Anda di halaman 1dari 12

NASIONALISASI

DAN
PRIVATISASI
Disusun

Oleh: Kelompok III

 Harteti Umar
 Rivaldi Parso
 Dani Kurniawan

PROGRAM STUDI AKUNTANSI


FAKULTAS EKONOMI DAN ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH GORONTALO
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Dalam perekonomian suatu negara, nasionalisasi dan privatisasi merupakan 2 hal yang urgen
mengingat hal tersebut sangat menentukan arah kebijakan serta perekonomian, sosial dan
politik suatu negara. Satu hal yang perlu disadari, kedua hal tersebut seyogianya dapat
memberikan manfaat yang positif sekaligus negatif bagi perekonomian, sosial dan politik
suatu negara.
Nasionalisasi adalah proses transformasi aset privat kepada aset publik dengan membawa
mereka di bawah kepemilikan publik dari pemerintah nasional. Nasionalisasi biasanya tertuju
kepada aset privat atau aset yang dimiliki oleh tingkatan pemerintah yang lebih rendah,
seperti misalnya pemerintah kabupaten, ditransfer kepada pemerintah pusat. Kebalikan dari
nasionalisasi adalah privatisasi, munisipalisasi, dan demutualisasi. Industri-industri yang
biasanya terkena target nasionalisasi termasuk transportasi, komunikasi, energi, perbankan
dan sumber daya alam.
Nasionalisasi bisa terjadi dengan atau tanpa kompensasi terhadap pemilik sebelumnya.
Nasionalisasi terpisah dari redistribusi properti dalam bahwa pemerintah menahan kendali
dari properti yang dinasionalisasi. Beberapa nasionalisasi terjadi saat pemerintah mengambil
alih properti yang diambil secara tidak legal. Contohnya, di tahun 1945 pemerintah Perancis
mengambil alih perusahaan pembuat mobil Renault karena pemiliknya telah melakukan
kolaborasi dengan pemerintah pendudukan Nazi.
Sisi positif dari nasionalisasi; peran negara yang begitu kuat dalam mengelola aset-aset negara
sehingga hal-hal yang merugikan negara secara ekonomi dan politik dapat dipantau langsung
serta ditanggulangi langsung oleh pemerintah serta dapat menentukan kebijakan yang ekstrim
sekalipun untuk kepentingan negara. Sementara sisi negatifnya, sebagaimana diketahui
nasionalisasi selalu kurang dengan aroma-aroma kompetitif yang dapat meningkatkan serta
mendongkrak perusahaan-perusahaan agar lebih baik kualitasnya.
Sedangkan, privatisasi (istilah lain yaitu: denasionalisasi) adalah proses
pengalihan kepemilikan dari milik umum menjadi milik pribadi. Lawan dari privatisasi
adalah nasionalisasi. Privatisasi sering diasosiasikan dengan perusahaan berorientasi jasa atau
industri, seperti pertambangan, manufaktur atau energi, meski dapat pula diterapkan pada aset
apa saja, seperti tanah, jalan, atau bahkan air.
Secara teori, privatisasi membantu terbentuknya pasar bebas, mengembangnya kompetisi
kapitalis, yang oleh para pendukungnya dianggap akan memberikan harga yang lebih
kompetitif kepada publik. Sebaliknya, para sosialis menganggap privatisasi sebagai hal yang
negatif, karena memberikan layanan penting untuk publik kepada sektor privat akan
menghilangkan kontrol publik dan mengakibatkan kualitas layanan yang buruk, akibat
penghematan-penghematan yang dilakukan oleh perusahaan dalam mendapatkan profit.
Contoh privatisasi yaitu Privatisasi pemerintah terhadap PT Indosat. Hal ini tampaknya
mulai mendapat resistensi yang kuat dari publik. Bukan saja penolakan oleh sejumlah
pengamat ekonomi dan unjuk rasa termasuk mogok kerja yang telah dan akan dilakukan
karyawan Indosat berikut rencana mereka untuk mengadukan Menneg BUMN ke polisi, tetapi
juga resistensi politik baik secara individual (seperti yang tunjukkan oleh Amien Rais) atau
secara kolektif seperti pengaduan Menneg BUMN oleh Fraksi Reformasi ke polisi atau
bahkan yang terkini rencana sejumlah anggota DPR untuk mengajukan interpelasi terhadap
pemerintah. Mengapa resistensi ini terjadi? Menurut pengamatan saya ada dua sumber
penyebabnya yakni berkaitan dengan distorsi misi dari program privatisasi dan aspek
dukungan, serta akseptabilitas dari sebuah kebijakan publik yang tidak tuntas.
Apabila nasionalisasi membawa banyak dampak positif, sebaliknya, privatisasi yang sangat
kental dengan aroma kompetisi dan persaingan yang sengit dengan sendirinya akan
menciptakan situasi yang kempetitif sehingga dapat menghasilkan sesuatu yang berkualitas
serta bermanfaat bagi suatu negara. Namun sisi negatifnya juga tidak kalah hebatnya,
kekuatan negara dalam mengontrol perusahaan-perusahaan yang ada terutama yang
menyangkut hajat hidup orang banyak secara perlahan terkikis dan sangat berpotensi hilang
sama sekali.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Nasionalisasi

Nasionalisasi adalah proses dimana negara mengambil alih kepemilikan suatu perusahaan milik
swasta atau asing. Apabila suatu perusahaan dinasionalisasi, negara yang bertindak suatu
pembuat keputusan. Selain itu para pegawainya menjadi pegawai negeri. Lawan dari
nasionalisasi adalah privatisasi.

1.Tujuan Nasionalisasi

a. Untuk memajukan pengusaha pribumi


b. Agar para pengusaha pribumi bekerja sama untuk memajukan ekonomi nasional.
c. Menumbuhkan dan mengembangkan pengusaha pribumi untuk merubah sistem ekonomi
kolonial menjadi sistem ekonomi nasional.
d. Melakukan kerja antara pengusaha pribumi dengan pengusaha asing.

B. Pengertian Privatisasi

Terdapat banyak definisi yang diberikan oleh para pakar berkenaan dengan istilah privatisasi.
Beberapa pakar bahkan mendefinisi privatisasi dalam arti luas, seperti J.A. Kay dan D.J.
Thomson sebagai “…means of changing relationship between the government and private
sector”. Mereka mendefinisikan privatisasi sebagai cara untuk mengubah hubungan antara
pemerintah dan sektor swasta.[1] Sedangkan pengertian privatisasi dalam arti yang lebih sempit
dikemukakan oleh C. Pas, B. Lowes, dan L. Davies yang mengertikan privatisasi sebagai
denasionalisasi suatu industri, mengubahnya dari kepemilikan pemerintah menjadi kepemilikan
swasta.[2]

Istilah privatisasi sering diartikan sebagai pemindahan kepemilikan industri dari pemerintah ke
sektor swasta yang berimplikasi kepada dominasi kepemilikan saham akan berpindah ke
pemegang saham swasta. Privatisasi adalah suatu terminologi yang mencakup perubahan
hubungan antara pemerintah dengan sektor swasta, dimana perubahan yang paling signifikan
adalah adanya disnasionalisasi penjualan kepemilikan publik.[3]

Dari berbagai definisi di atas, dapat diperoleh pengertian bahwa privatisasi adalah pengalihan
aset yang sebelumnya dikuasai oleh negara menjadi milik swasta. Pengertian ini sesuai dengan
yang termaktub dalam Undang-undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang BUMN, yaitu penjualan
saham persero, baik sebagian maupun seluruhnya, kepada pihak lain dalam rangka meningkatkan
kinerja dan nilai perusahaan, memperbesar manfaat bagi negara dan masyarakat, serta
memperluas pemilikan saham oleh masyarakat.[4]

2. Tujuan Privatisasi

Pada dasarnya kebijakan privatisasi ditujukan untuk berbagai aspek harapan, dilihat dari aspek
keuangan, pembenahan internal manajemen (jasa dan organisasi), ekonomi dan politik.[5] Dari
segi keuangan, privatisasi ditujukan untuk meningkatkan penghasilan pemerintah terutama
berkaitan dengan tingkat perpajakan dan pengeluaran publik; mendorong keuangan swasta untuk
ditempatkan dalam investasi publik dalam skema infrastruktur utama; menghapus jasa-jasa dari
kontrol keuangan sektor publik. Tujuan privatisasi dari sisi pembenahan internal manajemen
(jasa dan organisasi) yaitu[6]:

1. Meningkatkan efisiensi dan produktivitas;


2. Mengurangi peran negara dalam pembuatan keputusan;
3. Mendorong penetapan harga komersial, organisasi yang berorientasi pada keuntungan
dan perilaku bisnis yang menguntungkan;
4. Meningkatkan pilihan bagi konsumen.

Dari sisi ekonomi, tujuan privatisasi yaitu[7] :

1. Memperluas kekuatan pasar dan meningkatkan persaingan;


2. Mengurangi ukuran sektor publik dan membuka pasar baru untuk modal swasta.

Tujuan dari segi politik yaitu[8] :

1. Mengendalikan kekuatan asosiasi/perkumpulan bidang usaha bisnis tertentu dan


memperbaiki pasar tenaga kerja agar lebih fleksibel;
2. Mendorong kepemilikan saham untuk individu dan karyawan serta memperluas
kepemilikan kekayaan;
3. Memperoleh dukungan politik dengan memenuhi permintaan industri dan
menciptakan kesempatan lebih banyak akumulasi modal spekulasi;
4. Meningkatkan kemandirian dan individualisme.

Adapun tujuan pelaksanaan privatisasi sebagaimana tercantum dalam Pasal 74 Undang-undang


Nomor 19 Tahun 2003 Tentang BUMN adalah meningkatkan kinerja dan nilai tambah
perusahaan serta meningkatkan peran serta masyarakat dalam pemilikan saham Persero.
Penerbitan peraturan perundangan tentang BUMN dimaksudkan untuk memperjelas landasan
hukum dan menjadi pedoman bagi berbagai pemangku kepentingan yang terkait serta sekaligus
merupakan upaya untuk meningkatkan kinerja dan produktivitas BUMN. Privatisasi bukan
semata-mata kebijakan final, namun merupakan suatu metode regulasi untuk mengatur aktivitas
ekonomi sesuai mekanisme pasar. Kebijakan privatisasi dianggap dapat membantu pemerintah
dalam menopang penerimaan negara dan menutupi defisit APBN sekaligus menjadikan BUMN
lebih efisien dan profitable dengan melibatkan pihak swasta di dalam pengelolaannya sehingga
membuka pintu bagi persaingan yang sehat dalam perekonomian.

3. Metode Privatisasi

Ada beberapa metode yang digunakan oleh suatu negara untuk memprivatisasi BUMN,
diantaranya adalah[9] :
1. Penawaran saham BUMN kepada umum (public offering of shares). Penawaran ini
dapat dilakukan secara parsial maupun secara penuh. Di dalam transaksi ini,
pemerintah menjual sebagian atau seluruh saham kepemilikannya atas BUMN yang
diasumsikan akan tetap beroperasi dan menjadi perusahaan publik. Seandainya
pemerintah hanya menjual sebagian sahamnya, maka status BUMN itu berubah
menjadi perusahaan patungan pemerintah dan swasta. Pendekatan semacam ini
dilakukan oleh pemerintah agar mereka masih dapat mengawasi keadaan manajemen
BUMN patungan tersebut sebelum kelak diserahkan sepenuhnya kepada swasta.
2. Penjualan saham BUMN kepada pihak swasta tertentu (private sale of share). Di
dalam transaksi ini, pemerintah menjual seluruh ataupun sebagian saham
kepemilikannya di BUMN kepada pembeli tunggal yang telah diidentifikasikan atau
kepada pembeli dalam bentuk kelompok tertentu. Privatisasi dapat dilakukan penuh
atau secara sebagian dengan kepemilikan campuran. Transaksinya dapat dilakukan
dalam berbagai bentuk, seperti akuisisi langsung oleh perusahaan lain atau ditawarkan
kepada kelompok tertentu. Cara ini juga sering disebut sebagai penjualan strategis
(strategic sale) dan pembelinya disebut invenstor strategis.
3. Penjualan aktiva BUMN kepada swasta (sale of government organization state-
owned enterprise assets). Pada metode ini, pada dasarnya transaksi adalah penjualan
aktiva, bukan penjualan perusahaan dalam keadaan tetap beroperasi. Biasanya jika
tujuannya adalah untuk memisahkan aktiva untuk kegiatan tertentu, penjualan aktiva
secara terpisah hanya alat untuk penjualan perusahaan secara keseluruhan.
4. Penambahan investasi baru dari sektor swasta ke dalam BUMN (new private
investment in an state-owned enterprise assets). Pada metode ini, pemerintah dapat
menambah modal pada BUMN untuk keperluan rehabilitasi atau ekspansi dengan
memberikan kesempatan kepada sektor swasta untuk menambah modal. Dalam
metode ini, pemerintah sama sekali tidak melepas kepemilikannya, tetapi dengan
tambahan modal swasta, maka kepemilikan pemerintah mengalami dilusi(pengikisan).
Dengan demikian, BUMN itu berubah menjadi perusahaan patungan swasta dengan
pemerintah. Apabila pemilik saham mayoritasnya adalah swasta, maka BUMN itu
telah berubah statusnya menjadi milik swasta.
5. Pembelian BUMN oleh manajemen atau karyawan (management/employee buy
out). Metode ini dilakukan dengan memberikan hak kepada manajemen atau karyawan
perusahaan untuk mengambil alih kekuasaan atau pengendalian perusahaan. Keadaan
ini biasanya terkait dengan perusahaan yang semestinya dapat efektif dikelola oleh
sebuah manjemen, namun karena campur tangan pemerintah membuat kinerja tidak
optimal.

Dari beberapa cara tersebut, UU Nomor 19 Tahun 2003 Tentang BUMN di dalam pasal 78 hanya
membolehkan tiga cara dalam privatisasi yakni :

1. Penjualan saham berdasarkan ketentuan pasar modal.


2. Penjualan saham langsung kepada investor.
3. Penjualan saham kepada manajemen dan/atau karyawan yang bersangkutan.
4. Pro-Kontra Mengenai Privatisasi

Sebagai sebuah kebijakan yang menyangkut kepentingan publik, program privatisasi masih
disikapi secara pro dan kontra. Berikut ini akan diuraikan mengenai alasan-alasan yang
menyebabkan terjadinya pro dan kontra tersebut.

Alasan-Alasan Yang Mendukung Privatisasi

a. Peningkatan efisiensi, kinerja dan produktivitas perusahaan yang diprivatisasi

BUMN sering dilihat sebagai sosok unit pekerja yang tidak efisien, boros, tidak professional
dengan kinerja yang tidak optimal, dan penilaian-penilaian negatif lainnya. Beberapa faktor yang
sering dianggap sebagai penyebabnya adalah kurangnya atau bahkan tidak adanya persaingan di
pasar produk sebagai akibat proteksi pemerintah atau hak monopoli yang dimiliki oleh BUMN.
tidak adanya persaingan ini mengakibatkan rendahnya efisiensi BUMN.[10]

Hal ini akan berbeda jika perusahaan itu diprivatisasi dan pada saat yang bersamaan didukung
dengan peningkatan persaingan efektif di sektor yang bersangkutan, semisal meniadakan
proteksi perusahaan yang diprivatisasi. Dengan adanya disiplin persaingan pasar akan memaksa
perusahaan untuk lebih efisien. Pembebasan kendali dari pemerintah juga memungkinkan
perusahaan tersebut lebih kompetitif untuk menghasilkan produk dan jasa bahkan dengan
kualitas yang lebih baik dan sesuai dengan konsumen. Selanjutnya akan membuat penggunaan
sumber daya lebih efisien dan meningkatkan output ekonomi secara keseluruhan.[11]

b. Mendorong perkembangan pasar modal

Privatisasi yang berarti menjual perusahaan negara kepada swasta dapat membantu terciptanya
perluasan kepemilikan saham, sehingga diharapkan akan berimplikasi pada perbaikan distribusi
pendapatan dan kesejahteraan masyarakat.[12] Privatisasi juga dapat mendorong perusahaan baru
yang masuk ke pasar modal dan reksadana. Selain itu, privatisasi BUMN dan infrastruktur
ekonomi dapat mengurangi defisit dan tekanan inflasi yang selanjutnya mendukung
perkembangan pasar modal.[13]

c. Meningkatkan pendapatan baru bagi pemerintah

Secara umum, privatisasi dapat mendatangkan pemasukan bagi pemerintah yang berasal dari
penjualan saham BUMN. Selain itu, privatisasi dapat mengurangi subsidi pemerintah yang
ditujukan kepada BUMN yang bersangkutan. Juga dapat meningkatkan penerimaan pajak dari
perusahaan yang beroperasi lebih produktif dengan laba yang lebih tinggi. Dengan demikian,
privatisasi dapat menolong untuk menjaga keseimbangan anggaran pemerintah sekaligus
mengatasi tekanan inflasi.

Alasan-Alasan Yang Menolak Program Privatisasi

Beberapa alasan yang diajukan oleh pihak yang mendukung program privatisasi sebagaimana
telah dipaparkan di atas, dinilai tidak tepat oleh pihak-pihak yang kontra. Alasan bahwa
privatisasi bertujuan untuk meningkatkan efisiensi dan kinerja perusahaan yang diprivatisasi
dianggap tidak sesuai dengan fakta. Sebab jika itu yang menjadi motifnya, maka seharusnya
yang diprivatisasi adalah perusahaan-perusahaan yang tidak efisien, produktivitasnya rendah dan
kinerjanya payah. Sehingga dengan diprivatisasi, diharapkan perusahaan tersebut berubah
menjadi lebih efisien, produktivitasnya meningkat, dan kinerjanya menjadi lebih bagus. Padahal,
pada kenyatannya yang diprivatisasi adalah perusahaan yang sehat dan efisien. Jika ada
perusahaan negara yang merugi dan tidak efisien, biasanya disehatkan terlebih dahulu sehingga
menjadi sehat dan mencapai profit, dan setelah itu baru kemudian dijual.[14]

Alasan untuk meningkatkan pendapatan negara juga tidak bisa diterima. Memang ketika terjadi
penjualan aset-aset BUMN itu negara mendapatkan pemasukan. Namun sebagaimana layaknya
penjualan, penerimaan pendapatan itu diiringi dengan kehilangan pemilikan aset-aset tersebut.
Ini berarti negara akan kehilangan salah satu sumber pendapatannya. Akan menjadi lebih
berbahaya jika ternyata pembelinya dari perusahaan asing. Meskipun pabriknya masih
berkedudukan di Indonesia, namun hak atas segala informasi dan bagian dari modal menjadi
milik perusahaan asing.[15]

Dampak Privatisasi BUMN di Indonesia

Dampak kebijakan privatisasi BUMN jelas terlihat pada perubahan kebijakan pemerintah dan
kontrol regulasi. Dimana dapat dikatakan sebagai sarana transisi menuju pasar bebas, aktivitas
ekonomi akan lebih terbuka menuju kekuatan pasar yang lebih kompetitif, dengan adanya
jaminan tidak ada hambatan dalam kompetisi, baik berupa aturan, regulasi maupun subsidi.
Kebijakan privatisasi dikaitkan dengan kebijakan eksternal yang penting seperti tarif, tingkat
nilai tukar, dan regulasi bagi investor asing. Juga menyangkut kebijakan domestik, antara lain
keadaan pasar keuangan, termasuk akses modal, penerapan pajak dan regulasi yang adil, dan
kepastian hukum serta arbitrase untuk mengantisipasi kemungkinan munculnya kasus
perselisihan bisnis.

Dampak lain yang sering dirasakan dari kebijakan privatisasi yaitu menyebarnya kepemilikan
pemerintah kepada swasta, mengurangi sentralisasi kepemilikan pada suatu kelompok atau
konglomerat tertentu. Sebagai sarana transisi menuju pasar bebas, aktivitas ekonomi akan lebih
terbuka menuju kekuatan pasar yang lebih kompetitif, dengan jaminan tidak ada hambatan dalam
kompetisi, baik berupa aturan, regulasi maupun subsidi. Untuk itu diperlukan perombakan
hambatan masuk pasar dan adopsi sebuah kebijakan yang dapat membantu perkembangan dan
menarik investasi swasta dengan memindahkan efek keruwetan dari kepemilikan pemerintah.
Seharusnya program privatisasi ditekankan pada manfaat transformasi suatu monopoli publik
menjadi milik swasta. Hal ini terbatas pada keuntungan ekonomi dan politik. Dengan pengalihan
kepemilikan, salah satu alternatif yaitu dengan pelepasan saham kepada rakyat dan karyawan
BUMN yang bersangkutan dapat ikut melakukan kontrol dan lebih memotivasi kerja para
karyawan karena merasa ikut memilki dan lebih semangat untuk berpartisipasi dalam rangka
meningkatkan kinerja BUMN yang sehat. Hal ini dapat berdampak pada peningkatan
produktivitas karyawan yang berujung pada kenaikan keuntungan.

Privatisasi BUMN di Indonesia mulai dicanangkan pemerintah sejak tahun 1980-an. BUMN-
BUMN yang telah diprivatisasi seperti PT. Telkom (Persero) Tbk., PT. Perusahaan Gas Negara
(Persero) Tbk., PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk., PT. Bank BNI 46 (Persero) Tbk., PT. Indosat
(Persero) Tbk., PT. Aneka Tambang (Persero) Tbk., dan PT. Semen Gresik (Persero) Tbk.,
ternyata mampu membrikan kontribusi yang signifikan terhadap likuiditas dan pergerakan pasar
modal.[16] Kondisi ini membuat semakin kuatnya dorongan untuk melakukan privatisasi secara
lebih luas kepada BUMN-BUMN lainnya. Namun demikian, diketahui pula bahwa terdapat
beberapa BUMN yang tidak menunjukkan perbaikan kinerja terutama 2-3 tahun pertama setelah
diprivatisasi, misalkan pada PT. Indofarma (Persero) Tbk. dan PT. Kimia Farma (Persero) Tbk.
Dimana target privatisasi BUMN masih belum tercapai sepenuhnya[17].

Selain itu, metode privatisasi yang dilakukan pemerintah pun kebanyakan masih berbentuk
penjualan saham kepada pihak swasta. Hal ini menyebabkan uang yang diperoleh dari hasil
penjualan saham-saham BUMN tersebut masuk ke tangan pemerintah, bukannya masuk ke
dalam BUMN untuk digunakan sebagai tambahan pendanaan dalam rangka mengembangkan
usahanya.

Bagi pemerintah hal ini berdampak cukup menguntungkan, karena pemerintah memperoleh
pendapatan penjualan sahamnya, namun sebenarnya bagi BUMN hal ini agak kurang
menguntungkan, karena dengan kepemilikan baru, tentunya mereka dituntut untuk melakukan
berbagai perubahan. Namun, perubahan tersebut kurang diimbangi tambahan dana segar yang
cukup, sebagian besar hanya berasal dari kegiatan-kegiatan operasionalnya terdahulu yang
sebenarnya didapatnya dengan kurang efisien.

Dari segi politis, masih banyak pihak yang kontra terhadap kebijakan privatisasi saham kepada
pihak asing ini. Pasalnya, kebijakan ini dinilai tidak sesuai dengan prinsip-prinsip nasionalisme.
Privatisasi kepada pihak asing dinilai akan menyebabkan terbangnya keuntungan BUMN kepada
pihak asing, bukannya kembali kepada rakyat Indonesia.

2. Kondisi Ideal Untuk Melakukan Privatisasi di Indonesia

Berdasarkan Pasal 33 UUD 1945 ayat (1), maka sistem ekonomi yang dianut Indonesia adalah
sistem ekonomi yang berdasar atas asas kekeluargaan. Konsep sistem ekonomi yang demikian di
Indonesia disebut sebagai konsep Demokrasi Ekonomi. Mubyarto menyebutkan bahwa dalam
konsep demokrasi ekonomi, sistem ekonomi tidak diatur oleh negara melalui perencanaan sentral
(sosialisme), akan tetapi dilaksanakan oleh, dari, dan untuk rakyat.[18] Demokrasi ekonomi
mengutamakan terwujudnya kemakmuran masyarakat (bersama) bukan kemakmuran individu-
individu. Demokrasi ekonomi mengartikan masyarakat harus ikut dalam seluruh proses produksi
dan turut menikmati hasil-hasil produksi yang dijalankan di Indonesia.

Mengacu pada Pasal 33 UUD 1945, tersirat bahwa poin utama dari perekonomian Indonesia
adalah kesejahteraan rakyat. Di sinilah peran demokrasi ekonomi, yaitu sebagai pemandu
pengelolaan BUMN agar dapat memaksimalkan kesejahteraan rakyat. BUMN harus dapat
beroperasi dengan efektif dan efisien, sehingga dapat menyediakan produk-produk vital yang
berkualitas dengan harga yang terjangkau bagi rakyat. Selain itu, BUMN juga harus berupaya
memperbaiki profitabilitasnya, sehingga dapat diandalkan sebagai sumber pendanaan utama bagi
pemerintah, terutama untuk mendanai defisit anggarannya. Hal ini akan sangat berpengaruh pada
kesejahteraan rakyat, karena BUMN tidak lain adalah pengelola sumber daya yang vital bagi
hajat hidup rakyat banyak, sehingga tentu akan sangat merugikan rakyat jika BUMN jatuh
bangrut atau pailit.
Praktik privatisasi BUMN yang belakangan marak dilakukan oleh pemerintah Indonesia
dianggap sebagai jalan keluar yang paling baik untuk melaksanakan amanat demokrasi ekonomi
untuk menyehatkan BUMN-BUMN di Indonesia dalam rangka peningkatan dan pemerataan
kesejahteraan rakyat. Pada beberapa BUMN, ada yang diprivatisasi oleh pihak asing, bahkan
dalam jumlah kepemilikan saham yang cukup signfikan.[19] Privatisasi BUMN kepada pihak
asing ini dinilai “menggadaikan” nasionalisme Indonesia. Selain itu, BUMN tidak lain adalah
pihak yang diberikan wewenang khusus untuk mengelola sumber daya vital yang meemgang
hajat hidup orang banyak. Menurut Pasal 33 UUD 1945, sumber daya yang seperti demikian itu
harus dikelola oleh negara.

Dilihat dari sudut pandang Pasal 33 UUD 1945, tampak bahwa sebenarnya privatisasi BUMN
kepada pihak asing agak kontradiktif dengan jiwa pasal ini. Pihak asing yang bersangkutan jelas
bertindak atas nama swasta yang tentu saja bertindak dengan didorong oleh maksud dan motif
hanya untuk mencari keuntungan yang maksimal. Jika demikian yang terjadi, BUMN yang
diprivatisasi kepada pihak asing hanya akan menjadi keuntungan bagi pihak asing, sehingga
dapat dikatakan manfaatnya akan berpindah kepada pihak asing, bukannya ke rakyat Indonesia.

Diantara sekian banyak alternatif metode privatisasi, yang paling sering digunakan antara lain
adalah penawaran saham BUMN kepada umum (public offering of shares) yaitu privatisasi
dengan melakukan penjualan saham kepada pihak swasta melalui pasar modal, penjualan saham
BUMN kepada pihak swasta tertentu (private sale of share) yaitu penjualan saham BUMN
kepada satu atau sekelompok investor swasta, dan melalui pembelian BUMN oleh manajemen
atau karyawan (management/employee buy out) yaitu penjualan saham BUMN kepada pihak
karyawan atau manajemen BUMN.

Pilihan model privatisasi mana yang sesuai dengan iklim perekonomian, politik dan sosial
budaya Indonesia haruslah mempertimbangkan faktor-faktor seperti[20] :

1. Ukuran nilai privatisasi ;


2. Kondisi kesehatan keuangan tiga tahun terakhir ;
3. Waktu yang tersedia bagi BUMN untuk melakukan privatisasi ;
4. Kondisi pasar ;
5. Status perusahaan, apakah telah go public atau belum ; dan
6. Rencana jangka panjang masing-masing BUMN.

Diantara tiga metode privatisasi BUMN yang sering digunakan seperti yang telah dikemukakan
di atas, yang dianggap relatif sesuai dengan kondisi BUMN dewasa ini adalah penawaran saham
BUMN kepada umum dan pembelian BUMN oleh manajemen atau karyawan. Pasalnya, dengan
metode penjualan saham BUMN kepada pihak swasta tertentu berarti akan ada pemusatan
kepemilikan pada satu atau sekelompok pihak swasta saja. Hal ini kurang sesuai dengan jiwa
demokrasi ekonomi yang menghendaki pemerataan kesejahteraaan. Selain itu, pemusatan
kepemilikan pada satu atau sekelompok pihak atas BUMN akan sangat berbahaya jika pihak
yang bersangkutan mengeksploitisir BUMN untuk kepentingan keuntungan semata.
Dengan penawaran saham BUMN kepada umum, maka kepemilikan BUMN akan jatuh ke
tangan rakyat. Hal ini sesuai dengan jiwa demokrasi ekonomi. Karena dengan demikian, maka
akan dapat dicapai pemerataan kesejahteraan kepada rakyat Indonesia melalui pemerataan saham
pada publik. Sedangkan dengan pembelian BUMN oleh manajemen atau karyawan, pemerataan
pun dapat dicapai. Akan tetapi, pemerataan kepemilikan hanya akan terjadi pada karyawan dan
manajemen BUMN. Namun cara ini masih dianggap lebih baik daripada kepemilikan BUMN
jatuh ke tangan pihak asing.

Selama ini, praktik privatisasi yang dilakukan di Indonesia masih dianggap kurang optimal.
Idealnya, sebelum diprivatisasi, BUMN yang kurang sehat sebaiknya direstrukturisasi terlebih
dahulu, sehinga pasca privatisasi nanti, kinerja BUMN yang bersangkutan dapat mengalami
peningkatan.

Landasan hukum privatisasi juga hrus kuat, sehingga saat sebuah BUMN diprivatisasi, tidak ada
lagi kontroversi yang sifatnya merugikan. Sedangkan dari segi politis, harus ada kesepahaman
antara segenap rakyat, pemerintah dan para pengambil kebijakan publik, sehingga semuanya
sepakat bahwa privatisasi akan membawa dampak positif bagi kesejahteraan rakyat, sehingga
kebijakan privatisasi pun didukung oleh semua pihak.

Pelaksanaan privatisasi yang belum optimal ini harus segera ditindak lanjuti. Karena sebenarnya,
kebijakan ini sangat terkait dengan kebijakan publik pemerintah yang notabene akan menentukan
nasib rakyat Indonesia. Padahal, jika program ini dilaksanakan dengan baik, maka akan mampu
membawa dampak positif bagi semua pihak. Bagi BUMN itu sendiri, akan tercapai efisiensi dan
perbaikan kinerja manejemen. Bagi pemerintah, privatisasi BUMN yang optimal akan sangat
membantu dalam mendanai defisit anggaran negara, sehingga pemerintah dapat meminimalkan
pinjaman luar negeri. Akhirnya bagi rakyat Indonesia, keberhasilan privatisasi BUMN akan
memperbaiki dan meningkatkan kesejahteraan rakyat karena BUMN sebagai pengelola bidang-
bidang usaha vital dapat lebih memanfaatkan sumber daya vital tersebut untuk sebaik-baik
kemakmuran rakyat seperti yang tercantum dalam Pasal 33 UUD 1945.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Dampak kebijakan privatisasi BUMN jelas terlihat pada perubahan kebijakan


pemerintah dan kontrol regulasi seperti tarif, tingkat nilai tukar, dan regulasi bagi
investor asing. Juga menyangkut kebijakan domestik, antara lain keadaan pasar
keuangan, termasuk akses modal, penerapan pajak dan regulasi yang adil, dan
kepastian hukum serta arbitrase untuk mengantisipasi kemungkinan munculnya kasus
perselisihan bisnis. Dampak lain yang sering dirasakan dari kebijakan privatisasi yaitu
menyebarnya kepemilikan pemerintah kepada swasta.
2. Diantara tiga metode privatisasi BUMN yang sering digunakan, yang dianggap relatif
sesuai dengan kondisi BUMN dewasa ini adalah penawaran saham BUMN kepada
umum dan pembelian BUMN oleh manajemen atau karyawan. Pasalnya, dengan
metode penjualan saham BUMN kepada pihak swasta tertentu berarti akan ada
pemusatan kepemilikan pada satu atau sekelompok pihak swasta saja. Hal ini kurang
sesuai dengan jiwa demokrasi ekonomi yang menghendaki pemerataan kesejahteraaan.

B. Saran

Dalam penyusunan makalah ini tentunya masih banyak terdapat kekurangan untuk
itu saran dan kritiknya sangat di perlukan.

Anda mungkin juga menyukai