BAB IV
TAHUN 1950-1957
Suatu negara yang merdeka harus mempunyai bagian yang terpenting dalam
Jadi bukan suatu hal yang mengherankan apabila di negara-negara yang baru bebas
dari kekuasaan kolonial mempunyai suatu tujuan yang kuat untuk menguasai
tercermin pada pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi “Bumi dan air
dan kekayaan alam yang terkadung dalam bumi adalah pokok-pokok kemakmuran
rakyat. Sebab itu harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-
dikuasai oleh warga negaranya sendiri (Gunadi, 1985: 326). Sementara itu, Oey (t.t.:
64
siapa yang memegang kekuasaan dan peranan utama dalam penyelenggaraan aktivitas
ekonomi, dan seiring dengan itu, bagaimana dan kepada siapa saja “kueh nasional
terutama dibagikan”.
ini pada dasarnya masih bercorak kolonial, yaitu bahwa perekonomian bangsa
Indonesia masih dikuasai oleh orang-orang asing. Hinggins (Thee, 2004: 41)
menggambarkan bahwa.
pemerintahan atau menjadi pegawai, disamping menjadi petani, buruh, nelayan, dan
suatu kekuatan ekonomi. Hal tersebut merupakan suatu ancaman bagi kekuasaan
masyarakat pribumi hanya menjadi kelas ekonomi paling rendah. Politik kolonial di
bidang ekonomi telah mendorong orang-orang non pribumi untuk bergerak lebih
keduanya ada saling ketergantungan, yaitu pengusaha non pribumi diperlukan oleh
Belanda dan pengusaha non pribumi pun memerlukan kekuasaan Belanda. Dalam hal
ini para pengusaha non pribumi merupakan agen pemasaran dan agen pembelian yang
merupakan jaringan dagang yang dibutuhkan untuk memasarkan barang jadi yang
pengumpul barang hasil bumi penduduk untuk selanjutnya mengangkut dan dan
perusahaan Belanda. Sejalan dengan yang diungkapkan Booth (1988: 446) bahwa,
orang Indonesia”.
komoditi pertanian untuk diperdagangkan di pasar dunia. Hal ini didasarkan atas
sektor perkebunan yang merupakan aspek terpenting dalam ekonomi Indonesia pada
masa penjajahan (Booth, 1988: 147). Sementara itu untuk pasaran di dalam negeri
merupakan sebuah negara agraris dan bukan negara industri, dengan demikian dalam
kebutuhan dalam negeri dapat dengan mudah diimpor dari luar negeri, yaitu dari
negara-negara Eropa, Amerika Serikat dan beberapa negara Asia. Hal ini
akibatnya adalah pertumbuhan industri di dalam negeri yang masih kecil dan tidak
industri. Sebagian besar perusahan industri tersebut lebih banyak berkonsentrasi pada
kegiatan pengolahan bahan pangan, tenunan, industri kimia, besi dan bangunan
negeri. Tetapi usaha pemerintah Belanda untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat
67
pribumi melalui industri tidak berkembang dengan baik. Akibatnya adalah sebagian
1. Industri rumah (ottage industry) jang diusahan oleh penduduk desa dalam waktu
luang sebagai pekerdjaan sambilan disamping pertanian, dengan maksud untuk
menghasilkan keperluan sendiri atau untuk didjual.
2. Industri ketjil (small scale industry) jang dikerdjakan sebagai usaha pokok dengan
memakai kerdja tangan atau perusahaan ketjil jang memiliki pekerdja tidak lebih
dari pada 50 orang dalam perusahaannja dan biasanja menggunakan tenaga mesin.
3. Industri pabrik jaitu perusahaan jang tidak termasuk dalam kategori industri 1 dan
2, perusahaan ini memakai tenaga mesin dan mempunjai lebih dari 50 orang
pekerdja dalam setiap perusahaannja.
Dua jenis industri pertama yaitu industri rumah dan industri kecil hampir
seluruhnya dijalankan oleh masyarakat pribumi. Akan tetapi ada beberapa masyarakat
non pribumi yang juga bergerak dalam industri-industri tersebut. Sedangkan untuk
industri pabrik umumnya mereka dimiliki dan dijalankan oleh orang-orang barat.
masyarakat pribumi untuk bergerak dalam sektor industri dan perdagangan pada masa
untuk menjadi tuan di negerinya sendiri dalam segala bidang kehidupan, bukan hanya
menjadi tuan di bidang politik saja tetapi juga di bidang ekonomi. Kemerdekaan
bangsa haruslah memberikan jalan bagi bangsa Indonesia untuk memajukan ekonomi
membangun ekonomi negaranya. Untuk menjadi suatu bangsa yang kuat tidak hanya
harus memiliki tentara yang kuat, tetapi juga harus memiliki para pengusaha yaitu
golongan pengusaha pribumi sebagai salah satu pelaku dan pelaksana ekonomi yang
kuat bagi negara. Tentara nasional yang kuat tidaklah akan banyak berarti apabila
69
perekonomian bangsa berada di bawah kendali bangsa lain. Ekonomi suatu bangsa
akan berkembang dan maju jika bangsa tersebut memiliki golongan pengusaha-
bangsa dan negara telah diakui sebagai hasil Konfrensi Meja Bundar (KMB) 1949
Belanda. Isi KMB yang berlangsung pada tahun 1949 lebih banyak menguntungkan
kepentingan modal swasta Belanda tetapi terpaksa diterima karena posisi ekonomi
Indonesia pada waktu itu masih lemah (Moedjanto, 1988: 7). Selain itu KMB juga
sangat merugikan Republik Indonesia dalam bidang ekonomi, yaitu pengambil alihan
utang luar negeri pemerintah Belanda di Indonesia dan terus beroperasinya bisnis
Belanda di Indonesia. Hasil KMB menjadi suatu dilema bagi Republik Indonesia,
sebagai negara yang baru merdeka dimana sebagian besar pendapatan negara
tergantung pada kegiatan modal asing dengan menarik pajak, bea, cukai dan devisa
dengan masyarakat pribumi, meskipun ada beberapa orang pribumi yang ekonominya
kuat.
adalah Program Benteng yang dicanangkan oleh Ir. Djuanda sebagai Menteri
Indonesia dalam panitia urusan keuangan dan ekonomi KMB, pada bulan April 1950.
Program pemerintah ini dilakukan dalam sektor ekonomi yang paling penting yaitu
perdagangan impor.
Wirodihardjo (1956: 185) menegaskan bahwa “lebih kurang 80% dari hasil
pendapatan negara seluruhnya berupa bea impor dan ekspor, cukai-cukai (accijnzenen
71
perdagangan”.
importir pribumi adalah sebagian kecil dari masyarakat pribumi namun kehadiran
para importir pribumi ini dalam perdagangan Indonesia mempunyai arti yang penting,
didatangkan dari luar negeri (impor). Oleh karena itu para importir pribumi harus
dibutuhkan oleh rakyat, sehingga rakyat dapat membeli kebutuhannya dengan harga
72
(Thee, 2004: 45) diharapkan dengan modal yang dipupuk pengusaha pribumi mampu
dalam negeri, asuransi dan industri substitusi impor dengan begitu di Republik
bidang ekonomi yang selama itu masih dikuasai dan kendalikan bangsa asing.
importir pribumi berupa pemberian lisensi impor berbagai jenis barang yang mudah
dijual, membatasi impor barang-barang tertentu dan juga memberikan bantuan berupa
kredit. Para importir yang mendapat bantuan dan perlindungan dari pemerintah
hanya boleh diimpor oleh para importir tersebut dikenal dengan sebutan barang-
barang benteng.
masyarakat. Sikap kontra ditunjukan oleh golongan masyarakat non pribumi yang
non pribumi selain itu kebijakan tersebut bertentangan dengan cita-cita nasional dari
setiap warga negara keturunan asing untuk menjadi patriot bangsa Indonesia. Selain
itu masyarakat non pribumi merasa cemas dan khawatir karena kemapanan dan
daya tarik bagi masyarakat pribumi, banyak para pengusaha atau mereka yang bukan
merupakan hasil pilihan dan seleksi pemerintah yaitu meliputi barang-barang yang
pengetahuan khusus atau teknik dari para pengusaha serta mudah dijual kerena
benteng diantaranya.
1. Manufaktur (beludru, sutra tiruan, full and half voiles, cotton suitings, bahan-
bahan wol, dyed flanel, poplin dan fancies dari kwalitas jang lebih baik).
2. Benang tenun (benang tenun staple-fibre, barang-barang tenun).
3. Barang klontong (singlet dan kaos kutang, piring, selimut, piama, kemedja,
pakaian olahraga, handuk, benang-benang bordir).
4. Kertas (pergamidjn, sulfite, kertas berkilat, kertas marmer, couverture)
5. Alat tulis-menulis ( lakban, djepitan kertas, busur deradjat, pena, paku, pinsil).
6. Korek (Wirodihardjo, 1956 :103)
tersebut. Pemerintah selain menentukan jenis barang-barang yang harus dan boleh
membentuk badan yang bertugas untuk mengorganisir dan memudahkan para impotir
Pembelian Importir Indonesia), yang merupakan fusi dari Gindo (Gabungan Importir
Indonesia) dan Persi (Persatuan Saudagar Indonesia). Para importir benteng yang
KPUI (Kantor Pusat Urusan Impor) di bawah pimpinan jawatan perdagangan dan
devisa kepada importir dengan cara yang berpangkal pada kepentingan para
14. Akhirnja, barang sampai di gudang dan dapat didjual kepada umum atau apabila
pembelian pemerintah, maka barang tersebut dikirim menurut instruksi
pemerintah atau kepada swasta (Berita Ekonomi, November 1953: 8-9).
dimana Program Benteng dilaksanakan oleh beberapa kabinet yang berkuasa pada
Benteng sebagai salah satu kebijakan ekonominya, selain itu pada masa tersebut
dilaksanakan secara bersamaan dan merupakan satu kesatuan yang integral dimana
khusus bagi importir pribumi (Sjahrir, 1986: 73). Pengaruh Program Benteng
ekonomi nasional.
melanjutkan program kerja kebinet sebelumnya, begitu juga dengan Kabinet Sukiman
perubahan terhadap tindakan dan peraturan yang berlaku sebelumnya yang dianggap
mengeluarkan surat Indusemen baru atau bukti impor tambahan yang terutama
digunakan untuk impor barang-barang mewah dan yang tidak termasuk pada barang
suatu kuota untuk suatu komoditi tertentu. Selanjutnya para importir diberi
harga, mutu, dan waktu penyerahan barang dianggap cocok, maka selanjutnya lisensi
Pemberian kredit juga dilakukan secara mudah untuk memberi modal kepada
Wilopo (April 1952-Juni 1953), pada masa ini Program Benteng dijalankan dengan
tersebut sebagai akibat dari menurunnya cadangan devisa negara setelah berakhirnya
waktu dapat dirubah yaitu menurut keperluan dan keadaan, maksudnya adalah apabila
barang-barang dari golongan A ada yang sudah bisa dipenuhi oleh industri dalam
sebaliknya.
1. Mempunjai status jang sah sebagai badan hukum atau perseroan terbatas atau
sebuah kongsi.
2. Mempunjai ruang kantor tersendiri jang tjukup luas minimal tiga orang pegawai,
jaitu pegawai keuangan, djuru tik, dan pegawai tata usaha jang bekerdja fulltime.
3. Memiliki pegawai jang telah berpengalaman dalam perdagangan atau kegiatan
usaha lainnja.
4. Seorang direktur perusahaan import tidak boleh merangkap djabatan di
perusahaan import lainnja.
5. Memiliki modal kerdja minimal sebesar Rp 250.000,00 atau kekajaan perusahaan
sekurang-kurangnja harus ada Rp 1.000.000.
6. Saham-saham jang dikeluarkan harus 100% dimiliki oleh orang-orang Indonesia
dan saham-saham itu tidak boleh didjual kepada orang-orang asing dikemudian
hari.
7. Mempunjai rekening di salah satu bank (Berita Ekonomi, Djuni 1953: 7)
Kabinet Ali I (Agustus 1953-Juli 1955), pada masa pemerintahn Ali ini politik
ekonomi yang buruk dimana terjadi tekanan inflasi dan keadaan administrasi
negara dapat digunakan untuk hal-hal lain yang lebih penting karena masalah-
Selain keadaan ekonomi yang buruk, pada masa pemerintahan Ali I keadaan
alasannya adalah karena importir pribumi tidak memperoleh perlindungan cukup dan
seharusnya mereka diberi proteksi yang lebih besar. Pada tanggal 8 September 1953
Menteri Perekonomian Iskaq mengeluarkan surat edaran yang dikenal dengan surat
edaran P.41, dalam surat edaran tersebut disebutkan bahwa bagi para importir
pribumi disediakan lisensi devisa sebesar 80% sampai dengan 90%. Selain itu dalam
barang yang hanya boleh diimpor oleh importir pribumi, barang-barang tersebut
82
adalah tekstil, barang-barang klontong, alat-alat tulis, seng atap dan alumunium,
semen, gelas, paku, ban mobil, suku cadang sepeda, sekrup dan kunci, kertas, kamera,
karung goni, kaustik soda dan tepung terigu (Muhaimin, 1991: 78-79).
dikalangan pejabat pemerintahan. Sikap kontra ditunjukan oleh Dewan Moneter yang
beranggotakan, Menteri Keuangan Dr. Ong Eng Die, dan Gubernur Bank Indonesia
dahulu dengan Dewan Moneter, padahal segala kebijakan yang bersangkutan dengan
ekspor dan impor serta distribusi devisa ada di bawah tanggung jawab Dewan
September 1953 Menteri Perekonomian Iskaq mencabut surat edaran P.41 tersebut.
Sementara sikap pro terhadap surat edaran P.41 muncul dari M. Tabrani ketua
Ikatan Importir Nasional Indonesia (Ikini), Kosasih Prawiranegara ketua Gapindo dan
Dewan Indonesia Ekonomi Pusat (DEIP), yang berfungsi sebagai kamar dagang.
Pada dasarnya mereka menyatakan penyesalan atas pencabuatan surat edaran P.41,
Dampak dari pencabutan surat edaran P.41 cukup menenangkan mereka yang
kontra terhadap surat edaran tersebut dan di sisi lain pencabutan surat edaran P.41
dalam surat edaran P.41 masih diberlakukan oleh Iskaq. Ia meneruskan politik
mosi mengenai tindakan-tindakan yang telah diambil oleh pemerintah kepada Dewan
bidang ekspor-impor dengan persoalan surat edaran P.41 sebagai intinya. (Gunadi,
yang dianggap sangat berbelit-belit. Tujuannya adalah untuk menjamin agar impor
dapat berjalan lancar dan untuk menjaring golongan importir yang sehat dan tangguh.
karena Sumitro Djojohadikusumo yang pada saat itu menjabat sebagai menteri
membawa dampak yang positif yaitu impor meningkat dan harga barang-barang
impor menurun, selain itu harga emas dan kurs valuta asing di pasar bebas menurun
hal ini menimbulkan kepercayaan akan nilai mata uang rupiah bertambah (Oey, t.t.:
310).
pemerintahan Kabinet Ali II Program Benteng tidak begitu mendapat perhatian dari
pendapatan ekspor menurun dimana dari tahun 1954 ke tahun 1955 mengalami
85
kenaikkan yang berarti namun dalam tahun 1956 mengalami penurunan dengan
jumlah Rp.400 Juta, kecenderungan inflasi cukup kuat, pengeluaran devisa untuk
impor sangat meningkat dimana dalam tahun 1955 cadangan dan devisa bertambah
Rp.659 Juta tetapi akhir tahun 1956 pemakaian cadangan dana devisa sebesar Rp.073
Juta, selain itu pengeluaran pemerintah bertambah besar sedangkan penerimaan tidak
tahun 1956 talah bertambah dari 12,2 miliar menjadi 13,4 miliar.
ekonomi pada saat itu adalah pada bidang ekspor pemerintah melakukan
kepada eksporir yang jumlahnya berkisar antara 2% sampai 20% dari harga barang
dalam barang-barang yang diimpor dimana barang impor dibagi menjadi sembilan
golongan yaitu dari golongan barang amat esensial (masuk dalam golongan 1) sampai
dengan barang amat mewah (masuk dalam golongan IX). Selain itu penggolongan
barang-barang impor dibagi ke dalam barang yang harus dibiayai dengan BPE dan
mewarisi keadaan ekonomi dan keuangan yang buruk sekali. Cadangan devisa
menurun, ekspor minim, produksi rendah, dan keadaan diperburuk oleh tindakan-
tindakan beberapa daerah yang melakukan perdagangan barter langsung dengan pihak
luar negeri (Gunadi, 1985: 346). Usaha untuk membangun perekonomian negara
86
kegagalan. Program politik benteng pada waktu ini sudah tidak mendapat perhatian
lebih 70% perdagangan impor sudah dilakukan oleh para pengusaha Indonesia Burger
(Thee, 2004: 45). Selain itu, jumlah importir benteng meningkat dengan pesat
pertangahan tahun 1953 sampai November 1954 yaitu dari 700 menjadi 4300
sangat disayangkan para pengusaha pribumi ini pada umumnya tidak mempunyai
memahami tata cara melakukan urusan impor, termasuk surat menyurat dan
pembiayaan impor. Menurut Soedarpo (Thee, 2005) dengan alasan tersebut mereka
harus meminta tolong kepada pedagang Cina yang tahu bisnis tersebut. Dengan
87
memudahakan dan memberi jalan bagi para pengusaha non pribumi untuk
pengalaman bisnis dalam perdagangan impor, melainkan justru menjual lisensi impor
yang diperolehnya kepada importir non pribumi. Kerjasama yang dijalin antara
yang disebut dengan perusahaan “Ali-Baba” yaitu perusahaan yang secara resmi
dimiliki “Ali” seorang Indonesia, namun dalam kenyataannya dimiliki dan dijalankan
barang-barang dengan mencari kwalitas atau jenis barang yang baik dan dengan harga
yang rendah, serta memperbaiki organisasi penjualan. Tetapi mereka menempuh jalan
yang mudah, yaitu mencari keuntungan yang cepat dengan menjadi importir aktentas.
mudah (Wirodihadjo, 1956: 76). Hal ini dipertegas dengan pernyataan Soemitro
Djojohadikusumo (Thee, 2004: 45) bahwa “dari bantuan Program Benteng kepada
10 orang, tujuh orang ternyata adalah benalu, tiga orang lainnya masih bisa muncul
ini tidak dimanfaatkan secara benar oleh “pengusaha aktentas”. Padahal kesempatan
tersebut merupakan jalan bagi mereka untuk menjadi pengusaha nasional, yang dapat
pengusaha non pribumi dalam perekonomian Indonesia. Para pengusaha non pribumi
dapat dengan mudah beroperasi lewat pemegang lisensi boneka pribumi Indonesia
yaitu mereka para “pengusaha aktentas” Mackie (Thee, 2005). Akibatnya adalah para
pengusaha pribumi yang baru tumbuh tidak dapat berkembang, selain itu merugikan
persaingan yang cukup berat yaitu harus bersaing dengan pengusaha-pengusaha non
pribumi yang mempunyai sukup modal dan memiliki jaringan yang luas.
modal dan pertumbuhan ekonomi nasional. Karena sebagian besar dari pengusaha
pribumi yang mendapatkan bantuan dari program tersebut cenderung untuk tidak
menanamkan kembali modalnya pada bidang-bidang lain selain impor. Mereka lebih
yang besar dan resiko-resiko yang harus dihadapi cukup kecil sedangkan untuk
kegiatan-kegiatan lain, seperti industri tingkat kesulitannya lebih tinggi dan resikonya
cukup besar. Alasan lainnya adalah karena perlindungan yang diberikan pemerintah
lewat Program Benteng ini tidak mencakup sektor-sektor tersebut. Oleh kerenanya,
89
pribumi.
dalam negeri yang dimiliki oleh pengusaha pribumi. Mereka pada umumnya
bermodal kecil sehingga tidak dapat bersaing dengan para pengusaha non pribumi
yang bemodal besar. Pengusaha pribumi ini kekurangan modal sehingga tidak dapat
membeli lisensi untuk mengimpor bahan baku yang didatangkan dari luar negeri,
akibatnya banyak di antara para pengusaha pribumi yang gulung tikar karena tidak
dapat lagi berproduksi. Walaupun demikian, masih ada beberapa pengusaha pribumi
dengan modal yang cukup besar. Sebagian kecil dari meraka berasal dari kalangan
Sebagian lagi berasal dari kalangan pengusaha yang dapat memanfaatkan Program
Benteng.
perusahaan baru yang muncul lebih banyak dimiliki oleh pengusaha pribumi daripada
pribumi tidak terlepas dari adanya hubungan dengan aparat birokrasi pemerintahan,
Importir Indonesia di Surabaya tanggal 19 Maret 1956, dalam kongres tersebut para
mereka.
Assaat, seorang tokoh politik yang beralih menjadi pengusaha pada kongres
Ada tiga bidang besar dalam lapangan ekonomi: bidang produksi, bidang
distribusi dan bidang konsumsi. Dari ketiga bidang ini, bidang kedua, yaitu
bidang distribusi, hampir 100% bea ada dalam tangan orang-orang Tionghoa.
Karena itu walaupun bangsa Indonesia mempunyai kedudukan yang penting
dalam bidang produksi, tapi mereka belum secara penuh menikmati hasil-hasil
dari pekerjaan mereka.
Akhirnya Assaat mengeluhkan orang-orang Indonesia membuat pakaian batik,
tapi perdagangan batik berada dalam tangan orang-orang Tionghoa” (Gunadi,
1985: 345).
non pribumi, menjadikan kongres tersebut sebagai jalan untuk menyatukan fisi dan
merupakan gerakan anti Cina. Gerakan tersebut hampir maluas dan sudah
91
tarhadap milik orang-orang Cina antara lain di Jakarta, Bandung, Semarang, Solo
usaha milik non pribumi mengalami penurunan. Dengan adanya pembatasan dalam
alokasi devisa dan impor, beberapa pengusaha non pribumi mengalami kesulitan
Indonesia umumnya tidak banyak memperbaiki taraf kehidupan mereka. Hal ini
kesempatan dan peluang kepada masyarakat pribumi untuk menjadi pengusaha, selain
itu menambah lapangan perkerjaan bagi masyarakat umum. Hal ini tidak terlepas dari
peran para pengusaha pribumi yang berhasil dengan memanfaatkan Program Benteng
kurangnya kerja keras dari para pengusaha pribumi. Hal ini merupakan dampak dari
92
modal, sebab perkembangan negara pada zaman kolonial adalah demikian rupa
hingga golongan ini dapat dipergunakan untuk kepentingan negara yang menjajah
merupakan tugas berat bagi pemerintah dan para pengusaha sendiri, menurut
Tugas-tugas tersebut merupakan tugas yang berat bagi suatu negara bekas
jajahan. Pola pikir masyarakat yang belum maju sebagai warisan kolonial akan sangat
sulit untuk dirubah, meningkatkan tarap hidup rakyat akan sangat sulit dengan
kondisi perekonomian negara yang masih dikuasai dan dikendalikan bangsa asing.
93
kabinet ke kabinet yang lainnya, ternyata tidak membawa dampak yang baik bagi
pemerintahan RI. Program Benteng sebagai salah satu kebijakan ekonomi yang
berhasilan dari pelaksanaan Program Benteng ini adalah tidak terlepas dari kesalahan-
keputusan lisensi-lisensi khusus maupun kredit lunak yang diberikan tanpa adanya
kriteria bisnis yang jelas yang hanya mengakibatkan adanya korupsi pada tingkat
semua kabinet yang berkuasa antara tahun 1950 sampai tahun 1957, terutama
Hatta, dalam Konferensi Ekonomi Seluruh Sumatera yang diadakan di Medan pada
Berpuluh juta, ya...barang kali beratus juta rupiah uang negara yang diperoleh
dari pajak rakyat sudah dikorbankan untuk kepentingan satu golongan kecil atas
nama nasional yang beruntung hanya beberapa puluh atau ratus orang saja,
tetapi masyarakat seluruhnya bertambah menderita, harga bertambah mahal,
berbagai barang susah didapat, distribusi barang-barang kepada rakyat semakin
kacau, keuangan negara semakin meluncur di jalan inflatoir (Deliar Noer, 1990:
421).
Selain itu priode benteng ditandai dengan yang menurut Wirodihardjo (1956:
sebagian besar dari perusahaan baru tersebut dekat dengan pemimpin-pemimpin dari
politik, dimana partai-partai politik tersebut memerlukan dana yang cukup besar
terutama untuk persiapan pemilihan umum. Misalnya, PNI memerlukan dana cukup
besar baik untuk kampaye maupun untuk keperluan-keperluan lainnya. Jumlah dana
yang cukup besar tersebut tentu dapat bergantung pada iuran anggota partai saja,
dengan demikian PNI berusaha untuk mendapatkan dana dari sumber lain. Dengan
95
mendirikan Bank Umum Nasional (BUN) pada tanggal 2 September 1952, sebagai
persiapan untuk menghadapi pemilihan umum. BUN dipimpin oleh Soewirjo (wakil
ketua PNI) dengan wakilnya Ong Eng Die, dan Iskaq Tjokrohadisoerjo sebagai ketua
dewan direksi. Sebagai ketua dan salah satu anggota panitia dana pemilihan PNI,
Ong Eng Die dan Iskaq Tjokrohadisoerjo mengintruksikan pada beberapa badan
pemerintah untuk menyimpan uangnya di Bank Umum Nasional. Selain itu sumber
utama dana PNI berasal dari sumbangan para pengusaha yang bekerjasama dengan
PNI. Sumbangan tersebut diberikan kepada partai sebagai imbalan atas lisensi,
pinjaman dan bantuan khusus yang diberikan para menteri PNI dalam kabinet Ali
umumnya sangat merugikan keuangan pemerintah RI. Dimana pada tahun 1954
terjadi inflasi yang cukup ganas dan akibatnya sangat maluas, dikarenakan kebijakan
yang dilakukan pemerintah secara sepihak yang berakibat pada defisitnya anggaran
sebagai bagian dari pemerintah yang bertugas untuk mengurusi perdagangan impor
banyak melakukan pelanggaran, yaitu korupsi yang sangat meluas. Hal itu dilakukan
agar para importir dapat dilayani dan untuk mempercepat pemprosesan surat-surat
uang pelicin atau sogokan kepada para pegawai KPUI. Dengan keadaan yang seperti
itu, banyak importir yang mempunyai hak atas lisensi tersebut tidak dapat
importir yang tidak memenuhi persayaratan tetapi mempunyai uang untuk pelicin
bisa memperoleh lisensi tersebut dengan mudah. Hal ini digambarkan oleh
masyarakat pribumi yang adil dan sejahtera tidak akan tercapai. Dikarenakan
kecurangan yang dilakukan oleh segelintir orang tersebut merugikan masyarakat luas.
Indonesia menjadi tidak merata, terutama bagi daerah-daerah di luar Pulau Jawa. Hal
ini menimbulkan ketegangan antara pemerintah pusat dengan beberapa daerah di luar
Pulau Jawa. Menurut Oey (t.t.: 317) di daerah-daerah tersebut telah timbul perasaan
karena mereka merasa dirugikan. Menurut mereka apa yang mereka berikan kepada
pemerintah pusat tidak seimbang dengan apa yang mereka peroleh dari pusat, untuk
97
luar pulau Jawa untuk melakukan perdagangan secara barter atau penyelundupan-
2004: 46).
beberapa daerah di luar Pulau Jawa, mendorong beberapa panglima di daerah untuk
Sumatera Barat oleh Letnan Kolonel Achmad dengan pembentukan Dewan Banteng
yang disusul oleh beberapa daerah lainnya, yakni Dewan Gajah di Sumatera Utara
dipimpin oleh Kolonel Maludin Simbolon, dan Dewan Manguni di Sulawesi Utara di
selain itu pengaruh Belanda yang masih kuat dalam perekonomian menjadi salah satu
Belanda yang berada di Indonesia pada Desember 1957 (Sjahrir, 1986: 76). Karena
yang maju.
98
ekonomi tersebut, antara lain kurangnya modal pemerintah dan kondisi perpolitikan
negara yang tidak stabil, selain itu disebabkan oleh sebagian besar anggota kabinet