Anda di halaman 1dari 28

PERCOBAAN I

Dosis Respon Obat dan Indeks Terapi

I. TUJUAN

Setelah menyelesaikan percobaan ini mahasiswa diharapkan :

1. Memperoleh gambaran bagaimana merancang eksperimen untuk memperoleh


ED50 dan DL50

2. Memahami konsep indeks terapi dan implikasi-implikasinya

II. PRINSIP

1. Dosis respon obat Intensitas efek obat pada makhluk hidup lazimnya
meningkat jika dosis obat yang diberikan juga ditingkatkan

2. Indeks terapi

a. Yaitu perbandingan antara DE50 dan DL50 yaitu dosis yang menghasilkan
efek pada 50% dari jumlah binatang dan dosis yang mematikan 50% dari
jumlah binatang

b. Indeks terapi merupakan ukuran keamanan untuk menentukan dosis obat

c. Rumus
Indeks Terapi = DL50/DE50

III. TEORI DASAR

Dalam farmakologi, dasar-dasar kerja obat diuraikan dalam dua fase yaitu
fase farmakokinetik dan fase farmakodinamik. Dalam terapi obat, obat yang
masuk dalam tubuh melalui berbagai cara pemberian umumnya mengalami
absorpsi, distribusi, dan pengikatan untuk sampai ke tempat kerja ( reseptor ) dan
menimbulkan efek , kemudian dengan atau tanpa biotransformasi ( metabolisme )
lalu di ekskresi kan dari tubuh. proses tersebut dinyatakan sebagai proses
farmakokinetik. Farmakodinamik, menguraikan mengenai interaksi obat dengan
reseptor obat; fase ini berperan dalam efek biologik obat pada tubuh
(Adnan,2011).

Dosis dan respon pasien berhubungan erat dengan potensi relative


farmakologis dan efikasi maksimal obat dalam kaitannya dengan efak terapefik
yang di harapkan. Adapun respon dosis sangat dipengaruhi oleh :
1. Dosis yang di berikan.
2. Penurunan / kenaikkan tekanan darah.
3. Kondisi jantung.
4. Tingkat metabolisme dan ekskresi ( Katzung Bertram , 2001 ).
Respon obat masing – masing individu berbeda – beda. Respon
idiosinkratik biasanya disebabakan oleh perbedaana genetic pada metabolism
obat / mekanisme -mekanisme munologik, termasuk rasa alergi. Empat
mekanisme umum yang mempengaruhi kemampuan merespon suatu obat :
1. Perubahan konsentrasi obat yang mencapai reseptor.
2. Variasi dalam konsentrasi suatu ligan reseptor endogen.
3. Perubahan dalam jumlah / fungsi reseptor – reseptor.
4. Perubahan – perubahan dalam komponen respondastal dari seseptor (
Katzung Bertram , 2001 ).
 Hubungan dosis obat – persen responsif :
Untuk menimbulkan efek obat dengan intensitas tertentu pada populasi
dipelukan satu kisaran dosis. Jika dibuat distribusi frekuensi dari individu yang
responsif (dalam 10%) pada kisaran dosis tersebut (dalam log dosis) maka akan
diperoleh kurba distribusi normal (Sulistina, ed IV, 1994).
 Hubungan antara dosis obat dengan respon penderita
- Potensi obat : Potensi suatu obat dipengaruhi oleh absorbsi,
distribusi, biontransformasi, metabolisme, ekskresi. Kemampuan bergabung
dengan reseptor dan sistem efektor. Atau ukuran dosis obat yang diperlukan
untuk menghasilkan respons.
- Efikasi maksimal : Efek maks obat dinyatakan sebagai efikasi
(kemanjuran) maksimal / disebut saja dengan efikasi (Sulistina, ed IV, 1994).
Efikasi tergantung pada kemampuan obat tersebut untuk
menimbulkan efeknya setelah berinteraksi dengan reseptor. Efikasi dapat dibatasi
timbulnya efek yang tidak diinginkan, sehingga dosis harus dibatasi. Yang berarti
bahwa efek maksimal tidak tercapai. Tiap obat mempunyai efikasi yang berbeda
(Sulistina, ed IV, 1994).
Untuk menyatakan toksisitas akut sesuatu obat, umumnya dipakai ukuran
LD50 (medium lethal dose 50) yaitu suatu dosis yang dapat membunuh 50% dari
sekelompok binatang percobaan. Demikian juga sebagai ukuran dosis efektif
(dosis terapi) yang umum digunakan sebagai ukuran ialah ED 50 (median
effective dose), yaitu dosis yang memberikan efek tertentu pada 50% dari
sekelompok binatang percobaan. LD50 ditentukan dengan memberikan obat
dalam dosis yang bervariasi (bertingkat) kepada sekelompok binatang
pecobaan.LD50 ditentukan dengan memberikan obat dalam dosis yang bervariasi
(bertingkat) kepada sekelompok binatang percobaan. Setiap binatang diberikan
dosis tunggal. Setelah jangka waktu tertentu (misalnya 24 jam) sebagian biantang
percobaan ada yang mati, dan persentase ini diterakan dalam grafik yang
menyatakan hubungan dosis (pada absis) dan persentase binatang yang mati
(pada ordinat) (James Olson,2000).

Hipnotika & Sedatif


Hipnotik Sedatif merupakan golongan obat depresan susunan
saraf pusat (SSP) yang relatif tidak selektif, mulai dari yang ringan yaitu
menyebabkan kantuk, menidurkan, hingga yang berat yaitu hilangnya kesadaran,
keadaan anestesi, koma dan mati, bergantung kepada dosis. Pada dosis terapi
obat sedatif menekan aktivitas, menurunkan respon terhadap rangsangan emosi
dan menenangkan. Obat Hipnotik menyebabkan kantuk dan mempermudah tidur
serta mempertahankan tidur yang menyerupai tidur fisiologis.Obat hipnotika dan
sedatif biasanya merupakan turunan Benzodiazepin. Beberapa obat Hipnotik
Sedatif dari golongan Benzodiazepin digunakan juga untuk indikasi lain, yaitu
sebagai pelemas otot, antiepilepsi, antiansietas dan sebagai penginduksi anestesis
(Anonym, 2006).

Indeks terapeutik
Indeks terapeutik adalah suatu ukuran keamanan obat karena nilai yamg
besar menunjukkan bahwa terdapat suatu batas yang luas / lebar di antara dosis –
dosis yang efektif dan dosis yang foksik. Indeks terapeutik ditentinova dengan
mengukur frekuensi respon yang diinginkan dan respon toksik pada berbagai
dosis obat.
Indeks terapeutik suatu obat adalah rasio dari dosis yang menghasilkan
tolensitas dengan dosis yang menghasilkan suatu respon yang efektif ( Mary
J.Myceh, 2001).
Indeks terapi adalah rasio antara dosis toksik dan dosis efektif atau
menggambarkan keamanan relatif sebuah obat pada penggunaan biasa.
Diperkirakan sebagai rasio LD50 (Dosis Lethal pada 50% kosis) terhadap ED50
(Dosis efektif pada 50% kasus). Karena efek berbeda mungkin perlu dosis
berbeda. Istilah LD50 sering dalam toksikologi yaitu dosis yang akan membunuh
50% dari populasi experimental (dr. Jan Tambayong.2003).
Indeks terapi suatu obat dinyatakan dalam pernyataan berikut :
Indeks terapi = TD50 atau CD50
ED50 ED50
Obat ideal menimbulkan efek terapi pada semua pasien tanpa
menimbulkan efek toksik pada seorang pun pasien, oleh karena itu TD1 1. Suatu
ukuran obat, obat yang memiliki indeks terapi tinggi lebih aman dari pada obat
yang memiliki indek terapi lebih rendah . TD50 : Dosis yang toksik pada toksik
50% hewan yang menerima dosis tersebut, kematiaan merupakan toksisitas
terakhir (Jonet.L. Stringer MD.Ph).
Efek suatu senyawa obat tergantung pada jumlah pemberian dosisnya. Jika
dosis yang diberi dibawah titik ambang (subliminsal dosis), maka tidak akan
didapatkan efek. Respon tergantung pada efek alami yang diukur. Kenaikan dosis
mungkin akan meningkatkan efek pada intensitas tersebut. Seperti obat
antipiretik atau hipotensi dapat ditentukan tingkat penggunaannya, dalam arti
bahwa luas (range) temperature badan dan tekanan darah dapat diukur.
Hubungan dosis efek mungkin berbeda-beda tergantung pada sensitivitas indivdu
yang sedang menggunakan obat tersebut. Hubungan frekuensi dosis dihasilkan
dari perbedaan sensitifitas pada individu sebagai suatu rumusan yang ditunjukan
pada suatu log distribusi normal. Jika frekuensi kumulatif (total jumlah binatang
yang memberikan respon pada dosis pemberian) diplotkan dalam logaritma maka
akan menjadi bentuk kurva sigmoid. Pembengkokan titik pada kurva berada pada
keadaan dosis satu-separuh kelompok dosis yang sudah memberikan respon.
Range dosis meliputi hubungan dosis-frekuensi memcerminkan variasi
sensitivitas pada individi terhadap suatu obat.
Evaluasi hubungan dosis efek di dalam sekelompok subyek manusia dapat
ditemukan karena terdapat perbedaan sensitivitas pada individu-individu yang
berbeda. Untuk menentukan variasi biologis, pengukauran telah membawa pada
suatu sampel yang representative dan didapatkan rata-ratanya. Ini akan
memungkinkan dosis terapi akan menjadi sesuai pada kebanyakan pasien
(Lullmann, 2000)
Indeks teraupetik merupakan suatu ukuran keamanan obat
karena nilai yang besar menunjukkan bahwa terdapa suatu batas yang luas / lebar
diantara dosis-dosis yang toksik.
- Penentuan indeks teraupetik
Indeks teraupetik ditentukan dengan mengukur frekuensi respon yang
diinginkan dan respon toksik pada berbagai dosis obat.
- Aspek kuantitatif eliminasi obat melalui ginjal
- Rasio efektif : Penurunan konsentrasi obat dalam plasma dari
darah arteri ke vena ginjal
- Kecepatan ekskresi : Eliminasi dari suatu obat biasanya mengikuti
kinetik firstorder dan konsentrasi obat dalam plasma turun secara exponensia
menurut waktu. Ini biasa digunakan untuk menentukan waktu paruh obat.
- Volume distribusi dan waktu paruh obat
Waktu paruh suatu obat berbanding terbalik dengan bersihan dan
secara langsung proporsional terhadap volume distribusi.
- Keadaan klinis yang meningkatkan waktu paruh obat penting untuk
dapat menduga para penderita yang mana memungkinkan waktu paruh obat akan
memanjang (Mary J. Mycek, dkk. 2001).

IV. ALAT DAN BAHAN

4.1 ALAT

 Kandang mencit
 Kapas

 Neraca lengan

 Penutup kandang yang kasar(kawat)

 Sarung tangan

 Spidol
 Sringe

4.2 BAHAN
 Alkohol
 Fenobarbital dosis 50mg, 75 mg,100mg, 125 mg,150 mg
 Mencit (Mus musculus) 3 ekor
 NaCl fisiologis

V. PROSEDUR

Hal pertama yang harus dilakukan dalam praktikum kali ini adalah memberi
tanda pada setiap mencit yang telah diterima oleh masing masing kelompok.
Mencit ditandai dengan menggunakan spidol di bagian ekornya sesuai dengan cara
penomoran pada hewan uji. Setelah semua mencit di beri penomoran selanjutnya
adalah mengetahui berat badan mencit uji dengan dimbang satu persatu pada
neraca ohauss. Hasil dari mencit uji yang telah ditimbang masing masing dicatat
pada kertas. Banyaknya dosis yang akan diberikan pada mencit uji dihitung dan
dikonversikan sesuai dengan hewan ujinya. Selanjutnya mencit yang telah
ditimbang diberi obat fenobarbital secara peritoneal di bagian perut bawah
dengan volume yang telah dihitung tadi dan dosis meningkat pada masing
masing mencit yang telah ditetapkan yaitu 50mg/kg BB, 75mg/kg BB, 100mg/kg
BB, 125mg/kg BB, 150mg/kg BB, dan NaCl fisologis steril sebagai kontrol
pembanding. Untuk melihat efek yang bekerja pada tiap dosis maka diberikan
rentang waktu, yaitu pada menit ke 5,10,15,30,45,60 . Masing masing dosis
dilakukan pengamatan triplo pada mencit uji yang berbeda. Di amati dan berikan
tanda (-) dalam tabel ketika efek dosis terlihat pada mencit uji (kehilangan righting
reflex)

dan berikan tanda (+) ketika efek dosis belum berlihat.


Dicatat juga mencit yang mati pada saat percobaan. Mencit yang terlihat telah
kehilangan righting reflex ketika dapat dibalikan dalam keadaan terlentang dan
tidak kembali ke posisi semula itu berarti obat telah bekerja pada mencit uji.
Grafik mengenai dosis respon digambar pada ordinat persentase hewan yang
memberikan efek (hilangnya righting reflex atau kematian) pada dosis yang
digunakan.

VI. DATA PENGAMATAN

6.1 Dosis

No Kelompok DOSIS (mg/kg)


1 I 50
III 75
V 100
2 II 125
IV 150
VI NaCl

6.2 Berat badan mencit

Kelompok Berat badan mencit


(gram)
1 2 3
1 8,7 13,1 15
2 17,4 16,6 20,9
3 13,5 10,04 15
4 28 17 16,6
5 10,7 11,8 17,7
6 10,7 13 25,9

6.3 Batas maksimal volume untuk intraperitonial (IP) pada mencit

Mencit KELOMPOK/volume injeksi intraperitonial (ml)


1 2 3 4 5 6
1 0,2175 0,435 0,3375 0,7 0,2675 0,2675
2 0,3275 0,415 0,251 0,425 0,295 0,325
3 0,375 0,5225 0,375 0,415 0,885 0,6475

6.4 Data dosis respon

DOSIS KELOMPOK WAKTU

5` 10` 15` 30` 45` 60`

50 I + - - - - -
II + + + + + +
III + + + + + +

75 I + + + + + +
II + + + + + +
III + + + + + +

100 I + + + + - -
II + + + + + +
III + + + + + +

125 IV + + + + + +
V + + + + + +
VI + + + + + -

150 IV + - - - - -
V + + + + + +
VI + + + + - -

NaCl IV + + + + + +
V + + + + + +
VI - - - - - -

Keterangan :

(+) = ada righting reflex

(-) = tidak ada righting reflex

6.5 Data kurva log probit

Dosi Log Observa Hewa Hewa Akumulasi Rasio Persen


s dosis si n n kematia kematia
Mati Hidup Tota
mg kematia mati hidup n n
l
/kg n
50 1.6989 1/3 1 2 1 11 12 1/12 8,33
7
75 1.8750 0/3 0 3 1 8 9 1/9 11,11
61
100 2 1/3 1 2 2 6 8 1/4 25.00
125 2.0969 1/3 1 2 3 4 7 3/7 42,86
1
150 2.1760 1/3 1 2 4 2 6 2/3 66,67
91
NB= Jumlah kematian diganti oleh jumlah mencit yang kehilangan righting
reflex dan yang mati.

VII. PERHITUNGAN

Batas maksimal volume untuk intraperitonial(IP) pada mencit

a) Kelompok 1
Mencit 1 = x 0,5 ml = 0,2175 ml

Mencit 2 = x 0,5 ml = 0,3275 ml

Mencit 3 = x 0,5 ml = 0,375 ml

b) Kelompok 2
Mencit 1 = x 0,5 ml = 0,435 ml

Mencit 2 = x 0,5 ml = 0,415 ml

Mencit 3 = x 0,5 ml = 0,5225 ml

c) Kelompok 3
Mencit 1 = x 0,5 ml = 0,3375 ml

Mencit 2 = x 0,5 ml = 0,251 ml


Mencit 3 = x 0,5 ml = 0,375 ml

d) Kelompok 4
Mencit 1 = x 0,5 ml = 0,7 ml

Mencit 2 = x 0,5 ml = 0,425 ml

Mencit 3 = x 0,5 ml = 0,415 ml

e) Kelompok 5

Mencit 1 = x 0,5 ml= 0,2675 ml

Mencit 2 = x 0,5 ml = 0,295 ml

Mencit 3 = x 0,5 ml = 0,885 ml

f) Kelompok 6

Mencit 1 = x 0,5 ml = 0,2675 ml

Mencit 2 = x 0,5 ml = 0,325 ml

Mencit 3 = x 0,5 ml = 0,6475 ml


VIII. Grafik

Dosis respon pemberian fenobarbital


kepada mencit secara intraperitonial
80
PERCENT OF LOSE RIGHTING REFLEX(%)

70
60
50
40
30
20
10
0
1.69897 1.875061 2 2.09691 2.176091
Log Dosis (mg/kg)

NB= Jumlah kematian diganti oleh jumlah mencit yang kehilangan


righting reflex dan yang mati

IX. PEMBAHASAN

Praktikum kali ini bertujuan untuk memperoleh gambaran cara


menguji efektivitas dan toksisitas suatu obat berkaitan dengan LD50 dan
ED50 sehingga dihasilkan grafik log-probit, mengetahui indeks terapi suatu
obat serta agar dapat memahami konsep indeks terapi dan hubungannya
terhadap tingkat keamanan suatu obat.

Dalam praktikum kali ini, digunakan hewan uji mencit. Penggunaan


mencit ini dikarenakan relatif mudah dalam penggunaanya, ukurannya yang
relatif kecil, harganya relatif murah, jumlahnya peranakannya banyak yaitu
sekali melahirkan bisa mencapai 16-18 ekor, hewan itu memiliki sistem
sirkulasi darah yang hampir sama dengan manusia serta tidak memiliki
kemampuan untuk muntah karena memiliki katup dilambung. Selain itu
mencit merupakan hewan yang jinak, mudah diatur, dan pemberian pakan dan
minumnya sangat mudah.

Obat yang akan diujikan kepada mencit dalam praktikum kali ini
adalah obat golongan barbiturate, yaitu fenobarbital. Fenobarbital adalah obat
penenang golongan barbiturat yang dapat digunakan untuk mengobati kejang
parsial dan kejang menyeluruh. obat ini juga dapat menyebabkan
ketidaksadaran (pingsan) dan penyimpangan memori.

Fenobarbital bekerja dengan meningkatkan efek GABA (gamma


aminobutyric acid) di otak. GABA adalah neurotransmitter (suatu senyawa
yang digunakan oleh sel saraf untuk saling berkomunikasi) yang menghambat
aktifitas di otak. Diyakini bahwa aktifitas otak yang berlebihan dapat
menyebabkan kecemasan dan gangguan jiwa lainnya.

Dengan adanya interaksi barbiturat-reseptor, afinitas GABA terhadap


reseptornya akan meningkat, dan dengan ini kerja GABA akan bertambah.
Dengan diaktifkannya reseptor GABA, saluran ion klorida akan terbuka dan
dengan demikian ion klorida akan lebih banyak yang mengalir masuk ke
dalam sel. Obat golongann barbiturat seperti fenobarbital pada dosis yang
lebih tinggi meningkatkan konduktansi secara langsung dan menurunkan
sensitivitas membran pasca sinaps nouron terhadap tansmitter eksitasi. Hal ini
akan menyebabkan hiperpolarisasi sel bersangkutan dan sebagai akibatnya
kemampuan sel untuk dirangsang akan berkurang.

Pada saat percobaan digunakan fenobarbital basa. Fenobarbital basa


memiliki kelarutan yang rendah dalam air. Namun di dalam Farmakope
Indonesia injeksi fenobarbital (Luminal) dapat dibuat dalam bentuk larutan
dengan menggunakan Solutio Petit, yaitu campuran propilenglikol dan air. Air
yang biasanya digunakan dalam sediaan injeksi adalah aqua bidestilata atau
air yang di destilasi atau air yang telah mengalami dua kali penyulingan.
Karena bentuk sediaannya larutan, maka obat lebih cepat diserap
dibandingkan dengan sediaan injeksi dan suspensi dan respon obat akan lebih
cepat terlihat.

Adapun pemberian fenobarbital ini kepada mencit melalui rute


intraperitonial, yaitu dengan disuntikan langsung kedalam rongga perut.
Pemberian secara intraperitoneal memiliki keuntungan yaitu efek obat yang
ditimbulkan lebih cepat dan teratur dibandingkan dengan pemberian secara
oral karena tidak mengalami tahap absorpsi maka kadar obat dalam darah
diperoleh secara cepat, tepat dan dapat disesuaikan langsung dengan respons
hewan uji. Namun suntikan intraperitonial tidak dilakukan pada manusia
karena bahaya injeksi dan adesi terlalu besar.

Mencit yang akan diuji harus ditimbang terlebih dahulu, karena berat
badan merupakan faktor yang mempengaruhi besarnya dosis yang diberikan
karena berat badan berhubungan dengan luas permukaan tubuh yang
mempengaruhi tingkat absorbsi obat dalam tubuh. Penimbangan ini dilakukan
untuk dapat menentukan dosis yang akan diberikan pada mencit, karena
mencit memiliki batas pemberian dosis obat. Hal ini mencegah matinya
mencit karena kelebihan dosis obat sehingga mencit dapat memperlihatkan
efek obat dengan baik. Dosisnya sendiri diberikan pada setiap mencit dengan
variasi ukuran yang meningkat. Pemberian dosis dengan variasi ukuran yang
meningkat diperlukan untuk mengetahui pada dosis manakah efektivitas yang
diinginkan terjadi, sehingga nanti dapat diketahui LD50 dan ED50. Keduanya
tersebut akan menunjukan indeks terapi obat. Indeks terapi merupakan
perbandingan LD50 dan ED50. LD50 adalah dosis yang menyebabkan 50%
hewan percobaan mati sedangkan ED50 adalah dosis yang memberikan efek
pada 50% hewan percobaan. Perhitungan indeks terapi dimaksudkan untuk
memperkirakan keamanan obat. Semakin besar indeks terapi, semakin aman
penggunaan obat tersebut karena rentang antara LD50 dan ED50 cukup jauh.
Jika indeks terapi kecil, maka rentang antara LD50 dan ED50 dekat sehingga
dosis yang diberikan harus tepat, bila berlebih dapat menyebabkan toksisitas
bahkan kematian.

Indeks terapi merupakan parameter keamanan obat, jadi bila kita ingin
mengetahui tingkat keamanan suatu obat, terlebih dahulu kita harus
mengetahui luas terapinya. Luas terapi adalah jarak antara LD50 dan ED50,
juga dinamakan jarak keamanan (safety margin). Luas terapi berguna pula
sebagai indikasi untuk keamanan obat. Obat dengan luas terapi kecil mudah
menimbulkan keracunan bila dosis normalnya dilampaui.

Sebelum ditimbang mencit ditandai terlebih dahulu dengan


menggunakan spidol agar mudah dalam membedakannya. Kemudian mencit-
mencit tersebut ditimbang pada neraca Ohauss yang telah dikalibrasi. Setelah
mendapatkan berat badan mencit, maka jumlah dosis yang akan diberikan
dapat diketahui. Mencit yang digunakan untuk percobaan idealnya adalah
mencit dengan usia 6-12 minggu, karena pada rentang usia tersebut
metabolisme tubuh mencit dalam keadaan optimal dan cocok digunakan untuk
pengujian. Bobot absolute mencit adalah 20 g dan untuk rute pemberian
secara intraperitonial batas maksimal volume yang dapat diberikan adalah 1
ml. Batas volume pemberian ini adalah batas maksimal volume untuk mencit
dengan berat 20 g, untuk itu setelah ditimbang berat badannya, batas
maksimal volume pemberiannya dapat dihitung dengan dikonversikan
terhadap batas volume pemberian untuk 20 g.
Dalam percobaan ini praktikan menggunakan 18 mencit yang akan
dibagi menjadi 6 kelompok dosis, jadi untuk satu dosis yang sama diberikan
pada 3 mencit yang berbeda. Dari 6 kelompok dosis tersebut, 5 dosis
merupakan dosis uji, dan 1 dosis digunakan sebagai kontrol negatif. 5 dosis uji
yang diberikan adalah dosis 50mg/kg BB, 75mg/kg BB, 100mg/kg BB,
125mg/kg BB, dan 150mg/kg BB. Di laboratorium dosis ini telah disiapkan
dan dipisahkan dalam masing-masing botol. Untuk kontrol negatuif kita
menggunakan larutan NaCl Fisiologis, yaitu larutan NaCl 0,9% b/v.

DOSIS
No Kelompok
(mg/kg BB)
I 50
1 III 75
V 100
II 125
2 IV 150
VI NaCl 0.9% b/v

Dalam satu shift praktikum, dibagi dalam 6 kelompok, setiap


kelompok mengerjakan 3 dosis yang berbeda, untuk kelompok 1,3, dan 5
memberikan dosis 50,75, dan 100 mg/kg BB, sedangkan untuk kelompok 2,4,
dan 6 memberikan dosis 125, 150, dan kontrol negatif (NaCl fisiologis).

Dari data hasil pengamatan, berat badan 18 mencit yang digunakan


sebagai hewan uji dalam praktikum ini adalah sebagai berikut :

Kelompok Berat badan mencit (gram)


1 2 3
1 8,7 13,1 15
2 17,4 16,6 20,9
3 13,5 10,04 15
4 28 17 16,6
5 10,7 11,8 17,7
6 10,7 13 25,9

Setelah didapatkan data penimbangan tersebut, dapat ditentukan


volume pemberian maksimal untuk pemberian intraperitonial dengan
persamaan dibawah ini :

( )
( )
( )

Setelah dihitung, didapatkan batas volume pemberian untuk masing-


masing mencit, yaitu sebagai berikut :

KELOMPOK/volume injeksi intraperitonial (ml)


Mencit
1 2 3 4 5 6
1 0,2175 0,435 0,3375 0,7 0,2675 0,2675
2 0,3275 0,415 0,251 0,425 0,295 0,325
3 0,375 0,5225 0,375 0,415 0,885 0,6475

Setelah diketahui batas volume pemberian obat, obat diambil sesuai


dosis yang akan diberikan. Pada saat percobaan praktikan memberikan dosis
50, 75, dan 100 mg/kg BB. Fenobarbital ini diambil sesuai dengan
menggunakan syringe berukuran sesuai sesuai dengan dosis yang diberikan.
Dosis ini telah disediakan di laboratorium dalam botol yang diberi label
dengan 5 dosis berbeda dan larutan NaCl fisiologis. Konsentrasi dosis pada
botol hanya praktikan ketahui di labelnya, untuk konsentrasi pastinya
praktikan tidak bisa memastikan karena konsentrasinya tidak dibuat oleh
praktikan sendiri melainkan telah disediakan.

Setelah itu obat diinjeksikan pada masing-masing mencit sesuai


dengan dosis dan batas volume pemberiannya secara intraperitonial. Sebelum
obat diinjeksikan ke rongga perut mencit pertama mencit diposisikan terlebih
dahulu, yaitu pertama-tama mencit diangkat ujung ekornya dengn tangan
kanan lalu mencit diletakkan dikawat kasa sehingga kalau ditarik tubuh
mencit akan meregang. Kemudian telunjuk dan ibu jari tangan kiri menjepit
kulit tengkuk sedangkan ekornya masih dipegang dengan tangan kanan.
Kemudian posisi tubuh mencit dibalikkan sehingga permukaan perutnya
menghadap kearah praktikan dan ekornya dijepitkan diantara jari manis dan
kelingking tangan kiri. Setelah diposisikan, mencit disuntik di bagian
abdomen bawah agak ke pinggir sebelah garis midsagital dengan posisi
abdomen lebih tinggi daripada kepala, dan kemiringan jarum suntik 10°.

Pemberian secara intraperitonial dimaksudkan agar absorbsi pada


lambung, usus dan proses bioinaktivasi dapat dihindarkan, sehingga
didapatkan kadar obat yang utuh dalam darah karena sifatnya yang sistemik.
Hal ini harus benar-benar diperhatikan karena apabila salah posisi maka
suntikan akan mengenai organ bagian dalam mencit, apabila terlalu ke tengah
akan mengenai kandung kemih, dan apabila terlalu tinggi akan mengenai hati
mencit. Apabila salah dan mengenai organ dalam mencit, bias saja obat akan
terhambat kerjanya atau bila mengenai organ vital mencit dapat mengalami
kematian secara langsung setelah pemberian.

Setelah itu, mencit dibiarkan di meja bundar (meja penelitian) untuk


diamati tingkah lakunya dan diamati kehilangan ‘Righting Reflex’ masing-
masing mencit pada waktu yang telah ditentukan. Righting reflex atau disebut
juga static reflex adalah bermacam gerakan refleks untuk mengembalikan
posisi normal badan dari keadaan yang dipaksakan atau melawan tenaga yang
membuat badan bergerak ke arah yang tidak normal.

Pengamatan dilakukan di menit ke 5, 10, 15, 30, 45, dan 60. Untuk
mengamati Righting reflex-nya mencit dipegang di ekor kemudian dibalikkan
badannya, dilihat kehilangan righting reflexnya. Apabila mencit dapat
melawan atau mengembalikan posisi tubuhnya seperti semula, maka righting
reflexnya masih bekerja (positif).

Namun, apabila mencit tidak bias mengembalikan posisi tubuhnya


seperti semula dan sudah kelihatan lemas bahkan tertidur maka mencit telah
kehinlangan Righting reflex atau Righting reflex negatif.
Hal itu berarti efek obat fenobarbital sudah berespon pada tubuh
mencit tersebut. Waktu dihitung sejak semua obat yang diberikan secara
intraperitonial masuk ke dalam tubuh.

Dari hasil percobaan, pada dosis obat 50 mg/kg mencit I telah


kehilangan Righting Reflex di menit ke 10 padahal dosis obat yang diberikan
adalah dosis terendah. Hal ini disebabkan karena mencit I dalam kondisi sakit
dan lemas. Selain itu, mencit I memiliki berat badan terkecil dibandingkan
mencit II dan III sehingga respon obatnya lebih cepat karena luas permukaan
tubuhnya lebih kecil. Pada mencit II dan III yang dalam keadaan sehat, dosis
50 mg/kg BB tidak memberikan efek apapun pada mencit. Setelah 60 menit
mencit II dan III tetap aktif bergerak dan tidak kehilangan Righting Reflex.

Pada dosis 75 mg/kg BB ketiga mencit tidak kehilangan Righting


Reflex. Ketiga mencit tetap aktif bergerak bahkan setelah 60 menit. Hal ini
berarti pada dosis 75 mg/kg tidak memberikan respon apapun terhadap mencit
dan berarti dosis ini masih tergolong dosis rendah.

Pada dosis 100 mg/kg BB, mencit dengan berat 17,7 g menunjukan
respon obat pada menit ke 45 yang ditandai dengan hilangnya Righting Reflex.
Dua mencit lain yang diberi perlakuan sama dan memiliki berat yang sama
(15 g) tidak memberikan respon apapun dan mencit tidak kehilangan Righting
Reflex. Hal ini menujukkan bahwa masih ada faktor lain selain berat badan
yang mempengaruhi kecepatan respon obat, antara lain kecepatan metabolime,
suplai darah, dll. Bisa jadi, mencit dengan berat badan lebih besar memiliki
metabolisme yang cepat sehingga respon lebih cepat dan memiliki suplai
darah yang besar sehingga obat distribusi obat ke tubuh lebih cepat sehingga
responnya juga lebih cepat.

Pada dosis 125 mg/kg BB, mencit dengan berat 10,7 g menunjukan
respon obat pada menit ke 60 yang ditandai dengan hilangnya Righting Reflex.
Dua mencit lainnya yang memiliki berat badan lebih besar tidak memberikan
respon apapun dan mencit tetap aktif setelah 60 menit serta tidak kehilangan
Righting Reflex. Dari hasil ini pada dosis 125 mg/kg BB respon obat
ditunjukkan mencit lebih lama dari pada dosis sebelumnya yaitu 100 mg/kg,
karena pada dosis sebelumnya respon obat terlihat pada menit ke 45. Hal ini
tidak sesuai dengan teori. Hal ini mungkin terjadi karena larutan obat yang
digunakan tidak sesuai dengan konsentrasi yang tertera di label. Dosis tersebut
telah disediakan di laboratorium sehingga dosisnya tidak diketahui dengan
pasti oleh praktikan. Mungkin saja dosis yang tertera di botol/wadah tersebut
tidak sesuai dengan dosis/konsentrasi yang sebenarnya dan mempengaruhi
respon mencit terhadap dosis obat tersebut.

Pada dosis uji tertinggi, yaitu 150 mg/kg BB dua mencit menujukkan
respon tehadap obat yang diberikan hanya saja awal respon obatnya yang
berbeda-beda. Pada mencit yang berat badannya 17 g pada menit ke 10 telah
kehilangan Righting Reflex, sedangkan pada mencit dengan berat 16,6 g
kehilangan Righting Reflex pada menit ke 45. Namun pada mencit dengan
berat 13 g tidak menunjukkan respon apapun setelah 60 menit, mencit masih
tetap aktif dan tidak kehilangan Righting Reflex. Mencit tetap aktif bergerak
seperti biasa. Pada waktu 1 jam setelah pemberian diazepam secara
intraperitonial, mencit terlihat diam dan seperti tertidur, namun ketika diberi
perlakuan (dipegang), ia kembali bergerak seperti biasa.

Pada kontrol negatif, satu mencit mati setelah pemberian. Hal ini
disebabkan oleh kesalahan praktikan dalam menginjeksikan. Pada saat
menginjeksikan, jarum suntik tidak mengenai rongga perut, melainkan
mengenai organ vital, sehingga saat jarum suntik dilepaskan, mencit langsung
terkapar dan mati. Kedua mencit yang lain tetap beraktivitas seperti
sebelumnya karena memang tidak ada zat aktif yang injeksikan dan digunakan
sebagai kontrol negatif untuk respon obat.

Kemudian setelah data mengenai jumlah mencit yang memberikan


efek didapat, data yang dinyatakan dengan angka tersebut dinyatakan dalam
persentase dan dimasukkan kedalam grafik dosis respon. Grafik dosis-respon
digambarkan, dengan cara pada kertas grafik log pada ordinat persentase
hewan yang memberikan efek (hilang righting reflex atau kematian) pada
dosis yang digunakan. Hubungan terapi suatu obat dengan kurva dosis respon
terdiri dari dua:

1. Kurva dosis yang terjal


Dengan dosis kecil menyebabkan respon obat yang cepat ( efektifitas
obat besar) tetapi toksissitasnya besar. Rentang efek teurapeutiknya besar atau
luas.

2. Kurva dosis respon datar atau landai.


Dosis yang diperlukan relative lebih besar untuk mendapatkan respon
yang lebih cepat (efektifitas berkurang) tetapi toksissitasnya kecil. Rentang
efek teurapeutiknya kecil atau sempit.

Dosis Log Observasi Hewan Hewan Akumulasi Rasio Persen


mg /kg dosis kematian mati hidup kematian kematian
Mati Hidup Total
50 1.69897 1/3 1 2 1 11 12 1/12 8,33
75 1.875061 0/3 0 3 1 8 9 1/9 11,11
100 2 1/3 1 2 2 6 8 1/4 25.00
125 2.09691 1/3 1 2 3 4 7 3/7 42,86
150 2.176091 1/3 1 2 4 2 6 2/3 66,67
Data kurva log probit
Dari grafik hasil pengamatan dapat dilihat bahwa seiring dengan
penambahan dosis, maka rentang keefektifan obat semakin tinggi. Selain itu,
rentang antara persen kematian setiap penambahan dosis rentangnya semakin
tinggi yaitu dari dosis 1 dan 2 rentangnya 2,78%, dari dosis 2 dan 3
rentangnya 13.89%, dari dosis 3 dan 4 rentangnya 17,86, sedangkan pada
dosis 4 dan 5 rentangnya 23.81 dari serta hasil pengamatan menunjukkan
bahwa rentang keefektifan obat semakin panjang, dengan kata lain keamanan
obat cukup baik. arena, dilihat dari hasil pengamatan, dapat dianggap bahwa
dosis antara 125 – 150 mg/kg BB merupakan efektivitas obat (ED50) sehingga
dapat dituliskan ED50nya

125mg/kg BB < ED50 < 150 mg/kg BB

Namun hasil ini belum dapat dipastikan dengan benar nilai pasti ED50
nya karena belum sempat diuji spesifikkan terhadap dosis spesifik. Untuk
LD50 belum dapat ditentukan karena mencit yang mati diakibatkan karena
kesalahan praktikan dan kondisi tubuh mencit, bukan murni karena efek obat,
lagi pula jumlah mencit yang mati adalah 2 mencit dari 18 mencit sehingga
tidak dapat dikatakan sebagai LD50 karena dosis belum terlampaui.
X. Kesimpulan

1. Berdasarkan hasil percobaan pemberian dosis obat terhadap hewan


percobaan yaitu mencit, LD50 dan ED50 tidak diperoleh karena datanya
tidak mencukupi.

2. Indeks terapi adalah rasio antara dosis yang menimbulkan kematian pada
50% dari hewan percobaan yang digunakan (LD50) dibagi dosis yang
memberikan efek yang diteliti pada 50% dari hewan percobaan yang
digunakan (ED50). Indeks terapi Semakin besar indeks terapi obat maka
semakin besar efek terapeutiknya
DAFTAR PUSTAKA

Adnan.2011.Farmakologi.Tersedia di http://kesmasunsoed.blogspot.com/2011/02/
pengantar-farmakologi.html [diakses tanggal 20 Maret 2014].

Anonym. 2006. Obat Sedatif dan Hipnotik. Tersedia di http://medicastore.com


/apotikonline/obat_saraf_otot/obat_bius.htm [diakses tanggal 20 Maret 2014]

Katzug, R-Bertram G., 1989, Farmakologi Dasar dan Klinik edisi 3, Jakarta; EGC.
Lullmann, Heinz, dkk., 2000, Color Atlas of Pharmacology 2nd edition, New York;
Thieme Stuttgart.
Maycek, Mary J.,2001, Farmakologi Ulasan Bergambar edisi 2 , Jakarta : Widya
Medika.
Olson, James, 2000, Belajar Mudah Farmakologi, Jakarta : ECG.
Stringer L, Jonet. 2008. Konsep Dasar Farmakologi Untuk Mahasiswa, Jakarta :
ECG

Anda mungkin juga menyukai