Anda di halaman 1dari 2

Epilepsi merupakan kelainan otak di mana karakteristik predominannya adalah terjadinya interupsi pada

fungsi otak normal secara berulang dan tidak dapat diprediksi. Kelainan yang terjadi itu disebut sebagai
serangan epileptik (epileptic seizures). Serangan epileptik didefinisikan sebagai gejala dan tanda suatu
kejadian yang bersifat transien akibat aktivitas neuronal otak yang berlebihan dan abnormal.[1]

Epilepsi merupakan suatu penyakit yang sudah lama dikenal sejak peradaban Babilonia kuno dan terus ada
hingga saat ini. Epilepsi dapat menyerang populasi dari berbagai rentang usia dengan etiologi bawaan
maupun didapat.[2]

 Gambaran
EEG epilepsi. Sumber: Openi, 2010.

Diperkirakan 70 juta penduduk dunia mengalami epilepsi. Rata-rara insidensi epilepsi adalah 50,4 per
100.000 populasi per tahun. Secepatnya dalam dua minggu seluruh pasien dengan serangan epileptik harus
diperiksa oleh spesialis saraf (neurologi) untuk diagnosis dini dan tata laksana segera. Pasien dengan
epilepsi harus rutin dilakukan pemantauan atau kontrol kondisi penyakitnya.[3]

Patofisiologi epilepsi berupa proses iktogenesis atau proses terjadinya serangan epileptik. Proses ini
berawal dari eksitabilitas satu atau sekelompok neuron akibat perubahan pada membran sel neuron.
Perubahan pada kelompok neuron tersebut menyebabkan hipereksitabilitas.[4]

Proses timbulnya eksitabilitas berbeda pada tiap fokus epilepsi. Asal timbulnya eksitabilitas dapat berasal
dari:

 Neuron individual, yaitu neuron epileptik memiliki konduktansi Ca2+ yang lebih tinggi yang
disebabkan oleh perubahan struktur dan fungsi pada reseptor membran post sinaptik
 Lingkungan mikro neuronal, perubahan kadar kation dan anion ekstraselular berupa peningkatan
kadar K+ menyebabkan depolarisasi neuron dan pengeluaran yang berlebihan
 Populasi sel epileptik, perubahan fisiologis neuronal secara kolektif menyebabkan produksi
eksitabilitas yang progresif.[4]

Peran Neurotransmitter
Patofisiologi epilepsi erat kaitannya dengan peranan neurotransmiter karena kebanyakan obat antiepilepsi
bekerja mengikuti fungsi dari neurotransmiter. Mekanisme peran neurotransmitter dalam epilepsi meliputi:

 Kadar neurotransmitter γ-aminobutyric acidA (GABA) menurun pada fokus epileptik dan pada
epilepsi terjadi penurunan inhibisi terhadap reseptor GABA dan peningkatan metabolisme GABA
post sinaptik
 Glutamat: sinaps glutamatergik berperan penting dalam fenomena epilepsi. Aktivasi reseptor
metabotropik dan ionotropik glutamat post sinaptik bersifat pro konvulsi. Pada pasien dengan
serangan absans, kadar glutamat plasma ditemukan meningkat
 Katekolamin: didapatkan penurunan kadar dopamin pada fokus epilepsi sementara pemberian
antidopamin mengeksaserbasi serangan epileptic[4]

Anda mungkin juga menyukai