Anda di halaman 1dari 16

ANALISIS PERMENDIKBUD NO.

111 TAHUN 2014


DAN
PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
REPUBLIK INDONESIA NOMOR 81A TAHUN 2013

Dosen Pengampu : Armitasari M.Pd

Disusun Oleh :

NAMA : IMEL HIZKIA MANIHURUK


NIM : 1192451015
KELAS : BK REG E 2019

PENDIDIKAN BIMBINGAN DAN KONSELING


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
2021
ANALISIS PERMENDIKBUD NO. 111 TAHUN 2014
TENTANG
BIMBINGAN DAN KONSELING
PADA PENDIDIKAN DASAR DAN PENDIDIKAN MENENGAH

I. Pendahuluan
1. Dasar Pemikiran

Berbicara tentang bimbingan dan konseling tidak bisa terlepas dari pendidikan, karena
bimbingan dan konseling ada di dalam pendidikan. Dalam upaya membantu individu
mewujudkan pribadi utuh, bimbingan dan konseling peduli terhadap pengembangan nalar
yang kreatif untuk hidup baik dan benar Kartadinata (2007:103). Upaya bimbingan dalam
merealisasikan fungsi-fungsi pendidikan seperti terarah kepada upaya membantu individu,
dengan kearitivas nalarnya, untuk memperhalus, menginternalisasi, meperbaharui dan
mengintegrasikan istem nilai ke dalam perilaku mandiri.

Bimbingan dan konseling merupakan bagian integral dari proses pendidikan dan
memiliki kontribusi terhadap keberhasilan proses pendidikan di sekolah (Prayitno & Amti,
2004). Berdasarkan pernyataan di atas dapat dipahami bahwa proses pendidikan di sekolah
tidak akan berhasil secara baik apabila tidak didukung oleh penyelenggaraan bimbingan
secara baik pula.

Sekolah memiliki tanggung jawab yang besar membantu siswa agar berhasil dalam
belajar. Untuk itu sekolah hendaknya memberikan bantuan kepada siswa untuk mengatasi
masalah-masalah yang timbul dalam kegiatan belajar siswa. Dalam kondisi seperti ini,
pelayanan bimbingan dan konseling sekolah sangat penting untuk dilaksanakan guna
membantu siswa mengatasi berbagai masalah yang dihadapinya.

Secara umum masalah-masalah yang dihadapi oleh individu khususnya oleh siswa di
sekolah dan madrasah sehingga memerlukan pelayanan bimbingan dan konseling adalah:
masalah-masalah pribadi, (2) masalah belajar (masalah-masalah yang menyangkut
pembelajaran), (3) masalah pendidikan, (4) masalah karier atau pekerjaan, (5) pengunaan
waktu senggang, (6) masalah-masalah sosial, dan sebagainya.
Ada lima faktor yang menyebabkan perlunya pelayanan bimbingan dan konseling,
yaitu faktor kebutuhan demokratis, perbedaan individual, kehidupan sosial dan budaya,
perkembangan norma dan nilai hidup, dan faktor dunia kerja dan pendidikan (Ahman, 2007).

Bimbingan dan konseling di Indonesia sudah diakui keberadaannya yang tertera


dalam Permendikbud No. 111 tahun 2014 Pasal, 1 yang mengemukakan bahwa bimbingan
dan konseling adalah upaya sistematis, objektif, logis, dan berkela Penjutan serta terpogram
yang dilakukan oleh konselor atau guru bimbingan dan konseling adalah upaya sistematis,
logis, dan berkelanjutan serta terpogram yang dilakukan oleh konselor atau guru bimbingan
dan konseling untuk memfasilitasi perkembangan peserta didik/konseli untuk mencapai
kemandirian dalam kehidupannya. Ini berarti bahwa keberadaan bimbingan dan konseling
dilingkungan pendidikan, baik formal maupun non formal merupakan konsekuensi logis yang
dikuatkan dengan landasan hukum sebagai aspek pendidikan lain seperti kurikulum
pendidikan dan manajemen pendidikan dan fungsinya harus mempermudah dan mencapai
kehidupan yang berkualitas baik pada aspek pribadi, sosial, akademik, karir maupun
pengebdian kepada Allah SWT (Uman, 2015:4).

2. Ruang Lingkup Bahasan


Tulisan ini membahas beberapa hal esensial yang berkaitan dengan Permendikbud
Nomor 111 tahun 2014 yang terdiri dari: Landasan-landasan BK yang terdapat dalam
Permendikbud Nomor 111 tahun 2014, dan Landasan yang perlu ditambahkan dalam
Permendikbud Nomor 111 tahun 2014.

II. Deskripsi Permendikbud Nomor 111/2014


Permendikbud nomor 111 tahun 2014 Pasal 1, mengemukakan bahwa Bimbingan dan
Konseling adalah upaya sistematis, objektif, logis, dan berkelanjutan serta terpogram yang
dilakukan oleh konselor atau guru Bimbingan dan Konseling untuk memfasilitasi
perkembangan peserta didik/Konseli untuk mencapai kemandirian dalam kehidupannya.
Ini berarti bahwa keberadaan bimbingan dan konseling di lingkungan pendidikan, baik
formal mapun non formal merupakan konsekuensi logis yang dikuatkan dengan landasan
hukum sebagaimana aspek pendidikan lain seperti kurikulum pendidikan dan manajemen
pendidikan dan fungsinya harus mempermudah dan pencapaian kehidupan yang
berkualitas pengabdiannya kepada Allah Swt. Dengan kata lain, kedudukan atau posisi
bimbingan dan konseling memiliki tempat yang sama dengan manajemen dan supervisi
dan kurikulum pembelajaran, yaitu merupakan bagian integral (tidak terpisahkan) dari
keseluruhan program pendidikan. Prinsip-prinsip dasar yang melandasi pemahaman
kandungan Pemendikbud No. 111/2014. Ada beberapa hal yang patut menjadi catatan atas
kandungan isi Permendikbud No. 111/2014 sebagai pemahaman awal menyelenggaraan
bimbingan dan konseling dalam implementasi Kurikulum 2013, terutama yang
menyangkut hal-hal berikut:
a. Konsep dan kerangka kerja bimbingan dan konseling berbasis perkembangan
individu/konseli, yang disebut sebagai bimbingan dan konseling perkembangan
(developmental guidance and counseling).
 Perkembangan dipahami sebagai sebuah proses yang berlangsung dalam konteks,
jelasnya dalam lingkungan perkembangan sebagai lingkungan belajar, dan konselor
bertugas menciptakan lingkungan perkembangan dimaksud.
 Proses perkembangan konseli akan menyangkut dimensi tahapan perkembangan, isi
perkembangan berupa ragam aspek perilaku yang dikembangkan (seperti prilaku
belajar, karir, pribadi, sosial), dan strategi intervensi dalam memfasilitasi
perkembangan peserta didik / konseli yang akan melibatkan berbagai pihak terkait.
 Dengan kerangka pikir yang dijelaskan, dalam konteks pendidikan / pembelajaran di
sekolah, bimbingan dan konseling dimaksud disebut bimbingan dan konseling
komprehensif.
 Dikatakan komprehensif karena dimensi tahapan, isi, dan strategi merupakan satu
keutuhan yang harus bersinergi dengan proses pemelajaran dan layanan lainnya di
dalam memfasilitasi perkembangan peserta didik / konseli.
b. Bimbingan dan konseling yang dituangkan dalam Permendikbud No. 111/2014 dibangun
dalam kerangka kerja yang menyangkut dimensi-dimensi berikut:
 Filosofis yang menegaskan bahwa perkembangan adalah tujuan dari bimbingan dan
konseling dengan visi dan misi yang terarah pada pencapaian tujuan perkembangan
dalam ragam bidang perkembangan, jelasnya akademik, karir, pribadi dan sosial.
 Sistem peluncuran layanan yang mencakup layanan dasar (kurikulum bimbingan),
layanan responsitif, layanan peminatan dan perencanaan individual, dan dukungan
sistem.
 Akuntabilitas, yakni sistem evaluasi, audit program, dan pelaporan.
 Sistem manajemen yang menyangkut struktur organisasi, pengadministrasian data, tata
kelola, dan ketenagaan.

III. Pembahasan
Implementasi Permendikbud nomor 111 tahun 2014 berdasarkan landasan-landasan
Bimbingan dan Konseling adalah sebagai berikut:

a. Landasan Filosofis, landasan filosofis berkenaan dengan pandangan terhadap hakekat


manusia.terdapat dalam pasal 1 ayat 1 Konseli adalah penerima layanan Bimbingan dan
Konseling pada satuan pendidikan. Pasal 4 point k. Tut Wuri Handayani dalam
memfasilitasi setiap peserta didik untuk mencapai tingkat perkembangan yang optimal,
Pasal 10 dan 12. Bimbingan dan konseling yang dituangkan dalam Permendikbud
No.111/2014 dibangun dalam kerangka kerja yang menyangkut dimensi filosofis sebagai
berikut: Filosofis yang menengaskan bahwa perkembangan adalah tujuan dari bimbingan
dan konseling dengan visi dan misi yang terarah pada pencapaian tujuan perkembangan
dalam ragam bidang perkembangan, jelasnya akademik, karir, pribadi dan sosial.

b. Landasan Sosiologis, landasan sosiologis berkenaaan dengan pemaknaan terhadap


interaksi antar manusia dalam kelomponya atau komunitasnya. Terdapat dalam Pasal 2
yang berisi fungsi layanan bimbingan dan konseling di sekolah poin a. pemahaman diri
dan lingkungan , c. penyesuaian diri dengan diri sendiri dan lingkungan dan i. advokasi
diri terhadap perlakuan diskriminatif , Pasal 4 yang berisi asas bimbingan dan konseling,
Pasal 5 yang berisi prinsip bimbingan dan konseling poin a. diperuntukkan bagi semua dan
tidak diskriminatif dan f. berlangsung dalam berbagai latar kehidupan.

Setiap peserta didik / konseli satu dengan lainnya berbeda dalam hal kecerdasan, bakat,
minat, kepribadian, kondisi fisik dan latar belakang keluaga serta pengalaman belajarnya.
Perbedaan tersebut menggambarkan adanya variasi kebutuhan pengembangan secara utuh
dan optimal melalui layanan bimbingan dan konseling. Layanan bimbingan dan konseling
mencakup kegiatan yang bersifat pencegahan, perbaikan dan penyembuhan, pemeliharaan
dan pengembangan.

Layanan bimbingan dan konseling dalam implementasi kurikulum 2013 dilaksanakan oleh
konselor atau guru bimbingan dan konseling sesuai dengan tugas pokoknya dalam upaya
membantu tercapainya tujuan pendidikan nasional, dan khususnya membantu peserta didik
/ konseli mencapai perkembangan yang optimal, mandiri, sukses, sejahtera dan bahagia
dalam hidupnya.
Salah satu bidang layanan dalam bimbingan dan konseling adalah bimbingan dan
konseling sosial dalam Pasal 6 (2). Bimbingan dan konseling sosial adalah suatu proses
pemberian bantuan dari konselor kepada peserta didik / konseli untuk memahami
lingkungannya dan dapat melakukan interaksi sosial secara positif, terampil berinteraksi
sosial, maupun mengatasi masalah-masalah sosial yang dialaminya, maupun
menyesuaikan diri dan memiliki keserasian hubungan dengan lingkungan sosialnya
sehinga mencapai kebahagiaan dan kebermaknaan dalam hidup.
Bimbingan dan konseling sosial bertujuan untuk membantu peserta didik / konseli agar
mampu (1) berempati terhadap kondisi orang lain, (2) memahami kragaman latar sosial
budaya, (3) menghormati dan menghargai orang lain, (4) menyesuaikan dengan nilai dan
norma yang berlaku, (5) berinteraksi sosial yang efektif, (6) bekerjasama dengan orang
lain secara bertanggung jawab, dan (8) mengatasi konflik dengan orang lain berdasarkan
prinsip yang saling menguntungkan.

Secara umum, lingkup materi bimbingan dan konseling sosial meliputi pemahaman
keragaman budaya, nilai-nilai dan norma sosial, sikap sosial positif (empati, alturistik,
toleran, peduli, dan kerjasama), keterampilan penyelesaian konflik secara produktif, dan
keterampilan hubungan sosial yang efektif.

a. Landasan Psikologis, landasan psikologis berkenaan dengan pemaknaan terhadap manusia


yang memiliki fitrah kehidupan sebagai makhluk berpotensi. Terdapat dalam Pasal 1,
Pasal 2 poin c. fasilitasi pertumbuhan dan perkembangan e. pencegahan timbulnya
masalah, f. perbaikan dan penyembuhan, g. pemeliharaan kondisi pribadi dan situasi yang
kondusif untuk perkembangan diri Konseli h. pengembangan potensi optimal. Pasal 3,

Psikologi memberikan kontribusi mendasar pada pendidikan, yaitu terhadap pendidikan


sebagai ilmu dan sebagai praksis pendidikan. Kontribusi mendasar terhadap ilmu
pendidikan, terutama dalam hal pembentukan teori, prinsip dan konsep pendidikan.
Kontribusi dasar Pikologi terhadap praksis pendidikan terutama berkaitan dengan dengan
perkembangan dan pembelajaran peserta didik dan metode serta proses penelitian
pendidikan.

Berdasarkan penjelasan diatas bahwa kontribusi psikologi terhadap ilmu pendidikan


terutama dalam hal pembentukan prinsip hal ini sesuai dengan Permendikbud no. 111 /
2014 Pasal 5 berbunyi layanan bimbingan dan konseling dilaksanakan berdasarkan prinsip
(a) siperuntukkan bagi semua dan tindak diskriminatif, (b) merupakan proses individuasi,
(c) menekankan pada nilai yang positif, (d) merupakan tanggung jawab bersama antara
kepala satuan pendidikan, Konselor atau guru Bimbingan dan Konseling, dan pendidikan
lainnya dalam satuan pendidikan, (e) mendorong konseli untuk mengambil dan
merealisasikan keputusan secara bertanggungjawab, (f) berlangsung dalam berbagai latar
kehidupan, (g) merupakan bagian dari integral dari proses pendidikan, (h) dilakssnakan
dalam bingkai budaya Indonesia, (i) bersifat fleksibel dan adaptif serta berkelanjutan, (j)
dilaksanakan sesuai standar dan prosedur profesional Bimbingan dan Konseling, (k)
disusun berdasarkan kebutuhan konseli.

c. Landasan Sosio-Kultural, landasan sosio-kultural berkenaan dengan pemaknaan manusia


berdasarkan ragam latar belakang budaya. Terdapat dalam Pasal 5 poin h. dilaksanakan
dalam bingkai budaya Indonesia.

d. Landasan Religius, landasan religius berkenaan nilai-nilai dan pemaknaan manusia


sebagai makhluk bermoral. Terdapat dalam Pasal 5 poin c. menekankan pada nilai yang
positif.

Bimbingan dan konseling berlandaskan religius mengandung makna bahwa agama itu
menjadi sumber inspirasi untuk menyusun ilmu atau konsep-konsep BK dan
melaksanakan layanan bantuan. Ayat-ayat Al-Quran dan Sunah Rasul dijadikan landasan
dalam keseluruhansistem pendidikan.

Tujuan bimbingan dan konseling yang berlandaskan religius, memberikan perhatian yang
adil kepada keseluruhan komponen dasar manusia. Struktur kekhalifahan tidak berlawanan
dengan komponen dasar lainnya. Konselor tidak dipaksa memilih antara individu dan
masyarakat, antara prinsip ideal dengan kebutuhan seketika, antara cita-cita dan masa
depan dengan keinginan kekinian, antara akherat dan dunia,. Pasangan-pasangan tersebut
tidak dapat dianggap sebagai lawan yang bersaing (Abdullah, 1982:174).

IV. Rekomendasi Landasan yang Harus ada dalam Permendikbud Nomor 111/2014
Pelaksanaannya sekarang landasan agama hanya menjadi mata pelajaran di sekolah,
nilai-nilai religius belum dijadikan roh dalam setiap pembelajaran di sekolah.
Secara detil substansi Permendikbud No. 111/2014 wajib dipelajari dan dipahami oleh
seluruh Konselor/Guru Bimbingan dan Konseling, Instruktur Nasional, dan Pengambil
Kebijakan Pendidikan.
Implementasi Permendikbud No. 111 / 2014 di sekolah:
Dalam aspek ketenagaan, Permendikbud No. 111 / 2014 Pasal 11 menegaskan bahwa
Konselor dan Guru Bimbingan dan Konseling harus memiliki tingkat kualifikasi akademik
(S1) pendidikan dalam bidang bimbingan dan konseling, kenyataannya di lapangan ada yang
menjadi guru BK bukan lulusan (S1) bimbingan dan konseling parahnya lagi di salah satu
sekolah yang menjadi seorang koordinator BK bukan seseorang yang memiliki tingkat
kualifikasi akademik (S1) pendidikan dalam bidang BK.
Program layanan BK yang tercantum dalam Permendikbud No. 111 / 2014 terdapat
dua jenis prgram yaitu (1) program tahunan dan (2) program semesteran kenyataannya guru-
guru BK dituntut untuk membuat program harian dan mingguan.
Sarana, prasarana dan biaya ruang kerja BK dan contoh penataannya dalam
Perensikbud No. 111 / 2014 sangat ideal akan tetapi hanya beberapa sekolah yang mampu
memiliki ruangan BK yang ideal tersebut.
Kelemahan dan yang perlu diperbaiki dari Permendikbud No. 111 / 2014 adalah:

Program Pelayanan Bimbingan dan konseling yang dicantumkan dalam


Permendikbud No. 111 Tahun 2014 ialah layanan dasar, layanan peminatan dan perencanaan
individual, layanan responsif dan layanan dukungan sistem. Apabila diidentifikasi satu per
satu layanan tersebut, layanan tersebut dirancang tidak berdasarkan pengklasifikasian yang
jelas. Keempat layanan tersebut hanya mempersempit area penerapan dari fungsi ataupun
bidang layanan yang dijabarkan dalam permendikbud tersebut. Layanan dasar, layanan
peminatan dan perencanaan individual dan layanan responsif akan bertabrakan dengan
konsep atau materi yang takkan lepas dari perkembangan peserta didik. Bisa saja layanan
peminatan dan perencanaan individual serta layanan responsif adalah juga bagian dari
layanan dasar yang mengembangkan kemampuan penyesuaian diri yang efektif sesuai dengan
tahap dan tugas-tugas perkembangan. Selain itu, layanan dukungan sistem yang dimaksud
adalah manajemen bukan dari pelayanan bimbingan dan konseling itu. Akan tetapi,
Penyelenggaraan layanan Bimbingan dan Konseling adalah bagian dari Manajemen
Pelayanan Bimbingan dan Konseling itu sendiri. Sebab pelaksanaan layanan BK termasuk
kategori “actuating” yang merupakan bagian dari POAC (Planning, Organizing, Actuating,
Controlling) sebagai komponen manajemen BK.

Perlu adanya taksonomi layanan bimbingan dan konseling yang jelas agar
penggolongan layanan bimbingan dan konseling tertata rapi, sistematis, praktis dan ilmiah.
Misalnya jenis layanan diklasifikasikan berdasarkan fungsi. Kemudian diklasifikasikan
berdasarkan tahap perkembangan konseli. Kemudian diklasifikasikan berdasarkan bidang
permasalahan/layanan. Lalu diklasifikasikan berdasarkan sub bidang permasalahan/layanan.
Selanjutnya diklasifikasikan lagi berdasarkan bentuk komunikasi dalam konseling. Setelah itu
diklasifikasikan berdasarkan pendekatan teori yang akan digunakan. Maka akhirnya
ditemukanlah nama dan profil dari layanan tersebut. Dengan demikian, pelayanan bimbingan
dan konseling benar-benar sesuai kebutuhan. Setelah pengidentifikasian konseli dan
permasalahannya, maka diidentifikasi layanan konseling yang sesuai.

ANALISIS PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


REPUBLIK INDONESIA NOMOR 81A TAHUN 2013

MENIMBANG :

BAHWA DALAM RANGKA PELAKSANAAN KURIKULUM PADA SEKOLAH


DASAR/MADRASAH IBTIDAIYAH, SEKOLAH MENENGAH PERTAMA/
MADRASAH TSANAWIYAH, SEKOLAH MENENGAH ATAS/MADRASAH ALIYAH,
DAN SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN/MADRASAH ALIYAH KEJURUAN,
PERLU MENETAPKAN PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
TENTANG IMPLEMENTASI KURIKULUM

Mengingat :

1. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran


Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4301);

2. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan


(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4496) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 32 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005
tentang Standar Nasional Pendidikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013
Nomor 71, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5410);

3. Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi


Kementerian Negara sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan
Presiden Nomor 91 Tahun 2011

4. Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2010 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan
Organisasi, dan Tata kerja Kementerian Negara Republik Indonesia sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 38 Tahun 2013;

5. Keputusan Presiden Nomor 84/P Tahun 2009 mengenai Pembentukan Kabinet Indonesia
Bersatu II sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Keputusan Presiden
Nomor 60/P Tahun 2013;

6. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayan Nomor 54 Tahun 2013 tentang Standar
Kompetensi Lulusan Pendidikan Dasar dan Menengah

7. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayan Nomor 64 Tahun 2013 tentang Standar Isi
Pendidikan Dasar dan Menengah; 8. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayan Nomor 65
Tahun 2013 tentang Standar Proses Pendidikan Dasar dan Menengah;

9. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayan Nomor 66 Tahun 2013 tentang Standar
Penilaian Pendidikan Dasar dan Menengah;

10. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayan Nomor 67 Tahun 2013 tentang Kerangka
Dasar dan Struktur Kurikulum Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah;

11. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayan Nomor 68 Tahun 2013 tentang Kerangka
Dasar dan Struktur Kurikulum Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah;

12. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayan Nomor 69 Tahun 2013 tentang Kerangka
Dasar dan Struktur Kurikulum Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah;

13. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayan Nomor 70 Tahun 2013 tentang Kerangka
Dasar dan Struktur Kurikulum Sekolah Menengah Kejuruan/Madrasah Aliyah Kejuruan;
14. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayan Nomor 71 Tahun 2013 tentang Buku Teks
Pelajaran dan Buku Panduan Guru untuk Pendidikan Dasar dan Menengah;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN TENTANG


IMPLEMENTASIKURIKULUM.

PASAL 1

Implementasi kurikulum pada sekolah dasar/madrasah ibtidaiyah (SD/MI), sekolah


menengah pertama/madrasah tsanawiyah (SMP/MTs), sekolah menengah atas/madrasah
aliyah (SMA/MA), dan sekolah menengah kejuruan/madrasah aliyah kejuruan (SMK/MAK)
dilakukan secara bertahap mulai tahun pelajaran 2013/2014.

PASAL II

(1) Implementasi kurikulum pada SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, dan SMK/MAK


menggunakan pedoman implementasi kurikulum yang mencakup:

a. Pedoman Penyusunan dan Pengelolaan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan;

b.Pedoman Pengembangan Muatan Lokal;

c. Pedoman Kegiatan Ekstrakurikuler;

d. Pedoman Umum Pembelajaran

e. Pedoman Evaluasi Kurikulum.

(2) Pedoman implementasi kurikulum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam
Lampiran I sampai dengan Lampiran V yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Menteri ini.

PASAL III Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan
LAMPIRAN II PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
REPUBLIK INDONESIA NOMOR 81A TAHUN 2013 TENTANG IMPLEMENTASI
KURIKULUM
PEDOMAN PENGEMBANGAN MUATAN LOKAL

MUATAN LOKAL, MENURUT UNDANG- UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2003


TENTANG SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL, MERUPAKAN BAHAN KAJIAN
YANG DIMAKSUDKAN UNTUK MEMBENTUK PEMAHAMAN PESERTA DIDIK
TERHADAP POTENSI DI DAERAH TEMPAT TINGGALNYA.

DALAM PASAL 77 N PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 32 TAHUN 2013


TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 19 TAHUN
2005 TENTANG STANDAR NASIONAL DINYATAKAN BAHWA : (1) MUATAN
LOKAL UNTUK SETIAP SATUAN PENDIDIKAN BERISI MUATAN DAN PROSES
PEMBELAJARAN TENTANG POTENSI DAN KEUNIKAN LOKAL; (2) MUATAN
LOKAL DIKEMBANGKAN DAN DILAKSANAKAN PADA SETIAP SATUAN
PENDIDIKAN.

 Manfaat Muatan Lokal Sebagai Bahan Kajian

1. mengenal dan menjadi lebih akrab dengan lingkungan alam, sosial, dan budayanya

2. memiliki bekal kemampuan dan keterampilan serta pengetahuan mengenai daerahnya yang
berguna bagi dirinya maupun lingkungan masyarakat pada umumnya

3. memiliki sikap dan perilaku yang selaras dengan nilainilai/aturan- aturan yang berlaku di
daerahnya, serta melestarikan dan mengembangkan nilai-nilai luhur budaya setempat dalam
rangka menunjang pembangunan nasional

 Tujuan Pedoman

Pedoman muatan lokal merupakan acuan bagi satuan pendidikan (guru, kepala sekolah, dan
komite sekolah) dalam pengembangan muatan lokal oleh masing- masing satuan pendidikan.
Pedoman ini juga berguna untuk:
1) Pemerintah daerah provinsi dalam melakukan koordinasi dan supervisi pengelolaan
muatan lokal pada pendidikan menengah
2) Pemerintah daerah kabupaten/kota dalam melakukan koordinasi dan supervisi
pengelolaan muatan lokal pada pendidikan dasar.

 Pengguna Pedoman
1) Satuan pendidikan (guru, kepala sekolah, komite sekolah/ madrasah) dalam
mengembangkan materi/substansi/program muatan lokal yang sesuai dengan
kebutuhan dan potensi di sekitarnya.
2) Pemerintah provinsi (dinas pendidikan provinsi, kanwil kementerian agama) dalam
melakukan koordinasi dan supervisi pengelolaan muatan lokal pada pendidikan
menengah (SMA/MA dan SMK/MAK).
3) Pemerintah daerah kabupaten/kota (dinas pendidikan kabupaten/ kota, kantor
kementerian agama kabupaten/kota) dalam melakukan koordinasi dan supervisi
pengelolaan muatan lokal pada pendidikan dasar (SD/MI dan SMP/MTs).

 Komponen Muatan Lokal

1) Lingkup keadaan dan kebutuhan daerah


Kebutuhan daerah meliputi:

a) melestarikan dan mengembangkan kebudayaan daerah;


b) meningkatkan kemampuan dan keterampilan di bidang tertentu sesuai dengan
keadaan perekonomian daerah
c) meningkatkan penguasaan Bahasa Inggris untuk keperluan peserta didik dan
untuk mendukung pengembangan potensi daerah, seperti potensi pariwisata
d) meningkatkan kemampuan berwirausaha.

2) Lingkup isi/jenis muatan local  bahasa daerah, bahasa Inggris, kesenian daerah,
keterampilan dan kerajinan daerah, adat istiadat, dan pengetahuan tentang berbagai ciri khas
lingkungan alam sekitar, serta hal-hal yang dianggap perlu untuk pengembangan potensi
daerah yang bersangkutan.

 Prinsip Pengembangan
1.utuh
2.Kontektual
3.Terpadu
4.Apresiatif
5.Fleksibel
6.Pendidikan sepanjang hayat
7.manfaat

 Strategi Pengembangan Muatan Lokal


Dari bawah ke atas (bottom up)
• Penyelenggaraan pendidikan muatan lokal dapat dibangun secara bertahap tumbuh
di dan dari satuansatuan pendidikan.
• satuan pendidikan diberi kewenangan untuk menentukan jenis muatan lokal sesuai
dengan hasil analisis konteks
Dari atas ke bawah (top down)
• Pemerintah daerah memiliki bahan kajian
• Tim pengembang menganalisis core and content
• Pemerintah daerah membuat kebijakan

 Tahapan Pengembangan Muatan Lokal


a) Melakukan identifikasi dan analisis konteks kurikulum
b) Menentukan jenis muatan lokal yang akan dikembangkan.
c) Menentukan bahan kajian muatan lokal

 Rambu-Rambu Pengembangan Muatan Lokal


a) Satuan pendidikan yang mampu mengembangkan standar kompetensi dan
kompetensi dasar beserta silabusnya dapat melaksanakan mata pelajaran
muatan lokal
b) Bahan kajian disesuaikan dengan tingkat perkembangan peserta didik yang
mencakup perkembangan pengetahuan dan cara berpikir, emosional, dan
sosial peserta didik
c) Program pengajaran dikembangkan dengan melihat kedekatannya dengan
peserta didik yang meliputi kedekatan secara fisik dan secara psikis.
d) Bahan kajian/pelajaran diharapkan dapat memberikan keluwesan bagi guru
dalam memilih metode mengajar dan sumber belajar seperti buku dan nara
sumber
e) Bahan kajian muatan lokal yang diajarkan harus bersifat utuh dalam arti
mengacu kepada suatu tujuan pengajaran yang jelas dan memberi makna
kepada peserta didik
f) Alokasi waktu untuk bahan kajian/pelajaran muatan lokal perlu
memperhatikan jumlah hari/minggu dan minggu efektif untuk mata pelajaran
muatan lokal pada setiap semester

 Langkah Pelaksanaan Muatan Lokal


a) Muatan lokal diajarkan pada setiap jenjang kelas
b) Proses pembelajaran muatan lokal mencakup empat aspek (kognitif, afektif,
psikomotor, dan action)
c) Muatan lokal dilaksanakan sebagai mata pelajaran tersendiri
d) Penilaian pembelajaran muatan lokal mengutamakan unjuk kerja, produk, dan
portofolio
e) Alokasi waktu adalah 2 jam/minggu jika muatan lokal berupa mata pelajaran
khusus muatan lokal Muatan lokal dilaksanakan selama satu semester atau
satu tahun atau bahkan selama tiga tahun
f) Satuan pendidikan dapat menentukan satu atau lebih jenis bahan kajian mata
pelajaran muatan lokal
g) Satuan pendidikan yang tidak memiliki tenaga khusus untuk muatan lokal
dapat bekerja sama dengna pihak lain
h) Penyelenggaraan muatan lokal disesuaikan dengan potensi dan karakteristik
satuan pendidikan

 Daya Dukung Pelaksanaan Muatan Lokal


a) Kebijakan Muatan Lokal
b) Guru
c) Sarana dan Prasarana Sekolah
d) Manajemen Sekolah

Anda mungkin juga menyukai