2011ehh-Patogenesitas Bakteri Streptococcus Agalacine
2011ehh-Patogenesitas Bakteri Streptococcus Agalacine
ABSTRAK
Hasil pengujian karakteristik, diketahui bahwa S. agalactiae yang menginfeksi ikan nila
dikelompokkan menjadi dua tipe hemolitik yaitu β-hemolitik dan non-hemolitik. Setelah diuji
pada 30 ekor ikan nila ukuran 15 g melalui penyuntikan intraperitonial sebanyak 0.1 ml/ekor
ternyata bakteri tipe non-hemolitik lebih virulen dilihat dari kematian, munculnya gejala klinis,
perubahan tingkah laku, perubahan patologi anatomi baik secara makroskopis maupun
mikroskopis. Bakteri tipe non-hemolitik menyebabkan kematian setelah 6-24 jam pasca injeksi
sedangkan tipe β-hemolitik baru menyebabkan kematian setelah 48 jam, dan setelah 14 hari,
sebanyak 48% ikan mati akibat diinjeksi bakteri tipe non-hemolitik dan 18% ikan yang diinjeksi
tipe β-hemolitik. Perubahan pada gejala klinis ikan nila yang diinjeksi bakteri tipe non-hemolitik
lebih cepat muncul (perubahan pola renang, respon terhadap pakan dan perubahan pada mata dan
clear operculum) rata-rata muncul setelah 6 jam pasca injeksi dan 12 jam pada ikan nila yang
diinjeksikan dengan bakteri tipe β-hemolitik. Selain perubahan secara makroskopis, perubahan
pada mikroskopis juga diamati. Perubahan yang terjadi pada pola renang dan perubahan pada
mata, perubahan warna ditandai dengan adanya perubahan histologi organ mata, ginjal dan otak.
Kata kunci : hemolitik, patogenisitas, Streptococcus agalactiae, Oreochromis niloticus
ABSTRACT
The objective of this research was to evaluate the effect bacteria characteristic on the
pathogenecity of S. agalactiae that infected nile tilapia. Characteristict test showed that this
bacteria could be grouped into two haemolytic types: β-haemolytic and non-haemolytic. After
injected intraperitoneal injection (0.1 mL/fish) into 30 fish weighing 15 g in average, the non-
haemolytic demonstrated more virulent. It caused faster mortality, clinical symptoms, severe
behavior changes and pathological changes macroscopically and microscopically. Non-
haemolytic S. agalactiae caused mortality on 6-24 hours post-injection while β- haemolytic type
caused mortality on 48 hours post-injection. On 14 day post injection, non-haemolytic caused
48% mortality and 18% caused β- haemolytic. Changes in clinical symptoms on fish injected with
non-haemolytic bacteria appeared faster (swimming behavior, response to food, and changes in
eyes and clear operculum), that was in average 6 hours post-injection while in fish injected with β-
haemolytic type, the changes appeared 12 hours after injection. Besides macroscopic changes,
microscopic changes were also observed (swimming pattern, changes on eyes, colour changes
characterized by histological changes on eyes, kidney and brain). As conclusion, non-haemolytic
S. agalactiae was more virulent than β-haemolytic S. agalactiae because the disease signs and the
mortality appeared firstly and more severe on fish infected non-haemolytic S. agalactiae fish.
Keywords : haemolytic, pathogenicity, Streptococcus agalactiae, Oreochromis niloticus
47
Pendahuluan
Patogenisitas S. agalactiae pada ikan nila sampai sekarang belum dibahas
tuntas, faktor penyebab perbedaan gejala klinis yang muncul dan perjalanan
bakteri hingga menyebabkan kematian perlu diamati agar dapat dijadikan acuan
dalam upaya pengendalian penyakit Streptococcosis yang disebabkan oleh
S. agalactiae.
Dari hasil pengamatan mengenai karakteristik S. agalactiae yang
menginfeksi ikan nila ditemukan dua tipe bakteri yaitu tipe β-hemolitik dan non-
hemolitik, sehingga dalam penelitian ini dilakukan pengamatan mengenai
patogenisitas kelima isolat S. agalactiae termasuk didalamnya bakteri bertipe β-
hemolitik dan non-hemolitik. Pengamatan terkait tahapan dampak yang
disebabkan oleh bakteri selama masa infeksi sampai menyebabkan kematian.
Kejadian setelah S. agalactiae masuk ke dalam tubuh inang dapat dilihat salah
satunya dengan mengamati gejala yang muncul pada inang, antara lain dari
perubahan pola renang, perubahan nafsu makan, perubahan kesehatan melalui
pengamatan gambaran darah dan patologi klinik darah serta perubahan pada
histologi mata, ginjal dan otak ikan. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan
informasi mengenai perkembangan dampak infeksi S. agalactiae yang berbeda
karakter (β-hemolitik dan non-hemolitik) terhadap ikan nila.
pasca injeksi ikan cenderung lemah dan diam didasar akuarium) sedangkan gejala
yang sama baru muncul jam ke-48 pasca injeksi dengan bakteri tipe β-hemolitik.
Gambar 9 Tingkah laku berenang ikan normal dan yang terinfeksi Streptococcus
agalactiae. A: tingkah laku berenang normal-berkelompok teratur; B:
tingkah laku berenang abnormal tidak teratur dan soliter; C: gasping;
D: sirip mengembang (abnormal) dan cara berenang normal (tanda
panah)
Gejala khas yang muncul pada infeksi S. agalactiae adalah berenang
whirling yang umumnya muncul pada jam ke-120. Tubuh ikan membentuk huruf
“C” juga ditemui pada ikan yang diinjeksi dengan bakteri tipe non-hemolitik
mulai hari ke-12 hingga hari ke-14 pasca injeksi. Gejala tersebut sesuai dengan
gejala yang berhasil diamati oleh Evans et al. (2006) pada ikan nila yang diinjeksi
S. agalactiae sebelum mati seperti berenang lemah dan berada di dasar akuarium,
respon terhadap pakan lemah, berenang whirling, tubuh membentuk huruf ”C”.
Perubahan pola renang ikan nila yang diinjeksi dengan S. agalactiae tipe
non-hemolitik adalah awal infeksi ikan tampak agresif kemudian pada jam ke-3
pasca injeksi ikan mulai tampak berenang lemah hingga hari ke-5 dan akhirnya
ikan berenang whirling. Ikan yang berenang whirling biasanya mati setelah 12
jam. Pada ikan yang diinjeksi dengan bakteri tipe β-hemolitik juga terjadi
perubahan pola renang yang sama, hanya saja jumlah ikan yang berenang whirling
lebih sedikit. Data secara lengkap hasil pengamatan perubahan pola renang, nafsu
makan ikan nila pasca diinjeksi dengan S. agalactiae dijabarkan pada Lampiran 4.
Perbedaan gejala yang muncul dapat dikaitkan dengan organ target
S. agalactiae (mata, otak dan ginjal). Keberadaan bakteri pada organ mata dapat
50
Gambar 10 Organ dalam ikan nila normal dan yang terinfeksi Streptococcus
agalactiae A. PA normal; B. lambung ikan nila (pencernaan
makanan menjadi lambat) ditunjukkan dengan tanda panah biru; C.
organ dalam ikan nila menjadi pucat (tanda panah merah).
Waktu pencernaan pakan juga menjadi lebih lama ini ditunjukkan dengan
masih utuhnya pakan dalam lambung ikan yang terinfeksi bakteri yang disampling
51
Tabel 13 Patologi anatomi makroskopis organ luar ikan nila pasca diinjeksi
Streptococcus agalactiae
Patologi anatomi organ luar Waktu terjadinya (pasca injeksi) (jam)
secara makroskopis non-hemolitik β-hemolitik
Garis vertical tubuh menghitam 6 24
Clear operculum 24 72
Mata mengkerut 24 264
Eksoptalmia & purulens 96 120
Pendarahan di mata 24 -
Ulcer pada kepala 264 -
Abses pada perut 336 -
“C” shape 288 -
Keterangan : (-) tidak ditemukan adanya gejala
Perubahan warna tubuh biasanya terjadi pada jam ke-6 pasca injeksi tipe
non-hemolitik dan jam ke-24 pasca injeksi tipe β-hemolitik. Perubahan pada mata
seperti mata mengkerut, pengecilan pupil mata terjadi pada jam ke-24 pasca
injeksi bakteri tipe non-hemolitik dan muncul pada hari ke-11 pasca injeksi
bakteri tipe β-hemolitik. Bakteri tipe β-hemolitik lebih lambat menyebabkan
munculnya gejala dibandingkan dengan tipe non-hemolitik.
52
Gambar 11 Perubahan yang terjadi pada organ mata ikan nila; A. normal; B.
mata mengkerut, C. pupil mata mengecil; D.Opacity (kekeruhan
mata); E. mata lisis dan F. Purulens (mata putih).
Pada infeksi S. agalactiae, lateral eksoptalmia lebih sering terjadi
dibandingkan dengan bilateral eksoptalmia (Gambar 12C-D). Gejala
Streptococcosis spesifik pada ikan nila adalah clear operculum dengan berbagai
tahapan (Gambar 13). Gejala pra clear operculum ditandai dengan munculnya
warna semu kuning dengan titik-titik putih di bawah mulut. Clear operculum
muncul rata-rata pada jam ke-24 dan disertai pendarahan pada jam ke-24 untuk S.
agalactiae tipe non-hemolitik dan jam ke-72 pasca injeksi S. agalactiae tipe β-
hemolitik tanpa disertai pendarahan. Gambar 12 adalah perubahan yang terjadi
pada mata, yaitu adanya eksoptalmia baik lateral maupun bilateral, serta yang
dibarengi dengan adanya pendarahan. Gambar 13 menunjukkan adanya clear
operculum pada ikan pasca diinjeksi dengan S. agalactiae.
53
Gambar 12 Gambar 13
Eksoptalmia pada organ mata ikan nila; Perubahan yang terjadi pada operkulum
A. pendarahan pada mata; B & C lateral ikan nila (tanda panah); A. normal; B &
eksoptalmia, D. bilateral eksoptalmia. C clear operculum, D. clear operculum
disertai pendarahan.
Pada Gambar 14, tampak adanya beberapa perubahan pada tubuh ikan
pasca diinjeksi dengan S. agalactiae. Gejala spesifik yang hanya muncul pada
ikan nila yang diinjeksi dengan bakteri tipe non-hemolitik yaitu adanya luka
(ulcer) di bagian kepala ikan nila (Gambar 14C) pada hari ke-8 dan muncul abses
(Gambar 14D) di bagian bekas injeksi yang menjalar hingga perut pada hari ke-
14. Ketiga gejala tersebut tidak tampak pada ikan uji yang diinjeksi dengan
bakteri tipe β-hemolitik.
Gambar 14 Perubahan yang terjadi pada tubuh ikan nila; A. warna tubuh pucat; B
& E. bibir pucat dan memutih; C. ulcer pada bagian kepala; D. abses
pada bagian tubuh; F. tubuh membentuk huruf “C” disertai lateral
eksoptalmia.
Streptococcosis (Streptococcus agalactiae dan S. iniae) umumnya ditandai
dengan adanya perubahan warna gelap pada garis vertikal ikan nila (Gambar 15),
54
ini diduga karena bakteri menginfeksi organ ginjal yang berpengaruh terhadap
produksi melatonin sebagai pembentuk warna tubuh.
isolat 1
4.0
40000
3.5
35000 isolat 2
3.0
30000 isolat 3
2.5
25000
isolat 4
2.0
20000
15000
1.5 isolat 5
10000
1.0
kontrol
5000
0.5
00
24 168 336
Waktu Pengamatan (jam)
Gambar 16 Grafik total leukosit ikan nila pasca diinjeksi Streptococcus
agalactiae
Dari uji statistik, terdapat perbedaan antar perlakuan (injeksi dengan
kelima isolat) dengan kontrol (p<0.05); sedangkan antar perlakuan isolat bakteri
(isolat 1–isolat 5) tidak berbeda nyata (p>0.05). Artinya, keberadaan infeksi S.
agalactiae kelima isolat menyebabkan perubahan pada total leukosit ikan nila
sejak jam ke-4 dan 168 pasca injeksi, setelah 14 hari cenderung kembali normal.
55
Total Eritrosit
Menurut Fujaya (2004), jumlah eritrosit pada masing-masing spesies ikan
berbeda, tergantung dari aktivitas ikan tersebut. Fungsi utama eritrosit adalah
mengangkut Hb yang berperan membawa oksigen dari insang atau paru-paru ke
jaringan. Selain mengedarkan Hb, eritrosit juga mengandung asam karbonat
dalam jumlah besar yang berfungsi mengkatalis reaksi antara karbondioksida dan
57
60
isolat 1
50 isolat 2
40 isolat 3
30 isolat 4
20 isolat 5
10 kontrol
0
24
0 168
1 336
3
Waktu Pengamatan (jam)
Gambar 18 Grafik total eritrosit ikan nila pasca diinjeksi Streptococcus agalactiae
Peningkatan total eritrosit ini menandakan adanya upaya homeostatis pada
tubuh ikan (infeksi patogen) dimana tubuh memproduksi sel darah lebih banyak
untuk menggantikan eritrosit yang mengalami lisis akibat adanya infeksi.
Penurunan eritrosit mengindikasikan adanya anemia pada ikan yang ditandai
adanya pendarahan pada organ ginjal ikan. Keberadaan S. agalactiae yang
memproduksi toksin hemolitik yang dapat melisis eritrosit (lihat aktivitas
hemolitik) sehingga rataan eritrosit ikan uji umumnnya menurun atau lebih rendah
dari normal hingga hari ke-14 pasca injeksi.
58
Hematokrit
Rataan kadar hematokrit ikan nila normal berkisar 27.3–37.8% dan kadar
hematokrit ikan uji yang diinjeksi S. agalactiae sepanjang penelitian berfluktuasi,
nilainya berkisar 15.9–43.15% (bakteri tipe non-hemolitik) dan 12.9–43.14%
(bakteri tipe β-hemolitik) (Gambar 19). Data pengamatan hematokrit ikan nila
pasca injeksi S. agalactiae secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 5.
55
50
45
40
Hematokrit (%)
isolat 1
35
30 isolat 2
25 isolat 3
20
15 isolat 4
10 isolat 5
5
0 kontrol
24 168 336
Waktu pengamatan (jam)
Dari hasil uji statistik, semua ikan yang diinjeksi bakteri mengalami
peningkatan yang berbeda nyata nilai hematokrit dengan kontrol (ikan yang tidak
diinjeksi dengan S. agalactiae) (p<0.05) pada jam ke-168 pasca injeksi. Setelah
hari ke-14 (336 jam) kadar hematokrit cenderung kembali mendekati normal.
Artinya, keberadaan infeksi S. agalactiae umumnya menyebabkan perubahan
pada hematokrit ikan nila secara nyata, namun setelah 14 hari ikan cenderung
kembali normal kecuali isolat 3 dan isolat 5. Kadar hematokrit ini dapat
digunakan untuk mengetahui dampak injeksi S. agalactiae, sehingga dapat
digunakan sebagai petunjuk kondisi kesehatan ikan setelah penginjeksian. Dalam
penelitian faktor penyebab stress seperti lingkungan dan penanganan
diminimalisir sehingga perubahan hematokrit dapat dipastikan karena adanya
infeksi patogen. Peningkatan mulai terjadi jam pertama pasca injeksi hingga jam
ke-24 (bakteri tipe β-hemolitik) dan jam ke-72 (bakteri tipe non-hemolitik).
59
Hemoglobin (Hb)
Hemoglobin adalah metalloporphyrin, kombinasi dari haem yang
merupakan porphyrin besi dan globin. Pada peristiwa oksigenasi, atom besi dari
haem akan berasosiasi dengan satu molekul oksigen. Setiap molekul Hb
mengandung 4 molekul haem dan 4 atom besi sehingga dapat mengangkut 4
molekul oksigen (Fujaya, 2004).
Kadar hemoglobin ikan berkaitan dengan anemia dan jumlah sel darah,
peningkatan Hb terjadi karena adanya infeksi yang diikuti adanya penurunan yang
sangat cepat. Peningkatan Hb rata-rata ikan yang diinjeksi bakteri tipe non-
hemolitik terjadi sejak 1 jam awal pasca injeksi hingga jam ke-6 hingga jam ke-12
kemudian penurunan secara cepat terjadi hingga jam ke-96 hingga jam ke-120.
Sedangkan Hb ikan yang diinjeksi dengan bakteri tipe β-hemolitik terjadi
kenaikan (puncak) pada jam ke-6 (Gambar 20). Data pengamatan hemoglobin
ikan nila pasca injeksi S. agalactiae secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 5.
18
16
14 isolat 1
Hemoglobin (g %)
12 isolat 2
10
isolat 3
8
6 isolat 4
4 isolat 5
2
kontrol
0
24 168 336
Waktu Pengamatan (jam)
Gambar 20 Grafik hemoglobin ikan nila pasca diinjeksi Streptococcus agalactiae
Kadar rata-rata Hb ikan nila normal berkisar 10–11.01 (g%), sedangkan
ikan yang diinjeksi dengan bakteri S. agalactiae berkisar 4–14.4 (g%). Pada jam
ke-24 pasca injeksi, dari uji statistik kelima isolat menyebabkan perubahan pada
nilai hemaglobinnya namun perbedaan secara nyata dengan kontrol hanya terjadi
pada ikan yang diinjeksi dengan isolat 1 dan 5.
Kadar Hb berkaitan dengan keseimbangan osmolaritas plasma darah.
Adanya S. agalactiae yang diduga mengandung toksin hemolisin mempengaruhi
kestabilan Hb. Hemolisin ini menyebabkan osmolaritas plasma darah lebih
60
rendah sehingga menyebabkan lisis, hal inilah yang diduga sebagai faktor
virulensi pada S. agalactiae. Rendahnya kadar Hb menyebabkan laju metabolisme
menurun dan energi yang dihasilkan menjadi rendah. Hal ini membuat ikan
menjadi lemah dan tidak memiliki nafsu makan serta terlihat diam di dasar atau
berenang lemah.
Glukosa Darah
Hasil pengukuran glukosa darah ikan nila normal berkisar antara 80.02-
113.21 (mg/100 ml) dan sepanjang percobaan glukosa darah nilainya berfluktuasi
(Gambar 21).
140
120
Glukosa darah (mg/100ml)
100 kontrol
80 isolat 1
60 isolat 2
40 isolat 3
20 isolat 4
0 isolat 5
24 168 336
Waktu Pengamatan (Jam ke-)
Gambar 21 Grafik glukosa ikan nila pasca diinjeksi Streptococcus agalactiae
Peningkatan glukosa darah terjadi sepanjang pengamatan pada kelima
isolat. Ikan nila yang diinjeksi S. agalactiae tipe non-hemolitik menunjukkan
kadar glukosa berkisar 73.79–121.67 (mg/100 ml) dan yang diinjeksi β-hemolitik
berkisar 69.34–129.17 (mg/100 ml). Data pengamatan glukosa darah ikan nila
pasca injeksi S. agalactiae secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 5.
Dari hasil uji statistik glukosa darah ikan nila, peningkatan glukosa darah
terjadi 1 jam pasca injeksi di semua perlakuan dan berbeda nyata dengan kontrol
(p<0.05), artinya keberadaan infeksi S. agalactiae umumnya menyebabkan
perubahan pada kadar glukosa darah ikan nila secara nyata.
Peningkatan glukosa darah ini berkaitan dengan kondisi stress pada ikan
yang dapat disebabkan oleh banyak faktor antara lain faktor fisika dan kimia
(kualitas air), faktor biologi (adanya infeksi patogen) juga dapat karena
penanganan. Glukosa darah ini dapat bersifat imonosupresor pada ikan, hal ini
61
disebabkan karena pada saat kadar glukosa dalam darah tinggi, ginjal bekerja
lebih keras untuk menjaga keseimbangan tubuh, pada saat inilah fungsi dan kerja
ginjal terganggu (termasuk fungsinya sebagai organ yang berperan dalam sistem
imun). Saat organ limfoid ini terganggu sistem pertahanan tubuh menjadi
menurun sehingga patogen lebih mudah untuk tumbuh, berkembang dan
menyebarkan virulensi pada tubuh ikan (Anderson, 1990). Evans (2003)
mengamati adanya peningkatan kerentanan ikan nila yang terinfeksi S. agalactiae
pada kondisi stress (sublethal DO) yang ditandai dengan adanya peningkatan
glukosa darah.
Pada saat ikan mengalami gangguan yang menyebabkan stres, baik karena
penanganan, kualitas air maupun infeksi bakteri, maka tubuh ikan akan
mengeluarkan tanda atau alarm sebagai indikasi adanya gangguan. Alarm pada
ikan antara lain : pertama adanya peningkatan gula darah akibat sekresi hormon
dari kelenjar adrenalin. Persediaan gula, seperti glikogen dalam hati
dimetabolisme sebagai persediaan energi untuk emergensi. Kedua, osmoregulasi
kacau akibat perubahan metabolisme mineral. Ikan air tawar cenderung
mengabsorbsi air dari lingkungan (over-hydrate), ikan air laut cenderung
kehilangan air dari dalam tubuh (dehydrate). Kondisi ini perlu energi ekstra untuk
memelihara keseimbangan osmoregulasi. Ketiga, pernafasan meningkat, tensi
darah meningkat, persediaan eritrosit direlease ke sistem resirkulasi dan keempat,
respon inflamasi ditekan oleh hormon dari kelenjar adrenalin (Anderson, 1990).
6 Kematian ikan
Bakteri S. agalactiae tipe non hemolitik lebih cepat menyebabkan
kematian yaitu mulai pada jam ke-6 hingga jam ke-12 pasca injeksi sedangkan
isolat β-hemolitik baru pada jam ke-48. Jumlah ikan yang mati pada akhir
pengamatan akibat injeksi S. agalactiae non-hemilitik lebih banyak dibandingkan
dengan bakteri tipe β-hemolitik. Bakteri S. agalactiae tipe non-hemolitik lebih
virulen karena lebih cepat menyebabkan kematian pada ikan nila. Kematian ikan
pasca injeksi dengan bakteri S. agalactiae terlihat pada Gambar 22.
62
50
45
40
35
30
kematian ikan
25
20
15
10
5
0
0 1 3 6 12 24 48 72 96 120 144 168 192 216 240 264 288 312
Selanjutnya, dari hasil pengukuran Mean Time Death (MTD) atau rerata
waktu kematian ikan uji pada setiap pengujian diketahui bahwa waktu kematian
ikan nila akibat infeksi S. agalactiae tampak pada Tabel 14.
7 Histopatologi
Perubahan histologi dalam jaringan ikan dapat digunakan sebagai salah
satu indikator untuk mengevaluasi adanya gangguan pada ikan yang
perubahannya dapat dilihat dalam jangka waktu yang lama (Adams, 1990).
Dengan menggunakan indikator histologik ikan ini, dapat diketahui perubahan
yang terjadi pada tubuh ikan baik akibat perubahan kualitas air, penanganan
maupun infeksi patogen karena histopatologi merupakan hasil dari adanya
perubahan secara biokimia dan fisiologis pada organisme (Hinton dan Lauren,
1990). Namun untuk mengamati perubahan histopatologi ini sangat bergantung
pada kualitatif pengcahayaan mikroskop pada tiap jaringan yang diamati,
kebaruan teknologi analisis seluler dan molekuler.
Perubahan yang terjadi pada pada organ mata, otak dan ginjal ikan
umumnya hampir sama yang disebabkan oleh S. agalactiae tipe β-hemolitik dan
non-hemolitik. Perubahan mulai dapat dilihat pada hari ke-3 pasca injeksi dan
pada hari ke-14 juga masih ditemukan histopatologinya di ketiga organ. Pada jam
ke-168, histopatologi hampir ditemukan pada semua perlakuan. Histopatologi
yang tampak pada organ mata, otak dan ginjal, tampak pada Tabel 15.
64
Tabel 15 Histopatologi organ mata, otak dan ginjal ikan nila yang diinjeksi
dengan Streptococcus agalactiae
Jam setelah Organ ikan
injeksi Mata Otak Ginjal
24 Belum tampak Belum tampak Belum tampak
168 Hipertropi, hyperplasia, Hipertropi, kongesti, Hipertropi, hemorrhagi,
pendarahan, degenerasi degenerasi dan nekrosa nekrosa di ginjal bagian
dan nekrosa bagian pada otak depan, otak depan dan belajkang
choroid tengah dan otak
belakang
336 Hipertropi, kongesti pada degenerasi, kongesti di hemmorhagi, degenerasi
bagian choroid myelencephalon dan dan ginjal depan dan
cerebellum belakang
Organ Mata
Organ mata ikan nila terdiri dari beberapa lapisan yaitu bagian choroid,
retina dan iris yang tampak pada Gambar 23.
Organ Otak
Menurut Rahardjo (1985) otak ikan dapat dibagi menjadi lima bagian yaitu
telencephalon, diencephalon, mesencephalon, metencephalon dan
myelencephalon. Telencephalon merupakan otak bagian depan sebagai pusat
pembauan, syaraf utamanya adalah syaraf olfactory. Di belakang telencephalon
terdapat diencephalon yang merupakan komponen penting, terdiri dari tiga bagian
yaitu epithalamus, thalamus dan hypothalamus dimana di bagian bawahnya
terdapat hypophysa (kelenjar pituitary). Mesencephalon (otak tengah) pada ikan
relatif besar dan berfungsi sebagai pusat penglihatan, ada dua bagian terpenting
yaitu tektum optikum (organ koordinator yang melayani rangsangan penglihatan)
dan tegmentum merupakan pusat sel-sel motoris. Bagian terpenting dalam
metencephalon adalah cerebellum yang fungsi utamanya mengatur keseimbangan
tubuh dalam air. Bagian posterior otak ikan adalah myelencephalon, dengan
medulla oblongata sebagai komponen utamanya, merupakan pusat untuk
menyalurkan rangsang yang keluar melalui syaraf kranial.
Setelah diinjeksi dengan S. agalactiae, ikan menunjukkan gejala berenang
abnormal (miring, berulang) dan juga whirling. Ikan yang menunjukkan berenang
whirling secara histopatologi pada organ otak cerebellum adanya degenerasi dan
nekrosa di bagian kranial, ini biasanya yang menyebabkan meningitis dan
encephalitis pada infeksi Edwardsiella ictaluri pada channel catfish dan infeksi
Streptococcus iniae pada ikan yellowtails (Ferguson, 1989). Selain itu tampak
adanya kongesti (pembendungan) pada pembuluh darah yaitu meningkatnya
jumlah darah dalam pembuluh myelencephalon (otak belakang), yang ditunjukkan
dengan kapiler darah tampak melebar yang penuh berisi eitrosit pada pembuluh
kranial (Gambar 24D). Hipertropi juga terjadi pada neuron (Gambar 24C) yaitu
adanya peningkatan komponen sel neuron.
67
Organ Ginjal
Ginjal ikan nila yang diinjeksi dengan S. agalactiae menunjukkan adanya
kerusakan struktural, yaitu adanya hipertropi, hemorrhagi dan nekrosa. Pada
Gambar 25 tampak perubahan yang terjadi pada ginjal ikan nila pasca diinjeksi
dengan S. agalactiae.
Simpulan
Keseluruhan hasil pengamatan pada beberapa parameter yang diamati,
diperoleh beberapa simpulan yaitu :
1. Bakteri S. agalactiae dapat menyebabkan sakit pada ikan yang dapat dilihat
secara makroskopis maupun mikroskopis.
2. Infeksi S. agalactiae juga menyebabkan perubahan pada parameter gambaran
darah dan patologi klinik darah.
3. Streptococcus agalactiae tipe non hemolitik lebih virulen dibandingkan
dengan yang bertipe β-hemolitik dilihat dari jumlah kematian yang lebih cepat
70
dan banyak, perubahan yang terjadi pada pola renang, pola makan dan
patologi anatomi secara makroskpis dan mikroskopis juga terjadi lebih cepat
pada ikan yang terinfeksi S. agalactiae tipe non hemolitik.
Sehingga dari hasil penelitian ini diambil dua tipe bakteri yang memiliki
perbedaan secara karakteristik dan tingkat virulensi yang lebih tinggi pada ikan
nila dibandingkan dengan isolat lainnya yaitu isolat 5 yang mewakili bakteri tipe
non-hemolitik dan isolat 3 (tipe β-hemolitik) untuk selanjutnya diuji toksisitas
extracellular product (ECP) untuk mengetahui salah satu faktor virulensi dari
S. agalactiae menyebabkan sakit dan atau mati pada ikan nila.