Anda di halaman 1dari 26

8

BAB II

KAJIAN TEORI

2.1 Teori Feminisme

Feminisme (tokohnya disebut Feminis) adalah sebuah gerakan perempuan

yang menuntut emansipasi atau kesamaan dan keadilan hak dengan pria. Feminisme

tidak seperti pandangan atau pemahaman lainnya. Feminisme tidak berasal dari

sebuah teori atau konsep yang didasarkan atas formula teori tunggal. Itu sebabnya,

tidak ada abstraksi pengertian secara spesifik atas pengaplikasian feminisme bagi

seluruh perempuan disepanjang masa.

Pengertian feminisme itu sendiri menurut Najmah dan Khatimah Sai’dah

dalam bukunya yag berjudul Revisi Politik Perempuan (2003:34) menyebutan

bahwa feminisme adalah suatu kesadaran akan penindasan dan eksploitasi terhadap

perempuan yang terjadi bik dalam keluarga, di tempat kerja, maupun di masyarakat

serta adanya tindakan sadar akan laki-laki maupun perempua untuk mengubah

keadaan tersebut secara leksikal. Feminisme adalah gerakan yang menuntut

persamaan hak sepenuhnya antara kaum perempuan dan laki-laki.

Pengertian feminisme dapat berubah dikarenakan oleh pemahaman atau

pandangan para feminis yang didasarkan atas realita secara historis dan budaya,

serta tingkat kesadaran persepsi dan perilaku. Bahkan diantara perempuan dengan

jenis-jenis yang hampir mirip terdapat perbedaan pendapat dan perdebatan


9

mengenai pemikiran feminis, sebagian didasarkan atas alasan (misalnya akar

kebudayaan) patriarkhi dan dominasi laki-laki, dan sampai resolusi final atas

perjuangan perempuan akan non-eksploitasi lingkungan, kebebasan kelas, latar

belakang, ras, dan gender.

Pada tahun 1960an para feminis berusaha untuk melihat wacana patriarkhal

yang tampil agresif terhadap perempuan atau sebaliknya justru tidak memasukkan

persoalan-persoalan perempuan di dalamnya. Dari sana kemudian, dalam

perkembangan teori feminis, ciri-ciri umum selanjutnya adalah upaya-upaya untuk

memasukkan, (Tong, 2010:150) yaitu:

1. Perempuan dan feminitas menjadi obyek teori dan penelitian yang luas.

2. Perempuan dan feminitas yang telah sekian lama diabaikan dalam teori

tradisional kini dikonsepsikan sebagai setara dengan penelitian-penelitian

seperti kajian sosial ekonomi.

3. Wacana patriarkhal sendiri mendapat kritik yang tajam, dan pada saat bersamaan

sebagai tangga

4. pannya, dan upaya-upaya untuk membuat kerangka kerja teori wacana feminis

secara ontologis, episteologi dan juga politis.

5. Teori feminis ingin melihat pendekatan wacana patriarkhal melalui

pengkaitannya dengan permasalahan perempuan, dan juga permasalahan yang

lebih “luas” atau “publik”.

6. Wacana dikotomis either/or yang selama ini sering digunakan harus ditolak atau

diadakan penyesuaian.
10

Isu-isu perempuan yang diformulasikan oleh teori-teori feminisme menjadi

tiga bagian besar teori, yakni gelombang pertama, gelombang kedua dan

gelombang ketiga feminisme. Pengkategorian tiga gelombang besar feminisme

pertama-tama dilakukan oleh Rosemarie Tong, seorang feminis yang telah

menghasilkan buku-buku teori feminisme antara lain bukunya terkenal adalah

Feminist Thought (1990).

2.1.1 Feminisme Liberal

Feminisme Liberal ialah terdapat pandangan untuk menempatkan

perempuan yang memiliki kebebasan secara penuh dan individual. Alison Jaggar

dalam bukunya Feminist Politics and Human Nature, mengemukakan bahwa dalam

pemikiran kaum liberal, sifat asariah manusia yang unik adalah kemampuan

rasionalitasnya. Namun argumen klasik Aristoteles bahwa manusia adalah animal

rasionale (binatang yang berasio) maka kaum liberal mendefinisikan rasionalitas

dalam berbagai aspek termasuk penekanan terhadap moralitas dan kebijaksanaan

(Gadis Arivia, 2003:99).

Setiap manusia demikian menurut mereka punya kapasitas untuk berpikir

dan bertindak secara rasional, begitu pula pada perempuan. Akar ketertindasan dan

keterbelakangan pada perempuan ialah karena disebabkan oleh kesalahan

perempuan itu sendiri. Perempuan harus mempersiapkan diri agar mereka bisa

bersaing di dunia dalam kerangka "persaingan bebas" dan punya kedudukan setara

dengan lelaki.
11

Feminis Liberal memilki pandangan mengenai negara sebagai penguasa

yang tidak memihak antara kepentingan kelompok yang berbeda yang berasal dari

teori pluralisme negara. Mereka menyadari bahwa negara itu didominasi oleh kaum

pria, yang terefleksikan menjadi kepentingan yang bersifat “maskulin”, tetapi

mereka juga menganggap bahwa negara dapat didominasi kuat oleh kepentiangan

dan pengaruh kaum pria tadi. Singkatnya, negara adalah cerminan dari kelompok

kepentingan yang memang memiliki kendali atas negara tersebut. Untuk

kebanyakan kaum Liberal Feminis, perempuan cendrung berada “di dalam” negara

hanya sebatas warga negara bukannya sebagai pembuat kebijakan. Sehingga dalam

hal ini ada ketidaksetaraan perempuan dalam politik atau bernegara. Dalam

perkembangan berikutnya, pandangan dari kaum Feminist Liberal mengenai

“kesetaraan” setidaknya memiliki pengaruhnya tersendiri terhadap perkembangan

“pengaruh dan kesetaraan perempuan untuk melakukan kegiatan politik seperti

membuat kebijakan di sebuah negara.

Feminisme Liberal Pada Abad ke-18 : Pendidikan yang Sama untuk

Perempuan.

Mary Wollstonecraft menulis A Vindication of the Rights of Women di tahun

1792, berpendapat bahwa perempuan seharusnya memiliki akses yang sama seperti

laki-laki pada kesempatan ekonomi dan pendidikan. Kaum feminis liberal

kontemporer ingin membuat perempuan lebih terkenal dalam politik dunia,

menghilangkan akses yang berbeda pada kekuatan dan pengaruh atas laki-laki dan

perempuan, dan dengan demikian untuk mencapai hak yang sama bagi laki-laki

atau perempuan.
12

Mary Wollstonecraft, dalam bukunya A Vindication of the Right of

Women menggambarkan masyarakat Eropa yang sedang mengalami kemunduran

dimana perempuan dikekang didalam rumah tidak diberikan kesempatan untuk

masuk dipasar tenaga kerja dan melakukan pekerjaan rumah tangga. Sedangkan

laki-laki diberikan kebebasan untuk mengembangkan diri seoptimal mungkin.

Padahal kalau perempuan diberikan kesempatan yang sama juga bisa

mengembangkan diri secara optimal, asal perempuan juga diberikan pendidikan

yang sama dengan pria.

Wollstone berusaha keras untuk mencari solusi bagi hal tersebut dan

penyamarataan pendidikanlah solusinya. Dengan menyamaratakan pendidikan

kaum perempuan dengan pendidikan kaum laki-laki, maka hal itulah yang akan

membuat seorang wanita itu menjadi “independent women”, bukan hanya menjadi

boneka dan mainannya kaum lelaki (Gadis Arivia, 2003:101).

Feminisme Liberal Pada Abad ke-19 : Kesempatan Hak Sipil dan Ekonomi bagi

Perempuan dan Laki-laki.

J.S Mill dan Harriet Tailor Mill bergabung dengan Wollestonecraft. Yang

menekankan pentingnya rasionalitas untuk perempuan. J S Mill dan Harriet Tailor

Mill lebih jauh menekankan agar persamaan permpuan dan laki-laki terwujud, tidak

cukup diberikan pendidikan yang sama tetapi juga harus diberikan kesempatan

untuk berperan dalam ekonomi dan dijamin hak sipilnya yang meliputi hak untuk

berorganisasi, kebebasan untuk berpendapat, hak untuk memilih dan hak milik

pribadi serta hak-hak sipil lainnya.


13

Sumbangan lain pemikiran mereka berdua adalah dua-duanya menekankan

pentingnya Pendidikan, Kemitraan dan Persamaan. Mill lebih menekankan pada

pendidikan dan hak, sedangkan Taylor lebih menekankan kemitraan. Mill lebih

jauh juga mempertanyakan superioritas laki-laki, menurutnya bahwa laki-laki itu

tidak lebih superior secara intelektual dari perempuan. Pemikiran Mill yang juga

menarik bahwa kebajikan yang ditempelkan pada perempuan seringkali merugikan

perempuan karena perempuan tidak bisa menjadi diri sendiri, sebab ia akan menjadi

orang yang dikehendaki masyarakat (Gadis Arivia, 2003:103).

Tindakan Feminisme Liberal Abad ke-20.

The Feminis Mistique yang ditulis oleh Betty Frieden, bila kita bandingkan

dengan buku yang ditulis sebelumnya oleh Wollestone, JS Mills dan Harriet Tylor

terkesan tidak radikal. Menurut Betty perempuan kelas menengah yang menjadi ibu

rumah tangga merasa hampa dan muram. Mereka menghabiskan waktunya hanya

untuk berbelanja, jalan-jalan, perawatan, mempercantik diri, memuaskan nafsu

sang suami, dan sebagainya. Sehingga solusi untuk menangani permasalhan

tersebut adalah bahwa kaum wanita harus kembali ke sekolah dan kemudian

memberikan kontribusi untuk ekonomi keluarga, berkarir namun tetap menjadi ibu

rumah tangga juga, berjalan beriringan.

Namun duapuluh tahun kemudian ia menyadari dalam bukunya The Second

Stage bahwa berkarir sekaligus menjadi ibu rumah tangga merupakan hal yang

sangat sulit, selain harus melayani suaminya, juga harus melayani majikannya di

kantor. Sehingga hal yang perlu dilakukan adalah bdengan melakuakn pergerakan

sehingga menyadari keterbatasan-keterbatasan dalam dirinya yang diciptakan


14

masyarakat sehingga mampu untuk memperbaiki kondisi tersebut, harus menjalin

suatu kooperasi dengan kaum laki-laki untuk merubah mindset masyarakat pada

bidang publik dan privat, yaitu suami pun harus ikut memikul beban keluarga dalam

hal ekonomi, rumah tangga dan anak.

Mengingat bahwa feminisme liberal merupakan yang paling banyak

penganutnya di Amerika. Pijakan para kaum feminis adalah The Declaration of

Independence yang menyatakan bahwa laki-laki dan perempuan diciptakan sama.

Esensi gender kaum feminis Amerika lebih berpijak pada analisis budaya dan

sejarah, jika dibandingkan dengan feminisme Prancis yang lebih menekankan pada

psikoanalisis Freud. Elizabeth Cady merupakan tokoh feminis Amerika Serikat

yang memprakarsai konvensi hak-hak perempuan di Seneca Falls pada 1848. Dia

memperjuangkan hak suara kaum perempuan Amerika Serikat. Teks Declaration

of Indepence menjadi pijakan Elizabeth untuk menulis Declaration of Sentiments

and Resolution yang menjadi hasil konvensi dalam pertemuan bersejarah, yaitu

Konvensi Hak-Hak Perempuan di Seneca Falls pada 19 Juli 1848. Deklarasi

Kemerdekaan Amerika 1776 menyatakan bahwa semua manusia diciptakan sama.

Berdasarkan deklarasi tersebut, konvensi menuntut prinsip-prinsip liberal

diterapkan, baik kepada perempuan maupun laki-laki. Dia menegaskan bahwa

kata “all the people” dalam Kata “All the people” dalam konstitusi Amerika Serikat

memiliki arti bukan hanya laki-laki didalamnya, tetapi perempuan juga. Kaum

feminis di Amerika Serikat ini menuntut kedudukan professional, pekerjaan ahli,

memprotes upah rendah, dan bekerja dengan upah yang sama dengan laki-laki.

Mereka juga menuntut hak pilih reproduksi dan pelegalan aborsi. Bagaimanapun,
15

sellauada pro dan kontra akan adanya pergerakan perempuan di Amerika serikat

ini, di satu sisi, mereka menganggap bahwa perempuan adalah pribadi yang sama

dengan laki-laki, di sisi lain, mereka menganggap bahwa perempuan memiliki

perbedaan secara biologis dan psikologis. Hal itu menyebabkan perdebatan

amandemen 19 yang menjamin hak pilih perempuan.

The Liberal National Organization for Women (NOW) berjuang untuk

kemajuan pribadi perempuan. NOW menggunakan kasus hukum, melobi Kongres,

dan menekan Presiden untuk menurunkan batasan-batasan bagi perempuan. Salah

satu usulan utama NOW adalah ratifikasi Equal Rights Amendment (ERA) atau

Amandemen Persamaan Hak yaitu menghapuskan perbedaan perlakuan terhadap

jenis kelamin dalam bidang hukum. Hal ini berhasil memaksa New York Times

menghapuskan iklan klasifikasi pekerjaan yang spesifik “Male

Only” atau “Female Only”, juga restoran yang dulu hanya untuk konsumsi laki-

laki. Integrasi dan reformasi adalah tujuan mereka, bukan pemisahan dan revolusi.

Kritik yang paling utama bagi Feminisme Liberal adalah bahwa Feminsime

liberal tidak pernah mempertanyakan ideoologi Patriarki dan sama sekali tidak

menjelaskan akar ketertindasan perempuan.Para kaum Feminisme Liberal hanya

berkata bahwa sumber permasalhan perempuan selama ini adalah karena

perempuannya itu sendiri dan solusi yang harus dilakukan adalah dengan

membekali kaum perempuan dengan pendidikan dan juga pendpatan. Kaum

Feminis Liberal dianggap tidak mampu untuk melihat bahwa perempuan

merupakan golongan yang paling minim mendpat akses pendidikan, entah karena

biaya yang mahal ataupun karena diskriminasi yang kerap terjadi. Kemudian
16

bagaimana cara kaum perempuan bisa mendapatkan penghasilan yang layak,

sedangakan sebagian besar dari mereka hidup dan tinggal di negara-negara dunia

ketiga, yang merupkan korban imperialisme dan hidup di bawah garis kemiskinan.

Secara faktual gerakan feminisme Liberal juga dianggap tidak bisa

menangkal serangan pemerintah terhadap perempuan, dimana dalam banyak kasus

kemanusiaan, perempuan dan anak jadi korban pertama. Para kaum Feminis Liberal

dianggap tidak berhasil dalam memberikan penjelasan mengapa secara sexis masih

terjadi ketidaksetaraan gender yang sangat signifikan, bukan hanya di negara

berekmbang, namun di negara kapitalis maju pun masih kerap ditemukan perbedaan

gaji dan kesempatan bagi kaum buruh wanita dan laki-laki.

Pola pikir dari arus feminisme yang lahir di Barat tersebut, ditinjau dari

perspektif kelas, setidaknya, akan memunculkan dua cacat politik. Pertama, konsep

ini akan menciptakan terpecahnya konsentrasi ‘perjuangan kelas’ dari perempuan

kelas tertindas untuk membebaskan diri dari kapitalisme. Kedua, konsep ini akan

membentuk perspektif dikotomik-gender yang tidak produktif, yakni sebuah

perspektif yang memandang bahwa manusia yang berjenis kelamin laki-laki adalah

musuh.

Jean Bethke Elshtain dalam bukunya A Political Theorist. Mengkritik

bahwa semua perempuan ingin menjadi seperti laki-laki, mengadopsi sifat laki-laki

(mengutamakan rasionalitas tidak boleh menunjukan emosional) untuk mengurangi

ketertindasannya. Padahal kaum perempuan tidak boleh menggunakan cara berpikir

laki-laki, karena mereka pun memiliki cara berpikir mereka sendiri yang dapat

dibedakan dengan cara berpikir laki-laki. Sebagi seorang manusia, mengadopsi cara
17

berpikir keduanya merupakan suatu keharusan, agar tidak

mendikotomikan nurture dan nature itu sendiri.

Selain itu, perlunya membentuk pergerakan yang masif, pergerakan tersebut

jangan hanya dilakukan oleh kelompok-kelompok kecil, karena hal itu jelas akan

menghancurkan kumunalitas, sehingga disinilah adanya committe organizer itu

diperlukan untuk mengorganisasi masa. Dalam Feminist Politics and Human

Nature, Alison Jaggar menformulasikan kritik yang kedua, seperti Elshtain jaggar

juga mengkritik feminis liberal bahwa perempuan harus mengadopsi nilai laki-laki

yaitu rasionalitas dan otonomi. Sedangkan menurut Jaggar kita tidak boleh

mendikotomi nilai laki-laki dan perempuan justru laki-laki dan perempuan harus

mengadopsi nilai kedua-duanya secara seimbang.

Jaggar juga mengkritik feminis liberal yang melihat perempuan itu satu,

padahal menurut Jaggar perempuan itu tidak satu tapi bermacam-macam. Sehingga

solusi dari kaum feminis belum bisa memecahkan segala persoalan, karena mereka

terlalu mengeneralisasi seluruh kaum wanita sebagai sesuatu hal yang sama, tanpa

berpikir adanya perbedaan diantara mereka. Tidak semua kaum wanita itu berkulit

putih, kelas menengah, straight dalam sex, satu agama, satu budaya, satu ras,

namun benyak juga diantara mereka yang berkulit hitam, kelas bawah, lesbian,

biseksual, PSK, berbeda agama, berbeda budaya, berbeda ras, sehingga faktor

ketertindasan kaum wanita beserta solusi pemecahannya pun tentu akan berbeda

satu sama lain.

Kemudian Feminisme Liberal cenderung menerima nilai-nilai maskulin

sebagai manusia, sehingga gerakannya mengarah pada emansipasi, cenderung


18

membentuk manusia individualis. Padahal kenyataannya, manusia hidup

berkelompok didalam masyarakat dan mempunyai pemikiran dualistik, kebebasan

individu dan bertindak rasonal adalah konsep maskulin. Padahal, secara alamiah

terdapat perbedaan seks.

Berdasarkan pemaparan diatas, bahwa menggunakan perspektif gender

(feminisme) dalam Hubungan Internasional, selain menawarkan cara pandang baru,

juga menjadi penting dalam memahami kondisi ekonomi politik dan keamanan

internasional. Teori feminisme merupakan teori sebagai upaya atas kritikan

terhadap studi laki-laki untuk mentransformasikan tekanan struktural, dimulai dari

pengalaman tekanan sebagai perempuan. Salah satu fokus kajian disini adalah

mengenai feminisme liberal yang merupakan varian dari feminisme yang

mendasarkan pemikirannya berdasarkan konsep liberal dimana pria dan wanita itu

memiliki hak dan kesempatan yang sama, pria dan wanita merupakan makhluk

yang sama-sama memiliki rasionalitas. Berbagai gerakan kaum feminis liberal pun

muncul khususnya di Amerika, sebagai negara kelahiran, juga negara dengan

jumlah kaum feminisme terbesar, yang memberikan pengaruh besar pada saat itu,

walaupun banyak kritik yang menyerang pemikiran kaum feminis liberal (Gadis

Arivia, 2003:110).

2.2 Film

Definisi film berbeda di setiap negara, di Perancis ada pembedaan antara film

dan sinema. Filmis berarti berhubungan dengan film dan dunia sekitarnya, misalnya

sosial poliik dan kebudayaan. Kalau di Yuniani, film dikenal dengan istilah cinema,
19

yang merupakan singkatan cinematograph (nama kamera dari Lumiere bersaudara).

Cinemathograpie secara harfiah berarti cinema (gerak), tho atau phytos adalah

cahaya, sedangkan graphie berarti tulisan atau gambar. Jadi, yang dimaksud

cinemathograpie adalah melukis gerak dengan cahaya. Ada juga istilah lain yang

berasal dari bahasa Inggris, yaitu movies, berasal dari kata move artinya gambar

bergerak atau gambar hidup (Nawiroh, 2014:91).

Film merupakan salah satu media komunikasi massa. Dikatakan sebagai

media komunikasi massa karena merupakan bentuk komunikasi yang

menggunakan saluran (media) dalam menghubungkan komunikator dan

komunikan secara massal, dalam arti berjumlah banyak, tersebar dimana-mana,

khalayaknya heterogen dan anonim, dan menimbulkan efek tertentu. Film dan

televisi memiliki kemiripan, terutama sifatnya yang audio visual, tetapi dalam

proses penyampaian pada khalayak dan proses produksinya agak sedikit berbeda

(Tan & Wright, dalam Ardianto & Erdinaya, 2004:3).

2.2.1 Unsur-Unsur Film

Unsur film berkaitan erat dengan karakteristik utama, yaitu audio visual.

Unsur audio visual dikategorikan ke dalam dua bidang, (Nawiroh, 2014:92), yaitu

sebagai berikut :

1. Unsur naratif, yaitu materi atau bahan olahan, dalam film cerita unsur naratif

adalah penceritaanya.

2. Unsur sinematik, yaitu cara atau dengan gaya seperti apa bahan olahan itu

digarap.
20

Kedua unsur ini tidak dapat dipisahkan, keduanya saling terikat sehingga

menghasilkan sebuah karya yang menyatu dan dapat dinikmati oleh penonton,

unsur sinematik terdiri atas beberapa aspek (Nawiroh, 2014:93), yaitu:

1. Mise en scene.

2. Sinematografi.

3. Editing.

4. Suara.

Mise en scene berasal dari Perancis, tanah leluhurnya bapak perfilman dunia

Louis dan Auguste Lumiere, yang secara sederhana bisa diartikan sebagai segala

sesuatu yang berada di depan kamera. Ada 4 elemen penting dari mise en scene,

(Nawiroh, 2014:93) yaitu:

1. Setting.

2. Tata Cahaya.

3. Kostum dan make up.

4. Akting dan pergerakan pemain.

Pemahaman tentang sinematografi sendiri mengungkap hubungan esensial

tentang bagaimana perlakuan terhadap kamera serta bahan baku yang digunakan,

juga bagaimana kamera digunakan untuk memenuhi kebutuhannya yang

berhubungan dengan objek yang akan direkam. Editing secara teknis merupakan

aktivitas dari proses pemilihan, penyambungan dari gambar-gambar (shots).


21

Melalui editing sruktur, ritme serta penekanan dramatik dibangun /diciptakan.

Suara di dalam film adalah seluruh unsur bunyi yang berhubungan dengan gambar.

Elemen-elemennya bisa dari dialog, musik ataupun efek (Nawiroh, 2014:93).

2.2.2 Jenis-Jenis Film

Pada dasarnya film dikategorikan menjadi dua jenis utama, yaitu film cerita

atau disebut juga fiksi dan film noncerita, disebut juga nonfiksi. Film cerita atau

fiksi adalah film yang dibuat berdasarkan kisah fiktif. Film fiktif dibagi menjadi

dua, yaitu film cerita pendek dan film cerita panjang. Perbedaan yang paling

spesifik dari keduanya adalah pada durasi. Film cerita pendek berdurasi di bawah

60 menit, sedangkan film cerita panjang pada umumnya berdurasi 90-100 menit,

ada juga yang sampai 120 menit atau lebih.

Film nonfiksi contohnya adalah film dokumenter, yaitu film yang

menampilkan tentang dokumentasi sebuah kejadian, baik alam, flora, fauna,

ataupun manusia. Perkembangan film berpengaruh pula pada jenis film

dokumenter, muncul jenis dokumenter lain yang disebut dokudrama. Dalam

dokudrama terjadi reduksi realita demi tujuan-tujuan estetis, agar gambar dan cerita

lebih menarik (Effendy, 2003:3).

Genre adalah klasifikasi tertentu pada sebuah film yang memilliki ciri

tersendiri, dalam film fiksi atau film cerita terdapat banyak genre (Nawiroh, 2014:

95), antara lain:


22

1. Film drama.

2. Film laga (action).

3. Film komedi.

4. Film horor.

5. Film animasi.

6. Film science fiction.

7. Film musikal.

8. Film kartun.

2.3 Analisis Naratif

Narasi berasal dari kata Latin narre, yang artinya “membuat tahu”. Dengan

begitu, narasi berhubungan dengan usaha untuk memberitahu sesuatu atau

peristiwa. Teori naratif merupakan teori yang membahas tentang perangkat dan

konvensi dari sebuah cerita. Cerita yang dimaksud bisa dikategorikan fiksi atau

fakta yang adah disusun secara berurutan. Hal ini memungkinkan khalayak untuk

terlibat dalam cerita tersebut.

Pengertian narasi itu mencakup dua unsur dasar, yaitu pembuatan atau

tindakan yang terjadi dalam suatu rangkaian waktu, menggambarkan suatu objek

statis, maka narasi mengisahkan suatu kehidupan yang dinamis dalam suatu
23

rangkaian waktu. Berdasakan uraian tersebut, narasi dapat terbatasi sebagai suatu

bentuk wacana yang sasaran utamanya adalah tindak-tanduk moral yang dijalani

dan dirangkaikan menjadi sebuah peristiwa yang terjadi dalam suatu keadaan

waktu.

Definisi menarik tentang narasi di ungkapkan oleh Bragnigan yakni narasi

adalah cara untuk saya mengelola data special dan temporal menjadi penyebab dan

memunculkan efek keterkaitannya sebuah perisiwa dari awal, tengah, dan akhir

cerita yang akan menimbulkan sifat dari cerita itu.

Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa analisis naratif adalah analisis

yarg digunakan untuk memberi tahu atau membangun struktur sebuah cerita baik

cerita fiksi mapun fakta yang di dalamnya ada alur, tokoh, karakter, sudut

penggambaran, dan lamanya secara berurutan. Menurut Branston dan Stafford

narasi terdiri atas empat macam yaitu: a) narasi menurut Todorov, memiliki alur

awal, tengah dan akhir, b) sementara menurut Propp suatu cerita pasti memiliki

karakter tokoh, c) sementara menurut Lewis Strauss suatu cerita memiliki sifa-sifat

yang berlawanan, d) terakhir naras Joseph Campbell, yang mengalami pembahasan

narasi dengan mitos. Namun, peneliti hanya menggunakan teori narasi menurut

Todorov, karena film ini masuk kategori drama (Gorys, 1997:144).


24

2.3.1 Teori Naratif Menurut Tzvetan Todorov

Tvzetan Todorov mengatakan bahwa semua cerita dimulai dengan

“keseimbangan” dimana beberapa potensi pertentangan berusaha "diseimbangkan”

pada suatu waktu. Teorinya mungkin terdengar separti klise bahwa cerita punya

awal, pertengahan dan sebuah akhir. Namun, keseimbangan menandai sebuah

keadaan dalam sebuah cara-cara (Gorys, 1997:145).

Narasi berisi penjelasan bagaimana cerita disampaikan, bagaimana materi

dari suatu cerita dipilih dan disusun untuk mencapai efek tertentu kepada khalayak.

Narasi adalah proses dan efek dari merepresentasikan waktu dalam teks. Setiap

narasi memiliki sebuah plot atau alur yang didasarkan pada kesinambungan

peristiwa dalam narasi itu dalam hubungan sebab akibat. Ada bagian yang

mengawali narasi, ada bagian yang merupakan perkembangan lebih lanjut dari

situas awal, dan ada bagian yang mengakhiri narasi itu. Alurlah yang menandai

kapan sebuah narasi itu mulai dan kapan berakhirnya. Menurut Todorov, pada

bagian awal ada interaksi situasi dasar dan kemudian di tengah menimbulkan

konflik dan pada akhirnya biasanya akan berakhir bahagia. Tentu saja itu melalui

intervens dari produk yang akan dijual. Tidak perlu dipersoalkan, bahwa akhir

narasi masih menimbulkan persoalan baru lagi. Alur ditandai oleh puncak atau

klimaks dari kejadian dramatis dalam rentang laju narasi. Secara skematis alur

dapat dibagi (Gorys, 1997:146) sebagai berikut:


25

Diagram 2.1

Diagram Alur Film

Banyak pendapat dan kritikan mengenai pembagian waktu dalam sebuah

cerita, tetapi kritikan tidak bisa meniadakan pembagian waktu itu. Misalnya, ada

pendapat yang mengatakan, bahwa sebenarnya apa yang disebut "penyelesian” itu

sebenarnya tidak ada karena akhir dari suatu kejadian atau peristiwa akan menjadi

awal dari kejadian yang lain atau akhir dari tragadi itu merupakan sebuah diskusi,

yang pada gilirannya bagian pendahuluan dari kisah berikutnya. Sebab itu, narasi

harus diberi batasan yang lebih jelas yaitu rangkaian tindakan yang terdiri atas

tahap-tahap yang penting dalam sebuah struktur yang terikat oleh waktu. Di mana

waktu ini dibagi menjadi tiga waktu yaitu untuk bagian awal atau pendahuluan,

bagian tengah atau perkembangan, dan bagian akhir atau bagian peleraian. Berikut

isi dari ketiga bagian tadi sebagai berikut:


26

1. Alur Cerita Awal

Suatu perbuatan atau tindakan tidak akan muncul begitu saja dari

kehampaan. Perbuatan itu lahir dari suatu situasi. Situasi itu harus mengandung

sistem-sistem yang mudah meledak atau mampu meledakkan. Setiap saat situasi

dapat menghasilkan suatu perubahan yang dapat membawa akibat atau

perkembangan lebih lanjut di masa depan. Ada situasi yang sederhana, tetapi ada

juga situasi yang kompleks. Kesederhanaan atau kekompleksannya tergantung dari

matra yang berbeda. Kompleks tidaknya situasi dapat diukur dari kaitan-kaitan

antara satu faktor dengan faktor yang lain, dapat diukur dari jumlah faktornya, dan

dapat pula diukur dari akibat-akibat yang ditimbulkannya serta rangkaian-

rangkaian kejadian selanjutnya (Gorys, 1997:150).

Jadi bagian pendahuluan situasi dasar yang harus memungkinkan pembaca

atau penonton memahami adegan-adegan selanjutnya. Bagian pendahuluan

menentukan daya tarik dan selera pembaca atau penonton terhadap bagian-bagian

berikutnya, maka penulis harus menggarapnya dengan sungguh-sungguh secara

seni. Bagian pendahuluan harus merupakan seni tersendiri yang berusaha menjaring

minat dan perhatian pembaca atau penonton.

2. Alur Cerita Tengah

Bagian perkembangan adalah bagian batang tubuh yang utama dari seluruh

tindak-tanduk para tokoh. Bagian ini merupakan rangkaian dari tahap-tahap yang

membentuk seluruh proses narasi. Bagian ini mencangkup adegan-adegan yang


27

berusaha meningkatkan ketegangan, atau menggawatkan komplikasi yang

berkembang dari situasi asli (Gorys, 1997:153).

Bagian tubuh cerita sudah melepaskan dari situasi umum atau situasi awal,

dan sudah mulai memasuki tahap konkritisasi. Konkritisasi diungkapkan dengan

menguraikan secara terperinci peraranan semua sistem narasi, perhuatan atau

tindak-tanduk tokoh-tokoh, interelasi antara tokoh-tokoh dan tindakan mareka yang

menimbulkan benturan kepentingan. Konflik yang ada hanya bisa dimengerti dan

dipahami dengan baik, jika situasi awal dalam bagian pendahuluan sudah disajikan

secara jelas.

3. Alur Cerita Akhir

Akhir suatu cerita bukan hanya menjadi titik yang menjadi pertanda

berakhirnya suatu tindakan. Lebih tepat jika dikatakan bahwa akhir dari perbuatan

merupakan titik di mana tenaga-tenaga atau kekuatanp-kekuatan yang diemban

dalam situasi yang teripta sejak semula membersit keluar dan menemukan

pemecahannya (Gorys, 1997:154).

Bila seorang pembuat film ingin membuat sebuah cerita, ia menganggap

bagian akhir cerita sebagai titik di mana perbuatan dan tindak-tanduk dalam seluruh

narasi itu menghasilkan maknanya yang bulat dan penuh. Bagian ini merupakan

titik di mana struktur dan makna memperoleh fungsi sepenunhnya. Dengan kata

lain, bagian penutup merupakan titik di mana penonton tsebenuhnya merasa, bahwa

struktur dan makna sebenarnya merupakan sistem dari persoalan yang sama.

Nama teknis bagian terakhir dari suatu narasi disebut juga peleraian atau

denouement. Dalam bagian ini konflik akhirnya dapat diatasi dan diselesaikan.
28

Namun demikian tidak selalu terjadi, bahwa bagian peleraian benar-benar

memecahkan masalah yang dihadapi. Pada bagian ini dalam pengertian alur, dalam

peleraian tetap dicapai akhir dari rangkaian tindakan. Bahwa akhir dari tindakan ini

menjadi awal dari persoalan berikutnya dan itu merupakan alur dari peristiwa

berikutnya.

Secara sederhana, skema pembagian tiga waktu alur cerita dalam narasi

dapat digambarkan (Tony, 2009:184) sebagai berikut:

Skema 2.1

Skema pembagian tiga waktu dalam narasi

Ekuilibrium Kekacauan Ekuilibrium

(keseimbangan) (keseimbangan)

2.4 Stereotip

Stereotipe (Stereotype) adalah pemberian label atau cap negatif yang negatif

yang dikenakan kepada seseorang atau kelompok yang didasarkan pada status

anggapan yang salah atau sesat. Cap negatif tersebut biasanya dilakukan dalam dua

hubungan social atau lebih dan seringkali digunakan sebagai alasan untuk

membenarkan sebuah tindakan dari statu kelompok pada kelompok yang lain.

Susan A Basow (1992:55) menegaskan bahwa yang paling mendasar dari

pemahaman stereotipe ini adalah adanya pembagian kerja sesuai wilayah seperti

domestik dan wilayah publik. Wilayah Domestik adalah pekerjaan yang kurang
29

penting dan kurang berbahaya, sifatnya tertutup dan dikerjakan oleh perempuan,

sementara wilayah publik adalah wilayahnya kaum lelaki karena sifatnya

menantang dan memiliki resiko tinggi dianggap kurang pantas bagi perempuan

untuk tampil di wilayah publik.

Cap-cap negatif terhadap perempuan yang umumnya kita ketahui seperti

perempuan yang lekat dengan karakter lemah secara fisik, mudah menangis, dan

irasional sedangkan laki-laki dengan pemikirannya yang rasional, independen, dan

kuat secara fisik. Pembedaan yang terbentuk dalam masyarakat ini bukanlah

sesuatu yang alamiah, namun sudah terkonstruksi (gendered world) sejak dahulu

kala era Kartini memperjuangkan emansipasi wanitanya, bahkan sejak era ketika

perempuan-perempuan Indonesia tidak dapat mengenyam pendidikan dan hanya

digunakan sebagai Jugun Ianfu pemuas kebutuhan seksual tentara Jepang. Stereotip

gender seperti inilah yang sedikit demi sedikit menjadi konstruksi sosial di dalam

masyarakat dan menjadikannya sebuah fenomena yang alamiah.

Rousseau berpandangan bahwa perempuan hanya memakai perasaan dan

tidak rasional (women were sentimental and frivolous) dan secara alami dirancang

untuk mendampingi laki-laki saja (women were naturally suited to be subordinate

companions of men). Sebelumnya pun, Rousseau dalam Emile (1762:39)

menegaskan bahwa perempuan memang harus diedukasi namun hanya terbatas

pada dua tujuan: menjadi istri yang baik dan memberikan kebahagiaan pada laki-

laki. Pemikiran Rousseau pada saat itu yang mencakup bahasan tentang peran

perempuan dalam masyarakat (Age of Enlightment) cukup berhasil merangsang


30

berbagai pemikiran dari tokoh lain seperti Mary Wollstoncraft yang

memperdebatkan gagasannya. Wollstonecraft menegaskan bahwa jenis kelamin

tidak membentuk rasionalitas seseorang melainkan pendidikan. Namun, seperti

yang telah kita ketahui, pada saat itu tidak banyak perempuan yang dapat

mengenyam pendidikan yang memadai. Inilah salah satu sumbangsih mengapa

kaum perempuan terdorongkan pada posisi subordinat baik di ranah publik maupun

privat.

Di Indonesia, tema-tema sentral dalam sejarahnya dipenuhi dengan tema

sejarah politik dan militer yang erat kaitannya dengan masalah kekuasaan dan

keperkasaan, yang dapat dikatakan milik kaum laki-laki (Kuntowijoyo, 1988:60).

Corak sejarah yang androsentris seperti ini menjadikan stereotip gender pada peran

perempuan di Indonesia yang dianggap hanya hidup sebagai figuran yang tidak bisa

menggerakkan sejarah. Bali, Jawa, dan Batak (pun mayoritas semua agama),

mengagungkan patriarki dengan kentalnya. Dalam budaya Jawa, seorang

perempuan harus bisa melakukan 3ur (sumur, dapur, kasur) menuntut perempuan

cakap memasak, mencuci, berdandan, dan melayani suami di atas kasur; dan 3m

(macak, manak, masak). Kultur Jawa pun mengkonstruksi penamaan wadon dari

bahasa Sansakerta pada perempuan yang berarti abdi/abdi dari lelaki. Bahkan lahir

akronim wanita, yang berarti wani ditata (dapat diatur). Sehingga peran perempuan

dalam keluarga pun hanya dianggap sebagai ‘konco wingking’ belaka tidak punya

peran yang begitu berarti.


31

Dalam beberapa aspek kehidupan, memang, perempuan Indonesia telah

mencapai kemajuan pesat dalam mendapatkan haknya meskipun jauh dari

pencapaian kesetaraan gender. Kebebasan baru terbuka lebar bagi bangsa Indonesia

untuk berkiprah di segala bidang pasca Indonesia merdeka (1945). Perubahan sosial

yang deras terjadi pada pergantian abad ke-19 menuju abad ke-20 dimana status

sosial kaum perempuan Indonesia perlahan-lahan berubah terbantukan oleh adanya

tokoh-tokoh penggerak emansipasi dan membuka jalan bagi haknya untuk

mengenyam pendidikan: antara lain, Raden Dewi Sartika (Bandung), R.A. Kartini

(Jepara), Rohana Kudus (Kotogadang), Rahmah El-Yunusiyah (Padang Panjang),

R. Ayu Lasminingrat (Garut), serta R. Siti Jenab (Cianjur).

Secara biologis perempuan dan laki-laki memang tidak sama, akan tetapi

sebagai makhluk jasmani dan rohani yang diperlengkap dengan akal budi

maka perempuan mempunyai hak yang sama dengan laki-laki. Keduanya adalah

pribadi yang mempunyai hak sama untuk berkembang. Namun dalam

kenyataannya, baik di negara maju maupun di negara berkembang, wanita dianggap

sebagai warga negara kelas dua (seperti The Second Sex-nya Simone de Beauvoir),

yang selalu mengalami kesulitan untuk dapat menikmati hak yang dimilikinya.

Menurut Mansour Fakih (2007:67) dalam masyarakat banyak sekali

stereotip yang dilabelkan pada kaum perempuan yang akibatnya membatasi,

menyulitkan, memiskinkan dan merugikan kaum perempuan. Jadi, sesungguhnya

stereotipe/label/cap negatif terhadap perempuan adalah hasil konstruksi sosial-

budaya yang sangat subyektif dan sangat negatif dan merendahkan status, harkat
32

dan martabat perempuan sehingga sering membatasi langkah kaum perempuan

untuk maju atau memperoleh posisi setara dengan kaum lelaki, tapi dapat juga

dikembangkan lebih jauh lagi pada aspek yang lain seperti perbedaan etnis,

perbedaan warna kulit, perbedaan agama, perbedaan budaya, perbedaan status,

perbedaan tingkat jabatan/pekerjaan dan lain-lain.

2.5 Kerangka Berfikir

FILM

ANALISIS NARATIF TVZETAN


TODOROV

MAKNA

TEORI FEMINISME

NILAI FEMINISME DALAM FILM


KARTINI
Bagan 2.1 Kerangka Berfikir Penelitian Nilai Feminisme dalam Film Kartini
33

Kerangka berfikir merupakan model konseptual tentang bagaimana teori

berhubungan dengan berbagai faktor yang telah diidentifikasi sebagai masalah yang

penting. Penelitian ini meneliti bagaimana nilai feminisme dalam film Kartini.

Dalam mencari nilai feminisme dalam film Kartini peneliti menggunakan

dua teori yaitu Teori Analisis Naratif Tvzetan Todorov dan Teori Feminisme. Teori

analisis naratif digunakan untuk memaknai pesan yang ada di dalam film Kartini

sedangkan teori feminisme digunakan untuk meneliti nilai atau kedudukan

perempuan dalam film.

Anda mungkin juga menyukai