Epidemiologi dislipidemia cukup tinggi baik di Indonesia maupun di dunia.
Dislipidemia diketahui sebagai
faktor risiko berbagai penyakit kardiovaskular. Penyakit kardiovaskular membunuh lebih dari 4 juta orang di Eropa setiap tahunnya dengan angka mortalitas pada wanita lebih tinggi, sekitar 2,2 juta wanita dibandingkan 1,4 juta pada pria. Namun, penelitian menyatakan bahwa cardiovascular death pada usia dini (<65 tahun) lebih sering terjadi pada pria (490.000 pada pria berbanding 193.000 pada wanita). [6] Di Indonesia, prevalensi penyakit jantung koroner berkisar 1,5%. [3] Global Menurut data WHO, 1/3 penyakit jantung iskemik berhubungan dengan peningkatan kadar kolesterol darah. Pada tahun 2008, prevalensi global dislipidemia pada pasien dewasa adalah 39%. Peningkatan kadar total kolesterol dilaporkan paling tinggi di Eropa, disusul dengan Amerika. [7] Indonesia Prevalensi dislipidemia pada penduduk berusia diatas 15 tahun atas dasar pengukuran kadar kolesterol total >200 mg/dL adalah 35,9% berdasarkan data RISKESDAS 2013. Data juga menunjukkan hingga 15,9% memiliki kadar LDL sangat tinggi (≥190 mg/dL) dan 22,9% memiliki kadar HDL <40 mg/dL. Sementara itu, 11,9% penduduk memiliki kadar trigliserida yang sangat tinggi yaitu ≥500 mg/dL. [1] Penegakkan diagnosis dislipidemia terutama mengandalkan modalitas utama berupa pemeriksaan penunjang. Akan tetapi, anamnesis dan pemeriksaan fisik juga memegang peranan penting dalam menentukan stratifikasi risiko bagi pasien dengan dislipidemia. Selain itu, melalui anamnesis dan pemeriksaan yang menyeluruh, dokter dapat membedakan penyebab dislipidemia yang terjadi pada pasien berasal dari kelompok primer atau sekunder. Anamnesis Pada anamnesis, perlu dicari faktor risiko aterosklerotik, yaitu kebiasaan merokok, riwayat hipertensi, riwayat pemeriksaan kadar lipid sebelumnya yang menunjukkan kadar kolesterol HDL rendah, riwayat penyakit jantung dini pada keluarga (pada wanita usia <65 tahun dan pria usia <55 tahun), serta usia pasien saat ini (laki-laki >45 tahun, perempuan >55 tahun). Selain itu, perlu juga menggali kebiasaan dan gaya hidup pasien seperti asupan makanan sehari-hari, kebiasaan mengkonsumsi alkohol, serta aktivitas fisik harian. Pemeriksaan Fisik Pada kebanyakan pasien dislipidemia, pemeriksaan fisik tidak menunjukkan kelainan. Tanda klinis dapat ditemukan pada dislipidemia genetik, misalnya xanthelasma, xanthoma, dan arkus kornealis prematur pada usia <45 tahun. Temuan pemeriksaan fisik pada pasien dengan aterosklerosis yang terkait dislipidemia misalnya kenaikan tekanan darah, bruit pada arteri karotis, dan gambaran klinis penyakit arteri perifer. Pada dislipidemia sekunder, dapat pula ditemui tanda-tanda penyakit dasar seperti pada kasus hipotiroidisme, sindrom nefrotik, sindrom cushing, dan hepatitis. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan penunjang merupakan modalitas utama dalam menegakkan diagnosis dislipidemia. Pemeriksaan yang dilakukan adalah pemeriksaan darah profil lipid lengkap meliputi kadar kolesterol total, LDL, HDL, dan trigliserida. Penghitungan kadar LDL di laboratorium besar biasanya sudah dilakukan dengan cara direk. Namun, dapat pula dilakukan penghitungan secara indirek dengan rumus Friedewald, yaitu: LDL= Kolesterol total - HDL – (TG/5) *rumus hanya berlaku bila kadar trigliserida <400 mg/dL. Tujuan dari pemeriksaan profil lipid di antaranya sebagai berikut : Kadar kolesterol total digunakan untuk estimasi risiko kardiovaskular Kadar LDL merupakan parameter lipid primer untuk analisis penapisan, diagnosis, dan pengobatan dislipidemia. Kadar HDL digunakan sebagai parameter tambahan untuk estimasi risiko kardiovaskular. Kolesterol non-HDL yang didapat dari pengurangan nilai HDL terhadap kolesterol total merupakan target terapi sekunder bagi pasien dengan risiko kardiovaskular tinggi dan sangat tinggi yang memiliki konsentrasi trigliserida tinggi dan konsentrasi LDL telah mencapai target terapi. Trigliserida diperhitungkan karena menambah risiko kardiovaskular yang disebabkan oleh LDL dan mempengaruhi pilihan terapi. [3,4] Meskipun pedoman yang ada menyarankan pemeriksaan profil lipid harus didahului puasa. Namun, banyak penelitian menyatakan tidak ada perbedaan bermakna dari profil lipid yang dilakukan dengan atau tanpa didahului puasa. Pada tahun 2016, sebuah konsensus dipublikasikan terkait protokol puasa sebelum pemeriksaan profil lipid dilakukan. Konsensus ini merekomendasikan pengukuran profil lipid tanpa berpuasa terlebih dulu. Pengukuran yang didahului puasa boleh dipertimbangkan jika non- fasting trigliserida > 440 mg/dL. [8] Tabel 1. Klasifikasi Kadar Kolesterol Serum Kolesterol LDL (mg/dL) Klasifikasi