Produksi
EKONOMI PRODUKSI
PERTANIAN
Penyusun: Astried Priscilla Cordanis
1
Universitas Katolik Indonesia Santu Paulus Ruteng/Program Studi Sosial Ekonomi Pertanian/Ekonomi
Produksi
Daftar Isi
2
Universitas Katolik Indonesia Santu Paulus Ruteng/Program Studi Sosial Ekonomi Pertanian/Ekonomi
Produksi
3
Universitas Katolik Indonesia Santu Paulus Ruteng/Program Studi Sosial Ekonomi Pertanian/Ekonomi
Produksi
menjadi dua jenis yaitu jangka panjang dan jangka pendek. Dalam jangka pendek
terdapat dua jenis faktor produksi yaitu faktor produksi tetap dan faktor variabel,
sedangkan dalam jangka panjang hanya terdapat faktor variabel dikarenakan dalam
jangka panjang memungkinkan terjadinya perubahan penggunaan teknologi agar
kegiatan produksi lebih economis. Secara matematis fungsi produksi ditulis dalam
persamaan 1.1. berikut,
kedua jika diperoleh nilai lebih dari nol pada turunan kedua berarti menunjukan
minimum produksi.
Asumsi-asumsi pada teori ekonomi produksi yang akan dipelajari
4
Universitas Katolik Indonesia Santu Paulus Ruteng/Program Studi Sosial Ekonomi Pertanian/Ekonomi
Produksi
FAKTOR-FAKTOR PRODUKSI
aktor produksi atau sering juga disebut dengan input merupakan korbanan
yang produksi yang digunakan untuk menghasilkan produksi atau output
(Soekartawi 1994). Hubungan antara input dan output dapat digambarkan secara
matematis dalam fungsi produksi seperti pada persamaan 1.1.
Lahan Pertanian
Lahan petanian merupakan tanah atau area yang disiapkan untuk kegiatan
usahatani contohnya adalah sawah, tegal, pekarangan, dll. Satuan yang digunakan untuk
mengukur lahan pertanian biasanya menggunakan hektar, namun banyak petani yang
memiliki lahan kurang dari satu hektar sehingga luasan yang dimiliki petani tersebut
dapat di konversi dalam satuan hektar. Selain luas lahan yang
3
4
Universitas Katolik Indonesia Santu Paulus Ruteng/Program Studi Sosial Ekonomi Pertanian/Ekonomi
Produksi
dimiliki, terdapat beberapa aspek yang mempengaruhi nilai dari lahan yang dimilikiantara
lain;
1. Tingkat kesuburan tanah. Dahulu tinggi rendahnya pajak yang ditetapkan oleh
pemerintahan daerah disesuaikan dengan tingkat kesuburan tanah contohnya
adalah pajak lahan sawah lebih tinggi jika dibandingkan dengantegal.
2. Lokasi. Harga lahan juga ditentukan oleh lokasi lahan tersebut. Semakin dekat
lahan dengan fasilitas-fasilitas publik seperti pasar, jalan besar, pusat-pusat layanan
pemerintah maka nilai dari lahan tersebut semakin tinggi meskipun tingkat
kesuburannya tidak tinggi atau rendah. Contohnya adalah harga tanah di daerah
perkotaan cenderung lebih mahal dibanding dengan yang berada di daerah
pedesaan.
3. Topografi. Lahan pertanian yang berada pada dataran tinggi biasanya lebih murah
jika yang berada di dataran rendah, hal tersebut berkaitan dengan fungsinya. Jika
lahan tersebut berada di dataran rendah maka petani dapat menjadikannya sebagai
sawah dan dapat ditanami berbagai jenis tanaman palawija, selain itu petani akan
lebih mudah melakukan kegiatan budidaya jika dibandingkan dengan dataran
tinggi lahan yang dimiliki cenderung kurang subur, tidak terdapat irigasi, serta
lebih mudah mengalami erosi.
4. Status lahan. Status lahan dapat diklasifikasikan menjadi;
a. Lahan pribadi / milik sendiri
b. Lahan sewa
c. Lahan sakap
Nilai / harga lahan akan berbeda-beda berdasarkan stastus kepemilikan lahan.
Lahan yang berstatus milik sendiri memiliki nilai yang lebih tinggi dikarenakan
kepastian secara hukum pemilikan tanah.
5. Faktor lingkungan. Nilai lahan juga dapat dipengaruhi oleh faktor lingkungan,
contohnya adalah lahan di Labuan Bajo memiliki nilai yang lebih tinggi jika
dibandingkan dengan lahan di Ruteng, dikarenakan lahan di Labuan Bajo
merupakan daerah pariwisata yang diminati oleh turis-turislokal dan manca negara.
Tenaga Kerja
Faktor tenaga kerja merupakan merupakan faktor penting yang
diperhitungkan dari segi kuantitas dan juga kualitas dari tenaga kerja tersebut.
Terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penggunaan faktor tenaga
kerja antara lain;
4
5
Universitas Katolik Indonesia Santu Paulus Ruteng/Program Studi Sosial Ekonomi Pertanian/Ekonomi
Produksi
5
6
Universitas Katolik Indonesia Santu Paulus Ruteng/Program Studi Sosial Ekonomi Pertanian/Ekonomi
Produksi
Modal
Pada kegiatan produksi pertanian, modal dapat dibedakan menjadi dua jenis
yaitu modal tetap dan modal variabel. Yang termasuk dalam modal tetap seerti
tanah, bangunan serta mesin-mesin yang digunakan dalam kegiatan produksi.
Disebut sebagai modal tetap atau modal tidak bergerak dikarenakan ciri-ciri yang
dimiliki modal tersebut, sehingga modal tetap dapat didefinisikan sebagai modal
yang tidak habis terpakai dalam satu kali periode produksi, namun modal tetap ini
hanya terjadi pada jangka pendek saja. Modal variabel merupakan modal yang
digunakan sepanjang proses produksi dan habis dalam satu kali pakai atau habis
dalam satu kali periode produksi tersebut, contohnya adalah benih, obat-obatan,
pupuk, dan upah tenaga kerja.
Terdapat beberapa hal yang dapat mempengaruhi besar kecilnya modal usaha
dalam bidang pertanian, antara lain;
1. Skala usaha. Skala usaha besar membutuhkan modal yang lebih banyak jika
dibandingkan dengan skala usaha kecil, semakin besar skala usaha maka
modal yang dibutuhkan semakin besar pula.
2. Jenis komoditas. Setiap jenis komoditi pertanian memerlukan biaya yang
berbeda-beda. Jika membandingkan dua usaha pertanian dengan komoditas
yang berbeda dengan luas lahan yang sama akan membutuhkan biaya
produksi yang berbeda pula, walaupun luasan yang diusakan sama contohnya
adalah usahatani padi sawah memerlukan modal yang lebih tinggi
dibandingkan usahatani jagung. Hal tersebut dikarenakan perlakuan-
perlakuan selama proses produksi yang diberikan berbeda untuk tiap
komoditi.
3. Ketersediaan kredit. Persoalan keterbatasan modal sering terjadi pada setiap
pelaku usaha termasuk usaha pertanian. Salah satu masalah yang dialami oleh
petani adalah modal yang terbatas atau tidak adanya modal, sehingga
ketersediaan lembaga-lembaga keuangan yang memfasilitasi perkreditan
pada bidang pertanian sangat berpengaruh terhadap ketersediaan modal
petani.
Manajemen
Dalam kegiatan usahatani sangat dibutuhkan manajemen yang baik, tidak
hanya pada usahatani-usahatani modern. Manajemen merupakan sebuah “seni”
dalam merencanakan usahaha yang akan dilakukan, tidak hanya merencanakan
tetapi terdapat juga tahapan pengorganisasian, pelaksanaan hingga pada tahap
evaluasi. Dalam pelaksanaanya kemampuan manajemen tersebut dipengaruhi oleh
beberapa faktor antara lain seperti;
6
7
Universitas Katolik Indonesia Santu Paulus Ruteng/Program Studi Sosial Ekonomi Pertanian/Ekonomi
Produksi
1. Tingkat Pendidikan.
2. Tingkat Keterampilan
3. Skala Usaha
4. Besar Kecilnya Kredit
5. Jenis Komoditi yang Diusahakan.
Latihan
7
8
Universitas Katolik Indonesia Santu Paulus Ruteng/Program Studi Sosial Ekonomi Pertanian/Ekonomi
Produksi
FUNGSI PRODUKSI
𝑦 = 𝑓(𝑥) ..........................2.1
𝑦 = 2𝑥 ..........................2.2
Jika x = 2, maka y = 4; jika x = 6, maka y = 12. Nilai y tersebut diperoleh dari
persamaan 2.2, karena dimisalkan y sama dengan dua kali x.
Dalam fungsi produksi selain mengetahui hubungan antara input dan output
dengan lebih sederhana, fungsi produksi juga dapan menjelaskan hubungan antara
variabel yang dijelaskan (variabel dependent) y, dan variabel yang menjelaskan
(variabel independen) x, serta mengetahui hubungan antar variabel penjelas. Secara
matematis hubungan tersebut ditulis seperti pada persamaan 2.1.
𝑦 = 𝑎 + 𝑏𝑥 .........................2.4
Dimana a= intersep (perpotongan) dan b=koefisien regresi. Bila diketahui a =
0, maka y = bxdan garis ini akan melewati titik origin.
Y = a + bx
Δy
Δx
𝑦=𝑎+𝑏𝑥+𝑐𝑥2 ........................2.7
9
10
Universitas Katolik Indonesia Santu Paulus Ruteng/Program Studi Sosial Ekonomi Pertanian/Ekonomi
Produksi
𝑦 = 𝑎 + 𝑏𝑥 − 𝑐𝑥2 .........................2.8
𝑦 = 𝑎 + 𝑏𝑥 − 𝑐𝑥2
X
Gambar 2.2. Fungsi Produksi Kuadratik
Sumber : Soekartawi 1990
𝑦 = 𝑎𝑥𝑏 ........................2.9
Fungsi produksi seperti pada persamaan 2.9 di atas biasanya disebut sebagai
fungsi produksi cobb-douglass yang akan di bahas pada pembahasan
selanjutnya dalam perkuliahan semester ini.
Dalam CES, Sollow dkk menekankan bahwa ada aspek penting lain yang
tidak diperhitungkan oleh kedua fungsi produksi yang sudah ada, yaitu tingkat
penggunaan teknologi yang berbeda dari masing-masing industri yang berbeda.
Dari sini kemudian Sollow dkk mengkaitkannya dengan produktivitaspekerja
dalam menghasilkan barang, yang pada akhirnya menghasilkan 3 parameter
inti, yaitu parameter substitusi, parameter distribusi dan parameter efisiensi.
Dari situlah kemudian ia menyimpulkan bahwa substitusi antara modal dan
tenaga kerja bersifat konstan atau terus menerus.
Dalam penulisan matematis, fungsi produksi CES berbentuk seperti ini:
......................2.10
10
11
Universitas Katolik Indonesia Santu Paulus Ruteng/Program Studi Sosial Ekonomi Pertanian/Ekonomi
Produksi
Keterangan:
Y = output
C = parameter efisiensi
K = input modal
N = input tenaga kerja
π ∈ = parameter distribusi
σ = elastisitas substitusi modal dan tenaga kerja
Berdasarkan formulasi di atas, Sollow dkk berasumsi bahwa elastisitas
substitusi antara modal dan tenaga kerja tidak selalu tetap. Maka dari itu,
mereka beranggapan bahwa fungsi produksi CES lebih fleksibel dan lebih
realistis dari fungsi-fungsi produksi yang sudah ada.
5. transcendetal
12
13
Universitas Katolik Indonesia Santu Paulus Ruteng/Program Studi Sosial Ekonomi Pertanian/Ekonomi
Produksi
Pertambahan input dan perubahan output yang terjadi dapat digambarkan pada
Kurva 3.1 berikut
y
250
200
150
100
50
0
0 10 20 30 40 50
Input Output PM
X ΔX Y ΔY (ΔY/ ΔX)
0 - 40 - -
10 10 100 60 (60/10)= 6
20 10 150 50 (50/10)= 5
30 10 190 40 (40/10)= 4
40 10 220 30 (30/10)= 3
50 10 240 20 (20/10)= 2
13
14
Universitas Katolik Indonesia Santu Paulus Ruteng/Program Studi Sosial Ekonomi Pertanian/Ekonomi
Produksi
Perubahan Y yang semakin menurun dan perubahan PM yang juga semakin
menurun dapat ditunjukan dalam Kurva 3.2 dimana garis TP pada kurva berbentuk
melengkung meski demikian nilai PM masih positif namun jika terus dilakukan
penambahan input (X) maka dapat menyebabkan nilai PM bertanda negatif.
300
250
200
150
100
50
0
0 10 20 30 40 50
TP
Input Output PM
X ΔX Y ΔY (ΔY/ ΔX)
0 - 60 - -
10 10 100 40 (40/10)= 4
20 10 150 50 (50/10)= 5
30 10 210 60 (60/10)= 6
40 10 280 70 (70/10)= 7
50 10 360 80 (80/10)= 8
14
15
Universitas Katolik Indonesia Santu Paulus Ruteng/Program Studi Sosial Ekonomi Pertanian/Ekonomi
Produksi
Hasil perhitungan pada tabel 3.3. dapat ditunjukan pada kurva 3.3 berikut;
400
350
300
250
200
0 10 20 30 40 50
TP
Berdasarkan ketiga keadaan yang telah digambarkan pada grafik 3.1, 3.2
dan 3.3 menunjukan bahwa penambahan input yang digunakan dalam kegiatan
produksi dapat menyebabkan keadaan yang berbeda. Keadaan pertama
menunjukan bahwa penambahan input akan menyebabkan pertambahan output
yang konstan, keadaan kedua menunjukan bahwa pertambahan input yang
digunakan akan menyebabkan pertambahan output yang semakin menurun
(decreasing productivity) sehingga akan menyebabkan PM yang juga semakin
menurun. Keadaan tersebut biasa disebut dengan istilah diminishing returns atau
diminishingproductivity. Keadaan ke tiga menunjukan bahwa pertambahan input
yang digunakan justu akan menyebabkan output menungkat secara tidak
proposional ataidapat disebut dengan increasing productivity sehingga dengan
keadaan demikian akan menyebabkan PM juga meningkat. hubungan ketiga
keadaan tersebut digambarkan dalam tahap produksi.
15
16
Universitas Katolik Indonesia Santu Paulus Ruteng/Program Studi Sosial Ekonomi Pertanian/Ekonomi
Produksi
Y
Maximum Profit Maximum TPP
TPP
Inflection point
II III
MPP
dan
APP
Maximum
Maximum APP
MPP
APP
X
MPP
MPP=0
16
Universitas Katolik Indonesia Santu Paulus Ruteng/Program Studi Sosial Ekonomi Pertanian/Ekonomi
Produksi
Elastisitas Produksi
Elastisitas produksi (Ep) merupakan persentase perubahan Y akibat dari
perubahan X yang digunakan dalam produksi. Ep dapat diketahui dengan
menggunakan persamaan 3.5 berikut;
∆𝑌 ∆𝑋 ∆𝑌 𝑋 1 𝑀𝑃𝑃
𝐸𝑝 = ⁄ = . = 𝑀𝑃𝑃 . 𝑌 = ........................3.5
𝑌 𝑋 ∆𝑋 𝑌 ⁄𝑋 𝐴𝑃𝑃
Elastisitas produksi
Saat Marginal Produksi = Rata-rata Produksi maka Ep = 1
Saat Marginal Produksi > Rata-rata Produksi maka Ep > 1
Saat Marginal Produksi = 0, Rata-rata Produksi bernilai
positif, maka EP = 0
Saat Marginal Produksi = bernilai negatif, maka Ep < 0
Y
Rata-rata Produksi
X
X*
Marginal Produksi
Gambar 3.5. Marginal Produksi, Rata-rata Produksi dan Elastisitas Produksi
Sumber : Debertin 1985
18
19
Universitas Katolik Indonesia Santu Paulus Ruteng/Program Studi Sosial Ekonomi Pertanian/Ekonomi
Produksi
Latihan Soal
Total Physical Product (TPP) dan Total Value of the Product (TVP)
Pada pembahasan sebelumnya telah di jelaskan bahwa TPP atau yang
juga disebut sebagai y(output) merupakan total produk yang dihasilkan akibat
dari penggunaan berbagai jenis input produksi (x).
𝑇𝑃𝑃 = 𝑦 .................5.1
19
20
Universitas Katolik Indonesia Santu Paulus Ruteng/Program Studi Sosial Ekonomi Pertanian/Ekonomi
Produksi
Berdasarkan gambar 5.1, dapat kita lihat hubungan antara fungsi biaya
(TFC) dan juga nilai total produksi (TVP), dimana pada kedua garis tersebut
membentuk tiga keadaan.
Berdasarkan hubungan garis TVP dan TFC maka kita dapat mengetahui
profit yang diterima baik itu bernilai negatif, nol, ataupun positif. Dari hubungan
kedua garis tersebut, kita dapat memperoleh garis profit. Pada garis profit dalam
kurva menunjukan tinggi rendah profit yang diterima akibat TVP dan TFC pada
setiap keadaan. Pada keadaan TFC lebih besar dari TVP maka profit dapat
mencapai profit minimum, namun jika TFC jauh lebih kecil dari TVC maka profit
akan mencapai profit maksimum. Profit maksimum dan profit minimum sama-sama
memiliki kemiringan kurva = 0.
20
21
Universitas Katolik Indonesia Santu Paulus Ruteng/Program Studi Sosial Ekonomi Pertanian/Ekonomi
Produksi
TFC
$ Zero Slope
Max Profit
Minimum Profit
Max Profit
Max VMP
Minimum Profit
VMP =
VMP = MFC MFC MFC = vo
vo
AVP = poAPP
Zero VMP
VMP
Dari kurva produksi yang ditunjukan pada gambar 5.1, terdapat keadaan
profit maksimum dan profit minimum, dimana profit yang diharapkan dalam
kegiatan produksi adalah memperoleh profit maksimum. Profit maksimum terdapat
pada tahap produksi yang ke II, dimana daerah II merupakan daerah yang rasional
dan kegiatan produksi diharapkan berada pada daerah tersebut.
Keadaan profit maksimum dan profit minimum sama-sama memiliki kurva
dengan kemiringan = 0. Turunan pertama dari persamaan fungsi profit akan
21
22
Universitas Katolik Indonesia Santu Paulus Ruteng/Program Studi Sosial Ekonomi Pertanian/Ekonomi
Produksi
diperoleh dimana VMP = v, dan terdapat pada titik minimum profit dan maksimum
profit. Turunan pertama dari persamaan fungsi total faktor cost (TFC) adalah
MFC (marginal faktor cost), dimana MFC bernilai sama dengan v (harga input).
Harga input diasumsikan tidak mengalami perubahan/ konstan.
Slope dari fungsi profit pada gambar 5.1. dapat ditunjukan dalam notasi ∆
yaitu pada persamaan 5.6.
∆𝜋⁄∆𝑥 = ∆𝑇𝑉𝑃⁄∆𝑥 − ∆𝑇𝐹𝐶⁄∆𝑥 ...............................5.6
Jika slope atau kemiringan kurva dari fungsi profit = 0 maka pada titik
tersebut tercapai profit maksimum, atau dapat juga merupakan titik profit
minimum. Sehingga diperoleh slope dari persamaan profit yaitu slope nilai total
produksi sama dengan slope total biaya produksi (Slope TVP = Slope TFP).
Value of the Marginal Product (VMP) dan Marginal Factor Cost (MFC)
VMP merupakan nilai dari pertambahan ouput akibat dari perubahan input
yang digunakan. secara matematis VMP dapat diketahui dengan menggunakan
persamaan 5.7 berikut;
∆𝑇𝑃𝑃
𝑉𝑀𝑃 = 𝑃° .................................5.7
∆𝑋
Profit maksimum tercapai saat turunan pertamanya sama dengan nol, yang secara
matematis dapat dijabarkan dalam persamaan berikut;
𝜋 = 𝑝. 𝑌 − 𝑣. 𝑋 ................................6.1
𝜋 = 𝑝. 𝑓(𝑋) − 𝑣. 𝑋 ................................6.2
𝜕𝜋 𝜕𝑌 𝜕𝑋
= 𝑝 − 𝑣. 𝜕𝑋 = 0 ................................6.3
𝜕𝑋 𝜕𝑋
= 𝑝. 𝑀𝑃𝑃 − 𝑣 = 0 ................................6.4
= 𝑽𝑴𝑷 = 𝒗 ................................6.5
22
Universitas Katolik Indonesia Santu Paulus Ruteng/Program Studi Sosial Ekonomi Pertanian/Ekonomi
Produksi
Berdasarkan penjabaran persamaan profit dalam memperoleh profit maksimum
dengan melakukan turunan pertama dari persamaan profit terhadap penggunaan inputnya
= nol, diperoleh hasil VMP = v. Dengan demikian profit maksimum dari kegiatan
produksi tercapaai saat VMP = v, atau slope dari persamaan profit sama dengan nol.
Namun slope profit sama dengan nol, atau keadaan saat VMP = v, tidak hanya terjadi saat
profit maksimum tetai pada profit minimum juga, sehingga diperlukan pembuktian untuk
memastikan bahwa keadaan tersebut merupakan profit maksimum dengan cara
melakukan turunan ke dua dari persamaan profit di atas (persaan di turunkan sebanyak 2
kali).
𝜕𝜋 𝜕𝑌 𝜕𝑋
= 𝑝 − 𝑣. 𝜕𝑋 = 0 ................................6.3
𝜕𝑋 𝜕𝑋
= 𝑝. 𝑀𝑃𝑃 − 𝑣 = 0 ................................6.4
= 𝑽𝑴𝑷 = 𝒗 ................................6.5
𝜕2 𝜋
= 𝑉𝑀𝑃 − 𝑣 = 0 ................................6.6
𝜕𝑥
23
Universitas Katolik Indonesia Santu Paulus Ruteng/Program Studi Sosial Ekonomi Pertanian/Ekonomi
Produksi
Tiga Tahap Fungsi Produksi Neoklasik
Fungsi produksi neoklasik dapat dikategorikan menjadi tiga wilayah tahapan
produksi seperti yang telah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya (derah I, II dan III),
dimana pada daerah I dan III disebut sebagai daerah irasional sedangkan daerah II
merupakan daerah rasional. Daerah I dan III dikatakan sebagai daerah irasional karena
pada daerah I dan III menjelaskan hubungan penggunaan input dalam kegiatan produksi
yang tidak dapat memaksimumkan produksi dan keuntungan dalam usahatani, sehingga
dengan demikian petani yang tidak merujuk pada konsep maksimalisasi profit
digolongkan sebagai petani yang irasional. Daerah II merupakan daerah yang rasional
dimana terminologi pada daerah II mempresentasikan perilaku petani yang rasional, dan
selalu berusaha memaksimalkan keuntungannya.
Tahap I fungsi produksi neoklasik penggunaan input mulai dari 0 unit sampai level
utilisasi input di mana MPP=APP. Daerah produksi II dimulai dari utilisasi input pada
level di mana MPP=APP sampai mencapai titik di mana fungsi produksi mencapai
maksimum dan MPP sama dengan nol. Daerah produksi III dimulai dari titik maksimum
fungsi TPP hingga MPP mencapai besaran negatif.
Daerah produksi juga menjelaskan nilai elastisitas produksi. Untuk fungsi
produksi neoklasik, seiring dengan meningkatnya level penggunaan input, nilai elastisitas
produksi (Ep) juga berubah, sebab elastisitas produksi merupakan rasio MPP dan APP.
Dengan kata lain, nilai elastisitas produksi juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi
tahapan produksi. Bila Ep lebih besar dari 1 maka MPP juga lebih besar dari APP, posisi
kurva MPP di atas kurva APP terjadi pada tahap produksi I. Daerah produksi I berakhir
dan daerah produksi II dimulai pada titik di mana Ep=1 dan MPP=APP. Tahap II berakhir
dan tahap produksi III dimulai pada titik di mana EP bernilai negatif. Kondisi ini sekaligus
menunjukkan bahwa MPP negatif.
Pemahaman mengenai daerah produksi memberikan dasar pertimbangan rasional
mengapa petani yang berorientasi pada maksimalisasi profit tidak beroperasi pada daerah
produksi III. Sama sekali tidak masuk akal bila petani terus menambahkan input
sementara output justru berkurang. Walaupun semisal pupuk disubsidi penuh oleh
pemerintah, petani yang rasional tidak akan menambahkan aplikasi pupuk setelah titik
maksimum fungsi produksi tercapai, sebab output dapat meningkat dan biaya dapat
ditekan justru dengan mengurangi level penggunaan pupuk. Dengan kata lain,
pengurangan penggunaan pupuk akan menggeser daerah produksi III ke daerah produksi
II yang rasional.
Pilihan petani untuk tidak beroperasi di sepanjang daerah produksi I juga dapat
dipahami. Jika harga output diasumsikan konstan, dan tersedia cukup modal usahatani
untuk membeli input x (pupuk) maka pada daerah tersebut, produk marginal dari input
terus meningkat. Trend produksi belum memperlihatkan kecenderungan diminishing
marginal returns. Jadi petani masih dapat terus menambah pemakaian pupuk dan bergeser
ke daerah produksi II.
TVP<TFC terjadi pada sembarang titik pada tahapan produksi I. Petani akan
mengalami kerugian bila tetap berproduksi pada daerah I. Jika harga input lebih tinggi
dari AVP maksimum, maka tambahan penggunaan input tak dapat memberikan tambahan
output yang cukup besar untuk menutup biaya tambahan yang dikeluarkan. Pada situasi
semacam ini, pilihan yang paling rasional adalah tidak menggunakan input x (pupuk).
Situasi ini akan dapat diatasi bila: 1. harga input menurun hingga di bawah APP
maksimum; 2. harga output meningkat sehingga AVP juga meningkat. Teknologi baru
juga dapat menyebabkan meningkatnya APP yang berdampak pada meningkatnya AVP.
Jika MFC berada di bawah AVP, pada daerah produksi I, petani masih dapat terus
meningkatkan profit usahatani dengan menambah jumlah pemakaian input.Akan tetapi,
petani mungkin tidak selalu memperoleh modal tambahan untuk membeli input yang
diperlukan. Jadi dalam realitas usahatani, mungkin saja petani beroperasi pada daerah I
bila ia tidak memiliki modal usahatani yang cukup besar untuk membeli sarana produksi
yang diperlukan. Level penggunaan input yang memaksimalkan keuntungan sebagaimana
dijelaskan di atas, tercapai pada daerah produksi II. Pada tahapan ini, penerimaan
usahatani lebih besar dari biaya yang dikeluarkan . Satu-satunya alasan yang rasional
mengapa petani beroperasi pada daerah produksi I adalah kendala modal usahatani.
Namun petani tak akan beroperasi pada daerah III sebab mereka mengetahui penambahan
penggunaan input setelah titik produksi maksimum tercapai justru akan membuat mereka
merugi.
25
Universitas Katolik Indonesia Santu Paulus Ruteng/Program Studi Sosial Ekonomi Pertanian/Ekonomi
Produksi
Kesimpulan
Kondisi maksimalisasi keuntungan untuk model input output tercapai bila syarat
keharusan dan kecukupan dapat terpenuhi. Syarat keharusan untuk maksimalisasi
keuntungan adalah fungsi profit sama dengan nol. Syarat kecukupan maksimalisasi
keuntungan ditetapkan dengan mencari titik pada fungsi profit di mana turunan pertama
fungsi produksi sama dengan nol. Syarat kecukupan ini menjamin maksimalisasi profit
sebab turunan pertama fungsi keuntungan sama dengan nol dan turunan keduanya bernilai
negatif. Level penggunaan input yang memaksimalkan keuntungan dapat dicari dengan
menyamakan VMP input dengan MFC, di bawah asumsi persaingan sempurna yaitu harga
input dan output konstan. Slope dari nilai total kurva produk akan sama dengan slop kurva
biaya input total. VMP adalah slope dari nilai total kurva produk, dengan asumsi harga
output konstan. Dengan asumsi yang sama, slope kurva biaya total input adalah MFC.
Petani akan memaksimalkan profit dengan beroperasi di daerah produksi II, sebab pada
daerah I penggunaan input belum maksimal (underutilization of input) sementara pada
daerah ke III terjadi over utilisasi input.
1. Jelaskan apa yang di maksud dengan syarat keharusan dan syarat kecukupan
dalam mencapai profit maksimum?
2. Produksi Maksimum tercapai ketika slope Total Produksi bernilai ?
a. < 1
b. = 1
c. = 0
d. > 0
3. Jika ingin mengetahui profit maksimum dari suatu kegiatan produksi maka
harus memenuhi syarat keharusan dan syarat kecukupan. Syarat keharusan
tercapai saat,
a. VMP = MPP
b. VMP = 0
c. Slope TVP = v
d. MPP = 0
4. Jelaskan apa yang dimaksud dengan TVP atau total value of the product.
5. Kemiringan kurva (slope) dari TVP adalah
a. VMP
b. MPP
c. AVP
d. MFC
26
Universitas Katolik Indonesia Santu Paulus Ruteng/Program Studi Sosial Ekonomi Pertanian/Ekonomi
Produksi
BIAYA, PENERIMAAN DAN PROFIT
Kata Kunci:
Total Cost (TC) = Total Biaya
Total Variable Cost (TVC) = Total Biaya Variabel
Marginal Cost (MC) = Biaya Marginal
Total Fixed Cost (TFC) = Total Biaya Tetap
Average Cost (AVC) = Rata-rata Biaya
Average Fixed Cost (AFC) = Rata-rata Biaya Tetap
Average Variable Cost (AVC) = Rata-rata biaya variabel
Inverse Production Function = invers fungsi produksi
Duality of Cost and Production = dualitas fungsi biaya dan produksi
sudahProduksi
disebarkan maka tidak dapat lagi diubah level pemakaiannya. Selanjutnya, jika
petani memutuskan untuk tidak jadi berproduksi maka ia tak dapat menjual kembali
pupuk yang sudah disebar tadi. Oleh karena itu biaya variabel juga diistilahkan sebagai
sunk cost.
Pada pembahasan pertemuan 1 telah dijelaskan bahwa kategorisasi penggunaan input
sebagai biaya variabel dan biaya tetap dapat dipengaruhi oleh periodisasi proses
produksi. Berdasarkan periodisasi waktu, penggunaan input dapat dibedakan
berdasarkan;
1. Jangka pendek. Dalam waktu beberapa minggu atau lebih pendek, petani tidak
dimungkinkan untuk mengubah keputusan produksinya karena beberapa kondisi.
Dalam situasi demikian, seluruh input produksi dapat diperlakukan sebagai input
tetap. Jadi kategorisasi masing-masing input sebagai input variabel atau input
tetap, tak dapat ditetapkan tanpa adanya referensi waktu yang spesifik.
2. Jangka panjang. Dalam jangka waktu yang cukup panjang, seorang petani sangat
mungkin akan dapat membeli tambahan lahan pertanian atau peralatan mesin
pertanian yang baru. Oleh karena itu, untuk periodisasi produksi yang cukup
panjang, seluruh input produksi diperlakukan sebagai input variabel yang dapat
diubah sesuai level output yang diinginkan.
Sejumlah pakar ekonomi mendefinisikan jangka panjang (long run) sebagai periode
waktu yang cukup panjang sehingga skala unit usahatani dapat diubah. Produksi akan
berlangsung dalam jangka pendek (short run) sehingga kurva biayanya berbentuk U, bila
petani dapat menyamakan penerimaan marginal (harga output pada pasa persaingan=MR)
dengan biaya marginal short run (SRMC, short rum marginal cost). Dengan demikian
terdapat sejumlah kurva SRMC dan SRAC (short run average curve) pada skala unit
usaha tertentu. Bila dalam kurun waktu tertentu kurva SRAC berubah sesuai dengan
perubahan skala unit usaha, maka kurva biaya jangka panjang (LRAC, long run average
curve) dapat diturunkan dengan menggambar sebuah kurva amplop (envelope curve)
yang merupakan tangen pada setiap kurva biaya rata-rata jangka pendek (SRAC).
Penurunan kurva ini diilustrasikan pada gambar 6.1.
Seperti yang telah dipahami bahwa, pada jangka pendek terdapat dua jenis biaya
yaitu biaya variabel (VC) dan biaya tetap (FC). Sehingga dalam jangka pendek total biaya
produksi dapat diformulasikan seperti pada persamaan 6.2 berikut;
Keterangan:
TC : Total Cost
TVC : Total Variable Cost
TFC : Total Fixed Cost
Hubungan penggunaan biaya variabel dan biaya tetap dapat dijelaskan pada pada kurva
6.2 berikut.
Cost
MC
AC
AVC
AFC
29
30
Universitas Katolik Indonesia Santu Paulus Ruteng/Program Studi Sosial Ekonomi Pertanian/Ekonomi
Produksi
Berdasarkan gambar 6.2, garis AFC (rata-rata biaya tetap) menunjukan bahwa jika
Y semakin banyak maka rata-rata biaya tetap setiap produk akan semakin kecil mendekati
nol. Hal tersebut dikarenakan biaya tetap produkasi atau AFC tidak berubah atau selalu
tetap tidak mengkuti skala usaha atau skala autput yang dihasilkan. AFC dapat diperoleh
dengan persamaan 6.3 berikut:
𝑇𝐹𝐶
𝐴𝐹𝐶 = ........................6.3.
𝑌
Selain AFC, pada kurva juga terdapat garis AVC (rata-rata biaya variabel). Biaya
variabel berbeda dengan biaya tetap. Biaya variabel selalu mengikuti skala usaha. Pada
awal usaha, rata-rata biaya variabel cenderung tinggi, namun kemudian semakin menurun
seiring skala output di tambahkan hingga mencapai titik minimum biaya variabel rata-
rata yang kemudian akan meningkat kembali seiring bertambahnya skala usaha.
TVC = v . x ...........................6.4
Total biaya (TC) dalam jangka pendek merupakan total biaya tetap dan biaya
variabel. Sehinggta rata-rata total produksi sama dengan rata-rata biaya tetap di tambah
rata-rata biaya variabel.
Marginal Cost (MC) pada kurva menunjukan kemiringan kurva dari fungsi total
cost yang diperoleh dari turunan pertama persamaan fungsi total cost.
∆𝑇𝐶
𝑀𝐶 = ........................6.7
∆𝑌
Dalam jangka panjang, produsen akan menemukan dan memilih kapasitas unit
usahatani yang berada pada titik minimun kurva biaya rata-rata jangka panjang (LRAC).
Oleh karena MC=LRMC titik tersebut merupakan titik impas (tidak untung dan tidak
rugi). Dalam jangka pendek MR dapat lebih besar dari MC. Setiap produsen akan
menyamakan MR dengan SRMC. Dengan kata lain, dalam jangka pendek produsen akan
mengoperasikan usahataninya di bawah titik minimum SRAC. Hubungan tersebut dapat
dijelaskan pada gambar 6.1 yang sudah di jelaskan sebelumnya.
30
31
Universitas Katolik Indonesia Santu Paulus Ruteng/Program Studi Sosial Ekonomi Pertanian/Ekonomi
Produksi
Pada gambar ditunjukan 5 usaha dalam jangka pendek, dimana dalam setiap usaha
tersebut memiliki rata-rata biaya minimum. Dalam jangka panjang kegiatan produksi yang
diambil adalah kegiatan produksi dengan biaya rata-rata minimum tersebut, sehingga
dalam biaya rata-rata produksi dalam jangka panjang selalu berada di bawah biaya rata-
rata jangka pendek.
Terdapat beberapa karakteristik dalam jangka panjang akibat perubahan Y pada
tingkat TC antara lain:
1. Economis of Scale
Kondisi LAC semakin menurun maka mengalami Skala Ekonomi yaitu
keadaan yang menguntungkan dimana penambahan biaya lebih kecil dari
penambahan output yang dihasilkan atau keadaan ini disebut dengan IRTS
(Increasing Return to Scale).
3. Diseconomis of Scale
Keadaan yang ketiga disebut dengan diseconomi of scale, dimana perubahan
penambahan cost lebih besar dari perubahan output.
1. Adanya spesialisasi
2. Labor dan capital yang dimiliki perusahaan masih sedikit, pengawasan yang
dilakukan dapat lebih efisien.
31
32
Universitas Katolik Indonesia Santu Paulus Ruteng/Program Studi Sosial Ekonomi Pertanian/Ekonomi
Produksi
3. Input yang dibeli dengan jumlah yang banyak memperoleh potonganharga atau
dengan kata lain harga input semakin murah.
Economis of scale diperoleh saat nilai Marginal Cost (MC) lebih kecil jika
dibandingkan dengan Average Cost (AC). Untuk mengetahui nilai MC dan AC maka
dapat menggunakan persamaan 6.4 dan 6.5 berikut;
𝜕𝑇𝐶
𝑀𝐶 = ...................6.8
𝜕𝑌
Kriteria terjadinya economis of scale adalah saat MC < AC atau sama dengan nilai
Elastisitas biaya terhadap output (Ec) <1 sedangkan jika terjadi diseconomis of scale maka
Ec > 1. Untuk mengetahui tingkat elastisitas biaya maka dalat menggunakan persamaan
matematis ;
𝜕𝑇𝐶⁄
𝜕𝐶
𝐸𝑐 = 𝜕𝑌⁄ ..................6.9
𝑌
32
DAFTAR PUSTAKA