Anda di halaman 1dari 135

Heru Ganes Santoso, Adi Setyo Nugroho, Dian Utami

Ningsih dan Galuh Gayatri

KEBIJAKAN REMUNERASI DI MASA


PANDEMI
Catatan Mengenai Kebijakan Remunerasi di Tahun 2020
Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang
memperbanyak atau memindahkan sebagian atau
seluruh isi buku ini ke dalam bentuk apapun secara
elektronik maupun mekanis tanpa izin tertulis dari
Pustaka Amma Alamia Bogor
Heru Ganes Santoso, Adi Setyo Nugroho, Dian Utami
Ningsih dan Galuh Gayatri

KEBIJAKAN REMUNERASI DI MASA


PANDEMI
Catatan Mengenai Kebijakan Remunerasi di Tahun 2020

iii
Judul
KEBIJAKAN REMUNERASI DI MASA PANDEMI
Catatan Mengenai Kebijakan Remunerasi di Tahun 2020

Penulis
Heru Ganes Santoso, Adi Setyo Nugroho, Dian Utami
Ningsih dan Galuh Gayatri

Desain Sampul dan Lay Out:


Abu Aisyah

Diterbitkan oleh:

Pustaka Amma Alamia


Sukaharja, Cijeruk, Bogor, Jawa Barat
Telp. 085885753838
Email: majelispenulis@gmail.com
Cetakan pertama: April 2021
ISBN : 978-623-96823-0-9

Dilarang memperbanyak, menyalin, merekam sebagian atau


seluruh bagian buku ini dalam bahasa atau bentuk apapun tanpa
izin tertulis dari penerbit atau penulis.

iv
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji kami panjatkan kepada Allah


yang Maha Kuasa, karena atas karunia rahmatNya-lah buku ini
dapat kami sajikan bagi semua pembaca budiman.
Buku ini adalah kumpulan dari tulisan Pejabat
Fungsional Analis Anggaran di lingkungan Subdit
Harmonisasi Penganggaran Remunerasi, Direktorat
Harmonisasi Peraturan Penganggaran, Direktorat Jenderal
Anggaran, Kementerian Keuangan. Isi tulisan dalam buku ini
merefleksikan berbagai kebijakan dibidang remunerasi dalam
kerangka waktu satu tahun masa pandemi covid-19.
Kebijakan remunerasi yang memiliki kontribusi besar
terhadap beban Belanja Pegawai, menjadi isu yang strategis
pada saat seluruh bangsa di dunia menghadapi pandemi Covid-
19. Dampak pandemi tidak saja menyentuh bidang kesehatan,
namun juga berimbas pada perekonomian nasional yang
berujung pada potensi penurunan kesejahteraan masyarakat
termasuk Aparatur Sipil Negara (ASN). Bagaimana
Pemerintah merumuskan kebijakan untuk menjaga tingkat
kesejahteraan, berbagai pertimbangan yang menjadi latar
belakang perumusan kebijakan tersebut, menjadi hal yang
menarik untuk disimak.
Tulisan yang dihasilkan oleh para Pejabat Fungsional
Analis Anggaran di lingkungan Subdit Harmonisasi
Penganggaran Remunerasi ini merupakan cerita pengalaman

v
mengawal berbagai kebijakan tersebut, di tengah pandemi
Covid-19. Kebijakan moratorium penyesuaian Tunjangan
Kinerja serta pemberian Insentif bagi Tenaga Kesehatan,
menjadi dua topik utama yang dikupas tuntas selama satu
tahun masa pandemi covid-19.
Tulisan-tulisan yang dihimpun dalam buku ini,
diharapkan mampu menjadi bagian dari catatan sejarah
bagaimana APBN selama satu tahun berjuang menghadapi
masa pandemi Covid-19. Semoga kehadiran buku ini dapat
bermanfaat sebagai referensi dan pembelajaran bagi kita
semua dimasa kini maupun generasi mendatang.
Kami mengucapkan terimakasih dan penghargaan
setinggi-tingginya kepada para penulis yang telah membingkai
setiap pengalaman dalam mengawal sebuah kebijakan.
Semoga jerih payah para penulis, dicatat sebagai amal
kebajikan disisi Allah swt.
Kami menyadari bahwa sehebat apapun upaya
menghadirkan yang terbaik, selalu ada ruang yang
memerlukan penyempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran
membangun dari pembaca yang budiman, sangat kami
harapkan. Kami memohon maaf apabila buku ini masih
banyak kekurangan. Semoga buku ini memberi manfaat bagi
kita semua.
Jakarta, Maret 2021
Kepala Subdit HPR

Satya Susanto

vi
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ...……………............................................ v


Daftar Isi…………………………………………….......... vii
BAGIAN I: INSENTIF PENUGASAN KHUSUS TENAGA
KESEHATAN NUSANTARA SEHAT INDIVIDU PADA
PENGANGGULANGAN BENCANA COVID-19
Oleh: Heru Ganes Santoso
A. Pendahuluan .............................................................. 4
B. Tenaga Kesehatan Penanganan Covid-19 ................. 6
C. Tenaga Kesehatan Program Nusantara Sehat ........... 9
D. Pengaturan Teknis Pemberian Insentif bagi Tenaga
Kesehatan yang Menangani Covid-19 ....................... 20
E. Penutup ..................................................................... 34
Daftar Bacaan ................................................................. 36
BAGIAN II: MENGAWAL REMUNERASI DI MASA
PANDEMI
Oleh: Adi Setyo Nugroho
A. Pandemi dan Reformasi Birokrasi ............................. 37
B. Dukungan Kebijakan Remunerasi dalam Akselerasi
Program Kartu Prakerja ............................................ 44
C. Kebijakan Tunjangan Hari Raya dan Tunjangan
Penghasilan Ketiga Belas ......................................... 46
D. Tunjangan Jabatan Fungsional untuk Mendukung
Program Penyederhanaan Birokrasi ..........................

vii
E. Tunjangan Kinerja .................................................... 50
F. Kebijakan Remunerasi Lainnya ............................... 57
Referensi ......................................................................... 59
64
BAGIAN III: KEBIJAKAN PENANGGUHAN HAK
KEUANGAN SAAT PANDEMI 202
Oleh: Dian Utami Ningsih
A. Upaya Penanggulangan Pandemi ............................. 67
B. Kebijakan Pemberian Hak Keuangan Pada Masa
Pandemi .................................................................... 74
C. Prosedur Usulan Penyesuaian Hak
Keuangan/Honorarium Pimpinan Lembaga .............. 77
D. Pengajuan Penyesuaian Hak Keuangan Komisioner
Komnas HAM ........................................................... 80
E. Kesimpulan dan Penutup ........................................... 87
Daftar Pustaka ................................................................ 89

BAGIAN IV: MORATORIUM ON PERFORMANCE


ALLOWANCE FOR CIVIL SERVANTS DUE TO PANDEMIC
By: Galuh Gayatri
A. Pandemic and the Economy ...................................... 93
B. Personnel Expenditure Trend ................................... 97
C. Performance Allowance Scheme and Bureaucracy
Reform ...................................................................... 100
D. Moratorium on Performance Allowance and the
Fiscal Impact ............................................................. 107
E. Conclusion ................................................................ 119
References ....................................................................... 122

viii
ix
BAGIAN I
INSENTIF PENUGASAN KHUSUS TENAGA
KESEHATAN NUSANTARA SEHAT INDIVIDU
PADA PENGANGGULANGAN BENCANA
COVID-19
Oleh: Heru Ganes Santoso

Ringkasan Eksekutif
Pandemi COVID-19 telah memukul perekonomian global tak
terkecuali Indonesia. Perekonomian Dunia diprediksi tumbuh
negatif hingga 2,8%, sangat jauh dibanding prediksi sebelum
pandemi yang diperkirakan dapat tumbuh di kisaran 3%.
Perekonomian Indonesia yang semula diperkirakan tumbuh hingga
5% pada Tahun 2020 diprediksi melambat pada kisaran 2,5%
bahkan hingga 0%. Tak hanya secara makro, di sisi mikro pun,
kesulitan ekonomi membayangi masyarakat akibat terhentinya
kegiatan ekonomi yang memicu PHK di berbagai sektor serta
turunnya permintaan akibat berkurangnya pendapatan masyarakat.
Kementerian Keuangan berusaha menjalankan fungsinya
secara optimal sebagai pengelola keuangan negara melalui
kebijakan yang dapat mendukung program penanganan pandemi
dan pemulihan ekonomi nasional. Di bidang remunerasi, kebijakan
yang diterapkan antara lain adalah moratorium penyesuaian

1
tunjangan kinerja dan hak keuangan. Kementerian/Lembaga yang
mengajukan usulan penyesuaian tunjangan kinerja hampir
seluruhnya ditangguhkan dengan pertimbangan bahwa anggaran
perlu diprioritaskan untuk penanganan pandemi. Penangguhan
kenaikan/penyesuaian hak keuangan/honorarium/tunjangan bagi
Pimpinan LNS dan ASN juga diberlakukan. Usulan penyesuaian
dimaksud ditunda terlebih dahulu, sampai dengan kapasitas fiskal
dalam APBN untuk menjalankan program-program penanganan
Covid-19 sudah terjamin ketersediaannya dan mencukupi.
Selain itu, terdapat kebijakan penyesuaian dalam pemberian
Gaji ke-13 dan THR kepada ASN dengan mengurangi komponen
tunjangan kinerja dan pihak penerimanya. Tunjangan kinerja
merupakan komponen terbesar dalam belanja pegawai dengan
peningkatan yang cukup signifikan dalam 6 tahun terakhir. Oleh
karena itu, pengendalian fiskal melalui moratorium tunjangan
kinerja di tahun 2020 dapat berkontribusi besar terhadap kebijakan
budget refocusing untuk penanganan pandemi. Diperkirakan
kebijakan moratorium dan penyesuaian pemberian Gaji ke-13 dan
THR dimaksud mempengaruhi penurunan belanja pegawai sebesar
2% atau sekitar Rp 4 Triliun.
Kebijakan di bidang remunerasi lainnya dalam era pandemi
adalah persetujuan prinsip penghasilan atau insentif bagi tenaga
kesehatan yg menangani covid-19. Hal ini dengan
mempertimbangkan peran tenaga kesehatan penanganan pandemi
Covid-19 dan resiko yang dapat menimpa dalam pelaksanaan
tugasnya. Tenaga kesehatan yang terlibat dalam menangani pasien
Covid-19 akan diberikan tambahan penghasilan berupa insentif

2
yang diberikan secara bulanan dan juga berupa santunan kematian.
Pemberian insentif bulanan dan santunan kematian ini merupakan
arahan Presiden yang ditindaklanjuti oleh Menteri Keuangan.
Selain itu, Kementerian Kesehatan juga mendayagunakan tenaga
kesehatan yang tergabung dalam program Nusantara Sehat untuk
diikut sertakan dalam penanganan Covid-19. Dengan pemberian
penghasilan bagi tenaga kesehatan Program Penugasan Khusus
Tenaga Kesehatan Nusantara Sehat Individu pada Penanggulangan
Covid-19 ini diharapkan dapat memberikan dukungan dalam
memenuhi kebutuhan tenaga kesehatan di beberapa daerah yang
masih terbatas.
Selanjutnya, kebijakan remunerasi tahun 2020 juga diwarnai
dengan arahan presiden terkait penyederhanaan Birokrasi yang
mendukung rasionalisasi birokrasi. Penyederhanaan tersebut
adalah dengan mengurangi rantai birokrasi hanya menjadi 2 (dua)
eselon dan mengalihkan pejabat struktural di bawahnya menjadi
pejabat fungsional. Hal tersebut mendorong pembentukan jabatan
fungsional baru yang sesuai dengan karakteristik tugas dan fungsi
masing-masing KL yang akan diikuti dengan pengajuan penetapan
tunjangan jabatan fungsional. Hal ini perlu diantisipasi mengingat
alokasi anggaran tunjangan jabatan fungsional cenderung
mengalami kenaikan dalam 5 tahun terakhir.
Kebijakan di bidang remunerasi di tahun 2020 diharapkan
dapat berkontribusi terhadap alokasi anggaran yang optimal untuk
penanganan pandemi dan pemulihan ekonomi nasional. Di tahun
2021, kebijakan remunerasi di era pandemi diprediksi akan terus

3
berlanjut dengan penyesuaian sesuai kebutuhan hingga APBN
dapat kembali berlaku normal.
A. Pendahuluan
Bencana COVID-19 di Indonesia merupakan rangkaian atau
bagian dari pandemi penyakit koronavirus 2019 (COVID-19)
yang sedang berlangsung di seluruh dunia. Penyakit ini disebabkan
oleh koronavirus sindrom pernapasan akut berat 2 (SARS-CoV-2).
Kasus positif COVID-19 di Indonesia pertama kali dideteksi pada
tanggal 2 Maret 2020, ketika dua orang terkonfirmasi tertular dari
seorang warga negara Jepang. Pada tanggal 9 April, pandemi sudah
menyebar ke 34 provinsi dengan DKI Jakarta, Jawa
Timur dan Jawa Tengah sebagai provinsi paling terpapar virus
corona di Indonesia.
Data sebaran sampai tanggal 20 Februari 2021 sesuai sumber
data World Health Organization (WHO), di seluruh dunia di 223
negara, terkonfirmasi sebanyak 110.384.747 orang, meninggal
sebanyak 2.446.008 orang. Sedangkan di IndonesiaI positif
sebanyak 1.271.353 orang, sembuh sebanyak 1.078.840 orang,
meninggal sebanyak 34.316 orang sesuai sumber data Komite
Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional
(KPCPEN).
Akibat dari adanya pandemi Covid-19 ini membawa
pengaruh yang luar biasa terhadap aspek-aspek kehidupan,
permasalahan yang dimulai dari masalah kesehatan berlanjut ke
masalah sosial, selanjutnya berdampak ke masalah ekonomi dan
akhirnya secara nasional permasalahan ekonomi berdampak ke
keuangan negara. Hal karena permasalahan kesehatan akibat

4
pandemi Covid-19 ini membutuhkan penanganan yang sangat
segera atau mendesak, bahkan bisa dikatakan menjadi suatu kondisi
darurat.
Sebagai dampak selanjutnya terhadap kehidupan masyarakat
juga mengalami dampak yang cukup besar. Hal ini harus ada
penyesuaian terhadap cara hidup di semua lapisan. Dalam
pergaulan kehidupan sehari-hari harus menerapkan protokol
kesehatan, pada awalnya 3 M yaitu: memakai masker, menjaga
jarak dan mencuci tangan dalam rangka mencegah penularan
Covid-19. Bahkan karena semakin bertambahnya kasus Covid-19
sekarang sudah meningkat menjadi 5 M yaitu ditambah dengan
menjauhi kerumunan dan mengurangi mobilitas.
Pelayanan masyarakat pada Instansi Pemerintah juga
menyesuaikan dalam pelaksanaannya. Aparat Sipil Negara (ASN)
dalam memberikan tugas pelayanannya telah menerapkan cara
kerja Work From Home (WFH). Hal ini guna menjaga agar tetap
produktif namun di sisi lain juga memprioritaskan kesehatan dan
keselamatan pegawai itu sendiri. Walaupun tentu tidak semuanya
menerapkan WFH karena memang ada pelayanan masyarakat yang
tidak bisa dilaksanakan secara WFH. Secara khusus ASN di
lingkungan Kementerian Keuangan juga menyesuaikan dengan tata
cara kerja baru secara WFH dengan fasilitas E-Office Kemenkeu
yang dapat melakukan atau menyelesaikan tugas pekerjaan tanpa
datang ke kantor atau Work From Office (WFO).
Kementerian Keuangan selaku pemegang dua kewenangan
dalam bidang pengelolaan keuangan negara yaitu Chief Financial
Officer (CFO) dan Chief Operating Officer (COO) tentu saja harus

5
tetap aktif melaksankan tugas dan fungsinya. Semua proses
pelaksanaan tugas pemerintahan yang menyangkut Keuangan
Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)
memerlukan peran serta ASN Kementerian Keuangan.

B. Tenaga Kesehatan Penanganan Covid-19


1. Tenaga Kesehatan sebagai Garda Terdepan Penanganan
Covid-19
Dalam situasi pandemi Covid-19, tidak dapat dipungkiri lagi
bahwa peran tenaga kesehatan sangat penting. Secara umum,
memang tidak hanya tenaga kesehatan (tenaga medis) saja yang
terlibat, ada tenaga laboratorium, ada aparat TNI atau POLRI yang
juga berperan membantu menangani permasalahan pandemi Covid-
19. Namun, ibarat sebuah pertempuran, tenaga kesehatan bisa
dikatakan sebagai garda terdepan yang langsung berhadapan
dengan Covid-19. Mengapa demikian?, karena dalam hal
penanganan pasien yang positif terinfeksi Covid-19, yang
bersentuhan langsung adalah para tenaga kesehatan. Sebagai tenaga
yang langsung menangani pasien Covid-19, maka dampaknya
tenaga kesehatan merupakan pihak yang paling beresiko terpapar
virus Covid-19.
Risiko bagi tenaga kesehatan bukan hanya menyangkut
kesehatan diri atau hanya tertular virus Covid-19 namun sampai
resiko yang bisa membawa kematian. Hal ini perlu mendapat
perhatian, mengingat bisa menurunkan moral tenaga kesehatan,
walaupun hal ini sudah disadari resikonya sejak memilih profesi
menjadi tenaga kesehatan. Namun demikian secara manusiawi, bisa

6
saja para tenaga kesehatan yang akan/sedang bertugas menangani
pasien positif Covid-19 bisa menjadi gamang, turun semangat, atau
bahkan sampai dengan memilih mengundurkan diri dari tugasnya.
Hal ini kemungkinan bisa saja terjadi apabila melihat kasus-kasus
yang menimpa tenaga kesehatan yang menangani pasien positif
Covid-19, cukup banyak yang terpapar menjadi ikut positif juga,
bahkan sampai merenggut nyawa.
Melihat resiko yang dapat menimpa pada tenaga kesehatan
dalam tugasnya menangani pasien covid-19, maka untuk menjaga
agar stamina para tenaga kesehatan tetap fit dalam menjalankan
tugasnya, perlu mendapatkan dukungan dan hak ini harus menjadi
prioritas dalam penanganan pandemi Covid-19.
Dukungan kepada tenaga kesehatan yang bertugas dalam
penanganan pasien Covid-19 dapat berupa pemenuhan peralatan
pelindung diri yang mencukupi dan sesuai standar, juga kebutuhan
seperti pengaturan jam kerja sehingga bisa beristirahat sehingga
terjaga dan terpelihara kesehatan diri. Dukungan secara psokologis
penting juga diberikan untuk memberikan semangat dan motivasi
pelaksanaan tugasnya.

2. Pemberian Insentif Kepada Tenaga Kesehatan


Mempertimbangkan peran tenaga kesehatan penanganan
pandemic Covid-19 dan resiko yang dapat menimpa dalam
pelaksanaan tugasnya, maka Pemerintah pastinya juga tidak akan
mengabaikan peran mereka yang berada di garis depan dalam
penanganan pandemic Covid-19. Dalam rangka memberikan
motivasi dan semangat kerja secara financial, kepada tenaga

7
kesehatan yang terlibat dalam menangani pasien Covid-19 akan
diberikan tambahan penghasilan berupa insentif yang diberikan
secara bulanan dan juga berupa santunan kematian.
Pemberian insentif bulanan dan santunan kematian ini
merupakan arahan Presiden yang ditindaklanjuti oleh Menteri
Keuangan. Penetapan besaran insentif dan santunan kematian bagi
tenaga kesehatan ditetapkan dalam Ijin Prinsip Menteri Keuangan
sebagaimana Surat Menteri Keuangan Nomor S-239/MK.02/2020
tanggal 24 Maret 2020 hal Insentif Bulanan dan Santunan Kematian
bagi Tenaga Kesehatan yang Menangani Covid-19. Dalam rangka
menjaga menjaga governance, dalam surat Menteri Keuangan
Nomor S-239/MK.02/2020 tanggal 24 Maret 2020 tersebut
dilakukan pengaturan, yaitu:
a. Besaran insentif dan santunan kematian:
Besaran
No Uraian Satuan (Rp)
1 Insentif
1. Dokter Spesialis OB 15.000.000
2. Dokter Umum dan Gigi OB 10.000.000
3. Bidan dan Perawat OB 7.500.000
4. Tenaga Medis Lainnya OB 5.000.000
Per
2 Santunan Kematian 300.000.000
Orang

8
b. Pemberian insentif dan santunan kematian, dengan kriteria
hanya berlaku bagi tenaga kesehatan yang bertugas di daerah
yang masuk darurat pandemic Covid-19 dan melakukan tugas
penanganan secara langsung.
c. Berlaku untuk jangka waktu 3 (tiga) bulan dan dapat
diperpanjang apabila ada arahan Presiden lebih lanjut.
d. Pada dasarnya insentif dan santunan kematian tersebut dapat
diberikan kepada semua tenaga kesehatan yang terlibat
menangani kasus Covid-19 terutama di Rumah Sakit
Pemerintah.

C. Tenaga Kesehatan Program Nusantara Sehat


1. Tenaga Kesehatan Program Nusantara Sehat
Program Nusantara Sehat adalah Program Pemerintah yang
dilaksanakan oleh Kementerian Kesehatan yang dijalankan dalam
rangka pemerataan pelayanan kesehatan kepada masyarakat.
Program ini menempatkan Tenaga Kesehatan pada daerah dengan
kriteria daerah tertinggal, perbatasan dan kepulauan, termasuk pula
daerah yang mengalami permasalahan dengan kesehatan.
Penugasan tenaga kesehatan pada Program Nusantara Sehat
diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 33
Tahun 2018 tentang Penugasan Khusus Tenaga Kesehatan Dalam
Mendukung Program Nusantara Sehat. Permenkes Nomor 33
Tahun 2018 merupakan penyempurnaan dari pengaturan
sebelumnya yaitu Permenkes Nomor 16 Tahun 2017 yang
memerlukan penyempurnaan dalam rangka menyesuaikan dengan
dinamika kebutuhan pelayanan kesehatan masyarakat.

9
Program Nusantara Sehat pada intinya bertujuan menjamin
keberlangsungan pelayanan kesehatan dengan pemenuhan
kebutuhan tenaga kesehatan yang merata di seluruh tanah air.
Namun yang tidak kalah pentingnya adalah juga dalam rangka
menumbuhkan kesadaran masyarakat akan pentingnya
meningkatkan derajat tingkat kesehatan masyarakat itu sendiri
yang dilakukan dengan pemberian pembelajaran dan
pemberdayaan masyarakat.
Salah satu permasalahan dalam pemenuhan layanan
kesehatan adalah kondisi geografis negara Indonesia yang terdiri
dari ribuan pulau baik pulau-pulau yang besar sampai kecil,
daratan, pegunungan yang menyebabkan akses pelayanan
kesehatan pada daerah tertentu menjadi sulit dijangkau. Kondisi ini
menjadi tantangan bagi Pemerintah tetap berupaya untuk
memenuhinya, karena sesuai dengan Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan, Pemerintah
bertanggungjawab atas ketersediaan dan pemerataan tenaga
kesehatan yang menjadi hak bagi masyarakat dalam memperoleh
pelayanan kesehatan.
Penugasan tenaga kesehatan pada program Nusantara Sehat
dalam rangka pemerataan pelayanan kesehatan dan pemenuhan
kebutuhan pelayana kesehatan masyarakat sesuai dengan amanat
pasal 23 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014. Amanat tersebut
secara khusus disebutkan pada pasal 23 ayat (2), yaitu: Penempatan
Tenaga Kesehatan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah
dilaksanakan dengan cara:
1) Pengangkatan sebagai pegawai negeri sipil.

10
2) Pengangkatan sebagau pegawai pemerintah dengan perjanjian
kerja.
3) Penugasan khusus.
Berdasarkan amanat UU Nomor 36 Tahun 2014, Pemerintah
dalam hal ini Kementerian Kesehatan melakukan perekrutan tenaga
kesehatan untuk ditugaskan dan ditempatkan pada daerah-daerah
yang masih kekurangan tenaga kesehatan terutama daerah-daerah
dengan kategori di luar jangkauan (remote area). Dengan
penugasan ini diharapkan kesenjangan ketersediaan tenaga
kesehatan di berbagai wilayah dapat dipersempit, selanjutnya dapat
terwujudnya penguatan dan pemenuhan kebutuhan pelayanan
masyarakat dalam mendukung Program Indonesia Sehat.
Penugasan Tenaga Kesehatan Program Nusantara Sehat
dilakukan dengan menempatkan tenaga kesehatan pada pusat
kesehatan masyarakat (Puskesmas) dengan kriteria lokasi:
Kawasan perkotaan, perdesaan, terpencil dan sangat terpencil.
Lokasi penempatan pada wilayah Provinsi-provinsi yang
membutuhkan akan ditetapkan oleh Menteri Kesehatan dengan
koordinasi Kepala Daerah masing-masing.
Penugasan Tenaga Kesehatan pada Program Nusantara Sehat
ini dilakukan dalam 2 (dua) jenis penugasan, yaitu:
1) Penugasan tenaga kesehatan berbasis tim (Team Based), yang
terdiri dari beberapa tenaga kesehatan paling sedikit terdiri atas
5 (lima) jenis tenaga kesehatan yang dibentuk dalam suatu tim
kemudian ditempatkan pada Puskesmas sesuai penugasannya.
Lima jenis tenaga kesehatan tersebut dipilih dari dokter, dokter
gigi, perawat, bidan, ahli teknologi laboratorium medik, terapis

11
gigi dan mulut, dan jenis tenaga kesehatan yang masuk dalam
kelompok tenaga gizi, tenaga kesehatan lingkungan, tenaga
kefarmasian, serta tenaga kesehatan masyarakat.
2) Penugasan tenaga kesehatan berbasis individu, yang
ditugaskan dalam rangka mengisi kekurangan tenaga
kesehatan pada Puskesmas sesuai penugasannya.
Penugasan ini dilakukan secara perorangan yang jenisnya sama
dengan penugasan berbasis tim, namun apabila diperlukan
Menteri Kesehatan dapat menetapkan jenis tenaga kesehatan
lain apabila ada usulan dari pemerintah daerah dengan
pertimbangan kebutuhan pelayanan kesehatan di wilayahnya.

2. Penugasan Tenaga Kesehatan Dalam Penanganan Covid-19


Penambahan kasus pasien Covid-19 menyebabkan tenaga
kesehatan harus bekerja lebih keras, terlebih lagi apabila
ketersediaan tenaga kesehatan di suatu daerah memang kurang
memadai. Situasi ini ditambah lagi apabila dengan terpaparnya
tenaga kesehatan yang menangani pasien Covid-19 tertular oleh
pasien, sehingga harus juga dirawat, maka hal ini akan mengurangi
kemampuan penanggulangan Covid-19.
Situasi inilah yang kemudian menjadi pertimbangan
Kementerian Kesehatan untuk mendayagunakan tenaga kesehatan
yang tergabung dalam program Nusantara Sehat untuk diikut
sertakan dalam penanganan Covid-19.
Pengaturan penugasan tenaga kesehatan Nusantara Sehat
dalam penanganan Covid-19 dilakukan secara individu diatur
sebagai berikut:

12
1) Lokasi penugasan, pada fasilitas kesehatan tertentu yang
diperuntukkan bagi pasien dalam pengawasan (PDP) yang
beresiko tinggi untuk menularkan ke orang lain dan orang
dalam pemantauan (ODP) yang dapat berpotensi menjadi PDP.
2) Jangka waktu penugasan, pada fasilitas kesehatan selama 3
(tiga) bulan dan dapat diperpanjang sesuai kebutuhan
lapangan.
3) Jam kerja penugasan, dalam sehari dilaksanakan dalam 2 – 3
shif.

3. Usulan Penghasilan Bagi Tenaga Kesehatan Program


Nusantara Sehat
Besaran penghasilan yang diusulkan oleh Menteri Kesehatan
melalui Surat nomor KU.01.01/Menkes/214/2020 tanggal 27 Maret
2020 hal Usulan Izin Prinsip Besaran Penghasilan Penugasan
Khusus Tenaga Kesehatan Nusantara Sehat Individu pada
Penanggulangan Bencana dimaksudkan sebagai
penghasilan/kompensasi bagi tenaga kesehatan yang
didayagunakan atau dilibatkan dalam penanggulangan Covid-19.
Besaran penghasilan yang diusulkan mengacu pada
penghasilan tenaga kesehatan program Nusantara Sehat
sebagaimana Surat Menteri Keuangan nomor SR-36/MK.02/2019
tanggal 31 Januari 2019, yaitu:

13
No Jenis Nakes Besaran Faskes Besaran Faskes
yang Beresiko yang Beresiko
Penularan (Rp) Tinggi
Penularan (Rp)
Dokter/Dokter
1 11.440.000 14.424.000
Gigi
2 S1 + Profesi 8.045.000 10.316.000
3 D4/ S1 6.729.000 8.498.000
4 D3 5.123.000 6.654.000

Kementerian Kesehatan mengusulkan besaran seperti pada


tabel di atas dengan menggunakan prinsip penyetaraan penghasilan
yang ditugaskan pada fasilitas kesehatan yang beresiko dan
beresiko tinggi dibandingkan dengan penghasilan penugasan
tenaga kesehatan yang lokasi penugasannya pada daerah terpencil
dan sangat terpencil.

4. Besaran Penghasilan Tenaga Kesehatan Program


Nusantara Sehat
Besaran penghasilan yang diterima oleh tenaga kesehatan yang
ditugaskan pada program Nusantara Sehat sebagaimana disebutkan
dalam Ijin Prinsip Surat Menteri Keuangan nomor SR-
36/MK.02/2019 tanggal 31 Januari 2019 adalah:

14
(dalam Rupiah)
Kriteria Puskesmas Daerah Penugasan
Kategori
Penghasilan
Tenaga Biasa-DBK *) Terpencil Sangat Terpencil
Pokok
Kesehatan
Insentif Total Insentif Total Insentif Total
Dokter
3.045.000 2.721.000 5.766.000 8.395.000 11.440.000 11.379.000 14.424.000
Umum/Gigi
S-1 +
3.045.000 2.271.000 5.316.000 5.000.000 8.045.000 7.271.000 10.316.000
Profesi
S-1 dan D
2.835.000 2.146.000 4.981.000 3.894.000 6.729.000 5.663.000 8.498.000
IV
D-3 Nakes 2.520.000 2.047.000 4.567.000 2.603.000 5.123.000 4.134.000 6.654.000

*) DBK= Daerah Bermasalah Kesehatan

5. Pemberian Kompensasi/Penghasilan Bagi Tenaga


Kesehatan Program Nusantara Sehat
Dalam dasar hukum yang mengatur pelaksanaan Program
Nusantara Sehat, yaitu Peraturan Menteri Kesehatan nomor 33
Tahun 2018, tidak secara khusus mengatur penugasan di daerah
yang terkena pandemi seperti kondisi sekarang ini yaitu pandemi
Covid-19. Bisa dikatakan bahwa secara status penugasannya
seperti tenaga kesehatan lainnya yang ditugaskan pada fasilitas
kesehatan pada umumnya.
Selanjutnya, melihat penghasilan tenaga kesehatan program
Nusantara Sehat yang bertugas pada fasilitas kesehatan
sebagaimana disebutkan pada Surat Menteri Keuangan nomor SR-
36/MK.02/2019 tanggal 31 Januari 2019 adalah berupa:
1) Penghasilan Pokok.
2) Insentif.

15
Sementara itu dalam Surat Menteri Keuangan Nomor S-
239/MK.02/2020 tanggal 24 Maret 2020 hal Insentif Bulanan dan
Santunan Kematian bagi Tenaga Kesehatan yang Menangani
Covid-19, mengatur pemberian bagi tenaga kesehatan yang terlibat
dalam penanganan Covid-19 berupa:
1) Insentif Bulanan.
2) Santunan Kematian.
Dengan memperhatikan dan membandingkan kedua regulasi
tersebut, maka dapat digabungkan dan di-“matching”-kan unsur
penghasilan bagi tenaga kesehatan yang ditugaskan pada
penanggulangan bencana Corona Virus Disease 2019 (Covid-19),
yaitu menjadi:
1) Penghasilan Pokok.
2) Insentif Bulanan.
3) Santunan Kematian, dalam hal meninggal dalam penanganan
Covid-19.
Perlu diperjelas atau digarisbawahi bahwa dengan pemberian
“insentif bulanan” sebagai tenaga kesehatan yang menangani
Covid-19 berarti “insentif” tenaga kesehatan sebagai tenaga
kesehatan program Nusantara Sehat tidak diberikan lagi. Dengan
demikian tidak terjadi duplikasi pembayaran insentif dalam satu
pelaksanaan kegiatan.
Sebagai ilustrasi, dibawah ini dapat diberikan gambaran
pemberian penghasilan tenaga kesehatan dalam penanggulangan
Covid-19 yang berasal dari program Nusantara Sehat sebagaimana
bagan berikut:

16
Pemberian penghasilan tenaga kesehatan yang ditugaskan
pada penanggulangan bencana Covid-19 ini dengan pertimbangan:
1) Kesamaan ruang lingkup penugasan yaitu penanganan bencana
Corona Virus Disease 2019 (COVID-19).
2) Dengan kesamaan tambahan besaran insentif yang diberikan,
hal ini memperhatikan prinsip keadilan bagi tenaga Kesehatan
mengingat adanya kesamaan resiko dalam pelaksanaan
tugasnya.

6. Persetujuan Penghasilan Bagi Tenaga Kesehatan Program


Nusantara Sehat
Penyelesaian usulan pemberian penghasilan bagi tenaga
kesehatan Program Penugasan Khusus Tenaga Kesehatan
Nusantara Sehat Individu pada Penanggulangan Covid-19 yang
diusulkan oleh Menteri Kesehatan dengan Surat nomor
KU.01.01/Menkes/214/2020 tanggal 27 Maret 2020 hal Usulan

17
Izin Prinsip Besaran Penghasilan Penugasan Khusus Tenaga
Kesehatan Nusantara Sehat Individu pada Penanggulangan
Bencana akan ditindaklanjuti dengan pemberian Persetujuan
Prinsip dari Menteri Keuangan.
Persetujuan Prinsip Menteri Keuangan yang mengatur
pemberian penghasilan atau kompensasi bagi tenaga kesehatan
program Nusantara Sehat yang ikut berpartisipasi atau terlibat
dalam penanggulangan Covid-19 adalah Surat Menteri Keuangan
nomor S-449/MK.02/2020 tanggal 29 Mei 2020 hal Persetujuan
Prinsip Besaran Penghasilan Penugasan Khusus Tenaga Kesehatan
Individu pada Penanggulangan Bencana.
Pengaturan ijin prinsip Surat Menteri Keuangan tersebut
secara intinya menyatakan bahwa:
1) Peraturan Menteri Kesehatan nomor 33 Tahun 2018 yang
merupakan dasar hukum pelaksanaan Program Nusantara
Sehat tidak atau belum ada pengaturan secara khusus mengatur
penugasan dalam rangka penanggulangan bencana yang
bersifat pandemi, termasuk dalam hal ini penanganan pandemi
Covid-19.
2) Pemberian penghasilan bagi tenaga kesehatan Program
Nusantara Sehat telah diatur pada Surat Menteri Keuangan
nomor SR-36/MK.02/2019 tanggal 31 Januari 2019 yang
menyatakan bahwa tenaga kesehatan Program Nusantara Sehat
diberikan kompensasi atau penghasilan berupa penghasilan
pokok dan insentif sesuai Puskesmas penugasannya.
3) Apabila tenaga kesehatan pada Program Nusantara Sehat
diikutsertakan atau mendapat penugasan dalam penanganan

18
pandemi Covid-19, maka kepada yang bersangkutan dapat
diberikan Insentif Bulanan dan/atau Santunan Kematian sesuai
ketentuan.
Setelah pemberian Ijin Prinsip dari Menteri Keuangan ini,
dalam pelaksanaannya secara teknis akan ditindaklanjuti dengan
pengaturan lebih lanjut oleh Kementerian Kesehatan. Beberapa
prinsip yang perlu diperhatikan bagi Kementerian Kesehatan yang
akan mengkoordinasikan teknis pelaksanaan pemberian
kompensasi atau penghasilan yaitu:
1) Besaran insentif yang diatur dalam ini prinsip ini merupakan
batas tertinggi yang tidak dapat dilampaui.
2) Untuk tenaga kesehatan lainnya yang belum disebutkan secara
limitatif dalam Surat Ijin Prinsip, maka menggunakan
nomenklatur tenaga medis lainnya.
3) Teknis pelaksanaan dari Surat Ijin Prinsip ini ditetapkan lebih
lanjut oleh Menteri Kesehatan dengan memperhatikan:
- Prinsip-prinsip pengelolaan negara, yaitu akuntabilitas,
efektif, efisien dengan memperhatikan rasa keadilan dan
kepatutan.
- Alokasi anggaran yang tersedia.
Dengan pemberian penghasilan bagi tenaga kesehatan
Program Penugasan Khusus Tenaga Kesehatan Nusantara Sehat
Individu pada Penanggulangan Covid-19 ini diharapkan dapat
memberikan dukungan dalam memenuhi kebutuhan tenaga
kesehatan di beberapa daerah yang masih terbatas. Secara khusus
bagi tenaga kesehatan dapat memberikan kompensasi yang baik
sehingga bisa memberikan motivasi dalam pelaksanaan tugasnya

19
sebagai salah satu komponen tenaga kesehatan yang bertugas di
garis depan penanggulangan Covid-19.

D. Pengaturan Teknis Pemberian Insentif bagi Tenaga


Kesehatan yang Menangani Covid-19
Sebagaimana telah disebutkan dalam Persetujuan Prinsip
Menteri Keuangan yang mengatur besaran tenaga kesehatan
program Nusantara Sehat yang terlibat dalam penanggulangan
Covid-19, bahwa dalam rangka pelaksanaan pemberian
kompensasi kepada tenaga kesehatan, secara teknis akan
ditindaklanjuti dengan pengaturan lebih lanjut oleh Kementerian
Kesehatan. Pengaturan yang saat ini berlaku untuk tahun 2020
adalah Keputusan Menteri Kesehatan RI (KMK) Nomor
HK.01.07/MENKES/2539/2020 yang ditetapkan pada tanggal 7
Oktober 2020 Tentang Pemberian Insentif Dan Santunan Kematian
Bagi Tenaga Kesehatan Yang Menangani Corona Virus Disease
2019 (Covid-19).
Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor
HK.01.07/MENKES/2539/2020 ini merupakan dasar hukum
pengaturan yang menggantikan pengaturan sebelumnya yang
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku, yaitu:
1) Keputusan Menteri Kesehatan RI (KMK) Nomor
HK.01.07/MENKES/392/2020 tentang Pemberian Insentif dan
Santunan Kematian bagi Tenaga Kesehatan yang Menangani
Corona Virus Diseasea 2019 (COVID-19).
2) Keputusan Menteri Kesehatan RI (KMK) Nomor
HK.01.07/MENKES/447/2020 tentang Perubahan atas

20
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor
HK.01.07/MENKES/392/2020.
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor
HK.01.07/MENKES/2539/2020 mengatur atau memberikan acuan
bagi setiap pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan, pimpinan
institusi kesehatan, Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah Provinsi,
dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dalam memberikan
insentif dan santunan kematian bagi tenaga kesehatan secara umum
yang menangani Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) termasuk
di dalamnya adalah tenaga kesehatan program Nusantara Sehat
yang terloibat menangani Covid-19.
Pengaturan dalam Menteri Kesehatan Nomor
HK.01.07/MENKES/2539/2020 mengatur insentif dan santunan
kematian bagi tenaga kesehatan secara umum yang terlibat
penanganan Covid-19. Di dalamnya antara lain diatur beberapa,
yaitu:

1. Sasaran Pemberian Insentif dan Santunan Kematian


Sasaran pemberian insentif dan santunan kematian adalah
tenaga kesehatan baik Aparatur Sipil Negara, Non Aparatur Sipil
Negara, maupun relawan yang menangani COVID-19 dan
ditetapkan oleh pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan atau
pimpinan institusi kesehatan.

2. Kriteria Fasilitas Kesehatan Tempat Penugasan

21
Fasilitas Pelayanan Kesehatan atau Institusi Kesehatan
Tempat Penugasan Tenaga Kesehatan yang dapat diberikan insentif
dan santuna kematian, meliputi:
1) Rumah sakit yang memberikan pelayanan Covid-19 yaitu:
Rumah sakit milik Pemerintah Pusat (RS yang khusus
menangani Covid-19 dan RS lainnya termasuk milik
TNI/POLRI/BUMN), Rumah sakit milik Pemerintah
Daerah, Rumah sakit lapangan yang didirikan dalam rangka
penanganan Covid-19 dan Rumah sakit milik swasta.
2) Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP).
3) Wisma Karantina yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan.
4) Balai Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian
Penyakit (BTKL-PP) dan Balai Besar Teknik Kesehatan
Lingkungan dan Pengendalian Penyakit (BBTKL-PP) Unit
Pelaksana Teknis Kementerian Kesehatan.
5) Laboratorium yang ditetapkan oleh Kementerian
Kesehatan.
6) Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat Unit Pelaksana
Teknis Kementerian Kesehatan.
7) Dinas Kesehatan Daerah Provinsi dan Dinas Kesehatan
Daerah Kabupaten/Kota.
8) Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskemas).

3. Kriteria Tenaga Kesehatan Yang Berhak Menerima


Kriteria Jenis Tenaga Kesehatan yang berhak mendapatkan
insentif meliputi dokter spesialis, dokter, dokter gigi, bidan

22
perawat, dan tenaga medis lainnya. Kriteria tenaga kesehatan
tersebut termasuk:
1) Dokter yang mengikuti Program Intersip Dokter Indonesia.
2) Dokter yang mengikuti Program Pendayagunaan Dokter
Spesialis.
3) Tenaga Kesehatan yang mengikuti Penugasan Khusus
tenaga Kesehatan dalam mendukung Program Nusantara
Sehat.
4) Relawan yang ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan yang
diusulkan oleh pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan
tempat penugasan,
Dalam hal tenaga kesehatan tersebut setelah melaksanakan
tugas penanganan Covid-19 melakukan karantina, yang
bersangkutan tetap mendapatkan insentif.
Penjelasan secara lebih terinci terkait tempat penugasan
tenaga kesehatan yang terlibat penanganan Covid-19 dan
persyaratannya dapat dijelaskan sebagai berikut:
1) Rumah sakit milik Pemerintah Pusat yang khusus
menangani Covid-19, yaitu Rumah Sakit Khusus Penyakit
Infeksi (RSPI) Prof. dr Sulianti Saroso dan Rumah Sakit
Umum Pusat (RSUP) Persahabatan.
2) Rumah sakit lapangan merupakan rumah sakit yang
didirikan di lokasi tertentu dan bersifat sementara selama
kondisi darurat dan masa tanggap darurat bencana, atau
selama pelaksanaan kegiatan tertentu, dalam rangka
penanganan Covid-19. Rumah sakit lapangan dapat
berbentuk tenda, kontainer atau bangunan permanen yang

23
difungsikan sementara sebagai rumah sakit seperti Rumah
Sakit Darurat COVID-19 Wisma Atlet, Rumah Sakit
Khusus Infeksi COVID-19 Pulau Galang, rumah sakit
lapangan penanganan COVID-19 Surabaya, dan rumah
sakit lapangan penanganan COVID-19 Ambon.
3) Jenis dan jumlah tenaga kesehatan yang bekerja di Rumah
sakit atau fasilitas pelayanan kesehatan, ditetapkan melalui
penetapan atau Surat Pernyataan Melaksanakan Tugas
(SPMT) dari pimpinan rumah sakit yang diterbitkan setiap
bulan. Jenis dan jumlah tenaga kesehatan yang ditetapkan
tersebut harus mempertimbangkan jumlah pasien Covid-19
yang ditangani.
Dari jenis-jenis tempat penugasan atau fasilitas layanan
kesehatan di atas, kita dapat melihat adanya Rumah Sakit
Lapangan yang sifatnya darurat. Pada awalnya ada tiga Rumah
Sakit Darurat (RSD) yang dioperasikan untuk menangani
Covid-19, yaitu Wisma Atlet Kemayoran Jakarta, Rumah Sakit
Darurat Lapangan (RSDL) Indrapura Surabaya dan Rumah
Sakit Khusus Infeksi (RSKI) Pulau Galang. Namun pada
perkembangannya, dengan semakin melonjaknya kasus Covid-
19, di beberapa daerah pihak Pemerintah Daerah mulai
membangun RS Darurat.
Beberapa Pemerintah Daerah juga menjadikan hotel-hotel
dan gelanggang remaja sebagai RS Darurat untuk merawat
pasien Covid-19, salah satunya adalah Pemerintah Kota Bekasi
yang menjadi Gelanggang Olah Raga (GOR) Stadion Patriot
Chandrabhaga sebagai tempat menampung pasien Covid-19.

24
Bahkan ada juga Pemerintah Daerah sebagaimana diberitakan
beberapa media, yaitu Pemerintah Kota Madiun menyiapkan
gerbong kereta api INKA untuk ruang rawat pasien Covid-19
karena RS Rujukan pasien Covid-19 telah penuh.

4. Mekanisme Pengajuan Insentif dan Santunan Kematian


Mekanisme pengusulan dalam rangka pemberian insentif
dan santunan kematian secara teknis dan rinci diatur dalam
lampiran Nomor HK.01.07/MENKES/2539/2020. Namun
secara prinsipnya dapat digambarkan bahwa pengulusan insentif
dilakukan pada 3 (tiga) kluster, yaitu:
1) Pengusulan ke Kementerian Kesehatan.
2) Pengusulan Insentif Pemerintah Daerah Provinsi.
3) Pengusulan Insentif Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.
Proses pengusulan insentif pada ketiga kluster tersebut pada
dasarnya tidak ada perbedaan, hanya sumber dana anggaran
untuk pembayaran dan lokasi fasilitas pelayanan kesehatan
tempat penugasan tenaga kesehatan yang membedakan
prosesnya pengusulannya. Adapun prosesnya adalah sebagai
berikut.
Dalam rangka pengajuan usulan insentif tenaga kesehatan,
terlebih dahulu masing-masing fasilitas pelayanan kesehatan
dan institusi kesehatan milik Pemerintah Pusat maupun
Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota,
serta fasilitas kesehatan milik swasta membentuk Tim Verikasi.
Tim Verifikasi pada fasilitas pelayanan kesehatan dan
institusi kesehatan yang dibentuk paling sedikit terdiri atas:

25
1) Unsur pelayanan di fasilitas pelayanan kesehatan atau
institusi kesehatan.
2) Unsur manajemen fasilitas pelayanan kesehatan atau
institusi kesehatan.
3) Satuan Pengawas Internal (SPI) bagi fasilitas pelayanan
kesehatan milik Pemerintah Pusat/Pemerintah Daerah
Propinsi/Kabupaten/Kota/Rumah Sakit Swasta.

5. Peran Tim Verifikasi Dalam Proses Pemberian Insentif


Dalam proses pembayaran insentif bagi tenaga kesehatan,
Tim Verifikasi mempunyai peran yang penting dalam
kelancaran proses pembayaran insentif. Tim Verifikasi harus
ada pada masing-masing fasilitas pelayanan kesehatan dan
institusi kesehatan baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah
Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota,
maupun fasilitas pelayanan kesehatan milik swasta.
Tim Verifikasi mempunyai tugas melakukan verfikasi
terhadap usulan insentif yang disampaikan oleh masing-masing
pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan institusi kesehatan
tempat tim verifikasi dibentuk pada fasilitas pelayanan
kesehatan dan institusi kesehatan pada: Pemerintah Pusat,
Pemerintah Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota dan Swasta.

6. Tugas Tim Verifikasi Pada Institusi Kesehatan Pemerintah


Pusat
Tugas tim verifikasi pada fasilitas pelayanan kesehatan dan
institusi kesehatan milik Pemerintah Pusat meliputi:

26
1) Melakukan verifikasi dan validasi terhadap dokumen usulan
insentif yang disampaikan oleh pimpinan fasilitas
pelayanan kesehatan atau institusi kesehatan milik
Pemerintah Pusat.
2) Membuat catatan hasil verifikasi dan validasi.
3) Menyampaikan rekomendasi hasil verifikasi dan validasi
kepada:
- Pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan atau pimpinan
institusi kesehatan pengusul apabila hasil belum sesuai
untuk dilakukan perbaikan usulan; atau
- Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) melalui Kepala
Badan PPSDM Kesehatan untuk memproses pencairan
pembayaran insentif apabila hasil verifikasi sudah
sesuai.

7. Tugas Tim Verifikasi Pada Institusi Kesehatan Pemerintah


Daerah
Tugas tim verifikasi pada fasilitas pelayanan kesehatan dan
institusi kesehatan milik Pemerintah Daerah
(Provinsi/Kabupaten/Kota) meliputi:
1) Melakukan verifikasi dan validasi terhadap dokumen
usulan insentif yang disampaikan oleh pimpinan fasilitas
pelayanan kesehatan atau institusi kesehatan milik
Pemerintah Daerah.
2) Membuat catatan hasil verifikasi dan validasi.
3) Menyampaikan rekomendasi hasil verifikasi dan validasi
kepada:

27
- Pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan atau pimpinan
institusi kesehatan pengusul apabila hasil belum sesuai
untuk dilakukan perbaikan usulan; atau
- Pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan atau pimpinan
institusi kesehatan pengusul apabila hasil sudah sesuai
untuk selanjutnya diproses pencairan pembayaran
insentif ke Badan Pengelolaan Keuangan dan Ases
Daerah (BPKAD) Provinsi/Kabupaten/Kota atau Dinas
Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah
(DPPKAD) Provinsi/Kabupaten/Kota.

8. Tugas Tim Verifikasi Pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan


Swasta
Tugas tim verifikasi pada fasilitas pelayanan kesehatan
(rumah sakit) milik swasta yang mengajukan usulan insentif
tenaga kesehatan meliputi:
1) Melakukan verifikasi dan validasi terhadap dokumen
usulan insentif yang disampaikan oleh pimpinan fasilitas
pelayanan kesehatan milik swasta.
2) Membuat catatan hasil verifikasi dan validasi.
3) Menyampaikan rekomendasi hasil verifikasi dan validasi
kepada:
- Pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan milik swasta
apabila hasil belum sesuai untuk kemudian dilakukan
perbaikan usulan; atau
- Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) melalui Kepala
Badan PPSDM Kesehatan, apabila hasil sudah sesuai

28
selanjutnya dapat diproses pencairan pembayaran
insentif.

9. Pembayaran Insentif Tenaga Kesehatan Program


Nusantara Sehat
Pemberian insentif bagi tenaga kesehatan program
Nusantara Sehat yang terlibat dalam penanganan Covid-19
diberikan insentif yang besarannya sesuai dengan besaran tiap
jenis tenaga kesehatan yang bertugas di rumah sakit. Sebagian
besar tenaga kesehatan program Nusantara Sehat ditempatkan
pada fasilitas layanan kesehatan Pemerintah Pusat, namun
beberapa tenaga kesehatan ada yang ditempatkan pada fasilitas
layanan kesehatan Pemerintah Daerah. Terhadap tenaga
kesehatan yang ditugaskan pada fasilitas layanan Pemerintah
Daerah, pembayaran insentif tetap dilakukan oleh Kementerian
Kesehatan secara terpusat.

10. Pengajuan Santunan Kematian


Dalam rangka pembayaran santunan kematian,
Kementerian Kesehatan membentuk tim verifikasi dan validasi
yang terdiri dari unsur satuan kerja pada Kementerian
Kesehatan. Tim yang dibentuk melakukan verifikasi dan
validasi terhadap usulan pembayaran santuanan kematian yang
diusulkan.
Tugas tim verifikasi dan validasi santunan kematian
meliputi:

29
1) Melakukan verifikasi dan validasi terhadap usulan santunan
kematian yang diusulkan oleh pimpinan fasilitas pelayanan
kesehatan, institusi kesehatan atau Biro Kepegawaian.
2) Membuat catatan hasil verifikasi dan validasi apabila
diperlukan; dan
3) Menyampaikan rekomendasi hasil verifikasi dan validasi:
- Rekomendasi hasil verifikasi dan validasi kepada
pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan, institusi
kesehatan atau Biro Kepegawaian apabila hasil belum
sesuai; atau
- Rekomendasi hasil verifkasi dan validasi kepada Kepala
Badan PPSDM Kesehatan apabila sudah sesuai untuk
kemudian diproses pencairan pembayaran santunan
kematian secara langsung kepada rekening ahli waris
tenaga kesehatan.

11. Sumber Dana Pembayaran Insentif dan Santunan


Kematian
Sumber dana yang dipakai untuk membayarkan insentif dan
santunan kematian, ada 3 (tiga) pengaturan yaitu:
1) Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Pembayaran insentif bagi tenaga kesehatan yang bersumber
dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)
meliputi rumah sakit milik Pemerintah Pusat, rumah sakit
lapangan yang didirikan dalam rangka penanganan COVID-
19, rumah sakit milik swasta, Kantor Kesehatan Pelabuhan
(KKP), Wisma Karantina yang ditetapkan oleh Menteri

30
Kesehatan, Balai Teknik Kesehatan Lingkungan dan
Pengendalian Penyakit (BTKL-PP) dan Balai Besar Teknik
Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit
(BBTKL-PP) Unit Pelaksana Teknis Kementerian
Kesehatan, Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat Unit
Pelaksana Teknis Kementerian Kesehatan, dan
laboratorium yang ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan
kecuali laboratorium milik Pemerintah Daerah Provinsi dan
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota yang ditetapkan oleh
Kementerian Kesehatan.
2) Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
Pembayaran insentif bagi tenaga kesehatan yang bersumber
dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
yang berasal dari Bantuan Operasional Kesehatan (BOK)
tambahan, meliputi fasilitas pelayanan kesehatan milik
Pemerintah Daerah termasuk laboratorium milik
Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota yang ditetapkan oleh Kementerian
Kesehatan dan institusi kesehatan milik Pemerintah Daerah.
3) Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)
Dana santunan kematian bersumber dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) meskipun tenaga
kesehatan bertugas pada fasilitas layanan kesehatan milik
Pemerintah Pusat ataupun Pemerintah Daerah.

31
12. Pencatatan dan Pelaporan
Dalam rangka tertib administrasi, fasilitas pelayanan
kesehatan, institusi kesehatan melakukan pencatatan atas
pelaksanaan pemberian insentif bagi tenaga kesehatan yang
menangani Covid-19. Hasil pencatatan tersebut harus
dilaporkan kepada Kepala Dinas Kesehatan Daerah Provinsi
atau Kepala Dinas Kesehatan Daerah Kabupaten/Kota.
Selanjutnya Kepala Dinas Kesehatan Daerah Provinsi atau
Kepala Dinas Kesehatan Daerah Kabupaten/Kota juga
melakukan pencatatan dan pelaporan terhadap pelaksanaan
pemberian insentif bagi tenaga kesehatan pada fasilitas
pelayanan kesehatan dan institusi kesehatan dalam penanganan
COVID-19 kepada Kementerian Kesehatan dan
Kementerian/Lembaga terkait yang dilakukan secara berkala.

13. Pengawasan, Monitoring, dan Evaluasi


Agar pelaksanaan pembayaran insentif dan santunan
kematian dapat dilaksanakan sesuai perencanaan, tepat sasaran,
dan mengurangi hambatan-hambatan serta perbaikan
pelaksanaannya, Kementerian Kesehatan,
Kementreian/Lembaga terkait, Pemerintah Darha Provinsi, dan
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota melakukan pengawasan,
monitoring, dan evaluasi sesuai dengan tugas dan fungsinya
masing-masing.

32
14. Tenaga Kesehatan Yang Telibat Penanggulangan Covid-
19 Tahun 2020
Tenaga Kesehatan program Nusantara Sehat yang terlibat
dalam penanggulangan Covid-19 selama tahun 2020
berdasarkan data yang diperoleh dari Kementerian Kesehatan
adalah sebanyak 803 tenaga kesehatan. Jumlah tersebut
merupakan tenaga kesehatan yang ditempatkan pada berbagai
fasilitas kesehatan di seluruh Indonesia (RS Umum, RS Tentara,
RS Darurat Covid, RS Akademik, RS Paru, RSPI, RSUP,
RSUD). Rincian berdasarkan jenis tenaga kesehatan adalah
sebagai berikut:
Rincian berdasarkan jenis tenaga kesehatan:
Jumlah Tenaga
No Jenis Tenaga Kesehatan
Kesehatan
1 Dokter Umum 100
2 Elektromedis 3
3 Perawat 345
4 Psikologi Klinis 8
5 Tenaga Farmasi 129
6 Tenaga Gizi 23
Tenaga Kesehatan
7 35
Lingkungan
Tenaga Kesehataan
8 3
Masyarakat

33
Ahli Teknologi Laboratorium
9 157
Medik
Jumlah 803 orang

E. Penutup
Pemberian insentif dan santunan bulanan kepada tenaga
kesehatan yang terlibat dalam penanggulanan pandemi Covid-19
diharapkan dapat meningkatkan motivasi dan semangat dalam
melaksanakan tugasnya.
Sampai dengan saat ini yaitu bulan Februari tahun 2021, sudah
hampir 1 (satu) tahun pandemi Covid-19 berlangsung. Pada
awalnya ada prediksi dan harapan bahwa pandemi Covid-19 akan
segera berakhir dalam beberapa bulan. Mendekati akhir tahun
2020, kasus positif Covid-19 masih tetap tinggi. Namun demikian
dengan telah ditemukannya vaksin Covid-19, telah memberikan
dan membangkitkan optimisme bahwa pandemi Covid-19 akan
segera berakhir. Apalagi vaksinasi telah dimulai dengan
pelaksanaan pemberian vaksin Covid-19 di Istana Kepresidenan
pada hari Rabu tanggal 13 Januari 2021, dimana Presiden Joko
Widodo mendapatkan suntikan yang pertama.
Pelaksanaan penyuntikan vaksin di Istana Kepresidenan
menjadi pertanda awal pelaksanaan vaksinasi dalam rangka
mengatasi pandemi Covid-19 di Indonesia. Setelah pelaksanaan
vaksinasi di Istana Kepresiden, akan dilanjutkan secara bertahap
kepada masyarakat seluruh daerah di Indonesia. Namun demikian,
walaupun telah dimulai tahap awal vaksinasi, kepada masyarakat

34
diharapkan tidak lengah, tetap jaga diri, keluarga, kerabat,
lingkungan kita dan mengambil hikmah dari kejadian pandemi
Covid-19 ini serta tetap semangat dan optimis.
Sebagai penutup, marilah kita tetap menerapkan protokol
kesehatan sampai benar-benar bahaya pandemi Covid-19 telah
berlalu, dengan menerapkan 5 M:
- Memakai masker
- Menjaga jarak
- Mencuci tangan
- Menjauhi kerumunan
- Mengurangi mobilitas

35
Daftar Bacaan
Surat Menteri Keuangan RI Nomor S-239/MK.02/2020 tanggal 24
Maret 2020 hal Insentif Bulanan dan Santunan Kematian bagi
Tenaga Kesehatan yang Menangani Covid-19.
Surat Menteri Keuangan nomor S-449/MK.02/2020 tanggal 29 Mei
2020 hal Persetujuan Prinsip Besaran Penghasilan Penugasan
Khusus Tenaga Kesehatan Individu pada Penanggulangan
Bencana.
Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 33 Tahun 2018 Tentang
Penugasan Khusus Tenaga Kesehatan Dalam Mendukung
Program Nusantara Sehat.
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 16 Tahun 2017 tentang
Penugasan Khusus Tenaga Kesehatan Dalam Mendukung
Program Nusantara Sehat.
Keputusan Menteri Kesehatan RI (KMK) Nomor
HK.01.07/MENKES/2539/2020 Tentang Pemberian Insentif
Dan Santunan Kematian Bagi Tenaga Kesehatan Yang
Menangani Corona Virus Disease 2019 (Covid-19).
Laman Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi
Nasional.
Bahan dan data yang diolah dari berbagai sumber/informasi/media
elektronik.

36
BAGIAN II
MENGAWAL REMUNERASI DI MASA PANDEMI
Oleh: Adi Setyo Nugroho

A. Pandemi dan Reformasi Birokrasi


Pada Akhir tahun 2019, optimisme terpancar memandang
Tahun 2020. Pada tahun 2019 situasi global memang diwarnai
ketidakpastian akibat perang dagang antara Amerika Serikat dan
Tiongkok yang berimbas pada perekonomian. Situasi tersebut
memicu pelemahan ekonomi dunia sehingga pertumbuhan
ekonomi dunia diperkirakan turun dari 2018 ke angka 3%. Dengan
situasi tersebut, perekonomian Indonesia masih bertumbuh di
kisaran 5%. Hal itu ditopang dengan kebijakan fiskal dan indikator
ekonomi makro yang terjaga. Inflasi secara yoy terjaga di kisaran
3%, sedangkan nilai tukar rupiah berada di kisaran Rp14.100 per
dollar amerika. Dengan kondisi itu, harapan bahwa tahun 2020
perekonomian bisa bounchback tentu merupakan hal wajar.
Desember 2019 muncul kabar mengenai munculnya wabah
yang disebabkan virus corona di Wuhan, Provinsi Hubei,
Tiongkok. Penularan virus tersebut cukup membuat pemerintah
daerah setempat kerepotan karena penularannya yang begitu cepat
serta efeknya yang fatal. Munculnya kabar mengenai wabah
tersebut belum membuat perekonomian terguncang karena

37
sebelumnya dunia pernah menghadapi wabah yang disebabkan
virus dari jenis yang sama yaitu Severe Acute Respiratory
Syndrome (SARS) dan Middle East Respiratory Syndrome
(MERS). 11 Januari 2020 Media Tiongkok melaporkan adanya
kematian pertama akibat wabah tersebut. Pertengahan Januari
mulai terkonfirmasi kasus pertama di luar Tiongkok, tepatnya di
Thailand. Amerika dan Eropa pun tak luput dari wabah itu di mana
keduanya mengkonfirmasi kasus pertama pada akhir Januari 2020,
bahkan kelak WHO menyatakan bahwa Eropa adalah episentrum
penyebaran COVID-19. Indonesia mengkonfirmasi kasus positif
pertama COVID 19 pada tanggal 2 Maret 2020, pertengahan Maret
2020 Pemerintah menerapkan kebijakan Work From Home (WFH)
untuk instansi Pemerintah untuk mencegah penyebaran COVID-19
yang kian mengkhawatirkan.
Pandemi COVID-19, sebagaimana telah diprediksi
sebelumnya, benar-benar memukul perekonomian global tak
terkecuali Indonesia. Perekonomian Dunia diprediksi bisa tumbuh
negatif sampai 2,8%, padahal sebelum adanya penyebaran COVId-
19 perekonomian Dunia diprediksi dapat tumbuh di kisaran 3%.
Perekonomian Indonesia yang semula diperkirakan tumbuh hingga
5% pada Tahun 2020 diprediksi melambat pada kisaran 2,5%
bahkan hingga 0%. Tak hanya secara makro, di sisi mikro pun,
kesulitan ekonomi membayangi masyarakat akibat terhentinya
kegiatan ekonomi yang memicu PHK di berbagai sektor serta
turunnya permintaan akibat berkurangnya pendapatan masyarakat.
Melihat perkembangan situasi yang cukup mengkhawatirkan,
Pemerintah segera mengambil langkah dalam kerangka kebijakan

38
fiskal dengan menerbitkan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 sebagai
dasar hukum bagi Pemerintah untuk dapat melakukan langkah-
langkah cepat dan terukur untuk mengamankan perekonomian dari
sisi kebijakan fiskal. Selain itu, dengan penerbitan Perppu tersebut,
semua Langkah pemerintah untuk penganggulangan pandemic
COVID-19 didukung penuh dengan kebijakan fiskal. Pemerintah
meluncurkan Program Pemulihan Ekonomi Nasional yang diatur
dengan PP Nomor 23 Tahun 2020.
Dalam program pemulihan ekonomi nasional, Aparatur Sipil
Negara sebagai aktor birokrasi berperan penting sebagai ujung
tombak dalam penyusunan dan pelaksanaan kebijakan Pemerintah.
Aparatur Sipil Negara dituntut untuk mampu merespon dinamika
situasi dan kompleksitas permasalahan dalam menjalankan roda
pemerintahan dan pelayananan masyarakat. Reformasi Birokrasi
sebagai sebuah perubahan besar dalam pendorong terwujudnya tata
kelola pemerintahan yang baik merupakan salah upaya pemerintah
dalam menciptakan birokrasi yang berbagai tantangan yang
muncul. Sebagaimana tercantum dalam Perpres nomor 81 Tahun
2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi Tahun 2010-2025
tujuan yang diharapkan dalam pelaksanaan reformasi birokrasi
diantaranya adalah:
1. Mengurangi dan akhirnya menghilangkan setiap
penyalahgunaan kewenangan public oleh pejabat di instansi
yang bersangkutan;
2. Menjadikan negara yang memiliki most-improved
bureaucracy;
3. Meningkatkan mutu pelayanan kepada masyarakat;

39
4. Meningkatkan mutu perumusan dan pelaksanaan
kebijakan/program instansi;
5. Meningkatkan efisiensi (biaya/waktu) dalam pelaksanaan
semua segi tugas organisasi
6. Menjadikan birokrasi Indonesia antisipatif, proaktif dan efektif
dalam menghadapi globalisasi dan dinamika perubahan
lingkungan strategis
Menurut Rosalina Ginting dan Titik Haryati (2011) perlu
ditempuh langkah-langkah baik internal maupun eksternal untuk
menuju reformasi pada birokrasi publik sebagai berikut:
1. Langkah Internal
a. Meluruskan orientasi
Reformasi birokrasi harus berorientasi pada demokratisasi
dan bukan pada kekuasaan. Perubahan birokrasi harus
bermuara pada amanah rakyat karena reformasi birokrasi
harus bermuara pada pelayanan masyarakat.
b. Memperkuat komitmen
Tekad birokrat untuk berubah harus ditumbuhkan. Ini
prasyarat penting karena tanpa disertai tekad yang kuat dari
birokrat untuk berubah maka reformasi birokrasi akan
menghadapi banyak kendala
c. Membangun kultur baru
Kultur birokrasi sering berkonotasi negative seperti
mekanisme dan prosedur kerja yang berbelit-belit dan
penyalahgunaan status perlu diubah. Sebagai gantinya,
perlu dilakukan pembenahan kultur dan etika birokrasi

40
dengan konsep transparan dalam melayani serta memiliki
kode etik yang jelas.
d. Rasionalisasi
Struktur kelembagaan birokrasi cenderung gemuk dan
tidak efisien sehingga perlu dilakukan rasionalisasi.
Rasionalisasi kelembagaan dan personalia menjadi penting
dilakukan agar birokrasi menjadi ramping dan lincah dalam
menyelesaikan permasalahan serta menyesuaikan dengan
perubahan-perubahan yang terjadi di masyarakat, termasuk
kemajuan teknologi informasi
e. Memperkuat payung hukum
Upaya reformasi perlu dilandasi dengan aturan hukum
yang jelas sehingga menjadi koridor dalam menjalankan
perubahan
f. Peningkatan kualitas sumber daya manusia
Semua upaya reformasi birokrasi tidak akan optimal tanpa
disertai sumber daya manusia yang handal dan
professional. Oleh karena itu, untuk mendapatkan Sumber
daya Manusia yang memadai diperlukan penataan dan
sistem rekrutmen pegawai, sistem penggajian, pelaksanaan
pelatihan, dan peningkatan kesejahteraan
g. Reformasi birokrasi dalam konteksi pelaksanaan otonomi
daerah perlu dilakukan.
2. Langkah Eksternal
a. Komitemen dan keteladanan elit politik
Reformasi birokrasi merupakan pekerjaan besar karena
menyangkut sistem besar negara yang mengalami tradisi

41
buruk untuk kurun waktu yang cukup lama. Untuk
memutus tradisi lama dan menciptakan tatanan dan tradisi
baru, perlu kepemimpinan yang kuat dan patut diteladani.
Kepemimpinan yang kuat berarti hadirnya pemimpin-
pemimpin yang berani dan tegas dalam membuat
keputusan. Sedangkan keteladanan adalah keberanian
memberikan contoh kepada bawahan dan masyarakat.
b. Pengawasan masyarakat
Reformasi birokrasi akan berdampak langsung kepada
masyarakat, karena peran birokrasi yang utama adalah
memberikan pelayanan kepada masyarakat. Pada tatanan
ini masyarakat dapat dilibatkan untuk mengawasi kinerja
Birokrasi.
Penguatan sumber daya manusia merupakan salah satu hal
instrumen penting dalam pelaksanaan reformasi birokrasi.
Penguatan sumber daya manusia antara meliputi pengembangan
kompetensi, penggunaan merit sistem, dan penataan sistem
remunerasi. Budiman (2011) menyatakan bahwa remunerasi
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kebijakan reformasi
birokrasi. Sistem remunerasi ini bertujuan untuk menjamin
keserjahteraan pegawai dan sekaligus mingkatkan kinerja pegawai
birokrasi yang dinilai kurang kompetitif.
Menurut Handoko (2003) sistem remunerasi harus memenuhi
prinsip-prinsip berikut:
a. Asas adil dan proporsional
Adil yang dimaksud adalah objektivitas dalam menetapkan
nilai nominal yang sesuai dengan proporsi seperti

42
mempertimbangkan tanggung jawab dan jabatan yang
diemban. Adil tidak boleh diartikan dalam konteks bahwa
setiap karyawan menerima upah atau gaji yang sama, tetapi
memepertimbangkan dari dua sisi ayaitu kondisi pemberi kerja
dan kebutuhan pekerja.
b. Layak dan wajar
Hal ini dimaksudkan bahwa remunerasi yang diberikan haru
layak dan wajar dan tetntunya saling menguntungkan kedua
belah pihak baik dari sisi pemberi kerja maupun pekerjanya
c. Sistem Merit
Remunerasi diberikan kepada pekerja berdasarkan kinerja
karyawan yand dievaluasi dan dinilai dengan mengacu pada
parameter penilaian kinerja
d. Bersifat Kompetitif
Kompetitif artinya pemberian remunerasi harus berdasarkan
kompetensi yang dimikili sesuai persyaratan pekerjaan.
e. Transparan
Transparan artinya adanya keterbukaan dalam penetapan gaji
dan tunjangan, menetapkan syarat kenaikan yang harus
diketahui dan mudah dipahami oleh pekerja atau karyawan.
Kebijakan pemberian remunerasi di Indonesia, tentunya tidak
hanya terbatas pada remunerasi Aparatur Sipil Negara.
Penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia selain dilaksanakan
oleh Kementerian sebagai pembantu presiden juga didukung oleh
berbagai Lembaga baik yang bersifat tetap yang meliputi Lembaga
Negara dan Lembaga Pemerintah Non Kementerian maupun ad-
hoc yang antara lain meliputi Lembaga Non Struktural. Keberadaan

43
Kementerian dan Lembaga tersebut tentunya didukung oleh
Sumber Daya Manusia untuk pelaksanaan tugas dan fungsinya.
Oleh karena itu, penetapan kebijakan remunerasi menjadi sangat
penting dalam menjaga kesinambungan kinerja Kementerian dan
Lembaga sekaligus untuk terus meningkatkan efisiensi baik dalam
waktu maupun biaya yang didukung dengan berbagai kebijakan
penganggaran.

B. Dukungan Kebijakan Remunerasi dalam Akselerasi


Program Kartu Prakerja
Pandemi COVID-19 menimbulkan dampak yang cukup
signifikan pada perekonomian yang pada akhirnya mempengaruhi
sektor ketenagakerjaan. Pemutusan hubungan kerja (PHK) dan
merumahkan karyawan tidak dapat dihindari oleh pemberi kerja
akibat menurunnya penjualan yang disebabkan oleh turunnya
permintaan di pasar.

Pekerja terkena PHK dan dirumahkan

443.760

1.500.156

Formal Informal

44
Berdasarkan data Kementerian Ketenagakerjaan, pada tahun
2020 total pekerja yang dirumahkan dan terkena pemutusan
hubungan kerja (PHK) dan dirumahkan mencapai 1.943.916 orang.
Rinciannya terdiri dari sektor formal sejumlah 1.500.156 dan sektor
informal sejumlah 443.760. Kondisi ini tentunya dapat menekan
lebih dalam perekonomian karena akan berdampak pada daya beli
masyarakat.
Kartu Prakerja merupakan salah satu program pemerintah
yang sebelumnya diproyeksikan untuk terus menurunkan angka
pengangguran di Indonesia dioptimalkan untuk menjadi
instrument pemerintah untuk mengatasi lonjakan angka
pengangguran di masa pandemic. Sebagai salah satu bagian dari
Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), Kartu Prakerja
ditujukan untuk membantu para pekerja yang terkena Pemutusan
Hubungan Kerja dengan memberikan pelatihan sebagai bekal
untuk memperoleh pekerjaan baru maupun untuk memulai usaha
dan tunjangan untuk mengurangi dampak dari PHK tersebut.
Dalam rangka memperluas cakupan peserta dan mengoptimalkan
dukungannya untuk perekonomian nasional, Pemerintah
memutuskan untuk meningkatkan alokasi untuk Program Kartu
Prakerja yang semula sebesar Rp 10 Triliun menjadi kurang lebih
Rp 20 Triliun.
Untuk mengakselerasi pelaksanaan Program Kartu Prakerja,
Presiden telah menetapkan melalui Perpres Nomor 36 Tahun 2020
tentang Pengembangan Kompetensi Kerja Melalui Program Kartu
Prakerja yang kemudian diubah dengan Perpres Nomor 76 tahun
2000 sebagai untuk meregulasi implementasinya. Dalam rangka

45
mengelola program tersebut dibentuk Manajemen Pelaksana Kartu
Prakerja yang bertugas untuk menjalankan Program Kartu Prakerja
meliputi antara lain pengelolaan SDM, keuangan, teknologi data
dan infrastruktur, penyelarasan program Pelatihan di
Kementerian/Lembaga dan pelaksanaan kerja sama dengan
Platform Digital. Mengingat program tersebut harus segera
dilaksanakan, Presiden segera membentuk MPPKP dan perlu
segera ditetapkan hak keuangan bagi MPPKP. Setelah melalui
berbagai diskusi dan pembahasan antar Kementerian/Lembaga
serta dengan benchmark dengan Lembaga sejenis serta jabatan
structural, Menteri Keuangan menerbitkan persetujuan prinsip hak
keuangan MPPKP yang kemudian ditetapkan dengan Perpres
Nomor 81 Tahun 2020 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas bagi
Direktur Eksekutif dan Direktur MPPKP.

C. Kebijakan Tunjangan Hari Raya dan Tunjangan


Penghasilan Ketiga Belas
Di tengah kondisi yang cukup menekan APBN pada tahun
2020, Pemerintah tetap berupaya mempertahankan kebijakan
remunerasi sebagaimana tahun-tahun sebelumnya. Pemberian Gaji
Ke 13 telah dimulai sejak tahun 2004, adapun THR diberikan mulai
Tahun 2015. Pemberian Gaji 13 yang pada awalnya hanya berupa
gaji, mulai tahun 2015 ditambahkan dengan Tunjangan Kinerja.

46
Alokasi Gaji Ke 13 dan THR
(Rp Triliun)
45
40
40
35,76
35
30,29
30

25
21,29
20 17,9

15

10

0
2016 2017 2018 2019 2020

Dari data tersebut, kebutuhan anggaran untuk pembayaran


tunjangan selama 5 tahun terakhir terus bertambah setiap tahunnya,
kenaikan terbesar terjadi pada tahun 2018 dimana terjadi kenaikan
sebesar kurang lebih 67% dari kebutuhan tahun sebelumnya.
Kenaikan tersebut dipengaruhi salah satunya oleh kenaikan besaran
tunjangan kinerja Kementerian/Lembaga karena kenaikan capaian
reformasi birokrasi hasil penilaian oleh Kementerian PAN RB
Kebijakan penganggaran remunerasi tentu saja tetap
disesuaikan dengan situasi yang berkembang. Pemberian
Tunjangan Hari Raya (THR) merupakan salah satu kebijakan
remunerasi yang dilaksanakan secara tahunan. Berbagai dinamika

47
pembahasan mewarnai kebijakan pemberian THR pada tahun 2020.
Di satu sisi, pemberian THR dirasa kurang tepat di tengah kondisi
masyarakat yang tengah mengalami kesulitan ekonomi akibat
pandemic COVID-19. Akan tetapi, pemberian THR juga
merupakan upaya menjaga motivasi ASN yang merupakan garda
terdepan pemerintah dalam upaya penanggulangan pandemic
COVID-19 termasuk ASN di sektor Kesehatan yang bebannya
bertambah cukup signifikan, sekaligus menjaga kepercayaan
terhadap pemerintah terutama terkait kemampuan keuangan
negara.
Setelah melalui berbagai pembahasan yang melibatkan
Kementerian dan Lembaga terkait, serta berdasarkan berbagai
pertimbangan dan kajian, Presiden memberikan arahan bahwa THR
untuk Tahun 2020 tetap diberikan dengan berbagai penyesuaian
dengan kondisi terkini. Pada Tahun 2019 THR yang diberikan
meliputi gaji, tunjangan yang melekat pada gaji, dan tunjangan
kinerja. Untuk tahun 2020, mengingat kondisi perekonomian dan
APBN yang tengah difokuskan untuk penanganan pandemic
COVID-19, komponen THR yang diberikan hanya berupa gaji dan
tunjangan yang melekat pada gaji. Selain itu, THR hanya diberikan
kepada PNS dengan jabatan Eselon III ke bawah, jabatan
fungsional setara, pegawai pada Lembaga Non Struktural yang
setara, penerima tunjangan, dan penerima pensiun. Adapun untuk
Pejabat di atas Eselon III, pejabat fungsional setara, Pejabat Negara
serta Pimpinan Lembaga Negara dan Lembaga Non Struktural
tidak diberikan THR. Pemberian THR tahun 2020 diatur dalam PP
Nomor 24 Tahun 2020. Dalam PP tersebut terdapat beberapa

48
ketentuan khusus antara lain i) mengintegrasikan pengaturan THR
yang sebelumnya terpisah antara PNS dan Pimpinan Serta Pegawai
Struktural yang sebelumnya diatur dalam 2 (dua) PP terpisah ii) PP
tersebut hanya diberlakukan pada tahun 2020 iii) mengatur batas
maksimal THR yang diberikan kepada pegawai non struktural
dengan besaran yang tercantum dalam Lampiran PP tersebut.
Pemberian THR tersebut diharapkan juga mampu
menggerakkan ekonomi di sektor riil dengan bergulirnya dana
sebesar kurang lebih Rp29,38 triliun dan dengan himbauan agar
dana tersebut dibelanjakan di sektor UMKM. Berbeda dengan
tahun sebelumnya, Kementerian Keuangan menjadi inisiator dan
penyusun rancangan Peraturan Pemerintah tentang Pemberian THR
mengingat pemberian THR untuk Tahun 2020 perlu disesuaikan
dengan kebijakan fiskal dan kemampuan keuangan negara. Oleh
karena itu, Kementerian Keuangan dalam hal ini Direktorat
Jenderal Anggaran menjadi coordinator dalam penyusunan
rancangan Peraturan Pemerintah tentang Pemberian THR Tahun
2020 dan dibahas dengan melibatkan unit di internal Kementerian
Keuangan maupun dengan Kementerian/Lembaga terkait.
Selanjutnya, Rancangan Peraturan Pemerintah tersebut
disampaikan kepada Menteri PAN RB untuk diproses lebih lanjut.
Selaras dengan kebijakan pemberian THR, Pemerintah juga
tetap memberikan Gaji ketigabelas. Pemberian gaji ketiga belas ini
terus dikaji mengingat pada saat bersamaan pemerintah masih
fokus pada penanggulangan COVID-19 yang belum terlihat tanda-
tanda akan segera berakhir dan pelaksanaan program pemulihan
ekonomi nasional. Namun demikian, sebagai bentuk penghargaan

49
bagi PNS sekaligus untuk menggerakkan perekonomian,
Pemerintah tetap memberikan Gaji ketigabelas yang memang pada
awalnya ditujukan sebagai bantuan bagi PNS untuk menunjang
biaya Pendidikan bagi putra-putrinya. Secara umum ketentuan
pemberian gaji ketigabelas tetap memperhatikan ketentuan yang
sebelumnya ditetapkan untuk pemberian THR, tetapi terdapat
beberapa penyesuaian terutama adanya penambahan penerima Gaji
Ketigabelas. Kebutuhan anggaran untuk pembayaran gaji
ketigabelas diperkirakan mencapai Rp28,5 Triiliun. Kebijakan
pemberian gaji ketigabelas diharapkan akan meningkatkan daya
beli sekaligus mendukung perputaran ekonomi terutama di sektor
UMKM.

D. Tunjangan Jabatan Fungsional untuk Mendukung


Program Penyederhanaan Birokrasi
Rasionalisasi merupakan salah satu faktor yang mendukung
terlaksananya program reformasi birokrasi. Birokrasi yang
ramping, cepat, dan lincah akan meningkatkan efektifvitas dan
efisiensi dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan
masyarakat. Rasionalisasi dapat dilakukan dari sisi organisasi
maupun sumber daya manusia. Rasionalisasi dari sisi organisasi
dilakukan dengan merampingkan struktur pemerintahan dengan
menghapuskan lembaga-lembaga yang kurang memiliki kontribusi
dalam menjalankan pemerintahan, mengurangi struktur dalam
instansi pemerintah, dan mengoptimalkan kinerja instansi yang
sudah ada.

50
Dari sisi sumber daya manusia, rasionalisasi dapat dilakukan
dengan penyerderhanaan birokrasi, pengurangan pegawai dengan
kebijakan zero/minus growth, dan peningkatan kompetensi
pegawai. Kebijakan remunerasi tahun 2020 juga diwarnai dengan
arahan presiden terkait penyederhanaan Birokrasi yang mendukung
rasionalisasi birokrasi. Penyederhanaan tersebut adalah dengan
mengurangi rantai birokrasi hanya menjadi 2 (dua) eselon dan
mengalihkan pejabat structural di bawahnya menjadi pejabat
fungsional.
Hal tersebut mendorong pembentukan jabatan fungsional baru
yang sesuai dengan karakteristik tugas dan fungsi masing-masing
KL yang akan diikuti dengan pengajuan penetapan tunjangan
jabatan fungsional. Selain itu, ada beberapa jabatan fungsional
yang sudah cukup lama ditetapkan dengan Peraturan Kementerian
PAN RB, tetapi baru diajukan penetapan tunjangan jabatan
fungsional setelah adanya arahan presiden tersebut.

Jabatan Komposisi Jabatan PNS


Struktural;
10,95%

Jabatan Fungsional
Jabatan
Fungsional; Jabatan Pelaksana
Jabatan 49,93%
Jabatan Struktural
Pelaksana;
39,13%

51
Sampai dengan Tahun 2020, Jabatan Fungsional mendominasi
komposisi jabatan PNS dengan 49,93% atau 2.080.942 PNS, yang
diikuti oleh Jabatan Pelaksana sebesar 39,13% dan Jabatan
Struktural di level manajerial sebanyak 10,95%. Dengan kebijakan
penyederhanaan birokrasi yang sebagai salah satu arahan presiden
dalam rangka menciptakan birokrasi yang lebih ramping, flat, dan
lincah, jabatan fungsional akan menjadi tulang punggung
pemerintah dalam menjalankan roda pemerintahan dan birokrasi.
Peran penting ini harus didukung dengan peningkatan
kompetensi, sistem merit, dan remunerasi yang dapat memacu para
pejabat fungsional untuk terus meningkatkan kinerja dalam
melakukan pelayanan publik. Selain gaji dan tunjangan struktural,
pejabat fungsional juga memperoleh tunjangan jabatan yang saat
ini menjadi salah satu komponen kompensasi bagi pejabat
fungsional yang merepresentasikan “pay for position”. Pay for
position dapat dimaknai adalah kompensasi yang diterima oleh
pejabat fungsional dalam kaitan dengan jabatannya sebagai pejabat
fungsional. Pemberian tunjangan jabatan fungsional diatur dalam
Pasal 8 Keputusan Presiden Nomor 87 Tahun 1999 tentang
Rumpun Jabatan Fungsional Pegawai Negeri Sipil. Selanjutnya,
berdasarkan Pasal 8 ayat (2) Perpres dimaksud, besaran tunjangan
jabatan untuk masing masing jenjang jabatan mengikuti ketentuan
sebagai berikut:
a. Jenjang Ahli Utama, setinggi-tingginya sama dengan
tunjangan jabatan struktural eselon Ia (Jabatan Pimpinan
Tinggi Madya);

52
b. Jenjang Ahli Madya, setinggi-tingginya sama dengan
tunjangan jabatan struktural eselon IIa (Jabatan Pimpinan
Tinggi Pratama);
c. Jenjang Ahli Muda, setinggi-tingginya sama dengan tunjangan
jabatan struktural eselon IIIa (Jabatan Administrator);
d. Jenjang Ahli Pertama, setinggi-tingginya sama dengan
tunjangan jabatan struktural eselon IVa (Jabatan Pengawas);
e. Jenjang Penyelia, setinggi-tingginya sama dengan tunjangan
jabatan struktural eselon IIIa (Jabatan Administrator);
f. Jenjang Pelaksana Lanjutan/Mahir, setinggi-tingginya sama
dengan tunjangan jabatan struktural eselon IVa (Jabatan
Pengawas);
g. Jenjang Pelaksana/Terampil, setinggi-tingginya sama dengan
tunjangan jabatan struktural eselon Va;
h. Jenjang Pelaksana Pemula/Pemula, setinggi-tingginya sama
dengan tunjangan jabatan struktural eselon Vb.

53
ALOKASI TUNJANGAN JABATAN FUNGSIONAL (Rp
Milyar)
6.100 6.045
5.970
6.000 54
26
5.850 62
5.900 5.822 25
5.800 41 45
24 26
5.700
5.600
5.500 5.965
5.377 5.883
5.400 5.298 5.756 5.778
5.275 43
5.300 22
49 52
15 24
5.200
5.312
5.100 5.211 5.222
5.000
2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021

PNS PNS TNI POLRI TNI/POLRI Total

Berdasarkan grafik di atas, alokasi anggaran tunjangan


jabatan fungsional cenderung mengalami kenaikan dalam 5 tahun
terakhir. Hal tersebut disebabkan dengan adanya pembentukan
jabatan fungsional yang baru selain dengan adanya tambahan
jumlah pemangku jabatan untuk masing-masing jabatan. sesuai
dengan Pasal 6 UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan
Negara, Kekuasaan Pengelolaan Keuangan Negara oleh Presiden
dikuasakan kepada Menteri Keuangan selaku pengelola fiskal dan
wakil Pemerintah dalam Kekayaan Negara dipisahkan. Kekuasaan
pengelolaan keuangan negara tersebut antara lain meliputi

54
penetapan gaji dan tunjangan. Sesuai dengan ketentuan tersebut,
setiap pengajuan gaji dan tunjangan yang bersumber dari APBN
harus mendapatkan persetujuan prinsip Menteri Keuangan, tak
terkecuali penetapan tunjangan jabatan fungsional.
Berdasarkan data dari Badan Kepegawaian Negara, Jabatan
Fungsioanal menempati proporsi terbesar dari seluruh jabatan di
lingkungan instansi pemerintah yang ditunjukkan Direktorat
Jenderal Anggaran telah menetapkan SOP untuk pemrosesan
penetapan persetujuan prinsip Menteri Keuangan untuk tunjangan
jabatan fungsional yang diantaranya meliputi Job Assessment dan
Job Pricing. Dalam kondisi normal, Job Assessment dilaksanakan
dengan mewawancarai langsung pemangku jabatan fungsional
untuk mendapatkan menggali informasi secara detail mengenai
uraian jabatan serta informasi lain untuk selanjutnya dituangkan
dalam kertas kerja untuk penetapan besaran tunjangan jabatan
fungsional. Mengingat kondisi yang berkembang saat itu di mana
pemerintah menerapkan social distancing, Job Assessment
dilaksanakan melalui video conference.
Pada awalnya, pelaksanaan Job Assessment tersebut
mengalami banyak kendala, antara lain kesulitan untuk memahami
penjelasan dari pemangku jabatan karena perbedaan kondisi
koneksi internet baik dari pihak pemangku jabatan maupun
assessor dari Direktorat Jenderal Anggaran serta kesulitan untuk
membandingkan bukti kerja dengan uraian pekerjaan yang
disampaikan oleh pemangku jabatan. Seiring dengan waktu, proses
job assessment terus dievaluasi sehingga dilakukan beberapa
penyempurnaan antara lain pengisian kertas kerja oleh pemangku

55
jabatan terlebih dahulu, adanya jeda antara briefing mengenai Job
Assessment dengan pelaksanaan wawancara untuk meberikan
kesempatan bagi pemangku jabatan untuk mempersiapkan materi,
serta hal-hal lain yang dianggap perlu. Setelah penyelesaian proses
job assessment, akan dilaksanakan job pricing yang pada
kesempatan sebelumnya dilakukan dengan melibatkan
Kementerian/Lembaga terkait, yaitu Kementerian PAN RB dan
Badan Kepegawaian Negara.
Pelaksanaan job assessment biasanya berlangsung cukup
hangat dengan berbagai pertanyaan dan konfirmasi yang dilakukan
oleh para peserta rapat job pricing termasuk dari Kementerian PAN
RB dan BKN yang harus dijawab dengan komprehensif oleh para
assessor sebelum ditentukannya skor atas rincian uraian jabatan.
Lagi-lagi dengan kondisi yang ada, pelaksanaan job pricing
disesuaikan dengan hanya melibatkan assessor serta prosesnya
yang melalui video conference maupun pengisian skor oleh
masing-masing assessor sebelum dikonsolidasikan oleh assessor
yang bertugas untuk menyusun rekomendasi besaran tunjangan
jabatan fungsional.
Dengan kondisi dan keterbatasan yang ada, Kementerian
Keuangan tetap menjalankan proses penetapan persetujuan prinsip
tunjangan jabatan fungsional sesuai dengan SOP untuk menjaga
akuntabilitas atas penetapan hasil tersebut dan menyelesaikan
penerbitan Surat Menteri Keuangan tentang persetujuan prinsip
tunjangan jabatan fungsional.

56
E. Tunjangan Kinerja
Pemberian Tunjangan Kinerja yang merupakan bagian
program Reformasi Birokrasi yang sebagai upaya pemerintah
untuk meningkatkan kualitas SDM birokrasi dari sisi kesejahteraan.
Dengan kesejahteraan yang cukup, para birokrat diharapkan dapat
bekerja dengan lebih optimal dalam melaksanakan pelayanan
publik.

Alokasi Tunjangan Kinerja (Rp Triliun)


100,00 93,99
90,00 84,56 83,59
80,00 73,90
70,00
54,71 57,98
60,00 53,56
50,00
40,00
30,00
20,00
10,00
0,00
2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021

Dari grafik di atas dapat diketahui bahwa alokasi anggaran


pembayaran tunjangan kinerja cenderung mengalami kenaikan
dalam 6 tahun terakhir. Hal tersebut disebabkan karena adanya
kenaikan tunjangan kinerja untuk Kementerian/Lembaga yang
mengalami kenaikan capaian reformasi birokrasi berdasarkan
penilaian Kementerian PAN RB. Selain itu juga adanya
penambahan pembayaran tunjangan kinerja sebagai bagian dari
tunjangan penghasilan ketiga belas untuk Pegawai Negeri Sipil.

57
Pada tahun 2020 terjadi penurunan alokasi tunjangan kinerja karena
tunjangan kinerja tidak menjadi komponen tunjangan penghasilan
ketiga belas.
Pemberian tunjangan kinerja yang dimulai sejak program
Reformasi Birokrasi dicanangkan pada tahun 2019. Sesuai dengan
timeline yang disusun oleh Kementerian PAN RB, pada tahun 2020
terdapat beberapa Kementerian yang telah mencapai progress
reformasi yang lebih tinggi dari sebelumnya. Dengan capaian
tersebut, Kementerian/Lembaga mengajukan permohonan
kenaikan tunjangan kinerja sesuai dengan progress reformasi
birokrasi yang telah disetujui Kementerian PAN RB. Atas
permohonan tersebut, Kementerian Keuangan dalam hal ini
Direktorat Jenderal Anggaran melakukan penelaahan atas usulan
dimaksud dengan memperhatikan alokasi anggaran masing-masing
Kementerian/Lembaga.
Mengingat kondisi dan prioritas APBN serta memperhatikan
rekomendasi Direktorat Jenderal Anggaran, Menteri Keuangan
memutuskan bahwa untuk tahun 2020, semua permohonan
penyesuaian hak keuangan, termasuk di dalamnya tunjangan
kinerja ditangguhkan sampai dengan pandemic COVID-19 dapat
tertangani. Akan tetapi, Kementerian Keuangan tetap memproses
permohonan untuk penyesuian tunjangan kinerja terkait perubahan
organisasi karena perubahan peraturan perundang-undangan
maupun perubahan dan pergeseran organisasi
kementerian/Lembaga sesuai dengan susunan kabinet yang baru.

58
F. Kebijakan Remunerasi Lainnya
Selain beberapa kebijakan di atas, terdapat beberapa hal yang
menarik untuk dikupas meskipun tidak secara langsung berkenaan
dengan kebijakan remunerasi. yang pertama adalah adanya temuan
terkait dengan pemberian komponen hak keuangan yang tidak
sesuai dengan persetujuan prinsip Menteri Keuangan pada suatu
unit pada Kementerian. Pemberian tersebut ternyata telah diberikan
selama beberapa tahun kepada pegawai yang memenuhi ketentuan
sesuai dengan peraturan yang berlaku pada unit tersebut. Pemberian
tersebut menjadi temuan pemeriksaan BPK pada tahun 2020 dan
unit tersebut berpotensi diwajibkan mengembalikan hak keuangan
yang terlanjur diberikan yang besarannya mencapai puluhan
milyar. berkenaan dengan kondisi tersebut, unit dimaksud
menyampaikan surat permohonan kepada Menteri Keuangan agar
dapat memberikan persetujuan atas pembayaran komponen hak
keuangan dimaksud.
Namun demikian, mengingat komponen tersebut sejak awal
bukan termasuk hak keuangan dalam persetujuan prinsip, Menteri
Keuangan tidak dapat memberikan persetujuan atas pembayaran
hak keuangan dimaksud. Atas kejadian tersebut, ke depan perlu
dilaksanakan sinergi yang lebih erat antara regulator dan pelaksana
kebijakan penganggaran sekaligus kerjasama dengan aparat
pemeriksa mengenai temuan-temuan yang terkait dengan
pelaksanaan anggaran yang alokasinya tidak sesuai dengan
ketentuan yang berlaku.
Kebijakan remunerasi juga erat kaitannya dengan kebijakan
standar biaya terutama pemberian persetujuan standar biaya

59
masukan yang berpotensi menambah penghasilan. Apabila
komponen remunerasi dialokasikan dalam belanja pegawai,
komponen penghasilan dalam standar biaya masukan dialokasikan
dalam belanja barang.

Belanja Barang (Rp Triliun)


400
347,5
350 334,4
291,5
300
259,6
250 233,4

200 176,6

150
100
50
0
2014 2015 2016 2017 2018 2019

Berdasarkan data realisasi APBN tahun 2014-2019, alokasi


belanja barang cenderung mengalami kenaikan untuk tahun 2014-
2019. Berdasarkan hasil identifikasi komponen belanja
Kementerian Lembaga, komponen belanja barang yang dapat
bersifat tambahan penghasilan antara lain dialokasikan dalam akun
(i) belanja barang non operasional lainnya, (ii) belanja pejalanan
dinas, dan (iii) belanja honor output kegiatan.

60
Peringkat Realisasi Belanja Barang 2019 (Rp
Triliun)
521219 Belanja Barang Non… 28,31
23,65
524111 Belanja Perjalanan Dinas… 21,52
17,41
521211 Belanja Bahan 16,26
15,79
521111 Belanja Keperluan… 11,49
11,28
522191 Belanja Jasa Lainnya 11,27
10,75
524119 Belanja Perjalanan Dinas… 9,78
6,77
523122 Belanja Bahan Bakar Minyak… 6,44
5,89
526112 Belanja Peralatan Dan… 5,84
- 5,00 10,00 15,00 20,00 25,00 30,00

Berdasarkan data realisasi belanja barang tahun 2019, akun


belanja yang di dalamnya dialokasikan tambahan penghasilan
mendominasi akun belanja dengan realisasi terbesar pada tahun
2019. Oleh karena itu, kebijakan belanja barang yang sebagian
diatur dalam kebijakan standar biaya perlu diselaraskan dengan
belanja pegawai.
Selama ini, Direktorat HPP terus dilibatkan dalam
penyusunan rekomendasi terkait dengan persetujuan standar biaya
masukan. Direktorat HPP dari sisi kebijakan remunerasi konsisten
menyampaikan bahwa pemberian standar biaya masukan lainnya
harus mempertimbangkan remunerasi yang telah diberikan kepada
pejabat/pegawai terkait. Pada dasarnya remunerasi yang diberikan
telah memperhitungkan seluruh bobot pekerjaan yang dilakukan
oleh suatu jabatan. Oleh karena itu, pemberian tambahan

61
komponen penghasilan melalui standar biaya masukan lainnya
harus diselaraskan dengan kebijakan remunerasi. pun demikian
dengan SBML yang selama ini sudah ditetapkan kiranya dapat
dievaluasi mengingat adanya perubahan pada regulasi dan struktur
organisasi yang dapat mempengaruhi tugas fungsi yang
sebelumnya bersifat tugas tambahan menjadi tugas dan fungsi
regular.
Kondisi selama pandemic COVID-19 juga memaksa
Pemerintah untuk menerapkan cara kerja yang baru dengan
pemanfaatan teknologi informasi. Rapat pembahasan
kebijakan/peraturan yang semula dilakukan secara tatap muka
langsung beralih menjadi video conference dengan memanfaatkan
berbagai aplikasi. Alur kerja yang semula menggunakan nota dinas
berupa dokumen fisik beralih menjadi dokumen digital. Oleh
karena itu dukungan teknologi informasi di era baru menjadi sangat
penting dalam pelaksanaan tugas dan fungsi pemerintah.
Kementerian Keuangan memberlakukan skema Flexible Working
Space dengan dukungan teknologi informasi yang cukup mumpuni
dari perangkat keras maupun perangkat lunak.
Aplikasi pendukung pekerjaan yang telah diterapkan bahkan
sebelum pandemi dapat segera diterapkan penuh begitu skema
FWS dijalankan. Aplikasi tersebut terus-menerus disempurnakan
untuk memberikan kenyamanan bagi pengguna maupun
memberikan kendali pengawasan yang baik untuk organisasi. Dari
sisi perangkat keras, pengadaan perangkat pengguna untuk tahun
2020 dialihkan ke perangkat yang bersifat mobile sehingga
mendukung pelaksanaan skema FWS. Pemanfaatan teknologi

62
informasi tentunya memberikan peluang untuk peningkatan
efisiensi dalam pelaksanaan pekerjaan yang pada akhirnya dapat
mendorong efisiensi alokasi anggaran. Selain itu penggunaan
teknologi informasi juga dapat memberikan dimensi baru dalam
penentuan kebijakan mengenai Sumber Daya Manusia yang pada
muaranya akan mempengaruhi kebijakan remunerasi.

63
Referensi
Business Intelligence. (2021). Jakarta: Direktorat Jenderal
Anggaran, Kementerian Keuangan.
Budiman, Hari. 2000. Teori Pembangunan Dunia Ketiga. PT
Gramedia Pustaka Utama: Jakarta
Ginting R, Haryati T. (2011). Reformasi Birokrasi Publik di
Indonesia
Handoko, T.Hani, 2003, Manejemen Personalia dan Sumber Daya
Manusia, Yogyakarta, BPFE-Yogyakarta
Republik Indonesia, 2020. Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun
2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat
Corona Virus Disease 19.
Republik Indonesia, 2020. Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun
2020 tentang Pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi
nasional dalam Rangka Mendukung Kebijakan Keuangan
Negara untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease
2019 (COVID-19) dan/atau Menghadapi Ancaman yang
Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas
Sistem Keuangan serta Penyelamatan Ekonomi Nasional.
Republik Indonesia, 2020. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun
2020 tentang Pemberian Tunjangan Hari Raya Tahun 2020
kepada Pegawai Negeri Sipil, Prajurit Tentara Nasional
Indonesia, Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia,
Pegawai Nonpegawai Negeri Sipil, dan Penerima Pensiun atau
Tunjangan

64
Republik Indonesia, 2020. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun
2020 tentang Pemberian Gaji, Pensiun, Tunjangan, atau
Penghasilan Ketiga Belas Tahun 2020 Kepada Pegawai Negeri
Sipil, Prajurit Tentara Nasional Indonesia, Anggota Kepolisian
Negara Republik Indonesia, Pegawai Nonpegawai Negeri
Sipil, dan Penerima Pensiun atau Tunjangan
Republik Indonesia, 2020. Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun
2020 tentang Pengembangan Kompetensi Kerja Melalui
Program Kartu Prakerja
Republik Indonesia, 2020. Peraturan Presiden Nomor 76 Tahun
2020 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 36
Tahun 2020 tentang Pengembangan Kompetensi Kerja Melalui
Program Kartu Prakerja
Republik Indonesia, 2011. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020
tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tentang
Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan
untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019
(COVID-19) dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman
yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau
Stabilitas Sistem Keuangan.

65
66
BAGIAN III
KEBIJAKAN PENANGGUHAN HAK KEUANGAN
SAAT PANDEMI 2020
Oleh: Dian Utami Ningsih

A. Upaya Penanggulangan Pandemi


Sejak ditemukannya pasien pertama Corona Virus Disease 19
(Covid-19) di Indonesia pada awal Maret 2020, yang kemudian
setelah itu penularan Covid-19 menjadi semakin masif dan meluas
ke beberapa kota di pulau Jawa, mendorong Pemerintah Indonesia
untuk melakukan tindakan tepat dan cepat untuk
mengantisipasinya, salah satunya dengan menerbitkan Keputusan
Presiden (Keppres) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Penetapan
Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Corona Virus Disease 19
(Covid-19) pada akhir Maret 2020. Penerbitan Keppres dimaksud
merupakan upaya dan tindakan serius Pemerintah Indonesia untuk
mencegah dan memperluas penyebaran Covid-19, namun dampak
yang timbul akibat penyebaran dan penularan Covid-19 tidak dapat
dihindari, terlebih pada dua dimensi mendasar yaitu dimensi
kesehatan dan dimensi ekonomi.
Dampak dari penularan dan penyebaran Covid-19 dari
dimensi kesehatan seketika menjadi bencana kesehatan yang tidak
hanya dialami oleh Indonesia saja, tetapi juga dirasakan oleh

67
hampir seluruh negara di belahan dunia, sehingga memaksa
Organisasi Kesehatan Dunia atau World Health Organization
(WHO) menyatakan penyebaran Covid-19 sebagai Pandemi pada 9
Maret 2020. Hal tersebut memaksa banyak negara mengambil
tindakan penanggulangan untuk menekan laju penyebaran Covid-
19 pada sektor kesehatan.
Misalnya di Tiongkok, sebagai negara pertama ditemukannya
pasien Covid-19, tindakan yang dilakukan berupa penyediaan
fasilitas kesehatan dengan mengubah gedung olahraga, aula,
sekolah dan juga hotel menjadi rumah sakit sementara, melakukan
rapid test maupun Polymerase Chain Reaction (PCR) pada
warganya, serta melakukan metode isolasi kota (lockdown).
Penanganan Covid-19 di Korea Selatan menjadi salah satu
yang terbaik, tingkat penyebarannya dapat ditekan dengan langkah
cepat yang diambil oleh Pemerintah Korea Selatan. Langkah yang
dilakukan adalah transparency (transparansi) bahwa setiap warga
negara Korea Selatan yang terkonfirmasi positif Covid-19 harus
memberikan informasi tersebut kepada otoritas yang berwenang
dan masyarakat pada lingkungannya, robust screening and
quarantine (skrining dan karantina yang kuat) bahwa mereka yang
terkonfirmasi positif Covid-19 tanpa gejala dan gejala ringan harus
melakukan karantina atau isolasi mandiri dengan pemantaun dari
instansi kesehatan yang telah ditunjuk, universally applicable
testing (tes yang universal) bahwa Pemerintah Korea Selatan
memberikan akses tes pemeriksaan Covid-19 secara luas dan dapat
dijangkau oleh seluruh warga Korea Selatan, strict control (kontrol
yang ketat) yaitu dimana Pemerintah Korea Selatan melakukan

68
pemantauan yang ketat atas pelaksanaan protokol kesehatan serta
penyebaran Covid-19, dan treatment (perawatan). Langkah
penanganan tersebut yang oleh Duta Besar Korea Selatan untuk
Indonesia dalam webinar yang dilaksanakan oleh School of
Government & Public Policy Indonesia, tindakan tersebut disingkat
menjadi TRUST.
Berbeda halnya penanganan Covid-19 di Italia dan Amerika
Serikat, negara yang dikenal memiliki fasilitas kesehatan dengan
teknologi canggih dan tenaga kesehatan yang mumpuni, namun
kebijakan pencegahan dan penanggulangan penyebaran Covid-19
yang dilakukan cukup lemah. Di Italia misalkan telah diambil
kebijakan untuk pembatasan kegiatan (lockdown) bagi warga
negaranya, namun disaat yang bersamaan tidak diikuti dengan
pemantauan yang ketat atas mobilisasi warga negara, sehingga
kebijakan tersebut tidak dapat dilaksanakan secara efektif,
akibatnya penyebaran Covid-19 tidak dapat dicegah. Pada akhirnya
fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan yang dimiliki harus
memprioritaskan pasien yang akan dirawat dikarenakan jumlah
warga negara yang terjangkit Covid-19 sangat tinggi.
Hal yang tidak jauh berbeda juga dialami oleh Amerika
Serikat, dimana Pemerintah Amerika Serikat tidak mewajibkan
dilakukan lockdown, dan hanya menganjurkan pembatasan
perjalanan (travel advisory) bagi warga negaranya, disisi lain warga
negara Amerika Serikat belum memiliki kesadaran bahwa Covid-
19 dapat menjadi suatu penyakit yang berbahaya dan belum
menerapkan protokol kesehatan dengan optimal. Selain itu juga
dengan adanya perubahan kebijakan sistem kesehatan yang

69
dilakukan oleh Pemerintah Amerika Serikat justru mengakibatkan
lemahnya upaya penanggulangan Covid-19, dan menjadikan
Amerika Serikat sebagai episentrum penyebaran Covid-19.
Kebijakan pembatasan pergerakan atau mobilisasi
(lockdown) yang diberlakukan hampir bersamaan di berbagai
negara tersebut berpengaruh pada turunnya permintaan barang serta
menghambat aliran barang yang beredar. Turunnya permintaan
tersebut menyebabkan para penyedia barang mengurangi produksi,
mengurangi jumlah pekerja, dan bahkan menutup usahanya untuk
menekan biaya produksi yang dikeluarkan. Permasalahan
dimaksud tentunya menyebabkan laju pertumbuhan ekonomi
melemah, sebagaimana data pertumbuhan ekonomi pada beberapa
negara yang disajikan dalam gambar di bawah ini:

Pertumbuhan Ekonomi Dunia Tahun 2020


5,00

0,00
Amerika Tiongkok Jepang Korea Singapura Indonesia
-5,00 Serikat Selatan
-10,00

-15,00

Pertumbuhan Ekonomi Triwulan I


Pertumbuhan Ekonomi Triwulan II

Gambar 1. Grafik Pertumbuhan Ekonomi Dunia Triwulan I dan II Tahun


2020, sumber: Perkembangan Ekonomi Indonesia dan Dunia oleh
Bappenas.

70
Grafik diatas menunjukkan kecenderungan tingkat
pertumbuhan ekonomi yang bergerak kearah negatif pada beberapa
negara di dunia akibat adanya penyebaran Covid-19. Amerika
Serikat yang merupakan negara dengan tingkat penyebaran Covid-
19 yang tinggi, juga mengalami pelemahan pertumbuhan ekonomi
yang tinggi, dimana pada triwulan I mengalami penurunan sebesar
0.3 dan pada triwulan II semakin melemah pada nilai -10.7. Korea
Selatan yang dikenal memiliki prosedur penanganan Covid-19
yang sangat baik saja harus mengalami pelemahan laju
pertumbuhan ekonomi, dimana pada triwulan I dengan nilai 1.3,
kemudian turun menjadi -2.9 pada triwulan II. Sebagaimana negara
lainnya, Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi yang negatif,
ditunjukkan dengan nilai -2.97 pada triwulan I, dan -5.3 pada
triwulan II.
Tetapi hal yang berbeda dialami oleh Tiongkok sebagai
negara pertama ditemukannya pasien Covid-19, dan merupakan
satu-satunya negara yang dapat berhasil mengarahkan
pertumbuhan ekonomi kearah yang positif. Tiongkok pada triwulan
I mengalami penurunan pertumbuhan ekonomi sampai dengan -6.8,
namun kemudian dapat menyelamatkan perekonomian negaranya
ke titik positif sebesar 3.2.
Berdasarkan data dimaksud, menuntut negara-negara di dunia
melakukan berbagai upaya keras untuk memulihkan
perekonomiannya, yaitu dengan memprioritaskan anggaran
negaranya untuk pencegahan dan penanggulangan penyebaran
Covid-19. Hal yang sama juga dilakukan oleh Pemerintah
Indonesia yaitu untuk menyelamatkan sektor kesehatan dan

71
ekonomi, dimana kedua sektor dimaksud adalah dimensi yang
sangat dasar dan langsung terasa dampaknya oleh masyarakat
Indonesia.
Oleh karena itu, Presiden Indonesia beserta jajarannya
mengambil langkah percepatan penanggulangan penyebaran
Covid-19 dengan menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan
Keuangan Negara Dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk
Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19)
Dan/Atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang
Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas
Sistem Keuangan, yang kemudian disahkan menjadi Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2020.
Dalam UU Nomor 2 Tahun 2020 tersebut diatur mengenai
kebijakan pengutamaan penggunaan alokasi anggaran untuk
kegiatan tertentu dengan melakukan refocusing dan realokasi
anggaran yang diprioritaskan untuk belanja penanganan Covid-19.
Ditunjukkan dari pengalokasian belanja penanganan Covid-19
sebesar Rp 695,20 Triliun atau sebesar 4,2% dari Produk Domestik
Bruto (PDB) Indonesia Tahun 2020, yang terbagi menjadi sebesar
Rp 87,55 Triliun untuk penanganan kesehatan, dan sebesar Rp
607,65 Triliun untuk program jaring pengaman sosial (Social Safety
Net), dengan rincian sebagai berikut:

72
Gambar 2. Tabel Biaya Penanganan Covid-19 Pemerintah Indonesia, sumber:
Paparan Evaluasi Tengah Semester Pelaksanaan Anggaran Kementerian Sosial
Tahun Anggaran 2020 oleh Direktorat Anggaran Bidang Pembangunan
Manusia dan Kebudayaan Ditjen Anggaran kepada Menteri Keuangan, Juli
2020.

Terfokusnya upaya Pemerintah dalam refocusing dan


realokasi anggaran untuk penanganan Covid-19 diatas,
menyebabkan beberapa bidang lainnya tidak menjadi program
prioritas, bahkan untuk sementara waktu dilakukan penangguhan
atau moratorium. Salah satunya adalah menangguhkan pemberian
hak keuangan/honorarium/tunjangan (baik penetapan awal maupun
penyesuaian besaran hak keuangan) bagi Pimpinan Lembaga, PNS,
maupun non-PNS, dengan pertimbangan bahwa Anggaran
Pendapatan Belanja Negara (APBN) sebagai instrumen keuangan
negara perlu dijaga keseimbangannya dalam membiayai seluruh

73
aspek pelaksanaan bernegara, terlebih untuk penanggulangan
Covid-19 yang dilakukan melalui program jaring pengaman sosial
(Social Safety Net), dan pemulihan ekonomi nasional.

B. Kebijakan Pemberian Hak Keuangan Pada Masa Pandemi


Seperti diketahui pada pembahasan diatas, bahwa Pemerintah
Indonesia telah menentukan beberapa kebijakan sebagai upaya
pencegahan dan penanggulangan penyebaran Covid-19, yang salah
satunya adalah refocusing dan realokasi anggaran belanja
Kementerian/Lembaga (K/L) yang diprioritaskan untuk belanja
penanganan Covid-19. Sehingga mengharuskan beberapa belanja
K/L perlu ditangguhkan.
Belanja K/L yang termasuk dalam penangguhan adalah
belanja pegawai, yaitu dengan melakukan pengurangan komponen
serta penerima pemberian tunjangan hari raya dan gaji ketiga belas,
penundaan kenaikan besaran tunjangan kinerja K/L, serta
penundaan usulan kenaikan hak keuangan/honorarium pimpinan
lembaga.
Pengurangan komponen dalam pemberian tunjangan hari
raya dan gaji ketiga belas ditunjukkan dengan hanya memberikan
komponen gaji pokok tanpa disertai dengan pemberian tunjangan
kinerja seperti pada tahun-tahun sebelumnya, begitu juga dengan
pihak penerimanya, dimana tunjangan hari raya hanya diberikan
sampai dengan pejabat eselon III. Selain itu juga dilakukan
penundaan penetapan usulan penyesuaian besaran tunjangan
kinerja, serta hak keuangan/honorarium bagi Pimpinan Lembaga.

74
Jenis-jenis pemberian hak keuangan tersebut secara garis
besar dapat dikategorikan menjadi 2 (dua) yaitu (i) izin prinsip
Tunjangan Kinerja yang secara spesifik hanya memproses
pengajuan penyesuaian besaran Tunjangan Kinerja, dan (ii) izin
prinsip non Tunjangan Kinerja yang yang cakupan kewenangan
persetujuan/penetapan atas hak keuangannya lebih luas dan
beragam dibandingkan dengan izin prinsip Tunjangan Kinerja.
Dalam kesempatan ini akan membahas secara spesifik
mengenai penangguhan izin prinsip non Tunjangan Kinerja selama
tahun 2020 sebagaimana yang ditunjukkan pada grafik dibawah ini:
P EN GA J UAN IZ IN PR IN SIP H AK
K EUAN GAN N O N T UN JAN GAN K I N ER JA
TAH UN 2020

19 9 9
TUNJANGAN HAK HAK
JABATAN KEUANGAN KEUANGAN
FUNGSIONAL LAINNYA PIMPINAN
LEMBAGA

Gambar 3. Grafik Pengajuan Izin Prinsip Hak Keuangan Non Tunjangan


Kinerja Tahun 2020

Selanjutnya, berdasarkan grafik diatas menunjukkan bahwa


usulan/pengajuan atas izin prinsip hak keuangan non tunjangan
kinerja yang disampaikan kepada Menteri Keuangan selama tahun
2020 terbagi menjadi 3 (tiga) kategori yaitu, (i) Tunjangan Jabatan

75
Fungsional, (ii) hak keuangan lainnya, dan (iii) hak
keuangan/honorarium bagi Pimpinan Lembaga.
Dimana pengajuan atas izin prinsip Tunjangan Jabatan
Fungsional merupakan yang tertinggi dengan jumlah sebanyak 19
(sembilan belas) pengajuan, yang kemudian terdapat pengajuan hak
keuangan lainnya dan hak keuangan/honorarium Pimpinan
Lembaga dengan junlah yang sama.
Dari 9 (sembilan) pengajuan izin prinsip hak
keuangan/honorarium Pimpinan Lembaga tersebut diatas, salah
satunya adalah usulan penyesuaian hak keuangan/honorarium bagi
Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia (Komnas HAM) yang selama ini diatur dalam Peraturan
Presiden Nomor 34 Tahun 2013 tentang Honorarium Ketua, Wakil
Ketua, Dan Anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.
Penyesuaian besaran hak keuangan/honorarium dimaksud
diajukan oleh Sekretaris Jenderal Komnas HAM, dengan
pertimbangan bahwa besaran hak keuangan yang diberikan kepada
Komisioner Komnas HAM melalui penetapan Peraturan Presiden
pada tahun 2013 sudah tidak sesuai dengan beban, tanggung jawab
dan resiko yang diemban oleh para Kommisioner.
Namun pengajuan penyesuaian besaran hak
keuangan/honorarium tersebut belum dapat diproses lebih lanjut
mengingat Pemerintah telah menetapkan kebijakan agar alokasi
anggaran yang tersedia diutamakan untuk penanganan dan
penanggulangan Covid-19, dan sementara waktu agar menunda dan
menangguhkan penambahan alokasi anggaran untuk belanja
pegawai.

76
C. Prosedur Usulan Penyesuaian Hak Keuangan/
Honorarium Pimpinan Lembaga
Dalam keadaan normal usulan penyesuaian besaran hak
keuangan/honorarium dapat diusulkan dengan syarat terjadi
perubahan struktur organisasi dan tata laksana, misalnya dengan
adanya penguatan kelembagaan (terbentuknya unit baru atau
pengembangan unit pada instansi dimaksud), serta adanya
penambahan kewenangan, beban tugas, dan fungsi organisasi.
Namun tidak dipungkiri bahwa selain kondisi tersebut, penyesuaian
besaran hak keuangan/honorarium sering kali diusulkan dengan
pertimbangan bahwa besaran hak keuangan/honorarium yang telah
diberikan dalam kurun waktu tertentu sudah tidak lagi memadai dan
berbanding lurus dengan tugas, tanggung jawab, beban, dan resiko
pekerjaan yang diemban oleh suatu jabatan. Terlebih apabila waktu
penetapan regulasinya sudah cukup lama, sehingga dirasakan sudah
tidak seiring dengan kenaikan tingkat inflasi tahunan.
Hak keuangan/honorarium yang diusulkan untuk disesuaikan
besarannya tersebut tidak serta merta dapat ditetapkan sesuai
dengan kehendak pengusulnya. Tentunya pengajuan harus
dilakukan sesuai dengan prosedur atau mekanisme yang telah
ditetapkan. Dimana pada langkah awal, K/L perlu menyampaikan
usulan besaran serta kajiannya kepada Kementerian PANRB, yang
kemudian oleh Kementerian PANRB akan dilakukan proses
penilaian dan evaluasi. Dari hasil penilaian dimaksud, Menteri
PANRB akan menyampaikan kajian usulan penyesuaian kepada
Menteri Keuangan untuk selanjutnya dapat menetapkan izin prinsip

77
persetujuan penetapan penyesuaian besaran hak
keuangan/honorarium.
Sebelum ditetapkannya izin prinsip besaran hak
keuangan/honorarium tersebut oleh Menteri Keuangan, Direktorat
HPP Ditjen Anggaran akan melakukan telaahan mengenai hak
keuangan/honorarium dimaksud sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, serta memperhatikan kapasitas
fiskal yang tersedia. Berdasarkan hasil telaahan tersebut, kemudian
disusun rekomendasi besaran hak keuangan menjadi beberapa
alternatif, antara lain yaitu (i) berdasarkan besaran yang diajukan
oleh Kementerian PANRB, (ii) benchmark atau mengacu pada
besaran hak keuangan/honorarium dengan jabatan yang memiliki
kesamaan, dan (iii) berdasarkan hasil penghitungan tingkat inflasi,
dan beberapa kebijakan lainnya.
Setelah diterbitkannya surat izin prinsip persetujuan oleh
Menteri Keuangan, maka Menteri PANRB yang memiliki
kewenangan dalam bidang pendayagunaan aparatur negara akan
bertindak sebagai pemrakarsa penyusunan peraturan (yang
berbentuk Peraturan Pemerintah atau Peraturan Presiden) mengenai
penetapan pemberian hak keuangan/honorarium tersebut, akan
menyampaikan usulan izin prakarsa penyusunan peraturan
perundang-undangan kepada Presiden Republik Indonesia melalui
Menteri Sekretaris Negara sebagaimana yang diatur dalam Perpres
Nomor 87 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan UU Nomor
12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan.

78
Selanjutnya, Kementerian PANRB menyusun draft
Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) maupun Rancangan
Peraturan Presiden (RPerpres) yang substansi didalamnya
mengatur terkait ketentuan pemberian dan besaran hak
keuangan/honorarium yang berdasarkan pada surat izin prinsip
persetujuan Menteri Keuangan, untuk kemudian draft peraturan
tersebut disampaikan kepada Kementerian Hukum dan HAM untuk
dapat dilakukan pengharmonisasian dengan melibatkan K/L
terkait.
Atas hasil harmonisasi pada Kementerian Hukum dan HAM
yang telah disepakati oleh seluruh K/L terkait, maka Kementerian
PANRB akan menyampaikan draft RPP atau RPerpres dimaksud
kepada Kementerian Sekretariat Negara untuk dimintakan proses
pemarafan kepada para Menteri/Pimpinan Lembaga terkait, yang
selanjutnya akan dilakukan proses penetapan kepada Presiden.
Setelah adanya penetapan dimaksud, hak keuangan/honorarium
dapat diberikan kepada Pimpinan Lembaga.
Untuk alur lengkap mekanisme penyesuaian hak keuangan
dapat ditunjukkan dengan gambar berikut:

Gambar 4. Alur Proses Penetapan Hak Keuangan Pimpinan Lembaga,


sumber: website Kemenpanrb.go.id.

79
D. Pengajuan Penyesuaian Hak Keuangan Komisioner
Komnas HAM
Penyesuaian besaran hak keuangan/honorarium bagi Ketua,
Wakil Ketua, dan Anggota Komnas HAM yang diatur dalam
Perpres Nomor 34 Tahun 2013 diajukan oleh Sekretaris Jenderal
Komnas HAM dengan pertimbangan bahwa besaran hak
keuangan/honorarium yang diterima saat ini sudah tidak sesuai lagi
dengan beban kerja yang ditanggung oleh Komisioner Komnas
HAM dalam menegakkan dan memajukan HAM di Indonesia.
Terlebih juga para Komisioner Komnas HAM tidak mendapatkan
fasilitas.
Apabila ditinjau dari pembentukannya yang ditetapkan dalam
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia, menjadikan Komnas HAM sebagai lembaga strategis
dengan bentuk “komisi” pertama kalinya di Indonesia. Namun hal
tersebut tidak menjadikan Komisioner Komnas HAM mendapatkan
hak keuangan/honorarium dan fasilitas yang sama dengan komisi
lainnya yang terbentuk setelah Komnas HAM, antara lain adalah
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Perlindungan
Anak Indonesia (KPAI), dan Komisi Yudisial (KY).
Meskipun keempat lembaga tersebut diatas memiliki bentuk
yang sama yaitu komisi, namun terdapat perbedaan baik dari segi
struktur organisasi sampai dengan hak keuangan yang diterima,
sebagaimana yang ditunjukkan pada tabel dibawah ini:

80
Uraian Komnas HAM KPK Komisi Yudisial KPAI
Dasar Hukum - Undang-Undang Nomor - Undang-Undang Nomor - Undang-Undang Nomor - Undang-Undang Nomor
39 Tahun 1999 30 Tahun 2002 22 Tahun 2004 23 Tahun 2002
- Peraturan Presiden Nomor - Undang-Undang Nomor - Peraturan Pemerintah - Peraturan Presiden
34 Tahun 2013 19 Tahun 2019 Nomor 39 Tahun 2017 Nomor 61 Tahun 2016
- Peraturan Pemerintah
Nomor 29 Tahun 2006
Sifat Kelembagaan Lembaga mandiri Lembaga negara yang Lembaga negara yang Lembaga independen
bersifat independen, mandiri
mandiri, dan bebas dari
pengaruh kekuasaan
manapun
Struktur Organisasi Terdiri dari Terdiri dari Terdiri dari Terdiri dari
a. Sidang Paripurna a. Dewan Pengawas a. Pimpinan a. Ketua dan Wakil
b. Sub Komisi b. Pimpinan b. Anggota b. Sekretaris
c. Sekretariat Jenderal c. Pegawai c. Sekretariat Jenderal c. Anggota
Status Pimpinan Bukan pejabat negara Pejabat negara Pejabat negara Bukan pejabat negara
Pengangkatan, Ketua dipilih oleh dan dari Pimpinan dipilih oleh DPR Pimpinan diangkat oleh Pimpinan diangkat dan
Penetapan, dan Anggota, serta berdasarkan usulan Presiden dengan diberhentikan oleh
Pemberhentian diberhentikan berdasarkan Presiden, serta persetujuan DPR. Presiden setelah
Pimpinan keputusan Sidang Paripurna pemberhentian Pimpinan Pemberhentian Pimpinan mendapat pertimbangan
dan diberitahukan kepada ditetapkan oleh Presiden dilakukan oleh Presiden DPR
DPR dan ditetapkan dalam
Keputusan Presiden.
Hak Keuangan dan Honorarium - Gaji - Gaji Honorarium
fasilitas - Tunjangan Jabatan - Tunjangan Jabatan
- Tunjangan Kehormatan - Rumah negara
- Tunjangan Perumahan - Fasilitas transportasi
- Tunjangan Transportasi - Jaminan kesehatan
- Tunjangan Asuransi - Jaminan keamanan
Kesehatan dan Jiwa - Biaya perjalanan dinas
- Tunjangan Hari Tua - Kedudukan protokol
- Penghasilan pensiun
- Tunjangan lainnya

Gambar 5. Tabel Perbedaan Kelembagaan

Berdasarkan penjelasan tabel diatas dapat terlihat perbedaan


yang mempengaruhi hak keuangan yang diterima oleh para
Pimpinan Lembaga, yaitu terkait dengan status Pimpinan
Lembaganya. Bagi Pimpinan Lembaga yang berstatus pejabat
negara akan mendapatkan hak keuangan dan fasilitas yang cukup
lengkap, sedangkan Pimpinan Lembaga yang tidak berstatus
pejabat negara hanya akan mendapatkan honorarium tanpa disertai
dengan pemberian fasilitas lainnya. Sehingga Ketua Komnas HAM

81
dan Ketua KPAI yang tidak berstatus sebagai pejabat negara hanya
memperoleh honorarium tanpa diberikan fasilitas sebagaimana
yang diterima oleh Pimpinan KPK dan Pimpinan Komisi Yudisial.
Kemudian apabila ditelaah dari segi kewenangan, tugas, dan
fungsi Komnas HAM dan KPAI memiliki kesamaan yaitu kedua
komisi tersebut bertugas untuk melakukan pemantauan dan
pengawasan terhadap pelaksanaan perlindungan hak asasi. Dimana
secara luas dilaksanakan oleh Komnas HAM, dan secara spesifik
kepada anak dilakukan oleh KPAI, sebagaimana dinyatakan dalam
Keppres Nomor 50 Tahun 1993 tentang Komisi Nasional Hak
Asasi Manusia dan Perpres Nomor 61 Tahun 2016 tentang Komisi
Perlindungan Anak Indonesia. Sehingga pemberian besaran
honorarium bagi Komisioner pada kedua komisi tersebut
seharusnya tidak akan jauh berbeda.
Namun ternyata besaran honorarium yang diterima oleh
Komisioner pada kedua komisi tersebut berbeda, sebagaimana
yang ditunjukkan pada tabel sandingan di bawah ini:
Honorarium Komnas
Honorarium KPAI
HAM
Jabatan Perpres Nomor 85
Perpres Nomor 34
Tahun 2019
Tahun 2013
Ketua Rp 23.750.000,00 Rp 26.250.000,00
Wakil Ketua Rp 22.500.000,00 Rp 24.063.000,00
Anggota Rp 20.625.000,00 Rp 21.875.000,00
Gambar 6. Tabel Sandingan Hak Keuangan/Honorarium Komnas HAM
dan KPAI.

82
Sebagaimana data yang disajikan dalam tabel diatas,
menunjukkan bahwa honorarium bagi Komisioner KPAI lebih
tinggi daripada honorarium Komisioner Komnas HAM, sedangkan
dari tugas yang diemban oleh Komisioner Komnas HAM lebih luas
dan tingkat kompleksitas yang tinggi daripada Komisioner KPAI.
Dimana Komisioner Komnas HAM menangani pemantauan
pelanggaran hak asasi manusia dengan jangkauan yang lebih luas
dan beragam, sedangkan Komisioner KPAI hanya melakukan
pemantauan pelanggaran hak asasi yang terjadi pada anak saja.
Dengan demikian selayaknya honorarium Komisioner Komnas
HAM dapat dilakukan penyesuaian, yang setidaknya sama
besarannya dengan honorarium yang diterima oleh Komisioner
KPAI, atau bisa jadi lebih tinggi.
Selanjutnya apabila ditinjau dari besaran hak
keuangan/honorarium Komisioner Komnas HAM yang ditetapkan
dalam Perpres Nomor 34 Tahun 2013 memang sudah cukup lama
belum dilakukan penyesuaian, selain itu adanya faktor tingkat
inflasi dari tahun 2013 sampai dengan 2020 telah meningkat
sebanyak 37.51% dengan rincian tingkat inflasi setiap tahunnya
seperti yang ditunjukkan grafik di bawah ini.
T I NG KAT I NF L ASI
8,38%

8,36%

4,30%

3,50%
3,35%

3,10%

3,10%
3,02%

2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020

83
Gambar 7. Grafik Tingkat Inflasi Tahun 2013 s.d. Tahun 2020, sumber:
Buku II Nota Keuangan Beserta Nota Keuangan Tahun 2018-2020.

Lebih jauh apabila ditinjau dari perspektif mekanisme


pengajuannya, mengingat bahwa dalam penyelenggaraan negara
dan pemerintahan perlu menerapkan asas-asas pemerintahan yang
baik (good governance), agar setiap kebijakan yang diambil dapat
terhindar dari pelanggaran peraturan, dan tindakan penyalahgunaan
wewenang.
Alur pengajuan penyesuaian honorarium Komisioner
Komnas HAM yang seperti disebutkan diatas adalah pertama kali
diajukan oleh Sekretaris Jenderal Komnas HAM pada November
2019 kepada Menteri Sekretaris Negara dengan menyampaikan
permintaan izin prakasa RPerpres tentang Perubahan Perpres
Nomor 34 Tahun 2013 tentang Honorarium Ketua, Wakil Ketua,
Dan Anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, dengan tujuan
selain untuk mengubah besaran honorarium Komisioner tetapi juga
untuk melakukan penetapan besaran baru tersebut dalam regulasi
yang baru. Namun kemudian atas surat dimaksud Menteri
Sekretaris Negara menyampaikannya kepada Menteri PANRB
untuk dapat diproses sebagaimana mekanisme atau prosedur yang
ditentukan.
Atas pengajuan perubahan besaran honorarium yang
dilakukan oleh Sekretaris Jenderal Komnas HAM dimaksud,
apabila ditelaah berdasarkan alur mekanisme pada gambar 4 diatas,
maka pengajuan tersebut tidak tepat. Seharusnya pengajuan
penyesuaian honorarium Komisioner Komnas HAM diusulkan

84
kepada Menteri PANRB terlebih dahulu, yang selanjutnya
pengusulan izin prakarsa perubahan Perpres Nomor 34 Tahun 2013
akan diajukan oleh Menteri PANRB kepada Menteri Sekretaris
Negara sebagai persyaratan penyusunan draft RPerpres tentang
Perubahan Perpres Nomor 34 Tahun 2013 tentang Honorarium
Ketua, Wakil Ketua, Dan Anggota Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia. Setelah itu Menteri PANRB menyampaikan surat
permohonan usulan izin prinsip persetujuan penyesuaian
honorarium kepada Menteri Keuangan, dan setelah usulan tersebut
disetujui dan ditetapkan oleh Menteri Keuangan, baru kemudian
Kementerian PANRB akan menyusun draft peraturannya untuk
dilakukan proses lebih lanjut.
Mengetahui bahwa surat yang diajukan kepada Menteri
Sekretaris Negara diteruskan kepada Menteri PANRB dan belum
terdapat tindak lanjut untuk memproses usulannya tersebut, maka
Sekretariat Jenderal Komnas HAM berinisiatif untuk
menyampaikan kembali usulan penyesuaian besaran honorarium
Komisioner Komnas HAM tidak hanya kepada Menteri PANRB
tetapi juga sekaligus ditujukan kepada Menteri Sekretaris Negara,
dan Menteri Keuangan dalam waktu yang bersamaan dengan
harapan agar usulan penyesuaiannya tetap dapat diproses sesegera
mungkin.
Atas tindakan Komnas HAM tersebut, Kementerian PANRB
berinisiatif untuk melakukan koordinasi bersama oleh K/L terkait
(Kementerian PANRB, Kementerian Keuangan, Kementerian
Sekretaris Negara, dan Komnas HAM) untuk membahas alternatif
dan solusi yang dapat diberikan kepada Komnas HAM. Dalam

85
pembahasan tersebut, K/L terkait mendukung bahwa honorarium
Komisioner Komnas HAM sudah saatnya dilakukan
penyesuaian/kenaikan, dengan dua pertimbangan yaitu:
(i) tingkat inflasi selama 7 (tujuh) tahun yang cukup tinggi
sehingga besaran honorarium Komisioner Komnas HAM
dirasakan sudah tidak cukup memadai, dan
(ii) besaran honorarium Komisioner Komnas HAM lebih rendah
daripada honorarium Komisioner KPAI dengan tugas dan
kewenangan yang serupa tetapi dengan beban dan cakupan
pekerjaan yang berbeda.
Tetapi di lain sisi, K/L terkait berpendapat bahwa dengan
adanya kondisi pandemi Covid-19 menyebabkan Pemerintah harus
memprioritaskan penanganan Covid-19 dengan melakukan
refocusing dan realokasi anggaran pada setiap K/L dan Pemerintah
Daerah. Sehingga kebijakan yang diambil untuk mengantisipasi
kebutuhan anggaran untuk penanganan Covid-19 adalah
moratorium atau penangguhan alokasi anggaran untuk keperluan
lainnya, termasuk didalamnya adalah kebijakan terkait
penangguhan kenaikan/penyesuaian besaran hak
keuangan/honorarium bagi Pimpinan Lembaga dan ASN.
Treatment penangguhan kenaikan/penyesuaian dimaksud tidak
hanya diberlakukan kepada Komisioner Komnas HAM saja, tetapi
juga penyesuaian hak keuangan/honorarium yang diajukan
sebelum Komnas HAM, tetapi juga kepada Komisioner KPI Pusat.
Meskipun kebutuhan anggaran akibat kenaikan/penyesuaian
honorarium Komisioner Komnas HAM tersebut tidak banyak,
tetapi apabila pengusulan yang serupa dilakukan oleh Pimpinan

86
Lembaga lainnya secara bersamaan, maka alokasi anggaran dalam
APBN yang seharusnya diprioritaskan untuk penanganan Covid-19
akan berkurang signifikan.
Oleh karena itu, K/L terkait dalam pembahasan usulan
penyesuaian hak keuangan/honorarium Komisioner Komnas HAM
menyepakati bahwa pengajuan penyesuaian honorarium
Komisioner Komnas HAM akan ditunda terlebih dahulu, dan dapat
diajukan kembali pada tahun anggaran 2021 atau sampai dengan
selesainya proses pemulihan ekonomi Indonesia.

E. Kesimpulan dan Penutup


Berdasarkan hasil telaahan dan tinjauan di atas terhadap
pengajuan/usulan penyesuaian hak keuangan/honorarium bagi
Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Komnas HAM yang
disampaikan oleh Sekretaris Jenderal Komnas HAM, dapat
dilakukan proses penyesuaian besaran hak keuangan/honorarium
dimaksud, dengan pertimbangan sebagai berikut:
1. Sesuai dengan status jabatannya yang bukan merupakan
pejabat negara, maka tidak memungkinkan untuk Komisioner
Komnas HAM mendapatkan hak keuangan dan fasilitas yang
sama dengan yang diterima Pimpinan komisi lainnya yang
berstatus sebagai pejabat negara, meskipun sifat kelembagaan
yang dimiliki adalah sama yaitu dengan bentuk Komisi.
2. Besaran hak keuangan/honorarium bagi Komisioner Komnas
HAM dapat dilakukan penyesuaian, tetapi dengan merujuk
pada besaran hak keuangan/honorarium bagi Komisioner
yang memiliki kesamaan tugas dan wewenang, yaitu KPAI.

87
3. Faktor lain yang dapat mempengaruhi perubahan besaran hak
keuangan/honorarium Komisioner Komnas HAM adalah
tingkat inflasi, dengan pertimbangan bahwa besaran hak
keuangan/honorarium yang diterima saat ini ditetapkan pada
tahun 2013 yang tentu saja nilai ekonomi atas besaran hak
keuangan dimaksud mengalami devaluasi, serta beban dan
tanggung jawab yang diemban semakin tinggi dan kompleks.
Namun mengingat bahwa usulan yang disampaikan tersebut
tidak sesuai dengan mekanisme penetapan besaran hak keuangan
yang telah ditentukan oleh Kementerian PANRB, karena
seharusnya pengusulan dimaksud disampaikan kepada Menteri
PANRB dan bukan kepada Menteri Sekretaris Negara.
Serta dengan terjadinya Pandemi Covid-19 yang dialami oleh
Indonesia yang mengakibatkan hampir seluruh dimensi bernegara
(terutama pada dimensi kesehatan dan ekonomi) perlu untuk
ditanggulangi secara prudential dan akuntabel dengan
memperhatikan kapasitas keuangan negara dalam APBN,
mengakibatkan Pemerintah Indonesia mengambil kebijakan untuk
melakukan refocusing dan realokasi anggaran untuk
memprioritaskan percepatan penanganan Covid-19 dan pemulihan
ekonomi nasional, serta untuk menangguhkan belanja negara yang
tidak mendesak (tidak diprioritaskan) lainnya.
Sehingga untuk sementara waktu, pengajuan penyesuaian
besaran hak keuangan/honorarium bagi Ketua, Wakil Ketua, dan
Anggota Komnas HAM belum dapat diproses lebih lanjut sampai
dengan tahun 2021 atau sampai dengan selesainya proses
pemulihan ekonomi Indonesia.

88
Daftar Pustaka
Republik Indonesia, 2020. Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun
2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat
Corona Virus Disease 19.
Republik Indonesia, 2020. Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan
Keuangan Negara Dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk
Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 Dan/Atau
Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan
Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem
Keuangan.
Republik Indonesia, 2020. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan
Negara Dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan
Pandemi Corona Virus Disease 2019 Dan/Atau Dalam
Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan
Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem
Keuangan Menjadi Undang-Undang.
Republik Indonesia, 2019. Peraturan Presiden Nomor 85 Tahun
2019 tentang Hak Keuangan Bagi Ketua, Wakil Ketua, Dan
Anggota Komisi Perlindungan Anak Indonesia.
Republik Indonesia, 2016. Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun
2016 tentang Komisi Perlindungan Anak Indonesia.
Republik Indonesia, 2014. Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun
2014 tentang Peraturan Pelaksanaan UU Nomor 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

89
Republik Indonesia, 2013. Peraturan Presiden Nomor 34 Tahun
2013 tentang Honorarium Ketua, Wakil Ketua, Dan Anggota
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.
Republik Indonesia, 1999. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2019
tentang Hak Asasi Manusia.
Republik Indonesia, 2002. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002
tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Republik Indonesia, 2019. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019
tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Republik Indonesia, 2006. Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun
2006 tentang Hak Keuangan, Kedudukan Protokol, Dan
Perlindungan Keamanan Pimpinan Komisi Pemberantasan
Korupsi.
Republik Indonesia, 2004. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004
tentang Komisi Yudisial.
Republik Indonesia, 2017. Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun
2017 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Komisi Yudisial.
Republik Indonesia, 2002. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak.
Republik Indonesia. Keputusan Presiden Nomor 50 Tahun 1993
tentang Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.
Direktorat Anggaran Bidang Pembangunan Manusia dan
Kebudayaan, Direktorat Jenderal Anggaran, 2020. Evaluasi
Tengah Semester Pelaksanaan Anggaran Kementerian Sosial
Tahun Anggaran 2020.

90
Kementerian Keuangan, 2020. Buku II Nota Keuangan Beserta
APBN Tahun Anggaran 2020.
Kementerian Keuangan, 2019. Buku II Nota Keuangan Beserta
APBN Tahun Anggaran 2019.
Kementerian Keuangan, 2018. Buku II Nota Keuangan Beserta
APBN Tahun Anggaran 2018.
Bappenas, 2020. Perkembangan Ekonomi Indonesia Dan Dunia
(Ancaman Resesi Dunia Akibat Pandemi) Triwulan I Tahun
2020.
Bappenas, 2020. Perkembangan Ekonomi Indonesia Dan Dunia
Triwulan II Tahun 2020.
Muhamad Ikhsan Modjo, 2020. Memetakan Jalan Penguatan
Ekonomi Pasca Pandemi.
Kolaka, 2020. How Pandemics End, New York Times.
Leo Agustino, 2020. Analisis Kebijakan Penanganan Wabah
Covid-19: Pengalaman Indonesia.
https://salam.menpan.go.id/index.php/welcome/hak_keuangan
https://www.kompas.com/tren/read/2020/03/26/140735365/angka
-kasus-virus-corona-bisa-ditekan-apa-yang-bisa-dipelajari-
dari-korea?page=all
https://www.kompas.com/sains/read/2020/04/06/193300423/tanpa
-lockdown-apa-rahasia-korea-selatan-sukses-tangani-
corona-?page=all
https://www.kompas.com/tren/read/2020/08/07/064500665/9-
negara-yang-alami-resesi-di-masa-pandemi-covid-
19?page=all

91
92
BAGIAN IV
MORATORIUM ON PERFORMANCE ALLOWANCE FOR
CIVIL SERVANTS DUE TO PANDEMIC
By: Galuh Gayatri

A. Pandemic and the Economy


The first covid-19 case in Indonesia confirmed to occur in the
beginning of 2020. More than 1 million cases confirmed since then
up to February 2020. At first, the daily confirmed case was
hundreds, increasing to thousands, reaching approximately 8000
confirmed cases per day in early February 2021. Nonetheless, the
recovery rate rises reaching above 1 million cases of recovery with
daily rate reaching above 10,000 per day in early February.

Source: https://covid19.go.id/peta-sebaran
Picture 1. National Trend of Covid-19 Cases

93
This pandemic has affected almost all sectors of life,
including health, economic, educational, tourism and others.
Moreover, government has implemented Large-Scale Social
Restrictions (PSBB) for several periods to reduce the virus spread.
PSBB has enacted restrictions policy, such as limitation of school
activities, working activities, religious activities, activities in public
places, social and cultural events, the capacity of transportation
modes, access for vehicles in certain area (odd and even license
plate number policy) and other restrictions necessary.
As mobilities decelerated, economic activities slowed down
and public consumption rate declined. Investment also deteriorated.
Financial sector stability has been disrupted as rupiah depreciates
and non-performing loan increases. Global market is also affected,
shown by export and import decline, supply chain disruption and
decreasing commodity price.
Likewise, many businesses closed down and they are no
longer able to pay for workers. This has triggered higher
unemployment rate. According to BPS, in August 2020 the open
unemployment rate has risen by 1,84% compared to 2019, reaching
7,07%. Moreover, BPS mentioned that there are 29,12 million
people (14,28%) in working age affected by covid-19, consisting of
unemployment by covid-19 (2,56 million people), non-workforce
by covid-19 (0,76 million people), not-working-temporarily by
covid-19 (1,77 million people) and working-with-time-reduction
residents by covid-19 (24,03 million people). It has increased
poverty level as well.

94
This economic slowdown can be shown by the table below.
In the past 4 years, the economic growth has been steadily above
5% and deficit has been maintained around 2%. However, as the
pandemic hit Indonesia, the economic growth went down sharply
to -2,07% and deficit went larger to -6,34% in 2020. The larger
deficit is one of tools in implementing countercyclical fiscal policy
by enhancing government expenditures and tax exemptions to
stabilize the economy.

Economic Growth and Deficit Rate (2016-2020)

6% 5,03% 5,07% 5,17% 5,02%


4%
2%
0%
-2% 2016 2017 2018 2019 2020
-4% -2,49% -2,51% -1,82% -2,20% -2,07%
-6%
-8% -6,34%
Economic Growth Deficit

Source: BPS & Financial Note 2021


Graph 1. Economic Growth and Deficit Rate

In order to respond to the pandemic, the government has


directed budget refocusing to all ministries and institutions in 2020.
The budget refocusing reallocated existing budget to activities that
accelerate pandemic response through budget revision mechanism.
Some of the revisions were budget cuts for official travels,

95
meetings, honoraria, capital expenditures for delayable projects and
also personnel expenditures, which included moratorium on
performance allowances, limitation of new employee recruitment,
and also delayering. This budget proportion were reallocated for
health sector, social sector and also small business sector. These
sectors were part of programs in Ministry of Health, Ministry of
Education and Culture, Ministry of Defence, Ministry of Foreign
Affairs, and other ministries related to pandemic response.
In 2020, Indonesia Government has also initiated National
Economy Recovery (PEN) program to stabilize the economy
during pandemic and to support health sector. National budget
supported PEN through government expenditure, financing,
sectoral expenditure and regional sector. The government
expenditure was allocated to boost consumption, tax incentives,
subsidy for loan interest payment, and compensation payment for
state-owned enterprises. The financing included State Equity
Participation, placement of government funds, guarantee for
working capital loan, and investment for state-owned enterprise
working capital. Sectoral expenditure intended to improve tourism
sector, housing sector and give stimulus to increase aggregate
demand. For regional support, additional fund, tax compensation
and program financing facilities were also offered to local
government.
The national budget will continue PEN program in 2021 by
allocating approximately IDR 688,33 Trillion for:

96
1. Health recovery (IDR 173,30 Trillion), such as vaccines,
health facilities, laboratories, research and development,
health BPJS fee support for non-workers;
2. Social security for community (IDR 150,21 Trillion), such
as Program Keluarga Harapan, Kartu Sembako, Kartu Pra
Kerja, and Bansos Tunai;
3. Sectoral and regional recovery (IDR 123,8 Trillion), such
as support for tourism sector, food security,
communication and information technology development,
labor-intensive sector, industrial area development, loan
for regions and economic recovery anticipation;
4. Small medium enterprises and corporation support (IDR
187,17 Trillion), such as interest subsidy for small loans,
investment financing for small enterprises, loss limit
guarantee and fund placement in banks;
5. Business incentives (IDR53,86 Trillion), such as tax
incentives, import income tax exemption, and value-added
tax return.

B. Personnel Expenditure Trend


Budget refocusing has been implemented to decrease the
pandemic impact, which shifted some proportion of budget to
health, social and business sector recovery. Government should
ensure the effectiveness of national expenditure by improving the
quality of goods expenditure, capital expenditure, and also
personnel expenditure. Personnel expenditure is one of instruments
to increase civil servants’ productivity in performing their tasks.

97
IDR Trillion %

Source: Business Intelligence, DJA


Graph 2. Ministries’ Expenditure Realization by Expenditure Types

Graph 2 shows that there has been an increase in the


personnel expenditure realization in ministries and institutions
from 2015 to 2019. Personnel expenditure realization has
experienced an average of 8% increase from 2015 to 2019. In 2015,
personnel expenditure amount was IDR 186 Trillion with a yearly
increase reaching an amount of IDR 249 Trillion in 2019. It shows
that there has been a steady increase in the personnel expenditure
which may reflect more performance allowance payable to civil
servants as more ministries and institutions improved in their
bureaucracy reform. Moreover, in average, personnel expenditure
comprises of 27% of total expenditure, which is the second largest
proportion of expenditure after goods expenditure. Hence, it is
important to sharpen the effectiveness of personnel expenditure in

98
terms of supporting bureaucracy reform and increasing
productivity of civil servants.
As we can see in Graph 2, positive growth of personnel
expenditure stopped in 2019. In 2020, personnel expenditure
experienced a significant downward growth of -1,7%, or around
IDR 4 Trillion decrease, due to budget refocusing during pandemic.
It shows that the government has shifted expenditure for civil
servants’ allowances to other prioritized sectors, such as health and
economic recovery. Some adjustments were made in 2020, for
example moratorium in the payment of performance allowance.
Proposals of performance allowance increase by ministries and
institutions based on their bureaucracy reform has been suspended
due to budget refocusing. As performance allowance comprises the
biggest proportion of ministries and institutions personnel
expenditure, this may contribute a major retrenchment of personnel
expenses.
Another example is an adjustment in the payment of
Religious Holiday Allowance (THR) for civil servants. According
to Government Regulation No. 24 of 2020 about the Payment of
Religious Holiday Allowance to Civil Servants, Indonesian
National Army Soldiers, Members of the Republic of Indonesia
National Police, Non-Civil Servants Employees, and Pension or
Allowances Recipients, civil servants only receive salary and
allowances attached (family allowance and positional allowance),
excluding performance allowance which has been one of Religious
Holiday Allowance components payable before pandemic. Also, in

99
2020, Religious Holiday Allowance was only disbursed to
administrator employees (Echelon III) equivalent and below.
Currently, in 2021, budget allocation for personnel
expenditure is IDR 267 Trillion, which is increased by 9% from
2020 realization. It is expected that personnel expenditure may also
contribute to the economic activity through public consumption.
This allocation is for salary and performance allowance payment to
civil servants. According to Financial Note 2021, the policy of
personnel expenditure in 2021 includes: (a) improving bureaucracy
and public service to be more agile, effective, productive and
competitive; (b) maintaining civil servants’ welfare through the 13th
salary and Religious Holiday Allowance; (c) supporting delayering
process by considering the number of employees needed, aligned
with technology advancement, working style and also business
process innovation, such as flexible working space.

C. Performance Allowance Scheme and Bureaucracy Reform


Principally, based on article 79 and 80 of Law No. 5 of 2014
on State Civil Apparatus, there are some stipulations regarding
remuneration system for state civil apparatus. Government should
pay a fair and proper amount of salary to civil servants in order to
ensure their well-being. Salary paid should be based on workload,
responsibility and work risk. Salary paid to central civil servants
will be financed by national budget, while those paid to local civil
servants will be financed by regional budget. Besides salary, civil
servants also receive allowances and facilities. The allowances
include: (a) performance allowance which is based on workers’

100
performance and (b) cost-of-living-adjustment (COLA) allowance
which is based on price index in each area. Allowances paid to
central civil servants will be financed by national budget, while
those paid to local civil servants will be financed by regional
budget. These stipulations on salary, performance allowance,
COLA allowance and facilities should be established in a
Government Regulation which is still on progress.
Performance allowance is an allowance payable to civil
servants, with an amount subject to bureaucracy reform
achievement, organizational achievement and individual
achievement. Civil servants receive performance allowance with
various rates (47%-100%) subject to the ministries or institutions’
achievement in bureaucracy reform. The performance allowance is
grade-based.
In proposing an adjustment in performance allowance,
ministries and institutions should evaluate its bureaucracy reform
accomplishment independently and verified by Ministry of State
Apparatus Empowerment and Bureaucratic Reform. According to
Minister of State Apparatus Empowerment and Bureaucratic
Reform Regulation No. 26 of 2020 on Evaluation Guidance on
Bureaucracy Reform Implementation, this evaluation aims to attain
information about bureaucracy reform accomplishment in a
ministry or institution, monitor action plan of independent
evaluation follow-up, give constructive advice to improve
bureaucracy reform of a ministry or institution and also to create
national profile of bureaucracy reform.

101
The Independent Evaluation of Bureaucracy Reform Model
consist of 2 components, Process (60%) and Results (40%). The
assessment of programs in the Process component is measuring
relevant indicators, which can be categorized into 8 areas of change
including change management, policy deregulation, organization,
governance, apparatus human resources, accountability,
supervision and public service. The Results component is the
impact of bureaucracy reform programs implemented in the
ministry of institution. The Result component includes financial
and performance accountability, public service quality, clean
government and organizations’ performance. The assessment uses
“criteria referenced test” technique by analysing data gathered
grom surveys, interviews, observations, documentations and a
combination of those techniques.
Based on Minister of State Apparatus Empowerment and
Bureaucratic Reform Regulation No. 26 of 2020, the assessment
components will be as follows:
Table 1. Assessment of Bureaucracy Reform Independent
Evaluation
No. Components Weight Subcomponent

1. Process/Enablers 60%
a. Fulfilment Aspect 20% a. Management of Change
(2%);
b. Policy Deregulation (2%);
c. Organizational
Arrangement (3%);
d. Governance Arrangement
(2,5%);

102
e. Arrangement of Human
Resources Management
(3%);
f. Accountability
Strengthening (2,5%);
g. Supervision Strengthening
(2,5%);
h. Improvement of Public
Service Quality (2,5%).
b. Intermediate Results 10% a. Archive Management
Aspect Quality (1%);
b. Quality of Procurement
Management (1%);
c. Financial Management
Quality (1%);
d. Asset Management
Quality (1%);
e. Merit System (1%);
f. Professional State Civil
Apparatus (1%);
g. Planning Quality (1%);
h. Maturity of Government
Internal Control System
(1%);
i. Capability of Government
Internal Control System
(1%);
j. Level of Standard
Compliance (1%).
c. Reform Aspect 30% a. Management of Change
(3%);
b. Policy Deregulation (2%);
c. Organizational
Arrangement (4,5%);
d. Governance Arrangement
(3,75%);

103
e. Arrangement of Human
Resources Management
(4,5%);
f. Accountability
Strengthening (3,75%);
g. Supervision Strengthening
(3,75%);
h. Improvement of Public
Service Quality (3,75%).
2. Results 40%
a. Performance and 10% a. Audit Board’s Opinion
Financial (3%);
Accountability b. Performance
Accountability Value
(7%)
b. Public Service 10% Perception Index of Service
Quality Quality (10%)
c. Clean Government 10% Perception Index of Anti-
Corruption (10%)
d. Organizational 10% a. Performance Achievement
Performance (5%)
b. Other Performances (2%)
c. Organizational Internal
Survey (3%).
Total 100%
Source: Minister of State Apparatus Empowerment and Bureaucratic
Reform Regulation No. 26 of 2020 on Evaluation Guidance on
Bureaucracy Reform Implementation

Ministries will complete self-assessment by gathering data,


information and internal and external surveys. The results of
surveys and reviews will be the base of scoring. After conducting
self-assessment, the ministries/institutions will send their

104
independent evaluation results to Ministry of State Apparatus
Empowerment and Bureaucratic Reform. This is part of the initial
process of proposing adjustment in performance allowance of the
institutions, as shown in picture 1 bellow.

Picture 2. Mechanism of Performance Allowance Proposal

As shown in Picture 1 above, after ministries/institutions


proposes adjustment in performance allowance, Ministry of State
Apparatus Empowerment and Bureaucratic Reform, acting as the
Head of National Bureaucracy Reform Management Unit
(UPRBN), will verify and validate the independent bureaucracy
reform of the ministries and institutions, and set a BR score of the
institution. Ministry of State Apparatus Empowerment and
Bureaucratic Reform will then send the evaluation of bureaucracy
reform to Directorate General of Budget. DG Budget will review
the budget sufficiency of the proposing institution with relevant

105
parties. Budget review process includes analysing current
allocation of performance allowance, after-adjustment allocation
needed and the shortage of the budget. The shortage can be covered
by optimization of the proposing ministries’ current budget through
examining the remaining budget of optimized projects.
Next, Ministry of State Apparatus Empowerment and
Bureaucratic Reform will submit a proposal of Principle
Agreement to Minister of Finance. DG Budget will prepare the
draft of Principle Agreement official memo and letter, and after,
Minister of Finance will approve the Principle Agreement of
performance allowance adjustment. Subsequently, Ministry of
State Apparatus Empowerment and Bureaucratic Reform will draft
the Presidential Regulation while also invite relevant parties to
discuss about it. After that, Ministry of Law and Human Rights will
harmonize the Presidential Regulation draft by discussing with
relevant parties, such as Ministry of Finance, Ministry of State
Apparatus Empowerment and Bureaucratic Reform, State
Secretariat and the proposing ministry.
The next step is that Ministry of State Apparatus
Empowerment and Bureaucratic Reform will propose initiative
permit and the Presidential Regulation draft after harmonization.
State Secretariat will then propose initials requests on the
Presidential Regulation draft to relevant Ministers, including
Minister of Finance. DG Budget will review the Presidential
Regulation draft and if the draft matches with the Principle
Agreement, then it will compose an official memo of initials
request to be submitted to Minister of Finance. Minister of Finance

106
will sign with initial on the Presidential Regulation draft and send
it back to State Secretariat. If all relevant ministers have signed the
draft, the Presidential Regulation will be enacted.
Nonetheless, during pandemic, performance allowance
proposals from ministries and institutions are not prioritized to be
approved. They are mostly suspended.

D. Moratorium on Performance Allowance and the Fiscal


Impact
During pandemic, Indonesian government has implemented
budget refocusing to optimize the allocation for pandemic response
projects. Some of the budget cuts are for personnel expenditures,
which includes moratorium on performance allowances, limitation
of new employee recruitment, and also delayering. Mostly,
ministries’ and institutions’ proposals of performance allowance
adjustment are postponed.
For instance, Secretariat General of The House of
Representatives proposed a request for principle agreement of
performance allowance increase in 2020 to Minister of Finance.
They informed that Minister of State Apparatus Empowerment and
Bureaucratic Reform has set bureaucracy reform index of 75,81 for
Secretariat General of The House of Representatives in 2019,
which has improved from 72,71 in 2018. Nonetheless, due to
budget refocusing for pandemic response and economic
stabilization programs, this proposal was suspended. Moreover, the
process of principle agreement should follow the mechanism
process determined previously by National Bureaucracy

107
Reformation Team (TRBN). In this case, the principle agreement
request was proposed by the proposing ministry to Minister of
Finance, while it should have been by Minister of State Apparatus
Empowerment and Bureaucratic Reform acting as the head of
National Bureaucracy Reform Management Unit (UPRBN).
Another example is performance allowance proposal of
Ministry of Research and Technology for 2021. This proposal is a
follow-up from 2020. Ministry of Research and Technology has
proposed a performance allowance increase to 80% rate to Ministry
of Finance. This proposal is submitted based on reasons of
bureaucracy reform achievement, appreciation of research of
covid-19 response, and as an approach to align the integration plan
between 4 non-ministerial government agencies including National
Nuclear Energy Agency, Agency for the Assessment and
Application of Technology, Indonesian Institute of Sciences and
National Institute of Aeronautics and Space.
These 4 institutions have achieved 80% rate of performance
allowance. One of the considerations of this proposal’s response is
that performance allowance proposals were currently mostly
suspended due to budget refocusing for pandemic response. Also,
this proposal was submitted by the proposing ministry instead of by
Minister of State Apparatus Empowerment and Bureaucratic
Reform. Hence, as the government still focuses on pandemic
responses and economic stabilization programs, this proposal has
been suspended.
Another example is the proposal from Minister of State
Apparatus Empowerment and Bureaucratic Reform regarding

108
request for principle agreement of performance allowance increases
for 8 ministries/institutions. Minister of State Apparatus
Empowerment and Bureaucratic Reform has evaluated the progress
of bureaucracy reform of proposing ministries and institutions and
recommended performance allowance increase as follows:

Table 2. Ministries and Institutions Proposing Performance


Allowance Adjustment
No. Ministries / Institutions BR Index Recommendation of
2019 / Performance
Grade Allowance %
1. Nuclear Energy Regulatory 76.89 / BB 80%
Agency
2. National Standardization Agency 75.22/BB 80%
3. Ministry of Cooperatives and 75.03/BB 80%
SMEs
4. National Search and Rescue 76.67/BB 80%
Agency
5. Coordinating Ministry for Human 75.72/BB 80%
Development and Cultural Affairs
6. Ministry of Manpower 75.02/BB 80%
7. National Civil Service Agency 75.04/BB 80%
8. Ministry of Youth and Sports 65.73/B 70%

As stipulated in Ministry of State Apparatus Empowerment


and Bureaucratic Reform Regulation No. 63 of 2011 on Guidance
of Civil Servant’s Performance Allowance System Governance,
performance allowance payment should be based on bureaucracy
reform accomplishment. Nevertheless, Minister of Finance has

109
directed to implement moratorium of performance allowance
increase in all ministries and institutions due to budget refocusing
for pandemic response and national economic recovery programs.
As a result, the proposal from Minister of State Apparatus
Empowerment and Bureaucratic Reform regarding request for
principle agreement of performance allowance increases for 8
ministries/institutions has been suspended.
As the proposal of performance allowance adjustment has been
suspended for those 10 ministries and institutions in 2020, there is
a retrenchment of personnel expenses shifted to other projects. The
fiscal impact of the moratorium of performance allowance increase
for these 10 ministries and institutions are approximately as
follows:
Table 3. Fiscal Impact Approximation of 10 Ministries and
Institutions Proposing Performance Allowance Adjustment
No. Ministries/Institutions Presidential Current Performance Proposed Performance Potential Savings
Regulation Allowance Allowance (IDR)
Index (%) Allocation (IDR) Index (%) Allocation (IDR)
1 Nuclear Energy Regulatory Agency 34 / 2016 70% 27.463.460.500 80% 39.914.976.630 12.451.516.130
2 National Standardization Agency 166 / 2015 70% 38.026.235.800 80% 51.163.917.910 13.137.682.110

Ministry of Cooperatives and SMEs 92 / 2018 70% 62.704.653.900 80% 83.591.050.270 20.886.396.370
3
National Search and Rescue
165 / 2015 70% 182.649.528.600 80% 253.897.353.395 71.247.824.795
4 Agency
Coordinating Ministry for Human
112 / 2017 70% 40.021.235.100 80% 51.996.386.925 11.975.151.825
5 Development and Cultural Affairs
6 Ministry of Manpower 93 / 2018 70% 199.511.296.600 80% 275.401.968.030 75.890.671.430
7 National Civil Service Agency 123 / 2017 70% 153.314.546.000 80% 205.505.202.980 52.190.656.980
8 Ministry of Youth and Sports 14 / 2019 60% 42.338.975.000 70% 51.919.658.350 9.580.683.350
9 Secretariat General of The House
of Representatives 92 / 2016 70% 78.327.836.300 80% 132.788.889.431 54.461.053.131

10 Ministry of Research and


Technology 131 / 2018 70% 58.648.822.400 80% 83.880.070.909 25.231.248.509

Total 883.006.590.200 1.230.059.474.830 347.052.884.630

110
Based on Table 3 above, the approximated current
performance allowance allocation for 10 ministries above are IDR
883 Billion. This number is subject to number of employees in each
grade and the performance allowance index. If the proposal from
Minister of State Apparatus Empowerment and Bureaucratic
Reform and proposing ministries are approved, the performance
allowance allocation required would be IDR 1,2 Trillion, which is
an increase of 39% from the current allocation. Consequently, there
is a potential saving of IDR 347 Billion from the moratorium of
performance allowance increase of these 10 ministries. Moratorium
policy has affected the realization of central government personnel
expenditure (ministries and institutions expenditure) by
components in 2020, as shown in table below.
IDR
Realization of Personnel Expenditure by Components
Trillion
90 83 80
80
80 74 74 75 76
69 72
70 63
60 52 54
48 46 45 48
50 44 45
40 33 34
27
30 23 23 23
18 20 20 20
20
69 69 79 79 79 710 710
10
0
2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020
Salary Family Allowance
Positional Allowance Rice and Side Dish Allowance

Source: Business Intelligence, DG Budget

111
Graph 3. Realization of Personnel Expenditure by Components (2014-
2020)
Graph 3 shows an approximation of realization trend of
central government personnel expenditure by components. It
depicts that from 2014 to 2020, the realization of central
government personnel expenditure has experienced an average of
8% growth. Nevertheless, after positive growth from 2014 to 2019,
a downward growth occurred in 2020 due to pandemic. The graph
shows that salary growth has increased over the past 6 years, from
2014 to 2019. The same thing happened to performance allowance
which has grown considerably. On the other hand, family and
positional allowance experienced steady numbers. Furthermore, the
graph shows that there has been a shift in the largest component of
personnel expenditure in 2019. From 2014 to 2019, the biggest
amount of personnel expenditure component was for salary.
Nevertheless, in 2019 salary was no longer the biggest proportion
of personnel expenditure, as it was replaced by performance
allowance being the biggest one. This shift shows that performance
allowance payments has grown substantially over the past 6 years.
It may reflect that more ministries and institutions have
accomplished higher bureaucracy reform index.
Nevertheless, as pandemic hit Indonesia in 2020, personnel
expenditure experienced a budget refocusing policy, including
moratorium on performance allowance and limitation of new
employee recruitment. As a result, personnel expenditure has
decreased from IDR 249 Billion in 2019 to IDR 244 Billion in
2020, which was approximately shrunk by 2%. Moratorium on

112
performance allowance may contributed considerably in personnel
expenditure decline.
Graph 3 above shows that performance allowance
experienced approximately IDR 7 Trillion decrease in 2020, or was
approximately contracted by 9%. This decline in performance
allowance has been caused by several factors, such as moratorium
in performance allowance for ministries and institutions proposing
based on bureaucracy reform evaluation from Ministry of State
Apparatus Empowerment and Bureaucratic Reform. Other factors
causing this decrease is the policy of 13th salary and Religious
Holiday Allowance payment during pandemic in 2020. In 2019,
according to Government Regulation No.35/2019 and No.36/2019,
Civil Servants, Indonesian National Army Soldiers, Police
Officers, State Officials received the 13th salary in June 2019 and
Religious Holiday Allowance 2 months before the Religious
Holiday, that consisted of salary, family allowance, positional
allowance and performance allowance.
However, in 2020, according to Government Regulation No.
24/2020 and No.44/2020 the 13th salary and Religious Holiday
Allowance payment only consisted of salary, family allowance and
positional allowance, excluding performance allowance. The
recipients are also reduced. Officials who did not receive the 13 th
salary and Religious Holiday Allowance in 2020 included certain
State Officials, Vice Ministers, Members of Regional Parliament,
government officers who were in unpaid leave and who were
assigned outside the government and got paid from other
institutions.

113
This policy is chosen to give more fiscal space to pandemic
response and economic stabilization programs. Another factor is
moratorium on new employee recruitment. These policies may
have affected significantly in the decrease of personnel
expenditure, especially performance allowance realization in 2020.
Below is the approximation of growth trend of central
government personnel expenditure by components.
50% Growth Trend of Personnel Expenditure by Components
43%
40%
32%
30%

20% 16%
9%
10% 9% 5%
8% 7%
1%
0% 0%
-1%
2015 2016 2017 2018 2019 2020
-10% -9%
-20%
Salary Growth Family Allowance Growth
Positional Allowance Growth Rice Allowance Growth
Performance Allowance Growth Other Allowance Growth

Source: Business Intelligence, DG Budget


Graph 4. Growth Trend of Personnel Expenditure by Components

As depicted in Graph 4 above, performance allowance


realization has experienced a volatile growth indicating higher
amount disbursed each year. In 2015, the performance allowance
growth was high reaching 43%, which reflected that in that year
many ministries received higher performance allowance rate due to

114
bureaucracy reform accomplishments as evaluated by Ministry of
State Apparatus Empowerment and Bureaucratic Reform. The
growth trend went upward significantly in 2018 reaching 32%, and
in 2019 reaching 16%. However, due to budget refocusing during
pandemic, the growth was contracted by 9%. This contraction may
be caused by moratorium of performance allowance increase
proposal and limitation of new employee recruitment. The 13th
salary and Religious Holiday Allowance policy in 2020 that
excluded performance allowance may also have caused the
contraction.
Nonetheless, there is a special case of performance allowance
adjustment being approved. Minister of State Apparatus
Empowerment and Bureaucratic Reform has proposed a principle
agreement to Minister of Finance regarding Performance
Allowance Equalization in Ministry of Education and Culture. This
proposal was submitted as a follow up of Ministry of Education and
Culture’s proposal due to nomenclature change of Directorate
General of Higher Education. Directorate General of Higher
Education was initially under Ministry of Research, Technology
and Higher Education with performance allowance rate of 70%, but
now it is under coordination of the Ministry of Education and
Culture with performance allowance rate of 80%. Some of the
employees are transferred to Directorate General of Higher
Education and some other are transferred to Directorate General of
Vocation in Ministry of Education and Culture. This change is
based on Presidential Regulation No. 67 of 2019. The required
budget allocation for this adjustment will be financed by budget

115
optimization in Ministry of Education and Culture. Since this
adjustment was proposed due to structural change and other
considerations, the performance allowance adjustment in Ministry
of Education and Culture was approved.
Below is the approximation of number of ministries and
institutions with their performance allowance rates (47%-100%)
and the budget allocation prediction over 2020-2025 period.

Graph 5. Approximation of Performance Allowance Increase (2020-


2025)

Based on graph above, in 2020, there are 5


ministries/institutions with 100% performance allowance rate, 35
ministries/institutions with 80% performance allowance rate, 34
ministries/institutions with 70% performance allowance rate, 6
ministries/institutions with 60% performance allowance rate and 1
institution with 47% performance allowance rate. This is the
existing condition. The performance allowance rate is subject to

116
bureaucracy reform index verified by Minister of State Apparatus
Empowerment and Bureaucratic Reform Regulation as the head of
National Bureaucracy Reform Management Unit. The
approximation of performance allowance allocation is above 90
Trillion in 2020 which may be deviated from the real allocation due
to some factors, such as updated employee numbers and other
policies. Nonetheless, the 2020 realization was contracted by 9%,
as previously mentioned, due to budget refocusing. The
performance allowance trend is assumed to increase in the rate as
depicted in graph above for the next 5 years. For instance, in 2021,
it is assumed that there would be 5 ministries/institutions with
100% performance allowance rate, 3 ministries/institutions with
90% performance allowance rate, 48 ministries/institutions with
80% performance allowance rate, 23 ministries/institutions with
70% performance allowance rate, 3 ministries/institutions with
60% rate and no ministry/institution with 47% rate. With this
assumption, the approximated performance allowance allocation
would grow 22%, reaching above IDR 100 Trillion in 2021.
Nevertheless, assuming that the moratorium of performance
allowance policy will still be enacted, there may be a saving of IDR
21 Trillion in 2021, which can be reallocated to pandemic response
and economic stabilization programs. Moreover, this
approximation includes ministries and institutions with a very large
numbers of employees, such as Ministry of Religious Affairs,
Indonesian National Army Soldiers and Republic of Indonesia
National Police. If these 3 ministries/institutions were assumed not
to increase their performance allowance rates in 2021, the

117
allocation growth would be 1% or generating an increase of IDR
1,1 Trillion.
Furthermore, in each following year, it is assumed that
ministries and institutions with lower rates of performance
allowance, such as 47%, 60% and 70%, will no longer exist as they
move up to higher rates. In 2025, it is predicted that all ministries
and institutions will be in 100% rate of performance allowance
which will cost a huge number, approximately 61% increase from
approximate allocation in 2020. Sharpening the personnel
expenditure in following year should be a big concern. These
circumstances should be reviewed comprehensively and
complemented by policies that improve government officers’
productivity and performance. It is expected that this will lead to a
higher performance of organizations and public service as a whole.
Finally, it can be concluded that budget refocusing policy has
been implemented in the personnel expenditure cut. Personnel
expenditure has decreased from IDR 249 Billion in 2019 to IDR
244 Billion in 2020, which was approximately shrunk by 2%. The
biggest cut was in the performance allowance payment, which was
contracted by 9%. Nevertheless, the policy should be anticipated in
2021. Several ministries and institutions may propose a request to
adjust their performance allowance rates as a result of their
bureaucracy reform achievement. It is necessary to be able to
explain to other ministries and institutions regarding the
considerations of moratorium policy during pandemic. Besides, it
is also crucial to review the 13 th Salary and Religious Holiday
Allowance policy.

118
These payments excluded performance allowance in 2020.
Moreover, the recipients have been reduced as only administrator
employees equivalent and below received the payments in 2020.
Some critics may emerge from this policy which needs a review of
the best practices for 2021. From this study, we can see that
personnel expenditure can be a fiscal policy tool in budget
refocusing, particularly performance allowance component. In the
future, it is compulsory to review about performance allowance
potential increase and how it relates to civil servants’ and
organization’s performance.

E. Conclusion
1. In order to respond to the pandemic, the government has
directed budget refocusing to all ministries and institutions in
2020. Certain budget proportion were reallocated to fund
health, social and business sector recovery;
2. Personnel expenditure has been cut due to budget refocusing.
In 2020, personnel expenditure experienced a significant
downward growth of -1,7%, or around IDR 4 Trillion decrease;
3. Policies contributing to the reduction of personnel expenditure
were moratorium on performance allowance adjustment,
limitation of new employee recruitment and the adjustment of
13th salary and Religious Holiday Allowance payment;
4. These policies as mentioned previously, may have contributed
considerably in personnel expenditure decline. Based on trend
over the years, performance allowance has become the biggest

119
component of personnel expenditure, overtaking salary
proportion in 2019;
5. Performance allowance experienced approximately IDR 7
Trillion decrease in 2020, or was approximately contracted by
9%;
6. In 2020, most of ministries’ and institutions’ proposals of
performance allowance adjustment were postponed. For
example, there were 10 ministries and institutions that
proposed performance allowance adjustment, but being
suspended. Consequently, there was a potential saving which
may contribute to the budget refocusing policy;
7. In some cases, proposal of performance allowance adjustment
may be approved, such as in the case of structural change in
the ministry or institution;
8. The performance allowance trend is assumed to increase for
the next 5 years. Assuming that all ministries and institutions
will be in 100% rate of performance allowance in 2025,
approximately there will be an increase of 61% from
approximate allocation in 2020;
9. The moratorium policy should be anticipated in 2021. Several
ministries and institutions may propose a request to adjust their
performance allowance rates as a result of their bureaucracy
reform achievement. It is necessary to be able to explain to
other ministries and institutions regarding the considerations of
moratorium policy during pandemic;
10. It is also crucial to review the 13 th Salary and Religious
Holiday Allowance policy. These payments excluded

120
performance allowance in 2020 and the recipients have been
reduced to only administrators positions equivalent and below.
Review of this policy is necessary for 2021.

121
References
Business Intelligence. (2021). Jakarta: Directorate General of
Budget, Ministry of Finance.
Government of Indonesia. (2011). PermenpanRB No.63/2011:
Pedoman Penataan Sistem Tunjangan Kinerja Pegawai
Negeri.
Government of Indonesia. (2014). UU No. 5/2014: Aparatur Sipil
Negara.
Government of Indonesia. (2019). PermenpanRB No.35/2019:
Perubahan Ketiga atas PP No. 19 Tahun 2016 tentang
Pemberian Gaji, Pensiun, atau Tunjangan Ketiga Belas
kepada PNS, Prajurit TNI, Anggota Kepolisian Negara
Republik Indonesia, Pejabat Negara, dan Penerima Pensiun
ata Tunjangan.
Government of Indonesia. (2019). PP No.35/2019: Perubahan
Ketiga atas PP No.19 Tahun 2016 tentang Pemberian Gaji,
Pensiun, atau Tunjangan Ketiga Belas kepada PNS, Prajurit
TNI, Anggota Kepolisian Republik Indonesia, Pejabat
Negara, dan Penerima Pensiun atau Tunjangan.
Government of Indonesia. (2020). PermenpanRB No. 26/2020:
Pedoman Evaluasi Pelaksanaan Reformasi Birokrasi.
Government of Indonesia. (2020). PP No. 24/2020: Pemberian
Tunjangan Hari Raya Tahun 2020 kepada Pegawai Negeri
Sipil, Prajurit Tentara Nasonal Indonesia, Anggota
Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pegawai

122
NonPegawai Negeri Sipil, dan Penerima Pensiun atau
Tunjangan.
Government of Indonesia. (2020). PP No. 44/2020: Pemberian
Gaji, Pensiun, Tunjangan, atau Penghasilan Ketiga Belas
Tahun 2020 kepada Pegawai Negeri Sipil, Prajurit Tentara
Nasional Indonesia, Anggota Kepolisian Negara Republik
Indonesia, Pegawai NonPNS, dan Penerima Pensiun dan
Tunjangan.
Ministry of Finance. (2020). Book II: Financial Note and National
Budget 2021. Jakarta.
Ministry of Finance. (2020). Press Conference: Perkembangan
Ekonomi dan Refocusing Anggaran untuk Penanganan
Covid-19 di Indonesia. Jakarta: Bureau of Communicaton
and Information Service.
Peta Sebaran Covid-19. (2021, February). Retrieved from Satgas
Penanganan Covid-19 Website: https://covid19.go.id/peta-
sebaran
PSBB to Reduce the Spread of COVID-19 in Indonesia. (2020,
April). Retrieved from PT. SMI Website:
https://ptsmi.co.id/news/psbb-to-reduce-the-spread-of-
covid-19-in-indonesia/
Statistics Indonesia. (2020, November). Agustus 2020: Tingkat
Pengangguran Terbuka (TPT) sebesar 7,07 persen.
Retrieved from Statistics Indonesia Website:
https://www.bps.go.id/pressrelease/2020/11/05/1673/agustu
s-2020--tingkat-pengangguran-terbuka--tpt--sebesar-7-07-
persen.html

123
Statistics Indonesia. (2020). Laju Pertumbuhan PDB Seri 2010
(Persen), 2020. Retrieved from Statistics Indonesia:
https://www.bps.go.id/indicator/11/104/1/-seri-2010-laju-
pertumbuhan-pdb-seri-2010.html
Sudarto. (2021). Pemulihan Ekonomi Berlanjut, Kebijakan Fiskal
Tetap Diperkuat. Expert Staff of Organization, Bureaucracy
and Information Technology: Ministry of Finance.
Susanto, S. (2018). Tunjangan Kinerja dan Konsep sistem
Penggajian ASN. Directorate of Bugdeting Regulation
Harmonization, Ministry of Finance.

124

Anda mungkin juga menyukai