Bab Revisi
Bab Revisi
PENDAHULUAN
A. LatarBelakang
Indonesia adalah negara kepulauan yang kaya akan keanekaragaman budaya,
hal ini pun berpengaruh pada Bentuk dan ragam hunian atau rumah tinggal pada
tiap daerah yang berbeda yang karakteristiknya pun menyesuaikan kebutuhan
pemiliknya serta lingkungan masyarakat dan alam sekitar. Karena itulah banyak
sekali ragam Rumah tinggal Adat Tradisional Daerah yang dimiliki oleh
Indonesia.
Akan tetapi dewasa ini kekayaan budaya yang dimiliki Indonesia semakin
berkurang jumlahnya dan terancam kepunahannya, termasuk rumah Adat
Tradisional Daerah. Modernisasi dan Globalisasi yang pesat berkembang saat ini,
kurangnya perhatian masyarakat dan Pemerintah akan pelestarian Rumah Adat
Tradisional, mendorong makin mudahnya bangunan adat tradisional tersingkirkan
oleh bangunan-bangunan yang dianggap lebih relevan terhadap kondisi dan
kebutuhan masyarakat masa kini.
Warisan ini dapat dijumpai pada Taman Miniatur Budaya Sulawesi Selatan
Benteng Somba Opu, yang mana memuat beragam jenis rumah adat yang ada di
Sulawesi termasuk Rumah Adat Kabupaten Mamuju yang kini keberadaannya
semakin lama semakin berkurang akibat perkembangan zaman.
Untuk itu dalam laporan mengenai studi mempelajari Rumah Adat Tradisional
Kabupaten Mamuju melalui pengamatan dan survei secara langsung ini dapat
menjadi sebuah hasil laporan yang juga dapat ikut melastarikan keilmuan
mengenai rumah adat tradisional di Indonesia.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Arsitektur Tradisional Suku Mandar ?
D. Metode Pembahasan
E. Sistematika Pembahasan
Pembahasan hasil penelitian ini akan disistematika menjadi lima bab yang
saling berkaitan satu sama lain. Pada bab pertama atau pendahuluan berisi sub
bab; latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan sasaran pembahasan, lingkup
pembahasan, serta sistematika pembahasan. Pada bab kedua berisi gambaran
umum kabupaten Majene dimana didalamnya menjelaskan tentang :
1. Geografis, Topografis, Administratif,dan Sejarah
Kabupaten Mamuju terdiri dari 11( sebelas) kecamatan, dan 13(tiga belas)
kelurahan, dan 88 (delapan puluh delapan )desa, yakni kecamatan Bone Hau,
Kalukku, Kalumpang, Kepulauaan Bala Balakang, Mamuju, Papalang,
Sampaga, Simboro, dan Kepulauan Mamuju, Tapalang, Tapalang Barat, dan
Tommo.
Kabupaten mamuju dengan luas wilayah 1.105.781 Ha. Pada tahun 2001
secara administrasipemerintah terbagi atas 15 kecamatan, terdiri dari 115
Desa, 8 kelurahan, serta 12 unit pemukiman transmigrasi (UPT).
1. Kec. Bonehau 9
2. Kec. Kalukku 10
3. Kec. kalumppang 13
4. Kec.Kep.bala- 2
balakang
5. Kec. mamuju 4
6. Kec. papalang 9
7. Kec. sampaga 7
8. Kec. simboro 6
9. Kec. tapalang 7
B. Sejarah
Mamuju adalah salah satu dari lima kabupaten di Provinsi Sulawesi Barat.
Sewaktu masih tergabung dalam Provinsi Sulawesi Selatan, bersama Kabupaten
Polewali Mamasa dan Kabupaten Majene, Kabupaten Mamuju tergabung sebagai
kawasan yang dulunya disebut Afdeling Mandar. Yang mana ibukotanya adalah
Onderafdeling Mamuju. Adapun onderafdeling lain ialah Onderafdeling
Polewali, Onderaafdeling Mamasa, dan Onderafdeling Majene. Belakangan, saat
sistem afdeling atau onderafdeling dihapus, onderafdeling-onderafdeling di atas
ada yang digabung, ada tetap berdiri sendiri tapi dengan istilah yang berbeda.
Onderafdeling Polewali dan Onderafdeling Mamasa menjadi Kabupaten Polewali
Mamasa, Onderafdeling Majene menjadi Kabupaten Majene, dan Onderafdeling
Mamuju menjadi Kabupaten Mamuju. Afdeling Mandar pun dihapus, dilebur
bersama afdeling lain di bagian selatan yang kemudian menjadi Provinsi Sulawesi
Selatan.
Namun pada tahun 2004, yang dulunya tergabung dalam Afdeling Mandar
menjadi daerah yang disebut Provinsi Sulawesi Barat. Pun dibentuk daerah
otonomi baru yakni Kabupaten Polewali Mamasa dibagi menjadi dua, yaitu
Kabupaten Polewali Mandar dan Kabupaten Mamasa. Demikian juga Kabupaten
Mamuju, dibagi menjadi Kabupaten Mamuju dan Kabupaten Mamuju Utara.
Dengan latar belakang historisnya di atas, sampai saat ini Kabupaten Majene
dikenal sebagai ibukota Mandar (tua). Selain sebagai posisinya ibukota Afdeling
Mandar, juga jauh sebelumnya, di masa kerajaan-kerajaan, salah satu kerajaan
yang ada di (Kabupaten) Mamuju dianggap sebagai “Indoq” (ibu) dalam
persekutuan tujuh kerajaan di pesisir pantai, Pitu Baq bana Binanga. Yaitu
Kerajaan Sendana. Posisinya sederajat dengan Kerajaan Balanipa (saat ini masuk
Kabupaten Polewali Mandar) yang disebut “Kamaq” (ayah). Selain sebagai
ibukotanya Mandar, Kabupaten Mamuju juga disebu tkota pendidikan sebab
dulunya pusat pendidikan di Afdeling Mandar adalah Mamuju. Itulah sebab dalam
kebijakan pembangunan Provinsi Sulawesi Barat, diputuskan bahwa
Ada pendapat mengenai asal mula penamaan Mamuju. Bukti sejarah
kebudayaan tua lainnya ialah ada satu lembar bendera tua yang bertuliskan
kalimat syahadat yang umurnya juga sudah ratusan tahun dibawa datang oleh
penyebar agama islam yang berasal dari luar Sulawesi yaitu pulau Sumatra.
Penyebar agama islam yang pertama di Mamuju ialah seorang wali yang bernama
PUATTA SALAMA (1500). Begitu pula ada sebilah keris pusaka bernama
badong berasal dari hasil perkawinan anak raja Mamuju dengan anak raja badung
bali melahirkan seorang manusia yang bernama LASALAGA kembar dengan
sebuah keris Lasalaga dikuburkan di kampung Timbu Mamuju (Topeloda Batu).
Sejarah perkembangan daerah Mamuju berdasarkan penelitian yang
dikemukakan bahawasanya di Mamuju sudah terdapat pemukiman neolitik
masing-masing di Minanga, Simakko, Kamesi dan Kalumpang dimana hal ini
ditandai dengan alat-alat kesehariannya berupa batu, pakaian dari kulit kayu serta
gerabah yang cukup halus dengan hiasan yang halus. Selain peralatan yang
dimaksud diatas juga dengan ditemukannya patung budha yang dikenal dengan
nama patung sikendeng tepatnya pada tahun 1937, tipe patung itu adalah
amarawati yang disinyalir berasal dari atau dibawah dari India selatan di
pelabuhan internasional sikendeng.
PELRAS didalam bukunya The Bugis, Sikendeng itu pada abad ke 2 sampai
ke 5 masehi merupakan pelabuhan internasional dimana telah dilakukan ekspor
berupa bijih besi, damar, rotan, hasil laut teripang dan berbagai jenis ikan, dan
hasil bumi lainnya. Selain pendapat PELRAS tersebut juga lebih mengejutkan
laporan Jhon Dalton (Juli 1831) yang menyebutkan bahwa di Mamuju pada saat
itu hubungan dengan dunia sudah begitu lancar, Perdagangan dengan Kaili
dimana raja mengumpulkan emas dari penduduk untuk keperluan membeli peluru-
peluru buatan Amerika, hal ini dibuktikan pada tahun 1700 sampai 1800. Kerajaan
Benawa (Gorontalo) dan Teluk Tomini ditaklukkan oleh orang-orang Mamuju
(Mandar}
Selanjutnya pada tahun 1540 berdasarkan catatan sejarah internasional bahwa
Mamuju memiliki pelabuhan internasional (kurri-kurri) dimana didalam peta
pelayaran Portugis pada tahun tersebut dicatat bahwa pelabuhan kurri-kurri
menjadi persinggahan orang-orang portugis membawa komoditas pada rute
kerajaan siang di Pangkep sebelum Gowa dan Manado Tua (Sulawesi Utara)
Keberadaan Mamuju disejajarkan Mandar berdasarkan Lontara 4, 1 To
Makaka dan 4 diantaranya adalah To Makaka dari Mamuju yakni To Makaka
dari Lebani, To Makaka dari Kalukku, To Makaka dari Kalumpang dan To
Makaka dari Lumu. Dari Keempat To Makak amenyatukan diri dibawah naungan
Mamuju dengan kerajaan kecil dibawahnya masing-masing : Kerajaan simboro,
Tambayako, Kurri-Kurri Pangale Lara Karossa, baras, dan To Makaka di
Kalumpang to Bara di Budong-budong. Sejarah kerajaan mamuju
Dari kerajaan-kerajaan tersebut diatas diikat oleh talli (ikrar) bahwasanya
mereka menyatu dalam satu rumpun yakni rumpun Mamuju. Dari berbagai
peristiwa yang diungkapkan diatas dan berbagai ungkapan-ungkapan tradisional
seperti antara lain: “Todiari Teppo Dulu Parullui Dikilalai Sule Wattuiate’e
Laiyalai Mendiari Peppondanganna Katuoatta’ ilalanera Laittingayoianna”.
Artinya : “Kejadian dan cerita masa lalu perlu dikenang dan dihayati di hari
ini, sebagai dasar untuk menyongsong kehidupan hari esok yang lebih baik”.
Sejarah pada hakekatnya mencakup peristiwa-peristiwa masa lampau yang
berperan sebagai konsisten dan imendier konstituen karena manusia sebagai
mahluk sosial senantiasa terpanggil untuk menempatkan diri sebagai salah satu
unsur dari setiap peristiwa.
D. Kosmologi
Pada masyarakat tradisional Indonesia, perbuatan manusia itu selalu
berdimensi dua atau “dwimatra”; yaitu “mistik” dan “simbolik”. Untuk
mengungkap kepercayaan akan makna hidup, manusia menggunakan tanda –
tanda atau “simbol”. Ada dua macam tanda penting, pertama : “mitosasal”, atau
tafsir tentang makna hidup berdasarkan asal kejadian masa lalu. Kedua : “Ritual”
berupa upacara atau perlakuan simbolis yang berfungsi atau dimaksudkan untuk
memulihkan harmoni tatanan alam agar tetap selaras dengan manusia, agar
manusia dapat terhindar dari malapetaka dan mendapatkan keselamatan serta
kesejahteraan dalam kehidupan. Itulah dasar-dasar filosofi yang mewarnai
“Budaya” masyarakat tradisional Indonesia. Pola pemikiran masyarakat
tradisional pada umumnya hidup dalam budaya “kosmologi” yang menyeluruh.
Awalnya, kehidupan manusia hanya terbatas dan berpusat pada kehidupan
dirinya sendiri, “Egocentrum”. Kemudian manusia mengembangkan diri melalui
dorongan naluri dan nalarnya guna memenuhi kebutuhan hidupnya, maka
kehidupan ”egocentrum” kemudian berubah menjadi bagian integral dari
kehidupan habitat sekitarnya, yang diatur dalam sebuah tatanan “budaya” atau
“kebudayaan”. Identitas Arsitektur Tradisional Mandar tergambar dalam bentuk
rumah tradisional yang disebut ”boyang” . dikenal adanya dua jenis boyang, yaitu
: ”boyang adaq” dan ”boyang beasa”. ”Boyang adaq” ditempati oleh keturunan
bangsawan, sedangkan ”boyang beasa” ditempati oleh orang biasa. Pada ”boyang
adaq” diberi penanda sebagai simbolik identitas tertentu sesuai tingkat status
sosial penghuninya. Simbolik tersebut, misalnya ”tumbaq layar” yang bersusun
antara 3 sampai 7 susun, semakin banyak susunannya semakin tinggi derajat
kebangsawanan seseorang. Sedangkan pada boyang beasa, ”tumbag layar” nya
tidak bersusun. Simbolik lain dapat dilihat pada struktur tangga. Pada boyang
adaq, tangganya terdiri atas dua susun, susunan pertama yang terdiri atas tiga
anak tangga, sedangkan susunan kedua terdiri atas sembilan atau sebelas anak
tangga.
Kedua susunan anak tangga tersebut diantarai oleh pararang. Sedangkan
boyang beasa, tangga tidak bersusun. Rumah tradisional Mandar berbentuk
panggung yang terdiri atas tiga bahagian, sama ”Ethos Kosmos” yang berlaku
pada etnis Bugis Makassar. Bagian pertama disebut ”tapang” yang letaknya
paling atas, meliputi atap dan loteng. Bagian kedua disebut ”roang boyang” , yaitu
ruang yang ditempati manusia, dan bagian ketiga disebut ”naong boyang” yang
letaknya paling bawah.
Demikian pula bentuk pola lantainya yang segi empat, terdiri atas ”tallu
lotang” (tiga petak). Petak pertama disebut ”samboyang” (petak bagian depan),
petak kedua disebut ”tangnga boyang” (petak bagian tengah) dan petak ketiga
disebut ”bui’ lotang” (petak belakang). Tatanan dan aturan rumah adat, tiga susun
dan tiga petak menunjukkan makna pada filosofi orang Mandar yang berbunyi :
”da’dua tassasara, tallu tammallaesang” (dua tak terpisah, tiga saling
membutuhkan). Adapun dua yang tak terpisahkan itu adalah aspek hukum dan
demokrasi, sedangkan tiga saling membutuhkan adalah aspek ekonomi, keadilan,
dan persatuan. Struktur bangunan rumah orang mandar, terdiri dari bagian paling
atas, yaitu ”ate” (atap). Atap rumah berbentuk prisma yang memanjang
kebelakang menutupi seluruh bagian atas rumah. Pada masa lalu, rumah-rumah
penduduk, baik boyang adaq maupun boyang beasa menggunakan atap rumbia.
Hal ini disebabkan karena bahan tersebut banyak tersedia dan mudah untuk
mendapatkannya. Pada bagian depan atap terdapat ”tumbaq layar” yang memberi
”identitas” tentang status penghuninya. Pada ”tumbaq layar” tersebut dipasang
ornamen ukiran bunga melati. Di ujung bawah atap, baik pada bagian kanan
maupun kiri diberi ornamen ukiran burung atau ayam jantan. Pada bagian atas
penutup bubungan, baik di depan maupun belakang dipasang ornamen yang
tegak keatas. Ornamen itu disebut ”teppang”. Di bawah atap terdapat ruang
yang diberi lantai menyerupai lantai rumah. Ruang tersebut diberi nama ”tapang”.
Lantai tapang tidak menutupi seluruh bagian loteng.
Pada umumnya hanya separuh bagian loteng yang letaknya di atas ruang tamu
dan ruang keluarga. Tapang berfungsi sebagai gudang untuk menyimpan barang-
barang. Bila ada hajatan dirumah tersebut, tapang berfungsi sebagai tempat
menyimpan bahan makanan sebelum dihidangkan atau didistribusikan. Pada masa
lalu, ”tapang” tersebut sebagai tempat atau kamar calon pengantin wanita.
Iaditempatkan pada kamar tersebut sebagai tindakan preventif untuk menjaga
”siriq” (harga diri). Untuk naik ke tapang, terdapat tangga yang terbuat dari balok
kayu atau bambu. Tangga tersebut dirancang untuk tidak dipasang secara
permanen, hanya dipasang pada saat akan digunakan. Rumah orang Mandar, baik
boyang adaq maupun boyang beasa mengenal tiga petak ruangan yang disebut
lotang. Ruangan tersebut terletak di bawah tapang yang menggunakan lantai yang
terbuat dari papan atau bilah bambu.
Adapun ketiga ”lotang” ruangan tersebut adalah : ”Samboyang”, yaitu petak
paling depan. ”Tangnga boyang”, petakbagian tengah rumah. Petak ini berfungsi
sebagai ruang keluarga, di mana aktivitas keluarga dan hubungan sosial antara
sesama anggota rumah tangga. ”Bui’ boyang”, petak paling belakang. Petak ini
sering ditempatkan ”songi” (kamar) untuk anak gadis atau para orang tua seperti
nenek dan kakek. Penempatan songi untuk anak gadis lebih menekankan pada
fungsi pengamanan dan perlindungan untuk menjaga harkat dan martabat
keluarga. Sesuai kodratnya anak gadis memerlukan perlindungan yang lebih baik
dan terjamin. Ketiga petak di dalam roang boyang tersebut memiliki ukuran lebar
yang berbeda. Petak yang di tengah biasanya lebih lebar dibanding dengan petak-
petak yang lainnya. Sedangkan petak yang paling depan lebih lebar dibanding
dengan petak yang paling belakang. Khusus pada boyang adaq, di dalam roang
boyang terdapat ruangan atau petak yang lantainya lebih rendah ”tambing” atau
”pelleteang”. Letaknya selalu dipinggir dengan deretan tiang yang kedua dari
pinggir, mulai dari pintu depan kebelakang. Ruangan ini merupakan tempat
lalulalang anggota keluarga. Olehnya itu, pemasangan lantai yang terbuat dari
papan agak dijarangkan agar berbagai kotoran, seperti debuh, pasir, dan
sebagainya dapat lebih mudah jatuh ke tanah. Selain itu, ruang ini juga berfungsi
untuk menerima tamu dari kalangan masyarakat biasa dan ata (budak). Bangunan
tambahan yang diletakkan di belakang bangunan induk disebut ”paceko” (dapur).
Bangunan tersebut biasanya dibuat secara menyilang dengan bangunan induk.
Panjangnya minimal sama dengan lebar bangunan induk, dan lebarnya minimal
sama dengan satu petak bangunan induk. Bangunan ini disertai ruang yang
lapang, sehingga mempunyai banyak fungsi. Pada ”paceko” juga tersedia tempat
buang air kecil yang disebut ”pattetemeangang”. Bangunan tambahan yang ada di
depan rumah yang disebu tdengan ”legolego” (teras). Bangunan ini biasanya
lebih sempit dibanding dengan bangunan tambahan bagian belakang. Kendati
demikian, bangunan tersebut tampak lebih indah dihiasi berbagai ornamen, baik
yang berbentuk ukiran maupun yang berbentuk garis-garisvertikal dan horisontal.
Fungsi bangunan ini adalah sebagai tempat sandaran tangga depan, tempat
istirahat pada sore hari dan tempat duduk sebelum masuk rumah.
Rumah tradisional Mandar, baik ”boyang adaq” maupun boyang beasa pada
umumnya mempunyai dua tangga, yaitu tangga depan dan tangga belakang.
Setiap tangga mempunyai anak tangga yang jumlahnya selalu ganjil. Jumlah anak
tangga pada setiap tangga berkisar 7 sampai 13 buah. Jumlah tersebut disesuaikan
dengan tinggi rumah. Pada umumnya, boyang adaq memiliki anak tangga yang
lebih banyak, yaitu berkisar 11 sampai 13 buah. Sedangkan ”boyang beasa”
sekitar 7 sampai 9 buah. Pada boyang adaq, tangga depannya bersusun dua
dilengkapi dengan pasangan. Sedangkan ”boyang beasa”, tangganya tidak
bersusun dan tidak dilengkapi pegangan. Terdapat ruang di bawah lantai yang
disebut ”naong boyang” (kolong rumah). Pada masa lalu, kolong rumah hanya
berlantai tanah. Ditempat itu sering dibuatkan ”rambang” sebagai kandang ternak.
Ada kalanya sebagai tempat manette (menenun) kain sarung bagi kaum
wanita. Bagian yang lain pada rumah adalah rinding (dinding). Dinding rumah
terbuat dari kayu (papan) dan bambu (taqta dan alisi ). Pada umumnya, boyang
adaq mempunyai dinding yang terbuat dari papan. Sedangkan boyang beasa selain
berdinding papan, juga ada yang berdinding taqta dan alisi, rumah yang
berdinding taqta dan alisi, penghuninya berasal dari golongan ata (beasa). Dinding
rumah dirancang dan dibuat sedemikian rupa sesuai tinggi dan panjang setiap sisi
rumah dan dilengkapi jendela pada setiap antara tiang. Hal itu dibuat secara utuh
sebelum dipasang atau dilengketkan pada tiang rumah.
Pembuatan dinding seperti itu dimaksudkan untuk lebih memudahkan
pasangannya, demikian pula untuk membukanya jika rumah tersebut akan
dibongkar atau dipindahkan. Mendirikan rumah ”boyang” melalui suatu tahapan
kegiatan yang meliputi persiapan, membangun ”boyang” dan hasil kegiatan
berupa ”bangunan” atau rumah tradisional. Dalam proses persiapan ada beberapa
hal yang patut diperhitungkan, yaitu bahan baku yang tersedia dari lingkungan
alam sekitar (lokal) maupun dari luar (dari daerah lain), menyiapkan ”pappapia
buyang”(tukang dan ahli) sesuai latar belakang sosial budaya penghuninya. Gaya
arsitektur tradisional banyak dipengaruhi oleh jenis bahan baku yang tersedia
disekitar lingkungan alam setempat. Suatu bangunan rumah ”boyang” tidak hanya
berfungsi sebagai tempat tinggal, tetapi memiliki nilai dan makna tersendiri sesuai
dengan adat istiadat masyarakat tradisional Mandar.
Olehnya itu, suatu rumah tradisional memiliki ciri khas terutama pada
tipologi, interior/eksterior, dan ornamen yang ada didalamnya. Membangun
rumah tradisional mandar memerlukan beberapa rangkaian kegiatan seperti
musyawarah antar sesama keluarga atau kerabat, pemilihan lokasi atau tempat
mendirikan rumah, dan pengadaan bahan baku untuk tiang, lantai, atap dan
sebagainya. Bagi orang Mandar, setiap akan membangun rumah ”boyang”
senantiasa didahului dengan suatu pertemuan antara seluruh keluarga atau kerabat.
Dalam pertemuan tersebut dilakukan musyawarah, yang biasanya dipimpin oleh
anggota keluarga yang lebih tua dan banyak tahu tentang nilai-nilai dan adat
istiadat dalam masyarakat tradisionalnya. Untuk mendapatkan hasil yang baik
dalam pelaksanaan musyawarah dihadirkan pula pappapia boyang (tukang ahli
rumah).
Musyawarah lebih diutamakan pada penilaian status sosial yang akan
menempati rumah tersebut. Sebab dari status sosial yang akan menempati rumah
tersebut. Dapat diketahui jenis dan bentuk rumah yang akan dibangun. Kalau yang
bersangkutan berstatus bangsawan, maka jenis rumah yang akan dibangun adalah
”boyang adaq”, bila yang bersangkutan berasal dari golongan masyarakat biasa,
maka rumah yang akan dibangun adalah ”boyang beasa”. Dalam musyawarah
tersebut penilaian dan penentuan susunan tumbaq layar juga dibicarakan.
Pemilihan waktu mendirikan ”boyang” juga sangat penting, karena terkait dengan
kepercayaan masyarakat tradisionalnya. Menurut mereka, ada waktu yang baik
dan ada waktu yang buruk. Waktu yang baik selalu dihubungkandengan
”keberuntungan” dan ”keselamatan”. Pemilihan waktu. Sedangkan waktu yang
buruk selalu dihubungkan dengan ”bala”, bencana dan ketidak mujuran, karena itu
kegiatan awal dalam memulai mengerjakan rumah senantiasa berpedoman pada
waktu-waktu baik, hari-hari baik adalah senin, kamis, dan jumat. Bulan-bulan
tertentu dianggap kurang baik, seperti Muharram, Syafar, Jumadil Awal, dan
Dzulkaiddah. Pemilihan tempat mendirikan ”boyang” sangat terkait dengan
kepercayaan tradisi masyarakat tentang adanya tanah yang baik dan kurang baik
untuk dibanguni ”boyang”. Tanah yang baik adalah tanah yang agak keras, tidak
lembek. Biasanya berada pada daerah yang relatif sedikit tinggi atau bukit. Selain
itu, tanah tersebut sebaiknya ”berbau wangi”. Tanah seperti ini memberi makna
keharuman, agar keluarga mereka kelak dapat memperoleh kebahagiaan,
keharmonisan dalam rumah tangga.
Orientasi rumah ”boyang” yang paling baik adalah berorientasi pada arah
yang mengandung makna positif, yaitu arah timur tempat matahari terbit. Arah
pergerakan matahari yang menanjak naik mengandung makna kebaikan, yaitu
selalu bertambah ”naik” . dalam pengertian ini, yang diharapkan selalu bertambah
adalah nasib baik, terutama rezki dan amal kebijakan. Dengan arah rumah
ketimur, cahaya matahari pagi dapat menyinari ruang lego-lego hingga kedalam
rumah. Setelah agama Islam masuk di daerah Mandar, maka muncullah
pandangan baru bahwa arah barat juga baik. Arah barat dianggap menghadap
kekiblat. Sedangkan bahan bangunan diusahakan dan diambil dari lingkungan
alam sekitar. Penebangan kayu (kayu) dan bambu biasanya disesuaikan dengan
waktu baik. Waktu-waktu baik adalah sama halnya pada saat memulai
membangun rumah ”boyang”.
Pada saat menebang kayu, yang pertama harus ditebang adalah bahan untuk
membuat possiarring (tiang pusat). Jenis kayu yang diperuntukkan untuk
possiarring tidaklah sembarang, biasanya kayu ”sumaguri” dan ”cawecawe” .
kedua jenis kayu tersebut mengandung makna simbolis. Untuk jenis sumaguri
mengandung makna ”empati kepada seluruh masyarakat”. Jadi, jenis kayu
tersebut banyak digunakan pada possiarriang rumah adaq. Sedangkan jenis kayu
cawe-cawe mengandung makna ”semangat atau mengairahkan”. Jenis kayu
tersebut pada umumnya digunakan untuk ”possiarriang” rumah biasa. Hal ini
dimaksudkan agar penghuninya kelak senantiasa bersemangat atau bergairah
dalam mengarungi kehidupan dunia. Penebangan kayu untuk ”possiarriang” harus
dilakukan oleh ”sando boyang”.
Sebelum melakukan penebangan, ”sando boyang” melakukan upacara ritual
yang dilakukan sendiri dirumahnya. Waktu penebangan diupayakan pada hari-hari
baik. Adapun hari baik menebangan kayu untuk ”possiarriang” adalah hari ke 14
terbitnya bulan, orang Mandar menyebutnya ”tarrang bulan” (terang bulan), atau
pada hari kedelapan sebelumtenggelamnya bulan. Penebangan kayu dilakukan
pada pagi hari sekitar jam 09.00. Penebangan kayudapat dilakukan oleh beberapa
orang, tetapi pekerjaannya harus dimulai oleh sando boyang. Ada hal yang
penting untuk diperhatikan dan diperhitungkan pada saat menebangan kayu, yaitu
kayu tersebut harus tumbang dan jatuh kearah matahari terbit. Hal ini
dimaksudkan agar cahaya matahari senantiasa menerangi rumah yang akan
dibangun.
Dalam pengertian ini terdapat makna simbolis, bahwa diharapkan kelak rumah
yang akan dibangun itu senantiasa dalam kondisi yang terang bercahaya.
Pembangunan rumah tradisional ”boyang”, dimulai dari pembuatan tiang
”arriang”. Setiap rumah memiliki tiang minimal 20 batang. Tiang tersebut diatur
dan disusun berjejer kesamping dan kebelakang. Setiap jejeran kesamping
biasanya terdiri atas lima batang. Sedangkan jejeran kebelakang biasanya empat
batang (tidak termasuk tiang paceko). Kelima tiang yang berjejer kesamping
diupayakan memiliki lekukan dan bengkok yang sama. Dalam pembuatan
”arriang”, pekerjaan pertama yang harus dibuat adalah ”possi arriang” (tiang
pusat). Setelah ”possi arriang” usai dikerjakan, maka dilanjutkanlah pekerjaan
pada seluruh tiang rumah lainnya. Pekerjaan seluruh tiang tersebut harus
diperhatikan ujung-pangkalnya. Semua tiang pangkalnya harus berada di bawah,
tidak boleh terbalik.
Bagi rumah tradisional yang mempunyai paceko dan lego-lego, maka harus
menggunakan minimal lima tiang tambahan untuk Paceko dan dua atau empat
tiang untuk legolego. Rumah tradisional Mandar yang terdiri atas tallu lontang,
jumlah pasak yang dibutuhkan sebanyak 18 buah. Pasak tersebut terdiri atas
empat untuk passolor, empat untuk baeq, lima araiangdiaya dan aratangnaong.
Selain itu, bilamana rumah tersebut mempunyai tambing, maka harus ditambah
lagi aratangdiaya dan aratangnaong masing-masing satu buah. Bila rumah tersebut
ditambah paceko, maka harus ditambah lagi passollor dan baeq sebanyak lima
buah. Sedangkan aratangdiaya dan aratangnaong masing-masing dua buah. Selain
pasak, terdapat pula balok kayu yang bentuknya pipih menyerupai pasak. Kayu ini
disebut pambalimbungan (tulang punggung, paling diatas tempatnya). Jumlahnya
tiga buah, masing-masing satu buah untuk rumah induk, paceko dan lego-lego.
Lantai rumah tradisional Mandar terbuat dari papan (kayu) dan lattang,
”Lattang” biasanya dipilih tarring (bambu) yang besar dan sudah tua.
Lattanginibiasanyadipakai pada lantaipaceko. Dindingrumahtradisional Mandar
pada umumnya terbuat dari papan, alisi dan taqta. Pada dinding sisi depan rumah,
biasanya dilengkapi tiga ”pepattuang” (jendela) dan satu ”ba’ba” (pintu). Dinding
sisi depan ini biasanya dilengkapi ornamen pada bagian luar di bawah jendela.
Pada dinding sisi kanan dan kiri rumah biasanya juga dilengkapi dengan
pepattuang sebanyak dua atau tiga buah. Pepattuang berbentuk segi empat yang
rata-rata terdiri atas dua daun jendela yang berukuran sekitar 100 x 40 cm. Daun
jendela itu dapat dibuka ke kiri dan ke kanan. Letak pepattuang biasanya berada
antara dua buah tiang rumah. Untuk memperindah, pepattuang ini biasanya diberi
ornamen berupa ukiran dan terali dari kayu yang jumlahnya selalu ganjil. Terali-
terali tersebut ada yang dipasang secara vertikal dan ada yang horisontal. Secara
vertikal mempunyai makna hubungan yang harmonis dengan Tuhannya.
Sedangkan secara horisontal mempunyai makna hubungan yang harmonis
dengan sesama manusia. Pemasangan ornamen seperti itu hanya tampak pada
jendela yang ada di bagian depan dan sisi kiri kanan rumah. Pemasangan ornamen
berupa ukiran dan terali terali juga dapat dilihat pada bangunan tambahan di
depan rumah, yaitu lego-lego. Prosesi ritual menurut kepercayaan masyarakat
tradisional Mandar biasanya dimulai dari ”possiarriang”. Pada ”possiarriang”
diikat lipaq (sarung) dan mukena atau kebaya. Sarung melambangkan jiwa laki-
laki dan kebaya atau mukena sebagai jiwa perempuan. Kedua jiwa tersebut harus
menyatu di dalam ”possiarriang” kemudian tiang ”possiarriang” disiram dengan
air dari dalam cerek. Air yang tersisa di dalam cerek tadi dimasukkan dalam botol
kemudian digantung pada ”possiarriang” . segala bahan kelengkapan upacara
mattoddoq boyang, seperti tebu, pisang, kelapa juga digantung pada
”possiarriang” . Bahan kelengkapan upacara biasanya digantung setelah rumah
berdiri. Bilamana rumah ”boyang” akan diberi tambahan bangunan, seperti
paceko dan lego-lego, maka setelah bangunan induk berdiri tegak dilanjutkan
pendirian tiang paceko.
Tambahan untuk Paceko biasanya terdiri atas satu deretan tiang yang
jumlahnya enam batang ditambah satu batang di dekat tangga belakang. Setelah
tiang berdiri, dilanjutkan pemasangan aratangnaong dan aratangdiaya yang
dikuatkan dengan passanna. Seluruh tiang paceko juga diberi batu arriang. Setelah
pendirian tiang paceko, dilanjutkan pula pada pendirian tiang lego-lego. Untuk
boyang adaq, jumlah tiang lego legonya sebanyak empat batang. Sedangkan
boyang beasa jumlah tiang lego legonya sebanyak dua batang.
Ragam hias bunga melati yang ditempatkan di atas jendela, diatas penutup
bubungan dan pada ujung bawah atap, ukirannya muncul atau tembus pada
kedua sisinya sehingga dapat dilihat dari depan maupun belakang. Ornamen ini
mengandung makna sebagai suatu penghargaann atau cita-cita agar
pemilikrumah akan selalu mendapatkan rezeki secara berkesinambungan, seperti
bunga melati yang menjalar tak putus-putus.
1. Fauna
Pola dasar ragamhias yang bersumber dari fauna jumlahnya hanya satu,
yaitu berbentuk seperti burung yang dalam bahasa Mamuju disebut manu-manu.
Jenis burung yang menjadi ornamen pada rumah tradisional Mamuju adalah
jangang-jangang (burung merpati).
Burung merpati memberi makna agar kehidupan keluarga pemilik rumah rukun
dan damai. Selain itu, burung senantiasa terbang ke angkasa, memberi makna
agar si pemilik rumah bersama keluarganya dapat terangkat derajat, harkat dan
martabatnya. Ornamen ini dibuat dengan cara diukir pada papan atau balok
kayu.
Gambar 3. 5 Ornamen berbentuk burung pada sudut bawah atap.
Sumber : e- Book Arsitektur Mandar Kab. Mamuju, Sulawesi Selatan
2. Lingkungan Alam
Ornamen yang bersumber dari lingkungan alam lebih bervariasi: matahari,
bulan purnama, bentuk kotak-kotak, dan bentuk tiang kecil (terali-terali) yang
berdiri secara vertikal atau horizontal. Ornamen yang berbentuk matahari atau
bulan purnama biasanya diukir atau dilukis dengan warna-warna tertentu seperti
kuning keemasan, biru dan warna-warna lainnya.
Ukiran yang berbentuk matahari atau bulan purnma yang biasanya
ditempatkan pada penutup bubungan rumah memilik makna sebagai sumber
cahaya yang menerangi kehidupan penghuni rumah.
Kemudian, pada ornamen yang berbentuk walasuji yang dipadukan dengan
ragam hias bunga melati dipsang di dinding memiliki banyak makna dalam
kehidupan orang Mamuju, walasuji bentuknya segi empat belah ketupat yang
mengandung makna simbolis sebagai empat persegi yang merupkan dasar
pandangan kosmologis dalam memandang alam raya ini.
Gambar 3. 6 Ornamen yang berbentuk matahari atau bulan purnama yang diberi
ukiran di tempatkan pada penutup bubungan rumah
Sumber : e- Book Arsitektur Mandar Kab. Mamuju, Sulawesi Selatan
A. Sejarah
Benteng Somba Opu adalah sebuah kawasan miniature budaya Sulawesi
Selatan yang terletak di Jl. Dg. Tata, Makassar. Dalam kawasan ini terdapat
miniature rumah adat dari seluruh kabupaten yang berada di Sulawesi Selatan.
Benteng ini didirikan pada awal abad ke-16 atas usaha Sultan Gowa ke IX yang
bernama Daeng Matanre Karaeng Tumaparisi Kolonna tepatnya tahun 1525. Pada
pertengahan abad ke 16, Benteng ini menjadi pusat perdagangan dan pelabuhan
rempah-rempah yang ramai dikunjungi pedagang asing dari Asia dan Eropa. Pada
24 Juni 1669, Benteng ini dikuasai oleh VOC dan kemudian dihancurkan hingga
terendam oleh ombak pasang. Pada tahun 1980-an, benteng ini ditemukan kembali
oleh sejumlah ilmuan. Pada tahun 1990, bangunan benteng yang sudah rusak
direkonstruksi ulang sehingga tampak lebih indah. Kini Benteng Somba Opu
menjadi objek wisata bersejarah dan menjadi kawasan miniature budaya Sulawesi
Selatan dengan dilengkapi oleh rumah adat.
Benteng Somba Opu dibangun dari tanah liat dan putih telur sebagai
pengganti semen. Secara arsitektural, benteng ini berbentuk persegi empat dengan
panjang sekitar 2 kilometer, tinggi 7-8 meter dan luasnya 1.500 hektar. Di dalam
benteng, terdapat bangunan rumah adat Sulawesi Selatan (mewakili suku
Makassar, Mandar, Bugis, dan Toraja), sebuah meriam bernama “Baluwara
Agung”, sepanjang 9 meter dengn berat 9.500 kg, dan sebuah museum yang berisi
benda peninggalan sejarah Kerajaan Gowa.
Rumah adat Mamuju yang berada di Benteng Somba Opu didirikan oleh
pemerintah Mamuju kurang lebih 30-40 tahun yang lalu. Menurut yaitu salah satu
pemilik dari rumah adat tersebut mengatakan bahwa rumah adat Majene ini
dibangun sesuai dengan ciri tersendiri. Adapun maksud didirikanya rumah adat
tersebut kata beliau agar generasi-generasi selanjutnya dapat mengetahui dan juga
mempelajari budaya yang ada di Indonesia, contohnya seperti bangunan yang
memang dari dulu sudah ada walaupun tanpa rancangan terlebih dahulu mengenai
proses pembangunannya.Rumah adat mamuju ini merupakan salah satu sampel
yang dapat mencerminkan ciri khas bangunan yang ada di Indonesia. Rumah adat
Mamuju ini tidak serta merta langsung menjadi bangunan yang kokoh dan tahan
terhadap gempa, akan tetapi selalu terjadi revisi setiap terjadi suatu kerusakan
yang terjadi akibat bencana ataupun kejadian yang dapat memicu timbulnya
permasalahan pada rumah tersebut
B. Geografi
(sumber : http://oheytourism.blogspot.com/2017/05/pengelolaan-pengunjung-di-
benteng-somba.htmldi akses tanggal 12Desember2019)
Lokasi revitalisasi yakni pada Benteng SombaOpu. Benteng Somba Opu
terletak di kampung Sapiria Kelurahan Sarombe Kecamatan Bontoala Kabupaten
Gowa Sulawesi Selatan. Letak astronomisnya adalah 5o 11’ 22” LS, 119o 24’ 4”
BT dengan ketinggian 0 – 10 meter.
Benteng Somba Opu dapat diakses dari pusat Kota Makassar (Lapangan
Karebosi) dengan angkutan kota (pete-pete) atau taksi. Jika menggunakan
angkutan kota, dari Lapangan Karebosi menumpang angkutan kota jurusan
Cenderawasih. Dari Cenderawasih berganti angkutan menuju Benteng Somba
Opu.
C. Situasi
Rumah adat ini terletak di Benteng Somba Opu, Jl. Dg. Tata, Benteng Somba
Opu terletak di kampung Sapiria Kelurahan Sarombe Kecamatan Bontoala
Kabupaten Gowa Sulawesi Selatan. Keunikan, kompleks Miniature Sulawesi
Selatan memiliki koleksi 27 bangunan rumah tradisional yang mewakili 4 etnis di
Sulawesi Selatan, yaitu Makassar, Bugis, Toraja, dan Mandar. Terdiri dari 23
rumah yang dibangun oleh setiap pemerintah daerah dan empa trumah yang
dibangun oleh pemerintah provinsi. Masih di dalam kompleks itu, wisatawan
dapat menjumpai Museum Karaeng Pattingalong. Museum menyimpan koleksi
seperti meriam kuno yang digunakan Kerajaan Gowa dalam perang Makassar
tahun 1669, pecahan dinding Benteng Somba Opu, batu-batu hias, dan koleksi
senjata tradisional. Begitu memasuki kawasan Benteng Somba Opu, akan segera
terlihat tembok Benteng yang kokoh. Menggambarkan system paertahanan yang
sempurna pada zamannya.
Meski terbuat daribatu-bata merah, dilihat dari ketebalan dinding, dapatlah
terbayangkan betapa benteng ini amat sulit ditembus dan diruntuhkan. Ada tiga
bastion yang masih terlihat sisa-sisanya, yaitu bastion disebelah barat daya,
bastion tengah, dan bastion barat laut. Yang terakhir ini disebut Buluwara Agung.
Di bastion inilah pernah ditempatkan sebuah meriam paling dahsyat yang dimiliki
orang Indonesia. Namanya Meriam Anak Makassar. Bobotnya mencapai 9.500
kg dengan panjang 6 meter dan diameter 4,14 cm. Sebenarnya, Benteng Somba
Opu sekarang ini lebih tepat dikatakan sebagai reruntuhan dengan sisa-sisa
beberapa dinding yang masih tegak berdiri. Bentuk benteng inipun belum
diketahui secara persis meski upaya ekskavasi terus dilakukan. Tetapi menurut
peta yang tersimpan di Museum Makassar, bentuk benteng ini adalah segi empat.
Di beberapa bagian terdapat patok-patok beton yang memberi tanda bahwa
didalamnya terdapat dinding yang belum digal. Memang, setelah berhasil
mengalahkan pasukan Kerajaan Gowa yang dipimpin Sultan Hasanuddin, Belanda
menghancurkan Benteng ini. Selama ratusan tahun, sisa-sisa benteng terbenam di
dalam tanah akibat naiknya sedimentasi dari laut. Secara arsitektural, begitu
menurut peta dokumen di Museum Makassar, benteng ini berbentuk segiempat
dengan luas total 1.500 hektar. Memanjang 2 kilometer dari barat ketimur.
Ketinggian dinding benteng yang terlihat saat ini adalah 2 meter. Tapi dulu, tinggi
dinding sebenarnya adalah7-8 meter dengan ketebalan 12 kaki atau 3,6 meter.
Benteng Somba Opu sekarang ini berada di dalam kompleks Miniatur Budaya
Sulawesi Selatan.
Wisatawan dapat menikmati bentu-bentuk rumah tradisional Sulawesi Selatan
seperti rumah tradisional Makassar, Bugis, Mandar, dan Toraja yang terletak tak
jauh dari Benteng. Di dalam kompleks ini pula setiap tahun digelar Pameran
Pembangunan Sulawesi Selatan. Taman miniature Sulawesi Selatan menyimpan
berbagai jenis rumah tradisional Sulawesi Selatan. Rumah-rumah tradisional itu
umumnya merupakan rumah panggung dengan arsitektur asli, terbuat dari kayu
dengan kualitas yang sangat baik. Bangunan Tongkonan (rumah tradisional
masyarakat Toraja) dengan atap melengkung berbentuk tanduk kerbau juga
didirikan di dalam kompleks ini.
Gambar.4.2.Peta zonasi situs somba opu
Sumber: https://twitter.com/savesombaopu/status/131253549299544064
D. Tata Letak
Pada rumah adat mamuju dalam Kompleks Miniatur Budaya Sulawesi Selatan
menghadap ke arah utara. Terkait arah rumah, orientasi pada rumah adat mamuju
menghadap ke arah utara. Hal ini dikarenakan masyarakat mamuju percaya bahwa
kebaikan datang dari arah utara.
Rumah adat ini merupakan rumah panggung yang ada di 1 area tak
terpisahkan. Ada beberapa komponen yang membentuk rumah ini. Rumah ini
memiliki rumah raja atau rumah utama dengan 11 anak tangga. Ada juga masing-
masing 1 rumah pengawal, rumah pandai emas dan besi, lumbung padi, dan
kandang kuda yang semuanya berbentuk rumah panggung.
Jika tampak dari samping, bangunan ini menunjukkan hiasan ukiran kayu
memanjang. Ada 3 jendela di tiap sisinya. Ada juga kayu penyangga yang
menancap di tanah dengan tinggi 2 meter. Rumah Joa atau rumah penjaga di kiri
rumah adat ini merupakan rumah adat yang tak terlalu besar. Rumah ini berbeda
dengan rumah raja, karena tak memiliki ukiran.
Di sisi kanan rumah adat Mamuju, kita juga bisa menemukan rumah adat
pandai emas dan besi. Di sana juga ada rumah lumbung padi. Sementara itu, kita
bisa menemukan kandang kuda di belakang istana. Sedangkan dibagian dalam
ruma adat raja, kita bisa menemukan singgasana raja. Sementara di depannya, ada
pilar kayu yang diukir. Di atasnya ada langit-langit dari kayu.
E. Denah
Suku Mandar merupakan suku mayoritas yang mendiami provinsi ini, tidak
heran jika desain dan arsitektur utama pada rumah tradisional Sulawesi Barat
banyak diadopsi dari kebudayaan khas atau tradisi dari suku Mandar, meskipun
telah bercampur dengan kebudayaan Bugis dan Makassar.
Maka jika Anda lihat bentuk rumah adatnya, sekilas terlihat hampir mirip
dengan rumah adat milik kedua suku tersebut.
Meski demikian, jika ditelisik lebih dalam, maka Anda akan menemukan
banyak perbedaan di antara bangunan dari suku-suku tersebut.
Rumah tradisional Sulawesi Barat dikenal dengan nama rumah boyang. Pada
bagian atap dan terasnya (lego) cenderung memiliki ukuran yang luas. Seperti
halnya rumah adat kebanyakan, rumah ini juga mengadopsi konsep rumah
panggung.
Konsep ini digunakan sebagai bentuk penyesuaian terhadap kondisi
lingkungan sekitar, serta meningkatkan keamanan dan kenyamanan bagi
penghuninya.
Rumah Mamuju terdiri dari beberapa ruangan atau lotang, dimana setiap
lotang memiliki fungsinya yang berbeda-beda.
ATAS
TENGAH
BAWAH
Gambar. 4.12 Struktur tengah (Hubungan Balok Induk dengan Balok Anak )
Gambar. 4.12 Struktur tengah (Hubungan Balok Induk dengan Balok Anak )
j) Rencana kusen
Gambar. 4.12
ornamen hias yang berbentuk terali -terali yang dipasang secara
vertikal di peralihan bangunan utama.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Indonesia adalah negara kepulauaan yang kaya akan keanekaragaman budaya,
hal ini pun berpengaruh terhadap bentuk dan ragam hunian atau rumah tinggal
pada tiap daerah yang berbeda yang karakteristiknya pun menyesuaikan
kebutuhan pemiliknya serta lingkungan masyarakat dan alam sekitar. Karena
itulah banyak sekali ragam rumah tinggal adat tradisional daerah yang dimiliki
oleh Indonesia.
Akan tetapi dewasa ini kekayaan budaya yang dimiliki Indonesia semakin
berkurang jumlahnya dan terancam kepunahannya, termasukrumah adat
tradisional daerah. Modernisasi dan globalisasi yang pesat berkembang saat ini,
kurangnya perhatian masyarakat dan pemerintah akan pelestarian rumah adat
tradisional, mendorong makin mudahnya bangunan adat tradisionaltersingkirkan
oleh bangunan-bangunan yang dianggap lebih relevan terhadap kondisi dan
kebutuhan masyarakat masa kini.
Adapun warisan ini dapat kita jumpai pada Taman Miniatur Budaya
Ssulawesi Selatan Benteng Somba Opu, yang mana memuat beragam jenis
rumah adat yang ada di Sulawesi termasuk ”Rumah Adat Kabupaten Mamuju”
yang kini keberadaannya semakin lama semakin berkurang akibat perkembangan
zaman.
Untuk itu dalam laporan mengenai studi mempelajari Rumah Adat
Tradisional Kabupaten Mamuju melalui pengamatan dan survei secara langsung
ini dapat menjadi sebuah hasil laporan yang juga dapat ikut melestarikan keilmuan
mengenai rumah adat tradisional di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
https://news.okezone.com/nasional/pasangkayu/okepediadi
http://oheytourism.blogspot.com/2017/05/pengelolaan-pengunjung-di-benteng-
somba.html
http://oheytourism.blogspot.com/2017/05/pengelolaan-pengunjung-di-benteng-
somba.html