Anda di halaman 1dari 5

GIGITAN ULAR

No. Dokumen No. Revisi Halaman


000 1 dari 3
Ditetapkan,
Standar Direktur
Tanggal Terbit
Prosedur
Operasional

Pengertian Penatalaksanaan gigitan ular sesuai dengan guideline WHO 2016

Agar penatalaksanaan gigitan ular sesuai dengan guideline WHO


2016, baik saat penatalaksanaan awal, pemberian terapi maupun
Tujuan
rehabilitasi psikologis dan organ yang mengalami komplikasi
kecacatan akibat gigitan ular

Kebijakan Giudeline WHO 2016

Prosedur
1. Dokter jaga dan perawat melakukan primary survey, meliputi
penilaian terhadap airway, breathing, circulation, disability, dan
exposure/environmental dan menentukan kategori warna triage
sesuai kondisi pasien.

2. Dokter jaga mengisi formulir gigitan ular, kemudian melaporkan


kondisi pasien kepada dokter spesialis penyakit dalam atau
spesialis anak untuk berkoordinasi dengan RECS Indonesia
menentukan jenis spesies ular yang menggigit. Jika spesimen/ular
tidak dibawa maka pengidentifikasian jenis ular berdasarkan tanda
dan gejala, serta dilakukan proses observasi untuk menentukan
fase lokal dan sistemik. Jenis toksin, antara lain:
a. Hemotoksin : terjadi gangguan pada koagulasi darah, contohnya
epistaksis, perdarahan gusi, perdarahan konjungtiva , atau
perdarahan profuse
b. Neurotoksin : terjadi gangguan blokade asetilkolin pada sinaps

1
contohnya ptosis,nyeri berat, sesak, nyeri perut
c. ataupun jenis toxin yang lainnya

3. Diberikan first aid gigitan ular Pada bisa neurotoksin, imobilisasi


dengan menggunakan pressure bandage dengan elastik verban.
Pada bisa hemotoksin atau belum diketahui jenis bisanya,
imobilisasi dengan menggunakan spalk.

4. Dilakukan tes 20 WBCT yaitu 5 cc darah diambil dari vena cubitti


lalu ditaruh dalam botol kaca yang sudah dicuci dan disterilkan dan
dibiarkan 20 menit, setelah itu digoyangkan. Jika mengalami
penggumpalan berarti kemungkinan bukan hemotoksin tapi kalau
tidak mengalami penggumpalan berarti kemungkinan bisa ular
mengandung hemotoksin. Setelah itu dilakukan pemeriksaan lab
Darah Lengkap, APTT&PT, elektrolit, ur/cr, SGOT/SGPT, dan EKG.

5. Dilakukan tes RPP (Rate Proximal Progressif test) untuk


mengobservasi progresifitas bisa ular, yaitu dengan pemberian
tanda pembengkakan dengan isolasi dan ditulis jam saat diukur
kemudian tiap 2 jam diukur dengan penggaris dari proximal ke
proximal dan dibagi 2 untuk melihat rata-rata kecepatan
pembengkakan perjamnya.

6. Dilakukan penilaian apakah terjadi lokal envinomasi atau sistemik


envinomasi.

7. Jika terjadi sistemik envinomasi maka diperlukan pemberian


antivenom atau SABU. Jenis spesies dapat dicover oleh SABU,
yaitu :
a. Colleselasma Rhodostoma (blandotan macan, blandotan puspo)
b. Naja spurtatix (cobra penyemprot)
c. Bungarus Candidus atau Bungarus Fasciatus (weling dan
welang).

8. Pada bisa hematoksin (Colleselasma Rhodostoma, Naja spurtatix),

2
SABU diberikan dengan inisal dosis 2 vial dalam 500cc NS/RL (2%)
dgn tetesan 40-80 tts/mnt. Dosis anak, yaitu 5-10cc/kg/mnt. SABU
diberikan 6 jam sekali.

9. Pada bisa Neurotoksin (Bungarus Candidus, Bungarus fasciatus),


SABU diberikan inisal dosis 2 vial dalam 100cc NS dengan tetesan
40-80 tts/mnt diberikan 2 jam sekali dengan agresif. Jika tanda dan
gejala neurotoxin belum berkurang bisa ditambahkan fisostigmin.
Dosis dewasa >12 tahun: 1-2mg/kgBB/dosis, Dosis anak <12 tahun:
0,02 mg/kgBB/dosis, maksimal 0,5mg/kgBB/dosis. Pemberian
dengan bolus lambat 3-5 menit, dapat diulang setiap 4 jam. Jika ada
gejala intoksikasi fisostigmin, dapat diberikan atropine 0,02-0,04
mg/kgBB sampai keluhan, tanda dan gejala berkurang dengan
melakukan observasi ptosis dan saturasi oksigen.

10. Terbentuknya bullae dan ekimosis pada hemotoksin tidak boleh


dilakukan bulektomi ataupun fasciotomi karena kompartemen
sindrom yang dibentuk oleh bisa ular berbeda dengan yang
dibentuk kondisi trauma jadi tidak diperlukan fasciotomi. Bullae dan
ekimosis serta pembengkakann hanya perlu diberikan kompres
normal saline 0,9%, ataupun aspirasi dengan syringe.

11. Dapat diberikan antinyeri bila diperlukan. Pada gigitan bisa


hemotoksin tidak direkomendasikan penggunaan golongan NSAID.
Nyeri hebat karena neurotoksin dapat diberikan sampai analgesik
kuat berupa morfin dengan dosis 1 amp morfin diencerkan dalam 10
cc water for injection diberikan 2 cc setiap nyeri dengan VAS > 8.

12. Bila terjadi kelumpuhan akibat neurotoksin maka bisa dilakukan


tindakan A,B,C,D dengan intubasi /pemasangan ETT, LMA, dsb dan
ventilator jika ada kelumpuhan otot pernafasan karena blockade
acethlcholine presynap.

13. Bila terjadi perdarahan akibat hemotoksin tidak direkomendasikan


pemberian asam traneksamat ataupun trombosit konsentrat tetapi

3
cukup diberikan antivenomnya saja.

14. Dilakukan monitoring dan evaluasi setiap 6-8 jam sekali, serta
pemeriksaan laboratorium. Observasi dilakukan minimal 48 jam.

15. Jika pada penilaian gigitan ular, luka merupakan fase lokal, tetap
dilakukan observasi minimal 24-48 jam. Jika selama fase lokal untuk
ular berbisa, tidak ada tanda terjadi fase sistemik, pasien dapat
dipulangkan.

16. Jika yang menggigit bukan ular berbisa, pasien diobservasi 2-6 jam.
Jika tidak ada pebengkakan dan nyeri yang berlebihan atau proses
inflamasi akibat gigitan, pasien dapat pulang. Pada gigitan ular tidak
berbisa, cukup diberikan analgesik dan antibiotika jika ada
peningkatan leukosit. Tetapi jika luka mengalami infeksi sekunder,
pasien dapat dilakukan rawat inap.

Unit Terkait Rawat Jalan, Rawat Inap, Laboratorium, Farmasi, dan Rekam Medis

4
FORMULIR GIGITAN ULAR BERBISA

Nama :
TTL :
No. MR :

NO JENIS INFORMASI ISI INFORMASI

1 Alamat Rumah

2 Suku dan Kebangsaan


3 Tanggal dan Jam kejadian

4 Alamat dan lokasi kejadian

5 Aktivitas saat kejadian

Bagimana pasien tergigit


6
(mekanisme kejadian)

7 Jumlah gigitan

8 Bagian tubuh yang terkena

Apa yang dilakukan pada


9
bagian tubuh yang tergigit

Jakarta, ......................, jam ........WIB


Petugas,

(.........................................................)

Anda mungkin juga menyukai