Anda di halaman 1dari 14

1.

Identifikasi dan Penentuan Kualitas Bahan

Jahe merah merupakan tanaman obat dan rempah berupa tumbuhan rumpun
berbatang semu yang berasal dari India sampai Cina dan tersebar di daerah tropis
seperti benua Asia dan Kepulauan Pasifik (Hasanah, dkk., 2004). Tanaman ini dapat
tumbuh sampai pada ketinggian 900 m dari permukaan laut, tetapi akan lebih baik
tumbuhnya pada ketinggian 200-600 m dari permukaan laut (Paiman, 1991). Daerah
utama produsen jahe merah di Indonesia adalah Jawa Barat (Sukabumi, Sumedang,
Majalengka, Cianjur, Garut, Ciamis, dan Subang), Banten (Lebak dan Pandeglang),
Jawa Tengah (Magelang, Boyolali, Salatiga), Jawa Timur (Malang Probolinggo,
Pacitan), Sumatera Utara (Simalungun), Bengkulu, dan lain-lain.

Tanaman jahe merah tergolong terna, berbatang semu, beralur, tinggi sekitar
30-60 cm. Rimpangnya bercabang-cabang, agak melebar, bagian dalamnya berwarna
kuning muda dengan ujung merah muda. Rimpang jahe berkulit agak tebal, berwarna
coklat, membungkus daging umbi yang berserat, beraroma khas, dan rasanya pedas
menyegarkan. Bentuk daun bulat panjang dan tidak lebar. Berdaun tunggal, berbentuk
lanset dengan panjang 15-23 mm, lebar 8-15 mm; tangkai daun berbulu, panjang 2-4
mm; bentuk lidah daun memanjang, panjang 7,5-10 mm, dan tidak berbulu.
Perbungaan berupa malai tersembul di permukaan tanah, berbentuk tongkat atau
bundar telur yang sempit, 2,75-3 kali lebarnya; panjang malai 3,5-5 cm, lebar 1,5-
1,75 cm; gagang bunga hampir tidak berbulu, panjang 25 cm; sisik pada gagang
terdapat 5-7 buah, berbentuk lanset, letaknya berdekatan atau rapat, panjang sisik 3-5
cm. Bunga memiliki 2 kelamin dengan 1 benang sari dan 3 putik bunga daun
pelindung, bundar pada ujungnya, tidak berbulu, berwarna hijau cerah, panjang 2,5
cm, lebar 1-1,75 cm; mahkota bunga berbentuk tabung 2-2,5 cm, helainya agak
sempit, berbentuk tajam, berwarna kuning kehijauan, panjang 1,5-2,5 mm, lebar 3-3,5
mm, bibir berwarna ungu, gelap berbintik-bintik berwarna putih kekuningan, panjang
12-15 mm; kepala sari berwarna ungu, panjang 9 mm; tangkai putik ada 2 (Hapsoh,
dkk., 2008).

a. Sistematika Tanaman Jahe Merah

Sistematika tanaman jahe merah menurut Tjitrosupomo (1991) adalah sebagai


berikut:

1
Divisi : Spermatophyta

Sub divisi : Angiospermae

Kelas : Monocotyledonae

Ordo : Zingiberales

Famili : Zingiberaceae

Marga : Zingiberis

Spesies : Zingiber officinale Roscoe

Varietas : Zingiber officinale Roscoe var. amarum

Jahe merah (Zingiber officinale Roscoe) merupakan salah satu dari temuan
suku Zingiberaceae yang sudah digunakan sebagai obat secara turun memurun karena
mempunyai komponen volatile (minyak atsiri) dan non volatile (oleoresin) paling
tinggi jika dibandingkan dengan jenis jahe yang lain yaitu kandungan minyak atsiri
sekitar 2,58-3,90% dan oleoresin 3%. Rimpang jahe merah biasa digunakan sebagai
obat masuk angin, gangguan pencernaan, sebagai analgesik, antipiretik, antiinflamasi,
menurunkan kadar kolesterol, mencegah depresi, impotensi, dan lain-lain

b. Macam – Macam Jahe


Rimpang Jahe Kandungan Minyak Atsiri
Jahe putih/kuning besar/jahe gajah/jahe Kandungan minyak atsiri 0,82-1,66%
badak (Zingiber officinale var.
officinale)
Jahe putih/kuning kecil/jahe sunti/jahe Kandungan minyak atsiri 1,5-3,5%
emprit (Zingiber officinale var. rubru.)
Jahe merah atau jahe sunti (Zingiber Kandungan minyak atsiri 2,58-3,90%
officinale var. amarum)

c. Identitas Jahe Merah

Rimpang Jahe Merah (Zingiberis Officinalis Va. Rubrum Rhizoma), suku


Zingiberaceae. Bentuk berupa irisan rimpang pipih, warna putih kekuningan, bau khas,
rasa pedas. Rimpang agak pipih, bagian ujung bercabang pendek. Bentuk bulat telur

2
terbalik. Pada setiap cabang terdapat parut melekuk ke dala. Dalam bentuk potongan,
panjang umumnya 3-4 cm, tebal 1-6,5 mm. Bagian luar berwarna cokelat kekuningan,
beralur memanjang, kadang-kadang terdapat serat bebas. Bekas patahan pendek dan
berserat menonjol. Pada irisan melintang terdapat berturut-turut korteks sempit yang
tebal lebih kurang sepertiga jari-jari dan endodermis. Berkas pengangkut tersebar
berwarna keabu-abuan. Sel kelenjar berupa titik yang lebih kecil berwarna
kekuningan.

Kebenaran identitas dapat dilihat melalui fragmen-fragmen :

Persyaratan simplisia Rimpang Jahe Merah (Zingiberis Officinalis Va. Rubrum


Rhizoma) yaitu :

Susut pengeringan : Tidak lebih dari 10%

Abu total : Tidak lebih dari 5,0%

Abu tidak larut asam : Tidak lebih dari 2,0%

Sari larut air : Tidak kurang dari 15,6%

3
Sari larut etanaol : Tidak kurang dari 4,3%
Kadar minyak atsiri : tidak kurang dari 1,70% v/b

d. Ekstrak Kental Jahe Merah


Ekstrak Kental Rimpang Jahe Merah (Zingiberis Officinalis Var. Rubrum
rhizomae Extractum Spissum), adalah ekstrak yang dibuat dari rimpang tumbuhan
Zingiber officinale Rosc. var. rubrum, suku Zingiberaceae, mengandung minyak atsiri
tidak kurang dari 2,81% v/b. Kadar air dipersyaratkan tidak lebih dari 11%. Dengan
pemerian yaitu ektrak kental, kuning kecoklatan, bau khas rasa pedas.

Adanya kandungan gingerol pada jahe merah, dapat menghambat aktivitas


siklooksigenase dan lipoksigenase dalam asam arakhidonat sehingga menyebabkan
penurunan jumlah prostaglandin dan leukotrin. Maka senyawa gingerol inilah yang
berfungsi sebagai antiinflamasi.

2. Preparasi Bahan
2.1 Pemanenan Jahe Merah

4
2.2 Pembuatan Serbuk Simplisia dan Karakterisasi Simplisia

5
2.3 Pembuatan Ekstrak Rimpang Jahe Merah

6
Cara perkolasi lebih baik dibandingkan dengan cara maserasi karena (Ditjen POM,
1986) :

1. Aliran cairan penyari menyebabkan adanya pergantian larutan yang terjadi dengan
larutan yang konsentrasinya lebih rendah sehingga meningkatkan derajat perbedaan
konsentrasi.
2. Ruangan diantara butir – butir serbuk simplisia membentuk saluran tempat mengalir
cairan penyari. Karena kecilnya saluran kapiler tersebut, maka kecepatan pelarut
cukup untuk mengurangi lapisan batas, sehingga dapat meningkatkan perbedaan
konsentrasi.

Ukuran mesh yang digunakan adalah 40 mesh

3 . Penentuan Dosis
Hasil sebuah penelitian di tahun 2009 menunjukkan bahwa ekstrak rimpang jahe
merah 4% pada sediaan topikal memberikan efek antiinflamasi yang hampir sama

7
dengan NSAID terhadap mencit (Saida, 2009). Jadi pada percobaan kali ini, kelompok
kami akan memakai dosis sebesar 4% sesuai dengan penelitian sebelumnya.

3. Efek Samping, Kontra Indikasi dan Interaksi Obat


4.1 Efek Samping

Efek samping yang dapat ditimbulkan oleh ekstrak jahe merah yaitu dapat
terjadi iritasi pada kulit.

4.2 Interaksi Obat

Jahe tidak boleh dikombinasikan dengan obat jenis pengencer darah, beta
blocker dan obat yang menyebabkan kantuk, Mengkombinasikan jahe dengan
obat anti inflamasi non-steroid bisa menimbulkan masalah bagi kesehatan

5. Formulasi Sediaan
Sediaan krim yang digunakan adalah krim dengan tipe minyak dalam air
dan dibuat berdasarkan formula standar vanishing cream (FMS, 1971), yaitu:
R/ Asam stearat 142
Gliserin 100
Trietanolamin 10
Air suling 750
Nipagin q.s.
Pada praktikum ini, sediaan yang akan dibuat seberat 10 g. Untuk keperluan
evaluasi, maka basis krim dibuat sekitar 20 g untuk praktikum kali ini. Sehingga
formula menjadi sebagai berikut :
R/ Asam stearat 2,8
Gliserin 2
Trietanolamin 0,2
Air suling 15
Nipagin 0,02
Untuk ekstrak jahe merah yang ditambahkan sebanyak 0,8 g

Nama Bahan Perhitungan


Asam Stearat 142/1004,5 x 20 g = 2,8 g

8
Gliserin 100/1004,5 x 20 g = 1,99 g ~ 2 g
Trietanolamin 10/1004,5 x 20 g = 0,199 g ~ 0,2 g
Air Suling 750/1004,5 x 20 g = 14,93 ml ~ 15 ml
Nipagin 0,02 g
Ekstrak Jahe Merah 4/100 x 20 g = 0,8 g

2. Pembuatan Sediaan
Bahan yang terdapat dalam formula dipisahkan menjadi 2 kelompok, yaitu fase minyak
dan fase air. Fase minyak yaitu asam stearat dilebur di atas penangas air dengan suhu 70-
75°C, sedangkan fase air yaitu TEA, gliserin, dan metil paraben, dilarutkan dalam air suling
panas. Kemudian fase minyak dipindahkan ke dalam lumpang panas. Fase air ditambahkan
secara perlahan-lahan ke dalam fase minyak dengan pengadukan yang konstan sampai
diperoleh massa krim. Alasan pemilihan tipe o/w banyak diaplikasikan dalam pembuatan
sediaan parentral, oral, dan topikal seperti lotion, krim, salep, dan gel. Jenis emulsi o/w mudah
dicuci dan tidak terasa lengket saat digunakan di kulit sehingga memberikan kesan ringan.
Lalu, ditimbang esktrak jahe merah sebanyak 0,8 g kemudian di tetesi etanol
96% ± 5 tetes. Kemudian, campurkan basis krip dengan ekstrak jahe merah yang telah
diettesi etanol tadi, aduk ad homogen. Lalu, Ditimbang sebnayak 10 g untuk
dimasukkan ke tube krim, dan sisanya untuk keperluan evaluasi
6.1 Skema Pembuatan Basis Krim

6.2 Skema Pembuatan Sediaan Krim

9
7. Evaluasi Sediaan
7.1 Pemeriksaan Homogenitas Sediaan
Sejumlah tertentu sediaan dioleskan pada dua keping kaca atau bahan
transparan lain yang cocok, sediaan harus menunjukkan susunan yang homogen
dan tidak terlihat adanya butiran kasar. (Ditjen POM, 1979).
7.2 Penentuan pH Sediaan
Penentuan pH sediaan dilakukan dengan mengunakan pH meter selama
penyimpanan 12 minggu pada suhu kamar. Cara kerja: alat terlebih dahulu
dikalibrasi dengan menggunakan larutan dapar standar pH netral (pH 7,01) dan
larutan dapar pH asam (pH 4,01) hingga alat menunjukkan harga pH tersebut.
Kemudian elektroda dicuci dengan air suling, lalu dikeringkan dengan kertas

10
tissue. Sampel dibuat dalam konsentrasi 1% yaitu ditimbang 1 gram sediaan dan
dilarutkan dalam 100 ml air suling. Kemudian elektroda dicelupkan dalam
larutan tersebut, sampai alat menunjukkan harga pH yang konstan. Angka yang
ditunjukkan pH meter merupakan harga pH sediaan.

7.3 Penentuan viskositas sediaan Krim

Penentuan viskositas sediaan hanya dilakukan terhadap sediaan gel dengan


menggunakan viskometer bola jatuh selama penyimpanan 12 minggu pada suhu
kamar. Cara kerja: sediaan dan bola dimasukkan ke dalam tabung gelas dalam.
Tabung dan jaket kemudian dibalik, dengan demikian posisi bola berada di
puncak tabung gelas dalam. Waktu yang dibutuhkan bola untuk jatuh di antara
dua tanda diukur dengan teliti. Dihitung nilai viskositasnya. (Rawlins, 2003).

7.4 Penentuan Tipe Emulsi sediaan Krim

Alat /instrument : Mikroskop optik


Bahan : Sediaan uji dan metilen blue /sudan III
Metode kerja:
1. Ambil sedikit sampel
2. Taruh dikaca object glass
3. Teteskan metilen blue
4. Tutup dengan cover glass
5. Amati dibawah mikroskop
6. Tipe o/w : fase internal warna putih, fase eksternal warna biru (warna
background)
7. Tipe w/o : fase internal warna biru, fase eksternal warna putih (warna
background)

(Syamsuni, 2006).

7.5 Uji Penilaian Organoleptik Sediaan Uji

Penilaian organoleptik dilakukan dengan metode Hedonik (Soekarto,1985),


yaitu dengan melakukan analisis menurut uji kesukaan (parameter aroma,

11
sensasi di kulit, dan warna sediaan) menggunakan 20 orang panelis yang
disuguhi contoh sediaan yang mengandung ekstrak rimpang jahe merah. Untuk
melihat tingkat kesukaan panelis terhadap sediaan berdasarkan masing-masing
parameter, digunakan skala numerik yang dapat dilihat pada Tabel di bawah ini :
Skala Hedonik Skala Numerik
Amat Sangat Suka 5
Sangat Suka 4
Agak Suka 3
Netral 2
Agak Tidak Suka 1
Sangat Tidak Suka 0

8. Uji Aktivitas Sediaan

Uji Iritasi Terhadap Kulit Sukarelawan

Uji iritasi terhadap kulit sukarelawan dilakukan dengan cara uji tempel
terbuka (patch test). Uji tempel terbuka dilakukan dengan mengoleskan sediaan
pada lengan bawah bagian dalam yang dibuat pada lokasi lekatan dengan
luastertentu (2,5 x 2,5 cm), dibiarkan terbuka dan diamati apa yang terjadi. Uji
ini dilakukan sebanyak 3 kali sehari (pagi, siang, dan sore hari) selama 3 hari
berturut-turut. Reaksi iritasi positif ditandai oleh adanya kemerahan, gatal- gatal,
atau bengkak pada kulit lengan bawah bagian dalam yang diberi perlakuan.
(Wasitaatmadja, 1997).

Sukarelawan yang dijadikan panel pada uji iritasi berjumlah 12 orang, dengan
kriteria sebagai berikut:

1. Wanita berbadan sehat

2. Usia antara 20-35 tahun

3. Tidak ada riwayat penyakit yang berhubungan dengan alergi.

4. Bersedia menjadi sukarelawan untuk uji iritasi.

12
5. Sukarelawan adalah orang terdekat dan sering berada di sekitar pengujian
sehingga lebih mudah diawasi dan diamati bila ada reaksi yang terjadi
pada kulit yang sedang diuji. (Ditjen POM, 1985).

9. Daftar Pustaka
 Ditjen POM, 1986. Sediaan Galenik. Departemen Kesehatan RI : Jakarta.
 Ditjen POM. (1985). Formularium Kosmetika Indonesia. Jakarta: Depkes RI.
Hal. 32-36
 Ditjen POM. (1979). Farmakope Indonesia. Edisi Ketiga. Jakarta: Depkes
RI. Hal. 9, 33.
 Farmakope Herbal Indonesia. 2008. Halaman 24-25
 Goodman & Gilman. Dasar Farmakologi Terapi (vol 2 edisi 10). Jakarta: EGC.
2008.
 Grzanna R, Lindmark L, Frondoza CG. 2005. Ginger—an Herbal Medicinal
Product with Broad Anti-Inflammatory Actions. J Med Food. 2005; 8 (2):125-
32.
 Hasanah, Sukarman dan Devi Rusmin; Balai Penelitian Tanaman Rempah dan
Obat.
 Hapsoh, Yaya, H., dan Elisa, J. (2010). Budidaya dan Teknologi Pascapanen
Jahe. Medan: USU Press. Hal. 1-19.
 Khan, B.A., Akhtar, N., Mahmood, T., Qayum, M, Zaman, S.U. 2010.
Formulation and Pharmaceutical Evaluation of a W/O Emulsion of Hippophae
Ramnoides Fruit Extract. J. Pharm. Res. 3 : 1342-1344.
 Paiman, F.B. (1991). Budidaya Pengolahan Perdagangan Jahe. Jakarta:
PenebarSwadaya. Hal. 1-9.
 Rawlins, E.A. (2003). Bentleys of Pharmaceutics. Edisi Kedelapanbelas.
London: Baillierre Tindall. Hal. 22, 35.

13
 Rosiana, F. Formulasi Sediaan Topikal Minyak Atsiri Jahe Merah (Zingiber
Officinale Rosc. Var rubrum) sebagai Anti Inflamasi. Padang: Fakultas
Farmasi Universitas Andalas. 2008. p. 1-2.
 Saida, T. (2009). Uji Efek Antiinflamasi Dari Kombinasi Ekstrak Rimpang
Jahe Merah (Zingiber officinale Rosc.) dan Ekstrak Rimpang Kunyit
(Curcuma domestica Val.) dalam Sediaan Topikal pada Mencit Jantan.
Skripsi. Medan: Fakultas Farmasi. Universitas Sumatera Utara.
 Setiawan, Ricky Andi & Sri Tasminatun. Efektivitas Krim Ekstrak Zingiber
Officinale Linn. Var. Rubrum Sebagai Penurun Sendi pada Lansia. Mutiara
Medika Vol. 13 No. 2: 105-110, Mei 2013.
 Soekarto, S.T. (1985). Penilaian Organoleptik Untuk Industri Pangan dan
Hasil Pertanian. Jakarta: Bhatara Aksara. Hal. 57.
 Syamsuni. (2006). Ilmu Resep. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hal.
133.
 Tjitrosoepomo, G. (2005). Taksonomi Tumbuhan Obat-obatan. Jogyakarta:
Penerbit Gadjah Mada University Press. Hal. 447.
 Wasitaatmadja, S.M. (1997). Penuntun Ilmu Kosmetik Medik. Jakarta:
Penerbit UI-Press. Hal. 58-62.

14

Anda mungkin juga menyukai