Anda di halaman 1dari 11

PROCEEDING STUDIUM GENERALE 2021

ISBN : 978-632-7583-84-4

PROFESIONALISME GURU BK DISEKOLAH

Ghina Salsabela1 , Jarkawi2 , Muhammad Aldi3


1
Bimbingan Konseling,86201,FKIP,Universitas Islam Kalimantan MAB
2
Bimbingan Konseling,86201,FKIP,Universitas Islam Kalimantan MAB
aldisyt@gmail.com
ghinasalsabela8@gmail.com

ABSTRAK

Semua bidang profesi menutut keprofesionalan individu dalam bekerja, terlebih lagi bidang yang berurusan
dengan jasa. Misalnya adalah profesionalisme guru Bimbingan dan Konseling, mereka harus menyelesaikan
studi-studi, kontrak-kontrak dan menjaga asas-asas dimana mereka diperbolehkan dan tidak diperbolehkan
dalam tugas layanan dan bimbingan. Profesionalisme guru bimbingan dan konseling diharapkan merata, agar
pelayanan diseleruh negeri dapat terarah dan berkualitas. Di Indonesia keprofesionalan guru bimbingan dan
konseling selalu dituntut dan diperbaharui dikarenakan bimbingan dan konseling adalah ilmu terapan yang
mana teorinya ada banyak dan selalu muncul pandangan, teori dan prosedur yang terbaru. Didalam menjaga
kerahasiaan dalam proses bimbingan dan konseling, guru dan konseli (siswa) harus tahu dan menerapkan 12
asas-asas yaitu, asas kerahasiaan, asas kesukarelaan, asas keterbukaan, asas kekinian, asas kemandirian, asas
kehaiatan,asas kedinamisan, asas keterpaduan, asas kenormatifan, asas keahlian, asas alih tangan dan asas Tut
Wuri Handayani. Semua asas tersebut sangat penting dan mencerminkan keprofesionalan guru disamping
prestasi, sertifikasi dan lainnya dikarenakan asas tersebut merupakan hal yang erat dan pasti ditemui dalam
proses bimbingan.

Kata kunci: asas, layanan, bimbingan, profesi

ABSTRACT

All professional fields demand individual professionalism in their work, even more so in fields dealing with
services. For example is the professionalism of Guidance and Counseling teachers, they must complete studies,
contracts and maintain the principles where they are allowed and not allowed in the task of service and
guidance. The professionalism of guidance and counseling teachers is expected to be evenly distributed, so that
services throughout the country can be directed and of good quality. In Indonesia, the professionalism of
guidance and counseling teachers is always demanded and updated because guidance and counseling is an
applied science where there are many theories and the latest views, theories and procedures always appear. In
maintaining confidentiality in the guidance and counseling process, teachers and counselees (students) must
know and apply 12 principles, namely, the principle of confidentiality, the principle of volunteerism, the
principle of openness, the principle of the present, the principle of independence, the principle of health, the
principle of dynamism, the principle of integration, the principle of normative, the principle of expertise, the
principle of transfer of hands and the principle of Tut Wuri Handayani. All of these principles are very
important and reflect the professionalism of teachers in addition to achievements, certifications and others
because these principles are closely and definitely found in the guidance process.

Keywords: principle, service, guidance, profession

TEACHING AND LEARNING IN THE 21 ST CENTURY :


Challenges and Opportunities For Educator 411
PROCEEDING STUDIUM GENERALE 2021
ISBN : 978-632-7583-84-4

PENDAHULUAN
Pendidikan merupakan proses pembelajaran pengetahuan, keterampilan dan sikap yang dilakukan secara
sadar dan sistematis untuk mengembangkan pemahaman serta segala potensi yang ada dalam diri manusia,
sehingga dapat menjadi manusia yang bermanfaat. Pendidikan di Indonesia terbagi menjadi tiga jalur, yaitu
pendidikan formal, pendidikan nonformal serta pendidikan informal. Pendidikan formal merupakan pendidikan
yang terstruktur dan memiliki jenjang yang dilaksanakan di sekolah yang diselenggarakan dan diatur langsung
oleh pemerintah (Nursalim, 2015).
Belajar di sekolah tidak hanya untuk mendapat nilai dan meningkatkan intelektualitas peserta didik semata,
akan tetapi dengan belajar di sekolah peserta didik juga diajarkan mengenai tata karma, sopan santun, tenggang
rasa, toleransi, kedisiplinan, tanggung jawab, dan kegiatan-kegiatan yang terkait dengan bidang keagamaanan.
Hal tersebut dimaksudkan agar terdapat kemudahan dalam pencapaian perkembangan diri peserta didik yang
optimal. Perkembangan diri yang optimal dapat diwujudkan dengan adanya bidang pelayanan pendidikan. Pada
era globalisasi saat ini banyak sekali berbagai permasalahan yang dihadapi oleh remaja atau peserta didik.
Permasalahan-permasalahan yang terjadi menyangkut pada bidang pribadi, belajar, sosial, dan karir.
Salah satu komponen penting dalam pendidikan yang berperan dalam mengembangkan potensi peserta didik
dan membantu memecahkan permasalahan yang dialami oleh peserta didik adalah layanan bimbingan dan
konseling atau layanan BK. Berbagai layanan yang dilakukan oleh guru bimbingan dan konseling atau guru BK
untuk mencegah dan membantu mengatasi permasalahan yang dihadapi oleh peserta didik sangatlah beragam.
Jenis layanan tersebut yaitu Layanan Orientasi, Layanan Informasi, Layanan Penempatan dan Penyaluran,
Layanan Bimbingan Belajar, Layanan Konseling Perorangan, serta Layanan Bimbingan dan Konseling
Kelompok. Layanan tersebut diberikan kepada peserta didik baik secara perorangan maupun secara kelompok
tujuannya agar peserta didik mampu mandiri dan berkembang secara optimal, baik dalam bidang pribadi, sosial,
belajar dan karir (Priyanto dan Erman, 2013).
Dalam pelaksanaan kegiatan bimbingan dan konseling di sekolah seorang guru BK harus perlu memahami
secara benar dan tepat tentang konsep dasar penyelengaraan BK di sekolah, tujuaannya agar pelaksanaan BK di
sekolah sesuai dengan keilmuan yang ada serta sesuai dengan asas-asas yang berlaku dalam pelaksanaan BK itu
sendiri. Oleh karena itu seorang guru BK harus memahami dasar-dasar keilmuan BK itu sendiri dan harus terus
menggali pengetahuan mereka tentang BK, sehingga mampu menjadi seorang guru BK yang profesional dan
berpengalaman (Priyanto dan Erman, 2013).

PEMBAHASAN
A. Pengertian Bimbingan dan Konseling
Bimbingan dan konseling (BK) merupakan terjemahan dari “Guidance” dan “Counseling” dalam bahasa
Inggris. Secara harfiyah istilah “Guidance” dari akar kata “Guide” berarti: (1) mengarahkan (to direct), (2)
Memandu (to pilot), (3) mengelola (to manage), dan (4) menyetir (to steer).
Dalam literatur asing Guidance sering disamakan dengan helping. Oleh karena itu secara harfiah,
bimbingan dapat diartikan sebagai suatu „tindakan menolong‟ atau „memberikan bantuan‟. Bantuan atau
pertolongan yang dimaksud dalam bimbingan adalah memberdayakan individu agar ia dapat memenuhi
kebutuhannya sendiri, antara lain dapat berupa kebutuhan untuk berteman, berprestasi, mengaktualisasi diri,
memperoleh penghargaan, menyesuaikan diri dan sebagainya.
Selain itu konseling merupakan hubungan yang bersifat profesional dan pribadi antara konselor dengan
konseli untuk maksud mendorong perkembangan pribadi konseli dan membantu memecahkan masalah
yang sedang dihadapinya.
Bimbingan adalah proses pemberian bantuan yang dilakukan oleh orang yang ahli kepada seorang atau
beberapa orang individu baik anak-anak, remaja maupun dewasa, agar orang yang dibimbing dapat
mengembangkan kemampuan dirinya sendiri dengan memanfaatkan kekuatan individu dan sarana yang ada
dan dapat dikembangkan berdasarkan norma-norma yang berlaku. Sedangkan konseling adalah proses
bantuan yang dilakukan melalui wawancara konseling oleh seorang ahli (konselor) kepada individu yang
sedang mengalami sesuatu masalah (konseli) yang bermuara pada teratasinya masalah yang dihadapi oleh
konseli.
B. Sejarah Bimbingan dan Konseling di Indonesia
Profesi bimbingan dan konseling di negri ini masih relatif baru. Profesi BK baru muncul sekitar awal
tahun 1960-an. Kegiatannya pun baru dilaksanakan di sekolah menengah. Kementerian Pendidikan di
Indonesia waktu itu sedang merencanakan peningkatan mutu Pendidikan Menengah Atas, yang diarahkan
untuk penyelenggaraan SMA Gaya Baru. Dalam rangka penyelenggaraan pendidikan untuk SMA Gaya
Baru tersebut diadakan pertemuan nasional yang membahas arah dan kelengkapan program pendidikannya.
Dalam pertemuan nasional yang diprakarsai oleh Departemen Pendidian dan Kebudayaan pada saat itu
melibatkan Lembaga-Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (seperti FKIP UNPAD Bandung, sebagai
cikal-bakal dari IKIP Bandung, yang akhirnya menjadi UPI Bandung). Salah satu yang dicanangkan dalam
pertemuan tersebut adalah dilaksanakannya perkuliahan/pelayanan Bimbingan dan Penyuluhan, disingkat
TEACHING AND LEARNING IN THE 21 ST CENTURY :
Challenges and Opportunities For Educator 412
PROCEEDING STUDIUM GENERALE 2021
ISBN : 978-632-7583-84-4

BP, di perguruan tinggi yang akan menghasilkan petugas terdidik sebagai calon pelaksana pelayanan BP di
sekolah. Kesepakatan tersebut akhirnya direalisasikan oleh FKIP UNPAD Bandung sejak tahun 1963 dalam
bentuk jurusan Bimbingan dan Penyuluhan (BP) sesudah program Sarjana Muda pendidikan pada waktu
itu. Pada tahun 1965 jurusan BP yang baru tersebut sudah menghasilkan lulusan pertamanya menjadi
sarjana di bidang bimbingan dan penyuluhan dengan sebutan gelar doktorandus (Drs).
Pada tahun 1971 berdiri Proyek Perintis Sekolah Pembangunan yang disingkat PPSP di delapan IKIP di
Indonesia. Delapan IKIP tersebut yaitu IKIP Padang, IKIP Jakarta, IKIP Bandung, IKIP Yogyakarta, IKIP
Semarang, IKIP Malang , IKIP Surabaya, dan terakhir IKIP Manado. Melalui proyek tersebut
dikembangkan bimbingan dan penyuluhan, juga berhasil dilakukan penyusunan “Pola Dasar Rencana dan
Pengembangan bimbingan dan penyuluhan” pada PPSP. Di tahun 1975 lahir pula Kurikulum 1975 untuk
Sekolah Menengah Atas. Kurikulum 1975 memuat pedoman pelaksanaan bimbingan dan penyuluhan di
sekolah. Untuk mengisi jabatan Guru bimbingan dan penyuluhan diselenggarakan program PGSLP dan
PGSLA bidang bimbingan dan penyuluhan di IKIP (setingkat D2 atau D3) pada tahun 1978. Kebijakan ini
ditempuh dengan tujuan mengisi jabatan Guru bimbingan dan penyuluhan di sekolah yang sampai saat itu
belum ada pengangkatan guru BP dari tamatan S1 Jurusan Bimbingan dan Penyuluhan. Pengangkatan
petugas atau Guru Bimbingan dan Penyuluhan di sekolah diadakan sejak adanya PGSLP dan PGSLA
jurusan Bimbingan dan Penyuluhan sudah mulai meluluskan.
Tahun 1982 sebutan bimbingan dan penyuluhan sudah mulai jarang digunakan, dan mulai diperkenalkan
sebutan bimbingan dan konseling. Hal ini dilakukan untuk menghindari kesalahpahaman masyarakat
tentang istilah penyuluhan itu sendiri. Pada waktu itu istilah penyuluhan disamakan dengan istilah
penyuluhan pada bidang lain, seperti penyuluhan pertanian, penyuluhan kesehatan, penyuluhan hukum, dan
lain-lain. Untuk menghindari kesaalahpahaman tersebut, mulai saat itu istilah bimbingan dan konseling
sudah digunakan secara meluas, termasuk memberi nama jurusan BP (Bimbingan Penyuluhan) menjadi
jurusan BK (Bimbingan dan Konseling).
Di tahun 1984 sekolah-sekolah menengah memberlakukan kurikulum 1984. Dalam Kurikulum tersebut
eksistensi pelayanan BK terus dikembangkan. Dalam pelaksanaannya diberi ciri khas, yaitu lebih
ditekankan pada pelayanan bimbingan karir agar lebih menggencarkan pengembangan karir siswa. Secara
resmi terbitnya SK Menpan No 026/1989 tentang Angka Kredit bagi Jabatan Guru kemudian diperbaharui
oleh SK Menpan No 84/1993 tentang hal yang sama, telah mengubah nama Bimbingan dan Penyuluhan
menjadi Bimbingan dan Konseling (di singkat BK). SK Menpan yang baru itu diikuti oleh SKB Mendikbud
dan Kepala BAKN No 0433/P/1993, SK Mendikbud No 025-6-1993, dan SK Menpan No 118/1996 yang
semuanya mencantumkan butir tentang BK di sekolah. Dengan demikian semuanya sesuai dengan
Peraturan Pemerintah No 28/1990, No 29/1990, No 72/1991 dan No 38/1992 yang di dalamnya termuat
diktum tentang pelayanan BK di sekolah serta Guru Pembimbing sebagai pelaksananya.
Sehubungan dengan pemberlakuan ketentuan formal di atas, jabatan fungsional Guru Pembimbing
(nama resmi untuk pelaksana BK di sekolah) semakin jelas. Demikian pula panduan pelaksanaan BK lebih
terarah, serta formasi pengangkatan Guru Pembimbing yang berkualifikasi pendidikan BK semakin
meningkat. Sejak tahun 1993 upaya peningkatan profesionalisme Guru Pembimbing dalam bentuk
penataran dan pelatihan bagi Guru-guru Pembimbing baik di tingkat nasional maupun di tingkat wilayah
(provinsi) mulai dilaksanakan setiap tahun. Pusat penataran dan pelatihan bagi Guru-guru Pembimbing
adalah Lembaga P3G-Keguruan yang sekarang menjadi P4TK, Penjas-BK di Parung/Bogor. Demikian pula
organisasi profesi di bidang BK, dalam hal ini, Ikatan Petugas Bimbingan Indonesia (IPBI) cukup aktif
mendorong dan mengarahkan pelaksanaan BK di sekolah-sekolah berdasarkan peraturan yang ada.
Upaya memprofesionalkan pelayanan BK oleh IPBI semakin digencarkan. Mulai tahun 1995 IPBI
mengusulkan kepada Pemerintah agar nama Guru Pembimbing di ubah menjadi Konselor. Pemerintah
bukannya menolak usulan tersebut, namun belum bisa merealisasikannya karena dasar legal untuk
pemberian nama Konselor belum ada. Meskipun demikian, upaya memprofesionalkan petugas pelayanan
BK terus berlangsung.
Tahun 1996 IPBI membuat suatu rencana yang berisi arahan dan materi tentang perlunya pembukaan
program Pendidikan Profesi Konselor (PPK) di perguruan tinggi yang menangani pendidikan (LPTK).
Rencana tersebut dalam bentuk memorandum, yang disebarluaskan secara nasional yang pada akhirnya
menjadi kesepakatan yang diputuskan pada kongres IPBI di Mataram tahun 1998. Berdasarkan
memorandum tersebut IPBI berupaya mendorong LPTK yang memenuhi persyaratan untuk membuka
program Pendidikan Profesi Konselor (PPK). LPTK yang mengawali kegiatan pembukaan PPK di
Indonesia adalah IKIP Padang pada tahun 1999. Program PPK di UNP dibuka secara resmi oleh pimpinan
LPTK dengan persetujuan dari Kementerian Pendidikan. Selanjutnya program PPK yang sudah resmi
dibuka tersebut diberi tugas oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi untuk menjadikan para dosen BK
seluruh Indonesia sebagai konselor dengan diberi bantuan beasiswa dari Pemerintah. Program beasiswa
untuk dosen-dosen BK di LPTK untuk mengikuti PPK di UNP akhirnya terwud. Namun program tersebut

TEACHING AND LEARNING IN THE 21 ST CENTURY :


Challenges and Opportunities For Educator 413
PROCEEDING STUDIUM GENERALE 2021
ISBN : 978-632-7583-84-4

hanya berlangsung selama lima tahun (2005-2010). Selama lima tahun tersebut PPK-UNP alhamdulillah
dapat menghasilkan 85 orang Konselor dari 37 perguruan tinggi (LPTK) di Indonesia.
Terkait dengan hal tersebut, IPBI tetap berusaha melakukan kegiatan peningkatan profesionalitas para
anggotanya. Kegiatan tersebut antara lain dengan menerbitkan Newsletter sebagai sarana komunikasi
profesional meskipun pada akhirnya tidak mampu terbit secara teratur di samping mengadakan pertemuan
secara berkala melalui kegiatan organisasi seperti konvensi dan kongres. Pada tahun 2001 pada saat
kongres IPBI di Lampung IPBI (Ikatan Pertugas Bimbingan Indonesia ) disepakati berganti nama menjadi
ABKIN (Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia ). Pada tahun 2003 sejak diberlakukan UU nomor
20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional penyebutan profesi “konselor” secara eksplisit telah
dicantukan dalam pasal 1 ayat (6), namun tidak lagi ditemukan kelanjutannya pada pasal-pasal berikutnya.
Pada pasal 39 ayat (2) dalam UU nomor 20 tahun 2003 tersebut dinyatakan bahwa “Pendidik merupakan
tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil
pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada
masyarakat, terutama pendidik pada perguruan tinggi”, walaupun tugas “melakukan pembimbingan” yang
tercantum merupakan salah satu unsur dari tugas pendidik itu, jelas hal ini merujuk kepada tugas guru,
sehingga tidak dapat ditafsirkan secara sepihak mengindikasikan tugas konselor.
Seperti telah dikemukakan dalam Telaah Yuridis, sampai dengan pemberlakuan PP nomor 19 tentang
Standar Nasional Pendidikan dan Undang-Undang tentang Guru dan Dosen (UU nomor 14 tahun 2005)
pun, juga belum ditemukan perumusan tentang Konteks Tugas dan Ekspektasi Kinerja Konselor. Oleh
sebab itu, tiba saatnya sekarang bagi ABKIN sebagai organisasi profesi bimbingan dan konseling untuk
berjuang mengisi kevakuman legal ini, dengan merumuskan dan menyusun Rujukan Dasar untuk berbagai
aspek penyelenggaraan layanan profesional ahli bimbingan dan konseling yang memandirikan khususnya
pada jalur pendidikan formal di Indonesia. Tentu hal ini diawali dengan penyusunan naskah akademik yang
dinamakan Naskah Akademik Penataan Pendidikan Profesional Konselor dan Layanan Bimbingan dan
Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal. Usaha ini telah terealisasi dengan diterbitkannya buku:
“Penataan Pendidikan Profesional Konselor dan Layanan Bimbingan dan Konseling dalam Jalur
Pendidikan Formal”. Buku ini terbit tahun 2007 oleh Departemen Pendidikan Nasional.
Upaya pengembangan pelayanan Bimbingan dan Konseling ke arah keprofesionalannya terus dilakukan.
Meskipun peraturan yang secara resmi sudah diterbitkan dan telah dianggap cukup memberikan arah
penyelenggaraan, namun pelaksanaan layanan BK di sekolah-sekolah masih belum menggembirakan. Para
pemangku jabatan di bidang pendidikan, sampai dengan para penyelenggara pelayanannya di sekolah,
dalam hal ini Kepala Sekolah dan para Guru BK dikhawatirkan tidak/belum membaca, mempelajari serta
mencermati dengan baik peraturan-peraturan yang suda ada, sehingga pelaksanaan layanan bimbingan dan
konseling di sekolah-sekolah terkesan belum optimal.
Di tahun 2008 keluar Permen Diknas No 27 Tahun 2008 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan
Kompetensi Konselor (SKAKK), sebagai pedoman pelaksanan ketentuan Pasal 28 PP No 19/2005 tentang
Standar Nasional Pendidikan. Permendiknas tentang SKAKK itu berisi hal-hal berikut:
a. Butir-butir berkenaan dengan Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Konselor yang berlaku
secara nasional.
b. Ketentuan bahwa : penyelenggara pendidikan yang mempekerjakan Konselor, wajib menerapkan
Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Konselor yang dimaksudkan itu.
Di tahun 2008 itu juga diberlakukan Peraturan Pemerintah No 74 Tahun 2008 tentang Guru. PP ini
memuat uraian tentang berbagai hal yang terkait dengan Guru. Dalam PP tersebut pengertian “Guru”
dirumuskan dalam makna dan pengertian yang luas, termasuk di dalamnya istilah “membimbing” yang
sudah tentu dapat dimaknai sebagai “pelayanan bimbingan dan konseling”. Dalam PP tersebut juga seara
eksplisit disebutkan adanya Konselor atau Guru BK, tetapi penyebutan itu dimaknai sebagai tugas
tambahan yang diemban oleh guru-guru pada umumnya. Kemudian yang terkait dengan Dosen, pemerintah
sudah menerbitkan Peraturan No 37 Tahun 2009 tentang Dosen. Dalam PP ini pun tidak menyebutkan
sesuatu yang secara langsung ataupun tidak langsung berkenaan dengan pelayanan bimbingan dan
konseling ataupun Konselor.
Pada tahun 2009 Menpan-RB menerbitkan Permen Nomor 16 Tahun 2009 tentang Jabatan Fungsional
Guru dan Angka Kreditnya, yang merupakan pengganti Kepmen PAN No 84/1993 tentang hal yang sama.
Dalam Permen tersebut makna proses pembelajaran dan proses bimbingan agak rancu. Dalam hal ini
sepertinya Guru BK tidak melaksanakan proses pembelajaran dan Guru Kelas/Guru Mata Pelajaran tidak
melakukan proses bimbingan, padahal:
a. Guru Kelas/ Guru Mata Pelajaran melakukan proses pembelajaran dan proses bimbingan kepada siswa
dengan obyek praktik spesifik berupa mata pelajaran, sedangkan:
b. Konselor atau Guru BK melakukan proses pembelajaran dan proses bimbingan dengan obyek praktik
spesifik berupa pengembangan perilaku efektif sehari-hari (KES) dan penanganan perilaku efektif
sehari-hari yang terganggu (KES-T).
TEACHING AND LEARNING IN THE 21 ST CENTURY :
Challenges and Opportunities For Educator 414
PROCEEDING STUDIUM GENERALE 2021
ISBN : 978-632-7583-84-4

c. Lebih rancu lagi BK melakukan pembelajaran perbaikan, yang seharusnya menjadi tugas Guru
Kelas/Guru Mata Pelajaran (Prayitno, 2008).
Pada pasal 171 Peraturan Pemerintah No 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan
pendidikan, tentang Pendidik: menyebutkan bahwa tenaga Konselor, mempunyai tugas dan tanggungjawab
: sebagai pendidik professional memberikan pelayanan Konseling kepada peserta didik di satuan
pendidikan pada jenjang pendidikan dasar, menengah, dan perguruan tinggi.
PP No 17 Tahun 2010 tersebut sudah diubah menjadi PP No 66 Tahun 2010 di mana isi Pasal 171
tersebut di atas masih tetap ada tidak di ubah. Kedua Peraturan Pemerintah tersebut (No 171/2010 dan No
66/2010) sudah memberikan sinyal lampu hijau tentang keberadaan dan pelaksanaan pelayanan BK di
sekolah.
C. Aspek Kompetensi Profesi Guru BK
Beberapa aspek yang terkandung dalam konsep kompetensi menurut Gordon, dalam Mulyasa yaitu
pengetahuan (knowledge), pemahaman(understanding), kemampuan (skill), nilai Nilai (value), sikap
(attitude), dan minat (interest). Aspek-aspek tersebut kemudian dijelaskan lebih lanjut sebagai berikut:
a. Pengetahuan (knowledge); yaitu kesadaran dalam bidang kognitif, misalnya seorang guru BK
mengetahui cara melakukan identifikasi kebutuhan peserta didik.
b. Pemahaman (understanding); yaitu kedalaman kognitif, dan afektif yang dimiliki oleh individu.
Misalnya seorang guru BK yang akan melaksanakan layanan BK harus memiliki pemahaman yang
baik terhadap karakteristik dan kondisi peserta didik agar dapat melaksanakan layanan secara
efektif dan efisien.
c. Kemampuan (skill); adalah sesuatu yang dimiliki oleh individu untuk melaksanakan tugas atau
pekerjaan yang dibebankan kepadanya. Misalnya kemampuan guru BK dalam memilih dan
melatihkan konten cara belajar efektif untuk meningkatkan kualitas belajar peserta didik.
d. Nilai (value); adalah suatu standar perilaku yang telah diyakini dan secara psekologis telah
menyaty dalam diri seseorang. Misalnya standar perilaku guru BK dalam memberikan layanan
konseling seperti mampu menjaga rahasia, terbuka, dan jujur.
e. Sikap (attitude); yaitu perasaan (senang-tidak senang, suka-tidak suka) atau reaaksi terhadap suatu
rangsangan yang datang dari luar.
f. Minat (interest); adalah kecenderungan seseorang untuk melakukan suatu perbuatan. Misalnya
minat untuk melakukan sesuatu.
D. Syarat-Syarat Profesi Guru BK
Berbicara mengenai syarat-syarat apa saja yang dituntut bagi jabatan atau profesi konselor, hal ini
menyangkut soal analisa jabatan atau pekerjaan. Analisa pekerjaan adalah prosedur untuk menentukan
tugas-tugas dan hakekat pekerjaan serta jenis orang (berkaitan dengan keterampilan dan pengalaman) yang
perlu diangkat untuk melaksanakannya, agar konselor dapat menjalankan pekerjaannya dengan baik, maka
konselor harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. Seorang pembimbing harus mempunyai pengetahuan yang cukup luas, baik segi teori maupun segi
praktek.
b. Dalam segi psikologis, seorang pembimbing akan dapat mengambil tindakan yang bijaksana jika
pembimbing telah cukup dewasa dalam segi psikologis yaitu adanya kemantapan atau kestabilan di
dalam psikologinya terutama dalam segi emosi.
c. Seorang pembimbing harus sehat jasmani maupun psikisnya, karena jika jasmani dan psikisnya
sakit akan mengganggu tugasnya.
d. Seorang pembimbing harus mempunyai sikap keuletan terhadap pekerjaannya dan juga terhadap
peserta didik yang dihadapinya, sikap ini akan membawa kepercayaan peserta didik.
e. Seorang pembimbing harus mempunyai inisiatif yang cukup baik, sehingga dapat diharapkan
adanya kemajuan di dalam usaha bimbingan dan konseling kearah keadaan yang lebih sempurna
demi kemajuan sekolah.
f. Pembimbing harus bersifat supel, ramah tamah, sopan santun di dalam segala perbuatannya,
sehingga seorang pembimbing mendapatkan hubungan yang sanggup bekerjasama dan membantu
untuk kepentingan peserta didik.
g. Guru pembimbing diharapkan mempunyai sifat-sifat yang dapat menjalankan prinsip-prinsip serta
kode etik dalam bimbingan dan konseling
E. Asas-Asas Bimbingan dan Konseling
Asas-asas bimbingan dan konseling merupakan ketentuan-ketentuan yang harus diterapkan dalam
penyelenggaraan pelayanan bimbingan dan konseling. Dengan mengikuti ketentuan-ketentuan tersebut
diharapkan pelayanan bimbingan dan konseling yang diselenggarakan dapat mencapai tujuan yang
diharapkan. Asas-asas yang dimaksud adalah sebagai berikut:

TEACHING AND LEARNING IN THE 21 ST CENTURY :


Challenges and Opportunities For Educator 415
PROCEEDING STUDIUM GENERALE 2021
ISBN : 978-632-7583-84-4

1. Asas Kerahasiaan
Segala sesuatu yang dibicarakan konseli kepada konselor tidak boleh disampaikan kepada orang
lain, atau hal maupun keterangan yang tidak boleh atau tidak layak diketahui orang lain. Asa
kerahasiaan ini merupakan asas kunci dalam usaha bimbingan dan konseling. Jika asas ini benar-benar
dilaksanakan, maka konselor sebagai penyelenggara layanan bimbingan dan konseling akan mendapat
kepercayaan dari semua pihak terutama konseli sebagai penerima layanan bimbingan dan konseling.
Sebaliknya, jika konselor tidak dapat memegang asas kerahasiaan dengan baik, maka hilanglah
kepercayaan konseli sehingga pelayanan bimbingan dan konseling tidak dapat tempat dihati konseli
dan para calon konseli, mereka akan takut meminta bantuan sebab khawatir masalah dan diri mereka
akan menjadi gunjingan.
2. Asas Kesukarelaan
Proses bimbingan dan konseling harus berlangsung atas dasar kesukarelaan, baik dari pihak konseli
maupun konselor. Konseli diharapkan secara suka dan rela tanpa ragu-ragu ataupun merasa terpaksa,
menyampaikan masalah yang dihadapinya, serta mengungkapkan segenap fakta, data dan seluk beluk
berkenaan dengan masalahnya itu kepada konselor dan konselor juga hendaknya dapat memberikan
bantuan dengan tidak terpaksaatau dengan kata lain konselor memberikan bantuan dengan ikhlas.
3. Asas Keterbukaan
Asas keterbukaan sangat diperlukan dalam proses layanan bimbingan dan konseling, baik
keterbukaan dari konselor maupun keterbukaan dari konseli. Diharapkan dari masing-masing pihak
yang bersangkutan bersedia membuka diri untuk kepentingan pemecahan masalah. Individu yang
membutuhkan bimbingan diharapkan dapat berbicara sejujur mungkin dan berterus terang tentang
dirinya sendiri sehingga dengan ketrbukaan ini penelaahan serta pengkajian berbagai kekuatan dan
kelemahan konseli dapat dilaksanakan.
4. Asas Kekinian
Masalah individu yang ditanggulangi adalah masalah yang sedang dirasakan bukan maslah yang
sudah lampau dan jug abukan masalah yang mungkin akan dialami dimasa yang akan datang. apabila
ada hal-hal tertentu yang menyangkut masa lampau dan masa yang akan datang yang perlu dibahas
dalam upaya bimbingan yang sedang berlangsung, pembahasan tersebut hanyalah berupa latar
belakang atau latar depan dari masalah yang dihadapi sekarang. Asas kekinian juga mengandung
pengertian bahwa konselor tidak boleh menunda-nunda pemberian bantuan.
5. Asas Kemandirian
Pelayanan bimbingan dan konseling bertujuan menjadikan konseli dapat berdiri sendiri, tidak
tergantung pada orang lain atau tergantung pada konselor. Individu yang dibimbing setelah dibantu
diharapkan dapat mandiri dengan ciri-ciri pokok mampu:
a. Mengenal diri sendiri dan lingkungan sebagaimana adanya
b. Mengenal diri sendiri dan lingkungan secara positif dan dinamis
c. Mengambil keputusan untuk dan oleh diri sendiri
d. Mengarahkan diri sesuai dengan keputusan itu
e. Mewujudkan diri secara optimal sesuai dengan potensi, minat dan kemampuan-kemampuan yang
dimilikinya.
Kemandirian dengan ciri-ciri umum diatas haruslah disesuaikan dengan tingkat perkembangan dan
peranan konseli dalam kehidupannya sehari-hari. Kemamdirian sebagai hasil konseling menjadi arah
dari keseluruhan proses konseling, dan hal itu didasari baik oleh konselor maupun konseli.
6. Asas Kegiatan
Usaha bimbingan dan konseling tidak akan memberikan buah yang berarti bila konseli tidak
melakukan sendiri kegiatan dalam mencapai tujuan bimbingan dan konseling. Hasil usaha bimbingan
dan konseling tidak akan tercapai dengan sendirinya, melainkan harus dengan kerja giat dari konseli
sendiri. Konselor hendaknya membangkitkan semangat konseli sehingga ia mampu dan mau
melaksanakan kegiatan yang diperlukan dalam penyelesaian masalah yang menjadi pokok
pembicaraan dalam konseling.
Asas ini merujuk pada pola konseling “multi dimensional” yang tidak hanya mengandalkan
transaksi verbal antara konseli dan konselor. Dalam konseling yang berdimensi verbal pun asas
kegiatan masih harus terselenggara, yaitu konseli aktif menjalani proses konseling dan aktif pula
melaksanakan/menerapkan hasil-hasil konseling.
7. Asas Kedinamisan
Usaha pelayanan bimbingan dan konseling menghendaki terjadinya perubahan pada diri konseli,
yaitu perubahan tingkah laku ke arah yang lebih baik. Perubahan itu tidaklah sekadar mengulang hal
yang sama, yang bersifat monoton, melainkan perubahan yang selalu menuju ke suatu pembaruan.
Asas kedinamisan mengacu pada hal-hal baru yang hendaknya terdapat pada dan menjadi ciri-ciri dari
proses konseling dan hasil-hasilnya.
TEACHING AND LEARNING IN THE 21 ST CENTURY :
Challenges and Opportunities For Educator 416
PROCEEDING STUDIUM GENERALE 2021
ISBN : 978-632-7583-84-4

8. Asas Keterpaduan
Pelayanan bimbingan dan konseling berusaha memadukan berbagai aspek kepribadian konseli.
Sebagaimana diketahui individu memiliki berbagai aspek kepribadian yang kalau keadaannya tidak
seimbang, serasi dan terpadu justru akan menimbulkan masalah. Disamping keterpaduan pada diri
klien juga harus diperhatikan keterpaduan isi dan proses layanan yang diberikan. Jangan hendaknya
aspek layanan yang satu tidak serasi dengan aspek alyanan yang lain.
9. Asas Kenormatifan
Usaha bimbingan dan konseling tidak boleh bertentangan dengan norma-norma yang berlaku, baik
ditinjau dari norma agama, norma adat, norma hukum/negara, norma ilmu maupun kebiasaan sehari-
hari. Asas kenormatifan ini diterapkan terhadap isi maupun proses penyelenggaraan bimbingan dan
konseling. Seluruh isi layanan harus sesuai denan norma-norma yang ada. Semikian pula prosedur,
teknik dan peralatan yang dipakai tidak menyimpang dari norma-norma yang dimaksudkan.
10. Asas Keahlian
Usaha bimbingan dan konseling perlu dilakukan asas keahlian secara teratur dan sistematik dengan
menggunakan prosedur, teknik dan alat(instrumentasi bimbingan dan konseling) yang memadai. Untuk
itu para konselor perlu mendapat latihan secukupnya, sehingga dengan itu akan dapat diacapai
keberhasilan usaha pemberian layanan. Pelayanan bimbingan dan konseling adalah pelayanan
profesional yang diselenggarakan oleh tenaga-tenaga ahli yang khusus dididik untuk pekerjaan ini.
Asas keahlian selain mengacu kepada kualifikasi konselor (misalnya pendidikan sarjana bidang
bimbingan dan konseling), juga kepada pengalaman. Teori dan praktek bimbingan dan konseling perlu
dipadukan. Oleh karena itu, seorang konselor ahli harus benar-benar menguasai teori dan praktek
konseling secara baik.
11. Asas Alih Tangan
Dalam pemberian layanan bimbingan dan konseling, asas alih tangan jika konselor sudah
mengerahkan segenap kemampuannya untuk membantu individu, namun individu yang bersangkutan
belum dapat terbantu sebagaimana yang diharapkan, maka konselor dapat mengirim individu tersebut
kepada petugas atau badan yang lebih ahli. Disamping itu asas ini juga mengisyaratkan bahwa
pelayanan bimbingan konseling hanya menangani masalah-masalah individu sesuai dengan
kewenangan petugas yang bersangkutan dan setiap masalah ditangani oleh ahli yang berwenang untuk
itu.
12. Asas Tutwuri Handayani
Asas ini merujuk pada suasana umum yang hendaknya tercipta dalam rangka hubungan
keseluruhan antara konselor dan konseli. Lebih-lebih dilingkungan sekolah, asas ini makin dirasakan
keperluannya.
Asas ini menuntut agar pelayanan bimbingan dan konseling tidak hanya dirasakan pada waktu
konseli mengalami masalah dan menghadap konselor saja, namun diluar hubungan proses bantuan
bimbingan dan konseling pun hendaknya dirasakan adanya dan manfaat pelayanan bimbingan dan
konseling itu.
F. Kualitas Pribadi Konselor
Kualitas pribadi konselor merupakan faktor yng sangat penting dalam konseling. Beberapa hasil
penelitian menunjukkan bahwa kualitas pribadi konselor menjadi faktor penentu bagi pencapaian konseling
yang efektif, disamping faktor pengetahuan tentang dinamika perilaku dan keterampilan terapeutik atau
konseling.
Dalam kenyataan di lapangan, tidak sedikit para siswa yang tidak mau datang ke ruang bimbingan dan
konseling, bukan karena guru pembimbingnya yang kurang keilmuannya dalam bidang bimbingan, tetapi
karena mereka memiliki kesan bahwa pembimbing tersebut bersifat judes atau kurang ramah.
Berdasarkan hal tersebut, maka dalam rangka mempersiapkan para calon konselor atau guru
pembimbing, pihak lembaga yang bertanggung jawab dalam pendidikan para calon konselor tersebut
dituntut untuk memfasilitasi perkembangan pribadi mereka yang berkualitas, yang dapat
dipertanggungjawabkan secara professional.
Cavanagh (1982) mengemukakan bahwa kualitas pribadi konselor ditandai dengan beberapa
karakteristik sebagai berikut: (a) pemahaman diri; (b) kompeten; (c) memiliki kesehatan psikologis yang
baik; (d) dapat dipercaya; (e) jujur; (f) kuat; (g) hangat; (h) responsif; (i) sabar; (j) sensitif; dan (k) memiliki
kesadaran yang holistik.
1. Pemahaman diri (Self-knowledge)
Self-knowledge ini berarti bahwa konselor memahami dirinya dengan baik, dia memahami secara
pasti apa yang dia lakukan, mengapa dia melakukan hal itu, dan masalah apa yang harus dia
selesaikan. Pemahaman diri sangat penting bagi konselor, karena sebagai berikut.

TEACHING AND LEARNING IN THE 21 ST CENTURY :


Challenges and Opportunities For Educator 417
PROCEEDING STUDIUM GENERALE 2021
ISBN : 978-632-7583-84-4

a. Konselor yang memiliki persepsi yang akurat tentang dirinya, cenderung akan memiliki persepsi
yang akurat pula tentang orang lain atau klien (konselor akan lebih mampu mengenal diri orang
lain secara tepat pula).
b. Konselor yang terampil dalam memhami dirinya, maka dia akan terampil juga memahami orang
lain.
c. Konselor yang memahami dirinya, maka dia akan mampu mengajara cara memahami diri itu
kepada orang lain.
d. Pemahaman tentang diri memungkinkan konselor untuk dapat merasa dan berkomunikasi secara
jujur dengan klien pada saat proses konseling berlangsung.
Konselor yang memiliki self-knowledge yang baik akan menunjukkan sifat-sifat berikut.
a. Konselor menyadari dengan baik tentang kebutuhan dirinya. Sebagai konselor dia memiliki
kebutuhan diri, seperti: (a) kebutuhan untuk sukses; (b) kebutuhan merasa penting, dihargai,
superior, dan kuat.
b. Konselor menyadari dengan baik tentang perasaan-perasaan nya. Perasaan-perasaan itu seperti:
rasa marah, takut, bersalah, dan cinta. Ketidaksadaran konselor akan perasaannya dapat berakibat
buruk terhadap proses konseling.
c. Konselor menyadari tentang apa yang membuat dirinya cemas dalam konseling, dan apa yang
menyebabkan dirinya melakukan pertahanan diri dalam rangka mereduksi kecemasan tersebut.
d. Konselor memahami atau mengakui kelebihan (kekuatan) atau kelemahan (kekurangan) dirinya.
2. Kompeten (Competent)
Yang dimaksud kompeten disini adalah bahwa konselor itu memiliki kualitas fisik, intelektual,
emosional, sosial dan moral sebagai pribadi yang berguna. Kompetensi sangatlah penting bagi
konselor, sebab klien yang dikonseling akan belajar dan mengembangkan kompetensi-kompetensi
yang diperlukan untuk mencapai kehidupan yang efektif dan bahagia. Dalam hal ini, konselor berperan
untuk mengajar kompetensi-kompetensi tersebut pada klien.
Konselor yang lemah fisiknya, lemah kemampuan intelektualnya, sensitif emosinya, kurang
memiliki kemampuan dalam berhubungan sosial, dan kurang memahami nilai-nilai moral maka dia
tidak akan mampu mengajarkan kompetensi-kompetensi tersebut pada klien.
Satu hal penting yang membedakan hubungan persahabatan dengan hubungan konseling adalah
kompetensi yang dimiliki konselor. Konselor yang efektif adalah yang memiliki (a) pengetahuan
akademik, (b) kualitas pribadi, dan (c) keterampilan konseling.
Konselor yang senantiasa berusaha meningkatkan kualitas kompetensinya, akan menampilkan sifat-
sifat atau kualitas perilaku sebagai berikut.
a. Secara terus menerus meningkatkan pengetahuannya tentang tingkah laku dan konseling dengan
banyak membaca atau menelaah buku-buku atau jurnal-jurnal yang relevan, menghadiri acara-
acara seminar dan diskusi tentang berbagai hal yang terkait dengan profesinya.
b. Menemukan pengalaman-pengalaman hidup baru yang membantunya untuk lebih mempertajam
kompetensi, dan mengembangkan keterampilan konselingnya. Upaya itu ditempuhnya dengan
cara menerima resiko, tanggung jawab, dan tantangan-tantangan yang dapat menimbulkan rasa
cemas. Kemudian dia menggunakan rasa cemas itu untuk mengaktualisasikan potensi-potensinya.
c. Mencoba gagasan-gagasan atau pendekatan-pendekatan baru dalam konseling. Mereka senantiasa
mencari cara-cara yang paling tepat atau berguna untuk membantu klien.
d. Mengevaluasi efektivitas konseling yang dilakukannya, dengan menelaah setiap pertemuan
konseling, agar dapat bekerja lebih produktif.
e. Melakukan kegiatan tindak lanjut terhadap hasil evaluasi yang telah dilaksanakan untuk
mengembangkan atau memperbaiki proses konseling.
3. Kesehatan Psikologis
Konselor dituntut memiliki kesehatan psikologis yang lebih baik daripada kliennya. Hal ini penting
karena kesehatan psikologis (psychological health) konselor akan mendasari pemahamannya terhadap
perilaku dan keterampilannya. Ketika konselor memahami bahwa kesehatan psikologisnya baik dan
dikembangkan melalui konseling, maka dia membangun proses konseling tersebut secara lebih positif.
Apabila konselor tidak mendasarkan konseling tersebut kepada pengembangan kesehatan psikologis,
maka dia akan mengalami kebingungan dalam menetapkan arah konseling yang ditempuhnya.
Konselor merupakan model dalam berperilaku, apakah dia menyadarinya atau tidak. Setiap
pertemuan konseling merupakan suatu periode pengawasan yang begitu intensif terhadap tingkah laku
yang adaptif. Ketika konselor kurang memiliki kesehatan psikologis, maka perannya sebagai model
berperilaku bagi klien menjadi tidak efektif, bahkan dapat menimbulkan kecemasan bagu klien.
Apabila itu terjadi, maka konselor bukan berperan sebagai penolong dalam memecahkan masalah,
tetapi justru sebagai pemicu masalah klien.

TEACHING AND LEARNING IN THE 21 ST CENTURY :


Challenges and Opportunities For Educator 418
PROCEEDING STUDIUM GENERALE 2021
ISBN : 978-632-7583-84-4

Kesehatan psikologis konselor yang baik sangat berguna bagi hubungan konseling. Karena apabila
konselor kurang sehat psikisnya, maka dia akan teracuni atau terkontaminasi oleh kebutuhan-
kebutuhan sendiri, persepsi yang subjektif, nilai-nilai yang keliru, dan kebingungan.
Konselor yang kesehatan psikologisnya baik memiliki kualitas sebagai berikut.
a. Memperoleh pemuasan kebutuhan rasa aman, cinta, kekuatan, dan seks.
b. Dapat mengatasi masalah-masalah pribadi yang dihadapinya.
c. Menyadari kelemahan atau keterbatasan kemampuan dirinya.
d. Tidak hanya berjuan untuk hidup, tetapi juga menciptakan kehidupan yang lebih baik. Konselor
dapat menikmati kehidupan secara nyaman. Dia melakukan aktivitas-aktivitas yang positif,
seperti: membaca, menulis, bertamasya, bermain (berolahraga), dan berteman.
4. Dapat Dipercaya (Trustworthiness)
Kualitas ini berarti bahwa konselor itu tidak menjadi ancaman atau penyebab kecemasan bagi klien.
Kualitas konselor yang dapat dipercaya sangat penting dalam konseling, karena beberapa alasan, yaitu
sebagai berikut:
a. Esensi tujuan konseling adalah mendorong klien untuk mengemukakan masalah dirinya yang
paling dalam. Dalam hal ini, klien harus merasa bahwa konselor itu dapat memahami dan mau
menerima curahan hatinya (curhatnya) dengan tanpa penolakan. Jika klien tidak memiliki rasa
percaya ini, maka rasa frustasi lah yang menjadi hasil konseling.
b. Klien dalam konseling perlu mempercayai karakter dan motivasi konselor. Artinya klien percaya
bahwa konselor mempunyai motivasi untuk membantunya,
c. Apabila klien mendapat penerimaan dan kepercayaan dari konselor, maka akan berkembang
dalam dirinya sikap percaya terhadap dirinya sendiri.
Konselor yang dipercaya cenderung memilik kualitas sikap dan perilaku sebagai berikut.
a. Memiliki peribadi yang konsisten.
b. Dapat dipercaya oleh orang lain, baik ucapannya maupun perbuatannya.
c. Tidak pernah membuat orang lain (klien) kecewa atau kesal.
d. Bertanggung jawab, mampu merespon orang lain secara utuh, tidak ingkar janji, dan mau
membantu secara utuh.
5. Jujur (Honesty)
Yang dimaksud jujur disini adalah bahwa konselor itu bersikap transparan (terbuka), autentik, dan
asli (geneuini). Sikap jujur ini penting dalam konseling, karena alasan-alasan berikut.
a. Sikap keterbukaan memungkinkan konselor dan klien untuk menjalin hubungan psikologis yang
lebih dekat satu sama lainnya didalam proses konseling. Konselor yang menutup atau
menyembunyikan bagian-bagian dirinya terhadap klien dapat menghalangi terjadinya relasi yang
lebih dekat. Kedekatan hubungan psikologis sangat penting dalam konseling, sebab dapat
menimbulkan hubungan yang langsung dan terbuka antara konselor dengan klien. Apabila terjadi
ketertutupan dalam konseling dapat menyebabkan merintangi perkembangan klien.
b. Kejujuran memungkinkan konselor dapat memberikan umpan balik secara objektif kepada klien.
Konselor yang jujur memiliki karakteristik sebagai berikut.
a. Bersikap kongruen, artinya sifat-sifat dirinya yang dipersepsikan oleh dirinya sendiri (real self)
sama sebangun dengan yang dipersepsi oleh orang lain (public self).
b. Memiliki pemahaman yang jelas tentang makna kejujuran.
6. Kekuatan (Strength)
Kekuatan atau kemampuan konselor sangat penting dalam konseling, sebab dengan hal itu klien
akan merasa aman. Klien memandang konselor sebagai orang yang (a) tabah dalam menghadapi
maalah, (b) dapat mendorong klien untuk mengatasi masalahnya, dan (c) dapat menanggulangi
kebutuhan dan masalah pribadi.
Konselor yang memiliki kekuatan cenderung menampilkan kualitas sikap dan perilaku berikut.
a. Dapat membuat batasan waktu yang pantas dalam konseling.
b. Bersifat fleksibel.
c. Memiliki identitas diri yang jelas.
7. Bersikap Hangat
Yang dimaksud bersikap hangat itu adalah ramah, penuh perhatian, dan memberikan kasih sayang.
Klien yang datang meminta bantuan konselor, pada umunya yang kurang mengalami kehangatan
dalam hidupnya, sehingga dia kehilangan kemampuan untuk bersikap ramah, memberikan perhatian,
dan kasih sayang. Melalui konseling, klien ingin mendapatkan rasa hangat tersebut dan melakukan
“sharing” dengan konselor. Apabila hal itu diperoleh, maka klien dapat mengalami perasaan yang
nyaman.
8. Actives Responsiveness

TEACHING AND LEARNING IN THE 21 ST CENTURY :


Challenges and Opportunities For Educator 419
PROCEEDING STUDIUM GENERALE 2021
ISBN : 978-632-7583-84-4

Keterlibatan konselor dalam proses konseling bersifat dinamis, tidak pasif. Melalui respon yang
aktif, konselor dapat mengkomunikasikan perhatian dirinya terhadap kebutuhan klien. Disini, konselor
mengajukan pertanyaan yang tepat, memberikan umpan balik yang bermanfaat, memberikan informasi
yang berguna, mengemukakan gagasan-gagasan baru, berdiskusi dengan klien tentang cara mengambil
keputusan yang tepat, dan membagi tanggung jawab dengan klien dalam proses konseling.
9. Sabar (Patience)
Melalui kesabaran konselor dalam proses konseling dapat membantu klien untuk mengembangkan
dirinya secara alami. Sikap sabra konselor menunjukkan lebih memperhatikan diri klien daripada
hasilnya. Konselor yang sabar cenderung menampilkan kualitas sikap dan perilaku yang tidak tergesa-
gesa.
10. Kepekaan (Sensitivity)
Kualitas ini berarti bahwa konselor menyadari tentang adanya dinamika psikologis yang
tersembunyi atau sifat-sifat tersinggung, baik pada diri klien maupun dirinya sendiri.
Klien yang datang untuk meminta bantuan konselor pada umumnya tidak menyadari masalah
yang sebenarnya mereka hadapi. Bahkan ada yang tidak menyadari bahwa dirinya bermasalah. Pada
diri mereka hanya nampak gejala-gejalanya (pseudo masalah), sementara yang sebenarnya tertutup
oleh perilaku pertahanan dirinya. Konselor yang sensitif akan mampu mengungkap atau menganalisis
apa masalah sebenarnya yang dihadapi klien. Konselor yang sensitif memiliki kualitas perilaku
sebagai berikut.
a. Sensitif terhadap reaksi dirinya sendiri.
b. Mengetahui kapan, dimana, dan berapa lama mengungkap masalah klien (probing).
c. Mengajukan pertanyaan tentang persepsi klien tentang masalah yang dihadapinya.
d. Sensitif terhadapa sifat-sifat yang mudah tersinggung dirinya
11. Kesadaran Holistik (Holistic Awareness)
Pendekatan holistik dalam konseling berarti bahwa konselor memahami klien secara utuh dan tidak
menndekatinya secara serpihan. Namun begitu bukan berarti bahwa konselor sebagai seorang ahli
dalam segala hal, disini meninjukkan bahwa konselor perlu memahami adanya berbagai dimensi yang
menimbulkan masalah klien, dan memahami bagaimana dimensi yang satu memberi pengaruh
terhadap dimensi yang lainnya. Dimensi-dimensi itu meliputi: fisik, intelektual, emosi, sosial, seksual,
dan moral spiritual.
Konselor yang memiliki kesadaran holistik cenderung menampilkan karakteristik sebagai berikut.
a. Menyadari secara akurat tentang dimensi-dimensi kepribadian yang kompleks.
b. Menemukan cara memberikan konsultasi yang tepat dan mempertimbangkan tentang perlunya
referal (rujukan).
c. Akrab dan terbuka terhadap berbagai teori.

PENUTUP
Simpulan
Kaidah-kaidah dalam penyelenggaraan pelayanan bimbingan dan konseling dikenal sebagai asas-asas
bimbingan dan konseling, yaitu ketentuan-ketentuan yang harus diterapkan dalam penyelenggaraan pelayanan
BK. Dengan mengikuti ketentuan-ketentuan tersebut diharapkan pelayanan bimbingan dan konseling yang
diselenggarakan dapat mencapai tujuan yang diharapkan, sebaliknya apabila asas-asas itu diabaikan atau
dilanggar, kegiatan yang terlaksana justru dapat berlawanan dengan tujuan bimbingan dan konseling, bahkan
dapat merugikan orang-orang yang terlibat didalam pelayanan, serta profesi bimbingan dan konseling itu
sendiri.
Salah satu asas yang perlu diperhatikan adalah asas kerahasiaan. Asas kerahasiaan merupakan asas kunci
dalam usaha bimbingan dan konseling. Jika asas ini benar-benar dilaksanakan, maka konselor sebagai
penyelenggara layanan bimbingan dan konseling akan mendapat kepercayaan dari semua pihak terutama konseli
sebagai penerima layanan bimbingan dan konseling. Sebaliknya, jika konselor tidak dapat memegang asas
kerahasiaan dengan baik, maka hilanglah kepercayaan konseli sehingga pelayanan bimbingan dan konseling
tidak dapat tempat dihati konseli.
Membangun kepercayaan antaran konselor dengan konseli merupakan salah satu kunci penting dalam
keberhasilan dari proses pelayanan bimbingan dan konseling. Hal tersebut dapat dilihat dari kasus yang
ditemukan oleh penulis bagaimana seorang peserta didik kehilangan minatnya untuk datang dan bercerita
tentang msalahnya kepada konselor/guru BK karena seorang guru BK mengabaikan asas kerahasiaan dalam
proses layanan BK. Peserta didik tersebut menjadi enggan dan takut meminta bantuan sebab khawatir masalah
dan diri mereka akan menjadi gunjingan. Tidak hanya asas kerahasiaan yang perlu diperhatikan oleh konselor,
tapi semua asas dalam bimbingan dan konseling, dengan mengikuti asas-asas yang ada proses layanan

TEACHING AND LEARNING IN THE 21 ST CENTURY :


Challenges and Opportunities For Educator 420
PROCEEDING STUDIUM GENERALE 2021
ISBN : 978-632-7583-84-4

bimbingan dan konseling dapat berjalan dengan optimal serta dapat terciptanya kepercayaan antara konselor dan
konseli sehingga terjalinlah hubungan yang hangat, penuh pemahaman, penerimaan dan keterbukaan.
Saran
Sebagai seorang konselor/guru BK sebaiknya selalu memegang teguh dan lebih menekankan kepada asas-
asas bimbingan dan konseling dalam penerapan layanan BK di sekolah untuk membantu mengentaskan
permasalahan peserta didik, sehingga pelayanan BK di sekolah dapat berjalan dengan lancar sesuai dengan kode
etik bimbingan dan konseling demi menciptakan peserta didik yang mandiri dan berkembang secara optimal
baik dalam bidang pribadi, sosial, belajar dan karir.

REFERENSI
Nursalim, Mochamad. 2015. Pengembangan Profesi Bimbingan dan Konseling. Jakarta: Erlangga.
Prayitno dan Erman Amti. 2013. Dasar-Dasar Bimbingan dan Konseling. Jakarta: Rineka Cipta.
Yusuf, Syamsu dan Juntika Nurihsan. 2014. Landasan Bimbingan dan Konseling. Bandung: Remaja Rosdakrya.
Walgito, Bimo. 2004. Bimbingan dan Konseling (study dan karir). Yogyakarta
Abu Bakar M, Luddin. 2011. Dasar-Dasar Konseling. Bandung: Citapustaka Media Printis
Jurnal :
Dian Putri Rachmadhani. 2016. Studi Deskriptif Persepsi Peserta Didik Terhadap Guru Bimbingan dan
Konseling dalam Pelaksanaan Layanan Konseling Individual. Psikopedagogia, Vol.5, No.1. Jawa Tengah.
Yenti Arsini. 2017. Konsep Dasar Pelaksanaan Bimbingan Konseling di Sekolah. Jurnal Al-Irsyad, Vol.VIII,
No 1. Medan.
H. Kamaludin. 2011. Bimbingan dan Konseling Sekolah. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol.17, No.4.
Jakarta.
Yasinta Nur Miftakhul Jannah. 2015. Pelaksanaan Asas-Asas BK Dalam Pelayanan BK (Ditinjau dari Persepsi
Siswa). Journal of Guidance and Counseling, Vol.4, No.3. Semarang.
Mukh. Sihabudin. 2015. Peranan Orang Tua Dalam Bimbingan Konseling Siswa. Jurnal Kependidikan, Vol.III,
No. 2. Purwokerto.

TEACHING AND LEARNING IN THE 21 ST CENTURY :


Challenges and Opportunities For Educator 421

Anda mungkin juga menyukai