Anda di halaman 1dari 25

46

PATOGENISITAS BAKTERI Streptococcus agalactiae


TIPE β-HEMOLITIK DAN NON-HEMOLITIK
PADA IKAN NILA (Oreochromis niloticus)

ABSTRAK
Hasil pengujian karakteristik, diketahui bahwa S. agalactiae yang menginfeksi ikan nila
dikelompokkan menjadi dua tipe hemolitik yaitu β-hemolitik dan non-hemolitik. Setelah diuji
pada 30 ekor ikan nila ukuran 15 g melalui penyuntikan intraperitonial sebanyak 0.1 ml/ekor
ternyata bakteri tipe non-hemolitik lebih virulen dilihat dari kematian, munculnya gejala klinis,
perubahan tingkah laku, perubahan patologi anatomi baik secara makroskopis maupun
mikroskopis. Bakteri tipe non-hemolitik menyebabkan kematian setelah 6-24 jam pasca injeksi
sedangkan tipe β-hemolitik baru menyebabkan kematian setelah 48 jam, dan setelah 14 hari,
sebanyak 48% ikan mati akibat diinjeksi bakteri tipe non-hemolitik dan 18% ikan yang diinjeksi
tipe β-hemolitik. Perubahan pada gejala klinis ikan nila yang diinjeksi bakteri tipe non-hemolitik
lebih cepat muncul (perubahan pola renang, respon terhadap pakan dan perubahan pada mata dan
clear operculum) rata-rata muncul setelah 6 jam pasca injeksi dan 12 jam pada ikan nila yang
diinjeksikan dengan bakteri tipe β-hemolitik. Selain perubahan secara makroskopis, perubahan
pada mikroskopis juga diamati. Perubahan yang terjadi pada pola renang dan perubahan pada
mata, perubahan warna ditandai dengan adanya perubahan histologi organ mata, ginjal dan otak.
Kata kunci : hemolitik, patogenisitas, Streptococcus agalactiae, Oreochromis niloticus

ABSTRACT
The objective of this research was to evaluate the effect bacteria characteristic on the
pathogenecity of S. agalactiae that infected nile tilapia. Characteristict test showed that this
bacteria could be grouped into two haemolytic types: β-haemolytic and non-haemolytic. After
injected intraperitoneal injection (0.1 mL/fish) into 30 fish weighing 15 g in average, the non-
haemolytic demonstrated more virulent. It caused faster mortality, clinical symptoms, severe
behavior changes and pathological changes macroscopically and microscopically. Non-
haemolytic S. agalactiae caused mortality on 6-24 hours post-injection while β- haemolytic type
caused mortality on 48 hours post-injection. On 14 day post injection, non-haemolytic caused
48% mortality and 18% caused β- haemolytic. Changes in clinical symptoms on fish injected with
non-haemolytic bacteria appeared faster (swimming behavior, response to food, and changes in
eyes and clear operculum), that was in average 6 hours post-injection while in fish injected with β-
haemolytic type, the changes appeared 12 hours after injection. Besides macroscopic changes,
microscopic changes were also observed (swimming pattern, changes on eyes, colour changes
characterized by histological changes on eyes, kidney and brain). As conclusion, non-haemolytic
S. agalactiae was more virulent than β-haemolytic S. agalactiae because the disease signs and the
mortality appeared firstly and more severe on fish infected non-haemolytic S. agalactiae fish.
Keywords : haemolytic, pathogenicity, Streptococcus agalactiae, Oreochromis niloticus
47

Pendahuluan
Patogenisitas S. agalactiae pada ikan nila sampai sekarang belum dibahas
tuntas, faktor penyebab perbedaan gejala klinis yang muncul dan perjalanan
bakteri hingga menyebabkan kematian perlu diamati agar dapat dijadikan acuan
dalam upaya pengendalian penyakit Streptococcosis yang disebabkan oleh
S. agalactiae.
Dari hasil pengamatan mengenai karakteristik S. agalactiae yang
menginfeksi ikan nila ditemukan dua tipe bakteri yaitu tipe β-hemolitik dan non-
hemolitik, sehingga dalam penelitian ini dilakukan pengamatan mengenai
patogenisitas kelima isolat S. agalactiae termasuk didalamnya bakteri bertipe β-
hemolitik dan non-hemolitik. Pengamatan terkait tahapan dampak yang
disebabkan oleh bakteri selama masa infeksi sampai menyebabkan kematian.
Kejadian setelah S. agalactiae masuk ke dalam tubuh inang dapat dilihat salah
satunya dengan mengamati gejala yang muncul pada inang, antara lain dari
perubahan pola renang, perubahan nafsu makan, perubahan kesehatan melalui
pengamatan gambaran darah dan patologi klinik darah serta perubahan pada
histologi mata, ginjal dan otak ikan. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan
informasi mengenai perkembangan dampak infeksi S. agalactiae yang berbeda
karakter (β-hemolitik dan non-hemolitik) terhadap ikan nila.

Bahan dan Metode


Ikan yang digunakan dalam percobaan ini berjumlah 30 ekor per akuarium
dan setiap perlakuan diulang sebanyak tiga kali. Bakteri yang digunakan adalah
lima isolat S. agalactiae (Tabel 3) dan sebagai kontrol adalah ikan nila diinjeksi
dengan 0.1 ml BHI. Persiapan ikan uji dan kelima bakteri yang digunakan dalam
penelitian patogenisitas S. agalactiae ini dijabarkan dalam metodologi umum.
Ikan disuntik sebanyak 0.1 ml/ ekor dengan kepadatan masing-masing isolat
bakteri, dan dipelihara selama 14 hari.
48

Parameter yang diukur dan analisa data


Dalam pelaksanaan penelitian patogenisitas S. agalactiae dilakukan
pengukuran beberapa parameter yaitu perubahan pola berenang, tingkah laku
makan, perubahan anatomi organ luar dan organ dalam secara makroskopis,
gambaran darah dan patologi klinik darah, pengamatan histopatologi serta
pengamatan kematian ikan. Pengamatan parameter dilakukan setiap 1, 3, 6, 12,
24 jam pasca injeksi dan dilanjutkan setiap 24 jam hingga hari ke-14. Cara kerja
dan analisa data setiap parameter dijabarkan dalam metodologi umum.

Hasil dan Pembahasan

1 Perubahan pola berenang


Jika dikaitkan dengan uji ekspresi fenotip, derajat hidrofobisitas dan
aktivitas hemaglutinasi yang merujuk pada S. agalactiae kapsul dan non kapsul
menunjukkan bahwa bakteri yang diduga non kapsul (isolat 3) memiliki
patogenisitas yang lebih rendah dari bakteri yang diduga berkapsul (isolat 2, 4 dan
5) karena dalam tubuh inang bakteri non kapsul akan lebih mudah difagosit oleh
sel-sel fagositik sehingga kemampuan untuk tumbuh dan berkembang dalam
tubuh inang juga terbatas, tidak seperti bakteri berkapsul yang permukaan selnya
tersusun atas karbohidrat yang hidrofilik sehingga lebih sulit untuk dilisis oleh sel
fagosit. Hal inilah yang menyebabkan bakteri berkapsul lebih mudah tumbuh,
berkembang dan mengembangkan virulensinya.
Perubahan pola renang yang dimunculkan oleh inang yang terinfeksi
S. agalactiae yaitu ikan cenderung agresif dengan sirip punggung yang
mengembang atau berenang lemah di dasar akuarium. Perubahan terjadi mulai
jam ke-6 pasca injeksi yaitu pola renang ikan yang tidak beraturan dan cenderung
soliter yaitu berenang terpisah dari kelompok (Gambar 9B) sedangkan kontrol
menunjukkan pola renang yang berkelompok dan teratur (Gambar 9A). Ikan uji
menunjukkan berenang gasping (mengambil udara tepat di bawah permukaan air)
pada jam ke-12 pasca injeksi. Bakteri tipe non-hemolitik (isolat 5 dan isolat 2)
lebih cepat menyebabkan perubahan pada pola berenang ikan (pada jam ke-12
49

pasca injeksi ikan cenderung lemah dan diam didasar akuarium) sedangkan gejala
yang sama baru muncul jam ke-48 pasca injeksi dengan bakteri tipe β-hemolitik.

Gambar 9 Tingkah laku berenang ikan normal dan yang terinfeksi Streptococcus
agalactiae. A: tingkah laku berenang normal-berkelompok teratur; B:
tingkah laku berenang abnormal tidak teratur dan soliter; C: gasping;
D: sirip mengembang (abnormal) dan cara berenang normal (tanda
panah)
Gejala khas yang muncul pada infeksi S. agalactiae adalah berenang
whirling yang umumnya muncul pada jam ke-120. Tubuh ikan membentuk huruf
“C” juga ditemui pada ikan yang diinjeksi dengan bakteri tipe non-hemolitik
mulai hari ke-12 hingga hari ke-14 pasca injeksi. Gejala tersebut sesuai dengan
gejala yang berhasil diamati oleh Evans et al. (2006) pada ikan nila yang diinjeksi
S. agalactiae sebelum mati seperti berenang lemah dan berada di dasar akuarium,
respon terhadap pakan lemah, berenang whirling, tubuh membentuk huruf ”C”.
Perubahan pola renang ikan nila yang diinjeksi dengan S. agalactiae tipe
non-hemolitik adalah awal infeksi ikan tampak agresif kemudian pada jam ke-3
pasca injeksi ikan mulai tampak berenang lemah hingga hari ke-5 dan akhirnya
ikan berenang whirling. Ikan yang berenang whirling biasanya mati setelah 12
jam. Pada ikan yang diinjeksi dengan bakteri tipe β-hemolitik juga terjadi
perubahan pola renang yang sama, hanya saja jumlah ikan yang berenang whirling
lebih sedikit. Data secara lengkap hasil pengamatan perubahan pola renang, nafsu
makan ikan nila pasca diinjeksi dengan S. agalactiae dijabarkan pada Lampiran 4.
Perbedaan gejala yang muncul dapat dikaitkan dengan organ target
S. agalactiae (mata, otak dan ginjal). Keberadaan bakteri pada organ mata dapat
50

menyebabkan perubahan pada mata (opacity, purulens, eksoptalmia dan


sebagainya). Keberadaan bakteri pada organ otak dapat menyebabkan ikan
berenang abnormal (gasping, berenang miring bahkan whirling) sedangkan
keberadaan bakteri pada ginjal ikan dapat menyebabkan perubahan warna tubuh
menjadi lebih hitam.
Masing-masing tipe bakteri menyebabkan respon yang berbeda terhadap
ikan nila. Baik bakteri tipe β-hemolitik maupun tipe non-hemolitik memiliki
karakteristik yang berbeda dalam tubuh inang untuk tumbuh, berkembang dan
mengembangkan virulensi. Perubahan tingkah laku ikan yang muncul akibat
diinjeksi dengan tipe bakteri non-hemolitik lebih beragam dan lebih cepat muncul
dibandingkan dengan ikan yang diinjeksi dengan tipe β-hemolitik. Ini semakin
menguatkan data bahwa bakteri tipe non-hemolitik lebih virulen.

2 Perubahan tingkah laku makan


Umumnya respon terhadap pakan pasca injeksi S. agalactiae tampak
lemah bahkan ikan uji yang diinfeksi dengan bakteri tipe non-hemolitik tidak mau
makan sejak jam ke-72 pasca injeksi. Respon terhadap pakan ikan uji yang
diinjeksi bakteri tipe β-hemolitik terlihat pada jam ke-144 (lebih lama dari bakteri
tipe non-hemolitik). Pada Gambar 10 tampak, ikan kontrol (sehat) umumnya
dapat mencerna pakan dengan baik (A), sedangkan ikan yang terinfeksi S.
agalactiae lambat mencerna pakan yang diberikan (B). Pada Gambar 10C terlihat
organ ikan yang menjadi pucat pasca infeksi S. agalactiae.

Gambar 10 Organ dalam ikan nila normal dan yang terinfeksi Streptococcus
agalactiae A. PA normal; B. lambung ikan nila (pencernaan
makanan menjadi lambat) ditunjukkan dengan tanda panah biru; C.
organ dalam ikan nila menjadi pucat (tanda panah merah).
Waktu pencernaan pakan juga menjadi lebih lama ini ditunjukkan dengan
masih utuhnya pakan dalam lambung ikan yang terinfeksi bakteri yang disampling
51

5 menit setelah pemberian pakan. Hal tersebut dimungkinkan karena


terganggunya enzim pencernaan ikan akibat adanya infeksi dalam otak ikan yang
mengatur gerak peristaltik usus. Sehingga pencernaan ikan lebih lama dari kondisi
normal.
Bakteri yang menginfeksi otak ikan mengganggu kerja hipotalamus bagian
lateral yang mengatur rasa lapar. Terganggunya sel-sel dalam hipotalamus yang
berada dalam telencephalon (otak depan) akibat adanya S. agalactiae, inilah yang
menyebabkan ikan mulai mengalami penurunan nafsu makannya bahkan tidak
mau makan pasca injeksi.

3 Perubahan patologi anatomi ikan nila secara makroskopis


Pasca diinjeksi dengan S. agalactiae, ikan nila menunjukkan perubahan
makroskopis pada anatomi organ luar (mata, operkulum dan kepala) dan anatomi
organ dalam (otak, ginjal berupa perubahan warna dan konsistensinya). Pada
Tabel 13 dijabarkan gejala klinis yang terjadi pada ikan pasca diinjeksi dengan S.
agalactiae tipe β-hemolitik dan non-hemolitik.

Tabel 13 Patologi anatomi makroskopis organ luar ikan nila pasca diinjeksi
Streptococcus agalactiae
Patologi anatomi organ luar Waktu terjadinya (pasca injeksi) (jam)
secara makroskopis non-hemolitik β-hemolitik
Garis vertical tubuh menghitam 6 24
Clear operculum 24 72
Mata mengkerut 24 264
Eksoptalmia & purulens 96 120
Pendarahan di mata 24 -
Ulcer pada kepala 264 -
Abses pada perut 336 -
“C” shape 288 -
Keterangan : (-) tidak ditemukan adanya gejala
Perubahan warna tubuh biasanya terjadi pada jam ke-6 pasca injeksi tipe
non-hemolitik dan jam ke-24 pasca injeksi tipe β-hemolitik. Perubahan pada mata
seperti mata mengkerut, pengecilan pupil mata terjadi pada jam ke-24 pasca
injeksi bakteri tipe non-hemolitik dan muncul pada hari ke-11 pasca injeksi
bakteri tipe β-hemolitik. Bakteri tipe β-hemolitik lebih lambat menyebabkan
munculnya gejala dibandingkan dengan tipe non-hemolitik.
52

Gambar 11 menunjukkan perubahan yang terjadi pada mata ikan yang


terinfeksi S. agalactiae. Awal perubahan pada mata yaitu mata mengkerut
(Gambar 11B) kemudian yang terjadi adalah, pupil mata mengecil (Gambar 11C-
D), kemudian mata seperti berkabut/purulens (Gambar 11F) hingga sebelah mata
dapat hilang (Gambar 11E). Pembengkakan mata atau eksoptalmia yang disertai
dengan pendarahan terjadi pada hari ke-4 (tipe non-hemolitik) dan pada hari ke-5
(tipe β-hemolitik).

Gambar 11 Perubahan yang terjadi pada organ mata ikan nila; A. normal; B.
mata mengkerut, C. pupil mata mengecil; D.Opacity (kekeruhan
mata); E. mata lisis dan F. Purulens (mata putih).
Pada infeksi S. agalactiae, lateral eksoptalmia lebih sering terjadi
dibandingkan dengan bilateral eksoptalmia (Gambar 12C-D). Gejala
Streptococcosis spesifik pada ikan nila adalah clear operculum dengan berbagai
tahapan (Gambar 13). Gejala pra clear operculum ditandai dengan munculnya
warna semu kuning dengan titik-titik putih di bawah mulut. Clear operculum
muncul rata-rata pada jam ke-24 dan disertai pendarahan pada jam ke-24 untuk S.
agalactiae tipe non-hemolitik dan jam ke-72 pasca injeksi S. agalactiae tipe β-
hemolitik tanpa disertai pendarahan. Gambar 12 adalah perubahan yang terjadi
pada mata, yaitu adanya eksoptalmia baik lateral maupun bilateral, serta yang
dibarengi dengan adanya pendarahan. Gambar 13 menunjukkan adanya clear
operculum pada ikan pasca diinjeksi dengan S. agalactiae.
53

Gambar 12 Gambar 13
Eksoptalmia pada organ mata ikan nila; Perubahan yang terjadi pada operkulum
A. pendarahan pada mata; B & C lateral ikan nila (tanda panah); A. normal; B &
eksoptalmia, D. bilateral eksoptalmia. C clear operculum, D. clear operculum
disertai pendarahan.
Pada Gambar 14, tampak adanya beberapa perubahan pada tubuh ikan
pasca diinjeksi dengan S. agalactiae. Gejala spesifik yang hanya muncul pada
ikan nila yang diinjeksi dengan bakteri tipe non-hemolitik yaitu adanya luka
(ulcer) di bagian kepala ikan nila (Gambar 14C) pada hari ke-8 dan muncul abses
(Gambar 14D) di bagian bekas injeksi yang menjalar hingga perut pada hari ke-
14. Ketiga gejala tersebut tidak tampak pada ikan uji yang diinjeksi dengan
bakteri tipe β-hemolitik.

Gambar 14 Perubahan yang terjadi pada tubuh ikan nila; A. warna tubuh pucat; B
& E. bibir pucat dan memutih; C. ulcer pada bagian kepala; D. abses
pada bagian tubuh; F. tubuh membentuk huruf “C” disertai lateral
eksoptalmia.
Streptococcosis (Streptococcus agalactiae dan S. iniae) umumnya ditandai
dengan adanya perubahan warna gelap pada garis vertikal ikan nila (Gambar 15),
54

ini diduga karena bakteri menginfeksi organ ginjal yang berpengaruh terhadap
produksi melatonin sebagai pembentuk warna tubuh.

Gambar 15 Perubahan warna tubuh ikan yang terinfeksi Streptococcus agalactiae


A. garis vertikal tubuh menghitam; B. warna tubuh ikan normal.
4 Gambaran darah
Total Leukosit
Rataan total leukosit ikan nila selama percobaan cenderung naik mulai 1
jam pertama hingga hari ke-10 pasca injeksi dengan S. agalactiae (Gambar 16)
dan data selengkapnya disajikan pada Lampiran 5. Kenaikan ini berkaitan dengan
pertahanan seluler yang meningkat karena adanya infeksi pasca injeksi.
4.5
45000
Total Leukosit (105sel/mm3)

isolat 1
4.0
40000
3.5
35000 isolat 2
3.0
30000 isolat 3
2.5
25000
isolat 4
2.0
20000
15000
1.5 isolat 5
10000
1.0
kontrol
5000
0.5
00
24 168 336
Waktu Pengamatan (jam)
Gambar 16 Grafik total leukosit ikan nila pasca diinjeksi Streptococcus
agalactiae
Dari uji statistik, terdapat perbedaan antar perlakuan (injeksi dengan
kelima isolat) dengan kontrol (p<0.05); sedangkan antar perlakuan isolat bakteri
(isolat 1–isolat 5) tidak berbeda nyata (p>0.05). Artinya, keberadaan infeksi S.
agalactiae kelima isolat menyebabkan perubahan pada total leukosit ikan nila
sejak jam ke-4 dan 168 pasca injeksi, setelah 14 hari cenderung kembali normal.
55

Peningkatan dan aktivitas leukosit dapat disebabkan oleh infeksi yang


memicu aktivitas pembelahan sel (Evenberg et al., 1986) dan Anderson (1974)
menyebutkan bahwa perubahan populasi leukosit dapat diamati setelah 7 hari
pasca pemaparan. Adanya infeksi S. agalactiae menyebabkan ikan mengirimkan
sel leukosit lebih banyak ke areal infeksi sebagai upaya pertahanan. Sel-sel
leukosit tersebut bekerja sebagai sel yang memfagosit bakteri yang ada agar tidak
dapat berkembang dan menyebarkan virulensi dalam tubuh inang sehingga sering
ditemukan jumlah total leukosit mengalami peningkatan pasca infeksi oleh
bakteri.

Differensial Leukosit (Limfosit, Monosit dan Neutrofil)


Jenis leukosit ikan nila terdiri dari limfosit, monosit, neutrofil
sebagaimana diungkapkan Clem et al., (1985), bahwa leukosit terdiri dari 3 jenis.
Namun terkadang juga ditemukan basofil dan eusinofil. Jenis leukosit ikan nila
tampak pada Gambar 17, limfosit lebih banyak ditemukan dibandingkan dengan
kedua jenis leukosit lainnya.

Gambar 17 Differensial leukosit dan trombosit ikan nila. E: eritrosit, IME:


immature eritrosit, T: trombosit, M: monosit, L: limposit dan N:
neutrofil. 1 bar = 20 µm
Rataan proporsi leukosit ikan nila normal yaitu: limfosit (68-86%),
monosit (3.9-5.9%) dan neutrofil (10-18.1%). Rataan porposi jenis leukosit ikan
yang diinjeksi bakteri S. agalactiae lebih bervariatif yaitu limfosit (72–81%),
56

monosit (4.4–5.3%) dan neutrofil (13.5–21.2%). Proporsi jenis leukosit antara


ikan yang diinjeksi dengan bakteri tipe β dan non- hemolitik tidak berbeda nyata.
Leukosit pada ikan menurut Fujaya (2004) terdiri atas 7 bentuk yaitu 3 tipe
eosinofil granulosit dan masing-masing satu tipe neutrofil granulosit, limfosit,
monosit dan trombosit. Neutrofil dan monosit adalah leukosit fagosit kuat.
Fagositasi oleh neutrofil dilakukan dengan mendekati partikel yang akan
difagositasi dengan cara mengeluarkan pseudopodi ke segala arah sekitar partikel,
selanjutnya pseudopodi satu sama lain saling bersatu untuk melakukan fagositasi.
Satu neutrofil dapat menfagosit 5 sampai 20 bakteri. Monosit lebih kuat karena
dapat menfagosit partikel yang lebih besar. Limfosit tidak bersifat fagositik tetapi
berperan dalam pembentukan antibodi.Jumlah monosit ikan yang disuntik dengan
S. agalactiae lebih tinggi dan berbeda nyata dengan kontrol. Peningkatan juga
terjadi pada sel neutrofil pada jam ke-24 hingga hari ke-5 pasca injeksi. Pada
akhir penelitian (336 jam) neutrofil dan monosit ditemukan lebih rendah dari
kontrol. Jumlah granulosit mengalami penurunan karena adanya pendarahan pada
organ ikan (ginjal dan mata) yang disebabkan oleh granulosit yang keluar dari
pembuluh darah dan berada di tempat radang dan jaringan yang rusak untuk
mengfagosit antigen yang masuk. Baik granulosit maupun mononuklear dapat
menelan bakteri namun makrofag lebih aktif. Makrofag berada di dalam jaringan
sebagai pelindung tubuh, juga pemakan bakteri dan sisa (debris), sedangkan
monosit berada di dalam darah. Bakteri setelah dicerna diubah menjadi bentuk
terlarut sehingga dapat dimanfaatkan tubuh, dibuang sebagai hasil limbah atau
untuk merangsang respon imun. Jadi pertahanan non spesifik pada ikan fungsinya
selain untuk mencegah infeksi, membatasi penularan, juga menyingkirkan
jaringan yang rusak.

Total Eritrosit
Menurut Fujaya (2004), jumlah eritrosit pada masing-masing spesies ikan
berbeda, tergantung dari aktivitas ikan tersebut. Fungsi utama eritrosit adalah
mengangkut Hb yang berperan membawa oksigen dari insang atau paru-paru ke
jaringan. Selain mengedarkan Hb, eritrosit juga mengandung asam karbonat
dalam jumlah besar yang berfungsi mengkatalis reaksi antara karbondioksida dan
57

air, sehingga darah dapat mengedarkan karbondioksida dari jaringan menuju


insang.
Total eritrosit ikan nila normal berkisar antara 30-39 (105 sel/mm3)
sedangkan ikan nila yang diinjeksi dengan S. agalactiae rataan jumlah eritrosit
lebih berfluktuatif yaitu berkisar 12-60 (105 sel/mm3). Peningkatan eritrosit terjadi
pada jam ke-3 pasca injeksi dan kenaikan berlangsung hingga 24-48 jam pasca
injeksi (Gambar 18) dan data selengkapnya tertuang pada Lampiran 5.
Dari hasil uji statistik, keseluruhan isolat berbeda nyata nilai total
eritrositnya dengan kontrol (ikan yang tidak diinjeksi dengan S. agalactiae)
(p<0.05) pada jam ke-24 hingga jam ke-336. Artinya, keberadaan infeksi
S. agalactiae umumnya menyebabkan perubahan pada total eritrosit ikan nila
secara nyata.
70
Total Eritrosit (105 sel/mm3)

60
isolat 1
50 isolat 2
40 isolat 3
30 isolat 4
20 isolat 5
10 kontrol
0
24
0 168
1 336
3
Waktu Pengamatan (jam)
Gambar 18 Grafik total eritrosit ikan nila pasca diinjeksi Streptococcus agalactiae
Peningkatan total eritrosit ini menandakan adanya upaya homeostatis pada
tubuh ikan (infeksi patogen) dimana tubuh memproduksi sel darah lebih banyak
untuk menggantikan eritrosit yang mengalami lisis akibat adanya infeksi.
Penurunan eritrosit mengindikasikan adanya anemia pada ikan yang ditandai
adanya pendarahan pada organ ginjal ikan. Keberadaan S. agalactiae yang
memproduksi toksin hemolitik yang dapat melisis eritrosit (lihat aktivitas
hemolitik) sehingga rataan eritrosit ikan uji umumnnya menurun atau lebih rendah
dari normal hingga hari ke-14 pasca injeksi.
58

5 Patologi klinik darah

Hematokrit
Rataan kadar hematokrit ikan nila normal berkisar 27.3–37.8% dan kadar
hematokrit ikan uji yang diinjeksi S. agalactiae sepanjang penelitian berfluktuasi,
nilainya berkisar 15.9–43.15% (bakteri tipe non-hemolitik) dan 12.9–43.14%
(bakteri tipe β-hemolitik) (Gambar 19). Data pengamatan hematokrit ikan nila
pasca injeksi S. agalactiae secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 5.
55
50
45
40
Hematokrit (%)

isolat 1
35
30 isolat 2
25 isolat 3
20
15 isolat 4
10 isolat 5
5
0 kontrol
24 168 336
Waktu pengamatan (jam)

Gambar 19 Grafik hematokrit ikan nila pasca diinjeksi Streptococcus agalactiae

Dari hasil uji statistik, semua ikan yang diinjeksi bakteri mengalami
peningkatan yang berbeda nyata nilai hematokrit dengan kontrol (ikan yang tidak
diinjeksi dengan S. agalactiae) (p<0.05) pada jam ke-168 pasca injeksi. Setelah
hari ke-14 (336 jam) kadar hematokrit cenderung kembali mendekati normal.
Artinya, keberadaan infeksi S. agalactiae umumnya menyebabkan perubahan
pada hematokrit ikan nila secara nyata, namun setelah 14 hari ikan cenderung
kembali normal kecuali isolat 3 dan isolat 5. Kadar hematokrit ini dapat
digunakan untuk mengetahui dampak injeksi S. agalactiae, sehingga dapat
digunakan sebagai petunjuk kondisi kesehatan ikan setelah penginjeksian. Dalam
penelitian faktor penyebab stress seperti lingkungan dan penanganan
diminimalisir sehingga perubahan hematokrit dapat dipastikan karena adanya
infeksi patogen. Peningkatan mulai terjadi jam pertama pasca injeksi hingga jam
ke-24 (bakteri tipe β-hemolitik) dan jam ke-72 (bakteri tipe non-hemolitik).
59

Hemoglobin (Hb)
Hemoglobin adalah metalloporphyrin, kombinasi dari haem yang
merupakan porphyrin besi dan globin. Pada peristiwa oksigenasi, atom besi dari
haem akan berasosiasi dengan satu molekul oksigen. Setiap molekul Hb
mengandung 4 molekul haem dan 4 atom besi sehingga dapat mengangkut 4
molekul oksigen (Fujaya, 2004).
Kadar hemoglobin ikan berkaitan dengan anemia dan jumlah sel darah,
peningkatan Hb terjadi karena adanya infeksi yang diikuti adanya penurunan yang
sangat cepat. Peningkatan Hb rata-rata ikan yang diinjeksi bakteri tipe non-
hemolitik terjadi sejak 1 jam awal pasca injeksi hingga jam ke-6 hingga jam ke-12
kemudian penurunan secara cepat terjadi hingga jam ke-96 hingga jam ke-120.
Sedangkan Hb ikan yang diinjeksi dengan bakteri tipe β-hemolitik terjadi
kenaikan (puncak) pada jam ke-6 (Gambar 20). Data pengamatan hemoglobin
ikan nila pasca injeksi S. agalactiae secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 5.
18
16
14 isolat 1
Hemoglobin (g %)

12 isolat 2
10
isolat 3
8
6 isolat 4
4 isolat 5
2
kontrol
0
24 168 336
Waktu Pengamatan (jam)
Gambar 20 Grafik hemoglobin ikan nila pasca diinjeksi Streptococcus agalactiae
Kadar rata-rata Hb ikan nila normal berkisar 10–11.01 (g%), sedangkan
ikan yang diinjeksi dengan bakteri S. agalactiae berkisar 4–14.4 (g%). Pada jam
ke-24 pasca injeksi, dari uji statistik kelima isolat menyebabkan perubahan pada
nilai hemaglobinnya namun perbedaan secara nyata dengan kontrol hanya terjadi
pada ikan yang diinjeksi dengan isolat 1 dan 5.
Kadar Hb berkaitan dengan keseimbangan osmolaritas plasma darah.
Adanya S. agalactiae yang diduga mengandung toksin hemolisin mempengaruhi
kestabilan Hb. Hemolisin ini menyebabkan osmolaritas plasma darah lebih
60

rendah sehingga menyebabkan lisis, hal inilah yang diduga sebagai faktor
virulensi pada S. agalactiae. Rendahnya kadar Hb menyebabkan laju metabolisme
menurun dan energi yang dihasilkan menjadi rendah. Hal ini membuat ikan
menjadi lemah dan tidak memiliki nafsu makan serta terlihat diam di dasar atau
berenang lemah.

Glukosa Darah
Hasil pengukuran glukosa darah ikan nila normal berkisar antara 80.02-
113.21 (mg/100 ml) dan sepanjang percobaan glukosa darah nilainya berfluktuasi
(Gambar 21).
140
120
Glukosa darah (mg/100ml)

100 kontrol

80 isolat 1
60 isolat 2
40 isolat 3
20 isolat 4
0 isolat 5
24 168 336
Waktu Pengamatan (Jam ke-)
Gambar 21 Grafik glukosa ikan nila pasca diinjeksi Streptococcus agalactiae
Peningkatan glukosa darah terjadi sepanjang pengamatan pada kelima
isolat. Ikan nila yang diinjeksi S. agalactiae tipe non-hemolitik menunjukkan
kadar glukosa berkisar 73.79–121.67 (mg/100 ml) dan yang diinjeksi β-hemolitik
berkisar 69.34–129.17 (mg/100 ml). Data pengamatan glukosa darah ikan nila
pasca injeksi S. agalactiae secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 5.
Dari hasil uji statistik glukosa darah ikan nila, peningkatan glukosa darah
terjadi 1 jam pasca injeksi di semua perlakuan dan berbeda nyata dengan kontrol
(p<0.05), artinya keberadaan infeksi S. agalactiae umumnya menyebabkan
perubahan pada kadar glukosa darah ikan nila secara nyata.
Peningkatan glukosa darah ini berkaitan dengan kondisi stress pada ikan
yang dapat disebabkan oleh banyak faktor antara lain faktor fisika dan kimia
(kualitas air), faktor biologi (adanya infeksi patogen) juga dapat karena
penanganan. Glukosa darah ini dapat bersifat imonosupresor pada ikan, hal ini
61

disebabkan karena pada saat kadar glukosa dalam darah tinggi, ginjal bekerja
lebih keras untuk menjaga keseimbangan tubuh, pada saat inilah fungsi dan kerja
ginjal terganggu (termasuk fungsinya sebagai organ yang berperan dalam sistem
imun). Saat organ limfoid ini terganggu sistem pertahanan tubuh menjadi
menurun sehingga patogen lebih mudah untuk tumbuh, berkembang dan
menyebarkan virulensi pada tubuh ikan (Anderson, 1990). Evans (2003)
mengamati adanya peningkatan kerentanan ikan nila yang terinfeksi S. agalactiae
pada kondisi stress (sublethal DO) yang ditandai dengan adanya peningkatan
glukosa darah.
Pada saat ikan mengalami gangguan yang menyebabkan stres, baik karena
penanganan, kualitas air maupun infeksi bakteri, maka tubuh ikan akan
mengeluarkan tanda atau alarm sebagai indikasi adanya gangguan. Alarm pada
ikan antara lain : pertama adanya peningkatan gula darah akibat sekresi hormon
dari kelenjar adrenalin. Persediaan gula, seperti glikogen dalam hati
dimetabolisme sebagai persediaan energi untuk emergensi. Kedua, osmoregulasi
kacau akibat perubahan metabolisme mineral. Ikan air tawar cenderung
mengabsorbsi air dari lingkungan (over-hydrate), ikan air laut cenderung
kehilangan air dari dalam tubuh (dehydrate). Kondisi ini perlu energi ekstra untuk
memelihara keseimbangan osmoregulasi. Ketiga, pernafasan meningkat, tensi
darah meningkat, persediaan eritrosit direlease ke sistem resirkulasi dan keempat,
respon inflamasi ditekan oleh hormon dari kelenjar adrenalin (Anderson, 1990).

6 Kematian ikan
Bakteri S. agalactiae tipe non hemolitik lebih cepat menyebabkan
kematian yaitu mulai pada jam ke-6 hingga jam ke-12 pasca injeksi sedangkan
isolat β-hemolitik baru pada jam ke-48. Jumlah ikan yang mati pada akhir
pengamatan akibat injeksi S. agalactiae non-hemilitik lebih banyak dibandingkan
dengan bakteri tipe β-hemolitik. Bakteri S. agalactiae tipe non-hemolitik lebih
virulen karena lebih cepat menyebabkan kematian pada ikan nila. Kematian ikan
pasca injeksi dengan bakteri S. agalactiae terlihat pada Gambar 22.
62

50
45
40
35
30
kematian ikan

25
20
15
10
5
0
0 1 3 6 12 24 48 72 96 120 144 168 192 216 240 264 288 312

waktu pengamatan (jam)


isolat 1 isolat 2 isolat 3 isolat 4 isolat 5 kontrol
Gambar 22 Kematian kumulatif ikan nila yang diinjeksi Streptococcus agalactiae

Selanjutnya, dari hasil pengukuran Mean Time Death (MTD) atau rerata
waktu kematian ikan uji pada setiap pengujian diketahui bahwa waktu kematian
ikan nila akibat infeksi S. agalactiae tampak pada Tabel 14.

Tabel 14 Mean Time Death (MTD) hasil pengujian patogenisitas S. agalactiae


terhadap ikan nila
Waktu Isolat 1 Isolat 2 Isolat 3 Isolat 4 Isolat 5 Kontrol
pengamatan
1 0 0 0 0 0 0
3 0 0 0 0 0 0
6 0 2 0 0 0 0
12 0 1 0 0 0 0
24 3 0 0 0 0 0
48 3 0 1 0 7 0
72 0 3 1 0 2 0
96 8 1 6 0 12 0
120 2 3 0 0 2 0
144 0 0 0 0 0 0
168 8 10 1 3 10 0
192 1 6 1 0 3 0
216 6 5 4 0 4 1
240 0 4 1 1 0 0
264 1 1 0 3 1 0
288 2 1 0 0 2 0
312 0 0 0 3 0 0
336 1 1 1 3 0 1
MTD 149.5 169.9 156 267.7 135.6 -
63

Kelima isolat S. agalactiae menyebabkan kematian yang berbeda pada


ikan nila, isolat 4 rata-rata menyebabkan kematian setelah 268 jam setelah infeksi
dan ini merupakan waktu terlama dibandingkan dengan keempat isolat lainnya.
Sedangkan isolat 5 rata-rata menyebabkan kematian hanya dalam waktu 136 jam
setelah infeksi, dan isolat ini menyebabkan kematian paling cepat diantara isolat
S. agalactiae lainnya.
Dari hasil pengukuran rerata waktu kematian dapat diketahui bahwa
S. agalactiae lebih bersifat kronis yaitu tidak langsung menyebabkan kematian
namun menyebabkan perubahan pada fisiologis ikan yang terinfeksi terlebih
dahulu, tidak seperti bakteri Vibrio alginolyticus yang memiliki nilai MTD 12-28
jam yang dapat dikatagorikan sebagai bakteri akut, dapat menyebabkan kematian
secara cepat (Murdjani, 2002).

7 Histopatologi
Perubahan histologi dalam jaringan ikan dapat digunakan sebagai salah
satu indikator untuk mengevaluasi adanya gangguan pada ikan yang
perubahannya dapat dilihat dalam jangka waktu yang lama (Adams, 1990).
Dengan menggunakan indikator histologik ikan ini, dapat diketahui perubahan
yang terjadi pada tubuh ikan baik akibat perubahan kualitas air, penanganan
maupun infeksi patogen karena histopatologi merupakan hasil dari adanya
perubahan secara biokimia dan fisiologis pada organisme (Hinton dan Lauren,
1990). Namun untuk mengamati perubahan histopatologi ini sangat bergantung
pada kualitatif pengcahayaan mikroskop pada tiap jaringan yang diamati,
kebaruan teknologi analisis seluler dan molekuler.
Perubahan yang terjadi pada pada organ mata, otak dan ginjal ikan
umumnya hampir sama yang disebabkan oleh S. agalactiae tipe β-hemolitik dan
non-hemolitik. Perubahan mulai dapat dilihat pada hari ke-3 pasca injeksi dan
pada hari ke-14 juga masih ditemukan histopatologinya di ketiga organ. Pada jam
ke-168, histopatologi hampir ditemukan pada semua perlakuan. Histopatologi
yang tampak pada organ mata, otak dan ginjal, tampak pada Tabel 15.
64

Tabel 15 Histopatologi organ mata, otak dan ginjal ikan nila yang diinjeksi
dengan Streptococcus agalactiae
Jam setelah Organ ikan
injeksi Mata Otak Ginjal
24 Belum tampak Belum tampak Belum tampak
168 Hipertropi, hyperplasia, Hipertropi, kongesti, Hipertropi, hemorrhagi,
pendarahan, degenerasi degenerasi dan nekrosa nekrosa di ginjal bagian
dan nekrosa bagian pada otak depan, otak depan dan belajkang
choroid tengah dan otak
belakang
336 Hipertropi, kongesti pada degenerasi, kongesti di hemmorhagi, degenerasi
bagian choroid myelencephalon dan dan ginjal depan dan
cerebellum belakang

Organ Mata
Organ mata ikan nila terdiri dari beberapa lapisan yaitu bagian choroid,
retina dan iris yang tampak pada Gambar 23.

Gambar 23 Histopatologi mata ikan nila yang diinjeksi Streptococcus


agalactiae. A mata ikan nila normal: A1 Choroid; A2 Retina; A3
Iris. B. bagian retina mata; B1 pigment epithelium; B2 lapisan
photoreceptor; B3 membran pembatas luar; B4 outer nuclear layer;
B5 lapisan luar plexiform; B6 lapisan dalam nuclear; B7 lapisan
plexiform dalam; B8 lapisan sel ganglion. C. choroid. H hipertropi;
hr. hemorrhage; Hp hiperplasi. A&C 1 bar=200 µm, B.1 bar=50 µm
Perubahan pada mata ikan nila yang terinfeksi S. agalactiae secara
makroskopis tampak adanya eksoptalmia, pengerutan mata, pendarahan dan mata
keruh sampai berkabut (purulens, opacity). Secara histologi (mikroskopis)
perubahan tampak seperti pada Gambar 23C. Hiperplasi, terjadi pada bagian
choroid yaitu adanya penambahan jumlah sel dalam jaringan. Hemorrhagi juga
65

tampak terjadi, ini membuktikan bahwa S. agalactiae bersifat septicemia yang


merusak pembuluh darah yang ditandai dengan adanya pendarahan.
Hipertropi tampak dengan adanya pembesaran sel, yang disebabkan oleh
adanya infeksi bakteri patogen. Hipertropi dan hiperemi terjadi pada bagian
choroid ikan yang mengalami eksoptalmia baik lateral maupun bilateral. Bakteri
berkembang dalam organ mata, didalam perkembangannya sejalan dengan
munculnya sifat virulensinya bakteri menghasilkan eksotoksin (salah satunya
hemolisin) yang merusak bagian choroid mata sehingga menyebabkan mata
mengalami perubahan-perubahan tersebut dan tidak ditemukan adanya perubahan
pada bagian retina mata. Choroid merupakan bagian dari mata yang mengandung
banyak pembuluh darah karena letaknya diantara arteriole dan kapiler yang
membentuk rete mirabile. Arteri dan vena saling berdekatan dan sebagai tempat
pertukaran darah, ion dan gas antara dinding pembuluh darah sehingga
S. agalactiae sebagai bakteri septicemia dengan mudah tumbuh dan berkembang
di daerah ini (Ferguson, 1989).
Adanya hipertropi dan hiperplasi pada bagian choroid menyebabkan ikan
mengalami eksoptalmia dan hemorrhagi bisa tampak secara makroskopis pada
mata ikan. Sama halnya dengan Filho et al. (2009) menemukan adanya infiltrasi
pada bagian choroid dan periorbital, dan tidak ditemukan kelainan pada bagian
retina mata ikan nila yang diinjeksi dengan S. agalactiae.
Perubahan pada mata (eksoptalmia dan purulens) mulai tampak pada jam
ke-24 pasca injeksi dengan S. agalactiae tipe non hemolitik dan 120 jam pasca
injeksi dengan β-hemolitik. Perubahan secara histopatologi juga terdeteksi pada
jam tersebut dan perubahan masih ditemukan pada ikan nila hingga hari ke-14
pasca injeksi. Filho et al. (2009) juga masih menemukan perubahan pada
histopatologi mata ikan nila yang diinjeksi dengan S. agalactiae tipe non-
hemolitik hingga hari ke-14 dan tidak ditemukan histopatologinya pada hari ke-21
dan 28 pasca injeksi.
66

Organ Otak
Menurut Rahardjo (1985) otak ikan dapat dibagi menjadi lima bagian yaitu
telencephalon, diencephalon, mesencephalon, metencephalon dan
myelencephalon. Telencephalon merupakan otak bagian depan sebagai pusat
pembauan, syaraf utamanya adalah syaraf olfactory. Di belakang telencephalon
terdapat diencephalon yang merupakan komponen penting, terdiri dari tiga bagian
yaitu epithalamus, thalamus dan hypothalamus dimana di bagian bawahnya
terdapat hypophysa (kelenjar pituitary). Mesencephalon (otak tengah) pada ikan
relatif besar dan berfungsi sebagai pusat penglihatan, ada dua bagian terpenting
yaitu tektum optikum (organ koordinator yang melayani rangsangan penglihatan)
dan tegmentum merupakan pusat sel-sel motoris. Bagian terpenting dalam
metencephalon adalah cerebellum yang fungsi utamanya mengatur keseimbangan
tubuh dalam air. Bagian posterior otak ikan adalah myelencephalon, dengan
medulla oblongata sebagai komponen utamanya, merupakan pusat untuk
menyalurkan rangsang yang keluar melalui syaraf kranial.
Setelah diinjeksi dengan S. agalactiae, ikan menunjukkan gejala berenang
abnormal (miring, berulang) dan juga whirling. Ikan yang menunjukkan berenang
whirling secara histopatologi pada organ otak cerebellum adanya degenerasi dan
nekrosa di bagian kranial, ini biasanya yang menyebabkan meningitis dan
encephalitis pada infeksi Edwardsiella ictaluri pada channel catfish dan infeksi
Streptococcus iniae pada ikan yellowtails (Ferguson, 1989). Selain itu tampak
adanya kongesti (pembendungan) pada pembuluh darah yaitu meningkatnya
jumlah darah dalam pembuluh myelencephalon (otak belakang), yang ditunjukkan
dengan kapiler darah tampak melebar yang penuh berisi eitrosit pada pembuluh
kranial (Gambar 24D). Hipertropi juga terjadi pada neuron (Gambar 24C) yaitu
adanya peningkatan komponen sel neuron.
67

Gambar 24 Histopatologi otak ikan nila yang diinjeksi Streptococcus agalactiae.


A. otak belakang (myelencephalon) normal 1 bar = 20µm B. otak
belakang cg: kongesti dan hemorrhagik pada otak, h: hipertropi, 1
bar = 20µm. C & D otak cerebellum. c. bagian kranial mengalami
vacuolar (v) 1 bar = 50µm; dg: degenerasi dan nekrosa pada kranial
1 bar = 20µm.
Ikan nila yang mengalami whirling pasca injeksi S. agalactiae ditemukan
adanya pendarahan pada bagian telencephalon dan cerebellum. Kadang juga
ditemukan juga adanya inflamasi dan infiltrasi pada bagian myocardium pada ikan
yang diinjeksi dengan S. agalactiae pada hari ke-3, 7 dan 14. Histopatologi pada
otak tidak ditemukan lagi pada hari ke-21 dan 28 pasca injeksi (Filho et al., 2009).
Vakuolisasi terjadi akibat kerusakan sel (nekrosis) pada bagian kranial
dalam cerebellum, selanjutnya sel mengalami kehancuran sehingga tertinggal
sebagai ruangan yang kosong pada jaringan otak, diduga sebagai akibat infeksi
secara sistemik, yaitu melalui aliran darah kemudian mencapai ke otak dan
menimbulkan kerusakan pada jaringan penyusun organ tersebut (Gambar 24C.v).
Apabila kerusakan terjadi pada syaraf motorik dapat mengakibatkan terganggunya
syaraf yang mengontrol pergerakan dan keseimbangan ikan dalam berenang,
sehingga terjadi perubahan perilaku gerakan renang ikan menjadi berputar-putar
(whirling). Vakuolisasi juga ditemukan pada otak ikan kerapu tikus (Cromileptes
altivelis) yang mengalami whirling akibat infeksi bakteri Vibrio alginolyticus
(Murdjani, 2002)
68

Organ Ginjal
Ginjal ikan nila yang diinjeksi dengan S. agalactiae menunjukkan adanya
kerusakan struktural, yaitu adanya hipertropi, hemorrhagi dan nekrosa. Pada
Gambar 25 tampak perubahan yang terjadi pada ginjal ikan nila pasca diinjeksi
dengan S. agalactiae.

Gambar 25 Histopatologi ginjal ikan nila yang diinjeksi Streptococcus agalactiae.


A. normal. B, C, D. ginjal yang mengalami perubahan n: degenerasi
dan nekrosa, h: hypertropi pada epitelium tubulus ginjal, p:
pendarahan. 1 bar = 100 µm (A, C, D) dan 50 µm (B)
Hipertropi dan pendarahan yang terjadi disebabkan karena S. agalactiae
masuk ke dalam ginjal melalui aliran darah dan menginfeksi tubulus ginjal.
Infeksi S. agalactiae juga mempengaruhi metabolisme dan proses-proses
enzimatis dalam sel, yang dapat menyebabkan terjadinya degenerasi dan nekrosa
pada tubulus ginjal. Kondisi ini merusak struktur dan fungsi ginjal, yang
69

mengakibatkan terganggunya proses-proses fisiologik di dalam tubuh ikan bahkan


dapat menyebabkan kematian.
Perubahan yang tampak umumnya tidak berbeda dengan perubahan yang
terjadi pada mata dan otak, degenerasi dan nekrosa terjadi akibat adanya infeksi
bakteri. Pendarahan juga terjadi, sama halnya yang terjadi pada mata, yang
menunjukkan bahwa S. agalactiae merusak jaringan dalam organ. Penyebaran
bakteri ini ke dalam organ ikan dilakukan melalui darah, S. agalactiae masuk ke
dalam aliran darah, dapat tumbuh, berkembang dan menyebar melalui darah
sehingga disebut juga sebagai bakteri septicemia. Infiltrasi ditemukan pada ginjal
ikan nila yang diinjeksi dengan S. agalactiae, selain itu tampak juga adanya
melanomacrophages pada ginjal ikan yang mengalami perubahan warna
menghitam (Filho et al., 2009).
Nekrosis juga terjadi pada kapsul bowman yang diduga sebagai akibat
infeksi bakteri yang mengeluarkan toksin dan dapat merusak sel-sel ginjal.
Dengan rusaknya ginjal, akan memudahkan bakteri masuk ke dalam jaringan
ginjal dan menimbulkan kerusakan yang lebih besar. Sama halnya dengan ikan
kerapu tikus (Cromileptes altivelis) yang terinfeksi bakteri Vibrio alginolyticus
pada organ ginjalnya ditemukan adanya nekrosa dan pendarahan, yang diduga
akibat toksin yang dikeluarkan bakteri (Murdjani, 2002). Perubahan yang terjadi
secara mikroskopis antara ikan yang terinfeksi S. agalactiae tipe β-hemolitik dan
non-hemolitik tidak jauh berbeda. Kedua bakteri menyebabkan perubahan seperti
yang terjadi pada organ mata, otak dan ginjal ikan nila.

Simpulan
Keseluruhan hasil pengamatan pada beberapa parameter yang diamati,
diperoleh beberapa simpulan yaitu :
1. Bakteri S. agalactiae dapat menyebabkan sakit pada ikan yang dapat dilihat
secara makroskopis maupun mikroskopis.
2. Infeksi S. agalactiae juga menyebabkan perubahan pada parameter gambaran
darah dan patologi klinik darah.
3. Streptococcus agalactiae tipe non hemolitik lebih virulen dibandingkan
dengan yang bertipe β-hemolitik dilihat dari jumlah kematian yang lebih cepat
70

dan banyak, perubahan yang terjadi pada pola renang, pola makan dan
patologi anatomi secara makroskpis dan mikroskopis juga terjadi lebih cepat
pada ikan yang terinfeksi S. agalactiae tipe non hemolitik.
Sehingga dari hasil penelitian ini diambil dua tipe bakteri yang memiliki
perbedaan secara karakteristik dan tingkat virulensi yang lebih tinggi pada ikan
nila dibandingkan dengan isolat lainnya yaitu isolat 5 yang mewakili bakteri tipe
non-hemolitik dan isolat 3 (tipe β-hemolitik) untuk selanjutnya diuji toksisitas
extracellular product (ECP) untuk mengetahui salah satu faktor virulensi dari
S. agalactiae menyebabkan sakit dan atau mati pada ikan nila.

Anda mungkin juga menyukai