Anda di halaman 1dari 92

SPO ANAFILAKSIS

NO DOKUMEN NO REVISI HALAMAN



RSUP SANGLAH
DENPASAR

STANDAR OPERASIONAL TANGGAL DITETAPKAN,


PROSEDUR TERBIT A.n Direksi
Direktur Utama

Dr. I Wayan Sutarga, MPHM


NIP : 19540922 198203 1 002
PENGERTIAN Adalah keadaan gawat darurat medis, bersifat sistemik (multisistem) berat
yang mengancam nyawa, memerlukan pengenalan cepat dan penanganan
tepat yang segera. Diakibatkan oleh pelepasan mediator inflamasi yang
masif dari sel mast dan basofil. Reaksi umumnya terjadi pada sistem: kulit,
respirasi, gastrointestinal dan kardiovaskuler. Gejala muncul sangat
mendadak, beberapa detik atau menit setelah terpapar bahan pencetus,
namun dapat juga terjadi beberapa jam setelah paparan awal. Anafilaksis
akut dapat diikuti reaksi lanjut 3-8 jam kemudian (reaksi bifasik ), yang
terjadi pada 5-20% kasus.
TUJUAN Anak dengan anafilaksis perlu tindakan medis segera kemudian dirawat
untuk mencegah kematian, dan mengawasi kemungkinan terjadinya reaksi
ulangan/ reaksi lanjut, serta mencegah komplikasi.

KEBIJAKAN Anak dengan anafilaksis diberi tindakan segera di UGD, dan dimonitor di
ruang semi intensif pediatrik, tergantung keadaan, bila diperlukan di rawat
di ruang. Intensif hingga 72 jam sejak onset
PROSEDUR Diagnosis:
Anafilaksi merupakan ditegakkan secara klinis.
Diferensial diagnosis termasuk: sumbatan jalan nafas akibat benda asing,
sinkop dan gagal jantung
Diagnosis harus ditegakkan segera. Berdasarkan :
onset gejala dalam hitungan menit-jam, meliputi: kulit/mukosa dan salah
satu dari respirasi serta kardiovaskulaer dan/atau ditambah saluran cerna.
Ada/tidak adanya alergen yang telah dikenal sebelumnya. Perawatan:
Segera: pemberian epinefrin 0,1 mg/10kg BB, i.m, di anterolateral paha,
bisa diulang 3 x selang 5-15 menit.
Ditambah secara simultan: pemberian IVFD grojok, Antihistamin 1 dan 2.
Steroid diberikan kemudian untuk mencegah reaksi lanjut
Monitor: dilakukan ketat untuk mengevaluasi status respirasi,
kardiovaskuler dan kesadaran.
Dirawat di ruang semi intensif pediatrik, tergantung keadaan, bila
diperlukan: di rawat di ruang. intensif
Dilakukan reevaluasi/ identifikasi ulang faktor pencetus selama perawatan
Dilakukan KIE tentang status sakit anak: true medical emergency,
kemungkinan pencetus, pananganan yang sudah dilakukan dan
kemungkinan pulih berdasarkan evaluasi awal saat masuk, respon terhadap
terapi dan monitor berkelanjutan selama perawatan.
Dipulangkan dari Rumah Sakit setelah lewat 72 jam sejak onset dan
keadaan umum baik.
Pemeriksaan penunjang invivo (SPT) untuk mengidentifikasi penyebab
(alergen) tidak dianjurkan, namun bisa dilakukan tes invitro (kadar IgE
sesifik) setelah keluar Rumah Sakit

UNIT TERKAIT UGD


Pediatrik Gawat Darurat
Divisi terkait sesuai penyakit
SPO Infeksi HIV pada Anak

NO DOKUMEN NO REVISI HALAMAN



RSUP SANGLAH
DENPASAR

STANDAR OPERASIONAL TANGGAL DITETAPKAN,


PROSEDUR TERBIT A.n Direksi
Direktur Utama

Dr. I Wayan Sutarga, MPHM


NIP : 19540922 198203 1 002
PENGERTIAN Infeksi oleh HIV atau sindrom turunnya kekebalan tubuh akibat HIV.
Pada bayi dan anak, umumnya terjadi akibat penularan dari ibu ke
anak selama kehamilan, persalinan atau saat menyusu. Pada remaja,
transmisi terjadi akibat perilaku berisiko tinggi seperti halnya orang
dewasa.

TUJUAN Anak dengan infeksi HIV perlu dirawat untuk mengidentifikasi dan
menyembuhkan infeksi oportunistik , memperbaiki status nutrisi,
mencegah komplikasi dan mengurangi kematian.
Anak dnegan infeksi HIV tidak mendapat stigma dan diskriminasi di
dalam maupun diluar Rumah Sakit

KEBIJAKAN Anak dengan infeksi HIV dirawat terintegrasi dengan kasus-kasus


pediatrik lain, dan dirawat di ruangan yang sesuai dengan jenis
infeksi oportunistiknya.
Menimbang adanya stigma dan diskriminasi di masyarakat, dan
adanya prinsip kerahasiaan pada penatalaksanaan pasien terinfeksi
HIV, diagnosis ditulis dengan : Imunodefisiensi, namun dengan
penulisan ICD sesuai Infeksi HIV (B 24)
PROSEDUR Diagnosis:
Didahului dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik, bila sesuai
dengan kecurigaan imunodefisiensi, di rujuk ke VCT untuk
mendapatkan konseling pra dan post testing serologis HIV. Hasil test
diinformasikan kepada orangtua/wali pasien oleh konselor. Dokter
memberikan penekanan diagnosis dan permasalahn klinis setelah
konselor menyampaikan hasil test kepada orangtua/wali pasien
Bila diagnosis infeksi HIV telah ditegakkan, dilakukan pemeriksaan
penunjang lebih lanjut, seperti: CD4, viral load (bila biaya
memungkinkan) serta penunjang lain sesuai infeksi oportunistik yang
ada
Perawatan:
Dilakukan penatalaksanaan sesuai infeksi oportunistik yang
ditemukan dan selalu dilakukan penatalaksanaan nutrisi sesuai status
gizi pasien
Dilakukan evaluasi kesiapan pemberian ARV: dari segi medis dan
non medis
Dilakukan pencegahan PCP
Dilakukan identifikasi faktor penunjang dan penghambat
kesembuhan pasien : fisik, mental, sosial ekonomi di keluarga dan
masyarakat sekitar, termasuk sekolah dan kemungkinan adnaya
pendamping layanan
Dilakukan monitor kepatuhan minum obat, kondisi klinis dan lab
setelah keluar Rumah Sakit

UNIT TERKAIT VCT


CST
Lab
Divisi lain di Bag IKA, seperti:
o Nutrisi/Metabolik
o Tumbuh kembang Ped Sos
o Infeksi, Respiro
o Gastro hepatologi
o Hematologi
o Neuro
o Nefro
o Humas RSUP
o Lembaga Sosial Masyarakat
o Dinas Sosial
SPO HENOCH SCHONLEIN PURPURA

NO DOKUMEN NO REVISI HALAMAN



RSUP SANGLAH
DENPASAR

STANDAR OPERASIONAL TANGGAL DITETAPKAN,


PROSEDUR TERBIT A.n Direksi
Direktur Utama

Dr. I Wayan Sutarga, MPHM


NIP : 19540922 198203 1 002
PENGERTIAN Henoch Schonlein Purpura (HSP) adalah Sindrom klinis yang
disebabkan oleh vaskulitis pembuluh darah kecil sistemik yang
diperantarai oleh IgA, ditandai dengan lesi kulit spesifik berupa
purpura nontrombositopenik, artritis atau artralgia, nyeri abdomen
atau perdarahan gastrointestinalis, dan kadang-kadang dengan
nefritis. Dinamakan juga purpura anafilaktoid, purpura alergi,
purpura nontrombositopenik, atau vaskulitis alergik.
TUJUAN Anak dengan HSP perlu dirawat untuk mengurangi nyeri dan
peradangan akibat arthritis, sehingga masa sakit lebih singkat.
Mengurangi risiko komplikasi akut akibat intususepsi
Mengurangi risiko komplikasi kronis akibat keterlibatan ginjal
Memperbaiki status hidrasi yang biasa terjadi pada peradangan
akibat kurangnya asupan cairan.

KEBIJAKAN Anak dengan HSP dirawat di ruang non infeksi, dilakukan rawat
bersama dengan Nefrologi apabila ada keterlibatan ginjal
PROSEDUR Diagnosis:
Didahului dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik, bila sesuai
dengan kecurigaan HSP, dilakukan pemeriksaan penunjang: DL,
CRP, LED, UL dan FL, dan bila perlu dikonsulkan kepada Bag KUlit
bila gejala klinis kurang khas. Bila didapatkan colic abdomen
hebat/disertai distensi/darah-lendir peranum dilakukan USG
abdomen cito.
Sambil menunggu hasil pemeriksaan penunjang, dimulai pemberian
terapi penunjang dan simptomatik, seperti: cairan, NSAID, Anti
Histamin 2 dan 1, Steroid.
Dilakukan identifikasi faktor penunjang dan penghambat
kesembuhan pasien, seperti lingkungan dingin di tempat tinggal,
untuk diberikan KIE tentang : adanya pengaruh dingin dan infeksi
sebagai penghambat kesembuhan atau pencetus kekambuhan, adanya
kemungkinan keterlibatan ginjal dalam jangka panjang dan perlunya
banyak asupan cairan perlunya ganti-ganti posisi anggota gerak
sehari-hari.
Dilakukan monitor kondisi klinis dan UL setelah keluar Rumah
Sakit (mingguan-bulanan-1 tahun- 2 tahun)
UNIT TERKAIT Lab
Divisi lain di Bag IKA, seperti: Nefro
KOLESTASIS

NO DOKUMEN NO REVISI HALAMAN



RSUP SANGLAH
DENPASAR

STANDAR OPERASIONAL TANGGAL DITETAPKAN,


PROSEDUR TERBIT A.n Direksi
Direktur Utama

Dr. I Wayan Sutarga, MPHM


NIP : 19540922 198203 1 002
PENGERTIAN : Kolestasis merupakan semua kondisi yang menyebabkan
terganggunya sekresi dan ekskresi empedu ke duodenum sehingga
menyebabkan tertahannya bahan-bahan atau substansi yang
seharusnya dikeluarkan bersama empedu tersebut di hepatosit. Gejala
dan tanda klinis: ikterus, tinja pucat atau fluktuatif, dan urin
berwarna kuning tua seperti teh. Parameter yang digunakan: kadar
bilirubin direk serum > 1 mg/dL bila bilirubin total < 5 mg/dL atau
bilirubin direk > 20% dari bilirubin total bila kadar bilirubin total > 5
mg/dL.

TUJUAN : 1. Menegakkan diagnosis/menetukan etiologi kolestasis intrahepatik


atau ekstrahepatik
2. Mengobati dan mencegah komplikasi

KEBIJAKAN : Standar pelayanan medik Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak FK


UNUD/RSUP Sanglah Denpasar, 2010
Modul kolestasis UKK Gastro-hepatologi IDAI, 2009

PROSEDUR : 1. Terapi operatif untuk kolestasis ekstrahepatik


2. Terapi medikamentosa untuk kolestasis intrahepatik
Asam ursodeoksikolat 10-30 mg/kgBB dibagi 2-3
dosis
Nutrisi 130-150% kebutuhan bayi normal dan
mengandung
lemak rantai
sedang
Vitamin larut lemak :
A : 5000-25.000 IU/hari
D : Calciterol 0,05-0,2 g/kgBB/hari
E : 25-200 IU/kgBB/hari
K1 : 2,5-5 mg/hari diberikan 2-7 kali/minggu
Mineral dan trace element Ca, Mn, Zn, Se dan Fe
Terapi komplikasi lain misalnya untuk
hiperlipidem
ia/xantelasm
a diberikan
HMG-coA
reductase
seperti
kolestipol,
simvastatin
Terapi untuk mengatasi pruritus : antihistamin:
difenhidrami
n 5-10
mg/kgBB/ha
ri, hidrosisin
2-5
mg/kgBB/ha
ri
Rifampisin 10 mg/kgBB/hari
Kolestiramin 0,25-0,5 g/kgBB/hari

UNIT TERKAIT : Patologi Klinik


Mikrobiologi
Radiologi
Bedah anak
DIARE

NO DOKUMEN NO REVISI HALAMAN



RSUP SANGLAH
DENPASAR

STANDAR OPERASIONAL TANGGAL DITETAPKAN,


PROSEDUR TERBIT A.n Direksi
Direktur Utama

Dr. I Wayan Sutarga, MPHM


NIP : 19540922 198203 1 002
PENGERTIAN : Diare adalah buang air besar lebih dari 3 kali dalam 24 jam dengan
konsistensi cair dengan atau tanpa darah dan atau lendir. Disebut
diare akut bila berlangsung kurang dari 14 hari, sedangkan bila
berlangsung > 14 hari disebut diare kronik. Tanda umum utama:
keadaan umum gelisah/cengeng atau lemah/letargi/koma, rasa haus
dan turgor kulit abdomen menurun. Tanda tambahan: ubun-ubun
besar datar/cekung, kelopak mata normal/cowong, air mata ada/tidak,
dan mukosa bibir basah/kering. Berdasarkan ada atau tidaknya
dehidrasi diklasifikasikan menjadi tanpa dehidrasi (kehilangan cairan
< 5% berat badan), dehidrasi ringan sedang (kehilangan cairan 5-
10% berat badan) dan dehidrasi berat (kehilangan cairan > 10% berat
badan).

TUJUAN : 1. Pemberian cairan adekuat untuk mencegah dehidrasi


2. Mencegah komplikasi

KEBIJAKAN : Standar pelayanan medik Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak FK


UNUD/RSUP Sanglah Denpasar, 2010
Modul Diare UKK Gastro-hepatologi IDAI, 2009

PROSEDUR : 1. Tatalaksana lima lintas diare WHO : (1) Rehidrasi, (2) dukungan
nutrisi, (3) suplementasi zinc, (4) antibiotik selektif dan (5)
edukasi otang tua
a. Terapi cairan pada keadaan ada tau tidaknya dehidrasi :
Tanpa dehidrasi : oralit osmolaritas rendah 5-10
mL/kgBB setiap diare cair
Dehidrasi ringan sedang : cairan rehidrasi oral 75
mL/kgBB/3 jam, jika gagal infus RL 70 cc/kgBB
dalam 4-5 jam.
Dehidrasi berat :
umur < 12 bulan : infus cairan 30 mL/kgBB dalam 1
jam kemudian 70 mL/kgBB dalam 5 jam berikutnya.
umur > 12 bulan: infus cairan 30 mL/kgBB dalam
jam kemudian 70 mL/kgBB dalam 2,5 jam
berikutnya.

b. Nutrisi: ASI/makanan dilanjutkan dengan menu sama


dengan anak sehat sesuai umur, mudah dicerna, rendah
serat dan tidak merangsang. pemberian sedikit-sedikit tapi
sering.
c. Pemberian zinc elemental diberikan selama 10-14 hari
umur < 6 bulan : 10 mg/hari
umur > 6 bulan : 20 mg/hari
d. Antibiotik diindikasikan pada diare berdarah dan kolera.
Disentri (WHO2005) : Kotrimoksazol (TMP 10
mg/kgBB/hari-SMX 50 mg/kgBB/hari) dibagi 2 dosis
atau siprofloksasin 30-50 mg/kgBB/hari dibagi 3
dosis selama 5 hari atau sefiksim 5 mg/kgBB/hari.
Amebiasis : metronidazol 7,5 mg/kgBB/hari dibagi 3
dosis selama 5 hari
Giardiasis : metronidazol 5 mg/kgBB/hari dibagi 3
dosis selama 5 hari
e. Edukasi kepada orang tua mengenai langkah-langkah
preventif dan membawa kembali anak ke pusat pelayanan
kesehatan bila dalam 3 hari tidak ada perbaikan atau diare
makin sering dan didapatkan tanda-tanda dehidrasi.

UNIT TERKAIT : Patologi Klinik


Mikrobiologi
PICU
HIPERLEUKOSITOSIS PADA LEUKEMIA

NO DOKUMEN NO REVISI HALAMAN



RSUP SANGLAH
DENPASAR

STANDAR OPERASIONAL TANGGAL DITETAPKAN,


PROSEDUR TERBIT A.n Direksi
Direktur Utama

Dr. I Wayan Sutarga, MPHM


NIP : 19540922 198203 1 002
PENGERTIAN : Hiperleukosistosis adalah jumlah leukosit pada darah tepi lebih dari
100.000 per mikroliter. Gejala klinis tampak bila leukosit > 200.000
per mikroliter pada AML dan > 300.000 per mikroliter pada ALL
dan CML. Gejala klinis berupa perubahan kesadaran, sakit kepala,
mata kabur, kejang , koma, papil oedem

TUJUAN : Menurunkan jumlah leukosit


Menurunkan viskositas darah
Mencegah dan atau mengatasi gagal ginjal

KEBIJAKAN :

PROSEDUR : 1. Rawat inap


2. Hidrasi dengan cairan D5 NS sebanyak 3-5 liter/m2 atau 2-4
kali kebutuhan maintenance
3. Pertahankan output urine > 100 mL/m2 per jam atau urinespesific
gravity 1.010
4. Diuresis dapat diberikan bila output urine < 60 mL/m2 per jam
dengan furosemide 0,5 -1,0 mg/kg/x
5. Alkalinisasi dengan natrium bicarbonate 8,4% sebanyak 40 80
mEq/liter, untuk mempertahankan pH urine 7,0 - 7,5
Stop natrium bikarbonat bila pH urine > 7,5 atau serum
bikarbonat > 30 mEq/L
6. Reduksi asam urat dengan pemberian allopurinol 300-400 mg/m2
per hari atau 10-20 mg per kg BB per hari dibagi 3 4 dosis
perhari
7. Bila terjadi kelainan metabolik maka monitor elektrolit Kalium,
Kalsium, Magnesium, Fosfat setiap 4 8 jam, bila terjadi :
a. Hiperkalemia dapat diberikan :
Sodium polystyrene sulfonate (Kayexalate, 1 gram/kg/x
dengan 50% sorbitol oral)
Kalsium glukonas 100-200 mg/kg/x
Insulin (0,1 unit/kg/x + 25% glukosa (2 ml/kg/x)
b. Hiperfosfatemia dapat diberikan :
Aluminium hidroksida 15 ml setiap 4 8 jam
c. Hipokalsemia (bila ada gejala) dapat diberikan :
Kalsium glukonas IV 100 -200 mg/kg/x
8. Dialisis diperlukan bila terjadi :
a. Overload cairan, efusi pleura, efusi perikard
b. Gagal ginjal
c. Hiperkalemia, hiperfosfatemia, hipokalsemia persisten (gagal
dengan koreksi)
9. Transfusi PRC diperlukan bila :
Kadar Hb < 7 g/dL dengan target Hb 10 g/dL
10. Transfusi trombosist konsentrat diperlukan bila :
Kadar trombosit < 20.000/mL untuk mencegah
perarahan intracranial
11. Monitor berat badan setiap 2 hari
12. Monitor darah lengkap setiap hari

UNIT TERKAIT : PICU


Patologi Klinik
PMI
PROSEDUR PEMBERIAN KEMOTERAPI

NO DOKUMEN NO REVISI HALAMAN



RSUP SANGLAH
DENPASAR

STANDAR OPERASIONAL TANGGAL DITETAPKAN,


PROSEDUR TERBIT A.n Direksi
Direktur Utama

Dr. I Wayan Sutarga, MPHM


NIP : 19540922 198203 1 002
PENGERTIAN : Yang dimaksud dengan prosedur pemberian kemoterapi / sitostatika
adalah semua tahapan/tindakan dalam pemberian kemoterapi
terhadap penderita kanker agar mendapatkan hasil yang optimal
TUJUAN : 1. Tepat indikasi, tepat obat,tepat cara pemberian, awas terhadap
efek samping
2. Kuratif dan non kuratif

KEBIJAKAN :

PROSEDUR : 1. Persiapan alat


a. Siapkan obat sitostatika yang digunakan sesuai dengan jenis
dan dosis
b. Siapkan cairan pengencer : NaCl 0,9% ; Dextrosa 5%
c. Pengalas plastik dengan kertas absorpsi diatasnya
d. Gaun lengan panjang, masker, topi, kaca mata, sarung tangan,
sepatu
e. Spuit disposibel sesuai dengan yang diperlukan (5 cc, 10 cc,
2 cc)
f. Infus set dan abocat (ukuran kecil)
g. Kapas steril dan alcohol 70%
h. Bak injeksi besar
i. Manset
j. Label obat
k. Plastik tempat pembuangan bekas kemoterapi

2. Persiapan personil
a. Cuci tangan dengan sabun/desinfektan, bilas dengan air
mengalir.
b. Keringkan dengan handuk kering dan bersih.
c. Pakailah baju kerja panjang dengan lengan panjang berkaret
dan krah baju tinggi.
d. Pakailah tutup kepala dan kacamata.
e. Pakailah masker penutup mulut dan hidung.
f. Pakailah sarung tangan steril, dengan cara sebagai berikut :
Lepaskan lipatan sarung tangan, ambil sarung tangan
dengan ibu jari dan telunjuk tangan kanan pada bagian
sebelah dalam, kemudian pasang sesuai dengan jari-
jari tangan kiri dan kencangkan dengan cara menarik
pangkal sarung sebelah dalam.
Pasang sarung tangan kanan dengan tangan kiri (yang
telah menggunakan sarungtangan) dengan
menyelipkanjari-jari tangan kiri di bawah lipatan sarung
tangan, kemudian tahan pangkal sarung tangan tersebut
dengan ibu jari tangan kiri.
Pasang sarung tangan tersebut pada tangan kanan, sesuai
dengan alur jari tangan kemudian kencangkan dengan
cara menariknya.
Masukkan masing-masing lengan baju ke dalam sarung
tangan.
g. Semprotkan kedua belah telapak tangan dengan alcohol 70%.
h. Semprotkan alcohol 70% ke seluruh dinding kotak aseptic.
i. Ambil kapas/kasa, kemudian semprot dengan alcohol 70%.
j. Usapkan ke seluruh dinding kotak aseptic, ,ulai dari bagian
atas ke bawah.
k. Meja dialasi dengan pengalas plastic diatasnya ada kertas
penyerap.
l. Ambil obat sitostatika sesuai dengan program.

3. Prosedur pengerjaan obat sitostatika larutan dalam ampul


a. Buka spuit injeksi dari pembungkusnya. Biarkan jarum tetap
tertutup. Periksa dahulu keutuhan spuit injeksi apakah dapat
digunakan.
b. Ambil ampul yang berisi obat. Pastikan bahwa tidak ada
cairan pada bagian atas dan bagian leher ampul. Jika ada
cairan ketok-ketok dahulu sampai cairan turun ke bawah.
c. Ambil kasa steril. Alaskan pada ampul untuk menyerap jika
ada percikan obat.
d. Ambil kapas beralkohol. Usapkan pada leher ampul.
Pecahkan leher ampul.
e. Buka tutup jarum, miringkan ampul sedikit masukkan ujung
jarum ke dalam cairan. Ambil/sedot larutan obat sampai
volume yang dikehendaki.
f. Tutup jarum injeksi dengan penutupnya.
g. Beri etiket pada spuit injeksi yang berisi larutan obat tersebut.
h. Siap diinjeksi pada penderita.

4. Prosedur pengerjaan obat sitostatika larutan dalam vial


a. Buka spuit injeksi dari pembungkusnya. Biarkan jarum tetap
tertutup. Periksa dahulu keutuhan spuit injeksi apakah dapat
digunakan.
b. Ambil ampul yang berisi obat. Pastikan bahwa tidak ada
cairan pada bagian atas dan bagian leher ampul. Jika ada
cairan ketok-ketok dahulu sampai cairan turun ke bawah.
c. Buka tutup aluminium dari vial. Ambil kapas beralkohol,
usapkan pada karet penutup vial.
d. Buka tutup jarum spuit. Tusukkan jarum ke dalam vial
dengan sudut 60-450 sampai ujung jarum (lubang jarum)
masuk setengah bagian. Kemudian tegakkan sampai sudut
900. Hal ini bertujuan mencegah pelepasan partikel karet.
e. Sedot udara dalam vial supaya tekanan dalam vial negatif.
Balikkan vial. Jarum spuit harus tetap berada/terendam dalam
larutan. Ambil/sedot sejumlah volume larutan obat sesuai
dengan yang diperhitungkan (tanpa udara). Tekanan dalam
vial harus negatif.
f. Udara dalam spuit, dimasukkan kembali ke dalam vial yang
tetap dalam posisi terbalik. Kemudian sesuaikan volume
larutan obat dalam spuit.
g. Cabut spuit unjeksi dari karet penutup vial.
h. Tutup jarum injeksi dengan penutupnya lepas jarum injeksi,
dan diganti dengan tutup spuit (syringe cap)
i. Beri etiket pada spuit injeksi yang berisi larutan obat tersebut.

5. Prosedur pengerjaan rekonstitusi injeksi kering obat sitostatika


a. Buka spuit injeksi pembungkusnya. Biarkan jarum tetap
tertutup. Periksa dahulu keutuhan spuit injeksi apakah dapat
digunakan.
b. Buka tutup aluminium dari vial yang berisi pelarut.
c. Ambil kapas beralkohol. Usapkan pada leher ampul.
Pecahkan leher ampul.
d. Buka tutup jarum spuit. Ambil/sedot sejumlah volume pelarut
yang sesuai. Tutup kembali jarum.
e. Ambil vial yang berisi obat injeksi kering. Ambil kasa steril.
Alaskan pada vial untuk menyerap jika ada percikan obat.
f. Buka tutup aluminium dari vial yang berisi obat injeksi
kering. Ambil kapas beralkohol, usapkan pada karet penutup
vial yang berisi obat injeksi kering.
g. Buka tutup jarum spuit yang berisi pelarut tadi. Tusukkan
jarum ke dalam vial dengan sudut 60-450 sampai ujung jarum
(lubang jarum) masuk setengah bagian. Kemudian tegakkan
sampai sudut 900. Hal ini bertujuan mencegah pelepasan
partikel karet.
h. Balikkan vial. Sedot udara dalam vial sebanyak (atau lebih
sedikit) volume cairan yang akan dimasukkan.
i. Injeksikan pelarut ke dalam vial. Jangan sampai udara ikut.
j. Biarkan jarum tetap berada dalam vial. Kocok dengan hati-
hati sampai larut.
k. Balikkan vial. Jarum spuit harus tetap berada/terendam dalam
larutan. Ambil/sedot sejumlah volume larutan obat sesuai
dengan yang diperhitungkan (tanpa udara). Tekanan dalam
vial harus negatif.
l. Udara dalam spuit, dimasukkan kembali ke dalam vial yang
tetap dalam posisi terbalik. Kemudian sesuaikan volume
larutan obat dalam spuit.
m. Cabut spuit unjeksi dari karet penutup vial. Lepas jarum dari
spuit.
n. Tutup spuit injeksi dengan penutupnya.
o. Beri etiket pada spuit yang berisi larutan obat tersebut
p. Siap diinjeksikan kepada penderita.

UNIT TERKAIT : Farmasi


DEMAM TIFOID

NO. DOKUMEN NO. REVISI HALAMAN


RSUP SANGLAH .. .......................... ............................
DENPASAR

STANDAR PROSEDUR TANGGAL DITETAPKAN,


OPERASIONAL TERBIT a.n Direksi
Direktur Utama

Dr. I Wayan Sutarga, MPHM


NIP : 19540922 198203 1 002
PENGERTIAN : Demam tifoid merupakan suatu infeksi sistemik yang akut yang
disebabkan Salmonella typhi. Gejalanya : demam seminggu atau lebih,
distres abdominal dan gejala neurologis dalam bentuk penurunan
kesadaran.
TUJUAN : Mengobati dan mencegah komplikasi

KEBIJAKAN : Standar pelayanan medik Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak FK


UNUD/RSUP Sanglah Denpasar, 2010
Pedomam pelayanan medik Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2010
PROSEDUR : 1. Tirah baring
2. Pemberian cairan, elektrolit dan nutrisi (diet rendah serat, tidak
merangsang saluran cerna)
3. Antipiretik, antikonvulsan
4. Antibiotika :
kloramfenikol 50-100 mg/kgbb/hari, 2-3 minggu (parentral
30-50 mg/kgbb/hari)
tiamfenikol 50-100 mg/kgbb/hari, 2-3 minggu
ampisilin 100-200 mg/kgbb/hari, oral atau parenteral 2-3
minggu
kotrimoksazol
sefalosporin
quinolon tidak dianjurkan pada anak usia kurang dari 18 tahun
5. Pada keadaan relaps dapat diberikan obat-obat seperti tersebut
diatas
6. Karier : ampisilin 100-200 mg/kgbb/hari ditambah dengan
probenesid
7. Kortikosteroid dapat diberikan pada keadaan toksis berat seperti
koma, syok. Deksametason 3mg/kgbb 1 mg/kgbb tiap 6 jam
8. Tindakan operatif bila terjadi perforasi
UNIT TERKAIT : Patologi Klinik
PICU
Bedah anak
DEMAM BERDARAH DENGUE

NO. DOKUMEN NO. REVISI HALAMAN


RSUP SANGLAH .. .......................... ............................
DENPASAR

STANDAR PROSEDUR TANGGAL DITETAPKAN,


OPERASIONAL TERBIT a.n Direksi
Direktur Utama

Dr. I Wayan Sutarga, MPHM


NIP : 19540922 198203 1 002
PENGERTIAN : Demam berdarah dengue adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh
virus Dengue tipe 1-4, dengan manifestasi klinis demam mendadak 2-7
hari, manifestasi perdarahan dengan atau tanpa syok, disertai gambaran
laboratorium trombositopenia (trombosit <100.000/uL) dan
peningkatan hematokrit 20% atau lebih dari harga normal
TUJUAN : Pemberian cairan adekuat
Mencegah dan atau mengatasi syok
Mencegah dan atau mengatasi perdarahan
Mencegah terjadinya komplikasi

KEBIJAKAN : Stadar pelayanan medik Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak FK


UNUD/RSUP Sanglah Denpasar, 2010
Pedoman pelayanan medik Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2010

PROSEDUR : 1. Rawat inap


2. Asupan cairan, elektrolit dan nutrisi
3. Medikamentosa bersifat simtomatis; antipiretik yang diberikan
adalah parasetamol dengan dosis 10-15 mg/kgbb/kali bila suhu >
38 c. Hindari pemberian salisilat dan ibuprofen
4. Pemberian cairan kristaloid (d5%nacl0,225%, d5%nacl0.45%,
d5%nacl09%) sesuai dengan kebutuhan dan derajat beratnya
penyakit
5. Monitor tanda vital : tensi, nadi, suhu dan pernapasan
6. Monitor warning sign : nyeri perut, muntah-muntah, pendarahan
mukosa, akumulasi cairan, letargi, pembesaran hepar > 2cm,
peningkatan hematokrit dan penurunan trombosit yang cepat
7. Interval pemeriksaan dl sesuai dengan derajat berat penyakit
8. Imbang cairan
9. Pemeriksaan x foto toraks bila ditemukan efusi pleura atau udem
paru
10. Pemeriksaan serologi igm dan igg anti dengue setelah hari ke-5
panas
11. Bila terjadi syok, dilakukan resusitasi dengan cairan kristaloid
isotonis (ringer laktat) 20 ml/kgbb/15 menit dan pemberian oksigen
12. Pada syok berulang diberikan cairan koloid (hes, dextran). Koreksi
bila terjadi asidosis
13. Tranfusi prc diberikan pada pendarahan masif
14. Tranfusi trombosit hanya diberikan pada keadaan trombositopenia
dengan pendarahan masif (tidak ada indikasi profilaksis tranfusi
trombosit)
15. Pemberian antibiotika (sefalosporin) pada syok berkepanjangan
atau berulang
16. Bila terjadi overload cairan diberikan diuretik furosemid dengan
dosis 1 mg/kgbb/kali
17. Indikasi pemberian kortikosteroid pada kasus enfalopati dengue
18. Pasien dapat dipulangkan apabila : tidak demam selama 24 jam
tanpa antipiretik, nafsu makan membaik, secara klinis tampak
perbaikan, hematokrit stabil, tiga hari setelah syok teratasi, jumlah
trombosit 50.000/ul, tidak dijumpai distres pernapasan

UNIT TERKAIT : Patologi Klinik


Radiologi
PICU
PMI
PENANGANAN GAGAL JANTUNG
PADA BAYI DAN ANAK

RSUP SANGLAH No. Dokumen Revisi Halaman


DENPASAR
...............................
DITETAPKAN OLEH:
STANDAR Direktur Utama
PROSEDUR Tanggal Terbit :
OPERASIONAL
KARDIOLOGI ANAK
dr. I Wayan Sutarga, MPHM
NIP 19540922 198203 1 002
Pengertian Gagal jantung adalah suatu sindroma klinis saat jantung tidak mampu
untuk memompa darah guna memenuhi kebutuhan metabolisme
normal tubuh.
Tujuan Melakukan diagnosis dini gagal jantung, serta penanganan yang cepat
dan tepat untuk memperoleh perbaikan fungsi jantung yang optimal.
Kebijakan Petugas medis mesti menguasai penanganan gagal jantung secara
tepat, sehingga morbiditas dan mortalitas bisa dikurangi.
Prosedur 1. Memastikan diagnosis gagal jantung, melalui :
a. Anamnesis.
b. Pemeriksaan fisik.
c. Pemeriksaan penunjang, berupa: foto toraks,
elektrokardiografi, laboratorium darah rutin, kadar serum
elektrolit, analisis gas darah, kadar gula darah (terutama
neonatus), ekokardiografi, kateterisasi jantung.
2. Memberikan perawatan, berupa :
a. Bed rest total, sebisa mungkin dengan posisi setengah duduk.
b. Pemberian oksigen 40% 2-4 liter/menit.
c. Melakukan restriksi cairan 80% dari kebutuhan tubuh normal,
atau mengupayakan balans cairan yang nol.
d. Melakukan koreksi apabila terjadi hipoglikemia, asidosis
metabolik, anemia, demam, infeksi, dehidrasi.
e. Pemakaian ventilator bila edema paru hebat atau gagal napas.
f. Diet tinggi kalori dan rendah garam.
3. Terapi medikamentosa :
a. Diuretika :
Furosemid :
Intravena 1 mg/kgBB/kali, 2-3 kali/hari.
Oral 2-5 mg/kgBB/hari, 2-3 kali/hari.
Untuk menghindari efek hipokalemia akibat penggunaan
furosemid, maka perlu diberikan bersamaan dengan:
Kalium klorida 1-2 mEq/kgBB/hari, oral, 3-4 kali/hari,
atau Spironolakton 3 mg/kgBB/hari, oral, 1-3 kali/hari.
b. Digitalis :
Dosis digitalisasi cepat memakai cedilanid intravena:
Prematur : 20 mcg/kgBB/hari.
Aterm : 30 mcg/kgBB/hari.
Bayi : 40 mcg/kgBB/hari.
Anak : 20-30 mcg/kgBB/hari, maksimal 1 mg.
Dibagi dalam 3 dosis (1/2, 1/4, 1/4, interval tiap 8 jam).
Dosis rumatan memakai digoksin oral, 8-10 mcg/kgBB/hari, 2
kali sehari, maksimal 125 mcg per kali. Mesti diawasi
kemungkinan intoksikasi digitalis.
c. Vasodilator :
Kaptopril :
Bayi : 0,1-2 mg/kgBB/kali, 2-3 kali sehari.
Anak : 12 mg/hari, 2 kali sehari
d. Inotropik lain diberikan pada gagal jantung yang sangat
berat :
Dopamin, 5-10 mcg/kgBB/menit.
Dobutamin, 5-10 mcg/kgBB/menit.
Dopamin digabung Dobutamin, total 15 mcg/kgBB/menit.
Milrinon, loading 10-50 mcg/kgBB dalam 10 menit, lalu
drip 0,1-1 mcg/kgBB/menit.
e. Obat lain :
Morfin subkutan bila edema paru, 0,05-0,1 mg/kgBB/kali.
Penenang diazepam atau luminal, pemberian mesti
diawasi.
4. Tindakan koreksi (pembedahan atau intervensi) terhadap penyakit
jantung yang mendasarinya.
Unit terkait SMF Ilmu Kesehatan Anak - Divisi Kardiologi Anak
Pelayanan Jantung Terpadu
PEMASANGAN C.V.P.
( CENTRAL VENOUS PRESSURE )
PADA BAYI DAN ANAK
RSUP SANGLAH
DENPASAR No. Dokumen Revisi Halaman

...............................
DITETAPKAN OLEH:
STANDAR Direktur Utama
PROSEDUR Tanggal Terbit :
OPERASIONAL
KARDIOLOGI ANAK
dr. I Wayan Sutarga, MPHM
NIP 19540922 198203 1 002
Pengertian Suatu tindakan memasukkan kateter CVP dari vena femoralis kanan
atau kiri, sampai ujungnya berada di muara vena cava inferior atau di
dalam atrium kanan.
Tujuan 1. Memberikan akses vena pada keadaan vena perifer mengalami
kolaps saat syok.
2. Memonitor tekanan atrium kanan atau vena sentral, dalam
evaluasi keberhasilan atau kegagalan sirkulasi.
3. Memberikan obat-obat yang hipertonik, yang bisa mengakibatkan
phlebitis bila diberikan melalui vena perifer.
4. Memberikan banyak jenis obat parentral secara bersamaan.
5. Memberikan cairan parenteral berjumlah banyak dengan cepat.
Kebijakan Pasien dengan indikasi medis yang harus memakai CVP

Prosedur 1. Pemasangan CVP :


Menyiapkan alat dan bahan yang dibutuhkan.
Menghubungkan cairan infus dengan manometer.
Kateter CVP disambungkan ke three-way stop-cock, lalu
alirkan NaCl 0,9% ke slang manometer (10-20 cm H2O).
Dokter dan perawat mencuci tangan, lalu memakai sarung
tangan steril.
Desinfeksi daerah inguinal kanan atau kiri dengan larutan
betadine, lalu alkohol 70%, dan ditutup duk steril berlubang.
Disuntikkan anastesi lokal Lidokain 2% di subkutan.
Isi spuit 1 cc dengan NaCl berheparin (0,5 cc heparin dalam
25 cc NaCl 0,9%), lalu sambungkan dengan abocath G-22.
Abocath G-22 ditusukkan perkutan sambil mengaspirasi
(0,5-1 cm sebelah medial denyut arteri femoralis, 0,5-1 cm
di bawah ligamentum inguinalis, sudut 30 derajat terhadap
femur, arah ke umbilikus, sedalam 1-3 cm) sampai darah
vena berwarna merah tua teraspirasi ke siringe spuit, lalu
lepaskan mandrin dari abocath, sehingga tampak darah
keluar tanpa pulsasi.
Masukkan Spring-wire guide Arrow (diameter 0,46 mm,
panjang 25 cm) ke abocath, hingga sebagian wire masuk.
Siapkan abocath G-20 panjang 51 mm, lepaskan mandrin,
tusukkan ke vena femoralis melalui tuntunan wire.
Cabut wire dari abocath (bila darurat, tindakan cukup sampai
di sini, yaitu sambungkan abocath G-20 dengan three-way
berekor berisi NaCl berheparin, lalu hubungkan ke infus)
Siapkan perangkat kateter double lumen ukuran 4 Fr sampai
6 Fr, isi dengan cairan NaCl berheparin.
Masukkan guide-wire milik double lumen ke abocath G-20
tadi, lalu cabut abocath dari wire.
Ukur kedalaman kateter double lumen yang diinginkan, lalu
masukkan kateter ke vena femoralis melalui tuntunan wire,
hingga wire tampak keluar dari muara salah satu lumen.
Tarik wire keluar kateter, lalu sambungkan kateter dengan
perangkat monitor CVP atau perangkat infus/obat.
Fiksasi kateter dengan jahitan di kulit, desinfeksi betadine di
tempat tusukan, tutup dengan kasa steril, rekatkan dengan
plester sampai tertutup penuh.
Merapikan pasien dan alat/bahan.
Dokter dan perawat mencuci tangan.
2. Pengukuran nilai CVP :
Posisi pasien tidur mendatar, di mana titik nol manometer
sejajar dengan atrium kanan.
Putar stop-cock untuk mengalirkan cairan ke manometer
setinggi +20-25 cm.
Putar kembali stop-cock untuk mengalirkan cairan dari
manometer ke vena pasien (tutup aliran slang dari botol
infus).
Observasi penurunan tinggi cairan dalam manometer, catat
level saat cairan berhenti bergerak ke bawah (nilai normal
CVP 5-12 cm H2O)
Setelah pengukuran CVP selesai, putar kembali stop-cock
untuk mengalirkan cairan infus ke vena pasien.
Unit terkait SMF Ilmu Kesehatan Anak - Divisi Kardiologi Anak
Perawat ruangan
MALNUTRISI ENERGI PROTEIN

NO DOKUMEN NO HALAMAN
REVISI
RSUP SANGLAH
DENPASAR

STANDAR OPERASIONAL TANGGAL DITETAPKAN,


PROSEDUR TERBIT A.n Direksi
Direktur Utama

Dr. I Wayan Sutarga, MPHM


NIP : 19540922 198203 1 002
Pengertian Malnutrisi Energi Protein (MEP) adalah gangguan nutrisi yang
disebabkan oleh karena kekurangan protein dan/atau energi. Berdasarkan
derajatnya MEP dibagi menjadi MEP derajat ringan (gizi kurang) dan
MEP derajat berat (gizi buruk). Gizi kurang belum menunjukkan gejala
yang khas, sedangkan gizi buruk memiliki 3 bentuk klinis yaitu
kwashiorkor, marasmus dan marasmik kwashiorkor. Pembagian
menurut antropometri:
MEP Ringan : BB/TB 80-90% baku median WHO-2005.
MEP Sedang : BB/TB 70-80% baku median WHO-2005.
MEP Berat : BB/TB < 70% baku median WHO-2005.

Tujuan Anak dengan MEP berat perlu dirawat untuk pemberian terapi nutrisi dan
mengatasi penyakit yang mendasarinya atau penyakit penyertanya.
Tujuan perawatan adalah agar anak dapat mencapai gizi kurang dan
penyakit yang mendasari atau penyertanya dapat diatasi.
Kebijakan Setiap penderita kwasihorkor, marasmus maupun marasmik kwasihorkor
perlu rawat inap untuk mengatasi masalah kegawat daruratan yang ada,
pemberian nutrisi yang sesuai, mengidentifikasi dan menangani penyakit
yang mendasari dan penyakit penyertanya
Prosedur Diagnosis:
Didahului dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
antropometri, dan pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis
dan mencari penyakit yang mendasari serta penyakit penyertanya.
Dokter memberikan penjelasan tentang diagnosis dan masalah-masalah
yang ditemukan pada pasien.
Perawatan:
Dilakukan langkah-langkah penangangan gizi buruk berdasarkan buku
Petunjuk Teknis Tatalaksana Anak Gizi Buruk dari Depkes RI 2006.
Apabila anak telah dapat dipulangkan sesuai dengan syarat-syarat yang
terdapat pada buku petunjuk tersebut, pasien dirujuk kembali ke
puskesmas asal pasien.
Unit Terkait Divisi Nutrisi dan Penyakit Metabolik IKA dan divisi lainnya di Bag IKA
sesuai dengan kondisi pasien, Instalasi Gizi, Bagian Keperawatan,
Instalasi Rehabilitasi Medik, Dinas Sosial, Dinas Kesehatan, Lembaga
Sosial Masyarakat
OBESITAS

NO DOKUMEN NO REVISI HALAMAN



RSUP SANGLAH
DENPASAR

STANDAR OPERASIONAL TANGGAL DITETAPKAN,


PROSEDUR TERBIT A.n Direksi
Direktur Utama

Dr. I Wayan Sutarga, MPHM


NIP : 19540922 198203 1 002
Pengertian Obesitas adalah suatu kelainan atau penyakit yang ditandai dengan
penimbunan jaringan lemak tubuh secara berlebihan. Berbeda dengan
overweight adalah kelebihan berat badan dibandingkan dengan berat
ideal yang dapat disebabkan oleh penimbunan jaringan lemak atau
jaringan non-lemak, seperti pada seorang atlit binaragawan, yang
kelebihan berat badannya disebabkan oleh hipertrofi otot.
Tujuan Anak dengan obesitas memerlukan penanganan agar dapat mencapai
gizi baik dan terhindar dari komplikasi obesitas
Kebijakan Penanganan obesitas tanpa penyakit lainnya yang memerlukan rawat
inap dapat dilakukan secara rawat jalan
Prosedur Diagnosis:
Dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan antropometri,
dan pemeriksaan penunjang untuk penegakkan diagnosis dan mencari
komplikasi obesitas
Perawatan:
Dilakukan di poliklinik rawat jalan IKA setiap hari selasa dan kamis
(Poliklinik Gizi Anak)
Unit Terkait Divisi Nutrisi dan metabolik IKA, Poliklinik IKA, Instalasi Gizi
DEFISIENSI VITAMIN A

NO DOKUMEN NO REVISI HALAMAN



RSUP SANGLAH
DENPASAR

STANDAR OPERASIONAL TANGGAL DITETAPKAN,


PROSEDUR TERBIT A.n Direksi
Direktur Utama

Dr. I Wayan Sutarga, MPHM


NIP : 19540922 198203 1 002
Pengertian Defisiensi vitamin A adalah gangguan gizi yang disebabkan oleh
kekurangan vitamin A atau provitamin A (karotin) yang ditandai
antara lain oleh adanya lesi pada mata, retardasi fisik, mental dan
apatis, perubahan pada kulit dan metaplasia epitel pada jaringan yang
lain.
Tujuan Mengidentifikasi, mencegah, deteksi dini dan mengobati defisiensi
Vitamin A
Kebijakan Semua anak dengan gizi buruk mendapatkan terapi vitamin A
Konsultasi dalam penanganan defisiensi vitamin A tergantung
pada gejala yang ada.
Penyediaan kapsul vitamin A di poliklinik IKA
Prosedur Diagnosis:
Anamnesis, pemeriksaan fisik, dan labolatorium penunjang serta
konsultasi untuk mendiagnosis vitamin A beserta manifestasi
klinisnya
Perawatan:
Jika didapatkan xerophtalmia maka harus diberikan vitamin A
sesuai dengan umur pada hari ke 1,2 dan 15. Lokal: salep
antibiotika pada mata.
Diet. tinggi vitamin A, karotin dan minyak.
Pengobatan penyakit penyebab/pemberat: gangguan pencernaan,
infeksi, infestasi cacing
Unit Terkait Divisi Nutrisi dan Penyakit Metabolik IKA, Bagian/SMF Mata
Instalasi Gizi, Dinas Kesehatan
GAGAL TUMBUH

NO DOKUMEN NO REVISI HALAMAN



RSUP SANGLAH
DENPASAR

STANDAR OPERASIONAL TANGGAL DITETAPKAN,


PROSEDUR TERBIT A.n Direksi
Direktur Utama

Dr. I Wayan Sutarga, MPHM


NIP : 19540922 198203 1 002
Pengertian Gagal tumbuh adalah suatu kondisi klinis, bukan diagnosis penyakit,
dimana pertumbuhan fisik yang tidak adekuat. Indikatornya adalah
berat badan yang berada di bawah persentil 5 standar baku
pertumbuhan menurut umur dan jenis kelamin atau pertumbuhan berat
badan menurun 2 garis persentil mayor atau 2 SD dalam periode 3-6
bulan. Persentil berat badan lahir sering dipakai sebagai pedoman pola
pertumbuhan.
Tujuan Deteksi dini dan penanganan gagal tumbuh
Kebijakan Anak yang mengalami gagal tumbuh umumnya tidak memerlukan
perawatan di rumah sakit, cukup rawat jalan kecuali menemui
kegagalan dalam perawatan rawat jalan atau gagal tumbuh yang berat.
Semua pasien rawat jalan dan rawat inap dilakukan pemeriksaan status
gizi penderita sehingga dapat dilakukan deteksi jika terdapat gagal
tumbuh.
Prosedur Diagnosis:
Dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan antropometri,
dan pemeriksaan penunjang untuk menegakkan adanya gagal tumbuh
dan penyakit penyerta atau yang mendasarinya.
Penanganan:
1. Menangani penyakit dasarnya.
2. Memberikan nutrisi tinggi kalori sampai 150% dari kebutuhan
harian berdasarkan berat idealnya menurut tinggi badan bukan
berat aktualnya.
3. Kurangi jus buah, jangan melebihi 240-480 ml per-hari kar
4. Tambahkan suplementasi multi vitamin dan mineral sesuai
dengan kebutuhan hariannya.
Unit Terkait Anak yang rawat inap memerlukan perawatan multidisiplin yang
terdiri dari dokter/dokter spesialis anak, perawat, ahli gizi, pekerja
sosial, dan psikologis.
SINDROM NEFROTIK

RSUP SANGLAH NOMOR DOKUMEN NO. REVISI : HAL : 1/1


DENPASAR

TANGGAL TERBIT : a.n. Direksi,


DIREKTUR UTAMA,
SPO
PELAYANAN MEDIS

Dr. I Wayan Sutarga, MPHM


NIP. 195409221982031002
Sindrom klinis yang terdiri proteinuria massif (2+), hipoalbuminemia < 2,54
PENGERTIAN
g/dL edema, dapat disertai hiperkolesterolemia >200 mg/dL
Mengobati sindrom nefrotik
TUJUAN
Mencegah dan mengobati komplikasi
KEBIJAKAN Konsensus Tata laksana sindrom nefrotik idiopatik pada anak UKK
nefrologi IDAI 2008
Pedoman Pelayanan Medis IDAI 2010
Buku ajar Nefrologi Anak
PROSEDUR KERJA 1. Dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan Lab Urinalisis,
protein urine kuantitatif 24 jam, DL, Albumin , Kolesterol, BUN, SC.
2. Terapi steroid bila tidak ada kontraindikasi, dengan dosis Prednison 60
mg/m2LPB/hari atau 2 mg/kg BB/hari (max 80 mg/hari) dengan dosis
terbagi (3x/hari) selama 4 minggu, bila terjadi remisi dalam 4 minggu
pertama, dilanjutkan dengan 4 minggu kedua dengan dosis 40 mg/m2
LPB(2/3 dosis awal) atai 1,5 mg/kgbb/hari secara alternating (selang
sehari), 1x sehari setelah makan pagi)
3. Diberikan diet rendah garam(1-2 g/hari) , diet protein sesuai RDA
( recommended daily allowance) yaitu 1,5-2 g/kgbb/hari.
4. Restriksi cairan selama da edema berat
5. Terapi diuretik bila edema berat dan disingkirkan kemungkinan
hipovolumia
6. Terapi dengan ACE Inhibitor / ARB
7. Bila tidak respon terhadap steroid, diberikan obat imunosupresif salah satu
dari : cyclophosphamid, cyclosforin A, atau MMF
8. Terapi albumin bila ada hipovolumia dan hipoalbuminemia berat
UNIT TERKAIT Patologi Klinik
GLOMERULONEFRITIS AKUT PASCA STREPTOKOKUS (GNAPS)

RSUP SANGLAH NOMOR DOKUMEN NO. REVISI : HAL : 1/1


DENPASAR

TANGGAL TERBIT : a.n. Direksi,


DIREKTUR UTAMA,
SPO
PELAYANAN MEDIS

Dr. I Wayan Sutarga, MPHM


NIP. 195409221982031002
Sindrom nefritik akut yang ditandai hematuria, edema, hipertensi dan penurunan fungsi
PENGERTIAN ginjal (azotemia) yang timbul setelah infeksi kuman streptokokus beta hemolitikus grup
A di saluran nafas bagian atas atau di kulit.
Mengobati GNAPS
TUJUAN
Mencegah dan mengobati komplikasi
KEBIJAKAN Pedoman Pelayanan Medis IDAI 2010
Buku ajar Nefrologi Anak
1. Dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan Lab urinalisis, BUN, SC,
PROSEDUR KERJA
ASTO, C3
2. Terapi antibiotika dapat diberikan untuk eradikasi kuman, yaitu amoksisilin 50
mg/kgbb/hari dibagi 3 dosis selama 10 hari
3. Diuretik dapat diberikan untuk mengatasi retensi cairan hipertensi
4. Anti hipertensi bila ada hipertensi
5. Tirah baring diperlukan bila sakit berat, hipertensi maupun edema

UNIT TERKAIT Patologi Klinik


MENINGITIS BAKTERIALIS PADA ANAK

No. Dokumen Revisi Halaman 1/2

RSUP SANGLAH ...............................


DENPASAR
A.n Direksi
STANDAR PROSEDUR Direktur Utama
OPERASIONAL Tanggal Terbit :


dr. I Wayan Sutarga, MPHM
NIP 19540922 198203 1 002

PENGERTIAN Merupakan peradangan pada selaput otak (meningen) yang disebabkan


oleh berbagai bakteri pathogen.

TUJUAN Mengenali meningitis bakterialis pada anak.


Menangani kasus meningitis bakterialis pada anak dengan tepat.

KEBIJAKAN Mendiagnosis dan memberikan terapi meningitis bakteri dengan tepat


dan cepat

PROSEDUR 1. Diagnosis:
a. Pemeriksaan fisik neurologis
b. Pemeriksaan darah lengkap, kadar gula darah, elektrolit, kultur
darah.
c. Lumbal Punksi (LP) : analisis LCS, kultur dan tes sensitivitas
LCS.
d. CT scan untuk melihat komplikasi
2. Tatalaksana
a. Pertahankan jalan nafas adekuat (oksigenasi bila perlu)
b. IVFD Dextrose 10% sesuai dengan kebutuhan maintenance
c. Pemberian dexametason dosis 0,6 mg/kgBB/hari dibagi 4 dosis
sebelum pemberian antibiotika(2 hari pertama saja).
d. Terapi antibiotika empiris (sesuai dengan umur), lama
pengobatan 10-14 hari.
Umur 1-3 bulan :
Ampicillin 200-400 mg/kg BB/hari IV dibagi 4 dosis dan
sefotaxim 200 mg/kg BB/hari IV dibagi 2-3 dosis
Atau Seftriaxon 100 mg/kgBB/ hari IV dibagi 2 dosis.
Umur > 3 bulan
Sefotaxim 200 mg/kg BB/hari IV, dibagi 3-4 dosis
Seftriaxon 100 mg/kg BB/hari IV, dibagi 2 dosis
e. Pemberian manitol bila terjadi penurunan kesadaran yang berat.
Manitol 15-20%; dosis 0,5-2,0 gram/kg BB/kali IV dalam 30-60
menit, dapat diulang setiap 8-12 jam selama 3 hari (tergantung
pada respon penderita.
3. Identifikasi bakteri penyebab melalui kultur LCS ketika pertama
kali di duga/ didiagnosis meningitis bakteri.
4. Pemeriksaan LCS yang kedua dilakukan pada hari ke-3 setelah
mendapat terapi antibiotika untuk mengevaluasi respon bakteri
terhadap terapi antibiotika.
5. Apabila secara klinis tidak terjadi perbaikan, dapat dilakukan
pemeriksaan penunjang CT scan kepala untuk mengidentifikasi
adanya komplikasi berupa hidrosefalus atau ventrikulitis

UNIT TERKAIT Laboratorium


Radiologi
SMF Bedah Saraf
ENSEFALITIS PADA ANAK

No. Dokumen Revisi Halaman 1/2

RSUP SANGLAH ...............................


DENPASAR
A.n Direksi
STANDAR PROSEDUR Direktur Utama
OPERASIONAL Tanggal Terbit :


dr. I Wayan Sutarga, MPHM
NIP 19540922 198203 1 002
PENGERTIAN Infeksi jaringan otak oleh berbagai macam mikroorganisme, khususnya
virus.

TUJUAN 1. Mengenali meningitis bakterialis pada anak.


2. Menangani kasus meningitis bakterialis pada anak dengan tepat.

KEBIJAKAN Mengidentifikasi penyakit ensefalitis pada anak dan memberikan


penanganan yang cepat dan tepat
PROSEDUR 1. Diagnosis:
a. Pemeriksaan fisik neurologis
b. Pemeriksaan darah lengkap, kadar gula darah, elektrolit.
c. Lumbal Punksi (LP) : analisis LCS
d. CT scan kepala.

2. Penanganan fase akut


a. Menjaga agar jalan nafas, pernafasan tetap adekuat (oksigenasi
dengan pemberian O2)
b. IVFD Dextrose 10% (restriksi cairan 25% dari kebutuhan
maintenance)
c. Pemberian manitol 15-20% untuk mengatasi edema serebri,
dosis 0,5-2,0 gram/kg BB/kali IV dalam 30-60 menit, dapat
diulang setiap 8-12 jam selama 3 hari (tergantung pada respon
penderita.
d. Pemberian obat antipiretik (parasetamol) dosis 10 mg/kg BB/kali
setiap 6 jam.
e. Pemberian obat anti kejang sesuai dengan tatalaksana kejang
akut dan status epileptikus.
f. Antibiotika untuk mencegah infeksi sekunder dengan Ampisilin
dosis 50-100 mg/kg BB/hari.
g. Apabila terjadi gangguan keseimbangan elektrolit, dilakukan
koreksi
h. Apabila terjadi hipoglikemia dilakukan koreksi
i. Nutrisi yang adekuat melalui parenteral nutrisi atau per enteral
(sonde nasogastrik)
3. Penanganan fase konvalesen
a. Citicholin dosis 10-15 mg/kg BB/ hari
b. Multivitamin
c. Nutrisi adekuat
d. Rehabilitasi medik

UNIT TERKAIT PICU


Laboratorium
Radiologi
Unit Rehabilitasi Medik
GAGAL NAFAS

NO NO HALAMAN
RSUP SANGLAH DOKUMEN REVISI
DENPASAR

STANDAR TANGGAL DITETAPKAN,


OPERASIONAL TERBIT A.n Direksi
PROSEDUR Direktur Utama

Dr. I Wayan Sutarga, MPHM


NIP : 19540922 198203 1 002
PENGERTIAN : Gagal nafas adalah ketidakmampuan sistem pernafasan untuk mempertahankan
pertukaran gas normal yang dapat terjadi akibat kegagalan paru atau pompa
nafas. Secara klasik, bila PaCO2 lebih dari 50 mmHg dan PaO2 kurang dari 50
mmHg saat bernafas dalam udara ruang.

TUJUAN : Memberikan tindakan medis yang agresif dan mencegah kematian

KEBIJAKAN : Harus dilakukan tindakan medis yang agresif dan dilakukan pengawasan dengan
monitor di unit perawatan intensif pediatrik
PROSEDUR : DIAGNOSIS : ditegakkan secara klinis dan analisis gas darah
TATALAKSANA :
1. Pertahankan jalan nafas terbuka (pasang guedel atau pipa endotrakea
2. Terapi Oksigen (kanul nasal, head box, masker)
3. Bantuan ventilasi (balon resusitasi, ventilator)

UNIT Tergantung pada penyebabnya


TERKAIT :
SYOK

NO NO HALAMAN
DOKUMEN REVISI
RSUP SANGLAH
DENPASAR

STANDAR TANGGAL DITETAPKAN,


OPERASIONAL TERBIT A.n Direksi
PROSEDUR Direktur Utama

Dr. I Wayan Sutarga, MPHM


NIP : 19540922 198203 1 002
PENGERTIAN : Syok adalah sindrom klinis akibat kegagalan sistem sirkulasi dalam
mencukupi kebutuhan nutrien dan oksigen baik dari segi pasokan
maupun utilisasinya untuk metabolisme seluler jaringan tubuh, sehingga
terjadi defisiensi akut oksigen di tingkat seluler. Berdasarkan kegagalan
komponen penunjang sirkulasi, syok dibagi menjadi syok hipovolemik,
syok kardiogenik, dan syok distributif.
TUJUAN : Mengatasi syok dengan optimal dan mencegah komplikasi

KEBIJAKAN : Atasi syok sedini mungkin yaitu saat fase kompensasi dan dilakukan
pengawasan dengan monitor di unit perawatan intensif pediatrik
PROSEDUR : 1. Pertahankan jalan nafas, berikan oksigen dengan FiO2 100%, bila
perlu berikan tunjangan ventilator.
2. Pasang akses vaskular secepatnya
3. Berikan cairan kristaloid 20 ml/kg secepatnya, nilai responnya dan
pasang kateter urin. Penggunaan koloid dalam jumlah yang terukur
dapat dipertimbangkan. Resusitasi dapat diulangi bila syok belum
teratasi, hingga volume intravaskular optimal.
4. Pemberian cairan resusitasi dihentikan bila penambahan volume
tidak lagi mengakibatkan perbaikan hemodinamik, dapat disertai
terdapatnya ronki basah halus tidak nyaring, peningkatan tekanan
vena jugular atau pembesaran hati akut.
5. Periksa dan atasi gangguan metabolik seperti hipoglikemia,
hipokalsemia, dan asidosis
6. Bila syok belum teratasi, berikan dopamine 5-10 g/kg/menit atau
dobutamine 5-20 g/kg/menit.
7. Bila syok masih belum teratasi, berikan epinefrine 0,05-2
g/kg/menit bila akral dingin (vasokonstriksi) atau norepinefrine
0,05-2 g/kg/menit bila akral hangat (vasodilatasi). Pada syok
kardiogenik dengan resistensi vaskular tinggi, dapat
dipertimbangkan milrinone dengan dosis 50 g/kg bolus dalam 10
menit selanjutnya 0,25-0,75 g/kg/menit (maksimum 1,13
g/kg/hari).
8. Bila syok masih juga belum teratasi, pertimbangkan pemberian
hidrokortison 2 mg/kg atau metilprednisolon 1,3 mg/kg.
9. Bila kadar hematrokit < 30% dapat dilakukan tranfusi PRC
10. Disertai upaya menurunkan konsumsi oksigen

UNIT TERKAIT : Tergantung penyebabnya


HIPOGLIKEMIA

No. Dokumen Revisi Halaman 1/2


RSUP SANGLAH
DENPASAR ...............................
A.n Direksi
STANDAR PROSEDUR Direktur Utama
OPERASIONAL Tanggal Terbit :
PERINATOLOGI

dr. I Wayan Sutarga, MPHM
NIP 19540922 198203 1 002

PENGERTIAN Hipoglikemia adalah kondisi bayi dengan kadar glukosa darah <45
mg/dL (2,6 mmol/L) baik yang memberikan gejala maupun tidak.
Keadaan hipoglikemia dapat sangat berbahaya terutama bila kadar
glukosa <25 mg/dL (1,4 mmol/L).
TUJUAN 1. Mengenali hipoglikemia sebagai salah satu indikator yang penting
untuk stres dan penyakit pada neonatus.
2. Menangani kasus hipoglikemi pada neonatus

KEBIJAKAN Mengidentifikasi neonatus yang berisiko mengalami hipoglikemia


seperti:
Bayi Kurang Bulan
Bayi KMK
Bayi dari ibu DM
Bayi BMK
Bayi sakit
PROSEDUR Tata laksana
1. Periksa kadar glukosa darah dalam usia 1-2 jam untuk bayi yang
mempunyai faktor risiko hipoglikemia dan pemberian minum
diberikan setiap 2-3 jam.
2. Pemberian ASI. Apabila bayi dengan ASI memiliki kadar glukosa
rendah tetapi kadar benda keton tinggi, sebaiknya dapat dikombinasi
dengan susu formula
3. Tata laksana hipoglikemia dapat diberikan sesuai dengan algoritma
berikut :
a. * Hitung Glucose Infusion Rate (GIR) :
6-8 mg/kgBB/menit untuk mencapai gula darah maksimal, dapat
dinaikkan 2 mg/kgBB/menit sampai maksimal 10-12
mg/kgBB/menit.
b. * Bila dibutuhkan >12 mg/kgBB/menit, pertimbangkan obat-
obatan : glukagon, kortikosteroid, diazoxide dan konsultasi ke bg
endokrin anak.
c. ** Bila ditemukan hasil GD 36-<47 mg/dL 2 kali berturut-turut
Berikan infus Dekstrosa 10%, sebagai tambahan asupan per
oral
d. *** Bila 2 x pemeriksaan berturut-turut GD >47 mg/dL setelah
24 jam terapi infus glukosa
Infus dapat diturunkan bertahap 2 mg/kg/menit setiap 6 jam
Periksa GD setiap 6 jam
Asupan per oral ditingkatkan
Terapi darurat
Pemberian segera bolus dekstrosa 10% = 2 cc/kg dan
diberikan melalui IV selama 5 menit dan diulang sesuai
keperluan.

Terapi lanjutan
Infus glukosa 6-8 mg/kg/menit
Kecepatan Infus Glukosa (GIR) dihitung menurut formula berikut :
GIR (mg/kg/min) = Kecepatan cairan (ml/kg/hari) x konsentrasi Dextrose (%)
6 x BB
Periksa ulang kadar glukosa setelah 20-30 menit dan setiap jam
sampai stabil.
Ketika pemberian minum telah dapat ditoleransi dan nilai
pemantauan glukosa bed side sudah normal maka infus dapat
diturunkan secara bertahap. Tindakan ini mungkin memerlukan
waktu 24-48 jam atau lebih untuk menghindari kambuhnya
hipoglikemia.
UNIT TERKAIT Sub divisi Endokrin
TETANUS NEONATORUM

No. Dokumen Revisi Halaman 1/2


RSUP SANGLAH
DENPASAR ...............................
A.n Direksi
STANDAR PROSEDUR Direktur Utama
OPERASIONAL Tanggal Terbit :
PERINATOLOGI

dr. I Wayan Sutarga, MPHM
NIP 19540922 198203 1 002

PENGERTIAN Adalah penyakit dengan tanda utama kekakuan otot (spasme) tanpa
disertai gangguan kesadaran yang disebabkan oleh clostridium tetanus
yang terjadi pada neonatus (0-28 hari)

TUJUAN 1. Untuk mengenal secara dini tetanus neonatorum


2. Penatalaksanaan secara tepat tetanus neonatorum

KEBIJAKAN 1. Mencegah terjadinya tetanus neonatorum dengan melakukan


persalinan 3 bersih yaitu : bersih tempat bersalin, bersih penolong,
dan bersih alat pemotong tali pusat.
2. Tata laksana yang tepat pada tetanus neonatorum

PROSEDUR Medikamentosa
1. Pasang jalur IV dan beri cairan dengan dosis rumatan.
2. Berikan diazepam 10 mg/kg/hari secara IV dalam 24 jam atau
dengan bolus IV setiap 3-6 jam (dengan dosis 0,1-0,2 mg/kg per
kali pemberian), maksimum 40 mg/kg/hari.
Bila jalur IV tidak terpasang, pasang pipa lambung dan berikan
diazepam melalui pipa atau melalui rektum (dosis sama dengan
IV?).
Bila perlu, beri tambahan dosis 10 mg/kg tiap 6 jam.
Bila frekuensi napas kurang dari 30 kali/menit dan tidak
tersedia fasilitas tunjangan napas dengan ventilator, obat
dihentikan meskipun bayi masih mengalami spasme.
Bila bayi mengalami henti napas selama spasme atau sianosis
sentral setelah spasme, berikan oksigen dengan kecepatan
aliran sedang, bila belum bernapas lakukan resusitasi, bila tidak
berhasil dirujuk ke rumah sakit yang mempunyai fasilitas
NICU.
Setelah 5-7 hari, dosis diazepam dapat dikurangi secara
bertahap 5-10 mg/hari dan diberikan melalui rute orogastrik.
Pada kondisi tertentu, mungkin diperlukan vencuronium
dengan ventilasi mekanik untuk mengontrol spasme.
3. Berikan bayi :
Human tetanus immunoglobulin 500 U IM atau antitoksin
tetanus (equine serum) 5000 U IM. Pada pemberian antitoksin
tetanus, sebelumnya dilakukan tes kulit Tetanus toksoid 0,5 mL
IM pada tempat yang berbeda dengan pemberian antitoksin.
Pada hari yang sama? (Di literatur, imunisasi aktif dengan
tetanus toksoid mungkin perlu ditunda hingga 4-6 minggu
setelah pemberian tetanus imunoglobulin)
Lini I : Metronidazol 30 mg/kg/hari dengan interval setiap
enam jam (oral/parenteral) selama 7-10 hari atau lini 2 :
Penisilin procain 100.000 U/kg IV dosis tunggal selama 7-10
hari. Jika hipersensitif terhadap penisilin, berikan tetrasiklin 50
mg/kg/hr (utk anak > 8 th). Jika terdapat
sepsis/brokopneuminia, berikan antibiotik yang sesuai.
Bila terjadi kemerahan dan/atau pembengkakan pada kulit
sekitar pangkal tali pusat, atau keluar nanah dari permukaan tali
pusat, atau bau busuk dari area tali pusat, berikan pengobatan
untuk infeksi lokal tali pusat
4. Berikan ibunya imunisasi tetanus toksoid 0,5 mL (untuk
melindungi ibu dan bayi yang dikandung berikutnya) dan minta
datang kembali satu bulan kemudian untuk pemberian dosis kedua.

Suportif
Bila terjadi kekauan atau spastisitas yang menetap, terapi suportif
berupa fisioterapi.

Lain-lain (rujukan subspesialis, rujukan spesialisasi lainnya, dll)


1. Bila terjadi spasme berulang dan atau gagal naps dirujuk ke Rumah
Sakit yang mempunyai fasilitas NICU.
2. Bila diperlukan konsultasi ke Divisi Neurologi Anak dan Bagian
Rehabilitasi Medik.

UNIT TERKAIT

SEPSIS NEONATAL
No. Dokumen Revisi Halaman 1/3
RSUP SANGLAH
DENPASAR ...............................
A.n Direksi
STANDAR PROSEDUR Direktur Utama
OPERASIONAL Tanggal Terbit :
PERINATOLOGI

dr. I Wayan Sutarga, MPHM
NIP 19540922 198203 1 002

PENGERTIAN Sepsis neonatal merupakan sindrom klinis penyakit sistemik akibat


infeksi yang terjadi dalm satu bulan pertama kehidupan. Bakteri, virus,
jamur dan protozoa dapat menyebabkan sepsis pada neonatus.
Sepsis dibedakan menjaadi :
Early onset sepsis (EOS), timbul dalam 3 hari pertama, berupa
gangguan multisistem dengan gejala pernapasan yang menonjol;
ditandai dengan awitan tiba-tiba dan cepat berkembang menjadi
syok sepstik dengan mortalitas tinggi.
Late onset sepsis (LOS), timbul setelah unur 3 hari, lebih sering
di atas 1 minggu. Pada sepsis awitan lambat, biasanya ditemukan
fokus infeksi dan sering disertai dengan meningitis.
Sepsis nosokomial, ditemukan pada bayi risiko tinggi yang
dirawat, berhubungan dengan monitor invasif dan berbagai
teknik yang digunakan di ruang rawat intensif.
TUJUAN 1. Memahami sepsis neonatorum penyebab utama kesakitan dan
kematian bayi di Indonesia
2. Tata laksana yang tepat pada sepsis neonatorum

KEBIJAKAN 1. Mengenali bayi yang memiliki risiko lebih besar terkena sepsis
2. Anamnesis identifikasi faktor risiko dan gejala sepsis
3. Pemeriksaan fisik mengenali berbagai tanda sepsis.
4. Menduga bakteri patogen penyebab sepsis
5. Menggunakan uji laboratorium yang tepat diagnosis sepsis,
memanfaatkan pemeriksaan kultur identifikasi organisme yang
dicurigai
Memutuskan perawatan spesifik yang sesuai dan mendukung.

PROSEDUR Kecurigaan besar sepsis


1. Antibiotik
Antibiotik awal diberikan ampisilin dan gentamisin. Bila organisme
tidak dapat ditemukan dan bayi tetap menunjukkan tanda infeksi
sesudah 48 jam, ganti ampisilin dan beri ceftazidime, sedangkan
gentamisin tetap dilanjutkan. Pada sepsis nosokomial, pemberian
antibiotik disesuaikan dengan pola kuman setempat. Jika disertai
dengan meningitis, terapi antibiotik diberikan dengan dosis
meningitis selama 14 hari untuk kuman Gram positif dan 21 hari
untuk kuman Gram negatif. Lanjutan terapi dilakukan berdasarkan
hasil kultur dan sensitivitas, gejala klinis, dan pemeriksaan
laboratorium serial (misalnya CRP)
2. Respirasi
Menjaga potensi jalan napas dan pemberian oksigen untuk
mencegah hipoksia. Pada kasus tertentu mungkin dibutuhkan
ventilator mekanik.

3. Kardiovaskuler
Pasang jalur IV dan beri cairan dengan dosis rumatan serta lakukan
pemantauan tekanan darah (bila tersedia fasilitas) dan perfusi
jaringan untuk mendeteksi dini adanya syok. Pada gangguan perfusi
dapat diberikan volume ekspander (NaCl fisiologis, darah atau
albumin, tergantung kebutuhan) sebanyak 10 ml/kgBB dalam
waktu setengah jam, dapat diulang 1-2 kali. Jangan lupa untuk
melakukan monitor keseimbangan cairan. Pada beberapa keadaan
mungkin diperlukan obat-obat inotropik seperti dopamin atau
dobutamin.
4. Hematologi
Transfusi komponen jika diperlukan, atasi kelainan yang mendasari.
5. Tunjangan nutrisi adekuat
6. Manajemen khusus
Pengobatan terhadap tanda khusus lain atau penyakit penyerta
serta komplikasi yang terjadi (misal : kejang, gangguan
metabolik, hematologi, respirasi, gastrointestinal,
kardiorespirasi, hiperbbilirubin)
Pada kasus tertentu dibutuhkan imunoterapi dengan pemberian
imunoglobulin, antibodi monoklonal atau transfusi tukar (bila
fasilitas memungkinkan)
Transfusi tukar diberikan jika tidak terdapat perbaikan klinis dan
laboratorium setelah pemberian antibiotik adekuat.
Faktor risiko sepsis neonatorum
Faktor risiko mayor
Ketuban pecah > 24 jam
Ibu demam saat intrapartum suhu > 38 C
Korioamnionitis
Denyut jantung janin menetap > 160x/menit
Ketuban berbau
Faktor risiko minor
Ketuban pecah > 12 jam
Ibu demam saat intrapartum suhu > 37,5 C
Nilai Apgar rendah ( menit ke-1 < 5 , menit ke-5 < 7 )
Bayi berat lahir sangat rendah ( BBLSR ) < 1500 gram
Usia gestasi < 37 minggu
Kehamilan ganda
Keputihan yang tidak diobati*
Infeksi Saluran Kemih (ISK) / tersangka ISK yang tidak diobati

Manifestasi klinis sepsis neonatorum


SSP Letargi, reflex hisap buruk, limp, tidak dapat dibangunkan
pitch cry, iritabel, kejang
Kardiovaskuler Pucat, sianosis, dingin, clummy skin, denyut jantung 18
pengisian kembali kapiler > 3 detik
Respiratorik Takipnu, apnu, merintih, retraksi, desaturasi oksigen
Saluran pencernaan Muntah, diare, distensi abdomen
Hematologik Perdarahan, ikterus patologis
Kulit Ruam, purpura, pustula, iritabilitas suhu
Metabolik Intoleransi glukosa

UNIT TERKAIT
BAYI BERAT LAHIR RENDAH

No. Dokumen Revisi Halaman 1/2


RSUP SANGLAH
DENPASAR ...............................
A.n Direksi
STANDAR PROSEDUR Direktur Utama
OPERASIONAL Tanggal Terbit :
PERINATOLOGI

dr. I Wayan Sutarga, MPHM
NIP 19540922 198203 1 002

PENGERTIAN Bayi berat lahir rendah (BBLR) adalah bayi dengan berat lahir kurang
dari 2500 gram tanpa memandang usia gestasi. Berat lahir adalah berat
bayi yang ditimbang dalam 1 jam setelah lahir. BBLR dapat terjadi pada
bayi kurang bulan (<37 minggu) atau pada bayi cukup bulan
(intrauterine growth restriction/IUGR).
TUJUAN 1. Mengantisipasi dan menangani masalah selama persalinan dan
kelahiran BBLR
2. Mengidentifikasi masalah BBLR
3. Tata laksana BBLR dan mengatasi komplikasinya

KEBIJAKAN 1. Pemantauan persalinan BBLR


2. Perawatan BBLR dengan metode yang tepat
3. Memantau komplikasi
PROSEDUR 1. Tata laksana BBLR di ruang persalinan (mengatasi asfiksia)
2. Perawatan pasca persalinan meliputi :
a. Pemberian vitamin K1
Injeksi 1 mg IM sekali pemberian; atau
Per oral 2 mg 3 kali pemberian (saat lahir; umur 3-10 hari,
dan umur 4-6 minggu)
b. Mempertahankan suhu tubuh normal
Gunakan salah satu cara menghangatkan dan
mempertahankan suhu tubuh bayi, seperti kontak kulit ke
kulit, kangaroo mother care, pemancar panas, inkubator,
atau ruangan hangat yang tersedia di fasilitas kesehatan
setempat sesuai petunjuk.
Jangan memandikan atau menyentuh bayi dengan tangan
dingin
Ukur suhu tubuh
c. Pemberian minum
ASI merupakan pilihan utama
Apabila bayi mendapat ASI, pastikan bayi menerima
jumlah yang cukup dengan cara apapun, perhatikan cara
pemberian ASI dan nilai kemampuan bayi menghisap
paling kurang sehari sekali.
Apabila bayi sudah tidak mendapatkan cairan IV dan
beratnya naik 20 g/hari selama 3 hari berturut-turut,
timbang bayi 2 kali seminggu.Pemberian minum minimal
8x/hari. Apabila bayi masih menginginkan dapat diberikan
lagi (ad libitum)
Indikasi nutrisi parenteral yaitu status kardiovaskuler dan
respirasi yang tidak stabil, fungsi usus belum
berfungsi/terdapat anomali mayor saluran cerna, NEC,
IUGR berat, dan berat lahir < 1000 g.
Pada bayi sakit, pemberian minum tidak perlu dengan
segera ditingkatkan selama tidak ditemukan tanda dehidrasi
dan kadar natrium serta glukosa normal

Panduan pemberian minum berdasarkan BB :


Berat lahir < 1000 g
Minum melalui pipa lambung
Pemberian minum awal : 10 mL/kg/hari
Asi perah/term formula/half-strength preterm formula
Selanjutnya minum ditingkatkan jika memberikan toleransi
yang baik : tambahan 0.5-1 mL, interval 1 jam, setiap 24
jam
Setelah 2 minggu : Asi perah + HMF (Human Milk
Fortifier)/Full-strength preterm formula sampai berat badan
mencapai 2000 g.
Berat lahir 1000-1500 g
Pemberian minum melalui pipa lambung (gavage feeding)
Pemberian minum awal : 10 mL/kg/hari
ASI PERAH/term formula/half-strength preterm formula
Selanjutnya minum ditingkatkan jika memberikan toleransi
yang baik : tambahan 1-2 ml, interval 2 jam, setiap 24 jam
Setelah 2 minggu : Asi perah + HMF (human milk
fortifier)/full-strength preterm formula sampai berat badan
mencapai 2000 g
Berat lahr 1500-2000 g
Pemberian minum melalui pipa lambung (gavage feeding)
Pemberian minum awal : 10 ml/kg/hari
ASI PERAH/term formula/half-strength preterm formula
Selanjutnya minum ditingkatkan jika memberikan toleransi
yang baik : tambahan 2-4 ml, interval 3 jam, setiap 12-24
jam
Setelah 2 minggu : ASI PERAH + HMF/full-strength
preterm formula sampai berat badan mencapai 2000 g.
Berat lahir 2000-2500 g
Apabila mampu sebaiknya diberikan minum per oral
ASI PERAH/term formula

UNIT TERKAIT
ASFIKSIA DAN RESUSITASI BAYI BARU LAHIR

No. Dokumen Revisi Halaman 1/2


RSUP SANGLAH
DENPASAR ...............................
Ditetapkan oleh :
STANDAR PROSEDUR A.n Direksi
OPERASIONAL Tanggal Terbit : Direktur Utama
PERINATOLOGI

dr. I Wayan Sutarga, MPHM


NIP 19540922 198203 1 002

PENGERTIAN Adalah suatu keadaan dimana bayi baru lahir yang tidak bernafas secara
spontan, teratur dan adekuat.

TUJUAN 1. Mampu mengidentifikasi bayi dengan risiko asfiksia.


2. Mampu melakukan resusitasi pada bayi baru lahir dengan asfiksia.
KEBIJAKAN 1. Mengenal faktor risiko bayi asfiksia.
2. Melakukan pertolongan bayi dengan asfiksia di kamar bersalin.
PROSEDUR

Obat-obatan :
1. Epinefrin
Indikasi : Setelah VTP 30 detik dan VTP + kompresi dada
selama 30 detik FJ tetap < 60 kali/menit.
Persiapan : 1 ml cairan 1:10.000
Dosis IV : 0,1-0,3 mL/kgBB larutan 1:10.000
ET : 0,3-1,0 mL/kgBB larutan 1:10.000
Kecepatan pemberian : secepat mungkin.
2. Cairan penambah volume darah
Indikasi : Bila bayi pucat, kehilangan darah & / tidak
memberikan respons yang memuaskan terhadap resusitasi.
Cairan yang dipakai:
o Garam fisiologis (dianjurkan).
o Ringer laktat.
o Darah O negatif.
Dosis : 10 mL/kgBB.
Jalur : vena umbilikalis.
Kecepatan : 5-10 menit.
3. Natrium bikarbonat
Indikasi : Bila dicurigai terjadi asidosis metabolik atau terbukti
terjadi asidosis metabolik.
Dosis : 2 mEq/kgBB (larutan 4,2 %).
Jalur : vena umbilikalis.
Kecepatan : 1 mEq/kgBB/menit.
Perhatian : Jangan diberikan bila ventilasi belum adekuat.

Penghentian resusitasi
1. Dipertimbangkan setelah 10 menit upaya resusitasi adekuat
tidak didapatkan tanda-tanda kehidupan (TAK ADA DENYUT
JANTUNG & USAHA NAPAS).
2. Orang tua perlu dilibatkan dalam pengambilan keputusan.

UNIT TERKAIT
APNEA PADA BAYI PREMATUR

No. Dokumen Revisi Halaman 1/1


RSUP SANGLAH
DENPASAR ...............................
A.n Direksi
STANDAR PROSEDUR Direktur Utama
OPERASIONAL Tanggal Terbit :
PERINATOLOGI

dr. I Wayan Sutarga, MPHM
NIP 19540922 198203 1 002

PENGERTIAN Bayi tidak bernafas 20 detik atau diikuti oleh bradikardia (denyut
jantung < 100 x/menit) dan / atau sianosis (saturasi oksigen < 80%).

TUJUAN Tata laksana dini bayi prematur yang mengalami apnea.

KEBIJAKAN 1. Identifikasi bayi yang berisiko mengalami apnea.


2. Memberikan terapi suportif dan kausal pada apnea of prematurity.

PROSEDUR 1. Terapi kausal


a. Non farmakologi
Prone posisi
Stimulasi taktil
Peningkatan FiO2
CPAP melalui: nasal prong, nasofaringeal tube, face mask
Ventilator

b. Farmakologi
Obat golongan metil xanthin, diberikan sampai umur kehamilan
37 minggu atau jika bebas apnea selama 7 hari.
Aminofilin loading dose : 6 mg/kgBB, dilanjutkan dengan
dosis pemeliharaan diberikan 24 jam setelah loading dose
untuk bayi dengan BB < 1 kg, atau 12 jam setelah loading
dose untuk bayi BB > 1 kg.

Dosis pemeliharaan:
minggu 1 : 2,5 mg/kgBB/dosis setiap 12 jam.
minggu 2 : 3 mg/kgBB/dosis, setiap 12 jam.
minggu 2 : 4 mg/kg BB/dosis, setiap 12 jam.
Dilarutkan menjadi 5 mg/ml, diberikan dalam waktu lebih
dari 20 menit secara IV.

Monitor
Semua bayi kurang bulan dan neonatus dengan riwayat apnea /
bradikardia seharusnya diawasi selama minimal 7 hari setelah kejadian
apnea.

2. Antibiotika (ampisilin dan gentamisin di stop sampai terbukti


tidak ada infeksi berdasarkan kultur darah)
3. Terapi suportif (oksigen, nutrisi dan elektrolit)

UNIT TERKAIT
PENYAKIT MEMBRAN HIALIN (PMH)

NO DOKUMEN NO REVISI HALAMAN



RSUP SANGLAH
DENPASAR

STANDAR OPERASIONAL TANGGAL DITETAPKAN,


PROSEDUR TERBIT A.n Direksi
Direktur Utama

Dr. I Wayan Sutarga, MPHM


NIP : 19540922 198203 1 002
PENGERTIAN : Suatu penyakit distres pernafasan yang biasanya terjadi pada bayi
kurang bulan yang terjadi segera atau beberapa saat setelah lahir
yang menetap atau menjadi progresif dalam 48-96 jam pertama
kehidupan.

TUJUAN : Tata laksana yang tepat pada bayi dengan PMH

KEBIJAKAN : 1. Mengenal dan mengidentifikasi bayi yang berisiko mengalami


PMH.
2. Tata laksana PMH baik di kamar bersalin maupun di ruang
perawatan intensif (NICU).

PROSEDUR : 1. Terapi kausal dengan surfaktan.

Dosis yang direkomendasikan untuk penggunaan surfaktan eksogen


Produk Dosis Dosis tambahan
Mungkin dapat diulang setiap
3 mL/kg BB lahir
12 jam sampai dosis 3 kali
Calfactant diberikan dalam
berturut-turut dengan interval
2 aliquot
12 jam bila ada indikasi
Mungkin dapat diulang
4 mL/kg BB lahir
minimal setelah 6 jam, sampai
Beractant diberikan dalam
jumlah total 4 dosis dalam
4 dosis
waktu 48 jam setelah lahir
5 mL/kg BB lahir Mungkin dapat diulang setelah
Colfosceril diberikan dalam 12 jam dan 24 jam bila ada
waktu 4 menit indikasi
Dua dosis berturutan 1.25
2.5 mL/kg BB
mL/kg, dosis diberikan dengan
Porcine lahir diberikan
interval 12 jam bila ada
dalam 2 aliquots
indikasi
2. Antibiotika : Ampisilin + gentamisin di stop sampai terbukti
tidak ada infeksi berdasarkan kultur darah.
Ampisilin :
Umur 0-7 hari: 100 mg/kgBB/hari, IV, IM dibagi 2 dosis.
Umur > 7 hari: 100 mg/kg BB/hari, IV, IM dibagi 3-4 dosis.
Gentamisin :
Dosis 2,5 mg/kgBB/dosis, IV, IM, diberikan:
Umur < 7 hari:
umur kehamilan < 28 minggu diberikan setiap 36 jam
umur kehamilan 28 32 minggu diberikan setiap 24
jam
umur > 32 minggu diberikan setiap 18 jam
Umur > 7 hari
umur kehamilan < 28 minggu, diberikan setiap 24 jam
umur 28-32 minggu diberikan setiap 18 jam
umur kehamilan > 32 minggu diberikan setiap 12 jam
cukup bulan diberikan setiap 8 jam
3. Terapi suportif (oksigen, lingkungan (suhu netral), nutrisi dan
elektrolit).

UNIT TERKAIT :
PNEMONIA NEONATAL

No. Dokumen Revisi Halaman 1/1

RSUP SANGLAH ...............................


DENPASAR
A.n Direksi
STANDAR Direktur Utama
PROSEDUR Tanggal Terbit :
OPERASIONAL
PERINATOLOGI
dr. I Wayan Sutarga, MPHM
NIP 19540922 198203 1 002

PENGERTIAN Suatu infeksi paru yang terjadi perinatal / pasca natal, dikelompokkan
menjadi:
1. Kongenital pnemonia.
2. Post amnionitis pnemonia.
3. Transnatal pnemonia.
4. Nosokomial pnemonia.

TUJUAN Mengenal, mengidentifikasi dan tata laksana pneumoni pada neonatus.

KEBIJAKAN 1. Identifikasi bayi berisiko mengalami pneumonia.


2. Tata laksana yang tepat kasus pneumonia neonatal.
PROSEDUR 1. Terapi kausal.
2. Antibiotika
Sebelum hasil kultur ada : Ampisilin + Gentamisin di stop sampai
terbukti tidak ada infeksi berdasarkan kultur darah.
Ampisilin:
Umur 0-7 hari: 100 mg/kgBB/hari, IV, IM dibagi 2 dosis.
Umur > 7 hari: 100 mg/kg BB/hari, IV, IM dibagi 3-4 dosis.
Gentamisin :
Dosis 2,5 mg/kgBB/dosis, IV, IM, diberikan:
Umur < 7 hari:
umur kehamilan < 28 minggu diberikan setiap 36 jam.
umur kehamilan 28 32 minggu, diberikan setiap 24 jam.
umur > 32 minggu diberikan setiap 18 jam.
Umur > 7 hari
umur kehamilan < 28 minggu, diberikan setiap 24 jam.
umur 28-32 minggu diberikan setiap 18 jam.
umur kehamilan > 32 minggu diberikan setiap 12 jam.
cukup bulan diberikan setiap 8 jam.
Setelah ada kultur sesuaikan dengan resistensi dan sensitivitasnya.
3. Terapi suportif (oksigen, nutrisi dan elektrolit)
UNIT TERKAIT
PERDARAHAN PADA BAYI BARU LAHIR (HDN)

No. Dokumen Revisi Halaman 1/1

RSUP SANGLAH ...............................


DENPASAR
A.n Direksi
STANDAR PROSEDUR Direktur Utama
OPERASIONAL Tanggal Terbit :
PERINATOLOGI

dr. I Wayan Sutarga, MPHM
NIP 19540922 198203 1 002

PENGERTIAN Suatu perdarahan akibat dari kekurangan vitamin K atau menurunnya


faktor koagulasi yang berhubungan dengan vitamin K.

Klasifikasi :
1. HDN dini Terjadi dalam 24 jam pertama kehidupan.
2. HDN klasik Terjadi antara hari 1-7
3. HDN lanjut Terjadi setelah 1 minggu (biasanya 4-12 minggu).

TUJUAN Mengenal, mengidentifikasi dan tata laksana perdarahan pada neonatus.

KEBIJAKAN 1. Identifikasi bayi berisiko mengalami perdarahan.


2. Tata laksana yang tepat kasus perdarahan pada neonatus.
PROSEDUR 1. Terapi suportif
2. Terapi kausal
Vitamin K 1 mg IM.
Bila perdarahan aktif dapat diberikan FFP 10 mg/kg BB.

UNIT TERKAIT Sub divisi hematologi


ANEMIA NEONATUS

No. Dokumen Revisi Halaman 1/1

RSUP SANGLAH ...............................


DENPASAR
A.n Direksi
STANDAR PROSEDUR Direktur Utama
OPERASIONAL Tanggal Terbit :
PERINATOLOGI

dr. I Wayan Sutarga, MPHM
NIP 19540922 198203 1 002

PENGERTIAN Keadaan konsentrasi hemoglobin di bawah rentang normal yang sesuai


dengan umur dan jenis kelamin.

TUJUAN Mengenal, mengidentifikasi dan tata laksana anemia pada neonatus


KEBIJAKAN 1. Identifikasi bayi berisiko mengalami anemia
2. Tata laksana yang tepat kasus anemia pada neonatus
PROSEDUR 1. Terapi suportif
2. Terapi kausal
a. Hematokrit 0,20 ( 20%) atau hemoglobin 7 g/dL ( 4,34
mmol/L) dan hitung retikulosit < 4% (atau hitung retikulosit absolut
< 100.000/moL).
b. Hematokrit 0,25 (25%) atau hemoglobin 8 g/dL ( 4,96
mmol/L) dan diikuti dengan salah satu keadaan sebagai berikut :
Apneu atau bradikardi 10 kali dalam 24 jam atau 2 kali
dengan sungkup.
Takikardi > 180 kali/menit atau takipnu > 80 kali/menit yang
menetap, minimal dalam 24 jam dengan 3 kali pengukuran.
Peningkatan berat badan yang kurang adekuat selama 4 hari (
10 gram/hari atau 420 kj/kg per hari).
Sindrom gawat napas sedang dengan FiO2 0,25-0,35 atau dengan
nasal kanul 1/8-1/4 liter/menit atau Intermitten Mandatory
Ventilation (IMV) atau NCPAP dengan Paw < 6 cm H2O.
3. Hematokrit 0,30 ( 30%) atau hemoglobin 10 gram/dL ( 6,2
mmol/L) dengan sindrom gawat napas sedang + FiO2 > 35 atau nasal
kamul O2 atau IMV dengan Paw 6-8 cm H2O.
4. Hematokrit 0,35 ( 35 %) atau hemoglobin 12 g/dL ( 7,44 mmol/L)
dengan sindrom gawat napas berat yang membutuhkan ventilator dan
Paw > 8 cm H2O dan FiO2 > 0,5 atau penyakit jantung konginetal berat
yang berhubungan dengan sianosis atau gagal jantung.
5. Kehilangan darah akut disertai dengan syok : penggantian darah untuk
menjaga keadekuatan volume darah dan hematokrit mencapai 0,40
(40%).
6. Tidak diindikasikan melakukan transfusi hanya untuk mengganti darah
dari hasil laboratorium atau rendahnya hematokrit tanpa menemui salah
satu kriteria di atas.

UNIT TERKAIT Sub divisi Hematologi


PMI
KEJANG PADA NEONATUS

No. Dokumen Revisi Halaman 1/1

RSUP SANGLAH ...............................


DENPASAR
A.n Direksi
STANDAR Direktur Utama
PROSEDUR Tanggal Terbit :
OPERASIONAL
PERINATOLOGI
dr. I Wayan Sutarga, MPHM
NIP 19540922 198203 1 002

PENGERTIAN Serangan kejang yang terjadi pada masa neonatus (sampai dengan umur 1
bulan)

TUJUAN Mengenal, mengidentifikasi dan tata laksana kejang pada neonatus.

KEBIJAKAN 1. Identifikasi bayi berisiko mengalami kejang.


2. Tata laksana yang tepat kasus kejang pada neonatus.

PROSEDUR 1. Terapi kausal


a. Fenobarbital
Dosis awal (loading dose) 20-40 mg mg/kgBB intravena
deiberikan mulai dengan 20 mg/kgBB selama 5-10 menit.
Pantau depresi pernapasan dan tekanan darah.
Dosis rumatan : 3-5 mg/kgBB dibagi dalam 2 dosis.
Kadar terapeutik dalam darah diukur 1 jam setelah pemberian
intravena atau 2-4 jam setelah pemberian per oral dengan kadar
15-45 ugm/mL.
b. Fenitoin (Dilantin) : biasanya diberikan hanya apabila bayi tidak
memberi respons yang adekuat terhadap pemberian fenobarbital.
Dosis awal (loading dose) untuk status epileptikus 15-20
mg/kgBB intravena pelan-pelan.
Karena efek alami obat yang iritatip maka beri pembilas larutan
garam fisiologis sebelum dan sesudah pemberian obat.
Pengawasan terhadap gejala bradikardia, aritmia dan hipotensi
selama pemberian ingus.
Dosis rumat hanya dengan jalur intra vena (karena pemberian
oral tidak efektip) 5-8 mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 atau 3
dosis.
Kadar terapeutik dalam darah (Fenitoin bebas dan terikat) 12-20
mg/L atau 1-2 mg/L (hanya untuk Fenitoin bebas).
c. Lorazepam (Ativan TM) : biasanya diberikan pada BBL yang tidak
memberi respons terhadap pemberian fenobarbital dan fenitoin
secara berurutan
Dosis efektip : 0.05-0.10 mg/kgBB diberikan intravena dimulai
dengan 0.05 mg/kgBB pelan-pelan dalam beberapa menit
Obat ini akan masuk ke dalam otak dengan cepat dan
membentuk efek antikonvulsan yang nyata dalam waktu kurang
5 menit.
Pengawasan terhadap depresi pernapasan dan hipotensi.
2. Antibiotik (ampisilin dan gentamisin di stop sampai kultur darah
negatif.
3. Terapi suportif
a. Pemantauan ketat : Pasang monitor jantung dan pernapasan serta
pulse oxymeter.
b. Pasang jalur intra vena, berikan infus dekstrose.
c. Beri bantuan respirasi dan terapi oksigen bila diperlukan.
d. Koreksi gangguan metabolik dengan tepat.

UNIT TERKAIT Sub divisi Neurologi


Bagian Radiologi
HIPOTERMIA

No. Dokumen Revisi Halaman 1/1

RSUP SANGLAH ...............................


DENPASAR
A.n Direksi
STANDAR Direktur Utama
PROSEDUR Tanggal Terbit :
OPERASIONAL
PERINATOLOGI
dr. I Wayan Sutarga, MPHM
NIP 19540922 198203 1 002

PENGERTIAN Suatu keadaan dimana suhu tubuh < 36.5oC (diukur suhu axilla).

TUJUAN Mengenal, mengidentifikasi dan tata laksana hipotermi pada neonatus.

KEBIJAKAN 1. Identifikasi bayi berisiko mengalami hipotermi.


2. Tata laksana yang tepat kasus hipotermi pada neonatus.

PROSEDUR Pencegahan dan penanganan :


1. Bayi baru lahir segera dikeringkan dan diselimuti pakai selimut
hangat.
2. Pemeriksaan bayi dilakukan di bawah radiant heater.
3. Penggunaan tutup kepala / topi.
4. Menghangatkan bayi (rewarming)
Suhu inkubator dinaikkan 1oC, setiap jam (kecuali pada bayi BBL
< 1200 gr atau usia gestasi < 28 minggu atau suhu tubuh < 32 o C
suhu dinaikkan dengan kecepatan 0,5oC/jam).
Terapi suportif (oksigen, nutrisi dan electrolit)
Antibiotika (ampisilin + gentamisin) dihentikan sampai hasil kultur
darah negatif/tidak terbukti sepsis)

UNIT TERKAIT
PENAPISAN ROP
(RETINOPATHY OF PREMATURITY)

No. Dokumen Revisi Halaman 1/2


RSUP SANGLAH
DENPASAR ...............................
A.n Direksi
STANDAR Direktur Utama
PROSEDUR Tanggal Terbit :
OPERASIONAL
PERINATOLOGI
dr. I Wayan Sutarga, MPHM
NIP 19540922 198203 1 002

PENGERTIAN Suatu usaha untuk melakukan screening / penapisan kejadian retinopathy


pada bayi prematur.

TUJUAN Mengenal, mengidentifikasi dan tata laksana ROP pada neonatus.

KEBIJAKAN 1. Identifikasi bayi berisiko mengalami ROP.


2. Tata laksana yang tepat kasus ROP pada neonatus.

PROSEDUR 1. Screening (penapisan)


BBL 1500 gram.
Usia gestasi 34 minggu.
Waktu penapisan umur 4 minggu atau 32-33 post menstrual age.
Bayi laki-laki tergantung pada keputusan klinis
pediatricians/neonatologis.
2. Tata laksana
Konsultasi bagian mata (pediatric of opthalmology)

Waktu pemeriksaan mata berdasarkan usia kehamilan saat lahir


Usia Usia saat pemeriksaan awal
kehamilan (minggu)
saat lahir Pasca- Kronologis
(minggu) menstrual
22 31 9
23 31 8
24 31 7
25 31 6
26 31 5
27 31 4
28 32 4
29 33 4
30 34 4
31 35 4
32 36 4

Follow Up :
follow up 1 minggu
o Stadium 1 atau 2 ROP : zona I
o Stadium 3 ROP : zona II
follow up 1-2 minggu
o Vaskularisasi imatur : zona I tanpa ROP
o Stadium 2 ROP : zona II
o ROP regresi : zona I
follow up 2 minggu
o Stadium 1 ROP : zona I
o ROP regresi: zona II
follow up 2-3 minggu
o Vaskularisasi imatur : zona II tanpa ROP
o Stadium 1 atau 2 ROP : zona III
o ROP regresi: zona III

UNIT TERKAIT Pediatric of Opthalmology


PENANGANAN BAYI BARU LAHIR
DARI IBU TERINFEKSI HIV

No. Dokumen Revisi Halaman 1/2


RSUP SANGLAH
DENPASAR ...............................
A.n Direksi
STANDAR Direktur Utama
PROSEDUR Tanggal Terbit :
OPERASIONAL
PERINATOLOGI
dr. I Wayan Sutarga, MPHM
NIP 19540922 198203 1 002

PENGERTIAN Bayi baru lahir dengan ibu terbukti terinfeksi HIV.

TUJUAN Mengenal, mengidentifikasi dan tata laksana HIV pada neonatus.

KEBIJAKAN 1. Identifikasi bayi berisiko mengalami HIV.


2. Tata laksana yang tepat kasus HIV pada neonatus.

PROSEDUR 1. Di kamar bersalin


a. Bayi sebaiknya dilahirkan dengan cara bedah kaisar.
b. Pertolongan persalinan menggunakan sesedikit mungkin prosedur
invasif.
c. Segera bersihkan bayi dengan mematuhi kewaspadaan universal
(universal precaution).
d. Pilihan nutrisi bayi dilakukan berdasarkan konseling saat
antenatal care.
2. Pemberian ARV profilaksis untuk bayi
Pemberian ARV provilaksis untuk bayi adalah pemberian
zidovudin selama 4 minggu (enam minggu untuk bayi prematur)
dan nevirapin dosis tunggal.
Dosis ARV profilaksis untuk bayi
Obat Dosis
Zidovudin
Bayi dengan usia 2 mg/kg berat badan/kali, setiap 6
gestasi > 35 minggu jam, diberikan setelah lahir (6-12
jam setelah kelahiran).
Bayi dengan usia 2 mg/kg berat badan/kali, setiap 12
gestasi 30-35 minggu jam (2 minggu pertama), kemudian
setiap 8 jam (setelah usia 2 minggu)
Bayi dengan usia 2 mg/kg berat badan/kali, setiap 12
gestasi < 30 minggu jam (4 minggu pertama), kemudian
setiap 8 jam (setelah usia 4 minggu)
Nevirapin 2 mg/kg berat badan, diberikan
dosis tunggal, dalam 72 jam
pertama setelah kelahiran.

3. Pemilihan nutrisi
a. Konseling pemilihan nutrisi sudah harus dilakukan sejak pada
masa antenatal care
b. Pilihan susu formula akan menghindarkan bayi terhadap risiko
transmisi HIV melalui ASI.
c. Perlu diperhatikan apakah pemberian susu formula tersebut
memenuhi persyaratan AFASS (acceptable/dapat diterima,
feasible/layak, affordable/terjangkau, sustainable/berkelanjutan,
dan safe/aman)

4. Pemberian imunisasi
a. Pemberian imunisasi dapat diberikan sesuai jadwal dengan
pengecualian untuk BCG
b. Imunisasi BCG dapat diberikan apabila diagnosis HIV telah
ditentukan.
5. Pemberian profilaksis untuk infeksi oportunistik
6. Pencegahan infeksi oporrtunistik dapat dilakukan dengan pemberian
kotrimoksazol untuk semua bayi yang lahir dari ibu HIV positif yang
dimulai pada usia 4-6 minggu sampai diagnosis HIV telah
disingkirkan.
7. Pemantauan tumbuh kembang
Pemantauan tumbuh kembang dilakukan pada setiap kunjungan
seperti kunjungan bayi sehat lainnya.
8. Penentuan status HIV bayi
a. Penentuan status dilakukan dengan pemeriksaan :
PCR RNA HIV pertama pada usia 4-6 minggu
PCR RNA HIV kedua pada usia 4-6 bulan
Pemeriksaan antibodi HIV pada usia 18 bulan
Pemeriksaan antibodi HIV tidak dapat digunakan sebagai
perasat diagnosis pada anak berusia kurang dari 18 bulan.
b. Apabila hasil PCR RNA HIV positif maka harus segera dilakukan
pemeriksaan PCR RNA HIV kedua untuk konfirmasi. Bila hasil
PCR RNA HIV kedua positif maka anak akan ditata laksana
sesuai dengan tata laksana anak dengan infeksi HIV

UNIT TERKAIT Sub divisi Alergi Imunologi


HIPERBILIRUBINEMIA

No. Dokumen Revisi Halaman 1/2

RSUP SANGLAH ...............................


DENPASAR
A.n Direksi
STANDAR PROSEDUR Direktur Utama
OPERASIONAL Tanggal Terbit :
PERINATOLOGI

dr. I Wayan Sutarga, MPHM
NIP 19540922 198203 1 002

PENGERTIAN Hiperbilirubinemia pada neonatus adalah peningkatan kadar bilirubin


serum pada neonatus.
Dua jenis :
Hiperbilirubinemia tidak terkonyugasi/indirek
Hiperbilirubinemia terkonyugasi/direk
Jenis paling umum:
Peningkatan kadar bilirubin tidak terkonyugasi/indirek, berupa
ikterus yang nyata pada minggu pertama kehidupan.
Ikterus yang nyata tampak bila bilirubin total serum > 5 mg/dl

TUJUAN Mengenal, mengidentifikasi dan tata laksana hiperbilirubinemia pada


neonatus.

KEBIJAKAN 1. Identifikasi bayi berisiko mengalami hiperbilirubinemia.


2. Tata laksana yang tepat kasus hiperbilirubinemia pada neonatus.

PROSEDUR 1. Hidrasi Pemberian asupan


2. Fototerapi
3. Transfusi tukar
4. Koreksi hipoksia, infeksi, asidosis
5. Fenobarbital: digunakan sebagai antikonvulsan untuk mengobati
kejang. Tidak direkomendasikan kecuali untuk Crigler Najjar tipe 3.
Menyebabkan letargi dan asupan yang buruk
Tatalaksana Hiperbilirubinemia pada Neonatus Cukup Bulan Sehat

Transfusi
Usia Pertimbangkan Transfusi
Terapi sinar tukar dan
(jam) terapi sinar tukar
Terapi sinar
> 25 mg/dl
> 12 mg/dl* > 15 mg/dl > 20 mg/dl
25-48 (> 425
(> 200 mmol/L) (> 250 mmol/L) (> 340 mmol/L)
mmol/L)

> 30 mg/dl
> 15 mg/dl > 18 mg/dl > 25 mg/dl
49-72 (> 510
(> 250 mmol/L) (> 300 mmol/L) (> 425 mmol/L)
mmol/L)

> 30 mg/dl
> 17 mg/dl > 20 mg/dl > 25 mg/dl
>72 (> 510
(> 290 mmol/L) (> 340 mmol/L) (> 425 mmol/L)
mmol/L)

Tatalaksana Hiperbilirubinemia pada Neonatus Kurang Bulan Sehat


dan Sakit (< 37 minggu)

Neonatus Kurang Bulan Neonatus Kurang


Sehat: Bulan Sakit:
Kadar Total Bilirubin Kadar Total Bilirubin
Serum (mg/dl) Serum (mg/dl)
Transfusi Transfusi
Berat Terapi sinar Terapi sinar
tukar tukar
Hingga 1.000 g 5-7 10 4-6 8-10
1.001-1.500 g 7-10 10-15 6-8 10-12
1.501-2.000 g 10 17 8-10 15
> 2.000 g 10-12 18 10 17

UNIT TERKAIT
CPAP
(CONTINUOUS POSITIVE AIRWAY PRESSURE)

No. Dokumen Revisi Halaman 1/1


RSUP SANGLAH
DENPASAR ...............................
A.n Direksi
STANDAR PROSEDUR Direktur Utama
OPERASIONAL Tanggal Terbit :
PERINATOLOGI

dr. I Wayan Sutarga, MPHM
NIP 19540922 198203 1 002

PENGERTIAN Suatu alat yang mempertahankan tekanan positif.

TUJUAN Mengenal dan mengidentifikasi serta tata laksana pemakaian CPAP.

KEBIJAKAN Identifikasi indikasi CPAP pada neonatus :


1. Neonatus prematur dengan sindrom gawat pernafasan (RDS)
2. Neonatus dengan transient tachypnea of the newborn (TTN)
3. Neonatus dengan meconium aspiration syndrome (MAS)
4. Neonatus dengan apnea yang sering terjadi dan bardikardia
prematuritas.
5. Neonatus dengan paralisis diafragma.
6. Neonatus yang telah dilepas dari ventilator mekanik.
7. Neonatus dengan penyakit saluran napas seperti trakeomalacia dan
bronkiolitis.
8. Neonatus setelah pembedahan di bagian perut atau dada.
PROSEDUR 1. Mulailah CPAP segera setelah bayi lahir sesuai dengan indikasi
2. Pada saat datang dari ruang bersalin
Neonatus harus segera ditimbang, dikeringkan, dan ditempatkan
di tempat tidur dengan penghangat dan probe servo dipasang
pada kulit di atas hati.
Pulse-oximeter harus dipasang (lebih disukai pada lengan
kanan).
3. Memantau neonatus pada CPAP
Neonatus dengan CPAP nasal harus menjalani pemeriksaan
sistem setiap 2-4 jam
Gastrointestinal : amati keberadaan kembung pada perut,
lingkaran usus yang terlihat dan auskultasi bunyi usus.
4. Jaga agar ujung peralatan CPAP tidak mengenai nasal septum dalam
keadaan apapun.
5. Isap rongga hidung, mulut, faring dan perut setiap 2-4 jam dan
sesuai dengan kebutuhan.
Meningkatkan upaya respirasi, meningkatkan kebutuhan akan O2
dan episode-episode apnea/bradikardia mungkin merupakan
indikasi untuk dilakukannya pengisapan. Perhatikan jumlah,
konsistensi dan warna sekresi. Untuk mengencerkan sekresi
kental yang telah mengering, gunakan beberapa tetes larutan
salin steril 0,9%.
6. Periksa integritas seluruh sistem CPAP.
Apakah mesin pencampur telah dipasang pada persentase yang
sesuai?
Apakah flow meter telah diset pada kecepatan 5 dan 7
liter/menit?
Apakah humidifier berisi air dalam jumlah yang benar?
Apakah suhu gas yang dihisap telah sesuai?
Apakah selang korugasi tidak berisi air?
Apakah ujung selang pada botol outlet berada pada ketinggian 5
cm dan untuk asam asetat pada ketinggian 0 cm?
Apakah botol outlet mengeluarkan gelembung?

UNIT TERKAIT
SYOK NEONATUS

No. Dokumen Revisi Halaman 1/2

RSUP SANGLAH ...............................


DENPASAR
A.n Direksi
STANDAR Direktur Utama
PROSEDUR Tanggal Terbit :
OPERASIONAL
PERINATOLOGI
dr. I Wayan Sutarga, MPHM
NIP 19540922 198203 1 002

PENGERTIAN Syok pada neonatus:


Sindrom akut:
o Perfusi sirkulasi yang tidak memadai O2 jaringan
o Metabolisme: aerobik (memadai) anaerobik (kurang)
o Ketidakstabilan fisiologis: disfungsi seluler kematian sel
o Curah jantung rendah: Hipotensi: < persentil ke-10

TUJUAN Mengenal, mengidentifikasi dan tata laksana syok pada neonatus.

KEBIJAKAN 1. Identifikasi bayi berisiko mengalami syok.


2. Tata laksana yang tepat kasus syok pada neonatus.

PROSEDUR Penatalaksanaan awal :


Penggantian volume cairan (10-20 ml/kg) :
Normal Salin atau
Larutan Ringer laktat atau
Albumin 5% : dapat menyebabkan perpindahan cairan dari
kompartemen intraseluler ke kompartemen ekstraseluler
atau
Whole blood : dengan riwayat kehilangan darah
Vasopressor:
Dopamine (katekolamin alami):
o 0.5-2 mkg/kg/menit: vasodilatasi ginjal & mesenterik; sedikit
perubahan pada TD
o 2-10 mkg/kg/menit: 1 rec : Output jantung &TD>10
mkg/kg/menit: rec: TD
Dobutamine: sampai dengan 20 mkg/kg/menit
Adrenalin: 0,05-0,1mkg/kg/menit
Hidrokortison: 20-40 mg/m2/hari IV/PO Q12h (1-2 mg/kg/dosis)
Penatalaksanaan umum :
Koreksi asidosis metabolik dengan infus sodium bikarbonat sebesar
1-2 mEq/kg
Mengoreksi hipoksia dan memberikan dukungan respirasi sesuai
dengan kebutuhan
Mengoreksi hipoglikemia (D10W: 2ml/Kg), hipokalsemia (Ca
glukonat 10%: 1ml/Kg) dan ketidakseimbangan elektrolit jika ada
Diet: tetap NPO sampai fungsi GI telah pulih
Mulai nutrisi parenteral total

Penatalaksanaan spesifik :
Spesifik
A. Syok hipovolemik
Penggantian darah: whole blood 10-20 ml/kg atau packed RBC 5-
10 ml/kg selama 30 menit.
Koreksi penyebab perdarahan jika mungkin.

B. Syok septik
Lakukan kultur (darah, urin dan CSF)
Memulai terapi antibiotik empiric.
Menggunakan volume expander dan inotropik sesuai dengan
kebutuhan.

Catatan: pemakaian kortikosteroid dalam syok septik masih


kontroversial

C. Syok kardiogenik
Mengobati penyebab yang mendasari kelainan
o Kebocoran udara : evakuasi udara segera.
o Redakan aritmia.
Inotropik (dopamin dan dobutamin)

Catatan: inotropik merupakan kontraindikasi dalam stenosis sub aorta.

UNIT TERKAIT
IUGR (KMK)

No. Dokumen Revisi Halaman 1/1

RSUP SANGLAH ...............................


DENPASAR
A.n Direksi
STANDAR Direktur Utama
PROSEDUR Tanggal Terbit :
OPERASIONAL
PERINATOLOGI
dr. I Wayan Sutarga, MPHM
NIP 19540922 198203 1 002

PENGERTIAN Pertumbuhan Janin Terhambat (PJT) adalah deviasi, atau turunnya, pola
pertumbuhan yang diharapkan pada janin. Hal ini disebabkan oleh
berbagai proses yang mempengaruhi ibu, plasenta dan janin.

TUJUAN Mengenal, mengidentifikasi dan tata laksana IUGR pada neonatus.

KEBIJAKAN 1. Identifikasi bayi berisiko mengalami IUGR.


2. Tata laksana yang tepat kasus IUGR pada neonatus.

PROSEDUR Di ruang bersalin


Siapkan resusitasi untuk mencegah HIE.
Memberikan lingkungan dengan suhu yang sesuai .
Penilaian awal usia kehamilan.
Menilai fitur dismorfik dan anomali congenital.
Periksa glukosa.

Di ruang bayi
Memberikan lingkungan dengan suhu yang sesuai dan memeriksa
suhu setiap 4 jam (lebih sering untuk bayi prematur)
Periksa glukosa setiap 4 jam pada hari pertama dan setiap 8-12
jam jika stabil.
Pemberian minum dini jika memungkinkan, tapi jika tidak, segera
mulai cairan intravena.
Periksa toleransi bayi terhadap pemberian minum (risiko NEC)
Periksa Hb dan rawat polisitemia.

UNIT TERKAIT
TTN
(TRANSIENT TACHYPNEA OF THE NEWBORN)

No. Dokumen Revisi Halaman 1/1


RSUP SANGLAH
DENPASAR ...............................
A.n Direksi
STANDAR Direktur Utama
PROSEDUR Tanggal Terbit :
OPERASIONAL
PERINATOLOGI
dr. I Wayan Sutarga, MPHM
NIP 19540922 198203 1 002

PENGERTIAN Suatu penyakit ringan pada neonatus yang mendekati cukup bulan atau
neonatus cukup bulan yang mengalami gawat napas segera setelah lahir
dan hilang dengan sendirinya dalam waktu 3-5 hari.

TUJUAN Mengenal, mengidentifikasi dan tata laksana TTN pada neonatus.

KEBIJAKAN 1. Identifikasi bayi berisiko mengalami TTN.


2. Tata laksana yang tepat kasus TTN pada neonatus.
PROSEDUR
Pemberian oksigen dalam jumlah berlebihan.
Pembatasan cairan.
Pemberian asupan setelah takipnea membaik konfirmasi
diagnosis. dengan menyisihkan penyebab-penyebab takipnea lain
seperti. pneumonia, penyakit jantung kongenital dan
hiperventilasi serebral.
Antibiotika (ampisilin +gentamisin) dihentikan sampai terbukti
bukan sepsis/hasil kultur darah negatif

UNIT TERKAIT
KELAINAN KONGENITAL (BAWAAN)

No. Dokumen Revisi Halaman 1/1

RSUP SANGLAH ...............................


DENPASAR
A.n Direksi
STANDAR Direktur Utama
PROSEDUR Tanggal Terbit :
OPERASIONAL
PERINATOLOGI
dr. I Wayan Sutarga, MPHM
NIP 19540922 198203 1 002

PENGERTIAN 1. Kelainan bawaan adalah abnormalitas bawaan yang ditemui saat


lahir.
2. Terdapat berbagai jenis malformasi dalam struktur, posisi atau fungsi
dari suatu organ atau sistem.
3. Kelainan bawaan merupakan penyebab umum mortalitas dan
disabilitas pada awal kehidupan.
4. Penyebabnya berkisar dari kelainan genetik yang diturunkan hingga
gangguan teratogenik terhadap fetus yang sedang berkembang.

TUJUAN 1. Recognizing (mengenali), Diagnosis dan Stabilisasi


2. Membuat keputusan untuk merujuk bayi ke pusat rujukan.

KEBIJAKAN 1. Menentukan jenis kelainan kongenital


2. Tata laksana kelainan kongenital bersama dengan tim kelainan
kongenital
PROSEDUR 1. Stabilisasi bayi dengan kelainan kongenital (mencegah hipotermi,
hipoglikemi, gangguan elektrolit)
2. Memberikan terapi suportif (oksigen, nutrisi)
3. Terapi kausal (tata laksana bedah bila diperlukan)

UNIT TERKAIT Anastesi Anak


Bedah Anak
Spesialis bedah terkait dengan jenis kelainan
HIE
(HYPOXIC-ISCHEMIC ENCEPHALOPATHY)

No. Dokumen Revisi Halaman 1/2


RSUP SANGLAH
DENPASAR ...............................
A.n Direksi
STANDAR PROSEDUR Direktur Utama
OPERASIONAL Tanggal Terbit :
PERINATOLOGI

dr. I Wayan Sutarga, MPHM
NIP 19540922 198203 1 002

PENGERTIAN Suatu abnormalitas dari status neuro behavioral yang terjadi akibat
asfiksia pada bayi baru lahir. Dimana menurut Sarnat and Sarnat
diklasifikasikan menjadi :
1. HIE tingkat I
a. Terjadi letargik, perubahan kesadaran periodik berupa iritabilitas,
kesadaran berlebihan, jitteriness.
b. Gangguan minum
c. Meningkatnya tonus otot, refleks tendon dalam berlebihan
d. Refleks Moro spontan atau berlebihan
e. Meningkatnya detak jantung, pupil: dilatasi
f. Tidak ada kejang
g. Gejala menghilang dalam waktu 24 jam
2. HIE tingkat II
a. Letargi
b. Gangguan minum, depresi refleks gag
c. Hipotonia
d. Detak jantung lambat dan konstriksi pupil menggambarkan
adanya rangsangan parasempatis.
e. 50-70% neonatus mengalami kejang, biasanya dalam 24 jam
pertama setelah kelahiran
3. HIE tingkat III
Kelainan neurologi lainnya:
a. Koma
b. Lunglai
c. Refleks menghilang
d. Pupil: tidak bergerak, hanya bereaksi sedikit saja
e. Apnea, bradikardi, hipotensi
f. Kejang jarang terjadi tapi bila timbul, akan berkepanjangan
TUJUAN 1. Mendefinisikan asfiksia perinatal dan HIE.
2. Mendefinisikan gambaran klinis berbagai tingkatan HIE menurut
Sarnat and Sarnat.

KEBIJAKAN 1. Menentukan bayi dengan risiko terjadi HIE.


2. Menyusun daftar langkah penatalaksanaan yang tepat untuk neonatus
dengan HIE.
PROSEDUR 1. Pencegahan merupakan penatalaksanaan yang terbaik.
2. Waktu merupakan hal penting dan penundaan beberapa menit saja
dapat mengakibatkan kematian atau kecacatan seumur hidup.
3. Menjaga oksigenasi dan keseimbangan asam basa.
4. Memulai ventilasi mekanis jika perlu.
5. Memantau dan menjaga suhu tubuh.
6. Mengoreksi dan menjaga kebutuhan kalori, cairan, elektrolit dan
kadar glukosa (D10W 60 cc/kg/hari).
7. Mengoreksi hipovolemia (whole blood).
8. Menghindari cairan berlebihan, hipertensi, hiperviskositas.
9. Memberikan phenobarbital untuk perawatan kejang.
Merawat kejang
Memberikan Phenobarbital IV 20 mg/kg selama 5 menit.
Dosis bisa ditingkatkan 5 mg/kg setiap 5 menit sampai kejang
terkendali atau hingga tercapai dosis maksimum 40 mg/kg.
Jika tidak terkendali oleh dosis Phenobarbital maksimal yang
diijinkan, tambahkan Phenytoin IV 20 mg/kg. Pertahankan dosis
5-10 mg/kg/hari dan diberikan setiap delapan jam dalam beberapa
dosis.
Tidak ada intervensi terapeutik lainnya yang terbukti menolong
misalnya kortikosteroid, profilaktik phenobarbital, furosemide,
mannitol, dll.
Antibiotika (ampisilin + gentamisin ) sampai terbukti bukan
sepsis/hasil kultur darah negatif

UNIT TERKAIT Bedah saraf


Unit Radiologi
SAM
(SINDROM ASPIRASI MEKONIUM)

No. Dokumen Revisi Halaman 1/2


RSUP SANGLAH
DENPASAR ...............................
A.n Direksi
STANDAR PROSEDUR Direktur Utama
OPERASIONAL Tanggal Terbit :
PERINATOLOGI

dr. I Wayan Sutarga, MPHM
NIP 19540922 198203 1 002

PENGERTIAN Gawat napas yang bersifat sekunder akibat aspirasi mekonium oleh
fetus dalam uterus atau oleh neonatus selama proses persalinan dan
kelahiran.

TUJUAN Mengenal, mengidentifikasi dan tata laksana SAM pada neonatus.

KEBIJAKAN 1. Identifikasi bayi berisiko mengalami SAM.


2. Tata laksana yang tepat kasus SAM pada neonatus.

PROSEDUR 1. Terapi kausal


2. Antibiotika (ampicilin dan gentamisin di stop sampai terbukti
tidak ada infeksi berdasarkan kultur darah)
3. Terapi suportif (oksigen, nutrisi dan elektrolit)

Tatalaksana di ruang bersalin


(jika ketuban tercampur mekonium):
Visualisasi pita suara dan pengisapan trakea apabila bayi tidak
bernapas.
Tatalaksana Umum Neonatus dengan SAM
Mengosongkan isi lambung untuk menghindari aspirasi lebih
lanjut.
Koreksi abnormalitas metabolik, misalnya hipoksia, asidosis,
hipoglikemia, hipokalsemia dan hipotermia.
Pemantauan untuk melihat kerusakan pada organ lain (otak, ginjal,
jantung dan hati).

Tatalaksana Pernapasan
Pengisapan dan vibrasi dada dengan frekuensi yang sering
Pulmonary toilet untuk menghilangkan mekonium residual jika
diintubasi

Antibiotik (ampicillin dan gentamicin) sampai terbuktu bukan


sepsis/hasil kultur darah negatif

UNIT TERKAIT
DIARE PADA NEONATUS

No. Dokumen Revisi Halaman 1/1

RSUP SANGLAH ...............................


DENPASAR
A.n Direksi
STANDAR PROSEDUR Direktur Utama
OPERASIONAL Tanggal Terbit :
PERINATOLOGI

dr. I Wayan Sutarga, MPHM
NIP 19540922 198203 1 002

PENGERTIAN Bertambahnya frekuensi defikasi lebih dari biasanya yang disertai


perubahan konsistensi tinja lebih cair, dengan atau tanpa darah dan atau
lendir, yang dapat menyebabkan terjadinya dehidrasi.

TUJUAN 1. Mengenali diare pada neonatus sebagai salah satu penyebab


dehidrasi dan penyakit pada neonatus.
2. Menangani kasus diare pada neonatus.

KEBIJAKAN Mengidentifikasi penyakit diare pada neonatus :


Penyebab
Penanganan dehidrasi

PROSEDUR 1. Dehidrasi ringan :


Cairan Dextrose 5%, NS 175 cc/kg/hari, diberikan:
nya diberikan per oral yaitu ASI dan oralit selang-seling
per IVFD
2. Dehidrasi sedang :
200 cc/kgBB/hari, IVFD dengan Dextrose 5%, NS
3. Dehidrasi berat :
250 CC/kgBB/hari, IVFD dengan Dextrose 5%, NS
4 jam I diberikan nya
20 jam berikutnya diberikan nya
4. Dipantau tiap 4-6 jam, jika sudah terdehidrasi kembali ke cairan
maintenance, sesuai kebutuhan.
5. Derajat dehidrasi berdasarkan kriteria WHO
6. Identifikasi penyebab dengan pemeriksaan tinja lengkap atau
analisis tinja.

UNIT TERKAIT Sub divisi Gastroenterology


TERAPI OKSIGEN

No. Dokumen Revisi Halaman 1/2

RSUP SANGLAH ...............................


DENPASAR
A.n Direksi
STANDAR Direktur Utama
PROSEDUR Tanggal Terbit :
OPERASIONAL
PERINATOLOGI
dr. I Wayan Sutarga, MPHM
NIP 19540922 198203 1 002

PENGERTIAN Memberikan suplementasi oksigen pada bayi untuk kelangsungan hidup


bayi dengan masalah pernapasan

TUJUAN 1. Mengatasi hipoksemia


2. Menyediakan & memperbaiki oksigenasi jaringan
3. Meniadakan efek kompensasi
4. Peningkatan usaha napas
5. Peningkatan kerja miokardium
6. Tanpa menimbulkan komplikasi

KEBIJAKAN Memberikan oksigen optimal tanpa menimbulkan komplikasi


PROSEDUR Pemberian oksigen,sesuai indikasi
Menaruh sumber oksigen di dekat wajah bayi
Kanula nasal
Kateter nasal
Kateter nasofaring
Sungkup muka (Masker)
Sungkup kepala (Headbox)
Inkubator
Nasal prong (CPAP)
Pipa endotrakeal (Ventilator mekanik)

1. Kanul hidung
Baik untuk bayi yang membutuhkan oksigen inspirasi dengan
level yang rendah
Memungkinkan gerakan yang lebih bebas bagi bayi, orang tua,
dan pengasuh tanpa menggangu pasokan oksigen
Memerlukan pemantauan ketat karena pada bayi yang aktif,
kanul mudah tergeser dari hidung
Dapat memberikan O2 minimal Low flow : (< 2l/mnt)

2. Head box
Untuk bayi yang bernapas spontan, penggunaan kotak kecil
mencegah fluktuasi pada oksigen inspirasi ketika inkubator
dibuka
Aliran ke head box harus sekurang-kurangnya 5 L/mnt untuk
mencegah akumulasi CO2 biasanya 5-7 L/mnt
3. Bag and mask
Seorang bayi yang mendapat ventilasi tambahan dengan bag
and mask, harus diberi O2 saat mereka dirawat.
4. CPAP
Distres pernapasan
Apnoea of prematurity (AOP)
Edema/perdarahan paru
Penyapihan dari ventilasi

5. Ventilator (bila CPAP gagal)


Neonatus dengan nasal CPAP 5 cm H2O akan memerlukan
ventilasi mekanik jika terjadi satu dari hal-hal berikut:
o FiO2 pada nasal CPAP > 60%
o paCO2 > 60 mm Hg
o Asidosis metabolik persisten dengan defisit basa > -10
o Terdapat retraksi yang nyata dalam penggunaan CPAP
o Episode apnoe dan atau bradikardia yang sering

UNIT TERKAIT Bagian Mata


ENTEROKOLITIS NEKROTIKANS NEONATAL

No. Dokumen Revisi Halaman 1/2

RSUP SANGLAH .............................


DENPASAR
A.n Direksi
STANDAR PROSEDUR Direktur Utama
OPERASIONAL Tanggal Terbit :
PERINATOLOGI

dr. I Wayan Sutarga, MPHM
NIP 19540922 198203 1 002

Pengertian Enterokolitis nekrotikans (EKN) neonatal merupakan penyakit


kerusakan usus yang berat terutama pada usus yang imatur yang
disebabkan oleh kerusakan vascular, kerusakan mukosa usus dan
kelainan metabolik, serta terjadi ischemia, inflamasi dan nekrosis
pada usus.

Tujuan 1. Mencegah terjadinya perfusi spontan usus


2. Mengidentifikasi dan penanganan Enterokolitis Nekrotikans pada
neonatus

Kebijakan 1. Identifikasi bayi berisiko mengalami EKN.


2. Tata laksana yang tepat kasus EKN pada neonatus.

Prosedur 1. Puasa sesuai dengan klinis dan stadium EKN, Total Parental
Nutrition untuk memenuhi kebutuhan nutrisi basal. (lihat tabel
modifikasi kriteria Bell)
2. NGT untuk dekompresi
3. Monitoring tanda vital dan lingkar abdomen
4. Mengganti kateter umbilical dengan pemasangan infuse line
perifer atau sentral.
5. Antibiotika umumnya diberikan sampai 14 hari, dimulai dengan
ampicilin dan gentamysin. Dipertimbangkan pemberian
vancomysin bila disebabkan oleh staphylokokos. Ditambahkan
antibiotik yang mengkover bakteri anaerob yaitu metronidazol
atau clindamysin bila diduga terdapat peritonitis. (lihat tabel
modifikasi kriteria Bell)
6. Monitoring perdarahan gastrointestinal
7. Monitoring ketat cairan masuk dan cairan keluar, pemantauan
produksi urine 1-3 ml/kgBB/jam.
8. Monitoring imbalans elektrolit.
9. Septic workup sesuai indikasi
10. Evaluasi ulang Radiologi abdomen X-ray dilakukan sesuai
stadium
11. Pada stadium dua atau tiga dilakukan Konsul bedah anak atau
bila ada tanda-tanda perforasi usus.
12. Dukungan alat respirator (ventilator/CPAP/O2 head box) bila
diperlukan.
13. Dopamin drip dosis rendah (2-4 mg/kgBB/menit) untuk
meningkatkan aliran darah ke intestinal dan perfusi ginjal.
14. Monitoring DIC, terutama pada stadium dua atau tiga.
15. Siapkan transfusi darah sesuai indikasi.

Modifikasi Kriteria Stadium Bell

Unit Terkait Bedah anak


TORAKOSENTESIS

No. Dokumen Revisi Halaman 1/2

RSUP SANGLAH ...............................


DENPASAR
A.n Direksi
STANDAR Direktur Utama
PROSEDUR Tanggal Terbit :
OPERASIONAL
RESPIROLOGI
dr. I Wayan Sutarga, MPHM
NIP 19540922 198203 1 002

PENGERTIAN Torakosentesis adalah suatu tindakan untuk mengeluarkan cairan dari


rongga pleura dengan cara melakukan pungsi pada rongga pleura.
TUJUAN Untuk mengeluarkan cairan dari rongga pleura sehingga dapat dilakukan
pemeriksaan secara kasat mata maupun pemeriksaan laboratorium.
KEBIJAKAN 1. Standar pelayanan medik Bagian/SMF Ilmu Kesehatan anak
FK Unud/RSUP Sanglah Denpasar, 2010.
2. Pedoman pelayanan medik Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2010.
PROSEDUR 1. Biasanya dilakukan pada bayi atau anak dengan posisi tegak atau
bersandar ke depan di atas bantal. Pada pasien yang lebih muda dapat
diberi sedasi ringan.
2. Pada tempat insersi (biasanya di ruang interkostal ke-7 atau ke-8,
garis aksilaris posterior) diberi suntikan anestesi lokal xylocaine
` menggunakan jarum 1,5 inci dengan jarum nomor 22, ditusukkan
tepat di atas tepi kosta untuk menghindari terkenanya berkas saraf dan
pembuluh darah. Tempat insersi bisa juga dilakukan dengan lokasi
satu ruang interkostal di bawah batas redup-sonor dan 5-10 cm di
lateral vertebra. Tempat insersi ini dipilih dengan tujuan untuk
mendapatkan cairan sebanyak mungkin dan mengurangi risiko
seminimal mungkin. Pleura dapat dikenal dari sensasi yang dirasakan
melalui jarum tersebut atau dengan berhasilnya dilakukan
pengeluaran cairan pleura.
3. Keluarkan cairan pleura. Bila cairan dikeluarkan terlalu cepat ( 1
liter/hari) bisa terjadi udem paru (re-expansion pulmonary oedema).
4. Radiografi dada dengan posisi tegak perlu dibuat setelah melakukan
prosedur ini. Komplikasi torakosentesis antara lain infeksi,
pneumotoraks, hemotoraks, udem paru, emboli, dan hipoksia.
Pemberian oksigen dalam beberapa jam setelah torakosentesis dapat
mencegah hipoksia.
Gambar . Prosedur torakosentesis pada anak dengan efusi pleura

UNIT TERKAIT Bedah toraks/bedah trauma.


Radiologi.
SERANGAN ASMA

No. Dokumen Revisi Halaman 1/2

RSUP SANGLAH ...............................


DENPASAR
A.n Direksi
STANDAR Direktur Utama
PROSEDUR Tanggal Terbit :
OPERASIONAL
RESPIROLOGI
dr. I Wayan Sutarga, MPHM
NIP 19540922 198203 1 002

PENGERTIAN Serangan asma adalah episode perburukan yang progresif dari gejala
batuk, sesak napas, mengi, rasa dada tertekan, atau berbagai kombinasi
dari gejala tersebut.
TUJUAN 1. Untuk meredakan penyempitan saluran respiratorik secepat mungkin.
2. Mengurangi hipoksemia.
3. Mengembalikan fungsi paru ke keadaan normal secepatnya.
4. Rencana re-evaluasi tata laksana jangka panjang untuk mencegah
kekambuhan.
KEBIJAKAN 1. Standar pelayanan medik Bagian/SMF Ilmu Kesehatan anak FK
Unud/RSUP Sanglah Denpasar, 2010.
2. Pedoman pelayanan medik Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2010.
PROSEDUR Tolong dilihat halaman berikut!

UNIT TERKAIT Unit perawatan intensif anak.


GANGGUAN AUTISTIK

No. Dokumen Revisi Halaman 1/2


RSUP SANGLAH
DENPASAR ...............................
A.n Direksi
STANDAR PROSEDUR Direktur Utama
OPERASIONAL Tanggal Terbit :
PERINATOLOGI

dr. I Wayan Sutarga, MPHM
NIP 19540922 198203 1 002

PENGERTIAN Gangguan autistik (autism spestrum disorders) merupakan suatu


gangguan perkembangan psikologis yatu gangguan neuropsikiatrik yang
didapatkan pada anak sejak usia dini dengan karakteristik utama
didapatkannya keterlambatan dan penyimpangan perkembangan sosial,
komunikasi, dan keterampilan kognitif.
TUJUAN 1. Melakukan skrining anak dengan gangguan autistik
2. Menangani anak dengan gangguan autistik

KEBIJAKAN Identifikasi dan deteksi dini gangguan autistik


Penanganan multidispin gangguan autistik
PROSEDUR Skrining
Dengan menggunakan instrumen CHAT (The Checklist for Autism in
Toddlers)

Diagnosis
Kriteria diagnosis gangguan autistik berdasarkan Diagnostic and Statistical
Manual of Mental Disorders 4th edition (DSM IV):
1. Harus ada 6 gejala atau lebih dari 1, 2, dan 3 di bawah ini:
a. Gangguan kualitatif dari interaksi sosial (minimal 2 gejala)
Terdapat kelainan dalam berbagai perilaku non-verbal, seperti
kontak mata, ekspresi wajah, sikap, dan isyarat tubuh dalam
melakukan interaksi sosial.
Tidak mampu bermain dengan teman sebaya.
Tidak mampu berbagi secara spontan dengan orang lain dalam hal
kesenangan, minat, dan prestasi (misalnya anak tidak mampu
memperlihatkan, membawa, atau menunjuk benda yang
diinginkan).
Tidak mampu melakukan hubungan sosial dan emosional timbal
balik.
b. Adanya suatu pola yang dipertahankan dan diulang-ulang dari perilaku,
minat, dan aktifitas (minimal 1 gejala):
Asyik dengan satu kegiatan atau lebih yang berbatas dan diulang-
ulang, yang abnormal baik dalam intensitas maupun yang menjadi
pusat perhatiannya.
Terpaku pada satu kegiatan yang ritualistik atau rutinitas yang tidak
ada gunanya.
Terdapat gerakan motorik yang diulang-ulang (misal tepuk tangan,
memutar-mutar tangan/jari, atau gerakan-gerakan tubuh yang lebih
kompleks).
Sangat asyik dengan bagian-bagian dari benda tertentu.
c. Gangguan kualitatif dari komunikasi (minimal 1 gejala):
Perkembangan bicara terlambat atau sama sekali tidak berkembang,
tidak ada usaha anak untuk berkomunikasi dengan cara lain (sikap
tubuh, ekspresi wajah, dll.).
Bila anak sudah dapat bicara, maka tidak dapat digunakan
kemampuannya tersebut untuk komunikasi.
Menggunakan bahasa atau bahasa aneh yang diulang-ulang.
Cara bermain yang tidak bervariasi, kurang spontan atau tidak dapat
bermain imitasi sesuai dengan tingkat perkembangannya.
2. Keterlambatan atau fungsi yang abnormal tersebut sebelum umur 3 tahun,
dengan adanya gangguan dalam 3 bidang yaitu: interaksi sosial, penggunaan
bahasa untuk komunikasi sosial, bermain simbol atau imajinasi.
3. Kelainan tersebut bukan disebabkan oleh penyakit Rett atau gangguan
disintegratif (sindrom Heller).
Tata laksana
Non Medikamentosa
Terapi edukasi
Metode ini merupakan suatu program terstruktur yang
mengintegrasikan metode klasikal yang individual, metode pengajaran
yang sistematik, terjadwal, dan dalam ruang kelas yang ditata khusus.
Terapi perilaku
Intervensi terapi perilaku dilakukan sesegera mungkin setelah diagnosis
ditegakkan dan dilakukan seintensif mungkin.
Terapi wicara
Intervensi terapi wicara dilakukan karena seperti diketahui tidak semua
individu dengan gangguan autistik akan dapat berkomunikasi secara
verbal. Terapi harus diberikan sejak dini dan dengan intensif bersama
terapi lain.
Terapi okupasi/fisik
Terapi okupasi/fisik diperlukan untuk mengintervensi anak dengan
gangguan autistik yang sering mengalami gangguan keterampilan
motorik sehingga anak diharapkan dapat melakukan gerakan-gerakan
yang terkontrol dan teratur sesuai dengan kebutuhan saat itu.
Intervensi keluarga
Dukungan kepada keluarga anak karena pengaruh yang besar keluarga terhadap
pengasuhan anak, Keluarga yang dapat berinteraksi positif dan saling
mendukung sangat diperlukan dalam kaitannya dengan manajemen terapi sangat
penting, karena tanpa dukungan keluarga akan sangat sulit sekali melaksanakan
terapi apapun pada individu dengan gangguan autistik.
Medikamentosa
Agresi, temper tantrum, impulsivitas, hiperaktivitas: manajemen terbaik
adalah dengan memberikan obat antipsikotik/neuroleptik dosis rendah
berupa:
o Neuroleptik atipikal: Risperidone, clozapine, olanzapine
o Risperidone dipakai dalam dosis yang direkomendasikan: 0,5-3
mg/hari dibagi dalam 2-3 kali sehari, yang dapat dinaikkan 0,25
mg setiap 3-5 hari sampai dosis inisial tercapai 1-2 mg/hari dalam
4-6 minggu yang diamati berupa perbaikan pada hubungan sosial,
perhatian, dan gejala obsesif.
o Neuroleptik tipikal potensi rendah: thioridazine dapat menurunkan
agresivitas dan agitasi. Dosis 0,5-3 mg/kgBB/hari dibagi dalam 2-
3 kali/hari.
o Neuroleptik tipikal potensi tinggi: haloperidol. Dalam dosis kecil
0,25-3 mg/hari, dapat menurunkan agresivitas, hiperaktivitas,
iritabilitas, dan stereotipik.
Perilaku stereotipik seperti perilaku melukai diri sendiri, resisten
terhadap perubahan hal-hal rutin, ritual obsesif dapat diatasi dengan
neuroleptik seperti risperidone atau selective serotonin reuptake
inhibitors (SSRI). Kedua jenis medikamentosa dapat dipakai secara
efektif dala bentuk kombinasi masing-masing dalam dosis rendah. SSRI
yang banyak dipakai yaitu: fluoxetine dengan dosis mulai 5-10 mg pagi
hari dan secara bertahap dinaikkan dosisnya sampai mencapai dosis
terapeutik.
Gangguan pemusatan perhatian merupakan satu gejala yang dapat
mengganggu proses belajar. Pada gejala ini dapat diberikan stimulan:
metilfenidat dengan dosis rendah 0,3 mg/kgB/hari.
Gangguan tidur yang sering terjadi pada gangguan autistik dapat diatasi
dengan intervensi farmakologis yang dapat diberikan untuk waktu yang
tidak terlalu lama sekitar 4-6 minggu dengan difenhidramin, dosis 12,5-
50 mg setengah jam sebelum tidur, Juga bisa diberikan neuroleptik
thioridazine 10-25 mg menjelang waktu tidur.

UNIT TERKAIT Dokter Spesialis Anak divisi Tumbuh Kembang-Pediatri Sosil


Dokter Spesialis Anak divisi Neurologi
Dokter Spesialis Anak divisi Gizi & Metabolik
Dokter Spesialis Anak divisi Endokrinoologi
Dokter Spesialis Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi Medik
Psikiater anak
Dokter Spesialis THT
Psikolog, Terapis wicara
Terapis okupasi
Terapis sensori integrasi
Fisioterapis
Ahli gizi

Anda mungkin juga menyukai