Anda di halaman 1dari 14

A.

Jenis-Jenis Manusia Purba Indonesia dan Ciri-Cirinya

Fosil Penelitian manusia purba di Indonesia dimulai pada akhir abad ke-19. Tokoh
penelitian manusia purba di Indonesia adalah Eugene Dubois. Keberhasilan
penelitiannya yang telah menemukan fosil atap tengkorak di Trinil (tahun 1891) telah
menjadi bagian penting dalam sejarah palaeoantropologi. Peristiwa itu sekaligus
mengawali penelitian fosil manusia purba di Indonesia yang lainnya
.

1. Meganthropus Palaeojavanicus (manusia raksasa dari


Jawa)

Fosil manusia purba ini yaitu jenis fosil paling tua yang pernah ada di Indonesia.
Penemunya yaitu Ralph von Koenzgswald pada Fosil yang telah ditemukan olehnya
yaitu berupa rahang bawah dan atas gigi lepas. Dengan cara stratigrafi diketahui
fosil tersebut berada pada lapisan Puçangan. Berdasarkan umur lapisan tanah
tersebut, dapat diperkirakan bahwa fosil Megantropus Paleojavanicus sudah
berumur 1-2 juta tahun

.
Ciri-ciri Meganthropus Palaeojavanicus :

 Berbadan tegap dengan tonjolan tajam di belakang kepala.


 Bertulang pipi tebal, dengan tonjolan kening yang mencolok.
 Tidak berdagu.
 Otot kunyah, gigi, dan rahang besar dan kuat.
 Makanannya jenis tumbuh-tumbuhan.

2. Pithecanthropus (Manusia Kera)

Jenis Fosil manusia purba Pithecantropus ini ialah jenis manusia purba yang paling
banyak ditemukan di wilayah Indonesia. Dengan cara stratigrafi, dan telah diketahui
fosil tersebut berada di lapisan Pucangan dan Kabuh. Berdasarkan umur lapisan
tanah tersebut, telah diperkirakan fosil Pithecanthropus sangat bervariasi pada
umumya, antara 30.000-2 juta tahun.

Ciri-ciri Pithecantropus:

 Tinggi tubuhnya kira-kira 165 – 180 cm.


 Badan tegap, namun tidak setegap Meganthropus.
 Tonjolan kening tebal dan melintang sepanjang pelipis
 Otot kunyah tidak sekuat Meganthropus.
 Hidung lebar dan tidak berdagu.
 Makanannya bervariasi tumbuhan dan daging hewan buruan.
 Jenis-jenis Pithecanthropus

a. Pithecanthropus Mojokertensis (manusia kera dari


Mojokerto)

Tokoh Fosil manusia purba ini yaitu Von Koenigswald yang telah menemukan fosil
ini di dekat Mojokerto , jawa timur, pada tahun 1936. Fosil ini berupa tengkorak. Fosil
tersebut disebut dengan Pithecanthropus Robustua.

b. Pithecanthropus Erectus (manusia kera yang berjalan


tegak)
Tokoh Fosil manusia purba jenis ini yaitu oleh Eugene Dubois yang telah
menemukan fosil ini pada tahun 1890 di Trinil, Lembah Bengawan Solo. Wujud Fosil
ini berupa tulang rahang, bagian atas tengkorak. geraham, dan tulang kaki.

c. Pithecanthropus Soloensis (manusia kera dari Solo)

Tokoh Fosil manusia purba jenis ini yaitu von Koenigswald dan Openorth di
Ngandong dan Sangiran yang telah menemukan fosil ini di tepi Bengawan Solo,
antara tahun 1931 – 1933. Wujud Fosil ini berupa tengkorak dan tulang kering.

d. Pithecanthropus Robustus
 
Fosil jenis ini ditemukan oleh Weidenreich dan Von Koenigswald pada tahun 1939 di
Trinil, Lembah Bengawan Solo. Fosil ini berasal dari lapisan Pleistosen Bawah. Von
Koenigswald menganggap fosil ini sejenis dengan Pithecanthropus Mojokertensis.

3. Homo (Homo: manusia)

Fosil manusia purba jenis homo ini adalah fosil penemuan paling muda
dibandingkan dengan fosil manusia purba jenis lainnya. fosil ini juga sering disebut
juga homo Erectus atau manusia berjalan tegak dan juga sering disebut dengan
Homo Sapiens atau manusia cerdas /bijaksana. Dengan cara penelitian stratigrafi,
dapat diketahui bahwa fosil ini berada pada lapisan Notopurpo. Berdasarkan umur
lapisan tanah ini, telah diperkirakan fosil Homo amat bervariasi umurnya, antara
25.000-40.000 tahun.
Ciri-ciri Homo:

 Tinggi tubuh 130 hingga 210 cm


 Memiliki otak yang lebih berkembang daripada  Meganthropus  dan
Pithecanthropus
 Otot kunya, gigi, dan rahang sudah menyusut
 Tonjolan kening sudang berkurang dan berdagu
 Memiliki ciri seperti ras Mongoloid dan Austramelanosoid
 Jenis-Jenis Homo

a. Homo Soloensis (manusia dan Solo)

Tokoh Fosil manusia purba jenis ini yaitu Von Koenigswald dan Weidenrich yang
telah menemukan fosil ini pada tahun 193-1934 dilembah Bengawan Solo. Wujud
Fosil yang ditemukan oleh mereka yaitu berupa tengkorak. Dilihat Dari Volume
Otaknya, Fosil ini bukan lagi manusia kera ( Pithecantropus)

b. Homo Wajakensis (manusia dan Wajak)


Tokoh fosil manusia purba jenis ini yaitu Dubois yang telah menemukan fosil ini
pada tahun 1889 di daerah Wajak dekat Tulungagung. Manusia jenis ini sudah
mampu membuat alat-alat dan batu maupun tulang. Dan mereka juga telah
mengenal cara memasak makanan.

C.Homo Sapiens (Manusia Sempurna)

Manusia purba berjenis Homo Sapiens bisa dianggap sebagai manusia purba yang


berumur paling muda. Dari semua fosil jenis tersebut diperkirakan hidup antara
15.000 hingga 40.000 tahun SM. Manusia purba Homo sapiens ialah satu-satunya
manusia purba yang dapat berpikir. Kecerdasan tersebut dapat terlihat dari volume
otak yang hampir mirip dengan manusia modern. Pada intinya manusia purba jenis
tersebut adalah manusia (Homo) dan bukan lagi kategori manusia
kera (pithecanthropus).

d. Homo Floresiensis
Liang Bua, tempat ditemukannya sisa-sisa kerangka ini, sudah sejak masa
penjajahan menjadi tempat ekskavasi arkeologi dan paleontologi. Hingga 1989, telah
ditemukan banyak kerangka Homo sapiens dan berbagai mamalia (seperti makhluk
mirip gajah Stegodon, biawak, serta tikus besar) yang barangkali menjadi bahan
makanan mereka. Di samping itu ditemukan pula alat-alat batu seperti pisau,
beliung, mata panah, arang, serta tulang yang terbakar, yang menunjukkan tingkat
peradaban penghuninya.
Individu terlengkap, LB1, diperkirakan adalah betina, ditemukan pada lapisan
berusia sekitar 18.000 tahun, terdiri dari tengkorak, tiga tungkai (tidak ada lengan
kiri), serta beberapa tulang badan. Individu-individu lainnya berusia antara 94.000
dan 13.000 tahun. Walaupun tidak membatu, tidak dapat diperoleh sisa material
genetik, sehingga tidak memungkinkan analisis DNA untuk dilakukan. Perlu disadari
bahwa pendugaan usia ini dilakukan berdasarkan usia lapisan tanah bukan dari
tulangnya sendiri, sehingga dimungkinkan usia lapisan lebih tua daripada usia
kerangka. Pendugaan usia kerangka dengan radiokarbon sulit dilakukan karena
metode konservasi tulang tidak memungkinkan teknik itu untuk dilakukan.
B. Hasil-Hasil Peniggalan Pada Masa Praaksara

a. Kebudayaan Pacitan
Kebudayaan ini berkembang di daerah Pacitan, Jawa Timur. Beberapa alat dari batu
ditemukan di daerah ini. Seorang ahli, von Koeningwald dalam penelitiannya pada
tahun 1935 telah menemukan beberapa hasil teknologi bebatuan atau alat-alat dari
batu di Sungai Baksoka dekat Punung. Alat batu itu masih kasar, dan bentuk
ujungnya agak runcing, tergantung kegunaannya. Alat batu ini sering disebut dengan
kapak genggam atau kapak perimbas. 

Kapak perimbas (chopper)

Kapak perimbas (chopper)adalah Alat batu inti atau serpih yang dicirikan oleh
tajaman monofasial yang membulat, lonjong, atau lurus, dihasilkan melalui
pangkasan pada satu bidang dari sisi ujung (distal) ke arah pangkal (proksimal).Ciri
yang membedakan kapak perimbas dengan serut adalah ukuran dimana serut yang
kasar dan masif digolongkan sebagai kapak perimbas, sementara yang halus dan
kecil digolongkan serut.

Kapak ini digunakan untuk menusuk binatang atau menggali tanah saat mencari
umbi-umbian. Di samping kapak perimbas, di Pacitan juga ditemukan alat batu yang
disebut dengan chopper sebagai alat penetak. 
Pahat genggam (hand adze)

Pahat genggam (hand adze) adalah Alat batu inti yang dicirikan oleh bentuk alat
yang persegi atau bujur sangkar dengan tajaman yang tegak lurus pada sumbu alat.
Selain itu dikenal pula Kapak genggam awal (proto-hand axe), Kapak genggam
(hand axe).

Di Pacitan juga ditemukan alat-alat serpih. Alat-alat itu oleh Koeningswald


digolongkan sebagai alat-alat “paleolitik”, yang bercorak “Chellean”, yakni suatu
tradisi yang berkembang pada tingkat awal paleolitik di Eropa. Pendapat
Koeningswald ini kemudian dianggap kurang tepat setelah Movius berhasil
menyatakan temuan di Punung itu sebagai salah satu corak perkembangan kapak
perimbas di Asia Timur. Tradisi kapak perimbas yang ditemukan di Punung itu
kemudian dikenal dengan nama “Budaya Pacitan”. Budaya itu dikenal sebagai
tingkat perkembangan budaya batu awal di Indonesia. Kapak perimbas itu tersebar
di wilayah Sumatera Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Bali, Flores, dan
Timor. Daerah Punung merupakan daerah yang terkaya akan kapak perimbas dan
hingga saat ini merupakan tempat penemuan terpenting di Indonesia. Pendapat para
ahli condong kepada jenis manusia Pithecanthropus atau keturunan-keturunannya
sebagai pencipta budaya Pacitan. Pendapat ini sesuai dengan pendapat tentang
umur budaya Pacitan yang diduga dari tingkat akhir Plestosin Tengah atau awal
permulaan Plestosin Akhir.
b. Kebudayaan Ngandong

Artefak dari tulang

Artefak jenis flake

Kebudayaan Ngandong berkembang di daerah Ngandong dan juga Sidorejo, dekat


Ngawi. Di daerah ini banyak ditemukan alat-alat dari batu dan juga alat-alat dari
tulang. Alat-alat dari tulang ini berasal dari tulang binatang dan tanduk rusa yang
diperkirakan digunakan sebagai penusuk atau belati. 

Selain itu, ditemukan juga alat-alat seperti tombak yang bergerigi. Di Sangiran juga
ditemukan alat-alat dari batu, bentuknya indah seperti kalsedon. Alat-alat ini sering
disebut dengan flake.
Artefak alat batu yang ditemukan di situs Sangiran dan
Ngebung

Sebaran artefak dan peralatan paleolitik cukup luas sejak dari daerah-daerah di
Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB), Nusa Tenggara
Timur (NTT), dan Halmahera.

c.Kebudayaan Kjokkenmoddinger
 Kjokkenmoddinger yaitu istilah yang berasal dari bahasa Denmark, yaitu kjokken
artinya dapur dan modding artinya sampah. Jadi, Kjokkenmoddinger arti sebenarnya
adalah sampah dapur. Kjokkenmoddinger dapat diartikan juga timbunan atau
tumpukan kulit kerang dan siput yang mencapai ketinggian ± 7 meter dan sudah
menjadi fosil. Kjokkenmoddinger ditemukan di sepanjang pantai timur Sumatra,
yakni antara Langsa dan Medan. Dari bekas-bekas penemuan tersebut,
menunjukkan bahwa manusia purba yang hidup pada zaman ini sudah menetap.
Tahun 1925 Dr. P.V.Van Stein Callenfels melakukan penelitian di bukit kerang
tersebut dan hasilnya banyak ditemukan kapak genggam yang ternyata berbeda
dengan chopper, yakni kapak genggam Palaeolithikum.
Kapak genggam yang ditemukan di dalam bukit kerang tersebut dinamakan dengan
pebble atau kapak Sumatra sesuai dengan lokasi penemuannya, yaitu di Pulau
Sumatra. Pebble bentuknya dapat dikatakan sudah agak sempurna dan sudah mulai
halus. Bahan untuk membuatnya berasal dari batu kali yang dipecah-pecah. Selain
pebble dalam Kjokkenmoddinger juga ditemukan sejenis kapak, tetapi bentuknya
pendek seperti setengah lingkaran yang disebut dengan Hache Courte atau kapak
pendek. Di dalam Kjokkenmoddinger juga ditemukan fosil manusia yang berupa
tulang belulang ,pecahan tengkorak dan gigi.

d. kebudayaan Abris Sous Roche

(tulang sampung) (toala)

Abris Sous Roche adalah goa-goa yang yang dijadikan tempat tinggal manusia
purba pada zaman Mesolithikum dan berfungsi sebagai tempat perlindungan dari
cuaca dan binatang buas. Penyelidikan pertama pada Abris Sous Roche dilakukan
oleh Dr. Van Stein Callenfels tahun 1928-1931 di goa Lawa dekat Sampung
Ponorogo Jawa Timur. Alat-alat yang ditemukan pada goa tersebut antara lain alat-
alat dari batu seperti ujung panah, flakes, batu pipisan, kapak yang sudah diasah
yang berasal dari zaman Neolithikum, serta alat-alat dari tulang dan tanduk rusa. Di
antara alat-alat kehidupan yang ditemukan ternyata yang paling banyak adalah alat
dari tulang sehingga oleh para arkeolog disebut sebagai Sampung Bone Cul-
ture/kebudayaan tulang dari Sampung. Karena goa di Sampung tidak ditemukan
Pebble ataupun kapak pendek yang merupakan inti dari kebudayaan Mesolithikum.
Selain di Sampung, Abris Sous Roche juga ditemukan di daerah Besuki dan
Bojonegoro Jawa Timur. Penelitian terhadap goa di Besuki dan Bojonegoro ini
dilakukan oleh Van Heekeren. Di Sulawesi Selatan juga banyak ditemukan Abris
Sous Roche terutama di daerah Lomoncong yaitu goa Leang Patae yang di
dalamnya ditemukan flakes, ujung mata panah yang sisi-sisinya bergerigi dan
pebble. Di goa tersebut didiami oleh suku Toala, sehingga oleh tokoh peneliti Fritz
Sarasin dan Paul Sarasin, suku Toala yang sampai sekarang masih ada dianggap
sebagai keturunan langsung penduduk Sulawesi Selatan zaman prasejarah. Untuk
itu kebudayaan Abris Sous Roche di Lomoncong disebut kebudayaan Toala.

Anda mungkin juga menyukai