Anda di halaman 1dari 18

GANGGUAN KESEIMBANGAN CAIRAN DAN ELEKTROLIT

PENDAHULUAN

Gangguan cairan dan elektrolit sangat umum pada periode perioperatif. Cairan intravena
dengan jumlah yang besar sering diperlukan untuk memperbaiki defisit cairan dan
mengkompensasi kehilangan darah selama operasi. Cairan dan elektrolit di dalam tubuh
merupakan satu kesatuan yang tidak dapat terpisahkan. Komposisi cairan dan elektrolit di
dalam tubuh diatur sedemikan rupa agar keseimbangan fungsi organ vital dapat
dipertahankan.3 Gangguan besar dalam keseimbangan cairan dan elektrolit dapat dengan
cepat mengubah kardiovaskular, saraf, dan fungsi neuromuskular, dan penyedia anestesi
harus memiliki pemahaman yang jelas air normal dan elektrolit fisiologi.1

Kebutuhan cairan dan elektrolit adalah suatu proses dinamik karena metabolisme tubuh
membutuhkan perubahan yang tetap dalam berespons terhadap stressor fisiologis dan
lingkungan. Keseimbangan cairan adalah esensial bagi kesehatan. Dengan kemampuannya
yang sangat besar untuk menyesuaikan diri, tubuh mempertahankan keseimbangan, biasanya
dengan proses-proses faal (fisiologis) yang terintegrasi yang mengakibatkan adanya
lingkungan sel yang relatif konstan tapi dinamis. Kemampuan tubuh untuk mempertahankan
keseimbangan cairan ini dinamakan “homeostasis”

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

A. Gangguan Keseimbangan Cairan Tubuh


Tubuh manusia pada kelahiran mengandungi sekitar 75% berat cairan. Di usia satu bulan,
nilai ini menurun menjadi 65% dan pada saat dewasa berat cairan dalam tubuh manusia bagi
pria adalah 60% dan wanita pula sekitar 50%. Selain itu, faktor kandungan lemak juga
mengkontribusi kepada kandungan cairan dalam tubuh. Semakin tinggi jumlah lemak yang
terdapat dalam tubuh, seperti pada wanits, semakin ssemakin kurang kandungan cairan yang
ada.
Nilai normal ambilan cairan dewasa adalah sekitar 2500ml, termasuk 300ml hasil
metabolism tenaga susbtrat. Rata-rata kehilangan cairan adalah sebanyak 2500ml dimana ia
terbahagi kepada 1500ml hasil urin, 400ml terevaporasi lewat respiratori, 400ml lewat
evaporasi kulit, 100ml lewat peluh dan 100ml melalui tinja. Kehilangan cairan lewat

4
evaporasi

5
adalah penting kerna ia memainkan peranan sebagai thermoragulasi, dimana ia mengkontrol
sekitar 20-25% kehilangan haba tubuh. Perubahan pada kesimbanngan cairan dan volume sel
bisa menyebabkan impak yang serius seperti kehilangan fungsi pada sel, terutama ada otak.1
Bentuk gangguan yang paling sering terjadi adalah kelebihan atau kekurangan cairan
yang mengakibatkan perubahan volume 3.

1. Overhidrasi
Air, seperti subtrat lain, berubah menjadi toksik apabila dikonsumsi secara berlebihan
dalam jangka waktu tertentu. Intoksikasi air sering terjadi bila cairan di konsumsi tubuh
dalam kadar tinggi tanpa mengambil sumber elektrolit yang menyeimbangi kemasukan cairan
tersebut.1
Overhidrasi terjadi jika asupan cairan lebih besar daripada pengeluaran cairan. Kelebihan
cairan dalam tubuh menyebabkan konsentrasi natrium dalam aliran darah menjadi sangat
rendah.3 Penyebab overhidrasi meliputi, adanya gangguan ekskresi air lewat ginjal (gagal
ginjal akut), masukan air yang berlebihan pada terapi cairan, masuknya cairan irigator pada
tindakan reseksi prostat transuretra, dan korban tenggelam.1
Gejala overhidrasi meliputi, sesak nafas, edema, peningkatan tekanan vena jugular,
edema paru akut dan gagal jantung. Dari pemeriksaan lab dijumpai hiponatremi dalam
plasma. Terapi terdiri dari pemberian diuretik(bila fungsi ginjal baik), ultrafiltrasi atau
dialisis (fungsi ginjal menurun), dan flebotomi pada kondisi yang darurat.3,4,5

2. Dehidrasi
Dehidrasi merupakan suatu kondisi defisit air dalam tubuh akibat masukan yang
kurang atau keluaran yang berlebihan. Kondisi dehidrasi bisa terdiri dari 3 bentuk, yaitu:
isotonik (bila air hilang bersama garam, contoh: GE akut, overdosis diuretik), hipotonik
(Secara garis besar terjadi kehilangan natrium yang lebih banyak dibandingkan air yang
hilang. Karena kadar natrium serum rendah, air di kompartemen intravaskular berpindah ke
ekstravaskular, sehingga menyebabkan penurunan volume intravaskular), hipertonik (Secara
garis besar terjadi kehilangan air yang lebih banyak dibandingkan natrium yang hilang.
Karena kadar natrium tinggi, air di kompartemen ekstravaskular berpindah ke kompartemen
intravaskular, sehingga penurunan volume intravaskular minimal).1,3,4,6
Tabel 6. Derajat Dehidrasi1,3,5
Derajat %kehilangan air Gejala
Ringan 2-4% dari BB Rasa haus, mukosa
kulit
kering, mata cowong
Sedang 4-8% dari BB Sda, disertai
delirium,
oligo uri, suhu tubuh
meningkat
Berat 8-14% dari BB Sda, disertai
koma,
hipernatremi,
viskositas plasma
meningkat

Pada pemeriksaan laboratorium menunjukkan hipernatremia dan peningkatan


hematokrit.
Terapi dehidrasi adalah mengembalikan kondisi air dan garam yang hilang. Jumlah
dan jenis cairan yang diberikan tergantung pada derajat dan jenis dehidrasi dan elektrolit
yang hilang. Pilihan cairan untuk koreksi dehidrasi adalah cairan jenis kristaloid RL atau
NaCl.5,6

B. Gangguan Keseimbangan Elektrolit

Gangguan keseimbangan elektrolit yang umum yang sering ditemukan pada kasus-
kasus di rumah sakit hanyalah beberapa sahaja. Keadaan-keadaan tersebut adalah3:
 Hiponatremia dan hypernatremia
 Hipokalemia dan hyperkalemia
 Hipokalsemia3

1. Hiponatremia
Hiponatremia selalu mencerminkan retensi air baik dari peningkatan mutlak dalam
jumlah berat badan (total body weight, TBW) atau hilangnya natrium dalam relatif lebih
hilangnya air. Kapasitas normal ginjal untuk menghasilkan urin encer dengan osmolalitas
serendah 40 mOsm / kg (berat jenis 1,001) memungkinkan mereka untuk mengeluarkan lebih
dari 10 L air gratis per hari jika diperlukan. Karena cadangan yang luar biasa ini,
hiponatremia
hampir selalu merupakan efeknya dari akibat kapasitas pengenceran urin tersebut
(osmolalitas urin> 100 mOsm / kg atau spesifik c gravitasi> 1,003).1
Kondisi hiponatremia apabila kadar natrium plasma di bawah 130mEq/L. Jika < 120
mg/L maka akan timbul gejala disorientasi, gangguan mental, letargi, iritabilitas, lemah dan
henti pernafasan, sedangkan jika kadar < 110 mg/L maka akan timbul gejala kejang, koma.
Antara penyebab terjadinya Hiponatremia adalah euvolemia (SIADH, polidipsi psikogenik),
hipovolemia (disfungsi tubuli ginjal, diare, muntah, third space losses, diuretika),
hipervolemia (sirosis, nefrosis). Terapi untuk mengkoreksi hiponatremia yang sudah
berlangsung lama dilakukan secara perlahan-lahan, sedangkan untuk hiponatremia akut lebih
agresif.2,3,4

Dosis NaCl yang harus diberikan, dihitung melalui rumus berikut:


NaCl = 0,6( N-n) x BB
N = Kadar Na yang diinginkan
n = Kadar Na sekarang
BB = berat badan dalam kg

Tabel 7. Gradasi Hiponatremia4


Gradasi Gejala Tanda
Ringan ( Na 105-118) Haus Mukosa kering
Sedang (Na 90-104) Sakit kepala, mual, Takikardi, hipotensi
vertigo
Berat (Na <90) Apatis, koma Hipotermi

Pertimbangan Anestesi
Hiponatremia sering merupakan manifestasi dari gangguan yang medasari sebuah
penyakit, justeru memerlukan evaluasi pra operatif yang amat teliti. Konsentrasi natrium
plasma lebih besar dari 130 mEq / L biasanya dianggap aman untuk pasien yang menjalani
anestesi umum. Dalam sebagian besar keadaan, plasma [Na +] harus diperbaiki untuk lebih
dari 130 mEq / L untuk prosedur elektif, tanpa adanya gejala neurologis. Konsentrasi yang
lebih rendah dapat menyebabkan edema serebral signifikan yang dapat dimanifestasikan
secara intraoperatif sebagai penurunan konsentrasi alveolar minimum atau pasca operasi
sebagai agitasi, kebingungan, atau mengantuk. Pasien yang menjalani reseksi transurethral
dari prostat dapat menyerap jumlah air yang banyak dari cairan irigasi (sebanyak 20 mL /
menit) dan berada pada risiko tinggi untuk pengembangan cepat yang mendalam keracunan
air akut.1
Pasien hiponatremia amat sensitif terhadap vasodilatasi dan efek inotropik negatif dari
anestesi uap, propofol, dan agen terkait dengan pelepasan histamin (morfin, meperidine).
Persyaratan dosis untuk obat lain juga harus dikurangi untuk mengimbangi penurunan
volume distribusi. Pasien hiponatremia sangat sensitif terhadap blokade simpatik dari anestesi
spinal atau epidural. Jika anestesi harus diberikan sebelum koreksi yang memadai
hipovolemia, etomidate atau ketamin mungkin agen induksi pilihan untuk anestesi umum.1

2. Hipernatremia
Hiperosmolalitas terjadi setiap kali total kandungan tubuh terlarut meningkatkan
relatif terhadap TBW dan biasanya, tapi tidak selalu, berhubungan dengan hipernatremia
([Na +]>
145 mEq / L). Hiperosmolalitas tanpa hipernatremia dapat dilihat selama hiperglikemia
ditandai atau mengikuti akumulasi zat osmotik aktif normal dalam plasma. Konsentrasi
natrium plasma dapat benar-benar berkurang karena air diambil dari intraseluler ke
kompartemen ekstraseluler. Untuk setiap 100 mg peningkatan / dL pada konsentrasi glukosa
plasma, natrium plasma menurun sekitar 1,6 mEq / L. Hipernatremia hampir selalu
merupakan hasil dari baik kerugian relatif air lebih dari natrium (hipotonik cairan rugi) atau
retensi dalam jumlah besar natrium. Bahkan ketika kemampuan berkonsentrasi ginjal
terganggu, haus biasanya sangat efektif dalam mencegah hipernatremia. Hipernatremia
karena itu paling sering terlihat pada pasien lemah yang tidak dapat minum, sangat tua, yang
sangat muda, dan pasien dengan gangguan kesadaran. Pasien dengan hipernatremia mungkin
memiliki konten natrium tubuh total yang rendah, normal, atau tinggi.1
Jika kadar natrium > 150 mg/L maka akan timbul gejala berupa perubahan mental,
letargi, kejang, koma, lemah.3 Manifestasi neurologis akan mendominasi dahulu pada pasien
dengan hipernatremia dan umumnya diduga hasil dari dehidrasi selular. Gelisah, lesu, dan
hyperreflexia dapat berkembang menjadi kejang, koma, dan akhirnya kematian. Gejala
berkorelasi lebih dekat dengan laju pergerakan air keluar dari sel-sel otak daripada tingkat
absolut hipernatremia. Cepat penurunan volume otak akan menyebabkan pembuluh darah
otak pecah dan mengakibatkan fokus perdarahan intraserebral atau subarachnoid. Kejang dan
kerusakan saraf serius yang umum, terutama pada anak-anak dengan hipernatremia akut
ketika plasma [Na +] melebihi 158 mEq / L. Hipernatremia kronis biasanya ditoleransi lebih
baik berbanding dengan bentuk akut.1
Hipernatremi dapat disebabkan oleh kehilangan cairan (yang disebabkan oleh diare,
muntah, diuresis, diabetes insipidus, keringat berlebihan), asupan air kurang, asupan natrium
berlebihan.1,3,4,5,7 Pengobatan hipernatremia bertujuan untuk mengembalikan osmolalitas
plasma normal serta mengoreksi penyebab yang mendasari. Defisit air umumnya harus
diperbaiki dalam 48 jam dengan larutan hipotonik seperti 5% dextrose dalam air. Kelainan
pada volume ekstraseluler juga harus diperbaiki. Namun, koreksi yang cepat dari
hipernatremia dapat mengakibatkan kejang, edema otak, kerusakan saraf permanen, dan
bahkan kematian. Justeru pemberian serial Na + osmolalitas harus diperoleh selama
pengobatan. Secara umum, penurunan konsentrasi natrium plasma tidak harus melanjutkan
pada tingkat yang lebih cepat dari 0,5 mEq / L / jam.1 Terapi keadaan ini adalah penggantian
cairan dengan 5% dekstrose dalam air sebanyak {(X-140) x BB x 0,6}: 140.1,3,4,5,7
.
Pertimbangan anestesi
Hasil kajian mendapatkan hipernatremia akan meningkatkan konsentrasi alveolar
minimum pada anestesi inhalasi pada hewan percobaan, tetapi signifikasi klinisnya lebih
mendekati dengan defisit cairan yang terkait. Hipovolemia akan lebih terlihat pada setiap
vasodilatasi atau depresi jantung dari agen anestesi dan predisposisi hipotensi dan hipoperfusi
jaringan. Penurunan volume distribusi untuk obat memerlukan pengurangan dosis untuk
sebagian besar agen intravena, sedangkan penurunan cardiac output meningkatkan
penyerapan anestesi inhalasi. Operasi elektif harus ditunda pada pasien dengan hipernatremia
yang signifikan (> 150 mEq / L) sampai penyebabnya didirikan dan defisit cairan dikoreksi.
Air dan defisit cairan isotonik harus diperbaiki sebelum operasi elektif.1

3. Hipokalemia
Nilai normal Kalium plasma adalah 3,5-4,5 mEq/L. Disebut hipokalemia apabila
kadar kalium <3,5mEq/L. Dapat terjadi akibat dari redistribusi akut kalium dari cairan
ekstraselular ke intraselular atau dari pengurangan kronis kadar total kalium tubuh. Tanda
dan gejala hipokalemia dapat berupa disritmik jantung, perubahan EKG (QRS segmen
melebar, ST segmen depresi, hipotensi postural, kelemahan otot skeletal, poliuria, intoleransi
glukosa. Terapi hipokalemia dapat berupa koreksi faktor presipitasi (alkalosis,
hipomagnesemia, obat- obatan), infuse potasium klorida sampai 10 mEq/jam (untuk mild
hipokalemia >2 mEq/L) atau infus potasium klorida sampai 40 mEq/jam dengan monitoring
oleh EKG (untuk hipokalemia berat;<2mEq/L disertai perubahan EKG, kelemahan otot yang
hebat).1,4,5,6,7

Rumus untuk menghitung defisit kalium:


K = K1 - (K0 x 0,25 x BB)
K = kalium yang dibutuhkan
K1 = serum kalium yang
diinginkan K0 = serum kalium
yang terukur BB = berat badan (kg)

Pertimbangan anestesi
Hipokalemia merupakan temuan pra operasi umum. Keputusan untuk melanjutkan
dengan operasi elektif sering didasarkan pada plasma lebih rendah [K +] antara 3 dan 3,5
mEq
/ L. Keputusan, bagaimanapun, juga harus didasarkan pada tingkat perkemkembangan
hipokalemia serta ada atau tidak adanya disfungsi organ sekunder. Secara umum,
hipokalemia ringan kronis (3-3,5 mEq / L) tanpa perubahan EKG tidak meningkatkan risiko
anestesi. Namun ini mungkin tidak berlaku untuk pasien yang menerima digoksin, yang
mungkin mempunyai peningkatan risiko mengembangkan lagi toksisitas digoxin dari
hipokalemia tersebut. Maka nilai plasma [K +] di atas 4 mEq / L yang diinginkan pada pasien
tersebut. Manajemen intraoperatif hipokalemia membutuhkan pemantauan EKG yang teliti
dan berwaspada. Kalium intravena harus diberikan jika atrium atau ventrikel aritmia terjadi.
Solusi intravena glukosa bebas harus digunakan dan hiperventilasi harus dihindari untuk
mencegah penurunan lebih lanjut dalam plasma [K +]. Peningkatan sensitivitas terhadap
blocker neuromuskuler (NMBS) akan dapat dilihat pada status hipokalemia, oleh karena itu
dosis NMBS harus dikurangi 25-50%, dan stimulator saraf harus digunakan untuk mengikuti
tingkat kelumpuhan dan kecukupan reversinya.

4. Hiperkalemia
Kalium (K+) memainkan peran utama dalam elektrofisiologi dari membran sel serta
karbohidrat dan protein sintesis. Potensial membran sel istirahat biasanya tergantung pada
rasio intraseluler dan ekstraseluler konsentrasi kalium. Konsentrasi kalium intraseluler
diperkirakan 140 mEq / L, sedangkan konsentrasi kalium ekstraseluler biasanya sekitar 4
mEq / L. Dalam beberapa kondisi, redistribusi K+ antara cairan ekstraselular dan
kompartemen cairan intraselular dapat mengakibatkan perubahan yang nyata dalam
ekstraseluler K+ tanpa perubahan total konten kalium tubuh.1
Hiperkalemia adalah jika kadar kalium > 5 mEq/L. Hiperkalemia sering terjadi karena
insufisiensi renal atau obat yang membatasi ekskresi kalium (NSAIDs, ACE-inhibitor,
siklosporin, diuretik). Tanda dan gejalanya terutama melibatkan susunan saraf pusat
(parestesia, kelemahan otot) dan sistem kardiovaskular (disritmik, perubahan EKG). 3 Efek
paling penting dari hiperkalemia berada di otot rangka dan jantung. Kelemahan otot rangka
pada umumnya tidak terlihat sampai plasma [K +] lebih besar dari 8 mEq / L, dan karena
depolarisasi berkelanjutan spontan dan inaktivasi kanal Na + membran otot, akhirnya
mengakibatkan kelumpuhan.3 Perubahan EKG berlaku secara berurutan dari simetris
memuncak gelombang T (sering dengan interval QT memendek) → pelebaran kompleks
QRS
→ perpanjangan interval P-R → hilangnya gelombang P → hilangnya amplitudo R-
gelombang
→ depresi segmen ST (kadang-kadang elevasi) → EKG yang menyerupai gelombang sinus,
sebelum perkembangan fibrilasi ventrikel dan detak jantung. Kontraktilitas dapat relatif baik
dipertahankan sampai akhir dalam perjalanan hiperkalemia progresif. Hipokalsemia,
hiponatremia, dan asidosis menonjolkan efek jantung hiperkalemia.1

Tabel 8. Gambaran EKG berdasarkan Kadar K Plasma3


Kadar K plasma Gambaran EKG
5,5-6 mEq/L Gelombang T tinggi
6-7 mEq/L P-R memanjang dan QRS melebar
7-8 mEq/L P mengecil & takikardi ventrikel
>8 mEq/L Fibrilasi ventrikel

Bila kadar K plasma <6,5mEq/L diberikan: Diuretik, Natrium bikarbonat, Ca


glukonas, glukonas-insulin, Kayekselate. Bila dalam 6 jam belum tampak perbaikan,
dilakukan hemodialisis. Bila fungsi ginjal jelek, pertimbangkan hemodialisis lebih dini. Pada
kadar K plasma >6,5 mEq/L, segera lakukan dialisis.6,7

Pertimbangan Anestesi
Operasi elektif sebaiknya tidak dilakukan pada pasien dengan hiperkalemia
signifikan. Manajemen anestesi pasien bedah hiperkalemia diarahkan pada menurunkan
konsentrasi kalium plasma dan mencegah kenaikan lebih lanjut. EKG harus hati-hati
dipantau. Suksinilkolin merupakan kontraindikasi, seperti penggunaan setiap solusi intravena
yang menagndungi kalium seperti injeksi Ringer laktat. Menghindari asidosis metabolik atau
respiratorik sangat penting untuk mencegah kenaikan lebih lanjut dalam plasma [K +].
Ventilasi harus dikontrol dengan anestesi umum, dan hiperventilasi ringan mungkin
diinginkan. Terakhir, fungsi neuromuskular harus dipantau secara ketat, karena hiperkalemia
dapat menonjolkan efek NMBS.1
5. Hipokalsemia
Meskipun 98% dari total kalsium tubuh dalam tulang, pemeliharaan konsentrasi
kalsium ekstraseluler normal adalah penting untuk homeostasis. Ion kalsium terlibat dalam
fungsi biologis hampir semua penting, termasuk kontraksi otot, pelepasan neurotransmitter
dan hormon, pembekuan darah, dan metabolisme tulang, dan kelainan pada keseimbangan
kalsium dapat mengakibatkan derangements fisiologis yang mendalam.
Asupan kalsium pada orang dewasa rata-rata 600-800 mg / d. Penyerapan kalsium
terjadi di usus terutama di usus kecil proksimal tetapi adalah variabel. Kalsium juga disekresi
ke dalam saluran usus, dimana sekresi ini tampaknya konstan dan independen dari
penyerapan. Hingga 80% dari asupan kalsium harian biasanya hilang dalam feses. Ginjal
bertanggung jawab untuk sebagian besar ekskresi kalsium. Rata-rata ekskresi kalsium ginjal
100 mg / d namun dapat bervariasi dari serendah 50 mg / d ke lebih dari 300 mg / d.
Biasanya, 98% dari kalsium disaring dan diserap kembali. Reabsorpsi kalsium paralel dengan
natrium dalam tubulus ginjal proksimal dan loop menaik Henle. Di tubulus distal,
bagaimanapun, reabsorpsi kalsium tergantung pada hormon paratiroid (PTH) sekresi,
sedangkan reabsorpsi natrium tergantung pada sekresi aldosteron. tingkat PTH meningkat
meningkatkan reabsorpsi kalsium distal dan dengan demikian menurunkan ekskresi kalsium
urin.1
90% kalsium terikat dalam albumin, sehingga kondisi hipokalsemia biasanya terjadi
pada pasien dengan hipoalbuminemia. Hipokalsemia disebabkan karena hipoparatiroidism,
kongenital, idiopatik, defisiensi vit D, defisiensi 125(OH)2D3 pada gagal ginjal kronik, dan
hiperfosfatemia.3 Manifestasi dari hipokalsemia termasuk kulit kering, parestesia, gelisah dan
kebingungan, gangguan irama jantung, laring stridor (spasme laring), tetani dengan spasme
karpopedal (tanda Trousseau), masseter spasme (Tanda Chvostek), dan kejang. kolik bilier
dan bronkospasme.1,3 EKG dapat mengungkapkan irritasi jantung atau interval QT
perpanjangan yang mungkin tidak berkorelasi antara tingkat keparahan dengan tingkat
hipokalsemia. Penurunan kontraktilitas jantung dapat mengakibatkan gagal jantung,
hipotensi, atau keduanya. Penurunan respon terhadap digoxin dan β-adrenergik agonis juga
dapat terjadi.1
Seperti yang diketahui, hipokalsemia adalah suatu kondisi yang gawat darurat karena
menyebabkan kejang umum dan henti jantung. Dapat diberikan 20-30 ml preparat kalsium
glukonas 10% atau CaCl 10% dapat diulang 30-60 menit kemudian sampai tercapai kadar
kalsium plasma yang optimal. Pada kasus kronik, dapat dilanjutkan dengan terapi per
oral.1,5,6,7
Pertimbangan anestesi
Hipokalsemia yang signifikan harus diperbaiki sebelum operasi. Kadar kalsium
terionisasi harus dipantau intraoperatif pada pasien dengan riwayat hipokalsemia. Alkalosis
harus dihindari untuk mencegah penurunan lebih lanjut dalam Ca 2+. Kalsium intravena
mungkin diperlukan seiring transfusi darah sitrat atau pada solusi albumin dengan jumlah
besar. Potensiasi efek inotropik negatif dari barbiturat dan anestesi volatile harus diintipasi.
Respon untuk NMBS adalah tidak konsisten dan memerlukan pemantauan ketat dengan
stimulator saraf.1

KESIMPULAN

Secara normal, tubuh bisa mempertahankan diri dari ketidakseimbangan cairan &
elektrolit. Namun, ada kalanya tubuh tidak bisa mengatasinya. Ini terjadi apabila kehilangan
tterjadi dalam total banyak sekaligus, seperti pada muntah-muntah, diare, berkeringat luar
biasa, terbakar, luka/pendarahan dan sebagainya.
Cairan dan elektrolit (zat lerlarut) didalam tubuh merupakan suatu kesatuan yang
tidak terpisahkan. Bentuk gannguan keseimbangan cairan yang umum terjadi adalah lebeihan
atau kekurang cairan iaitu air. Kelebihan cairan disebut overhidrasi, sebaliknya kekurang
airan disebut dehidrasi. Zat terlarut yang ada dalam cairan tubuh terdiri dari elektrolit dan
nonelektrolit. Non elektrolit adalah zat terlarut yang tidak terurai dalam larutan dan tidak
bermuatan listrik, seperti protein, urea, glukosa, oksigen, karbon dioksida dan asam-asam
organik. Sedangkan elektrolit tubuh mencakup natrium (Na+), kalium (K+), kalsium (Ca++),
magnesium (Mg++), klorida (Cl-), bikarbonat(HCO3-), fosfat (HPO42-), sulfat (SO42-).
Elektrolit yang utama yang sering menyebabkan gangguan pada hemodinamik tubuh adalah
natrium, kalium, dan kalsium
Pasien yuang mengalami gangguan cairan dan elektrolit sebaiknya segera ditangani
karena sebagian besar dalam tubuh manusia terdiri dari cairan dan elektrolit dan apabila tidak
segera ditangani akan menyebabkan kematian
DAFTAR PUSTAKA

1. Butterworth JF, Mackey DC, Wasnick JD. Management of Patients with Fluid and
Electrolyte Disturbances. Dalam Morgan & Mikhail’s Clinical Anesthesiology 5th ed.
New York: Mc-Graw Hill. 2013; 4 (49): h. 1107 – 40.
2. Hines RL, Marschall KE. Fluid, Electrolytes, and Acid-Base Disorders. Dalam
Handbook for Stoelting’s Anesthesia and Co-Existing Disease 4th ed. Philadelphia:
Elsevier Inc. 2013; 18: h.216 – 230.
3. Mangku G, Senapathi TGA. Keseimbangan Cairan dan Elektrolit. Dalam Buku Ajar
Ilmu Anestesia dan Reanimasi. Jakarta: Indeks; 2010. 6 (5) : h.272 – 98.
4. Hahn RG. Crystalloid Fluids. Dalam Clinical Fluid Therapy in the Perioperative
Setting. Cambridge: Cambridge University Press. 2012; 1 : h. 1 – 10.
5. Stoelting RK, Rathmell JP, Flood P, Shafer S. Intravenous Fluids and Electrolytes.
Dalam Handbook of Pharmacology and Physiology in Anesthetic Practice 3 rd ed.
Philadelphia: Wolters Kluwer Health. 2015; 17 : h. 341 – 49.
6. Voldby AW, Branstrup B. Fluid Therapy in the Perioperative Setting. Journal of
Intensive Care. 2016; 4 : h.27 – 39.
7. Kaye AD. Fluid Management. Dalam Basics of Anesthesia 6th ed. Philadelphia:
Elsevier Inc. 2011; 23: h. 364 – 71.

Anda mungkin juga menyukai