar privasi visual bagi pemilik rumah tetap
terjaga.

Akses masuk menuju bangunan inti maupun bangunan servis pada rumah tinggal di
Kawasan Bangirejo Taman masing-masing berjumlah 1 buah namun dibedakan
berdasarkan pengguna dan tujuan penggunaannya. Adapun akses masuk menuju bangunan
inti melalui pintu depan yang dilengkapi dengan teras kecil, sedangkan akses masuk
langsung menuju bangunan servis terletak di samping bangunan melalui halaman samping
dari sisi yang tidak terlihat dari pintu masuk lahan. Selain itu dapat pula mengakses
bangunan servis dari pintu belakang bangunan inti dengan tujuan mempermudah evakuasi
penanganan bahaya kebakaran mengingat pada area tersebut terdapat ruang dapur dan
mempermudah perawatan ruang servis tanpa harus melewati bangunan utama.
Gambar 10. Diagram Sirkulasi Bangunan Rumah Tinggal di Kawasan Bangirejo Taman.

Terdapat 2 buah pola sirkulasi di dalam bangunan inti. Yang pertama adalah jalur sirkulasi
membujur yang sejajar panjang bangunan. Jalur ini yang menghubungkan ruang-ruang di
bagian depan bangunan inti hingga bagian belakang bangunan inti dan selasar. Yang kedua
adalah jalur sirkulasi melintang yang sejajar lebar bangunan yang menghubungkan ruang-
ruang di dalam bangunan inti. Kedua jalur sirkulasi tersebut memiliki perpotongan pada
sebuah ruang serbaguna yang diduga berfungsi sebagai ruang keluarga.

2.2 Ruang Terbuka di Kawasan Titik nol Kilometer Kota Yogyakarta

Ruang publik adalah bagian dari unsur elemen yang menggambarkan citra perkotaan
sebagai ruang interaksi sosial dan menjadi ikon sebuah kota. Ruang-ruang yang berada di
antara bangunan disebut ruang publik dalam urban design dan berfungsi sebagai salah satu
elemen Perancangan Kota.

Menurut Budihardjo dan Sujarto (2005) ruang terbuka publik adalah ruang yang
diperuntukan sebagai kebutuhan untuk lokasi perjumpaan dan kegiatan aktivitas bersama.
Aktivitas yang mempunyai spirit of place sebagai potensi keunikan yang dapat menarik
bagi pengunjung sehingga dapat terjadi pencampuran antara fungsi, seni, arsitektur, dan
kegiatan di ruang publik (Garnham:1985).

Kawasan titik nol Kilometer merupakan salah satu bagian dari sumbu imajiner yang
menghubungkan Tugu Pal Putih dengan Alun-alun. Di sekitar kawasan titik nol kilometer
terdapat pusat pemerintahan, perdagangan, dan pariwisata. Kawasan titik nol sangat
strategis untuk dikembangkan sebagai pusat aktivitas masyarakat dan wisatawan,
khususnya aktivitas budaya dan pariwisata. Ruang publik yang memiliki fungsi elemen
kota berkontribusi dalam pembentukan karakter visual dan mempunyai fungsi interaksi
sosial didalamnya. Ruang terbuka publik di kawasan titik nol kilometer Kota Yogyakarta
diulas melalui dimensi fungsional, dimensi sosial, dan dimensi visual.
Gambar 11. Posisi keberadaan ruang terbuka publik di Kawasan Titik nol Kilometer Kota Yogyakarta

1. Dimensi Fungsional

Fungsi ruang terbuka publik dapat diamati melalui dua aspek yaitu secara sosial dan
ekologi. Fungsi secara sosial mencakup komunikasi dan sosialisasi, tempat bermain dan
berolah raga, mendapatkan udara segar, menunggu kegiatan lain, pembatas antar massa
bangunan, penghubung satu tempat dengan yang lain, sarana pendidikan, dan sarana
penyuluhan atau orasi. Secara ekologis, fungsi ruang terbuka publik memperlunak
arsitektur bangunan, penyerap air hujan, pencegah banjir, menyegarkan udara perkotaan,
mereduksi panas, menjaga keseimbangan ekosistem. Dimensi Fungsional menelaah
bagaimana ruang kota mampu mendukung dan memfasilitasi aktivitas.

Gambar 12. Kawasan titik nol kilometer masa lalu yang masih berfungsi sebagai pusat kegiatan
pemerintahan dan kawasan titik nol kilometer sekarang sebagai ruang terbuka publik.
Gambar 13. Suasana ruang publik di kawasan Titik Nol Kilometer

2. Dimensi Sosial

Carr dalam Carmona, et al (2003) menyebutkan bahwa ada peran dari mengemukakan
adanya peran dari aktivitas pasif maupun aktif pada penggunaan ruang publik. Dari hanya
aktivitas pasif seperti hanya duduk menikmati ruang disekitar saja dapat menjadi aktif saat
muncul obrolan antar pengunjung ruang untuk saling berinteraksi membahas suatu hal baik
secara berdua maupun secara komunitas, hal ini menunjukkan bahwa interaksi sosial telah
terjadi melalui aktivitas pasif-aktif.

Gambar 14. Intensitas kegiatan yang dilakukan pengguna ruang terbuka publi di Titik Nol Kilometer

Pada ruang publik ini dapat ditemui kegiatan sosial mulai dari jasa entertainment, tempat
berkumpul komunitas, sketsa bangunan-bangunan kuno, tempat berjualan souvenir dan
juga tempat transit.

3. Dimensi Visual

Keragaman visual menarik yang ditawarkan kawasan titik nol kilometer yang adalah
kawasan revitalisasi sangat berperan penting dalam menambah nilai pemandangan (vista).
Bangunan Kantor Pos, Bank BNI dan Bank Indonesia meningkatkan daya tarik dan nilai
estetika ketika pengguna sedang duduk dan berjalan disekitar kawasan titik nol kilometer.
Gambar 17. Beberapa Landmark bangunan yang ditawarkan di sekitar kawasan titik nol kilometer Kota
Yogyakarta

Faktor pencapaian menuju titik nol kilometer sangat penting terutama bagi pejalan kaki dan
orientasi para pengguna moda transportasi untuk mengenali tempat parkir saat akan
menikmati ruang publik. Keberadaan ruang terbuka inilah yang berfungsi sebagai tempat
transit para wisatawan yang berjalan cukup jauh dan secara visual, para pengamat dapat
menikmati bangunan-bangunan bersejarah sehingga menambah daya tarik kawasan baik
secara tangible dan intangible dengan pendekatan sense of place.
Gambar 15. Kawasan titik nol kilometer Kota Yogyakarta dilihat dari memperlihatkan hierarki jalan yang
cukup jelas

Manajemen ruang publik kota merupakan pengamatan tentang bagaimana orang


menggunakan semua bentuk ruang publik seperti jalan, taman, plasa, dan fasilitas
transportasi umum (Shirvani. H, 1985). Pada ruang terbuka publik titik nol kilometer kota
Yogyakarta jalan utamanya menghubungan kawasan Malioboro dengan kawasan Keraton
dimana kedua kawasan tersebut adalah kawasan wisata bersejarah yang sangat berpengaruh
terhadap sejarah per- kembangan Kota Yogyakarta yang juga dilalui oleh berbagai macam
moda transportasi dan salah satu yang menjadi ciri khas Yogyakarta adalah keberadaan
andong dan becak yang melintas.

Gambar 18. Ruang terbuka publik kawasan titik nol dilihat dari satelit pada malam hari

Kebanyaan dari pengguna ruang publik adalah wisatawan mancanegara yang ingin
menikmati keindahan kawasan Malioboro hingga Keraton. Secara temporal, intensitas
penggunaan ruang terbuka publik titik nol kilometer akan lebih ramai digunakan oleh
masyarakat dan wisatawan mulai sore hingga malam hari.

2.3 Pedestrian di Kawasan Malioboro


Kawasan Malioboro merupakan salah satu pusat pertumbuhan di Kota Yogyakarta. Sebagai
jantung Kota Yogyakarta, Kawasan Malioboro menjadi pusat kegiatan kepemerintahan,
perdagangan, jasa, pariwisata, dan budaya. Keberadaan fungsi Kawasan Malioboro yang
beragam menyebabkan peningkatan jumlah pengunjung. Pengunjung yang dimaksud dapat
berasal dari dalam maupun luar kota yang menggunakan moda transportasi pribadi atau
umum (bermotor atau tidak bermotor), bahkan berjalan kaki. Keberagaman fungsi
Kawasan Malioboro juga harus memperhatikan semua aspek kepentingan, termasuk
kepentingan pedestrian. Pedestrian dapat bermakna pejalan kaki, yaitu orang yang sedang
berjalan kaki di ruang lalu lintas jalan (Permen PU No. 03/PRT/M/2014).

2.3.1. Kebutuhan Fasilitas Pedestrian


1. Pedestrian paling membutuhkan fasilitas pendukung aktivitas berjalan kaki berupa
trotoar. Dari total keseluruhan pedestrian yang menjadi responden, sebesar 42,89 pedestrian
beranggapan ketersediaan trotoar di Kawasan Malioboro merupakan fasilitas penunjang
utama kelancaran dan kemudahan saat berjalan kaki. Trotoar yang dibutuhkan oleh
pedestrian mengarah pada kualitasnya. Pedestrian membutuhkan trotoar yang benar-benar
dikhususkan untuk pedestrian saja tanpa berbagi ruang yang sama untuk kegiatan lain,
seperti tempat parkir kendaraan atau lapak PKL.

2. Fasilitas kedua yang sangat dibutuhkan oleh pedestrian adalah tempat duduk. Sebanyak
19,35% pedestrian membutuhkan tempat duduk agar merasa nyaman saat berjalan kaki.
Tempat duduk berfungsi sebagai sarana untuk beristirahat saat kelelahan atau kepanasan.
Pedestrian menilai ketersediaan tempat duduk di Kawasan Malioboro belum cukup
menampung jumlah pedestrian yang ada dan kebanyakan tempat duduk yang tersedia tidak
layak untuk digunakan. Pedestrian juga membutuhkan tempat duduk yang dilengkapi oleh
peneduh sehingga dapat berlindung dari cuaca tidak mendukung, seperti hujan atau panas,
terutama saat siang hari.

3. Fasilitas ketiga yang dibutuhkan oleh pedestrian berupa peneduh. Peneduh dibutuhkan
sebanyak 9,79% pedestrian. Melihat kondisi Kawasan Malioboro secara fisik yang belum
memiliki peneduh yang memadai menyebabkan hampir sebagian besar pedestrian memiliki
masalah saat cuaca sedang tidak mendukung. Pedestrian tidak memiliki tempat bernaung
saat kepanasan atau kehujanan. Pedestrian membutuhkan peneduh baik yang berwujud atap
peneduh trotoar, pepohonan, taman-taman, lapak tunggu, maupun jalur hijau yang tertutup
dedaunan.

2.3.2 Kondisi Fasilitas Pedestrian di Kawasan Malioboro

1. Trotoar

Lebar yang dimiliki kedua ruas telah memenuhi standar Permen PU No. 03/PRT/M/2014
dengan lebar minimum yang disyaratkan sebesar 1,8 – 3 m dalam kawasan yang memiliki
intensitas pedestrian yang tinggi. Hanya beberapa trotoar saja yang memiliki pembatas
berupa kerb seperti trotoar di depan Kompleks Benteng Vredeburg dan Istana
Kepresidenan D.I. Yogyakarta. Seluruh trotoar di ruas timur terbuat dari bahan paving
block berbentuk persegi, sedangkan ruas barat berbahan aspal, kecuali trotoar di depan
Istana Kepresidenan D.I. Yogyakarta yang juga dari bahan paving block. Turunan/tanjakan
pada trotoar dalam kondisi landai tetapi belum disertai dengan tanda
pemberitahuan/peringatan. Keberadaan turunan/tanjakan yang landai dapat menunjang
keamanan dan kenyamanan pedestrian saat berjalan kaki. Kondisi trotoar di kedua ruas
relatif kotor disebabkan banyaknya sampah yang berserakan dan sisa-sisa makanan dari
lapak PKL yang berjualan di dalam trotoar.
Gambar 19. Fasilitas trotoar di kawasan Malioboro

2. Jalur Penyeberangan
Secara keseluruhan kondisi kedua jalur penyeberangan di ruas Jalan Malioboro hingga
Jalan Margo Mulyo sudah memenuhi standar Permen PU No. 03/PRT/M/2014 ditinjau dari
lebarnya yang sudah melebihi batas minimum sebesar 1,5 m, dilengkapi marka, terletak di
persimpangan atau beberapa lokasi-lokasi keramaian, serta keberadaan timer
penyeberangan jalan pada pelican cross. Timer yang dimiliki pelican cross dengan lama
waktu penyeberangan selama 9 detik dan 14 detik.

3. Jalur Hijau
Jalur hijau di Jalan Malioboro hingga Jalan Margo Mulyo hanya tersedia sebagai jalur
amenitas yang berisi peneduh, sedangkan jalur hijau sebagai pemisah/pembatas dengan
jalur kendaraan belum tersedia. Akan tetapi, jalur amenitas itu juga belum tersedia secara
merata di sepanjang kedua ruas jalan sehingga sebagian besar jalur pedestrian di ruas barat
cenderung dirasakan lebih panas karena belum tertutup dengan pepohonan yang rindang.

Gambar 20. Fasilitas jalur hijau di ruas jalan


4. Lampu Penerangan
Kondisi lampu penerangan di Jalan Malioboro hingga Jalan Margo Mulyo, khususnya
pada jalur pedestrian, keberadaannya sudah tersebar cukup merata di sepanjang jalan pada
kedua ruas tetapi kualitas penerangannya masih rendah saat malam hari. Kondisi
penerangan saat malam hari dinilai masih kurang memadai dikarenakan banyak lampu
penerangan dalam kondisi redup hingga padam sehingga suasana jalur pedestrian
cenderung gelap. Kondisi ini tentu tidak memberikan rasa aman dan nyaman mengingat
padatnya aktivitas pada jalur pedestrian sehingga tumbuhnya perasaan khawatir adanya
tindak kriminal.

Gambar 21. Fasilitas lampu jalan disepanjang ruas jalan

5. Tempat Duduk
Lebar dan panjang semua tempat duduk yang ada sudah memenuhi standar Permen PU
No. 03/PRT/M/2014. Semua tempat duduk juga telah memiliki unsur bahan metal dan
beton cetak sehingga lebih kokoh. Akan tetapi, bila meninjau lokasi keberadaannya belum
memenuhi standar karena semua tempat duduk masih berada di dalam jalur pedestrian.
Tempat duduk yang tersedia tidak tersebar secara merata di seluruh jalur pedestrian.

Gambar 22. Fasilitas tempat duduk


6. Tempat Sampah
Tempat sampah yang teridentifikasi berbentuk permanen dan tidak permanen. Tempat
sampah permanen dilengkapi dengan beton sehingga lebih kokoh dan tidak muda rusak.
Tempat sampah tidak permanen terbuat dari bahan plastik, anyaman, bahkan ban. Kondisi
sebagian besar tempat sampah yang ada cukup kotor, bahkan beberapa terlihat sudah tidak
layak lagi untuk digunakan. Kondisi ini semakin mengurangi unsur estetika atau keindahan
Kawasan Malioboro.

7. Perambuan atau Signane

Gambar 23. Signane pada ruas jalan

Perambuan yang ada di ruang pedestrian berupa rambu untuk memberikan perlindungan
pada pedestrian seperti rambu khusus pedestrian dan rambu kendaraan bermotor dilarang
melintas, berhenti, atau parkir. Berdasarkan hasil observasi, jumlah perambuan yang
tersedia mencapai 62 tiang yang tersebar pada titik-titik tertentu, baik pada jalur pedestrian
maupun median jalan. Signage (papan informasi) yang tersedia di ruang pedestrian
berwujud peta obyek-obyek atau tempat penting di sekitar Kawasan Malioboro dan papan
penamaan atau arah lokasi. Keseluruhan signage yang berwujud peta ini terletak pada jalur
pedestrian di ruas timur.

8. Lapak Tunggu dan Halte

Sebagian besar lapak tunggu tidak dapat digunakan pedestrian dikarenakan


peletakkannya yang sejajar dengan lapak PKL koridor atau terhalang oleh parkir sepeda
motor. Dengan demikian, pedestrian tidak dapat berlindung di bawah lapak tunggu dalam
kondisi cuaca yang tidak mendukung. Selain itu, hanya sebagian kecil saja lapak tunggu
yang dilengkapi dengan atap/kanopi penutup berupa vegetasi (dedaunan).
Gambar 24. Fasilitas Halte di Kawasan Malioboro

Halte Trans Jogja yang disediakan berjumlah tiga sarana yang dilengkapi dengan tempat
duduk, kipas angin, mesin otomatis pembayaran, petugas, tempat sampah, dan peralatan
lainnya yang semakin meningkatkan rasa keamanan dan kenyamanan pedestrian. Akan
tetapi, ruang halte yang didesain tersebut masih terlalu sempit bila dibandingkan dengan
jumlah pedestrian yang menggunakan Trans Jogja dari atau menuju Jalan Malioboro dan
Jalan Margo Mulyo. Kondisi ini terlihat dari padatnya antrian pedestrian hingga memenuhi
beberapa bagian ruang jalur pedestrian, terutama saat siang hari dan sore menjelang malam
hari.

2.4 Sirkulasi dan Parkir di Kawasan Malioboro

2.4.1 Sirkulasi
Sistem sirkulasi dan jalur penghubung terdiri dari jaringan jalan dan pergerakan, sirkulasi
kendaraan umum, sirkulasi kendaraan pribadi, sirkulasi kendaraan informal setempat dan
sepeda, sirkulasi pejalan kaki (termasuk masyarakat penyandang cacat dan lanjut usia),
sistem dan sarana transit, sistem parkir, perencanaan jalur pelayanan lingkungan, dan
sistem jaringan penghubung.

Hamid Shirvani dalam bukunya “The Urban Design Process”, dalam perencanaan untuk
jaringan sirkulasi dan parkir harus selalu memperhatikan :
a. Jaringan jalan harus merupakan ruang terbuka yang mendukung citra kawasan dan
aktivitas pada kawasan.
b. Jaringan jalan harus memberi orientasi padapenggunan dan membuat lingkungan yang
legible.
c. Kerjasama dari sektor kepemilikan dan privat dan publik dalam mewujudkan tujuan dari
kawasan.
Berdasarkan teori didapati bahwa pada lokasi jaringan jalan ruang terbuka sudah
mendukung citra kawasan dan aktivitas pada kawasan, akan tetapi lingkungan kurang
legible, bentuk – bentuk fisik dari elemen paths, edges, nodes, landmark, dan district belum
mampu membantu kejelasan dalam bersirkulasi, sehingga kerap menimbulkan pengunjung
tersesat. Selain itu Kerjasama dari sektor kepemilikan dan privat dan publik dalam
mewujudkan tujuan dari kawasan Terjadi penyalahgunaan ruang / lahan, yang paling
mencolok adalah ruang – ruang pedestrian dan open space yang berubah menjadi lahan
parkir dan PKL.

Gambar 25. Kemacetan pada Kawasan Malioboro

Gambar 26. Jalur Bus Transjogja di Kawasan Malioboro, Yogyakarta

2.4.1 Parkir

Hamid Shirvani dalam bukunya “The Urban Design Process” , elemen ruang parkir
memiliki dua efek langsung pada kualitas lingkungan, yaitu, Kelangsungan aktivitas
komersial, dan Pengaruh visual yang penting pada bentuk fisik dan susunan kota. Dalam
merencanakan tempat parkir yang benar, hendaknya memenuhi persyaratan :

a. keberadaan strukturnya tidak mengganggu aktivitas di sekitar kawasan

b. pendekatan program penggunaan berganda

c. tempat parkir khusus

d. tempat parkir di pinggiran kota.


Dalam merencanakan tempat parkir tidak benar, Keberadaan tempat parkir mengganggu
pedestrian, penggunaan area parkir mengganggu sirkulasi, terdapat tempat parkir khusus
kendaraan non motor yaitu dokar dan becak, akan tetapi parkiran motor sangat berefek
ketidaknyamanan pengguna.

Gambar 27. Jalur parkir di kawasan Malioboro

DAFTAR PUSTAKA
Anneke R Nasuti, Niki.2016."Analisis Penilaian Fasilitas Pedestrian di Kawasan
Perkotaan. Universitas Gajah Mada.
Gayuh Mukti, Yoga dan Suparwoko.2015.Revitalisasi Sirkulasi dan Pedestrian pada
Kawasan Malioboro.Universitas Islam Indonesia.

Ikaputra, Dimas Wihardyanto.2020."Studi Karakteristi Ruanh pada Bangunan Rumah


Tinggal Kolonila di Kawasan Bangirejo Taman Yogyakarta". National Academic Journal
Of Architecture. 7(2) : 220-240.

Wardhani, Mustika Kusumaning.2018."Titik Nol Kilometer Kota Yogyakarta Sebagai


Ruang Terbuka Publik Ditinjau dari Dimensi Fungsional, Sosial, dan Visual". Jurnal
Planologi. 15(1) : 1-16.

https://www.jogjakota.go.id/pages/geografis

https://news.detik.com/foto-news/d-5045647/suasana-di-titik-nol-kilometer-yogyakarta-
kembali-ramai/6

Anda mungkin juga menyukai