Anda di halaman 1dari 8

MODUL KONSEP KELOMPOK KHUSUS

KEPERAWATAN KELUARGA DAN PERKESMAS

DISUSUN OLEH :
ACHMAD AINURROHMAN (102303102089)
ATIYA ISNAINI RODIYAH (192303102196)
EKA PUTRI RAMADHANI (192303102178)
LAILATUL MAULIDIAH (192303102083)
SHAFIRA QUTRATU ‘AINI (192303102195)
ZAHWA MAUDISSA ARSY INSYRA (192303102136)

D3 KEPERAWATAN KAMPUS KOTA PASURUAN


FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS JEMBER
KONSEP KELOMPOK KHUSUS
1. DEFINISI
Pengertian kelompok khusus adalah kumpulan individu yang mempunyai kesamaan jenis
kelamin, umur, permasalahan, kegiatan yang terorganisasi yang sangat rawan terhadap masalah
kesehatan dan termasuk didalamnya adalah :
a) Kelompok khusus dengan kebutuhan kesehatan khusus sebagai akibat perkembangan
dan pertumbuhan seperti ibu hamil, bayi baru lahir. Anak balita, anak usia sekolah, dan
usia lanjut
b) Kelompok khusus yang memerlukan pengawasan dan bimbingan serta asuhan
keperawatan, diantaranya penderita penyakit menular TBC, lepra, AIDS, dan lain- lain.
Penderita dengan penyakit tidak menular seperti diabetes mellitus, jantung koroner,
cacat fisik, gangguan mental, dan lain – lain.
c) Kelompok yang mempunyai resiko terserang penyakit diantaranya : wanita tuna susila,
kelompok penyalahgunaan obat dan narkotika, kelompok pekerja tertentu dan lain –
lain.
d) Lembaga sosial, perawatan dan rehabilitasi, diantaranya panti wreda, panti asuhan, pusat
- pusat rehabilitasi dan penitipan anak balita.
Sedangkan pengertian masyarakat adalah masyarakat dalam wilayah tertentu yang
mempunyai masalah kesehatan, misalnya masyarakat di daerah endemis suatu penyakit
seperti endemis malaria, diare, DHF, dan lain- lain, masyarakat dengan di daerah dengan
lingkungan kehidupan yang buruk, misalnya daerah kumuh perkotaan; masyarakat di daerah
yang mempunyai masalah kesehatan yang menonjol dibandingkan dengan daerah sekitarnya,
seperti daerah AKB tinggi; masyarakat di daerah yang mempunyai kesenjangan pelayanan
kesehatan lebih tinggi dari daerah sekitarnya, seperti cakupan ANC rendah, cakupan
imunisasi rendah dan lain – lain.; serta masyarakat di daerah pemukiman baru yang
diperkirakan akan mengalami hambatan dalam melaksanakan adaptasi kehidupannya, seperti
masyarakat di daerah transmigrasi, pemukiman kembali masyarakat terasing dan lain – lain
(Effendy ,1998).

B. KATEGORI KELOMPOK KHUSUS


1. Kelompok khusus sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan
Kelompok khusus dapat diklasifikasikan berdasarkan permasalahan dan kebutuhan yang
mereka hadapi, salah satunya Kelompok khusus dengan kebutuhan khusus yang memerlukan
pengawasan akibat pertumbuhan dan perkembangannya misal:
•Kelp. Ibu hamil
•Kelp. Ibu bersalin.
•Kelp. Ibu nifas.
•Kelp. Bayi dan anak balita.
•Kelp. Anak usia sekolah.
•Kelp. Usia lanjut.

1. Konsep keperawatan pada ibu hamil, ibu bersalin dan ibu nifas
Seorang ibu mempunyai peran besar dalam pertumbuhan bayi dan perkembangan anak.
Gangguan kesehatan yang dialami seorang ibu yang sedang hamil bisa berpengaruh pada
kesehatan janin dalam kandungan hingga kelahiran dan masa pertumbuhan bayi / anaknya.
Pelayanan kesehatan bagi ibu dan bayi antara lain pelayanan antenatal, persalinan, nifas dan
perawatan bayi baru lahir yang diberikan di sarana kesehatan mulai posyandu, poskesdes,
puskesmas sampai ke rumah sakit
2. Konsep keperawatan pada balita dan anak
Pelayanan kesehatan pada kelompok anak balita (pra sekolah), usia sekolah dan remaja
dilakukan melalui deteksi/pemantauan dini terhadap tumbuh kembang dan kesehatan anak
pra sekolah serta pemeriksaan kesehatan anak sekolah dasar/ sederajat dan pelayanan
kesehatan pada remaja (SMP dan SMU).

Cakupan deteksi dini tumbuh kembang anak balita/pra sekolah adalah cakupan anak umur 0-
5 tahun yang dideteksi kesehatan dan tumbuh kembangnya sesuai standar oleh dokter, bidan
dan perawat paling sedikit dua (2) kali per tahun baik didalam gedung maupun diluar gedung
seperti posyandu, taman kanak-kanak, panti asuhan. Sementara untuk pelayanan kesehatan
bagi siwa SD/MI dan siswa`SMP/SMU dan sederajat dilakukan melalui penjaringan
kesehatan bagi murid kelas 1 (satu) SD/MI dan SMP/SMU.
Untuk pelayanan kesehatan anak balita, usia sekolah dan remaja masih jauh dari harapan
sesuai target SPM yang harus dicapai.Dengan demikian masih dibutuhkan upaya ekstra untuk
melakukan koordinasi dengan lintas program dan lintas sektor terkait guna meningkatkan
cakupan.
3. Konsep keperawatan pada usila
Seiring bertambahnya Umur Harapan Hidup (UHH) maka keberadaan para lanjut usia tidak
dapat begitu saja diabaikan, sehingga perlu diupayakan peningkatan kualitas hidup bagi
kelompok umur lanjut usia.
Pelayanan kesehatan pra usila dan usila adalah penduduk usia 45 tahun ke atas yang
mendapatkan pelayanan kesehatan sesuai standar yang dilakukan oleh tenaga kesehatan baik
di puskesmas, Posyandu Lansia maupun di kelompok usia lanjut.
Cakupan pelayanan kesehatan bagi warga usila masih perlu ditingkatkan, dengan lebih
meningkatkan peran aktif posyandu lansia secara optimal. Selain itu perlu adanya
penambahan posyandu lansia, mengingat belum semua desa mempunyai posyandu lansia.
Padahal dengan adanya posyandu lansia maka pelayanan kesehatan akan lebih mudah
dijangkau oleh para lansia. Dibutuhkan koordinasi dan peran serta masyarakat serta lintas
sektor terkait dalam upaya meningkatkan cakupan pelayanan terhadap para lansia.
Upaya perbaikan gizi masyarakat dilakukan melalui distribusi tablet besi (Fe) pada ibu hamil,
distribusi Vitamin A pada balita dan pemberian kapsul yodium pada WUS.

2. Kelompok khusus yang memerlukan perhatian


Kelompok khusus dengan kesehatan khusus yang memerlukan perhatian, pengawasan dan
bimbingan, diantaranya:
a) Kelompok penderita penyakit menular (kusta, TBC, AIDS, Penyakit Kelamin)
Definisi
Penyakit menular merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh
mikroorganisme, seperti virus, bakteri, parasit, atau jamur, dan dapat berpindah ke orang
lain yang sehat. Beberapa penyakit menular yang umum di Indonesia dapat dicegah
melalui pemberian vaksinasi serta pola hidup bersih dan sehat.
Penyakit menular disebabkan oleh agen biologi seperti mikroorganisme pategonik
(virus, bakteri, dan fungi) serta parasit. Keberadaan mereka ada di dalam atau permukaan
tubuh, sehingga dapat menyebabkan infeksi.
Penyakit menular dapat ditularkan secara langsung maupun tidak langsung.
Penularan secara langsung terjadi ketika kuman pada orang yang sakit berpindah melalui
kontak fisik, misalnya lewat sentuhan dan ciuman, melalui udara saat bersin dan batuk,
atau melalui kontak dengan cairan tubuh seperti urine dan darah. Orang yang
menularkannya bisa saja tidak memperlihatkan gejala dan tidak tampak seperti orang
sakit, karna hanya sebagai pembawa (carrier) penyakit.

b) Kelompok Penderita penyakit tidak menular (DM, Jantung,


Stroke) Definisi
Non Communicable Disease atau Penyakit Tidak Menular (PTM) merupakan
penyakit yang tidak ditularkan dari orang ke orang. Penyakit ini merupakan akibat dari
terganggunya sistem metabolik maupun kesehatan lingkungan disekitar pengidapnya.
Penyakit tidak menular yaitu penyakit jantung koroner (PJK), gagal jantung, stroke,
hipertensi, dan diabetes Mellitus tipe 2 (Kementrian Kesehatan, 2013). Pada tahun 2008,
secara umum PTM menyumbang 36 juta jiwa atau 63% dari total kematian diseluruh
dunia, sedangkan di asia tenggara, total kematian akibat PTM mengalami peningkatan
dari 6,7 juta jiwa pada tahun 2000 menjadi 8,5 juta pada tahun 2012 (Mendis, 2014;
Kristina et al., 2017).

Insidensi
Berdasarkan data dari WHO, di seluruh dunia pada tahun 2016, terdapat 56,9 juta
kematian dimana 71% diantaranya merupakan penyakit tidak menular (PTM) (WHO,
2018). Angka tersebut hampir meningkat 2 kali lipat dibandingkan dengan tahun 2008
sejumlah 27,36 juta jiwa (WHO, 2013). Dari jumlah tersebut, kardiovaskular
menyumbang 44% dari total PTM atau sekitar 17,9 juta orang (WHO, 2018).
Berdasarkan laporan yang dikeluarkan oleh WHO, pada tahun 2012, insidensi penyakit
kardiovaskular dan diabetes masing-masing sebesar 744.500 dan 120.800 (Mendis,
2014). Di Indonesia sendiri, pada tahun 2013 angka insidensi PJK, gagal jantung, dan
stroke masing-masing sejumlah 883.447 orang (0,5%), 229.696 (0,13%), dan 1.236.825
(7%). Sedangkan penderita hipertensi berdasarkan pengukuran dan diabetes mellitus
berdasarkan diagnosis dokter masing-masing sejumlah 25% dan 1,5% (Kristina et al.,
2017).
Berdasarkan data tersebut, terjadi tren kenaikan angka angka kesakitan pada
penyakit kardiovaskular secara umum baik di seluruh dunia maupun di Indonesia. Angka
tersebut diperkirakan masih akan terus bertambah hingga tahun 2030, dimana kejadian
penyakit kardiovaskular akan meningkat hingga diangka 23,3 juta jiwa (Kristina et al.,
2017).

3. Kelompok khusus beresiko mengalami gangguan kesehatan

1. Menjelaskan konsep dan askep kesehatan kelompok rentan cacat (fisik, mental dan sosial)
dan risiko terserang penyakit (Kelompok WTS, Penyalahgunaan NAPZA dan pekerja tertentu)
di komunitas
2. Uraian Materi Kelompok Rentan Dosen: Agustina M S.Kep., Ns., M.Kes A. Populasi
Rentan
Pengertian Kelompok Rentan tidak dirumuskan secara eksplisit dalam peraturan perundang-
undangan, seperti tercantum dalam Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang No.39 Tahun 1999 yang
menyatakan bahwa setiap orang yang termasuk kelompok masyarakat yang rentan berhak
memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya. Dalam
Penjelasan pasal tersebut disebutkan bahwa yang dimaksud dengan kelompok masyarakat yang
rentan, antara lain, adalah orang lanjut usia, anakanak, fakir miskin, wanita hamil dan
penyandang cacat. Sedangkan menurut Human Rights Reference 3 disebutkan, bahwa yang
tergolong ke dalam Kelompok Rentan adalah: a. Refugees, b, Internally Displaced Persons
(IDPs); c. National Minorities, d. Migrant Workers; e. Indigenous Peoples, f. Children; dan g.
Women.
Keberadaan kelompok rentan yang antara lain mencakup anak, kelompok perempuan rentan,
penyandang cacat, dan kelompok minoritas mempunyai arti penting dalam, masyarakat yang
tetap menjunjung tinggi nilai-nilai HAM. Untuk memberikan gambaran keempat kelompok
masyarakat tersebut selama ini, maka penelaahan perlu diawali dengan mengetahui keadaan
sebenarnya yang terjadi di dalam masyarakat.
Berbagai bukti empiris menunjukan bahwa masih dijumpai keadaan dari kelompok rentan yang
belum sesuai dengan kondisi yang diharapkan. Upaya perlindungan guna mencapai pemenuhan
hak kelompok rentan telah banyak dilakukan Pemerintah bersama masyarakat, namun masih
dihadapkan pada beberapa kendala yang antara lain berupa: kurangnya koordinasi antar instansi
pemerintah, belum terlaksananya sosialisasi dengan Sasaran usaha baik, dan kemiskinan yang
masih dialami masyarakat.

B. Populasi Rentan Penyakit Mental


Gangguan kesehatan mental bukanlah sebuah keluhan yang hanya diperoleh dari garis keturunan.
Tuntutan hidup yang berdampak pada stress berlebih akan berdampak pada gangguan kesehatan
mental yang lebih buruk.
Di berbagai pelosok Indonesia masih ditemui cara penanganan yang tidak tepat bagi para
penderita gangguan kesehatan mental. Penderita dianggap sebagai makhluk aneh yang dapat
mengancam keselamatan seseorang untuk itu penderita layak diasingkan oleh masyarakat. Hal
ini sangat mengecawakan karena dapat mengurangi kemungkinan untuk seorang penderita pulih.
Untuk itu pemberian informasi, mengedukasi masyarakat sangatlah penting terkait kesehatan
mental agar stigma yang ada di masyarakat dapat dihilangkan dan penderita mendapatkan
penanganan yang tepat. Menurut WHO, kesehatan mental merupakan kondisi dari kesejahteraan
yang disadari individu, yang di dalamnya terdapat kemampuan-kemampuan untuk mengelola
stres kehidupan yang wajar, untuk bekerja secara produktif dan menghasilkan, serta berperan
serta di komunitasnya.
Makna kesehatan jiwa mempunyai sifat-sifat yang harmonis (serasi) dan memperhatikan semua
segi-segi dalam kehidupan manusia dan dalam hubungannya dengan manusia lain. Jadi dapat
disimpulkan bahwa kesehatan jiwa adalah bagian integral dari kesehatan dan merupakan kondisi
yang memungkinkan perkembangan fisik, mental dan sosial individu secara optimal, dan yang
selaras dengan perkembangan orang lain. Seseorang yang
“sehat jiwa atau mental” mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1) Merasa senang terhadap dirinya serta
a) Mampu menghadapi situasi
b) Mampu mengatasi kekecewaan dalam hidup
c) Puas dengan kehidupannya sehari-hari
d) Mempunyai harga diri yang wajar
e) Menilai dirinya secara realistis, tidak berlebihan dan tidak pula merendahkan
2) Merasa nyaman berhubungan dengan orang lain serta
a) Mampu mencintai orang lain
b) Mempunyai hubungan pribadi yang tetap
c) Dapat menghargai pendapat orang lain yang berbeda
d) Merasa bagian dari suatu kelompok
e) Tidak "mengakali" orang lain dan juga tidak membiarkan orang
lain "mengakali" dirinya

3) Mampu memenuhi tuntutan hidup serta


a) Menetapkan tujuan hidup yang realistis
b) Mampu mengambil keputusan
c) Mampu menerima tanggungjawab
d) Mampu merancang masa depan
e) Dapat menerima ide dan pengalaman baru
C. Populasi Rentan Kecacatan
Menurut Undang-undang No.4 tahun 1997 yang dimaksud dengan penyandang cacat adalah
setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan atau mental, yang dapat mengganggu atau
merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan 7 Firman Lubis, Kesehatan Hak
Asasi Manusia: Perspektif Indonesia, t.t. kegiatan secara selayaknya. Dari sisi
pengelompokkannya, maka penyandang cacat dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga) hal : (a)
Penyandang cacat fisik; (b) Penyandang cacat mental; (c) Penyandang cacat fisik dan mental.
Penyandang cacat juga mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam segala aspek kehidupan
dan penghidupan, diantaranya adalah berhak memperoleh pekerjaan sesuai dengan jenis dan
derajat kecacatan yang ada pada mereka. Perhatian masyarakat akan keterbatasan yang dimiliki
Penyandang cacat masih sangat kurang, bahkan seringkali diabaikan dan dianggap sebagai
beban. Tidak jarang ketersediaan lapangan pekerjaan yang layak sesuai dengan kemampuan yang
mereka miliki menjadi masalah tersendiri yang perlu mendapat perhatian.
Pasal 14 UU No.4 tahun 1997 jo Pasal 28 - Pasal 31 PP No.43 tahun
1998 tentang "Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat" mewajibkan bahwa
setiap pengusaha yang memiliki jumlah karyawan 100 orang atau lebih pada perusahaannya
wajib mempekerjakan minimal satu orang penyandang cacat untuk memenuhi persyaratan
jabatan dan kualifikasi pekerjaan, atau kurang dari 100 orang jika perusahaan tersebut
menggunakan teknologi tinggi. Hasil penelitian Badan Penelitian dan Pengembangan HAM di
Medan dan Surabaya tahun 2002 menunjukkan, bahwa kuota tenaga kerja bagi penyandang cacat
yang diwajibkan oleh UU tersebut di atas belum dipatuhi oleh perusahaan. Padahal UU No.4
Tahun 1997 memiliki daya paksa untuk dijatuhkannya sanksi pidana bagi pengusaha atau
perusahaan yang tidak mematuhinya. Oleh karena itu pihak Kepolisian dan Kejaksaan
berwenang melakukan penyidikan atas pelanggaran UU tersebut karena termasuk tindak pidana.
Rendahnya implementasi disebabkan antara lain ketidaktahuan, enggan melaksanakan, tidak ada
pengawasan baik dari pemerintah maupun masyarakat, serta tidak ada penegakan hukum.
Dengan demikian penyandang cacat perlu memahami hak-haknya bukan berarti diistimewakan,
tetapi juga jangan dimarginalkan.

Anda mungkin juga menyukai