Anda di halaman 1dari 35

KONSEP RANTAI NILAI PADA

GLOBAL FOOD SYSTEM

Disusun oleh:

Ketua:
Dinda Sari (1805901010100)
Anggota:

1. Rahmad Feby Irawan (1805901010082)


2. Juliadi (1805901010083)
3. Imelda Rafikah Devi S (1905901010070)
4. Isma Heni Pohan (1805901010101)
5. Novi Arisma (1805901010078)
6. Siti Nurjannah (1805901010028)
7. Dianti (1805901010002)
8. Cut Sri Rahayu (1805901010089)

Hari:Selasa 7 Agustus 2021, Jam 15.30-17.10

Tugas Ke 1

PRODI AGRIBISNIS

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS TEUKU UMAR

MEULABOH-ACEH BARAT

2021
BAB I
PENDAHULUAN

A.Pengertian Konsep Awal Munculnya Rantai Nilai


Sebuah rantai nilai adalah seperangkat kegiatan yang perusahaan beroperasi dalam
Melakukan industri tertentu dalam rangka untuk memberikan berharga produk (yaitu, baik dan /
atau layanan ) untuk pasar . Konsep tersebut muncul melalui manajemen bisnis dan pertama kali
dijelaskan oleh Michael Porter dalam buku terlarisnya tahun 1985, Competitive Advantage:
Creating and Sustaining Superior Performance.Gagasan rantai nilai didasarkan pada pandangan
proses organisasi, gagasan melihat organisasi manufaktur (atau jasa) sebagai suatu sistem, terdiri
dari subsistem masing-masing dengan input, proses transformasi, dan output. Input, proses
transformasi, dan output melibatkan perolehan dan konsumsi sumber daya – uang, tenaga kerja,
material, peralatan, bangunan, tanah, administrasi, dan manajemen. Bagaimana aktivitas rantai
nilai dilakukan menentukan biaya dan mempengaruhi keuntungan.

Konsep rantai nilai sebagai alat pendukung keputusan, ditambahkan ke paradigma strategi
kompetitif yang dikembangkan oleh Porter sejak 1979. Dalam rantai nilai
Porter, Logistik Masuk , Operasi ,Logistik Keluar, Pemasaran dan Penjualan ,
dan Layanan dikategorikan sebagai kegiatan utama. Kegiatan sekunder
meliputi Pengadaan , Manajemen Sumber Daya Manusia , Pengembangan Teknologi dan
Infrastruktur ( Porter 1985 , hlm. 11-15) .

B.Pengertian Rantai Nilai


Istilah rantai nilai (value chain) menggambarkan cara untuk memandang suatu perusahaan
sebagai rantai aktivitas yang mengubah input menjadi output yang bernilai bagi pelanggan. Nilai
bagi pelanggan berasal dari tiga sumber dasar: aktivitas yang membedakan produk, aktivitas yang
menurunkan biaya produk dan aktivitas yang dapat segera memenuhi kebutuhan pelanggan.
Analisis rantai nilai (value chain analysis—VCA) berupaya memahami bagaimana suatu bisnis
menciptakan nilai bagi pelanggan dengan memeriksa kontribusi dari aktivitas-aktivitas yang
berbeda dalam bisnis terhadap nilai tersebut (Pears and Robinson, 2009).

Womack, Jones et al (1990) mendefinisikan Value Chain Analysis (VCA) sebagai


berikut: “ …..is a technique widely applied in the fields of operations management, process
engineering and supply chain management, for the analysis and subsequent improvement of
resource utilization and product flow within manufacturing processes.” Sedangkan menurut
Shank dan Govindarajan (2000), mendefinisikan Value Chain Analyisis, merupakan alat untuk
memahami rantai nilai yang membentuk suatu produk. Rantai nilai ini berasal dari aktifitas-
aktifitas yang dilakukan, mulai dari bahan baku sampai ke tangan konsumen, termasuk juga
pelayanan purna jual.
Selanjutnya Porter (1985) menjelaskan, Analisis value-chain merupakan alat analisis
stratejik yang digunakan untuk memahami secara lebih baik terhadap keunggulan kompetitif.
Value chain dapat mengidentifikasi dimana value pelanggan dapat ditingkatkan atau penurunan
biaya, dan untuk memahami secara lebih baik hubungan perusahaan dengan pemasok/supplier,
pelanggan, dan perusahaan lain dalam industri (Blocher/Chen/Lin, 1999 diterjemahkan oleh A.
Susty Ambarriani, 2000). Value Chain mengidentifikasikan dan menghubungkan berbagai
aktivitas stratejik diperusahaan (Hansen, Mowen, 2000). Sehingga dapat disimpulkan bahwa
analisis rantai nilai merupakan suatu alat yang digunakan untuk menciptakan nilai bagi
pelanggannya untuk mencapai suatu keunggulan yang kompetitif.
Sifat Value Chain tergantung pada sifat industri dan berbeda-beda untuk perusahaan
manufaktur, perusahaan jasa dan organisasi yang tidak berorientasi pada laba. Tujuan dari analisis
value-chain adalah untuk mengidentifikasi tahap-tahap value chain di mana perusahaan dapat
meningkatkan value untuk pelanggan atau untuk menurunkan biaya. Penurunan biaya atau
peningkatan nilai tambahdapat membuat perusahaan lebih kompetitif.

C.Tujuan Rantai Nilai

Tujuan dari analisis value-chain adalah untuk mengidentifikasi tahap-tahap value chain di
mana perusahaan dapat meningkatkan value untuk pelanggan atau untuk menurunkan biaya.
Penurunan biaya atau peningkatan nilai tambah (Value added) dapat membuat perusahaan lebih
kompetitif. Strategi Low Cost menekankan pada harga jual yang lebih rendah dibandingkan
kompetitor untuk menarik konsumen. Konsekuensinya perusahaan harus melakukan kontrol Cost
yang ketat. Cost ditekan serendah mungkin sehingga produk dapat dijual dengan harga yang lebih
murah dibandingkan pesaing. Hal ini akan menjadi insentif bagi konsumen untuk membeli produk
tersebut. Cost yang rendah merupakan keunggulan kompetitif bagi perusahaan. Strategi ini banyak
dilakukan dengan baik, antara lain oleh : Ramayana di Indonesia yang bergerak di bidang Retail,
Air asia dari Malaysia yang bergerak dalam bidang penerbangan, Easyjet yang bergerak dibidang
penerbangan di Erofa.

Analisis value chain merupakan alat analisis yang berguna untuk memahami aktivitas-
aktivitas yang membentuk nilai suatu produk atau jasa dan digunakan untuk menciptakan nilai
bagi pelanggannya dalam mencapai suatu keunggulan yang kompetitif. Tujuan analisis value-
chain adalah untuk mengidentifikasi tahap-tahap value chain di mana perusahaan dapat
meningkatkan value untuk pelanggan atau untuk menurunkan biaya. Penurunan biaya atau
peningkatan nilai tambahdapat membuat perusahaan lebih kompetitif. Analisis value chain
membantu perusahaan dalam mengidentifikasi posisi perusahaan dan menganalisis aktivitas-
aktivitas yang ada dalam rantai nilai serta mengurangkan atau mengeliminasi aktivitas yang tidak
menciptakan nilai tambah pada produk atau jasa.

D.Tahapan Dalam Analisis Rantai Nilai


Setiap perusahaan mengembangkan sendiri satu atau lebih dari bagian-bagian dalam value
chain, berdasarkan analisis stratejik terhadap keunggulan kompetitifnya. Dalam jurnal Widarsono
(2009), menyatakan bahwa analisis value chain mempunyai tiga tahapan yaitu:

1. Mengidentifikasi aktivitas Value Chain


Perusahaan mengidentifikasi aktivitas value chain yang harus dilakukan oleh perusahaan
dalam proses desain, pemanufakturan, dan pelayanan kepada pelanggan. Beberapa perusahaan
mungkin terlibat dalam aktiviatas tunggal atau sebagian dari aktivitas total. Contohnya,
beberapa perusahaan mungkin hanya memproduksi, sementara perusahaan lain
mendistribusikan dan menjual produk.

2. Mengidentifikasi Cost driver pada setiap aktivitas nilai


Cost Driver merupakan faktor yang mengubah jumlah biaya total, oleh karena itu tujuan
pada tahap ini adalah mengidentifikasikan aktivitas dimana perusahaan mempunyai keunggulan
biaya baik saat ini maupun keunggulan biaya potensial. Misalnya perusahaan yang bergerak
dibidang pelayanan komputer (computer service) untuk menangani tugas-tugas pemrosesan
data, sehingga dapat menurunkan biaya dan mempertahankan atau meningkatkan keunggulan
kompetitif.

3. Mengembangkan keunggulan kompetitif dengan mengurangi biaya atau menambah nilai.


Pada tahap ini perusahaan menentukan sifat keunggulan kompetitif potensial dan saat ini
dengan mempelajari aktivitas nilai dan cost driver yang diidentifikasikan diatas. Dalam
melakukan hal tersebut, perusahaan harus melakukan hal-hal berikut :

a. Mengidentifikasi keunggulan kompetitif (Cost Leadership atau diferensiasi).


Analisis aktivitas nilai dapat membantu manajemen untuk memahami secara lebih baik
tentang keunggulan-keunggulan kompetitif stratejik yang dimiliki oleh perusahaan dan dapat
mengetahui posisi perusahaan secara lebih tepat dalam value chain industri secara
keseluruhan.
b. Mengidentifikasi peluang akan nilai tambah.
Analisis aktivitas nilai dapat membantu mengidentifikasi aktivitas dimana perusahaan
dapat menambah nilai secara siginifikan untuk pelanggan. Contohnya, merupakan hal yang
umum sekarang ini bagi pabrik-pabrik pemrosesan makanan dan pabrik pengepakan untuk
mengambil lokasi yang dekat dengan pelanggan terbesarnya supaya dapat melakukan
pengiriman dengan cepat dan murah.

c. Mengidentifikasi peluang untuk mengurangi biaya. Studi terhadap aktivitas nilai dan cost
driver dapat membantu manajemen perusahaan menentukan pada bagian mana dari value
chain yang tidak kompetitif bagi perusahaan. Beberapa perusahaan mungkin mengubah
aktivitas nilainya dengan tujuan mengurangi biaya. Contohnya, memindahkan pabrik
pemrosesan menjadi lebih dekat dengan bahan baku, sehingga dapat menghemat biaya
transportasi dan mengurangi kerugian.

E.Analisis Value Chain untuk Keunggulan Kompetitif


Supaya perusahaan bisa unggul dalam persaingan yang sangat ketat dengan lingkungan
yang selalu berubah, maka perusahaan perlu mengantisipasi, menanggapi, dan mengurangi atau
mengeliminasi hal-hal yang menyebabkan ketidakekonomisan yang terjadi dalam perusahaan.
Sebagian besar perusahaan akan berusaha untuk bisa bertahan, bahkan berkembang dalam
bisnisnya sehingga yang menjadi andalan adalah keunggulan bersaing. Perusahaan pada umumnya
mampu memperoleh keunggulan persaingan jika posisi yang dimiliki mampu memberi kekuatan
yang menonjol di atas kekuatan pesaing dan kemampuannya untuk mengembangkan image
produk perusahaan terhadap pelanggan (product positioning). Untuk mencapai hal itu perusahaan
akan menerapkan strategi bersaing.

Analisis value chain merupakan analisis aktivitas-aktivitas yang relevan sepanjang rantai
nilai (value chain) yang membentuk suatu produk, yang yang meliputi proses pengadaan,
penyimpanan, penggunaan, transformasi dan disposisi sumber daya, mulai dari aktivitas pemasok
value chain sampai dengan konsumen valuechain yang dapat meningkatkan nilai bagi konsumen
dan pemegang saham. Perusahaan harus mampu mengenali posisinya pada value chain yang
membentuk suatu produk atau jasa tersebut. Nilai bagi konsumen berarti perusahaan harus
memberikan harga yang lebih rendah dengan kualitas yang sama atau memberikan kualitas yang
lebih tinggi dengan harga yang sama jika dibandingkan dengan pesaing. Sebaliknya, nilai yang
diterima oleh pemegang saham adalah adanya peningkatan nilai saham(Machfoedz, 2004).
G.Kategori Rantai Nilai
Dalam Gereffi, Gary dan John Humphries (2005), kategori rantai nilai terdiri dari:
a. Hierarchical/Vertical Value Chains (Supplier-Driven): Pada kategori ini, rantai nilai dan tata
kelolanya terikat dalam perusahaan transnasional yang terintegrasi secara vertikal (misalnya, anak
perusahaan dan afiliasi yang harus tunduk pada perintah dari kantor pusat). Kategori ini
merupakan jenis rantai nilai paling tradisional dan paling mendekati bentuk penanaman modal
asing yang mulai tersebar.
b. Captive/Directed Value Chains (Buyer-Driven): Dalam hal ini, produsen hulu sangat bergantung
pada pembeli hilir yang lebih besar dan mapan (atau disebut dengan lead firms). Hal ini tidak
hanya terkait dengan transaksi bisnis atau pesanan, tetapi juga untuk mendapatkan bahan, desain,
teknologi, dll. Seringkali produsen harus melakukan investasi yang spesifik untuk memenuhi
suatu transaksi, dengan tingkat fleksibilitas rendah. Dengan demikian, diperlukan biaya peralihan
yang tinggi untuk pindah ke bidang bisnis baru. Produsen hulu tersebut seringkali perusahaan
kecil yang kerap “terkurung” oleh kendali lead firm.
c. Relational Value Chains: Jenis rantai nilai ini mengacu pada suatu situasi dimana perusahaan
produsen, berdasarkan desain dan kapasitas produksi yang disyaratkan, dapat menegosiasikan
hubungannya dengan pembeli hilir secara lebih setara. Dengan arus informasi dua arah pada
masalah seperti kondisi pasar, tecknologi/desain produk dan proses dsb., maka hubungan intra
rantai nilai dalam kategori ini dicirikan dengan adanya saling ketergantungan dalam lingkup
tertentu. Peralihan dari rantai nilai pasti (captive) ke hubungan (relational) dalam literatur lain
(contoh: bidang ekonomi, teknologi dan perdagangan, literatur bisnis internasional) disatukan
dengan kemajuan dari penataan bergaya OEM (original equipment manufacturing) menjadi lebih
ODM (own design manufacturing).
d. Modular atau Balanced Value Chains: Dalam situasi seperti ini, perusahaan produsen kurang
begitu bergantung pada lead firm karena penataan produksinya yang lebih fleksibel, sehingga
memungkinkan penggunaan peralatan, bahan, teknologi dan lain sebagainya yang lebih generik
dan tidak terlalu spesifik terhadap transaksi yang dilakukan. Ini mencakup penggunaan arsitektur
produk dan standar teknis modular yang mengurangi variasi komponen dan menyatukan
spesifikasi komponen, produk dan proses.
e.Market Driven Value Chains: Tipe ini mengacu pada suatu situasi yang mendekati struktur pasar
yang benar-benar kompetitif dalam literatur ekonomi mikro. Dalam kategori ini, terdapat berbagai
pilihan pasokan/permintaan dan switching costs ke mitra Rantai Nilai baru cukup rendah bagi
kedua belah pihak.
F.Pengertian Rantai Pasok

Rantai pasok atau supply chain adalah jaringan perusahaan yang secara bersama – sama
bekerjasama untuk menciptakan dan mengantarkan produk sampai ke konsumen tingkat akhir.
Produk pertanian merupakan produk yang dikonsumsi oleh segmen pasar tertentu dan memiliki
struktur rantai pasok yang terdiri dari individu tertentu dengan dilandasi oleh kepercayaan antar
pelaku. Dalam Industri Manufakturing, Kegiatan Utamanya adalah mengkonversikan berbagai
bahan mentah serta bahan-bahan pendukungnya menjadi barang jadi dan mendistribusikannya
kepada pelanggan. Dengan menjalankannya kegiatan tersebut, maka apa yang disebut dengan
Supply Chain atau Rantai Pasokan pada dasarnya telah terbentuk. Namun bagi sebuah perusahaan
manufakturing, kegiatan Supply chain atau Rantai Pasokan ini perlu dijalankan dengan efektif dan
efisien sehingga diperlukan Manajemen yang Profesional dalam pelaksanaannya. Manajemen
tersebut biasanya disebut dengan Manajemen Rantai Pasokan atau Supply Chain Management
yang sering disingkat dengan singkatan SCM. .

Contoh UD Adem Ayem merupakan salah satu pelaku usaha pemasaran kedelai yang
cukup besar di Kabupaten Grobogan. Rantai pasok berkaitan dengan alur distribusi barang dan
jasa mulai dari tingkat produsen hingga tahapan akhir sampai di tangan konsumen, untuk
mengetahui aliran produk, aliran keuangan dan aliran informasi serta margin pemasaran dan
efisiensi pemasaran rantai pasok kedelai di UD Adem Ayem. Mekanisme rantai pasok produk
pertanian menjadi kajian yang penting untuk ditelusuri sehingga dapat ditemukan faktor menjadi
penggerak rantai. Penelitian ini merupakan studi kasus mengenai rantai pasok di UD Adem Ayem,
analisis mengenai rantai pasok di UD Adem Ayem belum pernah dilakukan sebelumnya,
sementara analisis rantai pasok yang tepat dapat memberikan masukan dalam meningkatkan
efisiensi distribusi kedelai. Perlu dilakukan kajian untuk mengetahui kontribusi yang dilakukan
oleh pelaku rantai pasok kedelai di UD Adem Ayem.
BAB ll

STUDI KASUS RANTAI NILAI

STUDI KASUS 1

JUDUL: Analisis Rantai Nilai Cabai Di Sentra Produksi Kabupaten Majalengka Jawa
Barat

PENDAHULUAN

Komoditas cabai termasuk di antara 10 komoditas hortikultura yang


mendapatkan prioritas pengembangan pemerintah (Ditjen Hortikultura, 2019). Salah
satu sentra cabai di Jawa barat adalah Majalengka, kondisi dimana produksi cabai
mempengaruhi inflasi nasional merupakan masalah yang menjadi perhatian serius
dari pemerintah. Masalah-masalah yang terkait dengan cabai bukan sekedar di
tingkat petani tetapi meliputi semua stakeholder (Agus, 2011). Rantai nilai
mencakup aktivitas yang terjadi karena hubungan dengan pemasok (Supplier
Linkages) dan hubungan dengan konsumen (Consumer Linkages) yang merupakan
alat analisis strategi yang digunakan untuk memahami secara lebih baik terhadap
managemen biaya, untuk mengidentifikasi dimana nilai pelanggan dapat
ditingkatkan atau penurunan biaya, dan untuk memahami secara baik hubungan
produk pertanian dengan pemasok/supplier, pelanggan, dan dalam pasar (Porter,
1985). Kegiatan ini merupakan kegiatan yang terpisah tapi sangat tergantung satu
dengan yang lain. (Porter, 2001) serta menentukan pada titik-titik mana dalam rantai
nilai yang dapat mengurangi biaya atau memberikan nilai tambah (value chain)
(Agus, 2010). Selain itu permasalahan yang dihadapi dalam proses produksi cabai
sampai ke pasar dalam jaringan rantai nilai adalah tingginya susut pascapanen yang
diakibatkan oleh tidak sesuainya penanganan pascapanen (Devi,2017). Purwanto et
al., 2012 di sentra produksi cabai merah di Majalengka menunjukkan rantai pasok
dalam distribusi cabai merah, yaitu pasar terstruktur yang melibatkan mitra koperasi
dan pasar bebas.

Tujuan penelitian ini mengetahui untuk 1) mengidentifikasi rantai nilai cabai di


Kabupaten Majalengka, 2) menganalisis rantai nilai yang dilakukan para pelaku dan
distribusi nilai tambah diantara para pelaku tersebut di Kabupaten Majalengka dan
3) menghitung nilai tambah yang dihasilkan pengolahan cabai menjadi produk
turunannya di Kabupaten Majalengka, sedangkan manfaat yang diharapkan sebagai
referensi para petani untuk dapat menjual dan memperoduksi hasil komoditas cabai
secara langsung.

2. METODOLOGI

Pengumpulan Data
Sebuah tinjauan literatur dilakukan untuk menganalisis rantai perdagangan
dan rantai nilai cabai di Kabupaten Majalengka. Forum Kelompok Diskusi (FGD)
dan survei juga dilakukan di dua kabupaten itu. Lima kecamatan di setiap kabupaten
dipilih sebagai daerah sampel meliputi dataran tinggi dan daerah dataran rendah.
Responden dipilih secara purposive sampling untuk menutupi rantai perdagangan
seluruh cabai di bidang studi wilayah Majalengka. Data yang dikumpulkan dari
lapangan dianalisis dan dibandingkan dengan ringkasan tinjauan literatur dan FGD.
Pemilihan responden diperoleh dari dinas pertanian setempat jadi tidak
diidentifikasi kriterianya sehingga dianggap sebagai responden yang mewakili
produsen hingga stakeholder wilayah Kabupaten Majalengka. Jumlah minimum
responden di setiap kabupaten adalah 36. Responden terdiri dari petani (dataran
rendah dan dataran tinggi, cabai besar dan cabai rawit) (20), pemimpin pemimpin
kelompok tani (4), kolektor (2), pedagang (1), prosesor cabai (besar cabai dan cabai
rawit) (2), pengecer (2), Badan Penerapan Teknologi Pertanian (BPTP) (1), agen
keuangan lokal (1), petugas penyuluhan pertanian (1), sebuah asosiasi cabai (1), dan
konsumen (1).

Rantai Nilai Analisis dan Penilaian Pasar

Data yang dikumpulkan dari lapangan dianalisis dan dibandingkan dengan


ringkasan tinjauan literatur dan FGD. Metode yang digunakan survei terhadap
kegiatan rantai nilai dan wawancara, mnegajukan pertanyaan kepada para pelaku
rantai nilai yang membudidayakan cabai. Pengambilan data data primer diperoelh
dari hasil survei dan wawancara dengan pelaku rantai nilai dan data sekunder dari
data informasi yang ada di wilayah Majalengka serta catatan, buku, dokumen, dan
pustaka lain yang berhubungan dengan rantai nilai cabai. Data kriteria kemitraan
usaha dan peluang pasar dari data lapang adalah rantai pemasaran di Kabupaten
Majalengka terdiri dari beberapa alternative, yaitu:
1) Petani Konsumen
2) Petani Pengumpul Besar Pengecer Konsumen
3) Petani Pengumpul Kecil Pengumpul Besar Pengecer
4) Petani Pengumpul Besar Agen Pengecer Konsumen
5) Petani Pengumpul Lokal Eksportir
Analisis nilai tambah dilakukan dengan menggunakan R /C (Revenue / Cost)
rasio, R / C ratio dihitung untuk satu siklus budidaya dan musim panen. Diskusi dan
rekomendasi yang berasal dari hasil analisis.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Produksi cabai Majalengka memiliki kontribusi 8% dari cabai besar dan cabai
keriting dan 6% dari produksi cabai rawit di Jawa Barat. Sub-distrik Argapura,
Maja, Cikijing, Cingambul, Sukahaji, Kertajati, Jatitujuh, Ligung, dan Lemah sugih
adalah sentra produksi cabai di Majalengka. Budidaya cabai besar di Majalengka
dilakukan di dataran rendah akan tetapi dengan produktivitasnya menuru.
Faktor utama penurunan produktivitas adalah penggunaan bergantian bidang
cabai dengan beras, di mana cabai yang digunakan sebagai tanaman alternatif
setelah penanaman padi (Ligung). Menurut Morgan et al. (2014) kendala utama
dalam rantai pasok sayuran adalah perencanaan, sosialisasi dan pengiriman.
Budidaya cabai, 58,25% dari petani di Kecamatan Ligung belum menerapkan bibit
unggul, petani 53,60% belum menerapkan prinsip hama dan pengendalian penyakit,
45.75% dari mereka belum melakukan pemupukan berimbang, dan 32.39% dari
petani belum melaksanakan panen yang baik dan metode pasca panen. Sejauh ini
asih jarang ditemukan pembahasan tentang rantai pasok sayuran segar
(Zaenal,2018).
Salah satu tipe masalah yang berkembang saat ini dibidang rantai pasok adalah
penanganan produk-produk perishable (Kurniawan, 2014). Pada umumnya model
yang dikembangkan lebih focus pada penanganan persediaan menggunakan teknik
matematis diferential seperti Abad (2010), Mehta & Shah (2013) dan Kalpakhan &
Shanti (2016). Kabupaten Majalengka memiliki industri skala kecil dalam
pengolahan cabai yang menghasilkan cabai kering, cabai bubuk, dan saus cabai.
Pasar bubuk cabai masih terbatas dan hanya diproduksi berdasarkan pesanan dari
pedagang di pasar grosir di Jakarta. Sedangkan, cabai kering memiliki pasar reguler,
yaitu Tani Sejahtera Raya, Jakarta. Permasalahan eksternal mencakup masalah
perubahan iklim, serta masalah fluktuasi harga jual (Saptana et al, 2010).
Gambar 1 Rantai Pasok Cabe Merah Dan Cabe Rawit Wilayah Majalengka
Sasaran dari rantai pasokan cabai di Majalengka tidak hanya untuk pasar
tradisional setempat, pasar grosir lokal (Pasar Maja), tetapi juga dipasarkan
langsung ke pasar grosir di Jakarta (Kramat Jati), Bandung (Caringin),
dan supermarket. Para pelaku rantai suplai adalah petani, skala kecil kolektor, skala
besar kolektor, pedagang antar pulau pasar, pasar grosir, pasar tradisional setempat,
dan koperasi. Rantai pasokan di Kabupaten Majalengka umumnya ditunjukkan pada
Gambar 1. Hampir semua petani cabai pasokan cabai mereka untuk skala kecil
kolektor dan hanya 1-3% yang melakukan transaksi langsung dengan skala besar
kolektor (wawancara hasil aktor dalam rantai pasokan dan petugas penyuluhan
pertanian). Petani yang langsung bertransaksi dengan skala besar kolektor
umumnya juga bertindak sebagai pengumpul (Mokh,2012). Jaringan distribusi
mereka tidak hanya dengan para pedagang di pasar grosir lokal (Pasar Maja), tetapi
juga dengan pedagang di pasar grosir (Jakarta, Tangerang, Bekasi, dan Bandung).
Pengiriman masing-masing berisi sekitar 5 - 7 ton cabai.
Kenaikan harga jual di tingkat petani diperlukan untuk mendorong petani
dalam memproduksi cabai (Lilis, 2016). Perbaikan yang bisa dilakukan adalah
meminimalkan upah panen, kemasan, dan kerugian pada setiap langkah dari rantai
cabai, mulai dari petani sampai pasar Robertus, 2019). Model sistem distribusi
produk pertanian secara umum telah dikembangkan oleh Darmawati (2014)
berdasarkan hubungan/interaksi petani sebagai produsen dengan konsumen.
Petani cabai memasokan cabai mereka kepada koperasi atau kelompok pemasok,
selain skala kecil kolektor (Saptana, 2018). Sekitar 50% dari petani cabai di
khususnya Argapura telah bekerja sama dengan kelompok-kelompok untuk
memasarkan cabai mereka.
Tabel diatas menjelaskan nilai tambah yang dihasilkan para pelaku cabai
sesuai aktifitasnya dari petani mematok harga Rp.10.000 dengan R/C 1,21 dan
margin 1,721, pengumpul kecil membeli cabai Rp.14000 dengan R/C 1.15 dan
margin 1.800, pengumpul besar membeli cabai Rp.19000 dengan R/C 1.21 dan
margin 3.240, pasar lokal membeli cabai Rp. 18000 dengan R/C 1.16 dan margin
2.500, pasar induk membeli cabai Rp.27000 dengan R/C 1.29 dan margin 1.29 serta
pasar antar pulau membeli cabai Rp.21000 dengan R/C 1.17 dan margin 3.120.
Petani cabai di Majalengka umumnya memiliki bidang cabai dengan
berkisar luas antara 5.000 m2 dan 1 hektar. Para petani memperoleh pengetahuan
tentang sistem budidaya dari generasi sebelumnya dan petugas penyuluhan
pertanian. Dalam budidaya cabai sebanyak 58,25% dari petani belum
menerapkan bibit unggul, 53,60% belum menerapkan prinsip hama dan
pengendalian penyakit,43,75% belum melakukan pemupukan berimbang dan
32,39% belum melaksanakan panen dan metode pasca panen yang baik, sehingga
perlu dilakukan identifikasi faktor internal dan eksternal dari kekuatan dan
kelemahan dengan menggunakan pendekatan fungsional.
Tabel 2. Faktor Internal Pengembangan Keragaan Rantai Nilai Cabai
No Parameter Urutan
Kekuatan
1 Keragaman cabai (keriting dan besar) 4
2 Asosisasi kelompok tani (Gapoktan) yang ada setiap kecamatan 3
3 B udidaya dengan metode baik (pemupukan organik) 3
4 Pedagang yang menjual cabai sisa ditolak 3
Kelemahan
Tidak ada penjadwalan untuk penanaman sehingga produksi
1 1
tidka merata sepanjang tahun
Penanganan pasca panen yang tidak tepat mengarah kerusakan
2 2
(bongkar buat)
Kurangnya varian produk menciptakan nilai tambah (cabai
3 1
bubuk, cabai kering)
Tidak ada lembaga yang bisa terintegrasi baik petani dan
4 1
Pedagang
5 Efisiensi teknologi (pengolahan) 2
6 Kinerja manajemen antara pengusaha dengan petani tidak baik 2
7 Cabai rusak masih dijual 2
8 Benih tidak berkualitas 2

Tabel 3. Faktor Eksternal Pengembangan Keragaan Rantai Nilai Cabai


No Parameter Urutan
Kesempatan
1 Meningkatnya permintaan cabai 4
2 Meingkatkan konsumsi dan ekspor 3
3 Berlangganan kemitraan antara petani dan pedagang 4
4 Industri pengolahan (saos, cabai bubuk, cabai kering) 4
5 Berbagai pinjaman (KUR, Simpedes) 1
6 Mencari terobosan pada model baru dari sistem produksi 2
7 Pemetaan pola tanam 2
Ancaman
1 Persaingan antara pedagang antar daerah 3
2 Pasar yang tidak stabil di tingkat petani dan pedagang 4
Pembentukan lembaga buffer stock yang mengatur dan mengawasi
3 4
saluran pemasaran
4 Harga dasar regulasi 3
5 Meningkatkan kemitraan antara petani dan pedagang 3
6 Menciptakan produk baru pada cabai yang rusak 3

Permasalahan yang terjadi dapat dilakukan alternatif dengan mempertimbangkan


beberapa aspek, yaitu produksi, pasca panen, pasokan /rantai nilai, dan
kelembagaan (Widyarto,2012). Prioritas utama pada rantai pasokan / rantai nilai
adalah untuk meningkatkan kemitraan antara petani, pedagang, dan pengusaha.
Terakhir, prioritas alternatif kelembagaan untuk membangun buffer stock
kelembagaan yang mengatur dan mengawasi saluran pemasaran.
KESIMPULAN

1. Pasca panen cabai di Kabupaten Majalengka umumnya dilakukan secara manual


oleh petani. Para petani menjual cabai mereka untuk skala kecil kolektor, skala
besar kolektor atau mereka menjual langsung ke pasar lokal dan pasar grosir.
Petani cabai di Majalengka belum dalam kemitraan dengan industri skala besar
tetapi mereka telah berkumpul dalam bentuk kelompok tani dan koperasi. Kecil
kolektor biasanya datang langsung ke petani untuk membeli cabai secara tunai.
2. Tujuan dari rantai pasokan cabai di Majalengka tidak hanya pasar tradisional
lokal atau pasar grosir lokal, tetapi juga pasar grosir nasional seperti Kramatjati
(Jakarta), Caringin (Bandung), dan supermarket. Para aktor dalam rantai pasokan
adalah petani, skala kecil kolektor, skala besar kolektor, pedagang di pasar antar-
pulau, pedagang di pasar grosir, pedagang pasar tradisional setempat, dan
koperasi.
3. Biaya total produksi cabai besar adalah Rp 75.000.000 per hektar, sementara,
cayenne cabai adalah Rp 70.000.000 per hektar. Rasio R / C adalah 1,33 untuk
besar dan cabai rawit 1,71 untuk cabai sebagai nilai tambah cabai.

STUDI KASUS ll

JUDUL: ANALISIS RANTAI NILAI PRODUKSI BENIH KANGKUNG DI PT


EAST WEST SEED INDONESIA (EWINDO)

PENDAHULUAN

Kangkung merupakan salahsatu sayuran populer di masyarakat Indonesia. Hasil Survey


Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2015 dan 2016, kangkung menempati urutan pertama
jenis tanaman sayur di Indonesia yang banyak dikonsumsi masyarakat dengan konsumsi rata- rata
per kapita per tahun 2016 sebesar 4,78 kg, sehingga konsumsi rata-rata nasional tahun 2016
sekitar 1.232 kg (BPS, 2017). Walaupun tingkaT konsumsi sayuran masyarakat Iindonesia masih
paling rendah dibanding ASEAN (hanya 13.14 gram/hari), tetapi pada umumnya terus meningkat
(Latifah, Boga, Maryono, 2014; Hermina dan Prihatini, 2016). WHO memberikan standar
konsumsi sayuran untuk hidup sehat adalah 250 gram perkapita per hari (Infodatin, 2016),
sehingga masih ada kesenjangan sebesar 236.86 gram per kapita per hari untuk ditingkatkan.
Meningkatnya konsumsi sayuran dan naiknya kesadaran terhadap penggunaan benih
bermutu telah menggairahkan industri benih di Indonesia belakangan ini, ditandai dengan
bermunculannya produsen-produsen benih yang terus bertambah dari tahun ke tahun. Situasi ini
ditunjang dengan kebijakan pemerintah yang semakin mendukung dunia perbenihan, salahsatunya
dengan menjadikan tahun 2018 sebagai ”tahun perbenihan” dan menetapkan bidang hortikultura
sebagai salahsatu garapan di samping perkebunan (Bisnis Indonesia, 2017).
PT East West Seed Indonesia (Ewindo) adalah salahsatu perusahaan benih sayuran yang
sudah 28 tahun bergerak dalam industri benih hortikultura. Berdiri tahun 1990 di Jakarta, Ewindo
mengutamakan pemuliaan tanaman yang kuat sebagai basis operasionalnya sebelum produksi dan
pemasaran. Walaupun demikian, untuk tahap awal Ewindo menggunakan varietas introduksi
untuk pertumbuhan perusahaan, salahsatunya adalah kangkung. Sebagai perintis dalam bisnis
benih hortikultura, Ewindo telah melakukan kerjasama produksi benih kangkung sejak tahun
1996 dengan petani di wilayah Gresik, Jombang, Lamongan, dan Tuban (selanjutnya disebut
”Gresik Raya”). Secara agroklimat wilayah ini sangat cocok untuk produksi benih kangkung
dibanding wilayah lainnya yang pernah dicoba, seperti Madura, Lampung, Banyuwangi dan Nusa
Tenggara Timur. Hal ini menyebabkan wilayah ini menjadi satu-satunya area produksi benih
kangkung bagi Ewindo dan bahkan bagi seluruh produsen benih di Indonesia.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode deksriptif dengan mengkaji rantai nilai dalam sistem
pasokan benih kangkung di Ewindo dari tingkat produksi di bagian hulu (upstream) hingga
konsumen di bagian akhir (downstream), dengan titik masuk pada kemitraan produksi sebagai
titik masuk dan sentral kajian agar lebih sederhana dan jernih (Kaplinsky dan Morris, 2001).
Kajian meliputi pemetaan para pelaku rantai nilai yang terlibat beserta peran dari masing-
masing aktor tersebut yang meliputi proses inti, aliran produk, informsi dan hubungan antar
pelaku sehingga dapat digunakan untuk memotret sistem yang selama ini berjalan dalam rantai.
Populasi dalam penelitian ini adalah keseluruhan pemangku kepentingan yang terlibat
dalam rantai nilai benih kangkung Ewindo, dari hulu sampai hilir, walaupun populasi yang
dominan adalah para petani produksi atau petani mitra yang merupakan titik masuk dari analisis
rantai nilai dalam industri pertanian yang pro poor growth atau pro kaum miskin (ACIAR,
2008). Sampel dalam penelitian ini diambil dengan teknik purposive sampling (disengaja)
dengan memperhatikan peranan responden dalam rantai nilai produksi benih kangkung Ewindo,
kecuali untuk analisis usahatani dilakukan dengan convenience sampling yaitu dilakukan
kepada 10 petani sub kelompok yang datang pertama saat penyetoran benih di ketua kelompok
tani.
Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari datar primer dan data sekunder
sesuai dengan kebutuhan kajian yang dilakukan. Data primer diperoleh secara langsung dari
responden berkaitan dengan rantai pasokan dan rantai nilai benih kangkung, khususnya tentang
tata kelola dan analisis usatahani. Data sekunder diperoleh dari dokumen-dokumen perusahaan
(Ewindo) dan kelompok tani berkaitan dengan volume produksi, jumlah petani produksi dan
pencapaian target produksi. Data sekunder juga diperoleh melalui penelusuran pustaka baik
berbentuk cetak maupun dalam jaringan (daring) yang dikeluarkan oleh lembaga-lembaga
negara seperti Biro Pusat Statistik (BPS) dan Kementrian Pertanian yang berguna untuk
mendukung data penelitian.
Kegiatan survey dan observasi dilakukan dengan meninjau langsung ke lapangan dan
mengumpulkan informasi dari jejaring aktivitas rantai nilai. Observasi terhadap jejaring rantai
nilai itu sekaligus juga mengidentifikasi para pelaku (aktor) yang terlibat dalam rantai nilai dan
peran dari masing-masing pelaku. Wawancara dilakukan terhadap perwakilan manajemen dan
tim pengelola produksi kangkung Ewindo serta para petani produksi yang diwakili oleh ketua
kelompok tani. Kuesioner diberikan kepada semua responden yang diwawancarai termasuk di
dalamnya adalah perwakilan distributor yang diwakili oleh petugas pemasaran dan pemasok
sarana produksi benih, untuk mengumpulkan data mengenai tata kelola rantai nilai di bagian
hilir.

Petani Mitra Produksi EWINDO

RANTAI NILAI

▪ Observasi
Titik Masuk:Usaha Tani Pemetaan Rantai Nilai ▪ Depth Interview
Produksi Benih ▪ Survey

Analisis Usahatani

Analisis Tata Kelola


Rantai Nilai

Strategi peningkatan
Strategi Peningkatan

(Upgrading)
HASIL & PEMBAHASAN
Pemetaan Rantai Nilai

Pemilihan dimensi pemetaan dilakukan berdasarkan pertimbangan elemen-elemen yang


menjadi penggerak utama dalam rantai dan peluang peningkatan berdasarkan kendala dan atau
permasalahan di dalam hubungan itu. Oleh karena itu, analisis rantai nilai dalam penelitian ini
sebagian besar menyoroti hubungan Ewindo dengan petani yang bermitra dalam produksi benih
kangkung dengan menjadikan usahatani yang dikelola oleh petani produksi sebagai titik masuk
ke dalam rantai karena mereka dianggap sebagai elemen yang paling marjinal dalam sistem
(ACIAR, 2008).

Proses utama dalam rantai nilai benih kangkung Ewindo secara keseluruhan dimulai dari
proses pengadaan sarana dan prasarana produksi, yang meliputi penyiapan lahan, pupuk dan obat-
obatan; dilanjutkan dengan proses penanaman, panen & pengeringan di lahan, perontokan,
pembersihan ulang dan pengumpulan di petani kunci; diakhiri pengolahan di perusahaan,
pengepakan dan penjualan baik di dalam negeri maupun ke luar negeri (Gambar 2). Semua proses
inti, sejak penanaman sampai petani mendapatkan uang pembayaran berlangsung sekitar 3,5-4
bulan yang terdiri dari proses penanaman 3 bulan, proses pascapanen hingga penyerahan ke petani
kunci sekitar 2-3 minggu dan proses pembayaran benih dari Ewindo paling lambat 7 hari sejak
benih disetorkan di gudang petani kunci. Kecepatan lainnya saat ini mulai dikenal yang disebut
sebagai asuransi berbasis indeks iklim (Estiningtyas, 2012), salahsatunya dikenal dengan adalah
Derivatif Cuaca atau Weather Derivatives (Osgood et.al., 2007; Arce, 2016). Asuransi berbasis
indeks iklim memberikan pertanggungan ketika terpenuhi kondisi cuaca/iklim yang tidak
diharapkan (indeks iklim) tanpa perlu bukti kegagalan panen (Insyafiyah dan Wardhani, 2014).
Asuransi berdasarkan indeks iklim mengasuransikan indeks iklim atau cuaca, bukan tanamannya
(misal: indeks curah hujan).

2. Analisis Usaha Produksi Benih Kangkung


Analisis usahatani di tingkat penanam amat penting karena pendapatan merupakan
salahsatu indikator keberhasilan dan merupakan gambaran tingkat keuntungan dan kelayakan
sebuah usahatani. Analisis usaha di tingkat penanam juga diambil karena petani penanam
adalah bagian terbesar dari pelaku rantai nilai produksi benih kangkung yang menjadi titik
masuk analisis rantai nilai yang berpihak kepada kaum miskin. Pendapatan usahatani yang
dikemukakan di sini diambil secara primer dari hasil wawancara dengan responden ahli dan
survey ke petani anggota (penanam) di masing-masing kelompok tani yang mewakili area
Gresik, Jombang, Lamongan dan Tuban (Tabel 5.1).

Pendapatan dan Kelayakan Usahatani Benih Kangkung (per Hektar per Musim) di
Tingkat Petani Penanam (n=10)
Uraian Gresik Jombang Lamongan Tuban
Produksi (kg) 2.500 1.500 2.300 1.200
Harga Benih (Rp/kg) 12.700 12.700 12.700 12.700
Biaya Tenaga kerja (Rp) 7.000.000 5.000.000 6.000.000 5.000.000
Sarana Produksi (Rp) 7.000.000 5.000.000 6.000.000 6.000.000
Sewa Lahan (Rp/musim) 5.500.000 5.000.000 6.000.000 6.000.000
Total Pendapatan (Rp/ha) 31.750.000 19.050.000 29.210.000 15.240.000
Total Biaya (Rp/ha) 19.500.000 15.500.000 19.000.000 17.000.000
BCR 1,63 1,23 1,54 0,90

Hasil analisis usahatani yang dihimpun di 4 daerah utama produksi benih kangkung
Ewindo saat ini, produksi benih kangkung secara umum relatif menguntungkan bagi petani
penanam yang diindikasikan dengan Benefit Cost Ratio (BCR)

>1. Harga beli sebesar Rp 12.700,- dari petani penanam yang diberlakukan dalam kontrak
kerjasama dengan Ewindo menguntungkan untuk petani, kecuali untuk area Tuban (BCR: 0,9).
Angka BCR yang rendah di Tuban disebabkan oleh rendahnya tingkat produksi yang hanya
mencapai 1,200 kg/ha. Hasil wawancara dan observasi di lapangan menunjukkan bahwa
rendahnya tingkat produksi di wilayah Tuban karena masih rendahnya pengetahuan teknik
budidaya petani terutama dalam hal pemupukan seperti waktu dan jenis pupuk yang tepat, juga
pengetahuan sanitasi tanaman (pembersihan gulma) yang amat signifikan pengaruhnya
terhadap jumlah dan kualitas benih yang dihasilkan. Wilayah Tuban baru dibuka tahun 2015
dengan percobaan tanam dan langsung dilanjutkan dengan kemitraan komersial (contract
farming) pada tahun 2016, sehingga saat penelitian dilakukan baru memasuki tahun ke-3.
Petani kunci dan tim produksi Ewindo masih tetap optimis bahwa hasil produksi di wilayah
Tuban akan mengalami peningkatan secara terus- menerus seiring dengan meningkatnya
pengalaman dan pengetahuan petani. Walaupun demikian, percepatan area Tuban sangat
penting karena wilayah ini merupakan area baru yang terpisah dari area produksi utama (lihat
Gambar 1.1) sehingga masih sepi dari kompetisi dan bisa menjadi wilayah penyangga yang
amat penting di masa depan. Ewindo perlu melakukan fokus upgrading secara khusus di
wilayah ini dengan meningkatkan pengetahuan dan keterampilan budidaya bagi para petani.

Kesimpulan

Rantai nilai produksi benih kangkung Ewindo secara umum berjalan cukup baik,
walaupun ada beberapa titik yang memerlukan upgrading (peningkatan) terutama di sisi mitra
produksi, yaitu para petani. Para pelaku utama dalam rantai terdiri dari 6 aktor, yaitu petani
penanam, subkelompok tani, petani kunci, Ewindo, distributor dan pengecer baik di dalam
maupun luar negeri.
Kemitraan produksi benih kangkung di Gresik Raya yang sebagian besar sudah
berlangsung lebih dari 20 tahun telah melahirkan hubungan yang persisten dalam tata kelola
rantai nilai yang bersifat captive, di mana Ewindo sebagai perusahaan utama (lead firm) dituntut
memiliki ethical leadership untuk memastikan petani mitra mendapat perlakuan yang adil dan
setara dalam distribusi nilai sehingga tumbuh rasa saling percaya, komitmen dan tanggungjawab
sebagai social capital yang penting untuk melanggengkan hubungan yang saling
menguntungkan dalam rantai.
Petani mitra Ewindo secara umum sudah mendapatkan keuntungan dari usahatani yang
dilakukan dengan rata-rata benefit cost ratio (BCR) tertinggi di daerah Gresik (1.63) sebagai
area kemitraan tertua, dan terendah di daerah Tuban (0.90) sebagai area yang baru beroperasi
selama 2 tahun. Hubungan antara tingkat keuntungan dengan lamanya kemitraan membangung
optimisme bahwa petani di daerah baru akan mendapatkan keuntungan yang sama dengan derah
lama seiring dengan bertambahnya pengetahuan dan keterampilan budidaya yang dimiliki.

Beberapa langkah peningkatan yang perlu dilakukan dalam rantai terdiri dari economic
upgrading dan social upgrading antara lain: (1) peningkatan mutu produk yang dihasilkan
melalui pelatihan penetapan standar mutu; (2) penyediaan alat transportasi rutin yang berkapasitas
besar; (3) sekolah lapang yang terjadwal untuk meningkatkan kompetensi petani mitra baru; dan
(4) membangun dan meningkatkan hubungan sosial yang kuat dengan para pelaku rantai
khususnya petani mitra dalam bentuk: family gathering petani dan Ewindo, pemberian
penghargaan dan inisiasi asuransi berbasis indeks iklim untuk petani.

STUDI KASUS lll

JUDUL : RANTAI NILAI (VALUE CHAIN) AGRIBISNIS LABU


DIKECAMATAN GETASAN KABUPATEN SEMARANG

PENDAHULUAN
Labu atau waluh merupakan salah satu produk pertanian yang banyak ditemukan di
Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang. Walaupun tanaman ini masih dianggap sebagai
tanaman “sampingan” tapi potensi tanaman ini masih bisa dioptimalkan lagi karena jumlah
lahan dan produksi labu tiap tahun mengalami peningkatan (Slamet, 2012). Penanaman labu
tidak hanya dipandang dari segi ekonomis saja oleh masyarakat setempat tapi juga
merupakan budaya turun temurun.
Tanaman labu belum mendapatkan perhatian lebih dari masyarakat karena selain
konsumsi labu yang masih rendah juga karena harga jual labu oleh petani masih sangat
rendah. Sehingga, petani kurang termotivasi untuk fokus terhadap pertanian labu. Harga jual
labu oleh petani dikisaran Rp 500,00- Rp 1.000,00 per kg saat hari biasa dan Rp 2.000,00 per
kg saat bulan ramadhan. Sedangkan harga jual oleh pedagang saat hari biasa Rp 3.000,00 per
kg dan Rp 5.000,00 per kg saat bulan ramadhan. Kurangnya motivasi para petani untuk
menanam labu disebabkan oleh adanya nilai jual labu yang lebih bagus ditingkat pedagang
sehingga para petani menganggap labu sebagai “tanaman sampingan”.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Rantai Nilai (Value Chain) Agribisnis Labu
di Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang dan mengetahui strategi untuk mengeksiskan
posisi Agribisnis Labu.

KERANGKA PEMIKIRAN TEORITIS


Teori Rantai Nilai atau Value Chain Agribisnis Labu tidak dapat dipisahkan dari
grand theory yaitu teori produksi. Terdapat keteritakan dan hubungan dengan teori biaya,
nilai tambah dan margin pemasaran.
Teori Produksi
Teori produksi mempelajari bagaimana menggunakan kombinasi input / faktor-faktor
produksi untuk menghasilkan output yang optimal. Fungsi produksi dibagi menjadi 2 yaitu
fungsi produksi jangka pendek yaitu suatu periode dimana beberapa input jumlahnya tidak
dapat ditambah. Fungsi produksi jangkan panjang yaitu suatu periode dimana semua input
dapat dirubah jumlahnya.Dalam fungsi produksi terjadi The Law of Diminishing Marginal
Return yaitu tambahan hasil yang menurun karena penambahan 1 unit faktor produksi.

Rantai Nilai
Rantai nilai merupakan suatu cara pandang dimana bisnis dilihat sebagai rantai aktivitas
yang mengubah input menjadi output yang bernilai bagi pelanggan. Nilai bagi pelanggan
berasal dari tiga sumber dasar : aktivitas yang membedakan produk, aktivitas yang menurunkan
biaya produk dan aktivitas yang dapat segera memenuhi kebutuhan pelanggan (Pearce dan
Robinson, 2008).
Analisis rantai nilai (value-chain analysis-VCA) berupaya memahami bagaimana suatu
bisnis menciptakan nilai bagi pelanggan dengan memeriksa kontribusi dari aktivitas-aktivitas
yang berbeda dalam bisnis terhadap nilai tersebut. VCA mengambil sudut pandang proses,
analisis ini membagi bisnis menjadi kelompok-kelompok aktivitas yang terjadi dalam bisnis
tersebut; diawali dengan input yang diterima oleh perusahaan dan berakhir dengan produk atau
jasa perusahaan dan layanan purnajual bagi pelanggan. VCA berupaya melihat biaya lintas
rangkaian aktivitas yang dilakukan oleh bisnis tersebut untuk menentukan dimana terdapat
keunggulan biaya rendah atau kelemahan biaya. VCA melihat pada atribut-atribut dari setiap
aktivitas yang berbeda untuk menentukan dengan cara bagaimana setiap aktivitas yang terjadi
antara pembelian input dan layanan purna jual dapat membedakan produk dan jasa perusahaan.

Teori Biaya
Fungsi biaya adalah fungsi yang menunjukkan hubungan antara biaya dan jumlah
produksi. Berdasarkan periode waktunya, terdapat biaya jangka pendek (short run) dan jangka
panjang (long run).
Faktor-faktor yang menentukan besarnya biaya produksi:
1.Kondisi fisik proses produksi
2.Harga faktor produksi
3.Efisiensi kerja pengusaha dalam memimpin produksi
Beberapa pengertian biaya produksi:
1. Biaya produksi sosial / biaya alternatif (opportunity cost)
Yaitu memperlihatkan besarnya alokasi biaya untuk barang Y yang harus
dikorbankan sebagai akibat tambahan 1 unit barang X yang akan diproduksi
2. Biaya produksi private
Yaitu biaya yang dikeluarkan perusahaan berdasarkan pencatatan akuntansi
3. Biaya produksi eksplisit
Yaitu biaya yang dikeluarkan perusahaan guna membeli /
membayar Faktor-faktor produksi diluar yang dimiliki oleh
pengusaha
4. Biaya produksi implisit
Yaitu biaya yang seharusnya dikeluarkan pengusaha guna
membayar faktor-faktor produksi termasuk yang dimiliki
pengusaha itu sendiri.

Nilai Tambah
Konsep nilai tambah adalah salah satu pengembangan nilai yang terjadi karena adanya
input yang diperlakukan pada suatu komoditas. Input yang menyebabkan terjadinya nilai
tambah dari suatu komoditas dapat dilihat dari adanya perubahan-perubahan pada komiditas
tersebut, yaitu perbahan bentuk, tempat dan waktu.
Menurut Hayami dalam Armand Sudiono (2004) terdapat dua cara menghitung nilai
tambah. Pertama nilai untuk pengolahan dan kedua nilai tambah untuk pemasaran. Faktor-
faktor yang mempengaruhi nilai tambah untuk pengolahan dapat dikelompokkan menjadi dua
yaitu faktor teknis dan faktor pasar. Faktor teknis adalah kapasitas produk, jumlah bahan
baku yang digunakan dan tenaga kerja. Faktor pasar adalah harga output, upah tenaga kerja,
harga bahan baku dan nilai input lain selain bahan baku dan tenaga kerja.

Margin Pemasaran
Margin didefinisikan dengan dua cara yaitu pertama, margin pemasaran merupakan
perbedaan antara harga yang dibayarkan konsumen dengan harga yang diterima petani.
Kedua, margin pemasaran yaitu biaya dari jasa-jasa pemasaran yang dibutuhkan sebagai
akibat dari permintaan dan penawaran dari jasa-jasa pemasaran.
Komponen margin pemasaran terdiri dari 1) biaya-biaya yang diperlukan lembaga-
lembaga pemasaran untuk melakukan fungsi-fungsi pemasaran yang disebut biaya pemasaran
atau biaya fungsional; dan 2) keuntungan lembaga pemasaran. Margin didefinisikan dengan
dua cara yaitu pertama, margin pemasaran merupakan perbedaan antara harga yang
dibayarkan konsumen dengan harga yang diterima petani. Kedua, margin pemasaran yaitu
biaya dari jasa-jasa pemasaran yang dibutuhkan sebagai akibat dari permintaan dan
penawaran dari jasa-jasa pemasaran.

METODE PENELITIAN
Variabel Penelitian

Variabel dalam penelitian ini terdiri dari 5 variabel seperti tertera dalam Tabel 1
berikut:
Tabel 1

Variabel dan Definisi Operasional

No. Variabel Satuan Definisi Operasional

1 Biji Labu (Wineh) Rp/kg Biji Labu atau wineh yang siap ditanam
menjadi
tanaman labu

2 Pupuk kandang Rp/kg Pupuk kandang yang dibutuhkan untuk


penanaman labu. Satuan pengukuran 1
kg.Para petani biasanya menggunakan
ukuran per kol atau per 1 bak terbuka.
Dimana 1 kol bisa memuat sekitar 100
kg pupuk kandang

3 Tenaga Kerja Rp /kg Tenaga kerja yang dibutuhkan untuk


menanam
labu.

4 Biaya Transportasi Rp/kol Biaya yang dikeluarkan untuk proses


pengangkutan produk
dari
petani,tengkulak,pedagang,pengecer
dan konsumen.

5 Harga Labu Rp/kg Harga labu yang dijual oleh petani maupun
Pedagang
Penentuan Sampel
Penentuan sampel untuk penelitian ini diambil secara purposive sampling yaitu
sampel diambil dengan maksud atau tujuan tertentu. Peneliti menganggap bahwa Petani Labu
di Kecamatan Getasan memiliki informasi yang diperlukan bagi penelitian ini. Terdapat dua
jenis sampel di purposive sampling yaitu judgement dan quota sampling. Jenis teknik yang
dipakai dalam penelitian ini yaitu quota sampling. Teknik sampel qutoa yaitu sampel yang
distratifikasikan secara proporsional namun tidak dipilih secara acak melainkan secara
kebetulan saja.
Besaran sampel yang diambil yaitu 60 orang. Hal tersebut dikarenakan informasi
responden yang umumnya homogen dan tidak banyak berbeda satu dengan yang lain. Dari 12
Desa di Kecamatan Getasan, sampel penelitian yang diambil hanya 3 Desa yaitu Desa Batur,
Desa Tajuk dan Desa Sumogawe. Tiga desa tersebut jumlah Petani Labu paling banyak
diantara Desa yang lain.
Sumber untuk key person dalam indepth interview yaitu:

a. Pihak akademisi : Ibu Maria, SP, MP (Kaprodi Agribisnis Fakultas Pertanian UKSW,
Dr.Titik Ekowati (Dosen Ekonomi Pertanian Fakultas Peternakan dan Pertanian
Universitas Diponegoro)
b. Pihak bisnis / pengusaha : Bapak Slamet (pemilik usaha IRT Mugi Rahayu)
c. Pihak petani : Bapak Tugiman, Bapak Suwarlan
d. Pihak goverment / pemerintah : Bapak Jumardi (staff pengolahan pascapanen
hortikultura Departemen Pertanian Provinsi Jawa Tengah), Ibu Retno (staff seksi
hortikultura Departemen Pertanian Kabupaten Semarang)

Metode Analisis
Analisis Rantai Nilai
Langkah awal dalam analisis rantai nilai adalah memecah operasi suatu perusahaan
menjadi aktivitas atau proses bisnis tertentu, biasanya dengan mengelompokkan aktivitas atas
proses tersebut kedalam kategori aktivitas primer atau pendukung. Proses tersebut disebut
juga dengan identifikasi aktivitas.
Langkah berikutnya adalah mencoba mengaitkan biaya ke setiap aktivitas yang
berbeda. Setiap aktivitas dalam rantai nilai mengeluarkan biaya serta mengikat waktu dan
aset. Analisis rantai nilai mengharuskan manajer untuk mengalokasikan biaya dan aset ke
setiap aktivitas dan dengan demikian menyediakan sudut pandang yang sangat berbeda
terhadap biaya dibandingkan dengan yang dihasilkan oleh metode akuntansi biaya tradisional.
Ketika rantai nilai didokumentasikan, para manajer perlu mengidentifikasikan
aktivitas yang penting bagi kepuasan pembeli dan keberhasilan pasar. Aktivitas-aktivitas
tersebut adalah aktivitas- aktivitas yang perlu mendapat perhatian khusus dalam analisis
internal. Terdapat tiga pertimbangan penting dalam tahap analisis rantai ini.
Pertama, misi utama perusahaan perlu mempengaruhi pilihan aktivitas yang akan
diteliti secara rinci oleh manajer. Jika perusahaan tersebut fokus untuk menjadi penyedia
dengan biaya rendah, perhatian manajemen terhadap penurunan biaya harus sangat terlihat.
Selain itu, jika misi perusahaan didasarkan pada komitmen terhadap diferensiasi, para
manajer perusahaan harus mengeluarkan lebih banyak uang untuk aktivitas-aktivitas yang
menjadi kunci diferensiasi.
Kedua, sifat dari rantai nilai dan relatif pentingnya aktivitas-aktivitas dalam rantai
nilai tersebut bervariasi dari satu industri ke indutri lain. Ketiga, relatif pentingnya aktivitas
nilai dapat bervariasi sesuai dengan posisi perusahaan dalam sistem nilai yang lebih luas yang
mencakup rantai nilai dari para pemasoknya di hulu serta pelanggan atau rekanan di hilir
yang terlibat dalam penyediaan produk atau jasa bagi para pemakai akhir.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


Peta Rantai Nilai Agribisnis Labu

Peta Rantai Nilai Agribisnis Labu pada Gambar 1 menggambarkan distribusi Labu
dari produksi hingga konsumen akhir melewati tahapan dan proses yang berbeda. Peta Rantai
Nilai terdiri dari 3 bagian yaitu Fungsi Utama Rantai Nilai, Pelaku dalam Rantai Nilai dan
Lembaga-lembaga terkait yang menunjang keberlangsungan Rantai Nilai Agribisnis Labu.
Fungsi Utama Rantai Nilai yaitu dari proses produksi, pengumpulan, perdagangan,
pengolahan, perdagangan dan ritel. Pelaku
atau aktor Rantai Nilai yaitu pihak-pihak yang terlibat dalam Agribisnis Labu seperti petani,
tengkulak, pengumpul, pedagang besar, ritel atau pedagang kecil Labu. Lembaga penunjang
yaitu lembaga baik formal maupun informal yang membantu dan memfasilitasi pelaku atau
aktor dalam melaksanakan fungsi mereka dalam Rantai Nilai Agribisnis Labu.
Gambar 1

Rantai Nilai Agribisnis Labu

Sumber: Data primer diolah, 2013

Dalam Rantai Nilai Agribisnis Labu terdapat beberapa pelaku mulai dari level petani
hingga ke pedagang eceran. Berikut fungsi dan pelaku dalam Rantai Nilai Agribisnis Labu:
1. Petani
Petani labu di Kecamatan Getasan umumnya menanam labu hanya sebagai tanaman
“sampingan” hal tersebut dikarenakan nilai ekonomis Labu masih rendah sehingga petani
masih enggan memproduksi Labu lebih serius. Selama ini hasil pertanian Labu yang sudah
dipanen diambil oleh para pedagang. Pedagang tingkat eceran yang langsung mengambil dari
petani dan juga pedagang tengkulak yang mengambil dari petani dengan tingkat harga yang
relatif rendah. Petani tidak dapat berbuat banyak dengan harga beli Labu yang rendah oleh
tengkulak karena pada kasus tertentu terdapat suatu perjanjian non-formal antara petani dan
tengkulak terkait hutang-piutang. Sehingga, daya tawar petani dalam kasus tersebut rendah.
Banyak petani Labu yang memiliki prinsip meskipun hasil secara ekonomi pertanian
Labu sangatlah rendah dan tidak dapat memberikan peningkatan kesejahteraan akan tetapi
pertanian Labu masih mereka geluti karena terdapat unsur budaya turun-temurun dari leluhur
mereka. Petani Labu menganggap bahwa penanaman Labu tergolong mudah, sederhana dan
tidak terlalu mengeluarkan banyak biaya perawatan. Kelemahan petani Labu di Kecamatan
Getasan yaitu para petani masih belum tergerak untuk mengolah Labu menjadi produk-
produk olahan yang bernilai ekonomis tinggi. Hal tersebut karena terkendala masalah modal
dan juga keterampilan.
2. Tengkulak
Tengkulak merupakan individu-individu yang melakukan pembelian Labu langsung
ke petani. Tengkulak biasanya membeli labu dengan harga rendah karena petani tidak
memiliki akses untuk menjual labu ke tingkat pedagang yang lebih besar karena terbentur
modal. Selain itu, dalam beberapa kasus tertentu tengkulak memiliki posisi tawar harga yang
lebih baik daripada petani karena ada peminjaman sejumlah dana oleh petani.
3. Pengumpul
Pengumpul merupakan penyalur dari tengkulak menuju ke pengumpul besar
level kecamatan. Pengumpul memiliki pasokan Labu lebih besar daripada tengkulak dan
lebih kecil dari Pengumpul Level Kecamatan. Pengumpul biasanya hanya mencakup wilayah
desa atau beberapa desa saja.
4. Pengumpul Level Kecamatan
Pengumpul level kecamatan merupakan pedagang pengumpul besar dalam satu
Kecamatan Getasan. Kecamatan Getasan memiliki pedagang pengumpul besar level
Kecamatan sebanyak 2 orang saja. Pasokan bahan pengumpul tersebut lebih besar daripada
pengumpul level desa. Pengumpul Level Kecamatan berhubungan langsung dengan
pedagang besar baik dalam kota, luar kota, pulau Jawa maupun Luar pulau Jawa.
5. Pedagang Besar
Pedagang besar merupakan pedagang Labu ditingkat wholesaler. Pedagang
mengambil pasokan Labu dari Pengumpul Level Kecamatan untuk selanjutnya dipasarkan ke
pedagang pengecer bisa melalui pasar maupun secara personal. Pedagang Besar mencakup
pedagang di kota-kota besar maupun daerah sekitar yaitu Jakarta, Bandung, Salatiga,
Ambarawa, Bandungan dan Sragen.
6. Pedagang Eceran
Pedagang eceran merupakan pedagang yang langsung melakukan aktifitas jual beli
dengan konsumen secara langsung. Biasanya pedagang eceran membeli barang dari pedagang
besar maupun dari petani secara langsung. Cakupan wilayah pedagang eceran dalam Rantai
Nilai Agribisnis Labu yaitu pedagang disepanjang Kecamatan Getasan dan juga pedagang
eceran lainnya.

Analisis Rantai Nilai Agribisnis Labu


Dalam Rantai Nilai Agribisnis Labu terdapat pelaku atau aktor yang berperan yaitu
petani, tengkulak, pedagang pengumpul, pedagang pengumpul level kecamatan, pedagang
besar dan pedagang eceran. Berdasarkan Tabel 2 (lampiran) Harga labu ditingkat petani
sebesar Rp 2.000,00 / kg ; harga labu ditingkat tengkulak Rp 2.200,00 / kg; harga labu
ditingkat pengumpul level kecamatan sebesar Rp 2.500,00 / ; harga labu ditingkat pedagang
besar sebesar Rp 3.000,000 dan harga labu ditingkat pengecer sebesar Rp 5.000,00. Terlihat
bahwa pelaku atau pihak yang paling diuntungkan dengan harga jual labu paling tinggi yaitu
pedagang eceran.

Margin dilevel petani sebesar 50, margin level tengkulak sebesar 2056, margin level
pengumpul sebesar 2330, margin level pedagang besar sebesar 2506.7 dan margin dilevel
pedagang ecerean sebesar 4850. Dalam Rantai Nilai Agribisnis Labu pihak yang sangat
diuntungkan berdasarkan tingkatan yaitu pertama pedagang eceran, kedua pedagang besar
dan ketiga pedagang pengumpul level kecamatan. Terdapat suatu kesenjangan yang sangat
tinggi antara margin dilevel pedagang eceran dan tingkat petani.

Strategi Agribisnis Labu


Agribisnis Labu masih belum dikembangkan secara optimal baik dari petani hingga
pedagang kecil. Berdasarkan in-depth interview yang dilakukan dengan unsur dari AGBC
ditemukan beberapa permasalahan dalam Agribisnis Labu yaitu:

Tabel 3
Permasalahan Agribisnis
Labu

No. Permasalahan Agribisnis Labu

1 Menurunnya harga Labu saat panen

2. Produk Labu belum terkoordinasi dalam suatu cluster


3. Terbatasnya akses pemasaran ke pasar
4. Belum optimalnya pengolahan produk Labu
5. Belum adanya sinergi dalam pelaku
Agribisnis Labu Sumber: Data primer diolah, 2013

Agribisnis Labu merupakan suatu sistem pertanian yang mencakup 5 subsistem dari hulu
hingga hilir. Terdapat beberapa permasalahan yang dihadapi oleh Agribisnis Labu seperti
tertera dalam Tabel
3. Pertama, menurunnya harga labu saat panen raya. Harga jual labu otomatis akan turun saat
panen tiba karena jumlah supply yang banyak dari petani. Hal tersebut menyebabkan harga
labu menjadi rendah karena petani juga tidak dapat menentukan harga labu. Harga jula
rendah juga terkait dengan permasalahan terbatasnya akses pemasaran ke pasar. Umumnya,
produk dari petani diambil oleh pedagang pengumpul maupun tengkulak walaupun dengan
harga yang rendah. Para petani tidak memiliki pilihan lain karena petani tidak memiliki akses
pasar yang luas untuk memasarkan labu.

Permasalahan selanjutnya adalah produk labu belum terkoordinasi dalam suatu cluster.
Hal tersebut yang menyebabkan pertanian labu berdiri sendiri-sendiri dan tidak terdapat suatu
kesatuan dimana nantinya akan memberikan keuntungan bagi para petani jika bergabung
secara bersama-sama. Selanjutnya, banyak petani yang belum banyak melakukan pengolahan
labu menjadi produk-produk seperti makanan dan minuman. Padahal, jika diolah lebih lanjut
nilai ekonomis labu akan tinggi dan dapat memberikan keuntungan ekonomi yang tinggi bagi
pelaku usahanya. Secara keseluruhan, permasalahan yang terjadi karena belum adanya sinergi
yang berkesinamabungan antara pelaku- pelaku dalam Agribisnis Labu termasuk didalamnya
petani. pelaku usaha, pemerintah dan masyarakat.
Berdasarkan proses FGD (Focuss Group Discussion) ditemukan beberapa strategi untuk
mengatasi permasalahan Agribisnis Labu seperti tertera dalam Tabel 4

Tabel 4

No. Strategi Agribisnis Labu

1. Perlunya pendampingan pasar


2. Peningkatan harga jual Labu
3. Petani harus punya skill untuk mengolah Labu
4. Pemerintah membantu dalam pemasaran produk, bantuan peralatan dan tekhnologi
5. Sinergi antara petani, pelaku usaha, pemerintah dan masyarakat
6. Controlling dan Evaluating oleh Pemerintah yang telah memberikan
bantuan ke petani Sumber: Data primer diolah, 2013
Terdapat beberapa strategi untuk mengatasi permasalahan dalam Agribisnis Labu.
Pertama, perlunya pendampingan pasar oleh pemerintah kepada petani untuk memasarkan
produk labunya. Kedua, peningkatan harga jual labu penting untuk dilakukan dengan
pengaturan penetapan harga beli minimal dari tengkulak ke petani karena selama ini
tengkulak yang mendapatkan keuntungan lebih besar dari petani. Selain itu, petani juga harus
memiliki skill untuk mengolah labu. Petani dapat meningkatkan kesejahteraan hidupnya salah
satunya dengan melakukan pengolahan produk pertanian dan lebih memperhatikan sektor
hilir. Pemerintah juga harus membantu dalam pemasaran produk, bantuan peralatan dan
tekhnologi. Namun, juga perlu dilakukan evaluasi dari pemerintah dan pemantauan yang
intens dalam pemberian bantuan agar tepat sasaran dan optimal. Terakhir, perlu adanya
sinergi dari petani, pelaku usaha, pemerintah dan masyarakat untuk mengembangkan
Agribinis Labu lebih baik lagi.

KESIMPULAN DAN KETERBATASAN


Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pelaku yang paling diuntungkan dalam
Rantai Nilai Agribisnis Labu yaitu pedagang eceran dengan margin 4850, margin pedagang
besar sebesar 2506.7 , margin pedagang pengumpul sebesar 2330, margin tengkulak 2056 dan
margin petani 50. Petani Labu memiliki margin keuntungan paling rendah dibandingkan
pelaku dalam Rantai Nilai lainnya. Hal ini membuktikan bahwa nilai ekonomis Labu bagi
petani sangatlah rendah sehingga petani hanya menganggap menanam labu merupakan
aktivitas “sampingan” dan para petani tidak secara serius untuk mengembangkan pertanian
labu yang lebih baik lagi. Strategi Agribisnis Labu yaitu perlunya pendampingan pasar;
peningkatan harga jual labu; petani harus punya skill untuk mengolah labu; pemerintah
membantu dalam pemasaran produk, bantuan peralatan dan tekhnologi; sinergi antara petani,
pelaku usaha, pemerintah dan masyarakat; Controlling dan Evaluating oleh Pemerintah yang
telah memberikan bantuan ke petani.
Keterbatasan dalam penelitian ini yaitu pada bagian lembaga penunjang. Peneliti pada
tahap ini hanya meneliti pada lembaga yang terlibat Rantai Nilai Agribisnis di level petani.
Sedangkan lembaga yang terlibat dan menunjang Agribisnis Labu di level pedagang mulai
dari tengkulak hingga ke konsumen akhir belum diteliti lebih lanjut. Penelitian ini belum
memberikan solusi terkait kebijakan-kebijakan yang dapat dijadikan referensi bagi para
pemangku kebijakan untuk mengembangkan pertanian labu lebih baik lagi terkhusus di
daerah Kecamatan Getasan yang merupakan daerah sentra penghasil labu.
BAB III
KESIMPULAN

1. Rantai nilai adalah seperangkat kegiatan yang perusahaan beroperasi dalam


Melakukan industri tertentu dalam rangka untuk memberikan
berharga produk (yaitu, baik dan / atau layanan ) untuk pasar
2. Tujuan dari analisis value-chain adalah untuk mengidentifikasi tahap-tahap value
chain di mana perusahaan dapat meningkatkan value untuk pelanggan atau untuk
menurunkan biaya.
3. Analisis value chain merupakan alat analisis yang berguna untuk memahami
aktivitas-aktivitas yang membentuk nilai suatu produk atau jasa dan digunakan untuk
menciptakan nilai bagi pelanggannya dalam mencapai suatu keunggulan yang
kompetitif
4. Tujuan dari rantai pasokan cabai di Majalengka tidak hanya pasar
tradisional lokal atau pasar grosir lokal, tetapi juga pasar grosir nasional
seperti Kramatjati (Jakarta), Caringin (Bandung), dan supermarket. Para
aktor dalam rantai pasokan adalah petani, skala kecil kolektor, skala besar
kolektor, pedagang di pasar antar-pulau, pedagang di pasar grosir,
pedagang pasar tradisional setempat, dan koperasi.
5. Biaya total produksi cabai besar adalah Rp 75.000.000 per hektar,
sementara, cayenne cabai adalah Rp 70.000.000 per hektar. Rasio R / C
adalah 1,33 untuk besar dan cabai rawit 1,71 untuk cabai sebagai nilai
tambah cabai.
6. Petani mitra Ewindo secara umum sudah mendapatkan keuntungan dari usahatani
yang dilakukan dengan rata-rata benefit cost ratio (BCR) tertinggi di daerah Gresik
(1.63) sebagai area kemitraan tertua, dan terendah di daerah Tuban (0.90) sebagai area
yang baru beroperasi selama 2 tahun

7. Beberapa langkah peningkatan yang perlu dilakukan dalam rantai terdiri dari
economic upgrading dan social upgrading antara lain: (1) peningkatan mutu produk
yang dihasilkan melalui pelatihan penetapan standar mutu; (2) penyediaan alat
transportasi rutin yang berkapasitas besar; (3) sekolah lapang yang terjadwal untuk
meningkatkan kompetensi petani mitra baru; dan (4) membangun dan meningkatkan
hubungan sosial yang kuat dengan para pelaku rantai khususnya petani mitra dalam
bentuk: family gathering petani dan Ewindo, pemberian penghargaan dan inisiasi
asuransi berbasis indeks iklim untuk petani.
8. pelaku yang paling diuntungkan dalam Rantai Nilai Agribisnis Labu yaitu pedagang
eceran dengan margin 4850, margin pedagang besar sebesar 2506.7 , margin
pedagang pengumpul sebesar 2330, margin tengkulak 2056 dan margin petani 50.
9. . Petani Labu memiliki margin keuntungan paling rendah dibandingkan pelaku dalam
Rantai Nilai lainnya.
10. Strategi Agribisnis Labu yaitu perlunya pendampingan pasar; peningkatan harga jual
labu; petani harus punya skill untuk mengolah labu; pemerintah membantu dalam
pemasaran produk, bantuan peralatan dan tekhnologi; sinergi antara petani, pelaku
usaha, pemerintah dan masyarakat;
DAFTAR PUSTAKA

[ACIAR] Australian Centre for International Agricultural Research. 2008. Making


Value Chains Work Better for The Poor: A Toolbook for Practitioners of Value Chain
Analysis. Phnom Penh (KH): Agricultural Development Internatioal Arce C. 2016
Aditianti, Prihatini, S, Hermina. 2016. Pengetahuan, Sikap dan Perilaku Individu
Tentang Makanan Beraneka Ragam sebagai Salah Satu Indikator Keluarga Sadar Gizi
(KADARZI). Buletin Penelitian Kesehatan : 44(2) 117-126.
Agus Riyanto, (2011). Aplikasi Metodologi Penelitian Kesehatan. Nuha. Medika
Yogyakarta.
Agus Suprijono. (2010). Cooperative Learning (Teori dan Aplikasi PAIKEM).
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ahmad G.N & Wardani V.K 2014. The Effect Of Fundamental Factor to
Dividend Policy : Evidence in Indonesia Stock Exchange
Arce C. 2016. Comparative Assessment of Selected Agricultural Weather Index
Insurance Strategies in Sub-Saharan Africa. Pretoria (ZA): Vuna Research Report
Budiyanto, Slamet, 2012, Implementasi Sistem Pengenalan Wajah Sebagai
Penghubung Jejaring Sosial: Penerapan Augmented Reality Sebagai Penampil Informasi
Hasil Pengenalan Wajah Pada Perangkat Android, Skripsi (published), Program Studi Teknik
Komputer, Universitas Indonesia
Estiningtyas, W. 2012a. Pengembangan Model Asuransi Indeks Iklim untuk
Meningkatkan Ketahanan Petani Padi Menghadapi Perubahan Iklim. Disertasi. Program Studi
Klimatologi Terapan. Fakultas Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor.
Hansen dan Mowen. (2000). Akuntansi Manajemen Jilid 2. Jakarta : Erlangga.
Kaplinsky, R. (2000). Globalisation and Unequalisation : What Ca
Kaplinsky, R., Morris, M. (2001): A Handbook for Value Chain Research, paper
prepare for the IDRC, http://www.ids.ac.uk/ids/global/pdfs/VchNov01.pdf.
Diakses Pada Tanggal 03 Maret 2016
Kaplinsky, R & Morris, M 2002. A Handbook for Value Chain Research, IDRC.
McCormick, D. & Schmitz, H., 2001. Manual For Value Chain Research on Homeworkers in
The Garment Industry.
Kurniawan, Albert. (2014). Metode Riset untuk Ekonomi dan Bisnis: Teori, Konsep,
dan Praktik Penelitian Bisnis (Dilengkapi Perhitungan Pengolahan Data dengan IBM SPSS
22.0). Bandung: Alfabeta.
Latifah, E, K, Bogo dan J, Maryono,2014, Pengenalan Kebun Sayur Sekolah Unit
Peningkatan Konsumsi Sayaur Bagi Para Siswa di Kediri-Jawa Timur,Balai
Pengkajian Teknologi Pertanin (BPTP) Jawa Timur.
Madyawati, Lilis. 2016. Strategi Pengembangan Bahasa Pada Anak. Jakarta:
Prenadamedia Group
Mahmud Machfoedz. (2004) Kewirausahaan Suatu Pendekatan Kontemporer.
Yogyakarta : UPP AMP YKPN
Osgood DE, McLaurin M, Carriquiry M, Mishra A., Fiondella F, Hansen J, Peterson
N and Ward N. 2007. Designing Weather Insurance Contracts for Farmers in Malawi,
Tanzania, and Kenya, Final Report to the Commodity Risk Management Group, ARD, World
Bank. New York (US): International Research Institute for Climate and Society (IRI) -
Columbia University
Porter, E. M. 1985. Competitive Advantage-Creating and Sustaining
SuperiorPerformance, New York : Free Press.
Widarsono, Agus. 2009. Strategic value chain analysis (analisis stratejik rantai
nilai) : suatu pendekatan manajemen biaya. Universitas Pendidikan
Indonsia.
Pearce, John A. dan Robinson, Richard B. Manajemen Strategis: Formulasi,
Implementasi, dan Pengendalian. Jakarta: Salemba Empat, 2008.
Shank, J.K., dan Govindarajan, V. 2000. Strategic Cost Management and the Value
Chain. Second Edition. Thomson Learning: South-Western College Publishing.
Sudiyono, Armand 2004. Pemasaran Pertanian. UMM Press. Malang.
Womack, J.P., Jones, D.T., & Roos, D. 1990. The Machine That Changed The. New
York, NY:Rawson Associates
Widyarto, A. (2012). Peran Supply Chain Management dalam Sistem Produksi
dan Operasi Perusahaan. Benefit Jurnal Manajemen dan Bisnis, Vol. 16,No. 2. (hlm. 91-98).
Widarsono, Agus. 2009. Strategic value chain analysis (analisis stratejik rantai
nilai) : suatu pendekatan manajemen biaya. Universitas Pendidikan
Indonsia. 27 hal.www.agus77.files.wordpress.com [17 oktober 2017]
Womack, J. P., Jones, D. T. dan Roos, D.,1990. The Machine That Changed The
World. New York: Harper Collins.
2010. Kajian Keterkaitan Produksi, Perdagangan, dan Konsumsi Ubi Jalar untuk
Meningkatkan 30 Persen Partisipasi Konsumsi Mendukung Program Keanekaragaman
Pangan dan Gizi (SINTA). Handewi P. Saliem et al.

Anda mungkin juga menyukai