Anda di halaman 1dari 16

BAB II

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Dalam bab ini akan di uraikan beberapa teori yang berkaitan dengan
penelitian yang akan dilaksanakan. Teori-teori tersebut dikutip dari referensi
dalam bentuk buku, jurnal atau tulisan ilmiah lainnya.

2.1 Tata Guna Lahan

Lahan adalah permukaan bumi tempat berlangsungnya berbagai aktivitas


dan merupakan sumber daya alam yang terbatas, dimana pemanfaatannya
memerlukan penataan, penyediaan dan peruntukan secara berencana untuk
maksud-maksud penggunaan bagi kesejahteraan masyarakat (Sugandhy,
1998:16). Penggunaan lahan dapat diartikan sebagai wujud atau bentuk usaha
kegiatan, pemanfaatan suatu bidang tanah pada suatu waktu (Jayadinata, 1999).

Tata guna lahan merupakan pengaturan pemanfaatan lahan pada lahan


yang masih kosong disuatu lingkup wilayah (baik tingkat nasional, regional,
maupun lokal) untuk kegiatan tertentu (Miro, 2005:15). Biasanya terdapat
interkasi langsung antara jenis dan intensitas tata guna lahan dengan penawaran
fasilitas-fasilitas transportasi yang tersedia. Salah satu tujuan utama perencanaan
setiap tata guna lahan dengan kemampuan transportasi (Khisty & Lall, 2005:74).

Tata guna tanah perkotaan menunjukkan pembagian dalam ruang dan


peran kota. Misalnya kawasan perumahan, kawasan tempat bekerja, kawasan
pertokoan dan juga kawasan rekreasi (Jayadinata, 1999:54). Menurut Chapin
(1995:69), pemanfaatan lahan untuk fasilitas transportasi cenderung mendekati
jalur transportasi barang dan orang sehingga dekat dengan jaringan transportasi,
serta dapat dijangkau dari kawasan pemukiman dan tempat bekerja serta fasilitas
pendidikan. Sementara fasilitas rekreasi, terutama untuk skala kota atau regional.
cenderung menyesuaikan dengan potensi alam seperti pantai, danau, daerah
dengan topografi tertentu, atau flora dan fauna tertentu.
Sugandhy menggolongkan penggunaan atas suatu lahan menjadi dua
golongan (Sugandhy, 1998), yaitu penggunaan lahan kaitannya dengan potensi
alamiah, misalnya kesuburannya atau kandungan mineral dibawahnya, dan
penggunaan lahan kaitannya dengan penggunaannya sebagai ruang pembangunan,
yang secara langsung tidak memanfaatkan potensi alami lahan, tetapi ditentukan
oleh adanya hubungan tata ruang dengan penggunaan-penggunaan lain diatasnya,
menunjukkan bahwa terdapat keterkaitan antara lahan dengan manusia.

Untuk mengetahui penggunaan lahan disuatu wilayah, maka perlu


diketahui komponen-komponen penggunaan lahannya. Berdasarkan jenis
penggunaan lahan dan sktivitas yang dilakukan diatas lahan tersebut, maka dapat
diketahui komponen-komponen pembentuk guna lahan (Chapin dan Kaiser,
1979). Menurut Maurice Yeates, komponen penggunaan lahan suatu wilayah
terdiri atas permukiman, industri, komersial, jalan, tanah publik dan tanah kosong
(Yeates, 1980).

2.2 Konsep Pola Penggunaan Lahan

Penggunaan lahan pada suatu kota umumnya berbentuk tertentu dan pola
perkembangannya dapat diestimasikan. Keputusan-keputusan pembangunan kota
biasanya berkembang bebas, tetapi diupayakan sesuai dengan perencanaan
penggunaan lahan. Motif ekonomi biasanya menjadi motif utama dalam
pembentukan struktur penggunaan lahan di suatu kota dengan adanya pusat-pusat
bisnis yang strategis. Selain motif bisnis terdapat pula motif politik, bentuk fisik
kota, seperti topografi, drainase. Meskipun struktur kota tampak tidak beraturan,
namun kalau dilihat secara seksama memiliki keteraturan pola tertentu.
Bangunan-bangunan fisik membentuk zona-zona intern kota. Teori-teori struktur
kota yang ada digunakan untuk mengkaji bentuk-bentuk penggunaan lahan yang
biasanya terdiri dari penggunaan tanah untuk perumahan, bisnis, industri,
pertanian dan jasa (Koestoer, 2001:33).

Tata guna lahan campuran atau mixed use adalah penggunaan campuran
berbagai tata guna lahan atau fungsi dalam bangunan (Dimitri Procos, Mixed
Land Use from Revival Too Innovation, Stroud’s burg, Pennsylavia : Dowding
Hutchinson & Ross. Inc, 1976). Namun fungsi campuran ini bila dikaitkan dengan
bangunan disebut sebagai Mixed Use Building. Mixed Use Building adalah salah
satu usaha menyatukan berbagai aktivitas dan fungsi yang berada di bagian area
suatu kota ( luas area terbatas, harga tanah mahal, letak strategis, nilai ekonomi
tinggi) sehingga terjadi satu struktur yang kompleks dimana semua kegunaan dan
fasilitas saling berkaitan menjadi kerangka integrasi yang kuat (Meyer, 1984).
Dapat disimpulkan bahwa pengertian definisi Mixed Use Building adalah sebuah
bangunan yang didalamnya terdapat beberapa fungsi yang berbeda
jenisnya sehingga perlu adanya organisasi ruang yang baik dan berpengaruh
pada struktur bangunan tersebut (Endy Marlina, 2008)

2.3 Karakteristik Jalan Perkotaan

Menurut Undang-undang No. 13 tahun 1980 tentang jalan, jalan


merupakan suatu prasarana perhubungan darat dalam bentuk apa pun yang
meliputi segala bagian jalan termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya
yang diperuntukkan bagi lalu lintas. Bangunan pelengkap jalan adalah bangunan
yang tidak dapat dipisahkan dari jalan seperti jembatan, lintas atas (over pass),
lintas bawah (under pass) dan lain-lain. Sedangkan perlengkapan jalan antara lain
seperti rambu-rambu dan marja jalan, pagar pengaman lalu lintas, pagar damija
dan sebagainya.

Kinerja suatu ruas jalan tergantung pada karakteristik utama suatu jalan,
yaitu kapasitas perjalanan rata-rata dan tingkat pelayanannya Ketika dibebani oleh
lalu lintas. Hal-hal yang mempengaruhinya adalah sebagai berikut.

2.3.1 Volume Lalu Lintas

Menurut Manual Kapasitas Jalan Indonesia (1997), volume lalu lintas


didefinisikan sebagai jumlah kendaraan bermotor yang melewati suatu titik pada
jalan per satuan waktu. Volume lalu lintas dinyatakan dalam satuan
kendaraan atau satuan mobil penumpang (smp). Secara matematis, volume lalu
lintas dapat dihitung berdasarkan persamaan berikut :
Q = QLV + QHV x empHV + QMC x empMC ............................. (2.1)
Keterangan :

Q = Total volume lalu lintas (smp/jam)


QLV = Jumlah kendaraan ringan (smp/jam)
QHV = Jumlah kendaraan berat (smp/jam)
empHV = Ekivalen kendaraan berat
QMC = Jumlah sepeda motor (smp/jam)
empMC = Ekivalen sepeda motor
Menurut Manual Kapasitas Jalan Indonesia (1997), untuk tipe jalan enam lajur
dua arah (6/2 D) maka melakukan perhitungan untuk tiap-tiap jenis
kendaraan yang terdapat pada suatu aliran lalu lintas perlu dikonversikan ke
dalam satuan mobil penumpang. Angka ekuivalensi mobil penumpang dapat
dilihat pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Daftar Konversi ke Satuan Mobil Penumpang

No. Jenis Kendaraan Ekuivalensi Mobil Penumpang


1. Kendaraan Ringan (meliputi mobil 1
penumpang, oplet, mikrobis, pick-up, truk
kecil)
2. Kendaraan Berat (meliputi kendaraan 1,2
bermotor dengan lebih dari 4 roda)
3. Sepeda Motor 0,25
Sumber : MKJI, 1997

2.3.2 Kapasitas Jalan

Menurut Manual Kapasitas Jalan Indonesia (1997), kapasitas jalan


merupakan sebagai arus maksimum melalui suatu titik di jalan yang dapat
dipertahankan per satuan jam pada kondisi tertentu. Untuk jalan dua lajur
dua arah, kapasitas ditentukan untuk arus dua arah (kombinasi dua arah), tetapi
untuk jalan dengan banyak lajur, arus dipisahkan per arah dan kapasitas
ditentukan per lajur. Nilai kapasitas telah diamati melalui pengumpulan data
lapangan selama memungkinkan. Kapasitas juga telah diperkirakan dari analisa
kondisi iringan lalu lintas, dan secara teoritis dengan mengasumsikan
hubungan matematik antara kerapatan, kecepatan, dan arus. Kapasitas
dinyatakan dalam satuan mobil penumpang (smp). Persamaan untuk menentukan
kapasitas sebagai berikut:

C = C0 x FCw x FCspx FCsfx FCcs (2.2)

.................................................
Keterangan :

C = Kapasitas (smp/jam)
C0 = Kapasitas dasar (smp/jam)
FCw = Faktor penyesuaian lebar jalur lalu lintas
FCsp = Faktor penyesuaian pemisah arah
FCsf = Faktor penyesuaian hambatan samping dan bahu jalan
FCcs = Faktor penyesuaian ukuran kota

2.3.3 Tingkat Pelayanan

Tingkat pelayanan merupakan kondisi operasional arus lalu lintas dan


persepsi pengendara dalam kecepatan, waktu tempuh, kenyamanan berkendara,
kebebasan bergerak, gangguan arus lalu lintas lainnya, keamanan, dan
keselamatan (Hendarto, 2001). Menurut Transportation Research Board dalam
Khisty dan Lall (2005), fasilitas dapat dievaluasi berdasarkan enam tingkat
pelayanan A sampai F, dimana A mempresentasikan kondisi operasional terbaik
dan F mempresentasikan kondisi operasional terburuk. Karakteristik pneliaian
tingkat pelayanan jalan utama dan sub urban berdasarkan sario V/C adalah
sebagai berikut :

Tabel 2.2 Tingkat Pelayanan Jalan Utama dan Sub-Urban Berdasarkan Rasio V/C
Tingkat Rasio Keterangan
Pelayanan (V/C)
Jalan
A 0,60 Aliran lalu lintas bebas, tanpa hambatan
B 0,70 Aliran lalu lintas baik, kemungkinan terjadi kasus-kasus
perlambatan
C 0,80 Aliran lalu lintas masih baik dan stabil, dengan perlambatan
yang masih dapat diterima
D 0,90 Mulai dirasakan gangguan dalam aliran, aliran lalu lintas
mulai stabil
E 1 Volume pelayanan berada pada kapasitas, aliran lalu lintas
tidak stabil
F >1 Volume pelayanan lebih besar dari kapasitas, aliran lalu
lintas telah mengalami kemacetan
Sumber: Manual Kapasitas Jalan (1997)
2.4 Sistem dan Interaksi antara Guna Lahan dan Transportasi

Sistem transportasi perkotaan terdiri dari aktivitas seperti bekerja, sekolah,


olahraga, belanja, dan bertamu yang langsung di atas bidang tanah (kantor, pabrik,
pertokoan, rumah, dan lain-lain). Untuk memenuhi kebutuhannya, manusia
melakukan berbagai perjalanan diantara guna lahan tersebut dengan menggunakan
sistem jaringan transportasi. Hal ini menimbulkan pergerakan orang, kendaraan,
dan barang. Pergerakan tersebut mengakibatkan berbagai macam interaksi
menurut (Tamin, 2000:30).

Pembangunan suatu area lahan akan menyebabkan timbulnya aktivitas lalu


lintas yang akan mempengaruhi pola pemanfaatan lahan tersebut. Interaksi antara
tata guna lahan dengan transportasi tersebut diatur oleh peraturan dan kebijakan.
Dalam jangka panjang, pembangunan prasarana transportasi ataupun penyediaan
sarana transportasi dengan teknologi modern akan mempengaruhi bentuk dan pola
tata guna lahan sebagai akibat tingkat aksesibilitas yang meningkat (Tamin,
2000:503).

Konsep dasar dari interaksi atau hubungan antara tata guna lahan dan
transportasi adalah aksesibilitas (Peter, 1975). Aksesibilitas adalah suatu ukuran
kenyamanan atau kemudahan mengenai cara lokasi tata guna lahan berinteraksi
satu sama lain dan “mudah” atau “susahnya” lokasi tersebut dicapai melalui
sistem jaringan transportasi (Black dalam Tamin, 2000:32). Maka aksesibilitas
adalah konsep yang menggabungkan sistem pengaturan tata guna lahan secara
geografis dengan sistem jaringan transportasi yang menghubungkannya. Gerak
manusia kota dalam kegiatannya adalah dari rumah ke tempat kerja, ke sekolah,
ke pasar, ke toko, ke tempat liburan, kemudahan bagi penduduk atau
menjembatani jarak antara berbagai pusat kegiatan disebut tingkatan daya jangkau
atau aksesibilitas (Jayadinata, 1999:156).
2.5 Konsep Bangkitan dan Tarikan Lalu Lintas

Bangkitan pergerakan (Trip Generation) adalah tahapan pemodelan yang


memperkirakan jumlah pergerakan yang berasal dari suatu zona atau tata guna
lahan atau jumlah pergerakan yang tertarik ke suatu tata guna lahan atau zona
(Tamin, 1997). Bangkitan pergerakan (Trip Generation) adalah jumlah perjalanan
yang terjadi dalam satuan waktu pada zona tata guna lahan (Hobbs, 1995).
Bangkitan pergerakan adalah suatu proses analisis yang menetapkan atau
menghasilkan hubungan antara aktivitas kota dengan pergerakan (Tamin,1997)
perjalanan dibagi menjadi 2 yaitu :

a) Home base trip, pergerakan yang berbasis rumah. Artinya perjalanan yang
dilakukan berasal dari rumah dan kembali ke rumah.
b) Non home base trip, pergerakan berbasis bukan rumah. Artinya perjalanan
yang asal dan tujuannya bukan rumah .

Pernyataan di atas menyatakan bahwa ada dua jenis zona yaitu zona yang
menghasilkan pergerakan (trip production) dan zona yang menarik suatu
pergerakan (trip attraction). Defenisi trip attraction dan trip production adalah :
a) Bangkitan perjalanan (trip production) adalah suatu perjalanan yang
mempunyai tempat asal dari kawasan perumahan ditata guna tanah
tertentu.
b) Tarikan perjalanan (trip attraction) adalah suatu perjalanan yang berakhir
tidak pada kawasan perumahan tata guna tanah tertentu.

Kawasan yang membangkitkan perjalanan adalah kawasan perumahan


sedangkan kawasan yang cenderung untuk menarik perjalanan adalah kawasan
perkantoran, perindustrian, pendidikan, pertokoan dan tempat rekreasi. Bangkitan
dan tarikan perjalanan dapat dilihat pada diagram berikut (Tamin, 1997) seperti
terlihat pada gambar 2.2 berikut ini :

Rumah Tempat Kerja


Gambar 2.3 Contoh Bangkitan dan Tarikan Pergerakan
Sumber kerja
Tempat : Tamin, 1997
Tempat belanja
Bangkitan dan tarikan pergerakan digunakan untuk menyatakan bangkitan
pergerakan pada masa sekarang, yang akan digunakan untuk meramalkan
pergerakan pada masa mendatang. Bangkitan pergerakan ini berhubungan dengan
penentuan jumlah keseluruhan yang dibangkitkan oleh sebuah kawasan parameter
tujuan perjalanan yang sangat berpengaruh di dalam produksi perjalanan
(Levinson, 1976) adalah :

a) Tempat bekerja
b) Kawasan perbelanjaan
c) Kawasan pendidikan
d) Kawasan usaha (bisnis)
e) Kawasan hiburan

2.6 Konsep Perencanaan Transportasi

Konsep perencaan transportasi telah berkembang hingga saat ini, dan yang
paling populer adalah model perencaan 4 (empat) tahap. Model ini memiliki
beberapa seri sub-model yang masing-masing harus dilakukan secara terpisah dan
berurutan. Menurut Tamin (2000), konsep perencanaan transportasi paling
populer adalah Model Perencanaan Transportasi Empat Tahap, yang terdiri dari :

1) Bangkitan dan tarikan (Trip Generation)


2) Distribusi pergerakan lalu lintas (Trip Distribution)
3) Pemilihan moda (Modal Choice)
4) Pembebanan lalu lintas (Trip Assigment)

2.6.1 Bangkitan dan Tarikan Pergerakan (Trip Generation)

Model bangkitan perjalanan berkaitan dengan asal atau tujuan perjalanan,


yang berarti menghitung yang masuk dan yang keluar dari suatu kawasan atau
zona. Model ini hanya menghitung seberapa besar perjalanan yang masuk tanpa
perlu mengetahui asalnya atau sebaliknya, seberapa besar perjalanan yang keluar
tanpa mengetahui tujuannya.
Permodelan bangkitan perjalanan merupakan suatu permodelan yang
memprediksi jumlah pergerakan yang dibangkitkan oleh zona asal dan jumlah
pergerakan yang tertarik masih dalam satu daerah kajian. Hasil dari sub model ini
beruoa jumlah kendaraan yang masuk dan keluar dari suatu tata guna lahan dalam
satuan hari atau jam.

2.6.2 Distribusi Pergerakan Lalu Lintas (Trip Distribution)

Model distribusi perjalanan merupakan bagian perencanaan transportasi


yang berhubungan dengan sejumlah asal perjalanan yang ada setiap zona dari
wilayah yang diamati dengan sejumlah tujuan perjalanan yang berlokasi dalam
zona lain dalam wilayah tersebut. Rumus-rumus umum matematik dari model trip
distribution terdiri dari berbagai model faktor pertumbuhan seperti Gravity
Model, serta beberapa Opportunities Model. Dalam langkah ini, tata guna lahan
akan sangat mempengaruhi aktivitas dari suatu daerah. Perubahan tata guna lahan
di suatu daerah akan dapat mengubah distribusi arus lalu lintas ke daerah tersebut
secara signifikan. Distribusi pergerakan dapat direpresentasikan dalam bentuk
Matriks Asal Tujuan, MAT (origin-destination matrix/O-D matrix).

2.6.3 Pemilihan Moda (Modal Choice)

Pemilihan moda transportasi bergantung pada tingkat ekonomi dari


pemilik tata guna lahan dan biaya transportasi dari suatu moda angkutan.
Pemilihan moda bertujuan untuk mengetahui proporsi pengalokasian perjalanan
ke berbagai moda transportasi. Moda yang dianalisis adalah moda yang
diperkirakan mempunyai peran yang dominan perangkutan di lokasi (angkutan
pribadi dan angkutan umum). Menurut Tamin (2000), faktor-faktor yang
mempengaruhi pemilihan moda dapat dikelompokkan menjadi empat, yaitu:

a) Karateristik pengguna jalan, misalnya:


- ketersediaan atau kepemilikan kendaraan pribadi, semakin tinggi
kepemilikan kendaraan pribadi maka akan semakin rendah
ketergantungan pada angkutan umum;
- kepemilikan SIM;
- struktur rumah tangga;
- pendapat, semakin tinggi pendapatan maka semakin besar peluang
menggunakan kendaraan pribadi.
b) Karakteristik pergerakan, misalnya:
- tujuan perjalanan;
- waktu terjadinya perjalanan, contohnya pada tengah malam,
masyarakat akan memilih menggunakan kendaraan pribadi karena
pada saat itu angkutan umum biasanya sudah tidak beroperasi;
- jarak perjalanan, semakin jauh jarak tempuh maka masyarakat
lebih memilih menggunakan angkutan umum dibandingkan
angkutan pribadi.
c) Karakteristik fasilitas moda transportasi, terbagi menjadi dua kategori:
- faktor kuantitatif, misalnya ketersediaan ruang dan tarif parkir dan
biaya bahan bakar transportasi;
- faktor kualitiatif, misalnya kenyaman, keamanan, keteraturan, dan
lain-lain.
d) Karakteristik kota atau zona, misalnya jarak dari pusat kota dan kepadatan
penduduk.

2.6.4 Pembebanan Lalu Lintas (Trip Assigment)

Seperti pemilihan moda, pemilihan rute juga tergantung pada alternatif


terpendek, tercepat, termurah, dan diasumsikan bahwa pemakai jalan mempunyai
informasi yang cukup (misalnya tentang kemacetan jalan) sehingga mereka dapat
menentukan rute terbaik (Wells, 1975), (dalam Tamin,2000).

2.7 Matriks Asal Tujuan (MAT)


Matriks Asal Tujuan (MAT) sering digunakan oleh perencana transportasi
untuk menggambarkan pola pergerakan yang bergerak dasi zona asal ke zona
tujuan di dalam daerah tertentu atau selama periode waktu tertentu. Menurut
Tamin (2000), MAT merupakan matriks berdimensi dua yang berisi informasi
mengenai besarnya pergerakan antar lokasi (zona) di dalam daerah tertentu. Pola
pergerakan dapat dihasilkan apabila suatu MAT dibebankan ke suatu sistem
jaringan transportasi.

MAT adalah matriks dua dimensi di mana setiap baris dan kolomnya
menggambarkan zona asal dan zona tjuan di dalam daerah kajian. Setiap sel
matriks berisi informasi pergerakan antar zona.

Tabel 2.3 Matriks Asal-Tujuan (MAT)

Tujuan
(ke) Zona 1 Zona 2 Zona J .... Total Oi
Asal
Zona 1 T11 T12 .... .... O1
Zona 2 T21 T22 .... .... O2
Zona i .... .... Tij .... O3
.
.... .... .... .... ....
.
Total Dj D1 D2 Dj .... T

Keterangan :

Tij = pergerakan dari zona asal i ke zona tujuan j


Oi = jumlah pergerakan yang berasal dari zona asal i
Dj = jumlah pergerakan yang berasal dari zona tujuan j
T = Total matriks

2.8 Model bangkitan perjalanan


2.8.1 Analisa Regresi sederhana
Untuk mengetahui apakah suatu variabel dapat dipergunakan untuk
memprediksi atau meramalkan variabel lain, maka digunakan analisa regresi.
Jika suatu variabel tak bebas (dependent variable) bergantung pada satu variable
bebas (independent variable), hubungan antara kedua variabel disebut analisa
regresi sederhana. Bentuk matematis dari analisa regresi sederhana adalah:

Y = a+bX ......................................................................................
(2.2)
Keterangan :

Y = variabel dependen (tidak bebas)


X = variabel independen (bebas)
a = intercept (konstanta)
b = koefisien variabel independen (bebas)

2.8.2 Analisa Regresi Linier Berganda

Konsep ini merupakan pengembangan lanjutan dari uraian sebelumnya,


khususnya pada kasus yang mempunyai lebih banyak perubah bebas dan
parameter b. Hal ini sangat diperlukan dalam realita yang menunjukkan bahwa
beberapa perubah tata guna lahan secara simultan ternyata mempengaruhi
bangkitan dan tarikan pergerakan. Persamaan regresi linear berganda merupakan
persamaan matematik yang menyatakan hubungan antara sebuah variabel tak
bebas dengan variabel bebas.

Bentuk umum dari persamaan regresi linear berganda untuk


menggambarkan bangkitan atau tarikan pergerakan adalah

Y = a+ b1X1 + b2X2 + …+ bnXn .............................................(2.3)


Keterangan :

Y = variabel dependen (tidak bebas)

a = konstanta

b1,b2,…,bn = koefisien variabel independen (bebas)


X1,X2,…,Xn = variabel independen (bebas)

Analisa regresi linear berganda adalah suatu metode dalam ilmu Statistik.
Untuk menggunakannya, terdapat beberapa asumsi yang perlu diperhatikan :

1. Nilai perubah, khususnya perubah bebas mempunyai nilai yang didapat


dari hasil survei tanpa kesalahan berarti.
2. Perubah tidak bebas (Y) harus mempunyai hubungan korelasi
linear dengan perubah bebas (X), jika hubungan tersebut tidak linear,
transformasi linear harus dilakukan meskipun batasan ini akan
mempunyai implikasi lain dalam analisis residual.
3. Efek perubah bebas pada perubah tidak bebas merupakan penjumlahan
dan harus tidak ada korelasi yang kuat sesama perubah bebas.
4. Variasi perubah tidak bebas terhadap garis regresi harus sama untuk
semua nilai perubah bebas.
5. Nilai perubah bebas sebaiknya merupakan besaran yang relatif mudah
dan diproyeksikan

2.9 Koefisien Korelasi

Salah satu tahapan terpenting di dalam analisis trip generation (bangkitan


dan tarikan perjalanan) terutama dengan metode analisis regresi adalah
penentuan hubungan antara variabelnya baik antara sesama variabel bebas (pada
regresi berganda) maupun antara variabel bebas dengan variabel tidak bebas
(pada regresi berganda dan sederhana).

Untuk menentukan apakah suatu variabel mempunyai tingkat korelasi


dengan permasalahan ataupun dengan variabel yang lainnya dapat digunakan
dengan suatu teori korelasi. Apabila X dan Y menyatakan dua variabel yang
sedang diamati maka diagram pencar menggambarkan titik lokasi (X,Y) menurut
sistem koordinat. Apabila semua titik di dalam diagram pencar nampak
berbentuk sebuah garis, maka korelasi tersebut disebut linier.

Apabila Y cenderung meningkat dan X meningkat, maka korelasi tersebut


disebut korelasi positif atau korelasi langsung. Sebaliknya apabila Y cenderung
menurun sedangkan X meningkat, maka korelasi disebut korelasi negatif
atau korelasi terbalik. Apabila tidak terlihat adanya hubungan antara variabel,
maka dikatakan tidak terdapat korelasi antara kedua variabel.

Korelasi antara variabel tersebut dapat dinyatakan dengan suatu koefisien


korelasi (r). Nilai r berkisar antara –1 dan +1. Tanda (+) dan tanda (-) dipakai
untuk korelasi positif dan korelasi negatif. Dalam penelitian ini tahapan analisis
korelasi merupakan tahapan terpenting di dalam menentukan hubungan antar
faktor yang berpengaruh pada pergerakan / transportasi.
2.10 Penelitian Terdahulu
Beberapa penelitian yang pernah dilakukan berkenaan dengan
bangkitan dan tarikan adalah sebagai berikut.

Fadhly (2016), melakukan penelitian dengan judul Hubungan Struktur


Ruang Terhadap Bangkitan Perjalanan di Kota Banda Aceh.Tujuan dari penelitian
ini yaitu untuk mengatur manajemen lalu lintas dan struktur ruang agar dapat
mengatur lokasi aktivitas struktur ruang dan aksesibilitas kota. Variabel-variabel
yang digunakan adalah sebagai variabel bebas berupa kepadatan penduduk, jenis
landuse, waktu perjalanan, dan kapasitas jalan utama, sedangkan yang menjadi
variabel terikat adalah data bangkitan perjalanan antar kecamatan di kota Banda
Aceh. Metode pelaksanaan survei dilakukan dengan observasi lapangan dan
menyebar kuesioner. Hasil yang diperoleh dari penelitian tersebut adalah variabel
landuse memberikan pengaruh langsung yang paling besar terhadap bangkitan
perjalanan yaitu sebesar 44, 89% dan keempat variabel bebas lainnya secara
bersama-sama mempengaruhi bangkitan perjalanan sebesar 99,2%.

Budi (2007), melakukan penelitian dengan judul Pengaruh Penggunaan


Lahan Terhadap Bangkitan dan Tarikan Pergerakan di Sepanjang Jalan Gadjah
Mada Kota Batam. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengidentifikasi
kondisi guna lahan dan transportasi, menghitung arus lalu lintas (traffic counting)
tiap guna lahan, menganalisis perkembangan guna lahan, menganalisis bangkitan
dan tarikan pergerakan di sepanjang Jalan Gadjah Mada Kota Batam. Metode
penelitian yang digunakan dalam penelitian ini bersifat deskriptif dengan
mengidentifikasi kondisi tata guna lahan, kemudian dilakukan analisis
perkembangan tata guna lahan, analisis bangkitan dan tarikan, serta analisis
pengaruh penggunaan lahan terhadap bangkitan dan tarikan di sepanjang Jalan
Gadjah Mada Kota Batam. Hasil penilitian ini dapat disimpulkan bahwa pola
penggunaan lahan di wilayah studi adalah mixed used area dan cenderung
berbentuk linear mengkuti pola jaringan jalan, dengan luas guna lahan terbesar
lahan pariwisata (213 ha), diikuti pemukiman (202,5 ha), perdagangan dan jasa
(42,52 ha). Penggunaan lahan di sepanjang Jalan Gadjah Mada berpengaruh
terhadap pergerakan (38,11%) baik berupa bangkitan (17,82%) maupun tarikan
(20,29%). Setiap guna lahan akan menimbulkan besar maupun pola bangkitan dan
tarikan yang berbeda, bangkitan pergerakan akan membangkitkan pergerakan
sebesar 8 smp/jam, sedangkan tarikan pergerakan cukup besar dimana untuk lahan
fasilitas umum 170 smp/jam, pendidikan 38 smp/jam, perdagangan dan jasa 19
smp/jam.

Kumaat (2013), melakukan penelitian dengan judul Analisis Bangkitan


dan Tarikan Pergerakan Penduduk Berdasarkan Data Matriks Asal Tujuan Kota
Manado. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui dan
mengestimasi besarnya bangkitan dan tarikan pergerakan yang terjadi pada tata
guna lahan pada kawasan Kota Manado. Analisis pergerakan penduduk dilakukan
dengan melihat sebaran pergerakan menggunakan metode Matriks Asal Tujuan
(MAT). Berdasarkan hasil analisis pola pergerakan dan mobilitas penduduk di
kota Manado menunjukkan bahwa bangkitan pergerakan terbesar terjadi dari
kecamatan Tuminting yaitu sebesar 15,1% sedangkan tarikan pergerakan terbesar
menuju ke kecamatan Wenang sebasar 17,5%, dimana kecamatan Wenang
merupakan pusat perdagangan dan pendidikan.

Jati (2012), melakukan penelitian dengan judul Kajian Tarikan Pergerakan


Lalu Lintas Pada Guna Lahan Komersial Koridor Jalan Prof. Sudharto Semarang.
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengaruh kegiatan komersial terhadap
tarikan lalu lintas pada koridor jalan tersebut. Penelitian ini mengidentifikasi
penggunaan lahan dan aktivitas komersial di koridor jalan kajian, menganalisis
pola pergerakan dan sistem jaringan jalannya, serta memodelkan tarikan lalu lintas
yang dihasilkan kegiatan komersial tersebut. Hasil dari penelitian tersebut
menemukan tiga variabel yang berpengaruh terhadap besarnya tarikan, yaitu: (1)
jumlah kendaraan yang dimiliki; kenaikan jumlah kendaraan sebanyak 100%
meningkatkan tarikan sebesar 24, 024%, (2) jarak yang ditempuh; tiap kenaikan
100% jarak tempuh menurunkan tarikan sebear 0,4 %, dan (3) uang yang
dibelanjakan; setiao kenaikan 100% uang yang dibelanjakan meningkatkan
tarikan sebesar 0,004196%. Besarnya konstribusi pengaruh total ketiga variabel
tersebut terhadap tarikan pergerakan adalah sebesar 31,5%.

Widianingrum dan Isa (2017), melakukan penelitian dengan judul Model


Tarikan Pergerakan dan Pola Sebaran Pergerakan pada Kawasan Industri
Agrobisnis Jabung. Yang menjadi variabel dalam penelitian ini adalah tingkat
pendapatan per bulan, tingkat penjualan per hari, biaya yang digunakan menuju
tempat tujuan, usia, jarak yang ditempuh, dan waktu yang ditempuh. Hasil dari
penelitian ini menunjukkan bahwa hubungan antara jumlah perjalanan dengan
biaya yang digunakan menuju tempat tujuan dan jarak yang ditempuh sangat
berpengaruh karena memiliki nilai korelasi rendah yaitu 0,1311. Hubungan anatar
jumlah perjalanan dengan variabel lainnya memiliki hubungan yang sangat
berpengaruh karena memiliki nilai korelasi tinggi yaitu 0,7157. Sedangkan untuk
pola sebaran pergerakan paling dominan yaitu internal Desa Slamparejo sebanyak
23,11% dan pola pergerakan yang paling dominan yaitu internal Desa Jabung
sebanyak 26,59%.

Anda mungkin juga menyukai