MAKALAH
Disusun Oleh:
Arundhati Taqwa 1906289256
Indira Azzahra F. 1906405451
Prakasya Ariq 1706078825
Qierihda Zalva 1906405445
Nyoman Elvia Gemma 1906359691
Sabrina Aqira Zahra 1906308620
JUDUL.............................................................................................................................................i
DAFTAR ISI..................................................................................................................................ii
1. PENDAHULUAN......................................................................................................................1
1.1 Latar Belakang.....................................................................................................................1
2. PEMBAHASAN.........................................................................................................................3
2.1 Pengertian privatisasi..........................................................................................................3
2.2 Tujuan Privatisasi................................................................................................................3
2.3 Keterkaitan Privatisasi dengan Public-Private Partnership.............................................4
2.4 Bentuk-bentuk Pelaksanaan...............................................................................................5
2.4.1 Public-Private Partnership (PPP)................................................................................5
2.4.2 Privatisasi.......................................................................................................................8
2.5 Privatisasi Badan Usaha Milik Negara dalam Upaya Pengembangan Pelayanan
Publik........................................................................................................................................12
2.6 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kinerja Privatisasi...............................................15
2.7 Pengaruh Implementasi PPP dan Privatisasi terhadap Efisiensi Pengeluaran Publik
dan Optimasi Kinerja Pelayanan Publik...............................................................................16
2.8 Keuntungan Privatisasi BUMN........................................................................................19
2.9 Kendala dalam Privatisasi BUMN...................................................................................20
3. STUDI KASUS.........................................................................................................................22
3.1 Latar Belakang...................................................................................................................22
3.2 Analisis Studi Kasus...........................................................................................................23
4. PENUTUP................................................................................................................................25
4.1 Kesimpulan.........................................................................................................................25
4.2 Saran...................................................................................................................................25
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................................26
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Masa globalisasi mempengaruhi perkembangan dalam berbagai bidang termasuk aspek
ekonomi yang ditandai dengan adanya perdagangan bebas, serta terjadinya transaksi atas
permintaan dan penawaran baik dari pihak negara maupun swasta atau pihak selain pemerintah
lainnya. Maka dari itu, hubungan antara pihak non pemerintah dan pemerintah dalam aspek
ekonomi perlu dikembangkan secara transparan dan intensif bersamaan dengan berkembangnya
kebutuhan akan pembangunan nasional. Globalisasi ekonomi ditandai melalui aliran barang dan
jasa serta penanaman modal dari berbagai negara. Investasi dan pengalihan kepemilikan
dilakukan oleh berbagai pihak termasuk negara dan pihak swasta atas suatu badan usaha.
Terjadinya pengalihan sebagian atau bahkan seluruh kepemilikan dari tangan negara
menjadi milik swasta disebut privatisasi. Privatisasi dikatakan sebagai bentuk perubahan
hubungan pemerintah dan pihak swasta. Perubahan tersebut dapat terlihat dari penjualan saham
negara kepada investor maupun manajemen dan karyawan perusahaan tersebut. Privatisasi
dilakukan dengan tujuan antara lain untuk meningkatkan nilai kepemilikan masyarakat atas
badan usaha, mendorong iklim usaha dan kapasitas pasar, membentuk suatu struktur manajemen
badan usaha yang baik dan sehat, serta mempertahankan badan usaha agar dapat bersaing dalam
pasar secara global.
BUMN (Badan Usaha Milik Negara) adalah perusahaan yang didirikan dan dikelola oleh
negara untuk menjalankan kegiatan operasional di sektor industri dan bisnis strategis. Pemerintah
Indonesia mendirikan BUMN dengan dua tujuan utama, yaitu tujuan yang bersifat ekonomi dan
tujuan yang bersifat sosial. Dalam tujuan yang bersifat ekonomi, BUMN dimaksudkan untuk
mengelola sektor-sektor bisnis strategis agar tidak dikuasai pihak-pihak tertentu. BUMN telah
menyumbang berbagai kontribusi yang besar terhadap pembangunan dalam negeri terutama pada
masa awal kemerdekaan. Pada saat itu pemerintah mendapatkan berbagai perusahaan melalui
nasionalisasi sehingga dapat mendirikan perseroan dengan status BUMN.
BUMN memang merupakan badan usaha yang sebagian besar kepemilikan asetnya
adalah milik negara, namun terjadinya privatisasi BUMN membuat kepemilikan negara
berpindah menjadi kepemilikan pribadi atau swasta. Privatisasi terjadi karena pemerintah
berharap apabila nantinya privatisasi dari BUMN, dapat meningkatkan sistem kerja dan nilai
perusahaan sehingga perseroan dapat meningkatkan manfaat bagi negara dan masyarakat, selain
1
itu juga mendorong peningkatan kepemilikan saham oleh masyarakat. Diluar hal hal tersebut,
terdapat beberapa hal yang menurut pemerintah perlu dilakukannya privatisasi yaitu karena
perseroan yang di privatisasi dapat mendorong produktivitas dan meningkatkan pendapatan
pemerintah.
2
BAB II
PEMBAHASAN
Sedangkan menurut tujuan privatisasi dari sisi kebijakan publik adalah sebagai berikut:
3
1. Membantu keadaan ketika pemerintah mengalami kesulitan dalam menjalani kebijakan
fiskalnya seperti kesulitan dalam merencanakan APBN, oleh karena itu privatisasi dan
perubahan arus transaksi antar BUMN dapat mempengaruhi dan membantu kondisi
pemerintah dan masyarakat.
2. Dalam tujuan untuk membentuk perekonomian yang demokratis, maka dari itu
pemerintah melibatkan pihak swasta agar dapat dengan aktif turut serta berkontribusi
dalam pembangunan nasional.
3. Dalam rangka mengurangi peran pihak pihak seperti kelompok pengusaha yang dominan
sehingga dapat mengurangi dominasi pasar yang selama ini dikuasai oleh beberapa pihak
saja.
4
mendukung pembangunan nasional, begitupun juga halnya dengan privatisasi dimana pihak
swasta dan pemerintah juga bersama sama membangun ekonomi dalam negeri.
5
dengan bentuk sebelumnya, seperti bandara, jalan tol, pelabuhan laut, rumah sakit, dan
fasilitas olahraga.
3. Buy-Build-Operate (BBO)
Bentuk BBO berbeda dari bentuk yang sebelum-sebelumnya, pada bentuk ini
kerjasama yang terjadi antara swasta dengan pemerintah adalah pemerintah menjual suatu
aset kepada pihak swasta, lalu aset tersebut akan dibeli oleh swasta dan dilakukan
pengembangan atau peningkatan dari fasilitas yang telah ada. Peningkatan fasilitas
tersebut tetap memperhatikan keuntungan dan menggunakan mekanisme yang
menguntungkan juga.
4. Contract Services
Untuk bentuk kerjasama ini, masih dibagi lagi menjadi dua hal, yakni pertama
operations dan maintenance (O&M). Dimana swasta harus menyediakan dan memelihara
layanan tertentu. Dari segi kepemilikannya, pihak pemerintah yang mempertahankan.
Biasanya bentuk O&M diberlakukan pada kasus khusus. Sedangkan yang kedua,
operations, maintenance, dan management merupakan perjanjian kerjasama untuk pihak
swasta yang bertugas mengoperasikan, memelihara, dan mengelola fasilitas untuk
meningkatkan pelayanan. Kepemilikan dalam bentuk ini dipertahankan untuk
pemerintah, tetapi swasta boleh menginvestasikan modal yang dimiliki ke fasilitas
tersebut.
5. Design-Build (DB)
Bentuk kerjasama yang hanya memperbolehkan pihak swasta untuk membuat
desain dan membangun fasilitas sesuai dengan desain yang telah memenuhi standar
pemerintah. Kerjasama ini lebih hemat waktu dan mengurangi kemungkinan terjadinya
konflik karena tanggung jawabnya jelas dan sederhana.
6. Design-Build-Maintain (DBM)
Mekanismenya mirip dengan DB, hanya saja ada tambahan pemeliharaan fasilitas
yang menjadi tanggung jawab swasta. Selebihnya kurang lebih sama dengan DB, begitu
pula dengan keuntungan dan risiko yang akan diterima.
7. Design-Build-Operate (DBO)
Dalam bentuk ini kontrak yang diberikan kepada pihak swasta, yakni untuk
mendesain, membangun, dan mengoperasikan. Pihak yang terlibat dalam kontrak ini
pertama dengan arsitek untuk mendesain, kemudian kontrak dengan pemborong, dan
6
terakhir pengambil alih dan mengoperasikan. Kepemilikan fasilitas pada bentuk ini
dipegang oleh sektor publik.
8. Concession
Ketika menggunakan bentuk konsesi, pihak swasta memikul beban tanggung
jawab yang lebih besar. Hal tersebut dikarenakan swasta harus melakukan pengoperasian,
pemeliharaan, serta investasi. Untuk melakukan konsesi diatur dengan suatu kontrak yang
berisi target kinerja, standar kinerja, penyelarasan tarif, penyelesaian arbitrase, dan
perjanjian investasi. Namun, kepemilikan fasilitas pada bentuk ini masih dipegang oleh
pemerintah, tetapi swasta mendapat hak guna yang jangka waktunya ditetapkan dalam
kontrak. Bentuk ini sesuai jika ingin menarik investasi dalam jumlah yang besar.
9. Enhanced Use Leasing (EUL)
Penerapan bentuk EUL dapat dilihat pada negara Amerika, dimana pihak swasta
mengelola aset yang berada pada departemen terkait urusan veteran, seperti perjanjian
sewa menyewa. Selain urusan veteran, bentuk ini juga memungkinkan swasta untuk
mengontrol sewa properti yang memiliki jangka waktu panjang.
10. Lease-Develop-Operate (LDO) atau Build-Develop-Operate (BDO)
Kerjasama dengan swasta pada bentuk LDO atau BDO dilakukan dengan
menyewa prasarana publik dari pemerintah, kemudian melakukan pengembangan dan
melengkapi kekurangannya. Setelah itu, pihak swasta juga mengoperasikan dengan
waktu tertentu sesuai kontrak.
11. Lease/Purchase\
Lease merupakan perjanjian pemerintah dengan swasta yang ditujukan untuk
merancang, mendanai, dan membangun prasarana bagi publik. Namun, kepemilikan
prasarana yang dibangun merupakan milik pemerintah. Pihak swasta bisa menyewa
prasarana ke pemerintah jika ingin mengoperasikan dalam jangka waktu tertentu.
12. Sale/Leaseback
Sesuai dengan namanya, yaitu sale karena dalam bentuk ini ada pemilik fasilitas
yang menjual fasilitas tersebut kepada pihak lain. Baru setelah itu melakukan penyewaan
kepada pemilik baru fasilitas. Penjualan fasilitas dapat dilakukan oleh pemerintah
maupun swasta, namun tetap memperhatikan batas kewajiban dari pemerintah.
13. Turnkey
Dalam bentuk ini pihak pemerintah diberikan tugas untuk membiayai proyek,
sementara pihak swasta merancang, membangun, dan mengoperasikan dalam jangka
7
waktu yang telah ditetapkan bersama. Pemerintah membuat standar kinerja serta sebagai
pemilik tetap dari fasilitas.
2.4.2 Privatisasi
Dalam melakukan privatisasi terdapat berbagai teknik yang dapat digunakan, penggunaan
teknik tersebut akan bergantung kepada negara dan situasi yang dialami. Savas (2000)
menyatakan tiga bentuk privatisasi, yakni delegation, divestment, dan displacement, yang
selanjutnya ketiga bentuk tersebut dibagi lagi menjadi bentuk-bentuk yang lebih spesifik,
sebagai berikut:
1. Delegation
Bentuk pertama untuk memprivatisasi adalah delegation atau delegasi. Bentuk
tersebut dapat dikatakan sebagai privatisasi parsial yang kehadirannya memerlukan
tindakan positif dari pemerintah. Disebut sebagai privatisasi parsial karena dalam
pelaksanaannya peran aktif pemerintah masih dibutuhkan untuk bertanggung jawab
penuh atas fungsinya. Dengan demikian, peran dari pihak swasta hanya menerima
pendelegasian aktivitas produksi aktual. Bentuk dari delegasi dibagi menjadi lima
macam, sebagai berikut:
● Contract
Delegasi dalam bentuk kontrak maksudnya adalah pemerintah melakukan
privatisasi dengan mengontrak organisasi swasta, yang profit dan non profit.
Penerapan bentuk ini sudah sering ditemui pada Amerika baik pada federal,
negara bagian, dan pemerintahan lokal. Dengan pendekatan kontrak, nantinya
pemerintah meminta pihak swasta untuk menjalankan sejumlah layanan publik.
● Franchise
Pada bentuk ini pemerintah memberikan hak kepada pihak swasta untuk
menjual barang dan jasa kepada publik. Umumnya perusahaan swasta hanya
membayar biaya kepada pemerintah. Pelaksanaan franchise dapat dilakukan
dengan dua cara, yakni concession dan lease. Kedua cara tersebut harus
dilaksanakan secara terbuka, transparan, dan kompetitif. Dalam concession
melibatkan domain publik, seperti ruang udara, ruang bawah tanah, jalanan, dan
sebagainya. Sedangkan, lease merupakan sewa, berarti pihak swasta menyewa
fasilitas publik yang sudah ada kepada pemerintah. Bentuk ini umum digunakan
8
pada negara post-sosialis meskipun sifatnya sementara karena bergantung kepada
masa sewanya.
● Grant
Kemudian, delegasi juga bisa didapatkan dengan grant atau hibah.
Persyaratan dalam hibah tersebut hanya mengatur hal-hal umum yang tidak
terperinci seperti kontrak. Jadi, pemerintah mengatur bagaimana caranya agar
yang melakukan kegiatan itu pihak swasta saja, selain pihak swasta yang
mengerjakan swasta juga memberikan subsidi. Hibah yang didapatkan digunakan
pada negara Amerika Serikat (AS) untuk membiayai pengiriman laut, angkutan
massal, dan perumahan bagi penghasilan rendah.
● Voucher
Voucher merupakan salah satu bentuk pendelegasian yang dapat dilakukan
oleh pemerintah. Dengan menerbitkan voucher maka penerima dapat menukarkan
voucher tersebut untuk mendapatkan makanan, pendidikan, kesehatan,
perumahan, dan transportasi. Namun, tentunya penerima voucher tidak bisa
sembarang orang karena ada syarat yang harus dipenuhi.
● Mandate
Maksud dari pendelegasian terakhir, yaitu mandat adalah pemerintah
memberikan mandat kepada perusahaan swasta untuk memberikan layanan atas
biaya yang mereka keluarkan. Dalam hal ini makna privatisasi haruslah berupa
pemberian pelayanan kepada publik, tetapi peran pemerintahnya harus lebih kecil.
Misalnya, pemberian jaminan sosial yang diatur oleh pemerintah pusat. Kemudian
ingin diprivatisasi dengan cara mengubah jaminan sosial menjadi rekening
pensiun perorangan. Namun, yang menjadi permasalahan dalam pendelegasian ini
terkait banyaknya orang yang membuat suatu program sosial baru dan
memaksakan mandat dari pemerintah kepada pemberi kerja daripada memberikan
pelayanan langsung kepada masyarakat.
2. Divestment
Makna dari divestasi berlawanan dengan investasi, divestasi merupakan kegiatan
mengurangi fungsi dan aset perusahaan. Divestasi juga memerlukan tindakan positif dari
pemerintah dan urusannya hanya sekali. Perusahaan yang didivestasi bisa berupa
9
penjualan aset ataupun pemberian sebagai bisnis yang dapat dilikuidasi. Bentuk divestasi
masih dibagi menjadi tiga macam, yaitu sebagai berikut:
● Sale
Divestasi dalam bentuk sale dapat dilakukan dengan lima cara,
diantaranya: (1) by joint venture yang dilakukan ketika pemerintah melakukan
penjualan aset baik hanya setengah atau sebagian besar saja. Perusahaan swasta
akan menerima setengah saham dengan menginvestasikan modal, mengetahui,
dan mengoperasikan; (2) by selling the enterprise kepada pihak swasta; (3) by
selling to public; (4) by selling to managers; (5) by selling to customers.
Penjualan perusahaan ataupun aset bagi pemerintahan US sudah menjadi hal yang
umum. Seringkali pemerintah US menjual tanah, bangunan, dan aset lainnya yang
sudah tidak digunakan lagi serta untuk mencegah perluasan departemen
dikemudian hari.
● Free transfer
Divestasi free transfer tidak memerlukan adanya penjualan perusahaan
atau aset. Perusahaan yang sudah ada bisa diberikan kepada employees,
customers, public, pemilik sebelumnya (restitusi), dan pihak tertentu yang
memenuhi kualifikasi. Contoh pemberian perusahaan terjadi di Inggris, ketika
layanan penyedia hovercraft yang awalnya dipegang British Rail dialihkan
kepada manajemen sehingga tidak menguras anggaran negara. Selain itu, joint
venture juga termasuk ke dalam bentuk free transfer dengan pihak negara yang
mentransfer saham kepada suatu entitas baru sebagai bentuk kontribusi. Namun,
joint venture lebih terlihat seperti penjualan parsial karena tidak sepenuhnya
diatur pihak swasta, tetapi masih ada sebagian kepemilikannya yang merupakan
milik negara.
● Liquidation
Likuidasi juga menjadi bagian dari divestasi, dilakukan dengan cara
melikuidasi perusahaan yang kinerjanya buruk. Setelah dilikuidasi, pemerintah
akan menjual aset tersebut. Mekanisme tersebut termasuk sebagai privatisasi
karena aset yang sebelumnya sudah ada masuk kembali ke pasar, tetapi dengan
peningkatan kinerja yang baik. Namun, ada kondisi likuidasi yang tidak bisa
10
dikatakan sebagai divestasi, yakni ketika pemerintah hanya menyewakan aset
yang telah dilikuidasi kepada swasta.
3. Displacement
Bentuk displacement atau pemindahan secara bertahap oleh swasta, tindakannya
lebih pasif tidak seperti dua bentuk sebelumnya. Pemindahan merupakan bentuk yang
umum dan proses yang penting karena dalam privatisasi yang efektif kemungkinan
terjadinya konflik politik relatif kecil. Bentuk ini juga dibagi menjadi tiga cara, sebagai
berikut:
● Default
Pada bentuk ini privatisasi terlihat ketika masyarakat menganggap
penyediaan jasa dan barang yang dilakukan pemerintah kurang memadai. Namun,
sektor swasta berusaha untuk memenuhi permintaan masyarakat dengan
menyediakan barang dan jasa yang berkualitas. Dengan begitu, peran pemerintah
menjadi semakin kecil dan lama kelamaan semakin luntur karena masyarakat
sudah tidak melihat lagi peran dari pemerintah untuk memenuhi kebutuhan.
Contoh sederhananya, seperti transportasi umum bus yang kerap kali dianggap
masyarakat tidak memadai dan tidak nyaman sehingga beralih kepada transportasi
pribadi. Dalam sektor pendidikan juga bisa terjadi hal seperti itu, kasus terparah
dalam pendidikan, yaitu ketika yang disediakan oleh pemerintah dianggap tidak
memiliki kualitas yang baik. Oleh karena itu, banyak yang berupaya
menyekolahkan anaknya ke sekolah swasta, bahkan keluarga yang kemampuan
ekonominya terbatas juga tidak mau menyekolahkan ke sekolah negeri.
● Withdrawal
Untuk bentuk withdrawal dapat dilakukan pemerintah secara sengaja
dengan tujuan mengurangi kapasitas pemerintah. Pemerintah sengaja untuk
membatasi pertumbuhan BUMN agar sektor swasta dapat berekspansi. Peran
BUMN seakan dimusnahkan dengan cara pemerintah melakukan pemberhentian
dalam memberikan subsidi kepada perusahaan negara. Lama-kelamaan BUMN
hanya diam saja dan pertumbuhannya terhambat.
● Deregulation
11
Terjadinya deregulasi karena pemerintah memiliki perusahaan layanan
publik yang sifatnya monopoli dan sektor swasta tidak diperbolehkan untuk
bersaing. Dengan deregulasi memungkinkan pihak swasta untuk menantang
monopoli pemerintah, bahkan bisa saja menggantikan layanan pemerintah
tersebut. Oleh karena itu, perusahaan swasta berusaha untuk memberikan layanan
yang terbaik dan memiliki keunggulan dibanding pemerintah sehingga menjadi
layanan yang unggul dan digunakan oleh seluruh masyarakat bahkan pemerintah
sendiri turut menggunakan layanan yang disediakan pihak swasta.
2.5 Privatisasi Badan Usaha Milik Negara dalam Upaya Pengembangan Pelayanan Publik
Pemerintah memiliki tanggung jawab tersendiri untuk menjaga dan meningkatkan
kesejahteraan rakyatnya. Tanggung jawab tersebut merupakan tanggung jawab yang besar
melihat lagi bahwa Indonesia merupakan negara demokrasi. Demokrasi dapat diartikan sebagai
pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Oleh karena itu, rakyat memegang peran
utama di Indonesia. Rakyat Indonesia berhak untuk ikut serta dalam bermasyarakat dan
bernegara.
Dengan adanya peran utuh rakyat dalam kegiatan kemasyarakatan, pemerintah dihadapi
dengan tantangan untuk dapat menjaga kesejahteraan rakyatnya. Sejak negara turut serta secara
aktif dalam pergaulan kemasyarakatan maka lapangan pekerjaan pemerintah makin lama makin
luas (Ridwan, 2011). Kesejahteraan rakyat penting untuk dicapai karena ketika rakyat di suatu
negara sudah mencapai titik kesejahteraan, dapat dikatakan bahwa negara tersebut sudah
memenuhi salah satu syarat untuk menjadi negara kesejahteraan atau biasa dikatakan dengan
welfare state. Ramesh Mishra, Lawrence Friedman dan Jan M. Boekman menitikberatkan
welfare state pada tanggung jawab negara mensejahterakan warga negara dengan pemenuhan
kebutuhan dasar hidup (basic needs), pelayanan sosial, juga termasuk intervensi ekonomi pasar.
Tanggung jawab negara untuk kesejahteraan warganya bukan hanya sekedar dimaknai sebagai
hak politik dan ekonomi, melainkan juga aspek hukum. Untuk dapat mencapai titik kesejahteraan
rakyat, upaya yang dapat dilakukan oleh pemerintah adalah dengan menjalankan dua peran
sekaligus, yaitu sebagai regulator atau pemimpin negara yang membuat regulasi di suatu negara
demi menjaga keamanan dan ketertiban di masyarakat dan juga sebagai public service provider
atau penyedia layanan publik untuk menunjang kehidupan rakyatnya.
12
Menurut Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 Pasal 1 Ayat (1) tentang Pelayanan
Publik, pelayanan publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan
kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan
penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh
penyelenggara pelayanan publik. Pelayanan publik dapat berupa pelayanan di sektor pendidikan,
transportasi umum, kesehatan, administrasi, dan bentuk pelayanan lainnya. Pelayanan publik
dikatakan sebagai pelayanan publik karena pelayanannya harus dapat mencakup seluruh
masyarakat di Indonesia. Pelayanan publik tentunya harus memberikan kepuasan bagi
masyarakat agar mempermudah mereka dalam melaksanakan kegiatan sehari-harinya. Pelayanan
publik pada umumnya disediakan oleh negara atau sektor publik. Pelayanan yang disediakan
oleh sektor publik harus selalu melakukan perubahan yang inovatif, responsif, efisien, dan
berorientasi terhadap kepentingan masyarakat. Hal tersebut didukung dengan sifat asli manusia
yang selalu menginginkan yang lebih dan tidak pernah puas. Selain itu, perkembangan zaman ke
arah globalisasi dan teknologi yang semakin canggih juga menuntut pemerintah untuk
menyediakan pelayanan publik yang semakin maju.
Begitu banyak sektor yang harus dilayani oleh pemerintah Indonesia sehingga pelayanan
yang disediakan bersifat quantity over quality, yaitu lebih mementingkan pemenuhan pelayanan
publik di semua sektor tanpa memperhatikan kualitas pelayanan yang diberikan. Masalah lain
terkait pelayanan publik di Indonesia dapat dilihat semenjak pemerintahan Orde Baru. Begitu
banyak pergolakan di bidang politik marak terjadi saat itu. Korupsi, kolusi, dan nepotisme
(KKN) bukan lagi hal yang asing di pemerintahan Orde Baru. Kepercayaan masyarakat terhadap
pemerintahan menjadi nihil akibat terlalu banyak praktik KKN yang terjadi pada masa itu.
Bahkan, agar pelayanan administrasi pembuatan Kartu Tanda Penduduk (KTP), Surat Izin
Mengemudi (SIM), dan pelayanan lainnya dapat dilakukan dengan cepat, petugas pelayanan
harus diberi suap dahulu. Penyuapan tersebut tidak dapat disalahkan sepenuhnya kepada
masyarakat walaupun tindakan tersebut bukan perilaku yang baik. Administrasi yang berbelit
dan pelayanan yang memakan waktu banyak membuat masyarakat terpaksa untuk melakukan
pemberian uang agar pelayanan mereka lebih diprioritaskan. Perilaku masyarakat tergantung
kepada pelayanan yang diberikan kepada mereka.
Untuk memperbaiki permasalahan terkait pelayanan publik yang ada, pemerintah
mengeluarkan suatu kebijakan. Kebijakan tersebut tertera dalam Instruksi Presiden (Inpres)
13
Nomor 1 Tahun 1995 tentang perbaikan dan peningkatan mutu pelayanan aparatur pemerintah
kepada masyarakat. Inpres tersebut tidak hanya meningkatkan pelayanan publik, tetapi juga
meningkatkan kualitas aparatur pemerintah. Namun, dampak dari Inpres tersebut tidak berlaku
signifikan terhadap output pelayanan publik yang ada. Jika dilihat dari sisi efisiensi, pelayanan
publik masih jauh dari ekspektasi. Menurut Mahsyar (2011), pelayanan publik di Indonesia
masih memiliki berbagai kelemahan antara lain: kurang responsif, kurang informatif, kurang
accessible, kurang koordinasi, birokratis, kurang kemauan untuk mendengar keluhan, saran, dan
aspirasi masyarakat, dan juga inefisien.
Berangkat dari berbagai permasalahan pelayanan publik yang telah disebutkan tersebut,
privatisasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) diberlakukan di Indonesia. Privatisasi BUMN
mungkin disangka menentang konstitusi negara Indonesia yang secara khusus diatur dalam Pasal
33 ayat (2) dan (3) UUD NRI Tahun 1945 yang menyebutkan bahwa
(2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup
orang banyak dikuasai oleh negara.
(3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara
dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Namun, jika ditelaah lagi mengenai esensi dari diberlakukannya kebijakan tersebut, privatisasi
BUMN bertujuan untuk meningkatkan pelayanan publik yang selama ini dianggap belum efisien.
Pada bulan Juni tahun 2020, jumlah BUMN di Indonesia tercatat oleh data dari BUMN sebanyak
107 perusahaan. Namun, Jonaidi (2019) mengatakan bahwa BUMN belum sepenuhnya dapat
menyediakan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi bagi masyarakat dengan harga yang
terjangkau serta belum mampu berkompetisi dalam persaingan bisnis secara global. Di tengah
perkembangan ekonomi global yang diindikasikan dengan adanya pasar bebas (free market),
BUMN perlu meningkatkan kompetensinya agar dapat memiliki daya saing yang tinggi. Untuk
mencapai tujuan tersebut, BUMN membutuhkan bantuan pihak swasta karena pemerintah
hanyalah manusia biasa yang dan tidak dimungkinkan untuk dapat melakukan segala hal dengan
sempurna. Oleh karena itu, privatisasi BUMN menjadi jawaban yang tepat.
Privatisasi bukanlah semata-mata menjual begitu saja perusahaan negara kepada pihak
swasta (privat), tetapi sebagai upaya peningkatan kualitas pelayanan publik yang selama ini
dipegang oleh BUMN saja. Walaupun privatisasi diperbolehkan di Indonesia, tidak semua
BUMN dapat diprivatisasi. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Pasal 76 mengatakan bahwa
14
Persero yang dapat diprivatisasi hanyalah Persero yang memiliki usaha kompetitif yang berarti
perusahaan yang akan diprivatisasi hanyalah perusahaan yang secara Undang-Undang di
Indonesia dapat dijalankan oleh pihak publik maupun privat. Selain itu, Persero yang dapat
diprivatisasi adalah Persero yang sektor usahanya memiliki teknologi yang cepat berubah.
Teknologi yang berubah-ubah tentunya memerlukan modal yang besar sehingga membutuhkan
adanya investasi.
Privatisasi BUMN dapat dikatakan sebagai bentuk public-private partnership atau PPP.
Hal tersebut dikarenakan oleh manfaat public-private partnership yang dapat memenuhi
pelayanan publik yang sebelumnya belum dapat dipenuhi oleh pemerintah Indonesia. Seperti apa
yang telah dijelaskan sebelumnya, PPP bertujuan untuk mendorong pembangunan yang akan
berdampak pada peningkatan kualitas pelayanan publik di Indonesia. Sama seperti privatisasi
BUMN, PPP dapat membantu Indonesia meningkatkan pembangunan dalam bentuk pemenuhan
modal. Pembangunan yang dibutuhkan di era globalisasi ini tentunya didasarkan dengan
perkembangan teknologi dunia. Pembangunan yang bersifat technology based memerlukan
modal yang tinggi. Oleh karena itu, terjadilah PPP yang merupakan kerjasama antara sektor
publik dan privat. Pemberlakuan PPP di Indonesia meringankan beban pemerintah dalam upaya
mengembangkan pelayanan publik yang berkualitas sehingga output pelayanan publik yang
diterima masyarakat akan bersifat quality over quantity atau lebih mementingkan kualitas. Hal
tersebut dikarenakan oleh tujuan untuk dapat memenuhi pelayanan publik untuk mencapai
negara kesejahteraan.
15
agar tidak terpengaruh dengan politisasi BUMN yang dilakukan oleh pihak-pihak
tertentu. Pemerintah harus menyadari dan menanamkan pola pikir bahwa privatisasi
BUMN semata-mata dilakukan dalam upaya mensejahterakan negara sehingga dapat
terhindar dari konflik-konflik terkait politisasi BUMN. Oleh karena itu, pemerintahan
yang kuat dengan komitmen politik yang kuat menentukan keberhasilan privatisasi.
2. Faktor Organisasi
Villalonga (2000) mengatakan bahwa faktor organisasi berpengaruh terhadap kesuksesan
privatisasi. Organisasi yang baik merupakan cerminan dari pemimpin yang baik. Oleh
karena itu, peran pemimpin dari BUMN berpengaruh terhadap kinerja privatisasi BUMN
itu sendiri. Peran pemimpin yang baik dapat diindikasikan dengan aktivitas corporate
entrepreneurship yang dilakukan oleh perusahaan.
3. Faktor Kebijakan
Kebijakan pemerintah setelah diberlakukannya privatisasi mempengaruhi kinerja BUMN.
Kebijakan yang meningkatkan kinerja BUMN adalah kebijakan pemerintah yang kuat
dalam mendorong keadaan kondusif dan daya saing tinggi di pasar bebas. Setelah
privatisasi, pengambilan keputusan yang memiliki unsur campur tangan pemerintah
hendaknya diminimalisir agar dapat mencapai kemandirian dan efektivitas.
2.7 Pengaruh Implementasi PPP dan Privatisasi terhadap Efisiensi Pengeluaran Publik
dan Optimasi Kinerja Pelayanan Publik
PPP dan privatisasi merupakan cara yang dianggap dapat mendukung semangat New
Public Management (NPM) atau reformasi pada sektor publik. Reformasi ini pada dasarnya
bertujuan mewujudkan good governance dengan cara membebaskan sektor publik dari kekangan
konservatisme sistem terdahulu. Lebih lanjutnya lagi, pembebasan ini diterapkan dengan
mengimplementasikan prinsip sektor privat dalam pelaksanaannya (Golembiewski dalam Akbar,
2015). PPP dan privatisasi berdasarkan pengertian dan tujuan yang sudah dijelaskan pada bagian
sebelumnya sesuai dan mendukung reformasi NPM ini dimana keduanya merupakan usaha
melibatkan sektor privat atau swasta dalam pelayanan dan penyediaan fasilitas publik. Reformasi
NPM pun disebut lebih mementingkan hasil kinerja dibandingkan proses sehingga segala hal
yang dapat meningkatkan output pelayanan dan fasilitas publik dapat diterapkan termasuk
dengan cara privatisasi yang sebenarnya sering mendapat kecaman.
16
Namun, baik PPP dan privatisasi kedua nya pun tidak sepenuhnya sama dan memiliki
perbedaan dalam pemahamannya. Menurut Wang dalam Akbar, (2015) privatisasi lebih diartikan
sebagai perpindahan kontrol dari sektor publik ke privat atau swasta yang merupakan
konsekuensi transfer kepemilikan diantara keduanya. Sedangkan PPP lebih berangkat dari
adanya tujuan untuk menyediakan pelayanan dan fasilitas bagi masyarakat dan secara bersamaan
memperbaiki pendanaan kegiatan tersebut. Sehingga dari tujuan tersebut terlihat fokus dari PPP
adalah pada peningkatan kualitas layanan dilihat dari aspek efisiensi, efektivitas, kualitas,
pendanaan, dan pertanggungjawaban, sedangkan privatisasi yang terjadi perpindahaan kontrol
hal tersebut tidak menjadi fokus utama (Wang, 1999; LaRocque, 2008). Oleh karena itu dalam
hal efisiensi pengeluaran publik dan optimalisasi publik penulis akan lebih berfokus pada PPP.
Efisiensi pengeluaran publik sendiri menurut Chan dan Karim dalam Merini (2013)
sebagai kemampuan pemerintah untuk memaksimalkan aktivitas ekonomi (output) pada tingkat
pengeluaran pemerintah (input) yang tetap atau kemampuan pemerintah untuk meminimalkan
pengeluaran pemerintah pada level kegiatan ekonomi yang tetap. Berdasarkan penelitian Hauner
dan Kyobe (2010) ditemukan bahwa pengeluaran pemerintah yang tinggi dibandingkan dengan
PDB nya sering dikaitkan dengan rendahnya efisiensi di sektor masing-masing atau dalam kasus
ini adalah pengeluaran di sektor public. Maka dari itu untuk melihat efisiensi perlu adanya
keseimbangan dimana pengeluaran publik tidak relatif tinggi.
Dalam hal pengeluaran publik, PPP menurut Priadi, (2016) dianggap sebagai salah satu
penunjang dalam hal pemanfaatan Barang Milik Negara atau BMN yang dilaksanakan oleh
Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN). Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 27
tahun 2014 Pasal 27 bentuk pemanfaatan BMN terdiri dari sewa, pinjam pakai, kerjasama
pemanfaatan (KSP), bangun guna serah/bangun serah guna (BSG/BGS), dan Kerja Sama
Penyediaan Infrastruktur (KSPI). KSP sendiri pada dasarnya dapat dilihat sebagai pemanfaatan
BMN yang melibatkan sektor privat untuk mengelola BMN yang tidak digunakan oleh
pemerintah (idle). KSP ini terlihat bukti nyatanya pada praktek PPP. Pada Peraturan Pemerintah
Nomor 27 tahun 2014 Pasal 31 dikatakan bahwa KSP BMN dengan pihak lain dilaksanakan
dalam rangka mengoptimalkan daya guna dan hasil BMN dan/ atau meningkatkan penerimaan
negara/ pendapatan daerah.
Penerapan PPP untuk meningkatkan penerimaan inilah yang dapat menunjang dan
berpengaruh dalam kaitannya dengan pengeluaran publik. Pengaruh atau dampak ini pun
17
berbeda-beda Di Indonesia sendiri bentuk PPP yang banyak dilakukan adalah bentuk BOT yang
biasa dilakukan dalam pembangunan infrastruktur. Pada bentuk ini terjadi kesepakatan
(concession) dimana adanya pengembalian fasilitas pada pemerintah setelah pekerjaan selesai
dalam kurun waktu yang ditentukan. Penggunaan bentuk ini memberikan pengaruh baik bagi
pengeluaran publik dimana peminjaman atau pembiayaan yang dilakukan pemerintah tidak
terlihat pada penerapan PPP atau sering disebut sebagai off-balance sheet. Pembiayaan yang
dilakukan oleh PPP model ini pun cenderung tidak besar di awalnya, memungkinkan pemerintah
melakukan investasi di sektor public lainnya selain infrastruktur atau bahkan sektor non public.
Crowd out effect yang disebabkan investasi oleh sektor publik pun tidak terjadi dengan
penerapan PPP. Namun dalam penerapan PPP jika pelayanan publik dilakukan oleh privat tidak
memiliki kinerja yang cukup baik pemerintah yang masih berlaku sebagai penyelenggara utama
dan pengawas kegiatan terdapat kemungkinan menanggung beban biaya pemeliharaan dan biaya
lainnya. Maka berdasarkan pemaparan diatas dapat dikatakan efisiensi pengeluaran publik selain
dipengaruhi oleh bentuk PPP yang digunakan, tergantung juga bagaimana kinerja sektor privat
dan pemantauan yang dilakukan oleh swasta.
Efisiensi pengeluaran publik pun memiliki kaitan yang erat dengan optimalisasi kinerja
pelayanan publik. Untuk memaksimalkan atau mengoptimalkan pelayanan publik dalam
penerapan PPP perlu kinerja yang baik yang dilakukan oleh pihak swasta. Seperti yang
dijelaskan sebelumnya kinerja yang buruk akan mengakibatkan pengeluaran yang lebih besar
dalam biaya-biaya lainnya. Untuk meningkatkan kinerja pelayanan publik oleh swasta perlu
adanya insentif dalam pelaksanaan, seperti penawaran, hadiah atau pemanjangan kontrak kerja
yang baik dari sisi pemerintah. Penawaran yang menarik dilakukan pada tahap awal untuk
menarik yang dapat menguntungkan investor swasta juga. Hadiah pada sektor swasta dapat
terlihat contohnya dalam perpanjangan kontrak kerja. Hal ini mengingat untuk mencapai
efisiensi output dan untuk mencapai standar kualitas dan kuantitas yang diinginkan pemerintah
dalam proyek yang kompleks tidak cukup hanya dengan jangka pendek. Insentif yang diberikan
oleh pemerintah ini pun juga berpotensi meningkatkan pengeluaran negara sehingga perlu
adanya keseimbangan dengan mewujudkan efisiensi pengeluaran publik.
Selain PPP, efisiensi pengeluaran publik dan optimalisasi pelayanan publik juga
dipengaruhi oleh penerapan kebijakan privatisasi yang dilakukan oleh pemerintah. Privatisasi
sendiri seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya memiliki berbagai bentuk yang berbeda,
18
namun kali ini penulis akan lebih fokus pada privatisasi BUMN sebagai bentuk privatisasi yang
sering digunakan di Indonesia. Penerapan privatisasi dalam hal pengeluaran publik dan
optimalisasi pelayanan terlihat pada tujuan awal diterapkannya privatisasi. Penerapan privatisasi
BUMN dimana BUMN sebagai sumber pemasukan negara dilakukan dengan harapan dapat
memberikan kontribusi besar pada pemasukan negara untuk menunjang dan membiayai
pengeluaran publik. Namun, selama beberapa tahun terakhir, menurut Maro’ah (2008) ,terdapat
indikasi bahwa pengeluaran public yang digunakan untuk privatisasi BUMN tidak sepadan
dengan hasil yang didapatkan dan cenderung merugikan. Sedangkan dalam hal optimalisasi
pelayanan publik terlihat juga dalam tujuan privatisasi menurut Moore (1998), yakni untuk
meningkatkan efisiensi dimana perusahaan sektor publik cenderung memiliki kinerja yang lebih
buruk daripada perusahaan sektor swasta dalam segi pemanfaatan modal, kompetisi, tenaga kerja
dan lain-lain. Sehingga tidak heran dalam kinerja pelayanan publik lewat sektor publik seperti
BUMN dianggap memerlukan keterlibatan swasta dalam kegiatannya.
19
perluasan kepemilikan saham, kemudian banyak perusahaan baru yang terdaftar di bursa saham,
serta memperoleh dana investasi yang baru. Umumnya perusahaan yang diprivatisasi adalah
perusahaan yang membutuhkan tambahan likuiditas. Meskipun setelah memprivatisasi BUMN
harus melakukan restrukturisasi, tetapi menjual BUMN di sejumlah sektor, seperti perbankan
dan telekomunikasi akan berakibat terhadap stabilitas perusahaan serta kenaikan kapitalisasi
pasar dan likuiditas
Keuntungan terakhir adalah menarik investasi asing. Modal asing berguna untuk
mencapai tingkat pertumbuhan yang tinggi. Jika tidak ada modal asing maka investasi untuk
mendorong pertumbuhan menjadi terbatas. Begitu pula sebaliknya, investasi yang tinggi sangat
dibutuhkan untuk memenuhi anggaran dalam membangun infrastruktur. Oleh karena itu, ketika
ingin melakukan privatisasi pasti berusaha menarik minat para investor asing yang sesuai dan
strategis dengan BUMN. Selain mendatangkan modal, investor asing juga dapat membawa
teknologi, manajemen yang profesional, dan akses kepada pasar ekspor.
20
menggunakan BUMN untuk memberikan reward kepada pihak yang loyal. Sementara dari pihak
manajemen BUMN memberikan upeti atas perolehan posisi yang baik dalam struktur BUMN.
Selain itu, masih terdapat kendala lain berupa perbedaan persepsi antara pemangku
kepentingan dengan masyarakat. Sebenarnya perbedaan persepsi bukanlah hal yang asing lagi,
setiap kebijakan yang dikeluarkan pasti akan menuai perbedaan. Contohnya, sebagai pemangku
kebijakan BUMN, semua menginginkan terwujudnya tujuan untuk memajukan BUMN. Namun,
persepsi tentang cara mencapai suatu tujuan tersebut bisa saja berbeda-beda tiap individu.
Banyak sekali pandangan yang menurut seseorang baik, tetapi bagi orang lain tidak baik. Oleh
karena itu, persepsi pemangku kepentingan terkait pelaksanaan privatisasi BUMN, ada yang
setuju dan tidak setuju. Begitu pula persepsi dari masyarakat yang hanya menganggap privatisasi
sebagai penjualan aset negara. Kendala terakhir, yakni dari aspek budaya dalam BUMN. Budaya
BUMN yang buruk akan berdampak terhadap proses pengambilan keputusan yang lama.
Sedangkan, budaya dalam swasta yang operasionalisasinya langsung dipegang oleh manajemen
akan mempercepat proses pengambilan keputusan. Makanya tak jarang ditemukan layanan yang
dipegang oleh swasta lebih cepat prosesnya daripada milik negara.
21
BAB III
STUDI KASUS
3.1 Latar Belakang
Privatisasi air di DKI Jakarta telah terjadi pada akhir dekade Orde Baru. Pemerintah
melibatkan pihak swasta dan asing dalam mengelola air. Pengelolaan air bersih di DKI Jakarta
pada masa pra-reformasi dimulai pada tahun 1920 yang sumber air artesisnya ditemukan oleh
Gementeestaatwaterleidengen van Batavia di Ciomas, Bogor. Setelah menemukan sumber air,
sarana jaringan pipa dibuat untuk menghubungkannya ke kota Batavia. Pada tahun 1945 setelah
kemerdekaan Indonesia, operasionalisasi pengelolaan air diserahkan kepada Dinas Saluran Air
Minum Kota Praja yang kemudian pada tahun 1968, pengelolaan air diserahkan kepada Pemda
DKI Jakarta melalui Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Jaya selaku Badan Usaha Milik
Daerah saat di bawah pimpinan gubernur Ali Sadikin. Latar belakang terjadinya privatisasi air di
DKI Jakarta terjadi pada tahun 1991 saat Bank Dunia berkomitmen untuk memberikan pinjaman
sejumlah US$ 92 juta kepada PDAM Jaya yang digunakan untuk perbaikan sistem jaringan dan
pengembangan infrastruktur penyediaan air bersih bagi warga Jakarta. Setelah itu pada tahun
1992, Bank Dunia akhirnya mengeluarkan kebijakan privatisasi air bersih yang menyebabkan
Presiden Soeharto menunjuk Ir. Radinal Mochtar untuk membentuk Tim Koordinasi C Bersih
Kota Jakarta dan Kawasan Sekitarnya dengan peran swasta.
Saat ini, PDAM Jaya memiliki dua mitra operator untuk penyediaan air bersih, yaitu PT
Aetra Air Jakarta dan PAM Lyonnaise Jaya (Palyja). Pengelolaan air bersih di DKI Jakarta saat
ini dikelola oleh swasta dan negeri, dimana PDAM Jaya selaku BUMD hanya mengawasi secara
ketat jaringan perpipaan, sedangkan pengoperasiannya ditangani swasta, yaitu kedua perusahaan
mitranya. Namun, privatisasi air di DKI Jakarta direncanakan untuk diakhiri oleh Pemda DKI
Jakarta karena penyediaan air baku yang buruk, serta pelayanan yang dilakukan PT Palyja dan
PT Aetra Air Jakarta yang buruk. Contoh nyatanya, hingga 2018, cakupan air Jakarta yang
menjadi indikator pemenuhan hak setiap penduduk untuk mendapatkan akses pipa air bersih
hanya meningkat 15% menjadi 60% atau sebesar lebih dari 4 juta penduduk DKI Jakarta belum
mendapatkan air bersih. Dimana, angka 60% tersebut masih lebih rendah dibanding rata-rata
cakupan air nasional sebesar 73,6%. Lalu, pada tahun 2017, Mahkamah Agung akhirnya
mengeluarkan putusan kasasi yang menyatakan bahwa kerja sama antara PAM Jaya dengan
perusahaan swasta ilegal sehingga kerja sama antara PAM Jaya dan PT Palyja dan PT Aetra Air
22
Jakarta diberhentikan, serta pengelolaan air bersih harus dikembalikan ke PAM Jaya. Privatisasi
air di DKI Jakarta.
23
mendapatkan keuntungan. Hingga pada dasarnya basis atas kerjasama privatisasi ini memberikan
keuntungan bersama bagi institusi publik dan swasta.
Pada Kenyataannya penerapan dari privatisasi pengelolaan air minum Jakarta ini
dianggap bermasalah. Privatisasi air di Jakarta dalam penerapannya bermasalah karena
penerapan privatisasi tersebut tidak dilaksanakan secara optimal. Berbagai faktor mempengaruhi
penerapan privatisasi tersebut, faktor tersebut adalah faktor politik, faktor kebijakan dan faktor
organisasi.
Permasalahan faktor politik terjadi pada awal masa privatisasi tersebut dilaksanakan,
praktik campur tangan politik dalam bentuk praktik KKN yang berpotensi menyebabkan kurang
baiknya kualitas dan standar pengelolaan apabila pihak yang terpilih adalah perusahaan swasta
yang tidak memiliki manajemen yang baik. Permasalahan kedua adalah terkait dengan kebijakan
pemerintah yang kurang baik dalam penerapan privatisasi. Pemerintah pada penerapan
privatisasi dianggap kurang aktif dalam melakukan intervensi terkait kebijakan pembangunan
infrastruktur terkait dengan air minum menyebabkan tidak meratanya penyebaran akses air bagi
warga serta biaya air yang mahal. Hingga permasalahan terakhir terkait dengan organisasi adalah
kurang efektifnya pengawasan melalui BUMD PAM Jaya atas standar pengelolaan dan
pelayanan yang menyebabkan banyaknya permasalahan muncul dari kurang baiknya kualitas air
di sebagian wilayah, kebocoran air yang sering terjadi dan permasalahan lainnya yang membuat
pad akhirnya kini konsesi pengelolaan air minum tersebut dikembalikan ke pemerintah untuk
dikelola kembali oleh PAM Jaya.
24
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
4.2 Saran
Agar kendala dalam pelaksanaan privatisasi lebih lancar, saran dari kelompok kami adalah
menghindari politisasi BUMN. Politisasi BUMN dapat menghambat kinerja privatisasi karena
politisasi akan mempengaruhi keputusan-keputusan yang akan diambil nantinya. Pahami terlebih
dahulu bahwa esensi diberlakukannya privatisasi adalah untuk memaksimalkan kesejahteraan
rakyat.
25
DAFTAR PUSTAKA
Publikasi Elektronik
Abdullah, M. T. (2020). Public Private Partnership Dalam Penyediaan Infrastruktur Pelayanan
Publik: Pengalaman Indonesia dan India. Jurnal Ilmu Administrasi, 9(2), 102-114.
Fernanda, D. (2006). Paradigma New Public Management (NPM) Sebagai Kerangka Reformasi
Birokrasi Menuju Kepemerintahan yang Baik (Good Governance) di Indonesia. Borneo
Administrator, 2(3), 4–21.
Hauner, David dan Annette Kyobe. (2010). Determinants of Government Efficiency. World
Development Vol. 38, No. 11
Jonaidi, Dona Pratama (2019). Telaah Terhadap Privatisasi BUMN di Indonesia. Depok:
University of Bengkulu Law Journal (UBELAJ)
Mishra, Ramesh (1984). Welfare State in Crisis, Social Thought and Social Change. London:
Wheatsheaf Books Ltd, Harvester Press
Pinori, J. J. (2015). Keberadaan Privatisasi BUMN di Indonesia. Lex et Societatis, III(7), 171-
178.
Ridwan, H. R. (2011). Hukum Administrasi Negara. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Siahaan, F. A., & Hartono, S. R. (n.d.). Privatisasi Badan Usaha Milik Negara. 1-17.
Siti Maro’ah. (2008). Kebijakan Privatisasi Dan Pengaruhnya Dalam Perekonomian Makro
Indonesia. Journal Balance Economics Business Management And Accounting, 9(9), 3–8.
Villalonga, B. (2000). Privatization and Efficiency ; Differentiating Ownership Effects from
Political, Organizational, and Dynamic Effects. Journal of Economic Behaviour and
organization
Website
Ardhianie, N., & Zamzami, I. (n.d.). No Pro-poor Agenda in Jakarta Water Concession. Amrta
Institute for Water Literacy and KRuHA - People's coalition for the rights to water.
26
Pranoto, T. (2019). Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Privatisasi BUMN:
Komparasi Indonesia-Malaysia. BUMN Research Group. http://brg.lmfebui.com/recent-
studies/212803//190430/faktor-faktor-yang-mempengaruhi-keberhasilan-privatisasi-
bumn-komparasi-indonesia-malaysia.
Priadi, G. (n.d.). Penerapan Konsep Public Private Partnership (PPP) Dan Konsep New Public
Management (NPM) Dalam Meningkatkan Pemanfaatan Aset Negara.
Djkn.kemenkeu.go.ig. https://www.djkn.kemenkeu.go.id/artikel/baca/11075/Penerapan-
Konsep-Public-Private-Partnership-PPP-Dan-Konsep-New-Public-Management-NPM-
Dalam-Meningkatkan-Pemanfaatan-Aset-Negara.html.
Buku
Savas, E. S. (2000). Alternative Arrangements for Providing Goods and Services in Privatization
and Public Private Partnership. Chatham House Publisher.
Moore, Stephen (1987). Contracting Out : A Painless Alternative to Budget Cutter’s Knife, in
Steve H,Hanke (Ed), Prospect of Privatization, New York, The Academy of Political
Science.
Adam, L (Ed.). (2014). Analisis Model Kebijakan Kerja Sama Pemerintah-Swasta dalam
Pembangunan Infrastruktur. LIPI Press.
27