Anda di halaman 1dari 6

Penyebab, Gejala, dan Penanganan Dysmenorrhea pada

Menarche
Hanifah Karim
Prodi Kedokteran, Fakultas Kedokteran,
Universitas Sebelas Maret, Surakarta, Indonesia
hanihanifahk20@student.uncs.ac.id

Abstract. Dysmenorrhea is one of the most prevalent gynecological disorders, experienced by approximately
two third of young women during menstruation. It is characterized as cramping in the lower stomach area
happening just previously or during menstruation cycle. The primer dysmenorrhea is very regular in young
ladies, despite the fact that it is related with low personal satisfaction. The secunder types of dysmenorrhea
maybe related with gynecological disorders. The impact and significance of dysmenorrhea is extremely wide,
along these lines dealing with the issue is significant. Prevalence of dysmenorrhea was 16%-91% and
experienced for 24-48 hours during menstruation cycle. The most widely recognized manifestation in both
dysmenorrheic and non dysmenorrheic young ladies during the menstrual periods was tiredness and backpain.
Lower menarcheal age was related with a previous beginning of menstrual pains in dysmenorrhic young ladies.
A small proportion of young ladies looked for pharmacological treatment and some others relied upon non-
pharmacological treatments. The discoveries of this investigation have significant implications for
dysmenorrhea indication evaluation and the improvement of customized mediations to help dysmenorrhea.

Keywords: dysmenorrhea, menstruation, gynecological disorders, menarche

PENDAHULUAN
Tugas seorang dokter tidak sekadar mengobati pasien yang sudah terlanjur sakit, namun yang
lebih penting adalah mengedukasi masyarakat agar dapat mencegah timbulnya suatu penyakit.
Penting untuk mengetahui bagaimana suatu penyakit dapat terjadi, gejala apa saja yang dapat
ditimbulkan, dan bagaimana penanganan yang tepat dari penyakit tersebut.
Kasus dysmenorrhea sangat sering ditemukan pada wanita yang sudah melewati masa
pubertas. Sebagian wanita menganggap dysmenorrhea sebagai hal yang biasa dan normal, namun
sebagian yang lain menganggap bahwa dismenorrhea adalah suatu hal yang menyakitkan dan dapat
mengganggu aktivitas sehari-hari. Untuk itu diperlukan penelitian lebih lanjut agar nantinya dapat
memberikan edukasi yang tepat kepada masyarakat mengenai dysmenorrhea.
Dysmenorrhea digambarkan sebagai sebuah rasa sakit di bagian perut dan dirasakan pada saat
sebelum maupun pada saat berlangsungnya menstruasi. Prevalensi dysmenorrhea pada wanita usia
produktif adalah sebesar 16% hingga 91% (Chen, Draucker, & Carpenter, 2018). Riwayat anggota
keluarga yang mengalami kasus dysmenorrhea semakin meningkatkan prevalensi terjadinya
dysmenorrhea. Meskipun tidak diaanggap sebagai sebuah gangguan yang dapat mengancam nyawa,
dysmenorrhea dapat mempengaruhi kualitas hidup dan hubungan sosial bagi wanita yang sedang
mengalaminya (Najafi, Khalkhali, Moghaddam Tabrizi, & Zarrin, 2018). Dysmenorrhea dapat terjadi
akibat meningkatnya pengeluaran atau sekresi dari prostalglandin. Prostalglandin sendiri dapat
mengakibatkan vasokontriksi pembuluh darah dan kontraksi myometrium yang dapat menyebabkan
timbulnya rasa nyeri pada area rahim dan iskemia atau kekurangan pasokan darah pada jaringan
tertentu akibat adanya gangguan pada pembuluh darah (Najafi et al., 2018).
Berdasarkan dari patofisiologinya dysmenorrhea dibedakan menjadi dua kategori, yaitu
dysmenorrhea primer dan dysmenorrhea sekunder. Dysmenorrhea primer merupakan nyeri
menstruasi tanpa disertai dengan gangguan organik dan biasanya terjadi 6 hingga 12 bulan pertama
setelah menarche (Bernardi, Lazzeri, Perelli, Reis, & Petraglia, 2017). Lokasi nyerinya berada si area
suprapubik. Sementara itu dysmenorrhea sekunder adalah nyeri menstruasi yang disertai dengan
adanya suatu penyakit tertentu. Gangguan yang umum ditemukan pada dysmenorrhea sekunder
meliputi endometriosis, fibroid (myoma), adenomiosis, polip endometrium, pelvic inflammatory
disease, dan penggunaan alat kontrasepsi intrauterina (Proctor & Farquhar, 2006). Endometriosis
merupakan pertumbuhan suatu jaringan di bagian luar cavitas uterus. Sedangkan,
adenomiosis adalah suatu kondisi yang terjadi dimana kelenjar endometrium dan stroma
tumbuh ke dalam myometrium (Bernardi et al., 2017). Dysmenorrhea primer maupun sekunder
tidak dapat dibedakan secara jelas apabila tidak dilakukan pemeriksaan pada daerah pelvis,
ultrasonografi, atau lapaoskopi (Chen et al., 2018). Perbedaan dysmenorrhea primer dan
dysmenorrhea sekunder :

No Dysmenorrhea primer Dysmenorrhea sekunder


Berlangsung segera setelah menarche Dapat terjadi kapan saja setelah menarche,
1. biasanya setelah berusia 25 tahun
Rasa nyeri pada perut bagian bawah Waktu dan intensitas dari nyeri pada perut
2. biasanya terjadi pada saat permulaan bagian bawah berubah-ubah
menstruasi
3. Dapat disertai dengan sakit punggung Dapat disertai gejala-gejala ginekologi lain
dan atau paha, sakit kepala, diare, mual, seperti dispareunia, menorrhagia, dan
serta muntah infertilitas
4. Tidak ditemui hal yang abnormal pada Ditemukan hal yang abnormal pada saat
saat dilakukan pemeriksaan dilakukan pemeriksaan pelvis
Tabel 1 Perbedaan Dysmenorrhea primer dan Dysmenorrhea Sekunder (Proctor & Farquhar, 2006)

Berdasarkan dari sumber-sumber ginekologi, dysmenorrhea sering dikaitkan dengan adanya


gangguan psikologis seperti rasa khawatir yang berlebihan, kondisi emosional yang tidak stabil, dan
imitasi terhadap perasaan ibu pada saat menstruasi. Sedangkan alasan timbulnya dysmenorrhea secara
fisiologis adalah akibat dari meningkatnya sekresi prostalglandin ke dalam uterus. Selama
endometrium mengelupas, sel-sel pada endometrium melepaskan sekret berupa prostalglandin.
Prostalglandin tersebut nantinya akan menstimulasi kontraksi dari myometrium dan iskemia. Seorang
wanita dengan kadar prostalglandin yang lebih tinggi akan mengalami dysmenorrhea yang lebih hebat
juga apabila dibandingkan dengan wanita yang memiliki kadar prostalglandin yang normal (Proctor &
Farquhar, 2006). Melahirkan merupakan salah satu faktor yang dapat menyebabkan turunnya
kemungkinan dysmenorrhea akan terjadi. Ketika umur semakin bertambah, umumnya tingkat
keparahan dari dysmenorrhea juga akan ikut menurun. Kasus dysmenorrhea kadang-kadang juga
dikaitkan dengan adanya sindrom somatoform (Bernardi et al., 2017). Sindrom somatoform adalah
suatu kelainan yang ditandai oleh munculnya gejala fisik yang tidak menentu namun tidak dapat
didiagnosis secara pasti apa yang menjadi penyebabnya (Haller, Cramer, Lauche, & Dobos, 2015).
Gejala-gejala yang sering ditemukan pada kasus dysmenorrhea diantaranya adalah sakit kepala,
muntah, kelelahan, pusing, dan diare berbeda-beda antara satu wanita dengan wanita lainnya. Gejala-
gejala dysmenorrhea tersebut biasanya dirasakan pada saat mulai menstruasi atau beberapa jam
sebelum maupun sesudah menstruasi dimulai. Gejala-gejala tersebut dapat berlangsung selama kira-
kira 24 hingga 48 jam (Omidvar, Bakouei, Amiri, & Begum, 2015). Rasa nyeri di perut bagian bawah
dan sakit pinggang merupakan hal yang normal dialami pada saat menstruasi. Namun apabila rasa
sakit itu dirasa sangat mengganggu seperti disertai dengan muntah, pusing, bahkan sampai pingsan
maka gejala-gejala tersebut patut untuk diwaspadai karena bisa saja gejala tersebut adalah
dysmenorrhea sekunder yang menunjukkan adanya ketidaknormalan pada organ reproduksi wanita.
Untuk memastikan kondisi tersebut diharapkan segera untuk menghubungi ahli obstetri dan
ginekologi terdekat untuk mendapatkan penjelasan lebih lanjut sehingga apabila terdapat suatu
penyakit atau kelainan dapat ditangani lebih dini. Dengan demikian kerugian yang ditimbulkan dapat
diminimalisasi.
Penanganan dysmenorrhea bertujuan untuk mengurangi rasa sakit atau gejala yang disebabkan
oleh mekanisme fisiologis seperti peningkatan hormon prostalglandin. Ada beberapa cara yang dapat
dilakukan untuk mengatasi dysmenorrhea. Penanganan yang dapat dilakukan untuk mengatasi
dysmenorrhea primer salah satunya adalah dengan metode heat therapy. Berdasarkan penelitian yang
telah dilakukan, heat therapy dapat membantu meredakan rasa nyeri pada saat menstruasi. Hasil yang
didapatkan tersebut cukup konsisten setelah pada saat dilakukan penelitian digunakan tiga jenis
sampel yaitu, perlakuan heat therapy, gabungan antara heat therapy dengan plasebo, dan heat therapy
yang disertai dengan pemberian obat analgesik (Jo & Lee, 2018). Pemberian paracetamol, aspirin, dan
NSAIDs (Non Steroidal Anti-inflammatory Drugs) bekerja dengan cara mengurangi aktifitas dari
cyclo-oxgenase pathways sehingga dapat menghambat produksi dari prostalglandin (Proctor &
Farquhar, 2006). Hormon kontrasepsi oral juga dapat digunakan untuk mengatasi kasus
dysmenorrhea. Namun selain meredakan dysmenorrhea, hormon kontrasepsi juga berpengaruh pada
siklus menstruasi dengan menghambat proses ovulasi. Beberapa ahli menganggap penggunaan
hormon kontrasepsi tidak begitu efektif mengingat efek samping yang dapat ditimbulkan seperti diare,
kenaikan berat badan, suasana hati yang mudah berubah-ubah dengan cepat, hingga osteoporosis
(Chen et al., 2018).
Menarche adalah peristiwa menstruasi pertama yang terjadi pada remaja perempuan perempuan
(Lacroix & Langaker, 2019). Penelitian yang dilakukan terhadap mahasiswa perempuan di Tamale,
Ghana menunjukkan bahwa umur menarche seseorang dipengaruhi oleh tingkat sosial ekonomi dari
keluarganya. Seorang anak perempuan yang lahir di perkotaan dengan tingkat sosial ekonomi yang
lebih tinggi akan mengalami menarche yang lebih awal apabila dibandingkan dengan anak perempuan
yang lahir di pedesaan dengan tingkat sosial ekonomi yang lebih rendah (Ameade & Garti, 2016).
Peristiwa menarche yang lebih awal dikaitkan dengan lebih awalnya dysmenorrhea primer yang akan
dialami oleh anak perempuan tersebut. Pada saat menarche umumnya tidak akan terasa nyeri yang
mengganggu, apabila timbul rasa nyeri maka sebaiknya dilakukan pemeriksaan lebih lanjut. Ukuran
uterus yang kecil juga dapat menyebabkan dysmenorrhea primer pada saat menarche. Apabila kondisi
anatomi uterusnya normal dapat dicurigai terdapat myoma, kista, maupun endometriosis di dalam
uterus.

METODE
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskripsi kualitatif berdasarkan
wawancara mendalam dengan seorang dokter spesialis obstetri ginekologi serta melakukan kajian
pustaka dari publikasi ilmiah yaitu jurnal yang berkaitan dengan kasus dysmenorrhea.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dysmenorrhea digambarkan sebagai sebuah rasa sakit di bagian perut dan dirasakan pada saat
sebelum maupun pada saat berlangsungnya menstruasi. Berdasarkan dari patofisiologinya
dysmenorrhea dibedakan menjadi dua kategori, yaitu dysmenorrhea primer dan dysmenorrhea
sekunder. Dysmenorrhea primer merupakan nyeri menstruasi tanpa disertai dengan gangguan organik
dan biasanya terjadi 6 hingga 12 bulan pertama setelah menarche (Bernardi et al., 2017).
Dysmenorrhea primer dapat terjadi akibat meningkatnya pengeluaran atau sekresi dari prostalglandin
oleh sel endometrium pada saat mengelupas. Prostalglandin sendiri dapat mengakibatkan
vasokontriksi pembuluh darah dan kontraksi myometrium yang dapat menyebabkan timbulnya rasa
nyeri pada area rahim dan iskemia atau kekurangan pasokan darah pada jaringan tertentu akibat
adanya gangguan pada pembuluh darah (Najafi et al., 2018). Lokasi nyeri berada si area suprapubik.
Sementara itu dysmenorrhea sekunder adalah nyeri menstruasi yang disertai dengan adanya suatu
penyakit tertentu. Gangguan yang umum ditemukan pada dysmenorrhea sekunder meliputi
endometriosis, fibroid (myoma), adenomiosis, polip endometrium, pelvic inflammatory disease, dan
penggunaan alat kontrasepsi intrauterina (Proctor & Farquhar, 2006). Endometriosis merupakan
pertumbuhan suatu jaringan di bagian luar cavitas uterus. Sedangkan, adenomiosis adalah suatu
kondisi yang terjadi dimana kelenjar endometrium dan stroma tumbuh ke dalam myometrium
(Bernardi et al., 2017). Dysmenorrhea primer maupun sekunder tidak dapat dibedakan secara jelas
apabila tidak dilakukan pemeriksaan pada daerah pelvis, ultrasonografi, atau lapaoskopi (Chen et al.,
2018).

Melahirkan merupakan salah satu faktor yang dapat menyebabkan turunnya kemungkinan
dysmenorrhea akan terjadi. Ketika umur semakin bertambah, umumnya tingkat keparahan dari
dysmenorrhea juga akan ikut menurun. Kasus dysmenorrhea kadang-kadang juga dikaitkan dengan
adanya sindrom somatoform (Bernardi et al., 2017). Sindrom somatoform adalah suatu kelainan yang
ditandai oleh munculnya gejala fisik yang tidak menentu namun tidak dapat didiagnosis secara pasti
apa yang menjadi penyebabnya (Haller et al., 2015).
Gejala-gejala yang sering ditemukan pada kasus dysmenorrhea diantaranya adalah sakit kepala,
muntah, kelelahan, pusing, dan diare berbeda-beda antara satu wanita dengan wanita lainnya. Gejala-
gejala dysmenorrhea tersebut biasanya dirasakan pada saat mulai menstruasi atau beberapa jam
sebelum maupun sesudah menstruasi dimulai. Gejala-gejala tersebut dapat berlangsung selama kira-
kira 24 hingga 48 jam (Omidvar et al., 2015). Rasa nyeri di perut bagian bawah dan sakit pinggang
merupakan hal yang normal dialami pada saat menstruasi. Namun apabila rasa sakit itu dirasa sangat
mengganggu seperti disertai dengan muntah, pusing, bahkan sampai pingsan maka gejala-gejala
tersebut patut untuk diwaspadai karena bisa saja gejala tersebut adalah dysmenorrhea sekunder yang
menunjukkan adanya ketidaknormalan pada organ reproduksi wanita.

Apabila terasa nyeri pada bagian bawah dan atau disertai dengan gejala-gejala seperti sakit
kepala, mual, muntah, dan diare maka segera mendatangi ahli ginekologi terdekat. Nantinya akan
dilakukan anamnesis, pemeriksaan pada organ reproduksi, maupun ultrasonografi untuk menegakkan
diagnosis mengenai tipe dysmenorrhea apa yang terjadi untuk selanjutnya dapat dilakukan
penanganan berdasarkan penyebab dari dysmenorrhea tersebut. Penanganan dari dysmenorrhea
bertujuan untuk mengurangi rasa sakit atau gejala yang disebabkan oleh mekanisme fisiologis seperti
peningkatan hormon prostalglandin. Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi
dysmenorrhea primer . Penanganan yang dapat dilakukan untuk mengatasi dysmenorrhea primer
salah satunya adalah dengan metode heat therapy. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, heat
therapy dapat membantu meredakan rasa nyeri pada saat menstruasi. Hasil yang didapatkan tersebut
cukup konsisten setelah pada saat dilakukan penelitian digunakan tiga jenis sampel yaitu, perlakuan
heat therapy, gabungan antara heat therapy dengan plasebo, dan heat therapy yang disertai dengan
pemberian obat analgesik (Jo & Lee, 2018). Pemberian paracetamol, aspirin, dan NSAIDs (Non
Steroidal Anti-inflammatory Drugs) bekerja dengan cara mengurangi aktifitas dari cyclo-oxgenase
pathways sehingga dapat menghambat produksi dari prostalglandin (Proctor & Farquhar, 2006).
Hormon kontrasepsi oral juga dapat digunakan untuk mengatasi kasus dysmenorrhea. Namun selain
meredakan dysmenorrhea, hormon kontrasepsi juga berpengaruh pada siklus menstruasi dengan
menghambat proses ovulasi. Beberapa ahli menganggap penggunaan hormon kontrasepsi tidak begitu
efektif mengingat efek samping yang dapat ditimbulkan seperti diare, kenaikan berat badan, suasana
hati yang mudah berubah-ubah dengan cepat, hingga osteoporosis (Chen et al., 2018). Sedangkan
untuk mengatasi dysmenorrhea sekunder, dapat dilakukan perawatan medis maupun bedah atau
operasi berdasarkan dari gangguan yang menjadi penyebab dari dysmenorrhea sekunder
Gambar 1 Penanganan Dysmenorrhea (Bernardi et al., 2017)

Menarche adalah peristiwa menstruasi pertama yang terjadi pada remaja perempuan (Lacroix &
Langaker, 2019). Penelitian yang dilakukan terhadap mahasiswa perempuan di Tamale, Ghana
menunjukkan bahwa umur menarche seseorang dipengaruhi oleh tingkat sosial ekonomi dari
keluarganya. Seorang anak perempuan yang lahir di perkotaan dengan tingkat sosial ekonomi yang
lebih tinggi akan mengalami menarche yang lebih awal apabila dibandingkan dengan anak perempuan
yang lahir di pedesaan dengan tingkat sosial ekonomi yang lebih rendah (Ameade & Garti, 2016).
Peristiwa menarche yang lebih awal dikaitkan dengan lebih awalnya dysmenorrhea primer yang akan
dialami oleh anak perempuan tersebut. Pada saat menarche umumnya tidak akan terasa nyeri yang
mengganggu, apabila timbul rasa nyeri maka sebaiknya dilakukan pemeriksaan lebih lanjut. Ukuran
uterus yang kecil juga dapat menyebabkan dysmenorrhea primer pada saat menarche. Apabila kondisi
anatomi uterusnya normal dapat dicurigai terdapat myoma, kista, maupun endometriosis di dalam
uterus.

SIMPULAN
Berdasarkan dari penyebabnya, dysmenorrhea dapat dibedakan menjadi dua, dysmenorrhea
primer dan dysmenorrhea sekunder. Dysmenorrhea primer merupakan hal yang normal terjadi pada
wanita yang sedang berada pada masa produktif, sedangkan dysmenorrhea sekunder dapat menjadi
indikasi adanya penyakit atau kelainan pada organ reproduksi wanita. Gejala-gejala yang sering
ditemukan pada kasus dysmenorrhea diantaranya adalah sakit kepala, muntah, kelelahan, pusing, dan
diare berbeda-beda antara satu wanita dengan wanita lainnya. Penanganan dari dysmenorrhea
disesuaikan dengan tipe dan penyebab dari dysmenorrhea yang dialami. Pada saat menarche
normalnya tidak akan mengalami dysmenorrhea primer karena umumnya terjadi 6 hingga 12 bulan
pertama setelah menarche, jika terjadi dysmenorrhea primer maka dapat menjadi indikasi adanya
kelainan baik kelainan anatomi seperti ukuran uterus maupun keadaan patologis seperti adanya
myoma, kista, dan endometriosis.

SARAN

Untuk memastikan kondisi dysmenorrhea yang dialami, pasien diharapkan segera untuk
menghubungi ahli obstetri dan ginekologi terdekat untuk mendapatkan penjelasan lebih lanjut
sehingga apabila terdapat suatu penyakit atau kelainan dapat ditangani lebih dini. Dengan demikian
kerugian yang ditimbulkan dapat diminimalisasi.

DAFTAR PUSTAKA
Buku
Lacroix AE, Langaker MD. Physiology, Menarche. (2019). Treasure Island (FL): StatPearls
Publishing.

Jurnal
Ameade, E. P. K., & Garti, H. A. (2016). Age at menarche and factors that influence it: A study
among female university students in Tamale, Northern Ghana. PLoS ONE, 11(5), 1–10.
https://doi.org/10.1371/journal.pone.0155310
Bernardi, M., Lazzeri, L., Perelli, F., Reis, F. M., & Petraglia, F. (2017). Dysmenorrhea and related
disorders. F1000Research, 6(0), 1645. https://doi.org/10.12688/f1000research.11682.1
Chen, C. X., Draucker, C. B., & Carpenter, J. S. (2018). What women say about their dysmenorrhea:
A qualitative thematic analysis. BMC Women’s Health, 18(1), 1–8.
https://doi.org/10.1186/s12905-018-0538-8
Haller, H., Cramer, H., Lauche, R., & Dobos, G. (2015). Somatoforme störungen und medizinisch
unerklärbare symptome in der primärversorgung: Systematischer review und metaanalyse der
prävalenzen. Deutsches Arzteblatt International, 112(16), 279–287.
https://doi.org/10.3238/arztebl.2015.0279
Jo, J., & Lee, S. H. (2018). Heat therapy for primary dysmenorrhea: A systematic review and meta-
analysis of its effects on pain relief and quality of life. Scientific Reports, 8(1), 1–8.
https://doi.org/10.1038/s41598-018-34303-z
Najafi, N., Khalkhali, H., Moghaddam Tabrizi, F., & Zarrin, R. (2018). Major dietary patterns in
relation to menstrual pain: A nested case control study. BMC Women’s Health, 18(1), 1–7.
https://doi.org/10.1186/s12905-018-0558-4
Omidvar, S., Bakouei, F., Amiri, F. N., & Begum, K. (2015). Primary Dysmenorrhea and Menstrual
Symptoms in Indian Female Students: Prevalence, Impact and Management. Global Journal of
Health Science, 8(8), 135. https://doi.org/10.5539/gjhs.v8n8p135
Proctor, M., & Farquhar, C. (2006). Diagnosis and management of dysmenorrhoea. Bmj, 332(7550),
1134–1138. https://doi.org/10.1136/bmj.332.7550.1134

Anda mungkin juga menyukai