Anda di halaman 1dari 69

BAB I

PENDAHULUAN
A. LatarBelakang
Indonesia adalah negara kepulauan yang kaya akan keanekaragaman budaya,
hal ini pun berpengaruh pada Bentuk dan ragam hunian atau rumah tinggal pada
tiap daerah yang berbeda yang karakteristiknya pun menyesuaikan kebutuhan
pemiliknya serta lingkungan masyarakat dan alam sekitar. Karena itulah banyak
sekali ragam Rumah tinggal Adat Tradisional Daerah yang dimiliki oleh
Indonesia.
Akan tetapi dewasa ini kekayaan budaya yang dimiliki Indonesia semakin
berkurang jumlahnya dan terancam kepunahannya, termasuk rumah Adat
Tradisional Daerah. Modernisasi dan Globalisasi yang pesat berkembang saat ini,
kurangnya perhatian masyarakat dan Pemerintah akan pelestarian Rumah Adat
Tradisional, mendorong makin mudahnya bangunan adat tradisional tersingkirkan
oleh bangunan-bangunan yang dianggap lebih relevan terhadap kondisi dan
kebutuhan masyarakat masa kini.
Warisan ini dapat dijumpai pada Taman Miniatur Budaya Sulawesi Selatan
Benteng Somba Opu, yang mana memuat beragam jenis rumah adat yang ada di
Sulawesi termasuk Rumah Adat Kabupaten Mamuju yang kini keberadaannya
semakin lama semakin berkurang akibat perkembangan zaman.
Untuk itu dalam laporan mengenai studi mempelajari Rumah Adat Tradisional
Kabupaten Mamuju melalui pengamatan dan survei secara langsung ini dapat
menjadi sebuah hasil laporan yang juga dapat ikut melastarikan keilmuan
mengenai rumah adat tradisional di Indonesia.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Arsitektur Tradisional Suku Mandar ?

2. Bagaimana Arsitektur Rumah Adat Kabupaten Mamuju ?

C. Tujuan dan Saran Pembahasan


1. Untuk mengetahui bagaimana gambaran umum Kabupaten Mamuju
2. Untuk mengetahui bagaimana Arsitektur Tradisional Suku Mandar

3. Untuk mengetahui bagaimana Arsitektur Rumah Adat Kabupaten Mamuju

4. Sebagai bahan tinjauan pustaka laporan yang serupa kedepannya

D. Metode Pembahasan

Metode yang digunakan yaitu metode deskriptif engan mengumpulkan dan


menguraikan dengan mengumpulkan dan menguraikan data primer dan sekunder
yang telah didapatkan. Data primer didapat dengan melakukan survey
lapangan/wawancara dengan pengamatan secara langsung dan membuat
dokumentasi, sedangkan data sekunder didapat dari data statistik dan kepustakaan
yang berkaitan dengan aspek arsitektural.

E. Sistematika Pembahasan
Pembahasan hasil penelitian ini akan disistematika menjadi lima bab yang
saling berkaitan satu sama lain. Pada bab pertama atau pendahuluan berisi sub
bab; latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan sasaran pembahasan, lingkup
pembahasan, serta sistematika pembahasan. Pada bab kedua berisi gambaran
umum kabupaten Majene dimana didalamnya menjelaskan tentang :
1. Geografis, Topografis, Administratif,dan Sejarah

2. Adat, Kepercayaan, Kosmologi, serta Sosial dan Budaya

Pada bab ketiga berisi atau membahas tentang Bagaimana Arsitektur


Tradisional suku Mandar. Pada bab keempat berisi atau membahas tentang Rumah
Adat Kabupaten Majene yang didalamnya mencakup tentang Sejarah, Geografis,
Situasi, Tata letak, Denah, Bentuk, dan Ornamen dari Rumah Adat itu sendiri.
Pada bab kelima berisi saran dan kesimpulan dari hasil penelitian.
BAB II
GAMBARAN UMUM KABUPATEN MAMUJU

A. Geografis, Topografis, Administratif


1. Geografis

Gambar 1.1 Letak Geografis Kabupaten Mamuju


(sumber : https://news.okezone.com/nasional/pasangkayu/okepediadi akses
tanggal 11 Desember2019)

Secara geografis Kota Mamuju berada ditepi barat Pulau Sulawesi. Di


utara terdapat Teluk Mamuju dan di selatan ada Teluk Lebani. Topografi
wilayah Kota Mamuju berupa pesisir hingga pegunungan. Ketinggian wilayah
Kota Mamuju antara 0 sampai >1500 meter di atas permukaan air laut (Mdpl)
dengan titik tertinggi berada di Gunung Adang Batambalo. Sungai-sungai
besar yang ada di Kota Mamuju diantaranya Sungai Mamuju, Sungai Karema,
Sungai Simboro, Sungai Anung, Sungai Taparia, Sungai Anusu, Sungai
Tampala dan Sungai Malunda. Secara geologi, wilayah Kota Mamujutersusun
oleh batuan Formasi Gunung Api Adang berupa tuf lapili, breksi bersisipan
lava, batupasir dan batu lempung. Sedangkan wilayah lembah yang dialiri
Sungai Taparia serta Sungai Karema terusun atas Formasi Mamuju berupa
Napal, kalkerenit dan batugamping koral bersisipkan tuf dan batupasir. Kota
Mamuju yang beriklim tropis dengan dua musim dalam satu tahunnya yaitu
musim kemarau dan penghujan, dengan suhu udara pada siang hari berkisar
antara 24 - 34 derajat Celcius.
Utara Kabupaten Mamuju Tengah
Timur Sulawesi Selatan
Selatan Kabupaten Majene dan Kabupaten Mamasa
Barat Selat Makassar
Kabupaten mamuju dengan luas wilayah 1.105.781 Ha. Pada tahun 2001
secara administrasipemerintah terbagi atas 15 kecamatan, terdiri dari 115
Desa, 8 kelurahan, serta 12 unit pemukiman transmigrasi (UPT).
Berdasarkan hasil survei sosial ekonomi daerahtahun 2001, penduduk.
Kabupaten mamuju berjumlah 307. 174 jiwa, yang terdiri dari penduduk laki-
laki sebanyak 157.094 jiwa dan penduduk perempuan sebanyak 150.080 jiwa
Kecematan kalumpang merupakan kecamatan terluas dengan luas 2.728,97
km/persegi atau 26,55% dari seluruh luas wilayah kabupaten mamuju.
2. Topografis
Kabupaten Mamuju terletak di Provinsi Sulawesi Barat pada posisi 10 38’
110’’ – 20 54’ 552’’ Lintang Selatan dan 110 54’ 47’’ – 130 5’ 35’’ Bujur
Timur. Kabupaten Mamuju yang beribukota di Mamuju, berbatasan dengan
Kabupaten Mamuju Tengah di sebelah utara dan Provinsi Sulawesi Selatan di
sebelah timur, Kabupaten Majene, Kabupaten Mamasa dan Provinsi Sulawesi
Selatan di sebelah selatan serta Selat Makassar di sebelah barat.
Kabupaten Mamuju memiliki luas wilayah 5.056,19 Km2. Hampir seluruh
kecamatan di Kabupaten Mamuju dilintasi oleh sungai dan dengan topografi
pegunungan.

Gambar 1.2 Letak Topografi Kabupaten Mamuju


(sumber : http://mamujukab.go.id/topografi-kabupaten-mamuju/di akses tanggal
11Desember2019)

Kecamatan Kalumpang merupakan kecamatan terluas dengan luas wilayah


1.731,99 Km2 atau 34,20 persen dari seluruh luas wilayah Kabupaten
Mamuju, sedangkan yang terkecil adalah Kecamatan Kepulauan Balabalakang
dengan luas wilayah 21,86 km2 atau 0,43 persen dari seluruh luas wilayah
Kabupaten Mamuju.Berdasarkan jarak terhadap ibukota kabupaten maka
Kecamatan Balabalakang memiliki jarak terjauh sekitar 202 km2, sedangkan
yang terdekat adalah Kecamatan Mamuju yang juga merupakan ibukota
kabupaten.
Kecamatan Balabalakang juga merupakan satu-satunya kecamatan di
Kabupaten Mamuju yang tidak bisa diakses menggunakan angkutandarat.
Curah hujan tertinggi di Kabupaten Mamuju pada tahun 2016 terjadi pada
bulan November yang tercatat sebesar 363,3 mm3 dengan rata-rata hari hujan
sebanyak 12 hari. Sedangkan curah hujan terendah terjadi pada bulan Agustus
sebesar 81,4 mm3 dengan jumlah rata-rata hari hujan adalah 5 hari.
3. Administratif

Gambar 1.3Administratif Kabupaten Mamuju


(sumber : http://mamujukab.go.id/topografi-kabupaten-mamuju/, di akses tanggal
11Desember2019

Kabupaten Mamuju terdiri dari 11( sebelas) kecamatan, dan 13(tiga belas)
kelurahan, dan 88 (delapan puluh delapan )desa, yakni kecamatan Bone Hau,
Kalukku, Kalumpang, Kepulauaan Bala Balakang, Mamuju, Papalang,
Sampaga, Simboro, dan Kepulauan Mamuju, Tapalang, Tapalang Barat, dan
Tommo.

Kabupaten Mamuju termasuk daerah yang memiliki banyak sungai-sungai


kecil dan pegunungan yang curam yang tersebar di seluruh kecamatannya
yakni sekitar 88 (delapan puluh delapan). Sungai Mamuju, Sungai Karema,
Sungai Simboro, Sungai Anung, Sungai Taparia, Sungai Anusu, Sungai
Tampala dan Sungai Malunda.

Kabupaten mamuju dengan luas wilayah 1.105.781 Ha. Pada tahun 2001
secara administrasipemerintah terbagi atas 15 kecamatan, terdiri dari 115
Desa, 8 kelurahan, serta 12 unit pemukiman transmigrasi (UPT).

No. Nama Kecamatan JumlahDesa/kel


urahan

1. Kec. Bonehau 9

2. Kec. Kalukku 10

3. Kec. kalumppang 13

4. Kec.Kep.bala- 2
balakang

5. Kec. mamuju 4

6. Kec. papalang 9

7. Kec. sampaga 7

8. Kec. simboro 6

9. Kec. tapalang 7

10. Kec. Tapalangbarat 7

11. Kec. Tommo 14

Tabel 2.1 Nama Wilayah Per Kecamatan dan Kelurahan


Sumber : Majene dalam angka
Berdasarkan hasil survei sosial ekonomi daerah tahun 2001, penduduk
berjumlah 307. 174 jiwa, yang terdiri dari penduduk laki-laki sebanyak
157.094 jiwa dan penduduk perempuan sebanyak 150.080 jiwa Kecematan
kalumpang merupakan kecamatan terluas dengan luas 2.728,97 km/persegi
atau 26,55% dari seluruh luas wilayah kabupaten mamuju.

B. Sejarah

Mamuju adalah salah satu dari lima kabupaten di Provinsi Sulawesi Barat.
Sewaktu masih tergabung dalam Provinsi Sulawesi Selatan, bersama Kabupaten
Polewali Mamasa dan Kabupaten Majene, Kabupaten Mamuju tergabung sebagai
kawasan yang dulunya disebut Afdeling Mandar. Yang mana ibukotanya adalah
Onderafdeling Mamuju. Adapun onderafdeling lain ialah Onderafdeling
Polewali, Onderaafdeling Mamasa, dan Onderafdeling Majene. Belakangan, saat
sistem afdeling atau onderafdeling dihapus, onderafdeling-onderafdeling di atas
ada yang digabung, ada tetap berdiri sendiri tapi dengan istilah yang berbeda.
Onderafdeling Polewali dan Onderafdeling Mamasa menjadi Kabupaten Polewali
Mamasa, Onderafdeling Majene menjadi Kabupaten Majene, dan Onderafdeling
Mamuju menjadi Kabupaten Mamuju. Afdeling Mandar pun dihapus, dilebur
bersama afdeling lain di bagian selatan yang kemudian menjadi Provinsi Sulawesi
Selatan.
Namun pada tahun 2004, yang dulunya tergabung dalam Afdeling Mandar
menjadi daerah yang disebut Provinsi Sulawesi Barat. Pun dibentuk daerah
otonomi baru yakni Kabupaten Polewali Mamasa dibagi menjadi dua, yaitu
Kabupaten Polewali Mandar dan Kabupaten Mamasa. Demikian juga Kabupaten
Mamuju, dibagi menjadi Kabupaten Mamuju dan Kabupaten Mamuju Utara.
Dengan latar belakang historisnya di atas, sampai saat ini Kabupaten Majene
dikenal sebagai ibukota Mandar (tua). Selain sebagai posisinya ibukota Afdeling
Mandar, juga jauh sebelumnya, di masa kerajaan-kerajaan, salah satu kerajaan
yang ada di (Kabupaten) Mamuju dianggap sebagai “Indoq” (ibu) dalam
persekutuan tujuh kerajaan di pesisir pantai, Pitu Baq bana Binanga. Yaitu
Kerajaan Sendana. Posisinya sederajat dengan Kerajaan Balanipa (saat ini masuk
Kabupaten Polewali Mandar) yang disebut “Kamaq” (ayah). Selain sebagai
ibukotanya Mandar, Kabupaten Mamuju juga disebu tkota pendidikan sebab
dulunya pusat pendidikan di Afdeling Mandar adalah Mamuju. Itulah sebab dalam
kebijakan pembangunan Provinsi Sulawesi Barat, diputuskan bahwa
Ada pendapat mengenai asal mula penamaan Mamuju. Bukti sejarah
kebudayaan tua lainnya ialah ada satu lembar bendera tua yang bertuliskan
kalimat syahadat yang umurnya juga sudah ratusan tahun dibawa datang oleh
penyebar agama islam yang berasal dari luar Sulawesi yaitu pulau Sumatra.
Penyebar agama islam yang pertama di Mamuju ialah seorang wali yang bernama
PUATTA SALAMA (1500). Begitu pula ada sebilah keris pusaka bernama
badong berasal dari hasil perkawinan anak raja Mamuju dengan anak raja badung
bali melahirkan seorang manusia yang bernama LASALAGA kembar dengan
sebuah keris Lasalaga dikuburkan di kampung Timbu Mamuju (Topeloda Batu).
Sejarah perkembangan daerah Mamuju berdasarkan penelitian yang
dikemukakan bahawasanya di Mamuju sudah terdapat pemukiman neolitik
masing-masing di Minanga, Simakko, Kamesi dan Kalumpang dimana hal ini
ditandai dengan alat-alat kesehariannya berupa batu, pakaian dari kulit kayu serta
gerabah yang cukup halus dengan hiasan yang halus. Selain peralatan yang
dimaksud diatas juga dengan ditemukannya patung budha yang dikenal dengan
nama patung sikendeng tepatnya pada tahun 1937, tipe patung itu adalah
amarawati yang disinyalir berasal dari atau dibawah dari India selatan di
pelabuhan internasional sikendeng.
PELRAS didalam bukunya The Bugis, Sikendeng itu pada abad ke 2 sampai
ke 5 masehi merupakan pelabuhan internasional dimana telah dilakukan ekspor
berupa bijih besi, damar, rotan, hasil laut teripang dan berbagai jenis ikan, dan
hasil bumi lainnya. Selain pendapat PELRAS tersebut juga lebih mengejutkan
laporan Jhon Dalton (Juli 1831) yang menyebutkan bahwa di Mamuju pada saat
itu hubungan dengan dunia sudah begitu lancar, Perdagangan dengan Kaili
dimana raja mengumpulkan emas dari penduduk untuk keperluan membeli peluru-
peluru buatan Amerika, hal ini dibuktikan pada tahun 1700 sampai 1800. Kerajaan
Benawa (Gorontalo) dan Teluk Tomini ditaklukkan oleh orang-orang Mamuju
(Mandar}
Selanjutnya pada tahun 1540 berdasarkan catatan sejarah internasional bahwa
Mamuju memiliki pelabuhan internasional (kurri-kurri) dimana didalam peta
pelayaran Portugis pada tahun tersebut dicatat bahwa pelabuhan kurri-kurri
menjadi persinggahan orang-orang portugis membawa komoditas pada rute
kerajaan siang di Pangkep sebelum Gowa dan Manado Tua (Sulawesi Utara)
Keberadaan Mamuju disejajarkan Mandar berdasarkan Lontara 4, 1 To
Makaka dan 4 diantaranya adalah To Makaka dari Mamuju yakni To Makaka
dari Lebani, To Makaka dari Kalukku, To Makaka dari Kalumpang dan To
Makaka dari Lumu. Dari Keempat To Makak amenyatukan diri dibawah naungan
Mamuju dengan kerajaan kecil dibawahnya masing-masing : Kerajaan simboro,
Tambayako, Kurri-Kurri Pangale Lara Karossa, baras, dan To Makaka di
Kalumpang to Bara di Budong-budong. Sejarah kerajaan mamuju
Dari kerajaan-kerajaan tersebut diatas diikat oleh talli (ikrar) bahwasanya
mereka menyatu dalam satu rumpun yakni rumpun Mamuju. Dari berbagai
peristiwa yang diungkapkan diatas dan berbagai ungkapan-ungkapan tradisional
seperti antara lain: “Todiari Teppo Dulu Parullui Dikilalai Sule Wattuiate’e
Laiyalai Mendiari Peppondanganna Katuoatta’ ilalanera Laittingayoianna”.
Artinya : “Kejadian dan cerita masa lalu perlu dikenang dan dihayati di hari
ini, sebagai dasar untuk menyongsong kehidupan hari esok yang lebih baik”.
Sejarah pada hakekatnya mencakup peristiwa-peristiwa masa lampau yang
berperan sebagai konsisten dan imendier konstituen karena manusia sebagai
mahluk sosial senantiasa terpanggil untuk menempatkan diri sebagai salah satu
unsur dari setiap peristiwa.

C. Agama, Adat dan Kepercayaan


Pada abad ke-17 agama Islam telah masuk ketanah Mamuju, saat itu
pemerintahan di Wilayah Tanah Mamuju masih berbentuk kerajaan. Diantaranya
ada 2 kerajaan besar di Tanah Mamuju pada masa itu yaitu kerajaan Binuang dan
Kerajaan Balanipa. Awal penyebaran agama Islam di mulai dari daerah Kerajaan
Binuang, yang disebarkan oleh seorang musafir bangsa arab yang berlabuh di
kawasan Kerajaan Binuang. Dalam penyebaran agama Islam di Tanah Mamuju
saat itu tidak mendapatkan kesulitan berat, karena kebudayaan yang ada pada saat
itu sudah berbau Islam. Sehingga agama Islam yang disebarkan diterima dengan
baik oleh masyarakat terutama dari pihak kerajaan yang berkuasa pada saat itu.
Berikut ini merupakan beberapa pendapat atau paham yang diperoleh dari
beberapa narasumber yang mengetahui mengenai sejarah masuknya agama Islam
di Tanah Mamuju:
a. Pendapat Abdullah ( Tokoh adat Balanipa ) Mengatakan bahwa asalmula
penyebaran agama Islam datang dari Arab dan tiba di Wilayah Tanah
Mamuju Daerah Toma’ngalle, pada abad ke-17 (Toma’ngalle itu nama pada
abad 17 dan sekarang diberi nama tammangalle ). Yang dibawah oleh
seorang musafir yang bernama Kamaruddin Rahim. Setelah beliau berada di
Tamangalle, beliau menyebarkan agama Islam. Saat beliau melakukan
shalat 5 ( lima ) waktu diatas batu yang berbentuk kasur,
Beliau dilihat oleh warga sekitar dan melaporkan kejadian tersebut kepada
raja Balanipa, kemudian beliau dijemput dan dibawake Kerajaan Balanipa.
Ara yang pada saat itu adalah Daetta’ Tummuanae (Raja ke-IV Kerajaan
Balanipa). Ketika berada di wilayah Kerajaan Balanipa Beliau memutuskan
untuk memilih tempat yang pedalaman agar lebih mudah untuk
menyebarkan agama islam. Wilayah pada saat itu disebut Pallis, Raja di
pallis pada saat itu Kannasunan. Dan pertama masuk islam pada saat itu
adalah raja Pallis( kannasunan ).
b. Pendapat Pundi (Tokoh Masyarakat Daerah Lambanan) Mengatakan bahwa
agama Islam mulanya dibawa oleh seorang berbangsa Arab dan tiba di
wilayah Mamuju pada abad ke 17, Beliau bernama Kapar. Beliau
menyebarkan agama islam di tanah Mamuju bersama dengan To Salama di
daerah Goa (Yusuf). Perayaan hari besar Islam di Balanipa tidak akan
terlaksana apabila Yusuf tidak ada. Hal ini dikarenakan saat itu Yusuf
bertindak sebagai khatib di Balanipa dan Beliaulah yang mengajarkan
tentang tata cara sebagai khatib.
Namun setelah beliau kembali ke Gowa, Beliau digantikan oleh muridnya
yaitu Sopu Gus Diris yang dikuatkan dengan diberikannya sebuah SK
sebagai bukti pelimpahan wewenang sebagai khatib tanggal 5 Januari 1952
di Majene. Hingga saat ini berbagai ritual keagamaan di tanahMamuju.
Walaupun ada beberapa praktek praktek ritual tersebut sudah mulai
ditinggalkan dikarenakan kondisi yang sudah tidak memungkinkan, serta
syarat-syarat dari praktek tersebut terbilang cukup sulit dipenuhi pada masa
ini. Pelapisan masyarakat di daerah Mamuju nampaknya masih ada
walaupun tidak menjadi hal yang mutlak dikedepankan lagi dalam
pergaulan keseharian. Hal ini dapat diperhatikan jika kita membaca sejarah
Mamuju.
Kerajaan-kerajaan yang masih mempunyai kedaulatan pada masa
berkuasanya raja-raja dahulu hakekatnya terbagi dalam dua stratifikasi, yaitu
lapisan penguasa dan lapisan yang dikuasai. Sistem mobilisasi sosial yang
Mamuju memiliki sifat yang amat sederhana dan elastis dimana lapisan penguasa
bukan hanya dari golongan tomaradeka (orang biasa), apabila mereka mampu
memperlihatkan prestasi sosialnya, misalnya : to panrita, to sugi, to barani, to
sulasana, dan to ajariang. Kelima macam tersebut ditempatkan dalam lapisan elit
(golongan atas orang yang terpandang ).
Dengan demikian terjadilah mobilisasi sosial horizontal bagi anak puang.
Lambat laun nampak pelapisan masyarakat ini makin tipis akibat pembauran
dalam bentuk perkawinan. Kelima golongan tadi juga memiliki andil untuk dipilih
sebagai pemimpin dalam masyarakat karena kelebihannya itu. Struktur
masyarakat di daerah Mamuju pada dasarnya sama dengan susunan masyarakat di
seluruh daerah di Sulawesi Selatan, dimana susunan ini berdasarkan penilaian
daerah menurut ukuran makro yaitu : 1) Golongan bangsawan raja 2) Golongan
bangsawan hadat atau pia 3) Golongan tau maradeka yakni orang biasa 4)
Golongan budak atau batua.
Golongan bangsawan adapat ini merupakan golongan yang paling banyak
jumlahnya. Mereka tidak boleh kawin dengan turunan bangsawan raja supaya ada
pemisahan. Raja hanya sebagai lambing sedangkan hadat memegang kekuasaan.
Pada umumnya suku Mandar ramah-ramah yang muda menghormati yang tua.
Kalau orang tua berbicara dengan tamu, anak-anak tidak boleh ikut campur (ikut
bersuara). Ada beberapa hal yang menjadi kebiasaan dalam suku Mandar seperti:
1. Mengalah yaitu kalau menghadap raja, kaki tangan dilipat.
2. Meminta permisi kalau mau lewat didepan orang dengan menyebut Tabe
3. Kalau bertamu sudah lama, mereka minta permisi yang disebut massimang

D. Kosmologi
Pada masyarakat tradisional Indonesia, perbuatan manusia itu selalu
berdimensi dua atau “dwimatra”; yaitu “mistik” dan “simbolik”. Untuk
mengungkap kepercayaan akan makna hidup, manusia menggunakan tanda –
tanda atau “simbol”. Ada dua macam tanda penting, pertama : “mitosasal”, atau
tafsir tentang makna hidup berdasarkan asal kejadian masa lalu. Kedua : “Ritual”
berupa upacara atau perlakuan simbolis yang berfungsi atau dimaksudkan untuk
memulihkan harmoni tatanan alam agar tetap selaras dengan manusia, agar
manusia dapat terhindar dari malapetaka dan mendapatkan keselamatan serta
kesejahteraan dalam kehidupan. Itulah dasar-dasar filosofi yang mewarnai
“Budaya” masyarakat tradisional Indonesia. Pola pemikiran masyarakat
tradisional pada umumnya hidup dalam budaya “kosmologi” yang menyeluruh.
Awalnya, kehidupan manusia hanya terbatas dan berpusat pada kehidupan
dirinya sendiri, “Egocentrum”. Kemudian manusia mengembangkan diri melalui
dorongan naluri dan nalarnya guna memenuhi kebutuhan hidupnya, maka
kehidupan ”egocentrum” kemudian berubah menjadi bagian integral dari
kehidupan habitat sekitarnya, yang diatur dalam sebuah tatanan “budaya” atau
“kebudayaan”. Identitas Arsitektur Tradisional Mandar tergambar dalam bentuk
rumah tradisional yang disebut ”boyang” . dikenal adanya dua jenis boyang, yaitu
: ”boyang adaq” dan ”boyang beasa”. ”Boyang adaq” ditempati oleh keturunan
bangsawan, sedangkan ”boyang beasa” ditempati oleh orang biasa. Pada ”boyang
adaq” diberi penanda sebagai simbolik identitas tertentu sesuai tingkat status
sosial penghuninya. Simbolik tersebut, misalnya ”tumbaq layar” yang bersusun
antara 3 sampai 7 susun, semakin banyak susunannya semakin tinggi derajat
kebangsawanan seseorang. Sedangkan pada boyang beasa, ”tumbag layar” nya
tidak bersusun. Simbolik lain dapat dilihat pada struktur tangga. Pada boyang
adaq, tangganya terdiri atas dua susun, susunan pertama yang terdiri atas tiga
anak tangga, sedangkan susunan kedua terdiri atas sembilan atau sebelas anak
tangga.
Kedua susunan anak tangga tersebut diantarai oleh pararang. Sedangkan
boyang beasa, tangga tidak bersusun. Rumah tradisional Mandar berbentuk
panggung yang terdiri atas tiga bahagian, sama ”Ethos Kosmos” yang berlaku
pada etnis Bugis Makassar. Bagian pertama disebut ”tapang” yang letaknya
paling atas, meliputi atap dan loteng. Bagian kedua disebut ”roang boyang” , yaitu
ruang yang ditempati manusia, dan bagian ketiga disebut ”naong boyang” yang
letaknya paling bawah.
Demikian pula bentuk pola lantainya yang segi empat, terdiri atas ”tallu
lotang” (tiga petak). Petak pertama disebut ”samboyang” (petak bagian depan),
petak kedua disebut ”tangnga boyang” (petak bagian tengah) dan petak ketiga
disebut ”bui’ lotang” (petak belakang). Tatanan dan aturan rumah adat, tiga susun
dan tiga petak menunjukkan makna pada filosofi orang Mandar yang berbunyi :
”da’dua tassasara, tallu tammallaesang” (dua tak terpisah, tiga saling
membutuhkan). Adapun dua yang tak terpisahkan itu adalah aspek hukum dan
demokrasi, sedangkan tiga saling membutuhkan adalah aspek ekonomi, keadilan,
dan persatuan. Struktur bangunan rumah orang mandar, terdiri dari bagian paling
atas, yaitu ”ate” (atap). Atap rumah berbentuk prisma yang memanjang
kebelakang menutupi seluruh bagian atas rumah. Pada masa lalu, rumah-rumah
penduduk, baik boyang adaq maupun boyang beasa menggunakan atap rumbia.
Hal ini disebabkan karena bahan tersebut banyak tersedia dan mudah untuk
mendapatkannya. Pada bagian depan atap terdapat ”tumbaq layar” yang memberi
”identitas” tentang status penghuninya. Pada ”tumbaq layar” tersebut dipasang
ornamen ukiran bunga melati. Di ujung bawah atap, baik pada bagian kanan
maupun kiri diberi ornamen ukiran burung atau ayam jantan. Pada bagian atas
penutup bubungan, baik di depan maupun belakang dipasang ornamen yang
tegak keatas. Ornamen itu disebut ”teppang”. Di bawah atap terdapat ruang
yang diberi lantai menyerupai lantai rumah. Ruang tersebut diberi nama ”tapang”.
Lantai tapang tidak menutupi seluruh bagian loteng.
Pada umumnya hanya separuh bagian loteng yang letaknya di atas ruang tamu
dan ruang keluarga. Tapang berfungsi sebagai gudang untuk menyimpan barang-
barang. Bila ada hajatan dirumah tersebut, tapang berfungsi sebagai tempat
menyimpan bahan makanan sebelum dihidangkan atau didistribusikan. Pada masa
lalu, ”tapang” tersebut sebagai tempat atau kamar calon pengantin wanita.
Iaditempatkan pada kamar tersebut sebagai tindakan preventif untuk menjaga
”siriq” (harga diri). Untuk naik ke tapang, terdapat tangga yang terbuat dari balok
kayu atau bambu. Tangga tersebut dirancang untuk tidak dipasang secara
permanen, hanya dipasang pada saat akan digunakan. Rumah orang Mandar, baik
boyang adaq maupun boyang beasa mengenal tiga petak ruangan yang disebut
lotang. Ruangan tersebut terletak di bawah tapang yang menggunakan lantai yang
terbuat dari papan atau bilah bambu.
Adapun ketiga ”lotang” ruangan tersebut adalah : ”Samboyang”, yaitu petak
paling depan. ”Tangnga boyang”, petakbagian tengah rumah. Petak ini berfungsi
sebagai ruang keluarga, di mana aktivitas keluarga dan hubungan sosial antara
sesama anggota rumah tangga. ”Bui’ boyang”, petak paling belakang. Petak ini
sering ditempatkan ”songi” (kamar) untuk anak gadis atau para orang tua seperti
nenek dan kakek. Penempatan songi untuk anak gadis lebih menekankan pada
fungsi pengamanan dan perlindungan untuk menjaga harkat dan martabat
keluarga. Sesuai kodratnya anak gadis memerlukan perlindungan yang lebih baik
dan terjamin. Ketiga petak di dalam roang boyang tersebut memiliki ukuran lebar
yang berbeda. Petak yang di tengah biasanya lebih lebar dibanding dengan petak-
petak yang lainnya. Sedangkan petak yang paling depan lebih lebar dibanding
dengan petak yang paling belakang. Khusus pada boyang adaq, di dalam roang
boyang terdapat ruangan atau petak yang lantainya lebih rendah ”tambing” atau
”pelleteang”. Letaknya selalu dipinggir dengan deretan tiang yang kedua dari
pinggir, mulai dari pintu depan kebelakang. Ruangan ini merupakan tempat
lalulalang anggota keluarga. Olehnya itu, pemasangan lantai yang terbuat dari
papan agak dijarangkan agar berbagai kotoran, seperti debuh, pasir, dan
sebagainya dapat lebih mudah jatuh ke tanah. Selain itu, ruang ini juga berfungsi
untuk menerima tamu dari kalangan masyarakat biasa dan ata (budak). Bangunan
tambahan yang diletakkan di belakang bangunan induk disebut ”paceko” (dapur).
Bangunan tersebut biasanya dibuat secara menyilang dengan bangunan induk.
Panjangnya minimal sama dengan lebar bangunan induk, dan lebarnya minimal
sama dengan satu petak bangunan induk. Bangunan ini disertai ruang yang
lapang, sehingga mempunyai banyak fungsi. Pada ”paceko” juga tersedia tempat
buang air kecil yang disebut ”pattetemeangang”. Bangunan tambahan yang ada di
depan rumah yang disebu tdengan ”legolego” (teras). Bangunan ini biasanya
lebih sempit dibanding dengan bangunan tambahan bagian belakang. Kendati
demikian, bangunan tersebut tampak lebih indah dihiasi berbagai ornamen, baik
yang berbentuk ukiran maupun yang berbentuk garis-garisvertikal dan horisontal.
Fungsi bangunan ini adalah sebagai tempat sandaran tangga depan, tempat
istirahat pada sore hari dan tempat duduk sebelum masuk rumah.
Rumah tradisional Mandar, baik ”boyang adaq” maupun boyang beasa pada
umumnya mempunyai dua tangga, yaitu tangga depan dan tangga belakang.
Setiap tangga mempunyai anak tangga yang jumlahnya selalu ganjil. Jumlah anak
tangga pada setiap tangga berkisar 7 sampai 13 buah. Jumlah tersebut disesuaikan
dengan tinggi rumah. Pada umumnya, boyang adaq memiliki anak tangga yang
lebih banyak, yaitu berkisar 11 sampai 13 buah. Sedangkan ”boyang beasa”
sekitar 7 sampai 9 buah. Pada boyang adaq, tangga depannya bersusun dua
dilengkapi dengan pasangan. Sedangkan ”boyang beasa”, tangganya tidak
bersusun dan tidak dilengkapi pegangan. Terdapat ruang di bawah lantai yang
disebut ”naong boyang” (kolong rumah). Pada masa lalu, kolong rumah hanya
berlantai tanah. Ditempat itu sering dibuatkan ”rambang” sebagai kandang ternak.
Ada kalanya sebagai tempat manette (menenun) kain sarung bagi kaum
wanita. Bagian yang lain pada rumah adalah rinding (dinding). Dinding rumah
terbuat dari kayu (papan) dan bambu (taqta dan alisi ). Pada umumnya, boyang
adaq mempunyai dinding yang terbuat dari papan. Sedangkan boyang beasa selain
berdinding papan, juga ada yang berdinding taqta dan alisi, rumah yang
berdinding taqta dan alisi, penghuninya berasal dari golongan ata (beasa). Dinding
rumah dirancang dan dibuat sedemikian rupa sesuai tinggi dan panjang setiap sisi
rumah dan dilengkapi jendela pada setiap antara tiang. Hal itu dibuat secara utuh
sebelum dipasang atau dilengketkan pada tiang rumah.
Pembuatan dinding seperti itu dimaksudkan untuk lebih memudahkan
pasangannya, demikian pula untuk membukanya jika rumah tersebut akan
dibongkar atau dipindahkan. Mendirikan rumah ”boyang” melalui suatu tahapan
kegiatan yang meliputi persiapan, membangun ”boyang” dan hasil kegiatan
berupa ”bangunan” atau rumah tradisional. Dalam proses persiapan ada beberapa
hal yang patut diperhitungkan, yaitu bahan baku yang tersedia dari lingkungan
alam sekitar (lokal) maupun dari luar (dari daerah lain), menyiapkan ”pappapia
buyang”(tukang dan ahli) sesuai latar belakang sosial budaya penghuninya. Gaya
arsitektur tradisional banyak dipengaruhi oleh jenis bahan baku yang tersedia
disekitar lingkungan alam setempat. Suatu bangunan rumah ”boyang” tidak hanya
berfungsi sebagai tempat tinggal, tetapi memiliki nilai dan makna tersendiri sesuai
dengan adat istiadat masyarakat tradisional Mandar.
Olehnya itu, suatu rumah tradisional memiliki ciri khas terutama pada
tipologi, interior/eksterior, dan ornamen yang ada didalamnya. Membangun
rumah tradisional mandar memerlukan beberapa rangkaian kegiatan seperti
musyawarah antar sesama keluarga atau kerabat, pemilihan lokasi atau tempat
mendirikan rumah, dan pengadaan bahan baku untuk tiang, lantai, atap dan
sebagainya. Bagi orang Mandar, setiap akan membangun rumah ”boyang”
senantiasa didahului dengan suatu pertemuan antara seluruh keluarga atau kerabat.
Dalam pertemuan tersebut dilakukan musyawarah, yang biasanya dipimpin oleh
anggota keluarga yang lebih tua dan banyak tahu tentang nilai-nilai dan adat
istiadat dalam masyarakat tradisionalnya. Untuk mendapatkan hasil yang baik
dalam pelaksanaan musyawarah dihadirkan pula pappapia boyang (tukang ahli
rumah).
Musyawarah lebih diutamakan pada penilaian status sosial yang akan
menempati rumah tersebut. Sebab dari status sosial yang akan menempati rumah
tersebut. Dapat diketahui jenis dan bentuk rumah yang akan dibangun. Kalau yang
bersangkutan berstatus bangsawan, maka jenis rumah yang akan dibangun adalah
”boyang adaq”, bila yang bersangkutan berasal dari golongan masyarakat biasa,
maka rumah yang akan dibangun adalah ”boyang beasa”. Dalam musyawarah
tersebut penilaian dan penentuan susunan tumbaq layar juga dibicarakan.
Pemilihan waktu mendirikan ”boyang” juga sangat penting, karena terkait dengan
kepercayaan masyarakat tradisionalnya. Menurut mereka, ada waktu yang baik
dan ada waktu yang buruk. Waktu yang baik selalu dihubungkandengan
”keberuntungan” dan ”keselamatan”. Pemilihan waktu. Sedangkan waktu yang
buruk selalu dihubungkan dengan ”bala”, bencana dan ketidak mujuran, karena itu
kegiatan awal dalam memulai mengerjakan rumah senantiasa berpedoman pada
waktu-waktu baik, hari-hari baik adalah senin, kamis, dan jumat. Bulan-bulan
tertentu dianggap kurang baik, seperti Muharram, Syafar, Jumadil Awal, dan
Dzulkaiddah. Pemilihan tempat mendirikan ”boyang” sangat terkait dengan
kepercayaan tradisi masyarakat tentang adanya tanah yang baik dan kurang baik
untuk dibanguni ”boyang”. Tanah yang baik adalah tanah yang agak keras, tidak
lembek. Biasanya berada pada daerah yang relatif sedikit tinggi atau bukit. Selain
itu, tanah tersebut sebaiknya ”berbau wangi”. Tanah seperti ini memberi makna
keharuman, agar keluarga mereka kelak dapat memperoleh kebahagiaan,
keharmonisan dalam rumah tangga.
Orientasi rumah ”boyang” yang paling baik adalah berorientasi pada arah
yang mengandung makna positif, yaitu arah timur tempat matahari terbit. Arah
pergerakan matahari yang menanjak naik mengandung makna kebaikan, yaitu
selalu bertambah ”naik” . dalam pengertian ini, yang diharapkan selalu bertambah
adalah nasib baik, terutama rezki dan amal kebijakan. Dengan arah rumah
ketimur, cahaya matahari pagi dapat menyinari ruang lego-lego hingga kedalam
rumah. Setelah agama Islam masuk di daerah Mandar, maka muncullah
pandangan baru bahwa arah barat juga baik. Arah barat dianggap menghadap
kekiblat. Sedangkan bahan bangunan diusahakan dan diambil dari lingkungan
alam sekitar. Penebangan kayu (kayu) dan bambu biasanya disesuaikan dengan
waktu baik. Waktu-waktu baik adalah sama halnya pada saat memulai
membangun rumah ”boyang”.
Pada saat menebang kayu, yang pertama harus ditebang adalah bahan untuk
membuat possiarring (tiang pusat). Jenis kayu yang diperuntukkan untuk
possiarring tidaklah sembarang, biasanya kayu ”sumaguri” dan ”cawecawe” .
kedua jenis kayu tersebut mengandung makna simbolis. Untuk jenis sumaguri
mengandung makna ”empati kepada seluruh masyarakat”. Jadi, jenis kayu
tersebut banyak digunakan pada possiarriang rumah adaq. Sedangkan jenis kayu
cawe-cawe mengandung makna ”semangat atau mengairahkan”. Jenis kayu
tersebut pada umumnya digunakan untuk ”possiarriang” rumah biasa. Hal ini
dimaksudkan agar penghuninya kelak senantiasa bersemangat atau bergairah
dalam mengarungi kehidupan dunia. Penebangan kayu untuk ”possiarriang” harus
dilakukan oleh ”sando boyang”.
Sebelum melakukan penebangan, ”sando boyang” melakukan upacara ritual
yang dilakukan sendiri dirumahnya. Waktu penebangan diupayakan pada hari-hari
baik. Adapun hari baik menebangan kayu untuk ”possiarriang” adalah hari ke 14
terbitnya bulan, orang Mandar menyebutnya ”tarrang bulan” (terang bulan), atau
pada hari kedelapan sebelumtenggelamnya bulan. Penebangan kayu dilakukan
pada pagi hari sekitar jam 09.00. Penebangan kayudapat dilakukan oleh beberapa
orang, tetapi pekerjaannya harus dimulai oleh sando boyang. Ada hal yang
penting untuk diperhatikan dan diperhitungkan pada saat menebangan kayu, yaitu
kayu tersebut harus tumbang dan jatuh kearah matahari terbit. Hal ini
dimaksudkan agar cahaya matahari senantiasa menerangi rumah yang akan
dibangun.
Dalam pengertian ini terdapat makna simbolis, bahwa diharapkan kelak rumah
yang akan dibangun itu senantiasa dalam kondisi yang terang bercahaya.
Pembangunan rumah tradisional ”boyang”, dimulai dari pembuatan tiang
”arriang”. Setiap rumah memiliki tiang minimal 20 batang. Tiang tersebut diatur
dan disusun berjejer kesamping dan kebelakang. Setiap jejeran kesamping
biasanya terdiri atas lima batang. Sedangkan jejeran kebelakang biasanya empat
batang (tidak termasuk tiang paceko). Kelima tiang yang berjejer kesamping
diupayakan memiliki lekukan dan bengkok yang sama. Dalam pembuatan
”arriang”, pekerjaan pertama yang harus dibuat adalah ”possi arriang” (tiang
pusat). Setelah ”possi arriang” usai dikerjakan, maka dilanjutkanlah pekerjaan
pada seluruh tiang rumah lainnya. Pekerjaan seluruh tiang tersebut harus
diperhatikan ujung-pangkalnya. Semua tiang pangkalnya harus berada di bawah,
tidak boleh terbalik.
Bagi rumah tradisional yang mempunyai paceko dan lego-lego, maka harus
menggunakan minimal lima tiang tambahan untuk Paceko dan dua atau empat
tiang untuk legolego. Rumah tradisional Mandar yang terdiri atas tallu lontang,
jumlah pasak yang dibutuhkan sebanyak 18 buah. Pasak tersebut terdiri atas
empat untuk passolor, empat untuk baeq, lima araiangdiaya dan aratangnaong.
Selain itu, bilamana rumah tersebut mempunyai tambing, maka harus ditambah
lagi aratangdiaya dan aratangnaong masing-masing satu buah. Bila rumah tersebut
ditambah paceko, maka harus ditambah lagi passollor dan baeq sebanyak lima
buah. Sedangkan aratangdiaya dan aratangnaong masing-masing dua buah. Selain
pasak, terdapat pula balok kayu yang bentuknya pipih menyerupai pasak. Kayu ini
disebut pambalimbungan (tulang punggung, paling diatas tempatnya). Jumlahnya
tiga buah, masing-masing satu buah untuk rumah induk, paceko dan lego-lego.
Lantai rumah tradisional Mandar terbuat dari papan (kayu) dan lattang,
”Lattang” biasanya dipilih tarring (bambu) yang besar dan sudah tua.
Lattanginibiasanyadipakai pada lantaipaceko. Dindingrumahtradisional Mandar
pada umumnya terbuat dari papan, alisi dan taqta. Pada dinding sisi depan rumah,
biasanya dilengkapi tiga ”pepattuang” (jendela) dan satu ”ba’ba” (pintu). Dinding
sisi depan ini biasanya dilengkapi ornamen pada bagian luar di bawah jendela.
Pada dinding sisi kanan dan kiri rumah biasanya juga dilengkapi dengan
pepattuang sebanyak dua atau tiga buah. Pepattuang berbentuk segi empat yang
rata-rata terdiri atas dua daun jendela yang berukuran sekitar 100 x 40 cm. Daun
jendela itu dapat dibuka ke kiri dan ke kanan. Letak pepattuang biasanya berada
antara dua buah tiang rumah. Untuk memperindah, pepattuang ini biasanya diberi
ornamen berupa ukiran dan terali dari kayu yang jumlahnya selalu ganjil. Terali-
terali tersebut ada yang dipasang secara vertikal dan ada yang horisontal. Secara
vertikal mempunyai makna hubungan yang harmonis dengan Tuhannya.
Sedangkan secara horisontal mempunyai makna hubungan yang harmonis
dengan sesama manusia. Pemasangan ornamen seperti itu hanya tampak pada
jendela yang ada di bagian depan dan sisi kiri kanan rumah. Pemasangan ornamen
berupa ukiran dan terali terali juga dapat dilihat pada bangunan tambahan di
depan rumah, yaitu lego-lego. Prosesi ritual menurut kepercayaan masyarakat
tradisional Mandar biasanya dimulai dari ”possiarriang”. Pada ”possiarriang”
diikat lipaq (sarung) dan mukena atau kebaya. Sarung melambangkan jiwa laki-
laki dan kebaya atau mukena sebagai jiwa perempuan. Kedua jiwa tersebut harus
menyatu di dalam ”possiarriang” kemudian tiang ”possiarriang” disiram dengan
air dari dalam cerek. Air yang tersisa di dalam cerek tadi dimasukkan dalam botol
kemudian digantung pada ”possiarriang” . segala bahan kelengkapan upacara
mattoddoq boyang, seperti tebu, pisang, kelapa juga digantung pada
”possiarriang” . Bahan kelengkapan upacara biasanya digantung setelah rumah
berdiri. Bilamana rumah ”boyang” akan diberi tambahan bangunan, seperti
paceko dan lego-lego, maka setelah bangunan induk berdiri tegak dilanjutkan
pendirian tiang paceko.
Tambahan untuk Paceko biasanya terdiri atas satu deretan tiang yang
jumlahnya enam batang ditambah satu batang di dekat tangga belakang. Setelah
tiang berdiri, dilanjutkan pemasangan aratangnaong dan aratangdiaya yang
dikuatkan dengan passanna. Seluruh tiang paceko juga diberi batu arriang. Setelah
pendirian tiang paceko, dilanjutkan pula pada pendirian tiang lego-lego. Untuk
boyang adaq, jumlah tiang lego legonya sebanyak empat batang. Sedangkan
boyang beasa jumlah tiang lego legonya sebanyak dua batang.

E. Sosial dan Budaya


Pada umumnya suku Mamuju adalah penganut agama Islam yang setia, tetapi
dalam kehidupan sehari-hari tidak dapat lepas dari kepercayaan kepercayaan
seperti pemali, larangan-larangan dan perbuatan magis seperti pemakaian jimat
atau benda-benda keramat dan sesaji seperti masyarakat Jawa. Sebelum
membahas lebih lanjut orang Mamuju, perlu diketahui bahwa pandangan hidup
orang Mamuju itu terdiri atas tiga macam, yakni pandangan hidup yang
berasaldari agama. Pandanganhidup yang berupaideologi yang disesuaikan
dengan kebudayaan dan norma yang terdapat pada bangsa, dan etnik tersebut.
Pandangan hidup hasil renungan orang secara pribadi yang dapat juga disebut
filsafat hidup.
Budaya merupakan suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama
oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi kegenerasi berikutnya
dan terdapat nilai-nilai atau konsep-konsep yang tumbuh dan dipelihara
berdasarkan sosio-kulturalnya. Seperti dalam halnya masyarakat Mamuju
membangun rumah tangga yang masagena yang berarti sejahtera, 2 sebuah pola
hidup dan penghidupan mereka telah tumbuh dan berkembang sejak dulu berbagi
rasa dalam suka maupun duka, suami dengan isteri dan anggota keluarga lainnya
seperti anak senasib sepenanggungan, saling membantu atau bergotong royong
dalam sebuah keluarga untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. yang disebut
budaya Sibali parriq Sibali parriq berangkat dari konsep rumah tangga (domestik)
masyarakat Mandar, yakni pemahaman bahwa perempuan Mamuju, selain sangat
setia, juga pandai menempatkan diri sebagai perempuan dan sebagai istri dan juga
mampu bekerja membantu suami memenuhi kebutuhan keluarganya.
Menurut Nurland keterlibatan isteri dalam kegiatan mencari nafkah sangat
besar bagi upaya pemenuhan kebutuhan hidup minimal rumah tangganya.
Terlibatnya wanita dalam kegiatan bekerja di luar ranah domestik dalam sistem
nilai budaya dipandang sebagai suatu mencari nafkah ditanggapi oleh masyarakat
sebagai suatu pekerjaan yang terhormat.
Dengan pemahaman ini, posisi istri dan suami di mata orang Mamuju tidak
dipandang timpang atau tidak berbeda, hal tersebut memberi nlai dalam
kesetaraan antara pria - wanita berkaitan kedudukan, aturan, dan norma-norma
masyarakat Mamuju. Karena itu, isteri yang terlibat dalam kegiatan mencari
nafkah tidak hanya meningkatkan pendapatan tetapi juga meningkatkan martabat
keluarga. Itu berarti bahwa sistem nilai budaya Mamuju memberikan peluang dan
tempat yang mulia bagi wanita yang bekerja mencari nafkah diluar ranah
domestik.
Konsep Sibali parriq merupakan salah satu nilai kearifan lokal masyarakat
Mamuju, bukan hanya dalam lingkungan rumah tangga akan tetapi sudah menjadi
budaya yang dianut oleh masyarakat Mamuju dalam kehidupannya, nilai
sibaliparri yang saling membantu, bekerja sama atau bergotong royong dalam
kehidupan masyarakat Mamuju, baik itu aspek sosial, budaya, ekonomi, politik
maupun pendidikan. Pendidikan karakter di Sulawesi Barat dapat diambil dari
nilai-nilai luhur kearifan lokal budaya Mamuju. Sejak lama di Mamuju ini sudah
ada berbagai budaya yang sangat baik untuk kita lestarikan, misalnya soal
perjuangan penegakan keadilan dan kebenaran, Mamuju mewarisi nilai-nilai
tersebut, kita diajarkan untuk tidak mundur atau takut untuk membela kebenaran.
Suku Mandar sebagai sebuah etnik dan komunitas tentu juga mempunyai
pandangan hidup yang telah mentradisi dan diamalkan secara turun temurun sejak
lama. Dan semua itu tercatat secara lisan maupun tulisan dalam catatan yang
disebut Pappasanna, Rapanna, atau Pau-paunna Todiolo. Oleh karena itu
masyarakat Mamuju memiliki cara tersendiri untuk memberikan pendidikan
karakter terhadap penerusnya dengan menggunakan tata cara dan pandangan
masyarakat di lingkungan Mamuju.
Karena lembaga sosial pertama dalam sosiologi adalah lembaga keluarga,
maka yang pertama dan utama yang berpengaruh dalam internalisasi pendidikan
karakter bermula dari keluarga dengan mensosialisasikan kepada anak-anak, cucu,
dan kerabat, dengan cara mengenalkan nilai luhur serta kearifan lokal masyarakat
Mamuju, dari ucapan ucapan orang tua yang didengar oleh para penerus itu
menjadi kebiasaan dan tertanam dalam diri pribadi bahwa seperti inilah
kebudayaan masyarakat Mamuju. Sehingga kebudayaan masyarakat Mamuju
tidak akan luntur atau hilang.
BAB III

ARSITEKTUR TRADISIONAL MAMUJU

Identitas arsitektur tradisional Mamuju tergambar dalam bentuk rumah


tradisional yang disebut boyang. Dikenal adanya dua jenis boyang, yaitu : boyang
adaq dan boyang beasa. Boyang adaq ditempati oleh keturunan bangsawan,
sedangkan boyang beasa ditempati oleh orang biasa. Simbolik lain dapat dilihat
pada struktur tangga. Tatanan dan aturan rumah adat, tiga susun dan tiga petak
menunjukkan makna pada filosofi orang Mamuju yang berbunyi: da’dua
tassasara, tallu tammallaesang artinya kurang lebih Tuhan dan Nabi Muhammad
dan manusia yang tidak terpisahkan antara satu dengan yang lainnya saling
membutuhkan (Ibrahim:1999:87).
Adapun dua yang tak terpisahkan itu adalah aspek hukum dan demokrasi,
sedangkan tiga saling membutuhkan adalah aspek ekonomi, keadilan, dan
persatuan. Sedangkan penataan spatial seca ra horisontal, pembagian ruang yang
dalam istilah Mandar disebut lowang, dapat dikelompokkan dalam tiga bagian
sebagai berikut: 1. Tambing (ruang depan) 2. Pequluwang atau ruang tengah 3.
Songi, sifat sangat privat 4. Lego lego/Sondo-sondong: Ruang tambahan 5.
paceko: biasanya diletakkan di belakang atau samping.
Secara terperinci ciri-ciri struktur rumah orang Mamuju antara lain adalah:
1)Bentuk kolom adalah bulat untuk bangsawan, segi empat dan segi delapan
untuk orang biasa 2) Terdapat pusat rumah yang disebut di possi (pos siarriang)
berupa tiang yang paling penting dalam sebuah rumah, biasanya terbuat dari kayu
nangka atau durian, letaknya pada deretan kolom kedua dari depan, dan kedua
dari samping kanan. 3) Tangga (endeq) diletakkan di depan atau belakang, dengan
ciriciri: dipasang diolo boyang atau dilego-lego.4) Arahnya ada yang sesuai
dengan
Panjang rumah atau sesuai lebar rumah. 5) Atap (Ateq) berbentuk segitiga
sama kaki yang digunakan untuk menutup bagian muka. Hasil analisis
menunjukkan bahwa terdapat perubahan identitas arsitektur Mamuju yang
signifikan pada bangunan etnis Mamuju, setelah tahun 1960 sampai tahun 2010
terutama pada bangunan arsitektur Mandar kontemporer yang disebabkan karena
pengaruh antara lain: 1). Aspek sosial yaitu: status sosial (bentuk teppang atap,
susunan tumbaq layar dan simbolik tangga, 2) Aspek budaya yaitu: kondisi iklim
(kemiringan atap dan penggunaan bahan bangunan) 3). Aspek ekonomi, yaitu
:tingkat pendapat.
Pada umumnya setiap rumah tradisional, baik rumah bangsawan maupun
orang biasa akan memakai hiasan (ornamen). Akan tetapi, ornamen untuk rumah
bangsawan biasanya lebih banyak, baik dari segi kuantitas maupun variasi.
Ornamen berfungsi sebagai identitas sosial. Pola dasar ornamen pada umumnya
bersumber dari alam sekitar manusia, seperti flora, fauna, fenomena alam, agama,
dan kepercayaan. Akan tetapi, ornamen yang terdapat pada rumah adat Mamuju
memiliki pola dasar yaitu sebagai berikut:
1. Flora
Pola dasar ornamen untuk rumah adat Mamuju yang bersumber dari flora
hanya dijumpai satu jenis saja yaitu sejenis kembang melati. Pembuatan
ornamen ini dilakukan dengan mengukir papan menggunakan pahat atau pisau
setelah diberi pola dari pensil.

Gambar 3. 1 Ornamen bunga melati pada dinding, tepatnya dibawah jendela


Sumber : e- Book Arsitektur Mandar Kab. Mamuju, Sulawesi Selatan
Ornamen ini biasanya ditempatkan pada bagian rumah yang mudah dilihat
orang, seperti di dinding bagian depan dan bagian samping (kanan dan kiri)
rumah. Tepatnya di dinding bagian luar, baik di atas, di samping dan di bawah
jendela.

Gambar 3. 2 Ornamen bunga melati pada dinding, tepatnya di atas jendela


Sumber : e- Book Arsitektur Mandar Kab. Mamuju, Sulawesi Selatan

Gambar 3. 3 Ornamen bunga melati pada plafon


Sumber : e- Book Arsitektur Mandar Kab. Mamuju, Sulawesi Selatan
Gambar 3. 4 Ornamen bunga melati pada sudut bagian bawah atap
Sumber : e- Book Arsitektur Mandar Kab. Mamuju, Sulawesi Selatan

Ragam hias bunga melati yang ditempatkan di atas jendela, diatas penutup
bubungan dan pada ujung bawah atap, ukirannya muncul atau tembus pada
kedua sisinya sehingga dapat dilihat dari depan maupun belakang. Ornamen ini
mengandung makna sebagai suatu penghargaann atau cita-cita agar
pemilikrumah akan selalu mendapatkan rezeki secara berkesinambungan, seperti
bunga melati yang menjalar tak putus-putus.
1. Fauna
Pola dasar ragamhias yang bersumber dari fauna jumlahnya hanya satu,
yaitu berbentuk seperti burung yang dalam bahasa Mamuju disebut manu-manu.
Jenis burung yang menjadi ornamen pada rumah tradisional Mamuju adalah
jangang-jangang (burung merpati).
Burung merpati memberi makna agar kehidupan keluarga pemilik rumah rukun
dan damai. Selain itu, burung senantiasa terbang ke angkasa, memberi makna
agar si pemilik rumah bersama keluarganya dapat terangkat derajat, harkat dan
martabatnya. Ornamen ini dibuat dengan cara diukir pada papan atau balok
kayu.
Gambar 3. 5 Ornamen berbentuk burung pada sudut bawah atap.
Sumber : e- Book Arsitektur Mandar Kab. Mamuju, Sulawesi Selatan

2. Lingkungan Alam
Ornamen yang bersumber dari lingkungan alam lebih bervariasi: matahari,
bulan purnama, bentuk kotak-kotak, dan bentuk tiang kecil (terali-terali) yang
berdiri secara vertikal atau horizontal. Ornamen yang berbentuk matahari atau
bulan purnama biasanya diukir atau dilukis dengan warna-warna tertentu seperti
kuning keemasan, biru dan warna-warna lainnya.
Ukiran yang berbentuk matahari atau bulan purnma yang biasanya
ditempatkan pada penutup bubungan rumah memilik makna sebagai sumber
cahaya yang menerangi kehidupan penghuni rumah.
Kemudian, pada ornamen yang berbentuk walasuji yang dipadukan dengan
ragam hias bunga melati dipsang di dinding memiliki banyak makna dalam
kehidupan orang Mamuju, walasuji bentuknya segi empat belah ketupat yang
mengandung makna simbolis sebagai empat persegi yang merupkan dasar
pandangan kosmologis dalam memandang alam raya ini.
Gambar 3. 6 Ornamen yang berbentuk matahari atau bulan purnama yang diberi
ukiran di tempatkan pada penutup bubungan rumah
Sumber : e- Book Arsitektur Mandar Kab. Mamuju, Sulawesi Selatan

Gambar 4. 7 Ornamen berbentuk walasuji pada dinding rumah.


Sumber : e- Book Arsitektur Mandar Kab. Mamuju, Sulawesi Selatan

Ornamen berikutnya adalah bentuk tiang-tiang kecil yang diwujudkan dalam


terali-terali, baik yang dipasang secara vertikal maupun secara horizontal. Terali-
terali tersebut ada yang
Gambar 4. 7 Ornamen berbentuk walasuji pada dinding rumah.
Sumber : e- Book Arsitektur Mandar Kab. Mamuju, Sulawesi Selatan
BAB IV

PEMBAHASAN HASIL SURVEI

ARSITEKTUR RUMAH ADAT MAMUJU DI KAWASAN TAMAN


MINIATUR BENTENG SOMBA OPU

A. Sejarah
Benteng Somba Opu adalah sebuah kawasan miniature budaya Sulawesi
Selatan yang terletak di Jl. Dg. Tata, Makassar. Dalam kawasan ini terdapat
miniature rumah adat dari seluruh kabupaten yang berada di Sulawesi Selatan.
Benteng ini didirikan pada awal abad ke-16 atas usaha Sultan Gowa ke IX yang
bernama Daeng Matanre Karaeng Tumaparisi Kolonna tepatnya tahun 1525. Pada
pertengahan abad ke 16, Benteng ini menjadi pusat perdagangan dan pelabuhan
rempah-rempah yang ramai dikunjungi pedagang asing dari Asia dan Eropa. Pada
24 Juni 1669, Benteng ini dikuasai oleh VOC dan kemudian dihancurkan hingga
terendam oleh ombak pasang. Pada tahun 1980-an, benteng ini ditemukan kembali
oleh sejumlah ilmuan. Pada tahun 1990, bangunan benteng yang sudah rusak
direkonstruksi ulang sehingga tampak lebih indah. Kini Benteng Somba Opu
menjadi objek wisata bersejarah dan menjadi kawasan miniature budaya Sulawesi
Selatan dengan dilengkapi oleh rumah adat.
Benteng Somba Opu dibangun dari tanah liat dan putih telur sebagai
pengganti semen. Secara arsitektural, benteng ini berbentuk persegi empat dengan
panjang sekitar 2 kilometer, tinggi 7-8 meter dan luasnya 1.500 hektar. Di dalam
benteng, terdapat bangunan rumah adat Sulawesi Selatan (mewakili suku
Makassar, Mandar, Bugis, dan Toraja), sebuah meriam bernama “Baluwara
Agung”, sepanjang 9 meter dengn berat 9.500 kg, dan sebuah museum yang berisi
benda peninggalan sejarah Kerajaan Gowa.
Rumah adat Mamuju yang berada di Benteng Somba Opu didirikan oleh
pemerintah Mamuju kurang lebih 30-40 tahun yang lalu. Menurut yaitu salah satu
pemilik dari rumah adat tersebut mengatakan bahwa rumah adat Majene ini
dibangun sesuai dengan ciri tersendiri. Adapun maksud didirikanya rumah adat
tersebut kata beliau agar generasi-generasi selanjutnya dapat mengetahui dan juga
mempelajari budaya yang ada di Indonesia, contohnya seperti bangunan yang
memang dari dulu sudah ada walaupun tanpa rancangan terlebih dahulu mengenai
proses pembangunannya.Rumah adat mamuju ini merupakan salah satu sampel
yang dapat mencerminkan ciri khas bangunan yang ada di Indonesia. Rumah adat
Mamuju ini tidak serta merta langsung menjadi bangunan yang kokoh dan tahan
terhadap gempa, akan tetapi selalu terjadi revisi setiap terjadi suatu kerusakan
yang terjadi akibat bencana ataupun kejadian yang dapat memicu timbulnya
permasalahan pada rumah tersebut

B. Geografi

Gambar.4.1letak geografis rumah adat mamuju di benteng somba opu

(sumber : http://oheytourism.blogspot.com/2017/05/pengelolaan-pengunjung-di-
benteng-somba.htmldi akses tanggal 12Desember2019)
Lokasi revitalisasi yakni pada Benteng SombaOpu. Benteng Somba Opu
terletak di kampung Sapiria Kelurahan Sarombe Kecamatan Bontoala Kabupaten
Gowa Sulawesi Selatan. Letak astronomisnya adalah 5o 11’ 22” LS, 119o 24’ 4”
BT dengan ketinggian 0 – 10 meter.
Benteng Somba Opu dapat diakses dari pusat Kota Makassar (Lapangan
Karebosi) dengan angkutan kota (pete-pete) atau taksi. Jika menggunakan
angkutan kota, dari Lapangan Karebosi menumpang angkutan kota jurusan
Cenderawasih. Dari Cenderawasih berganti angkutan menuju Benteng Somba
Opu.

C. Situasi
Rumah adat ini terletak di Benteng Somba Opu, Jl. Dg. Tata, Benteng Somba
Opu terletak di kampung Sapiria Kelurahan Sarombe Kecamatan Bontoala
Kabupaten Gowa Sulawesi Selatan. Keunikan, kompleks Miniature Sulawesi
Selatan memiliki koleksi 27 bangunan rumah tradisional yang mewakili 4 etnis di
Sulawesi Selatan, yaitu Makassar, Bugis, Toraja, dan Mandar. Terdiri dari 23
rumah yang dibangun oleh setiap pemerintah daerah dan empa trumah yang
dibangun oleh pemerintah provinsi. Masih di dalam kompleks itu, wisatawan
dapat menjumpai Museum Karaeng Pattingalong. Museum menyimpan koleksi
seperti meriam kuno yang digunakan Kerajaan Gowa dalam perang Makassar
tahun 1669, pecahan dinding Benteng Somba Opu, batu-batu hias, dan koleksi
senjata tradisional. Begitu memasuki kawasan Benteng Somba Opu, akan segera
terlihat tembok Benteng yang kokoh. Menggambarkan system paertahanan yang
sempurna pada zamannya.
Meski terbuat daribatu-bata merah, dilihat dari ketebalan dinding, dapatlah
terbayangkan betapa benteng ini amat sulit ditembus dan diruntuhkan. Ada tiga
bastion yang masih terlihat sisa-sisanya, yaitu bastion disebelah barat daya,
bastion tengah, dan bastion barat laut. Yang terakhir ini disebut Buluwara Agung.
Di bastion inilah pernah ditempatkan sebuah meriam paling dahsyat yang dimiliki
orang Indonesia. Namanya Meriam Anak Makassar. Bobotnya mencapai 9.500
kg dengan panjang 6 meter dan diameter 4,14 cm. Sebenarnya, Benteng Somba
Opu sekarang ini lebih tepat dikatakan sebagai reruntuhan dengan sisa-sisa
beberapa dinding yang masih tegak berdiri. Bentuk benteng inipun belum
diketahui secara persis meski upaya ekskavasi terus dilakukan. Tetapi menurut
peta yang tersimpan di Museum Makassar, bentuk benteng ini adalah segi empat.
Di beberapa bagian terdapat patok-patok beton yang memberi tanda bahwa
didalamnya terdapat dinding yang belum digal. Memang, setelah berhasil
mengalahkan pasukan Kerajaan Gowa yang dipimpin Sultan Hasanuddin, Belanda
menghancurkan Benteng ini. Selama ratusan tahun, sisa-sisa benteng terbenam di
dalam tanah akibat naiknya sedimentasi dari laut. Secara arsitektural, begitu
menurut peta dokumen di Museum Makassar, benteng ini berbentuk segiempat
dengan luas total 1.500 hektar. Memanjang 2 kilometer dari barat ketimur.
Ketinggian dinding benteng yang terlihat saat ini adalah 2 meter. Tapi dulu, tinggi
dinding sebenarnya adalah7-8 meter dengan ketebalan 12 kaki atau 3,6 meter.
Benteng Somba Opu sekarang ini berada di dalam kompleks Miniatur Budaya
Sulawesi Selatan.
Wisatawan dapat menikmati bentu-bentuk rumah tradisional Sulawesi Selatan
seperti rumah tradisional Makassar, Bugis, Mandar, dan Toraja yang terletak tak
jauh dari Benteng. Di dalam kompleks ini pula setiap tahun digelar Pameran
Pembangunan Sulawesi Selatan. Taman miniature Sulawesi Selatan menyimpan
berbagai jenis rumah tradisional Sulawesi Selatan. Rumah-rumah tradisional itu
umumnya merupakan rumah panggung dengan arsitektur asli, terbuat dari kayu
dengan kualitas yang sangat baik. Bangunan Tongkonan (rumah tradisional
masyarakat Toraja) dengan atap melengkung berbentuk tanduk kerbau juga
didirikan di dalam kompleks ini.
Gambar.4.2.Peta zonasi situs somba opu

Sumber: https://twitter.com/savesombaopu/status/131253549299544064
D. Tata Letak
Pada rumah adat mamuju dalam Kompleks Miniatur Budaya Sulawesi Selatan
menghadap ke arah utara. Terkait arah rumah, orientasi pada rumah adat mamuju
menghadap ke arah utara. Hal ini dikarenakan masyarakat mamuju percaya bahwa
kebaikan datang dari arah utara.
Rumah adat ini merupakan rumah panggung yang ada di 1 area tak
terpisahkan. Ada beberapa komponen yang membentuk rumah ini. Rumah ini
memiliki rumah raja atau rumah utama dengan 11 anak tangga. Ada juga masing-
masing 1 rumah pengawal, rumah pandai emas dan besi, lumbung padi, dan
kandang kuda yang semuanya berbentuk rumah panggung.
Jika tampak dari samping, bangunan ini menunjukkan hiasan ukiran kayu
memanjang. Ada 3 jendela di tiap sisinya. Ada juga kayu penyangga yang
menancap di tanah dengan tinggi 2 meter. Rumah Joa atau rumah penjaga di kiri
rumah adat ini merupakan rumah adat yang tak terlalu besar. Rumah ini berbeda
dengan rumah raja, karena tak memiliki ukiran.
Di sisi kanan rumah adat Mamuju, kita juga bisa menemukan rumah adat
pandai emas dan besi. Di sana juga ada rumah lumbung padi. Sementara itu, kita
bisa menemukan kandang kuda di belakang istana. Sedangkan dibagian dalam
ruma adat raja, kita bisa menemukan singgasana raja. Sementara di depannya, ada
pilar kayu yang diukir. Di atasnya ada langit-langit dari kayu.

E. Denah
Suku Mandar merupakan suku mayoritas yang mendiami provinsi ini, tidak
heran jika desain dan arsitektur utama pada rumah tradisional Sulawesi Barat
banyak diadopsi dari kebudayaan khas atau tradisi dari suku Mandar, meskipun
telah bercampur dengan kebudayaan Bugis dan Makassar.
Maka jika Anda lihat bentuk rumah adatnya, sekilas terlihat hampir mirip
dengan rumah adat milik kedua suku tersebut.
Meski demikian, jika ditelisik lebih dalam, maka Anda akan menemukan
banyak perbedaan di antara bangunan dari suku-suku tersebut.
Rumah tradisional Sulawesi Barat dikenal dengan nama rumah boyang. Pada
bagian atap dan terasnya (lego) cenderung memiliki ukuran yang luas. Seperti
halnya rumah adat kebanyakan, rumah ini juga mengadopsi konsep rumah
panggung.
Konsep ini digunakan sebagai bentuk penyesuaian terhadap kondisi
lingkungan sekitar, serta meningkatkan keamanan dan kenyamanan bagi
penghuninya.
Rumah Mamuju terdiri dari beberapa ruangan atau lotang, dimana setiap
lotang memiliki fungsinya yang berbeda-beda.

Gambar.4.3. Denah lantai 1

Sumber: Fadel Safana Ombi, 2019


Gambar.4.3. Denah lantai 1

Sumber: Fadel Safana Ombi, 2019

Gambar.4.3. Denah atap

Sumber: Fauziah Azzahra,2019


F. Bentuk
Rumah adat mamuju merupakan rumah panggung yang memiliki bentuk yang
hampir sama dengan rumah adat suku Bugis dan Makassar. Perbedaanya terletak
pada bagian teras (lego) yang lebih besar dan atapnya seperti ember miring ke
depan.
Rumah tradisional Mamuju berbentuk panggung yang berdiri diatas tiang
tiang nya dimaksudkan untuk menghindari banjir dan binatang buas. Dan apabila
semakin tinggi tingkat kolong rumah menandakan semakin tinggi pula tingkat
status sosial pemiliknya.
Atap rumah umumnya terbuat dari sirap kayu besi, bambu, daun nipah,
rumbia, ijuk atau ilalang. Tangga terbuat dari kayu (odeneng) atau bambu
(sapana) dengan jumlah anak tangganya ganjil. Tingkat dinding berbentuk
segitiga yang bersusun sebagai atap juga menunjukan kedudukan sosial pemilik
rumah
Dalam pembuatan rumah adat tradisional di Mamuju terikat oleh lokasi, arah,
dan bahan bangunan, dan waktu dalam mendirikan bangunan sedangkan pada
Proses pembuatan rumah adat tradisional dari permulaan hingga bangunan siap
untuk ditempati tidak terlepas dari kegiatan upacara ritual dengan mengorbankan
ayam atau babi.
Struktur rumah adat mamuju terdiri atas tiga bagian, yakni atap, badan, dan
kolong (rumah panggung), selain karena pertimbangan fungsional sekaligus
tersirat makna filosofi. Secara fungsional bentuk rumah panggung adalah:
1. Menghindarkan gangguan dari binatang buas,
2. Lantai dapat menampung hawa panas di malam hari, sehingga cocok untuk
daerah dingin,
3. Kolong dapat berfugngsi praktis.
Gambar.4.3. Tampak Depan

Sumber: Amri Yahya, 2019

Gambar.4.4. Tampak Depan

Sumber: Dokumentasi survey, 2019


Gambar.4.3. Tampak Belakang

Sumber: Ahmad Riky, 2019

Gambar.4.3. Tampak Belakang

Sumber: Dokumentasi survey, 2019


Gambar.4.3. Tampak Samping Kanan

Sumber: Ahmad Rizky, 2019

Gambar.4.3. Tampak Samping Kanan

Sumber: Dokumentasi survey, 2019


Gambar.4.3. Tampak Samping Kiri

Sumber: Amri Yahya, 2019

Gambar.4.3. Tampak Sampinng Kiri

Sumber: Dokumentasi survey, 2019


Rumah adat Mamuju terdiri atas tiga bahagian “ethos kosmos”. Bagian
pertama disebut “tapang” yang letaknya paling atas, meliputi atap dan
loteng.bagian kedua disebut “roang boang” , yaitu ruang yang ditempati manusia,
dan bagian ketiga disebut “naong boyang” yang letaknya paling bawah.

ATAS

TENGAH

BAWAH

Gambar 4.6 Struktur atas, tengah, dan bawah

Sumber : Dokumentasi Survey, Fauziah Azzahra 2019


1. Struktur bawah
Hubungan kolom dengan umpak / pondasi.
Kolom berdimensi (20x20) didudukkan pada umpak (33x33) tidak ada
sambungan khusus yang menghubuungkan keduanya

Gambar. 4.13 Struktur Bawah (Hubungan Pondasi dan Kolom)

Sumber : Muhammad Rivaldy, 2019

Gambar. 4.12 Struktur Bawah

Sumber : Dokumentasi Survey, 2019


2. Struktur tengah
a) Detail tangga

Gambar. 4.12 Struktur tengah (detail tangga)

Sumber : Nur Humairah, 2019

Gambar. 4.12 Struktur tengah (hubungan ikatan antara ibu tangga


dengan balok lantai)

Sumber : Rifaldi, 2019


Gambar. 4.12 Struktur tengah (hubungan anak tangga dan ibu tangga)

Sumber : Sri Fadil, 2019

Gambar. 4.12 Struktur tengah

Sumber : Dokumentasi Survey, 2019


b) Hubungan Kolom dengan Balok Induk
Pada bagian ini menggunakan hubungan Pen dan Lobang (Tembus)

Gambar. 4.12 Struktur tengah (Hubungan Kolom dengan Balok Induk)


Sumber : Rifaldi, 2019

Gambar. 4.12 Struktur tengah (Hubungan Kolom dengan Balok Induk)


Sumber : Dokumentasi survey, 2019
c) Hubungan Balok Induk dengan Balok Anak
Balok Anak dipasang ke Balok Induk Bawah dengan system
pemasangan menggunakan Paku.

Gambar. 4.12 Struktur tengah (Hubungan Balok Induk dengan Balok Anak )

Sumber : Nur Asyifah Man, 2019

Gambar. 4.12 Struktur tengah (Hubungan Balok Induk dengan Balok Anak )

Sumber : Dokumentasi survey, 2019


d) Hubungan Balok Anak dengan Lantai
Papan dipasang langsung ke Balok Anak menggunakan system paku.

Gambar. 4.12 Struktur tengah (hubungan balok anak dengan lantai)

Sumber : Fauziah Armanda Sardewi, 2019

Gambar. 4.12 Struktur tengah (hubungan balok anak dengan lantai)

Sumber : Dokumentasi survey, 2019


e) hubugan partisi dengan lantai
Demikian pula bentuk pola lantainya yang segi empat, penggunaan papan
atau bambu terkait dengan tingkat ekonomi pemilik ruma. Adapun petaktersebut
terdiri atas “tallu lotang” (tiga petak).
i. Petak pertama disebut “samboyang” (petak bagian depan)
petak ini berfungsi untuk menerima tamu, tempat tidur tamu bila
ada yang bermalam, tempat atau pusat pelaksanaan kegiatan bila ada
hajatan yang dilakukan di dalam rumah, tempat membaringkan mayat
sebelum dibawah ke kubur. Berdasarkan fungsi-fungsi tersebut, maka
ruang tersebut menjadi titik perhatian pemilik rumah untuk senantiasa
menjaga kebersihan, keindahan dan kerapian di ruang tersebut. Oleh
karena itu, aktivitas keluarga yang berkenaan dengan interaksi antara
sesama anggota keluarga tidak banyak dilakukan di ruangan itu.
ii. petak kedua disebut “tangnga boyang” (petak bagian tengah)
petak ini berfungsi sebagai ruang keluarg, dimana aktivitas
keluarga dan hubungan sosial antara sesama anggota rumah tanggga
frekuensinya lebih banyak berlangsung di ruangan ini. Misalnya, televisi,
radio, tape recorder, VCD dan berbagai peralatann lainnya di tempatkan
di ruangan ini. Selain itu, didalam petak ini sering ditempatkan songi
(kamar tidur) bagi kepala keluarga beserta isterinya dan anak anak yang
masih kecil.
iii. dan petak ketiga disebut “bui lotang” (petak belakang).
Petak ini serin ditempatkan songi unntuk anak gadis atau para
orang tua seperti kakek dan nenek. Penempatan songi untuk anak
gadislebuh menekankan pada fungsi pengamanan dan perlindungan
untuk menjaga harkat dan martabat keluarga. Sesuai kodratnya anak
gadis memerlukan perlindungan yang terjamin. Ruang belakang
dibandingkan dengan ruang tengah dan ruang depan, tempatnya lebih
aman dan terlindung dari berbagai hal yanng akan merusak citra
keluarga.
Gambar. 4.12 Struktur tengah (hubugan partisi dengan lantai)

Sumber : Fadel Safana Ombi, 2019

Gambar. 4.12 Struktur tengah (hubugan partisi dengan lantai)

Sumber : Dokumentasi survey, 2019


f) Detail pintu
Pintu yang ada pada rumah adat menggunakan sistem bukaan kedalam.

Gambar. 4.12 Struktur tengah (detail pintu)

Sumber : Aprilianita Rezki, 2019

Gambar. 4.12 Struktur tengah (detail pintu)

Sumber : Dokumentasi survey, 2019


g) Detail jendela
Jendela yang ada pada rumah adat menggunakan system dua bukaan keluar.

Gambar. 4.12 Struktur tengah (detail jendela)

Sumber : Nur Asyifah Man, 2019

Gambar. 4.12 Struktur tengah (detail jendela)

Sumber : Dokumentasi survey, 2019


h) Detail railing
Railing yang terdapat di peralihan (penghubung bangunan utama)

Gambar. 4.12 (detail railing selasar penghubung bangunan utama)

Sumber : Fauziah Azzahra, 2019

Gambar. 4.12 Struktur tengah (railing selasar penghubung bangunan)

Sumber : Muh. Nur Kamil, 2019


Gambar. 4.12 Struktur tengah (detail railing)

Sumber : Dokumentasi survey, 2019

Gambar. 4.12 Struktur tengah (detail railing selasar penghubung)

Sumber : Dokumentasi survey, 2019


i) Detail rangka plafond lantai 1

Gambar. 4.12 Struktur tengah (detail rangka plafond lantai 1)

Sumber : Nursyeilah Naida, 2019

j) Rencana kusen

Gambar. 4.12 Struktur tengah (rencana kusen)

Sumber : Nur Asyifah Man, 2019


k) Rencana instalasi listrik lantai 1

Gambar. 4.12 Struktur tengah (rencana instalasi listrik lantai 1)

Sumber : Muh. Nur Kamil, 2019

l) Rencana plafond lantai 1

Gambar. 4.12 Struktur tengah (rencana plafond lantai 1)

Sumber : Nur Humairah, 2019


3. Struktur atas
Struktur bangunan rumah adat Mamuju, bagian paling atas, yaitu “ate” (atap).
Atap rumah berbentuk plana yang memanjang ke belakang menutupi seluruh
bagian atas rumah.

a) Detail kuda kuda

Gambar. 4.12 Struktur atas(detail kuda kuda)

Sumber : Nursyeilah Naida, 2019


b) Detail rangka plafond lantai 2

Gambar. 4.12 Struktur atas(detail rangka plafond lantai 2)

Sumber : Nursyeilah Naida, 2019


c) Hubungan kolom dengan overstek

Gambar. 4.12 Struktur atas(hubungan kolom dengan overstek)

Sumber : Ahmad Rizky, 2019

Gambar. 4.12 Struktur atas(hubungan kolom dengan overstek)

Sumber : Dokumentasi survey, 2019


d) Hubungan rangka plafond dengan overstek

Gambar. 4.12 Struktur atas(hubungan rangka plafond dengan overstek)

Sumber : Nursyeilah Naida, 2019

Gambar. 4.12 Struktur atas(hubungan rangka plafond dengan overstek)

Sumber : Dokumentasi survey, 2019


e) Rencana instalasi listrik lantai 2

Gambar. 4.12 Struktur atas(rencana instalasi listrik lantai 2)

Sumber : Muh. Nur Kamil 2019

f) Rencana plafond lantai 2

Gambar. 4.12 Struktur atas(rencana plafond lantai 2)

Sumber : Nur Humairah, 2019


g) Rencana rangka plafond lantai 2

Gambar. 4.12 Struktur atas(rencana rangka plafond lantai 2)

Sumber : Aprilianita Rezki, 2019

h) Rencana rangka atap

Gambar. 4.12 Struktur atas(rencana rangka atap)

Sumber : Fauziah Azzahra, 2019


G. Ornamen
Pada umumnya setiap rumah tradisional, baik rumah bangsawan maupun
orang biasa akan memakai hiasan (ornamen). Akan tetapi, ornamen untuk rumah
bangsawan biasanya lebih banyak, baik dari segi kuantitas maupun variasi.
Ornamen berfungsi sebagai identitas sosial. Pola dasar ornamen pada umumnya
bersumber dari alam sekitar manusia, seperti flora, fauna, fenomena alam, agama,
dan kepercayaan.
Akan tetapi, ornamen yang terdapat pada rumah adat Mamuju khususnya
di kawasan Benteng Somba Opu ini, hanya terdapat satu ornamen yang kita
jumpai yaitu terali terali yang dipasang pada jendela dan peralihan,atau biasa juga
disebut dengan kata railing.

Gambar. 4.12
ornamen hias yang berbentuk terali -terali yang dipasang secara
vertikal di peralihan bangunan utama.

Sumber : Dokumentasi Survey, Fauziah Azzahra, 2019


Gambar. 4.12
ornamen hias yang berbentuk terali -terali yang dipasang secara
vertikal di dinding lego- lego dan di jendela.

Sumber : Dokumentasi Survey, Fauziah Azzahra, 2019


BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan
Indonesia adalah negara kepulauaan yang kaya akan keanekaragaman budaya,
hal ini pun berpengaruh terhadap bentuk dan ragam hunian atau rumah tinggal
pada tiap daerah yang berbeda yang karakteristiknya pun menyesuaikan
kebutuhan pemiliknya serta lingkungan masyarakat dan alam sekitar. Karena
itulah banyak sekali ragam rumah tinggal adat tradisional daerah yang dimiliki
oleh Indonesia.
Akan tetapi dewasa ini kekayaan budaya yang dimiliki Indonesia semakin
berkurang jumlahnya dan terancam kepunahannya, termasukrumah adat
tradisional daerah. Modernisasi dan globalisasi yang pesat berkembang saat ini,
kurangnya perhatian masyarakat dan pemerintah akan pelestarian rumah adat
tradisional, mendorong makin mudahnya bangunan adat tradisionaltersingkirkan
oleh bangunan-bangunan yang dianggap lebih relevan terhadap kondisi dan
kebutuhan masyarakat masa kini.
Adapun warisan ini dapat kita jumpai pada Taman Miniatur Budaya
Ssulawesi Selatan Benteng Somba Opu, yang mana memuat beragam jenis
rumah adat yang ada di Sulawesi termasuk ”Rumah Adat Kabupaten Mamuju”
yang kini keberadaannya semakin lama semakin berkurang akibat perkembangan
zaman.
Untuk itu dalam laporan mengenai studi mempelajari Rumah Adat
Tradisional Kabupaten Mamuju melalui pengamatan dan survei secara langsung
ini dapat menjadi sebuah hasil laporan yang juga dapat ikut melestarikan keilmuan
mengenai rumah adat tradisional di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA

https://news.okezone.com/nasional/pasangkayu/okepediadi

http://mamujukab.go.id/topografi-kabupaten-mamuju/di akses tanggal


11Desember2019)

http://mamujukab.go.id/topografi-kabupaten-mamuju/, di akses tanggal

http://oheytourism.blogspot.com/2017/05/pengelolaan-pengunjung-di-benteng-
somba.html

http://oheytourism.blogspot.com/2017/05/pengelolaan-pengunjung-di-benteng-
somba.html

http:// e- Book Arsitektur Mandar Kab. Mamuju, Sulawesi Selatan

Anda mungkin juga menyukai