Anda di halaman 1dari 12

How to Recognize Childhood Stunting Earlier: Risk Analysis

Meita Dhamayanti
Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran/ RSUP Hasan Sadikin- Bandung

PENDAHULUAN

Dalam Sustainable Development Goals (SDG) 2030, pada tujuan ke-2 ditargetkan untuk
mengakhiri kelaparan, mencapai keamanan pangan, dan meningkatkan serta
mempertahankan nutrisi dan agrikultur yang berkesinambungan. Untuk mencapai tujuan ini,
dunia internasional sepakat bahwa stunting dan wasting pada usia di bawah 5 tahun sebagai
target penting. Secara spesifik ditargetkan tahun 2025 terjadi penurunan 40 % angka
kejadian stunting anak usia di bawah 5 tahun (United Nations General Assembly, 2015).

Berdasarkan data World Bank Indonesia , kehilangan 1 % tinggi badan karena stunting
setara dengan kehilangan 1,4 % produktivitas. Hal ini akhirnya mengakibatkan Indonesia
kehilangan potensi GDP 11 % dan kemiskinan antar generasi semakin buruk. Jika hal ini terus
terjadi maka sulit memutus mata rantai lingkaran setan stunting dan kemiskinan di Indonesia
(REMBUK Aksi Percepatan Stunting, 2017).

Data Riskesdas 2013 menunjukkan prevalensi BBLR (<2500 gr ) adalah 10,2 % dan
prevalensi perawakan pendek bayi baru lahir ( < 48 cm ) adalah 20,2 % . Untuk tingkat
nasional , penurunan prevalensi perawakan pendek pada balita sempat menurun pada tahun
2001 sebesar 29,5 % hingga 2010 , kemudian meningkat kembali pada tahun 2013 menjadi
37,2 % . Fluktuasi prevalens perawakan pendek juga terjadi pada anak usia sekolah dimana
tahun 2013 meningkat juga menjadi 31,7 % . Besarnya beban masalah perawakan pendek
pada 23,8 juta balita tahun 2013 dijumpai 4,8 juta lahir pendek, 8,9 juta balita perawakan
pendek, dan 20,8 juta anak usia sekolah (5-18 tahun) pendek (Trihono et al, 2015,).

Kelompok anak dengan berat badan lahir <2500 gram cenderung prevalensi
perawakan pendek lebih tinggi dibanding kelompok anak yang lahir normal. Sebaliknya,
Riskesda 2010 menunjukkan kelompok anak perawakan pendek pada umumnya lahir dari ibu
yang rerata tinggi badannya lebih pendek (150,7 cm) dibandingkan rerata tinggi badan ibu
kelompok normal (152,4 cm). Hal kompleks seperti ini yang mengakibatkan perawakan
pendek (stunting) perlu mendapatkan perhatian penuh dan tatalaksana multidisiplin untuk
mengatasinya (Trihono et al, 2015).
Definisi

Perawakan pendek (short stature) atau stunting jika panjang atau tinggi anak dibawah
-2 standar deviasi (<-2SD) berdasar kurva standar pertumbuhan WHO sesuai dengan usia dan
jenis kelamin. Pengukuran panjang badan untuk anak dibawah 2 tahun sedangkan tinggi
badan untuk anak diatas 2 tahun (Onis, Branca 2016).

Epidemiologi

Prevalensi perawakan pendek atau stunting secara global menurun yang diperkirakan
40 % pada tahun 1990 dan 25 % pada tahun 2013. Perkembangan yang sangat baik
ditunjukan oleh region Asia yang terjadi penurunan proporsi perawaakan pendek 48 %
sampai 25 % antara tahu 1990 dan 2013 , Di Afrika terjadi penurunan yang lebih rendah yaitu
adri 42 % hingga 34 % . Hingga saat ini Afrika timur dan barat serta asia selatan dan tengah
diperkirakan memiliki prevalensi yaitu 43 % di Afrika Timur , 34 % Afrika barat , dan Asia
Selatan 35 % ( Gambar 1 ) ( Onis , Branca , 2016).

Penelitian tentang prevalensi perawakan pendek sangat bervariasi antar negara, Hal
tersebut berhubungan dengan faktor sosial ekonomi. Oleh karena itu, prevalensi perawakan
pendek merupakan indikator ketidaksetaraan dalam pembangunan manusia; di 80 negara,
yang memiliki prevalensi perawakan pendek yang tinggi cenderung juga memiliki
ketidaksetaraar sosioekonomi yang lebih besar pada anak-anak dengan perawakan pendek.
Salah satu peneltian yang dipublikasi dalam Lancet Nutrition Series yang menggabungkan
data dari 79 negara menunjukkan bahwa prevalensi perawakan pendek 2,47 (kisaran 1.00-
7.64) kali lebih tinggi pada daerah miskin dari pada daerah kaya (Augusta et al, 2014).
Gambar 1. Prevalensi perawakan pendek 1990-2013.

Sumber:onis, 2016

Data beberapa negara memiliki rata-rata anak perawakan pendek yang bervariasi.
Gambar 2. menunjukan perkiraan prevalensi yang terbaru. Rata-rata perawakan pendek
kategorikan berdasarkan tingkat keparahan mulai dari rendah ( kurang dari 20 % ) hingga
sangat tinggi ( 240 % ) . Tingkatan yang sangat tinggi terdapat pada Timor Leste, Burundi dan
Niger at al dengan nilai diatas 50 % ( Onis , Branca , 2016 ).
Gambar 2. Prevalensi Perawakan Pendek Berdasarkan Negara

Sumber: Onis, 2016.

Etiologi

Perawakan pendek atau stunting menggambarkan status gizi atau status kesehatan di
masa lalu yang kurang baik. Perawakan n pendek adalah salah satu dampak dari asupan gizi
yang kurang baik dari segi kualitas maupun kuantitas, tingginya kesakitan, atau merupakan
kombinasi dari keduanya. Kondisi tersebut g sering dijumpai di Negara dengan ekonomi
kurang (Senbanjo et in er al, 2011).

Meskipun tinggi badan adalah sifat yang diturunkan, dengan lebih dari 200 gen
diidentifikasi dalam penelitian genom, tapi hanya berpengaruh sekitar 10 % . ( Berndt et al ,
2013 ) Anak - anak dari berbagai wilayah geografis memiliki pola tumbuh yang sangat mirip
selama kehidupan di dalam kandungan dan beberapa tahun pertama kehidupan pasca lahir,
jika lahir dari ibu yang kebutuhan gizi dan kesehatannya terpenuhi. Faktor lingkungan seperti
status gizi ibu, pemberian makan, kebersihan dan sanitasi, frekuensi infeksi, serta akses
terhadap pelayanan kesehatan merupakan faktor penentu utama pertumbuhan dalam 2
tahun pertama kehidupan (Marto Zongrone, 2012.). Pemberian ASI dan pemberian makanan
pelengkapP suboptimal, infeksi berulang, dan defisiensi mikronutrien adalah faktor penentu
awal perawakan pendek. Gangguan pertumbuhan linier juga dipengaruhi oleh faktor
lingkungan masyarakat, seperti akses terhadap kesehatan dan pendidikan, stabilitas politik
urbanisasi, kepadatan penduduk, dan jaringan dukungan sosial (Villar et al, 2014).

Asupan zat gizi makro, seperti energi, protein, dan zat gizi mikro, seperti Zn yang
kurang, terutama pada masa pertumbuhan, akan mengganggu proses pertumbuhan seorang
anak yang berdampak pada perawakan pendek.

Infeksi berulang Ckronis), seperti infeksi saluran pernafasanP akut (ISPA) dan diare,
juga merupakan penyebab utama terjadinya gangguan tumbuh-kembang pada anak. Status
gizi buruk dan infeksi merupakan lingkaran setan yang diduga merupakan faktor
determinanutama terjadinya masalahgangguantumbuh-kembang anak, salah satunya adalah
perawakan pendek. Permasalahan gizi buruk maupun infeksi sangat berkaitan dengan kondisi
sosial- ekonomi dan lingkungan keluarga. Status ekonomi yang buruk menyebabkan ketidak
mampuan keluarga untuk menyediakan asupan gizi yang cukup dan lingkungan rumah yang
memenuhi syarat kesehatan. Kondisi lingkungan rumah yang buruk, seperti kondisi fisik
rumah yang tidak memadai dan kepadatan hunian yang tinggi. merupakan kondisi awal
(predisposing factor) yang membuat anak menjadi lebih rentan terhadap berbagai penyakit
infeksi, sehingga memperberat atau bahkan penyebab utama terjadinya status gizi buruk
(malnutrisi) (Trihono et al, 2015)

China terjadi perkembangan ekonomi antara tahun 1975 dan 2010, dikuti peningkatan
pertumbuhan anak-anak dan remaja; tinggi badan menunjukkan korelasi positif yang kuat
dengan pendapatan per kapita (r 0.90, P<0.0001) dan dengan urbanisasi (r 0,92, P40,0001),
dan korelasi negatif dengan tingkat kematian di bawah 5 tahun (r -0.95, P<0.0001).(Addo,
2013). Data dari 7630 pasangan ibu-anak yang terdaftar dalam penelitian kohort di Brasil,
Guatemala, Filipina, India dan Afrika Selatan, rata-rata anak-anak memiliki tinggi badan yang
lebih tinggi dari pada ibu mereka karena perbaikan kondisi ekonomi dan lingkungan dari
waktu ke waktu (Victora et al, 2010)

Faktor risiko masalah pertumbuhan

Terdapat empat fase pertumbuhan yang saling terkait selama kehidupan: janin, bayi,
anak, dan remaja, masing-masing diatur oleh mekanisme yang berbeda. Sebuah penelitian
yang dilakukan pada anak-anak sehat yang diukur secara berkala selama 21 bulan pertama
kehidupan menunjukkan bahwa pertumbuhan adalah fenomena episodik, dengan periode
stasis yang panjang (antara 2 dan 63 hari) diselingi fase singkat saltasi (lonjakan
pertumbuhan).
Proses perawakan pendek dimulai di dalam kandungan dan berlanjut setidaknya
selama 2 tahun pertama kehidupan pasca kelahiran; periode dari konsepsi sampai anak
berusia 2 tahun (seribu hari pertama kehidupan) yang dikenal sebagai 'window of
opportunity', masa kritis untuk dilakukan intervensi. Rata-rata panjang badan menurut usia
berdasarkan Z-score di antara bayi yang baru lahir di negara berkembang sekitar-0,5 dan
dilanjutkan setelah kelahiran mencapai titik terendah sekitar -2,0 pada usia 18-24 bulan (de
Onis Metal, 2006,). Setelah standar pertumbuhan WHO yang baru di tahun 2006 dipublikasi,
diketahui bahwa perlambatan pertumbuhan linier di negara berkembang terjadi lebih cepat
setelah kelahiran (Stewart, 2013,)

Periode Antenatal

Pertumbuhan janin dipengaruhi oleh interaksi kompleks antara status gizi ibu, hormon
endokrin, dan metabolik serta perkembangan plasenta. Ukuran bayi baru lahir merupakan
cerminan lingkungan intrauterin; prevalensi berat lahir rendah (2,5 kg) kira-kira enam kali
lebih tinggi di negara berkembang dibandingkan dengan negara maju. Ilntergrowth-21,
sebuah studi berbasis p opulasi tentang pertumbuhan janin di delapan negara, menunjukkan
bahwa panjang badan bayi yang baru lahin dihubungkan dengan wanita kaya, sehat, dan
berpendidikan (Augusta, 2014).Pada tahun 2010,jumlah bayi small forgestational age ( SGA )
sebanyak 27 % bayi lahir hidup di dunia dan hampir 3 juta bayi lahir prematur dan SGA; hal
tersebut meningkatkan risiko gangguan pertumbuhan dan mortalitas. Penelitian dengan data
kelahiran dari 19 penelitian kohort menunjukkan bahwa, risiko perawakan pendek pasca
kelahiran meningkat di antara bayi yang lahir prematur [ OR 1,93 ( 95 % Cl 1,71-2,18 ) ) . SGA
[ 2,43 ( 2,22 2,66)] dan SGA-preterm [4.51 (3.42-5.93)]. Penelyian Ashbrook ( 2016 )
menunjukkan 2096 perawakan pendek berlangsung dari intrauterine. faktor penentu
antenatal pada perawakan pendek tampak lebih penting dari pada faktor penatalaksanaan
pasca lahir (Ashbrook et al, 2016).

Kekurangan gizi ibu berkontribusi pada sekitar 2096 atkan risiko terhadap kehamilan,
mortalitas dan pertumbuhan janin. Perawakan ibu yang pendek body mass index (BMI)
rendah dan kenaikan berat badan yang buruk selama kehamilan merupakan indeks utama
yang terkait berat lahir rendah. Kehamilan pada usia remaja, ketika ibu masilh tumbuh,
meningkatkan risiko dan menyebabkan hasil obstetrik uk. jarak kelahiran yang jauh juga
meningkatkan risiko angguan gizi pada ibu. Tinggi badan ibu dikaitkan dengan panjang badan
bayi saat lahir dan perawakan pendek postnatal, yang merupakan gabungan siklus
intergenerasi perawakan pendek (Prendergast, Humphrey, 2014). Berat lahir dan panjang
badan bayi berhubungan dengan pertumbuhan di masa anak-anak.
Analisis data longitudinal dari lima penelitian kohort bayi yang menggunakan ukuran
tinggi badan di seluruh jalur kehiduparn menunjukkan bahwa tinggi ibu berkorelasi dengan
tinggi badan pada semua umur (korelasi berkisar antara 0,15 sampai 0,55, P< 0,001) dan
tinggi ibu sangat terkait dengan prevalensi perawakan pendek pada usia 2 tahun, serupa
dengan temuan dari penelitian cross sectional sebelumnya (Levels and Trends in Child
Malnutrition, 2012). Penelitian lain menggabungkan data 109 penelitian demografi dan
kesehatan di 54 negara menunjukkan bahwa tinggi badan ibu berbanding terbalik dengan
angka kematian, berat badan kurang, dan perawakan pendek selama masa anak-anak.

Beberapa penelitian tentang peningkatan status gizi ibu menunjukkan kesehatan ibu
selama kehamilan menjadi hal penting untuk diperhatikan karena nutrisi bayi sangat
bergantung pada ibu selama 500 haripertama kehidupan. Peneltian Grantham-
McGregor,2007 menunjukkan pemberian beberapa mikronutrien saat hamil, pemberian
energi dan protein yang seimbang pada ibu dapat menurunkan kejadian SGA masing-masing
sebesar 9 % dan 3196. Suplemen zat besi selama kehamilan menurunkan kejadian berat lahir
rendah sebesar 20 % , namun suplemen zink tidak berpengaruh signifikan terhadap berat
lahir. Suplementasi kalsium pada ibu hamil meningkatkan berat lahir sebesar 85 g ( 95 % CI
37-133 ) dibandingkan dengan control . Peneltian pemebrian vitamin D pada ibu hamil
menunjukkan hasil yang signifikan terhadap berat lahir rendah ( risiko relatif 0,48 , 95 % CI
0,23-1,01) (Grantham-McGregor,2007).

Berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa pola makan ibu dapat memediasi
perubahan epigenetik pada janin. Penelitian suplementasi mikronutrien selama periode peri-
konsepsi, menunjukkan perubahan epigenetik tampak di beberapa area yang mengatur
pertumbuhan atau fungsi imun. Intervensi prenatal dapat berdampak pada pertumbuhan
pasca kelahiran, seperti pada penelitian "Minimat" di Bangladesh yang menunjukan
suplementasi makanan selama awal kehamilan menurunkan kejadian perawakan pendek
pada anak yang dilahirkan. Namun demikian tidak semua intervensi antenatal menunjukkan
efek jangka panjang (Prendergast, Humphrey, 2014)

Usia 0-6 bulan

Bayi sehat mengalami pertumbuhan dengan kecepatan maksimal antara usia 0 sampai
6 bulan. Pada usia perkembangan ini penting diperhatikan neurodevelopmental jangka
panjang Berdasarkan standar pertumbuhan WHO tahun 2006, prevalensi perawakan pendek
pada paruh pertama masa bayi dua kali lipat dibandingkan perkiraan sebelumnya. Di
beberapa negara, seperti India , 20 % bayi mengalami perawakan pendek sebelum usia 6
bulan. Oleh karena itu, perlu peningkatan perhatian terhadap kekurangan gizi pada bayi di
bawah usia 6 bulan dan upaya intervensi dini (Augusta et al, 2014).

Pemberian ASI ekslusif selama 6 bulan pertama telah direkomendasikan oleh WHO
sejak tahun 2001. Meskipun manfaat ASIeksklusiftelahterbukti menurunkan morbiditas dan
mortalitas serta peningkatan kemampuan kognisi, bukti yang berpengaruh terhadap
pertumbuhan linier sangat mengejutkan. Dalam sebuah penelitian promosi ASl eksklusif di
tiga negara Afrika, peningkatan ASI eksklusif tidak dikaitkan dengan peningkatan skor HAZ
pada usia 6 bulan. Disamping itu terdapat hal lain yang berpengaruh, seperti yang
ditunjukkan pada penelitian terhadap pasangan ibu-bayi di Zimbabwe, proses inflamasi
kronis di awal kehidupan (pada usia 6 minggu), ditemukan penngkatan penanda inflamas
(misalnya CRP) pada anak perawakan pendek, hal ini dikaitkan juga dengan tingkat infl
Humphrey, 2014).

Usia 6-24 bulan

Periode usia 6 sampai 24 bulan merupakan salah satu periode kritis untuk
pertumbuhan linier. Pada masa ini juga merupakan waktu prevalensi puncak perawakan
pendek di negara-negara berkembang, karena tingginya kebutuhan nutrisi ditambah dengan
keterbatasan kualitas dan kuantitas makanan pendamping. Pemberian makanan pendampng
ASI merujuk pada pengenalan jenis dan waktu pemberian makanan yang tepat. Sehingga
sebagian besar intervensi perawakan pendek dititikberatkan pada pemberian makanan
tambahan bayi dan anak (Infant dan Young Children Feeding; IYCF).

Intervensi untuk memperbaiki IYCF pada umumnya berfokus pada penyuluhan gizi,
pemberikan makanan pelengkap dengan atau tanpa nutrisi mikronutrien, serta peningkatkan
energi makanan pelengkap melalui teknologi sederhana. Metaanalisis dari 42 penelitian
menunjukkan dampak intervensi pemberian makanan pelengkap yang sederhana;
peningkatan terbaik dalam pertumbuhan linier adalah sekitar +0,70 berdasarkan HAZ, yaitu
sekitar sepertiga dari defisit rata-rata. Pendidikan pemberian makan pelengkap
meningkatkan pertumbuhan linier, dan menyebabkan penurunan angka perawakan pendek
di antara populasi makanan yang dikonsumsi (Augusta et al, 2014)

Usia lebih dari 24 bulan

Deteksi perawakan pendek dalan 1000 hari pertama kehidupan sangat penting, karena
intervensi yang dilakukan lebih dari usia tersebut tidak memberikan hasil yang signifikan.
Namun demikian, window of opportunity untuk kejar pertumbuhan bisa lebih ari usia 24
bulan. Penelitian Leroy menunjukkan bahwa kecepatan pertumbuhan tinggi badan menurun
pada usia antara 24 dan 60 bulan , 70 % dari perbaikan tinggi badan terjadi pada 1000 hari
pertama dan 30 % antara usia 2 dan 5 tahun (Prendergast, Humphrey, 2014).

Potensi perbaikan tinggi badan diatas usia 1000 hari pertama tetap menjadi hal yang
penting dan kemungkinan intervensi tetap dapat terjadi pada setiap rentang usia. Namun
apa yang menyebabkan pertumbuhan linier berkelanjutan tetap dapat terjadi pada usia lebih
dari 24 bulan, dan apakah intervensi akan memperbaiki tinggi badan tanpa meningkatkan
risiko obesitas jangka panjang, tetap masih menjadi pertanyaan. Masa remaja adalah waktu
di luar 1000 hari pertama yang juga mengalami kecepatan pertumbuhan maksimal dan
merupakan kesempatan terakhir untuk kejar tumbuh, walaupun untuk mencapai potensi
pertumbuhan yang optimal mungkin memerlukan pertumbuhan antargenerasi (Prendergast,
Humphrey, 2014,)

Dampak Perawakan Pendek

Perawakan pendek adalah indikator kumpulan gejala yang mudah diukur yang memiliki
dampak luas di berbagai alur kehidupan (Prendergast, Humphrey, 2014).

Morbiditas dan Mortalitas

Mala Jangka pendek, perawakan pendek dikaitkan dengan peningkatan morbiditas dan
mortalitas dari infeksi, terutama pneumonia dan diarrhoea. Dalam sebuah analisis dari 10
enelitian di Asia, Afrika, dan Amerika Selatan, terdapat hubungan antara HAZ dan mortalitas.
Bahkan anak dengan HAZ antara-2 dan <- 1 memiliki risiko infeksi saluran pernapasan yang
meningkat ( HR 1.55 , 95 % Cl 1,02-2,37 ) dan diare ( HR 1.67 , 95 % CI 1.20 2,30); anak
dengan HAZ -3 memiliki risiko yang jauh lebih besar ( HR 639 , 95 % Cl 4,19-9,75 dan 6,33 , 95
% CI 4,64-8 ) . Anak - anak yang sangat pendek juga memiliki tiga kali lipat peningkatan risiko
kematian akibat infeksi lain termasuk sepsis, meningitis tuberkulosis , hepatitis dan selulitis (
HR 3.01 , 95 % CI 1,55-5,82 ) . menunjukkan gangguan imun umum pada anak-anak dengan
pertumbuhan linier yang buruk (Prendergast, Humphrey, 2014).

Meskipun kekurangan gizi merupakan imunodefisiensi global yang paling umum,


defisiensi imun spesifik yang terkait dengan perawakan pendek belum diketahui. Anak-anak
malnutrisi memiliki gangguan yang kompleks dalam fisiologi, gangguan integritas mukosa,
defisiensi makro dan mikronutrien, dan risiko infeksi (Prendergast, Humphrey, 2014, p. 250-
65).
Kognisi dan Perilaku

Komponen kognitif dan perilaku pada anak perawakan pendek berdampak pada
perkembangan anak. Anak perawakan pendek dapat mengalami gangguan perkembangan
perilaku di awal kehidupan dan memiliki kemampuan kognitif yang lebih rendah. Anak
perawakan pendek lebih apatis, sering mengalami kecemasan, dan depresi (Prendergast,
Humphrey, 2014, p. 250- 65).

Malnutrisi akan memengaruhi area otak yang terlibat dalam keterampilan kognisi,
ingatan, kemampuan lokomotor Otak memiliki kebutuhan energi yang besar saat anak usia
dini dan sebagian besar pertumbuhan serebral terjadi pada 2 tahun pertama kehidupan.
Namun, hubungan antara pertumbuhan linier yang buruk dan perkembangan saraf yang
terganggu belum jelas diketahui. Beberapa penelitian terjadi gangguan pada mielinasi,
pembentukan proliferasi sinaptik, dan neuroinflamasi. Banyak hal lain yang memengaruhi
seperti kekurangan gizi, kekurangan zat gizi mikro (terutama zat besi), infeksi berulang apatis,
berkurangnya eksplorasi, kemiskinan, pendidikan ibu yang rendah dan stimulasi yang kurang
(Prendergast, Humphrey an na 10 at 2014).

Dampak Kesehatan Jangka Panjang

Anak-anak dengan perawakan pendek antara konsepsi dan usia 2 tahun berisiko lebih
besar terhadap kesehatan yang buruk dan pencapaian sosialekonomi yang lebih rendah.
Kelebihan risiko morbiditas dan mortalitas menular yang terlihat selama ma kanak-kanak
berlanjut hingga dewasa. Anak-anak perawakan pendek kehilangan kes 3,2 cm per tahun
untuk setiap penurunan HAZ pada usia 2 tahun; dampak negatif pada perawakan dan kognisi
menghasilkan produktivitas ekonomi yang rendah, mendapatkan upah lebih rendah 8-4696
lebih rendah dan memiliki kekayaan hingga 66 % lebih sedikit. Selain itu, efek ini bersifat
antargenerasi: berat lahir rendah lebih umum terjadi pada bayi yang ibunya dan bahkan
neneknya perawakan pendek sejak dini pada masa anak. Di Afrika dan Asia , 36 % dan 2796
anak peraawakan pendek , konsekuensi sosial ekonomi ini memiliki dampak besar pada
perkembangan seluruh masyarakat (Prendergast, Humphrey, 2014).

PENUTUP

Kegagalan pertumbuhan linier merupakan salah satu akibat dari kekurangan gizi secara
umum. Sindrom perawakan pendek merupakan perubahan patologis yang ditandai dengan
retardasi pertumbuhan linier pada awal kehidupan, dikaitkan dengan peningkatan morbiditas
dan mortalitas, penurunan kapasitas fisik, perkembangan saraf, dan peningkatan risiko
penyakit metabolik saat dewasa. Perawakan pendek adalah proses yangh
berkesinambungan. Mekanisme yang mendasari kegagalan pertumbuhan linier pada usia
yang berbeda dan konsekuensi perawakan pendek jangka pendek, menengah, serta jangka
panjang. Faktor lingkungan memegang peranan yang penting yaitu 90 % dalam memperbaiki
kondisi tersebut untuk meningkatkan potensi sumber daya manusia di masa yang akan
datang.

DAFTAR PUSTAKA

Addo O, AD S, Fall C, Gigante D, Guntupalli A, Horta B. (2013). Maternal Height and Child
Growth Patterns. J Pediatr, 163, 549- 554

Ashbrook A, Hamner H, Hassink S, Henchy G, Lombardi J, Perrine C. (2014). The First 1.000
Days: Nourishing America's Future. Retrieved August 16, 2018, from: https://fhop.ucsf.
edu/sites/fhop.ucsf.edu/files/custom_download/1000Days- NourishingAmericasFuture-
Report-FINAL-WEBVERSION- SINGLES 0.pdf

Augusta JB, Karachi ZAB, Cleveland SCK. (2014). Maternal and Child Nutrition: The First 1.000
Days. Gynecol Obstet Invest, 2, 73-144.

Berndt S, Gustafsson S, Magi R, Ganna A, Wheeler E, Feitosa M et al. (2013). Genome-Wide


Meta-Analysis Identifies 11 New Lodi For Anthropometric Traits and Provides Insights Into
Genetic Architecture. Nat Genet, 45, 501-512.

Grantham-McGregor S, Cheung YB, Cueto S, Glewwe P, Richter L Strupp B. (2007).


Developmental Potential in the First 5 Years for Children in Developing Countries. Lancet,
369, 60-70.

Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional Republik Indonesia/Badan Perencanaan


Pembangunan Nasional. (2018). Rembuk Aksi Percepatan Penurunan Stunting. Jakarta

Martorell R, Zongrone A. (2012), Intergenerational Influences on Child Growth and


Undernutrition. Paediatr Perinat Epidemiol, 26(1), 302-314.

Onis MD,Branca F. (2016).Childhood stunting: aglobal perspective. Maternal & Child


Nutrition,12(1), 12-26.

Onis MD,Onyango A, Borghi E, Garza C, Yang H. (2006).Comparison of the World Health


Organization (WHO) Child Growth Standards and the National Center for Health
Statistics/WHO International Growth Reference: Implications for Child Health programmes.
Public Health Nutr, 9, 942-7.

Prendergast AJ, Humphrey JH. (2014). The Stunting Syndrome in Developing Countries.
Paediatrics and International Child Health, 34(4), 250-265.

Senbanjo l0, Oshikoya KA, Odusanya 00, Njokanma OF (2011). Prevalence and Risk Factors
for Stunting among School Children and Adolescents in Abeokuta, Southwest Nigeria. J
Health Popul Nutr, 29(4), 364-70.

Stewart C, lannotti L, Dewey K, Michaelsen K, Onyango A. (2013). Contextualising


Complementary Feeding in a Broader Framework for Stunting Prevention. Matern Child Nutr,
9(2), 27-45

Trihono, Atmarita, Tjandrarini DH, Irawati A, Utami NH, Tejayanti T, et al. (2015). Pendek
(Stunting) di Indonesia, Masalah dan Solusinya. [Electronic Versionl. Jakarta: Lembaga
Penerbit Balitbangkes.

United Nations General Assembly (2015). Transforming our world: The 2030 agenda for
sustainable development. Retrieved from August 16, 2018, from:
https://sustainabledevelopment. un.org/content/documents/789 1Transforming % 20Our %
20 World pdf. 2015:(1):1-5.

Victora C, de Onis M, Hallal P, Blossner M, Shrimpton R. (2010). Worldwide Timing of Growth


Faltering: Revisiting Implications for Interventions. Pediatrics, 125, 473-480.

Villar J, Papageorghiou A, Pang R, Ohuma E, Ismail L, Barros F (2014). The Likeness of Fetal
Growth and Newborn Size Across Non-Isolated Populations in The Intergrowth-21 Project:
the Fetal Growth Longitudinal Study and Newborn Cross-Sectional Study Lancet Diab
Endocrinol, 2, 781-92.

WHO. (2012). Levels and Trends in Child Malnutrition. Retrieved Auguts 16, 2018, from:
http://www.who.int/nutgrowthdb/ estimates2017/en/.

ZongX-N, LiH. (2014). Physical Growth of Children and Adolescents in China Over The Past 35
Years. Bull WHO, 92, 555-564.

Anda mungkin juga menyukai