Anda di halaman 1dari 4

Fosil-fosil yang di temukan di

Sangiran dan Trinil

Homo erectus (bahasa Latin, berarti "manusia


yang berdiri tegak") adalah jenis manusia yang
telah punah dari genus Homo. Pakar anatomi
asal Belanda, Eugene Dubois, pada tahun 1890-
an menggambarkannya sebagai Pithecanthropus
erectus atau "Manusia Jawa" berdasarkan fosil
tempurung kepala dan tulang paha yang
ditemukan timnya di Trinil, Ngawi, Jawa Timur.

Sepanjang abad ke-20, antropolog berdebat


tentang peranan H. erectus dalam rantai evolusi
manusia. Pada awal abad tersebut, setelah
ditemukannya fosil di Jawa dan Zhoukoudian,
Tiongkok, para ilmuwan mempercayai bahwa
manusia modern berevolusi di Asia. Hal ini
bertentangan dengan teori Charles Darwin yang
mengatakan bahwa manusia modern berasal dari
Afrika. Namun demikian, pada tahun 1950-an
dan 1970-an, beberapa fosil yang ditemukan di
Kenya, Afrika Timur, ternyata menunjukkan
bahwa hominin (Hominidae yang berjalan
dengan kaki, atau manusia minus kera besar
lainnya) memang berasal dari benua Afrika.
Sampai saat ini para ilmuwan mempercayai
bahwa H. erectus adalah keturunan dari makhluk
mirip manusia era awal seperti Australopithecus
dan keturunan spesies Homo awal seperti Homo
habilis.

H. erectus dipercaya berasal dari Afrika dan


bermigrasi selama masa Pleistocene awal sekitar
2,0 juta tahun yang lalu, dan terus menyebar ke
seluruh Dunia Lama hingga mencapai Asia
Tenggara.
Tulang-tulang yang diperkirakan berumur 1,8
dan 1,0 juta tahun telah ditemukan di Afrika
(Danau Turkana dan Lembah Olduvai), Eropa
(Georgia), Indonesia (hanya Jawa dan, mungkin,
Flores), dan Tiongkok (Shaanxi). H. erectus
menjadi hominin terpenting mengingat bahwa
spesies inilah yang pertama kali meninggalkan
benua Afrika.

Penemuan di Jawa bertapak di Sangiran


(perbatasan Karanganyar dan Sragen), Trinil
(Ngawi), Sambungmacan (Sragen), dan
Ngandong, Kradenan, Blora; semuanya di tepi
Bengawan Solo. Sisa tempurung kepala H.
erectus ditemukan di Situs Patiayam, Kabupaten
Kudus pada tahun 1978 oleh tim Sartono[2].
Penemuan atap tempurung kepala pada tahun
2011 di Semedo, Kabupaten Tegal, juga
ditafsirkan sebagai bagian H. erectus[3].

Meganthropus adalah sekumpulan koleksi fosil


mirip manusia purba yang ditemukan di
Indonesia. Fosil ini pertama kali ditemukan oleh
G.H.R von Koenigswald pada tahun 1936 dan
berakhir 1941 di Situs Sangiran, yaitu rahang
bawah dan rahang atas. Ketika pertama
ditemukan, von Koenigswald menyebutnya
Meganthropus palaeojavanicus,artinya
manusia raksasa dari jawa. Memiliki ciri-ciri
yang berbeda dari Pithecanthropus erectus
(Homo erectus) yang lebih dulu ditemukan di
Sangiran.

Selanjutnya fosil serupa juga ditemukan oleh


Marks tahun 1952 berupa rahang bawah.

Ciri ciri tubuhnya kekar, rahang dan gerahamnya


besar, serta tidak berdagu sehingga menyerupai
kera, diperkirakan juga makanan yang
dikonsumsi oleh manusia purba ini adalah
tumbuh-tumbuhan. Meganthropus diperkirakan
hidup 2 juta sampai 1 juta tahun yang lalu, pada
masa Paleolithikum atau Zaman Batu Tua.
Meganthropus memiliki kelebihan pada bentuk
tubuhnya yang lebih besar dibandingkan
manusia purba lainnya.

Buaya(Crocodilus) diketahui mulai menghuni


Sangiran sejak 1,5 juta tahun yang lalu
berdasarkan asosiasinya dengan lokasi
penemuannya yang berasal dari endapan
lempung hitam Formasi Pucangan. Binatang ini
terus hidup sampai pada masa sekitar 500.000
tahun yang lalu.
Objek yang diusulkan adalah fragmen fosil
Tengkorak Buaya purba dari species Crocodylus
sp. Fosil ini sangat penting dan langka karena
tidak banyak tengkorak buaya dengan keadaaan
relatif utuh bagiannya, dan dengan ukuran.
Selain itu fosil ini merupakan koleksi tengkorak
buaya dengan ukuran yang paling besar yang
dimiliki oleh Balai Pelestarian Situs Manusia
Purba Sangiran. Fosil saat ini dipamerkan di
ruang display 1 Museum Manusia Purba
Sangiran.
Fosil Tengkorak Buaya purba yang ditemukan di
Situs Sangiran merupakan data arkeologis yang
penting yang dapat menunjukkan gambaran
kehidupan dan lingkungan pada Kala Pleistosen
di Pulau Jawa. Selain itu fosil Tengkorak Buaya
purba tersebut dapat memberikan gambaran
sejarah dan perubahan lingkungan yang terjadi
pada masa lalu.
Ciri fisik Hipopotamus/ Kuda Sungai adalah
memiliki tubuh besar, mulut dan gigi yang besar,
serta empat buah kaki yang pendek dan gemuk.
Gigi seri dan taringnya tumbuh besar
menyerupai tanduk, di mana taringnya
berukuran lebih besar daripada gigi-gigi yang
lain. Kuda Sungai memiliki lapisan kulit yang
tipis dengan sedikit kelenjar minyak dan
keringat sehingga rentan terhadap dehidrasi oleh
sebab itu, pada siang hari Kuda Sungai banyak
berendam di air atau lumpur untuk menjaga suhu
tubuhnya. Pada malam hari mereka baru
beraktifitas. Dengan berat tubuh bisa mencapai 3
ton, Kuda Sungai masih dapat berlari hingga 30
km/jam, lebih cepat dari kecepatan lari manusia
pada umumnya. Mereka mengenal daerah
teritorial namun hanya di air, ketika sudah di
darat mereka tidak berkelompok dan tidak
memiliki daerah teritorial.

Ada dua jenis Kuda Sungai yang pernah hidup di


Sangiran, yaitu Hexatoprodon dan
Hippopotamus. Dalam suatu kerjasama
penelitian antara Indonesia dan Perancis,
ditemukan fosil Hippopotmus dari Bukuran pada
tahun 1998. Sebanyak 109 tulang-tulang Kuda
Sungai ini terbalut pekat dalam endapan
lempung hitam Formasi Pucangan berusia 1,2
juta tahun, ketika itu Sangiran masih berada
dalam lingkungan rawa.

Anda mungkin juga menyukai