Disusun oleh:
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan Rahmat, Inayah, Taufik dan Hinayahnya
sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini yang berjudul ‘Privatisasi BUMN di Indonesia’ dalam
bentuk maupun isinya yang sangat sederhana. Semoga laporan ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan,
petunjuk maupun pedoman bagi pembaca.
Harapan kami semoga laporan ini membantu menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca,
sehingga kami dapat memperbaiki bentuk maupun isi makalah ini sehingga kedepannya dapat lebih baik.
Laporan ini kami akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang kami miliki sangat kurang. Oleh kerena
itu kami harapkan kepada para pembaca untuk memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun untuk
kesempurnaan laporan ini.
Tim Penyusun
DAFTAR ISI
Pemerintah Indonesia mendirikan BUMN dengan dua tujuan utama, yaitu tujuan yang bersifat ekonomi dan tujuan
yang bersifat sosial. Dalam tujuan yang bersifat ekonomi, BUMN dimaksudkan untuk mengelola sektor-sektor bisnis
strategis agar tidak dikuasai pihak-pihak tertentu. Bidang-bidang usaha yang menyangkut hajat hidup orang banyak,
seperti perusahaan listrik, minyak dan gas bumi, sebagaimana diamanatkan dalam pasal 33 UUD 1945, seyogyanya
dikuasai oleh BUMN. Dengan adanya BUMN diharapkan dapat terjadi peningkatan kesejahteraan masyarakat,
terutama masyarakat yang berada di sekitar lokasi BUMN. Tujuan BUMN yang bersifat sosial antara lain dapat dicapai
melalui penciptaan lapangan kerja serta upaya untuk membangkitkan perekonomian lokal. Penciptaan lapangan kerja
dicapai melalui perekrutan tenaga kerja oleh BUMN. Upaya untuk membangkitkan perekonomian lokal dapat dicapai
dengan jalan mengikut-sertakan masyarakat sebagai mitra kerja dalam mendukung kelancaran proses kegiatan
usaha. Hal ini sejalan dengan kebijakan pemerintah untuk memberdayakan usaha kecil, menengah dan koperasi yang
Namun dalam kurun waktu 50 tahun semenjak BUMN dibentuk, BUMN secara umum belum menunjukkan kinerja
yang menggembirakan. Perolehan laba yang dihasilkan masih sangat rendah. Sementara itu, saat ini Pemerintah
Indonesia masih harus berjuang untuk melunasi pinjaman luar negeri yang disebabkan oleh krisis ekonomi tahun 1997
lalu. Dan salah satu upaya yang ditempuh pemerintah untuk dapat meningkatkan pendapatannya adalah dengan
Namun demikian, privatisasi BUMN telah mengundang pro dan kontra di kalangan masyarakat. Sebagian
masyarakat berpendapat bahwa BUMN adalah aset negara yang harus tetap dipertahankan kepemilikannya oleh
pemerintah, walaupun tidak mendatangkan manfaat karena terus merugi. Namun ada pula kalangan masyarakat yang
berpendapat bahwa pemerintah tidak perlu sepenuhnya memiliki BUMN, yang penting BUMN tersebut dapat
mendatangkan manfaat yang lebih baik bagi negara dan masyarakat Indonesia.
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka masalah yang akan dibahas di dalam makalah ini
adalah :
Terdapat banyak definisi yang diberikan oleh para pakar berkenaan dengan istilah privatisasi. Beberapa pakar
bahkan mendefinisi privatisasi dalam arti luas, seperti J.A. Kay dan D.J. Thomson sebagai “…means of changing
relationship between the government and private sector”. Mereka mendefinisikan privatisasi sebagai cara untuk
mengubah hubungan antara pemerintah dan sektor swasta.[1] Sedangkan pengertian privatisasi dalam arti yang lebih
sempit dikemukakan oleh C. Pas, B. Lowes, dan L. Davies yang mengertikan privatisasi sebagai denasionalisasi suatu
Istilah privatisasi sering diartikan sebagai pemindahan kepemilikan industri dari pemerintah ke sektor swasta yang
berimplikasi kepada dominasi kepemilikan saham akan berpindah ke pemegang saham swasta. Privatisasi adalah
suatu terminologi yang mencakup perubahan hubungan antara pemerintah dengan sektor swasta, dimana perubahan
Dari berbagai definisi di atas, dapat diperoleh pengertian bahwa privatisasi adalah pengalihan aset yang
sebelumnya dikuasai oleh negara menjadi milik swasta. Pengertian ini sesuai dengan yang termaktub dalam Undang-
undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang BUMN, yaitu penjualan saham persero, baik sebagian maupun seluruhnya,
kepada pihak lain dalam rangka meningkatkan kinerja dan nilai perusahaan, memperbesar manfaat bagi negara dan
Pada dasarnya kebijakan privatisasi ditujukan untuk berbagai aspek harapan, dilihat dari aspek keuangan,
pembenahan internal manajemen (jasa dan organisasi), ekonomi dan politik.[5] Dari segi keuangan, privatisasi
ditujukan untuk meningkatkan penghasilan pemerintah terutama berkaitan dengan tingkat perpajakan dan
pengeluaran publik; mendorong keuangan swasta untuk ditempatkan dalam investasi publik dalam skema infrastruktur
utama; menghapus jasa-jasa dari kontrol keuangan sektor publik. Tujuan privatisasi dari sisi pembenahan internal
3. Mendorong penetapan harga komersial, organisasi yang berorientasi pada keuntungan dan perilaku bisnis yang
menguntungkan;
2. Mengurangi ukuran sektor publik dan membuka pasar baru untuk modal swasta.
Tujuan dari segi politik yaitu[8] :
1. Mengendalikan kekuatan asosiasi/perkumpulan bidang usaha bisnis tertentu dan memperbaiki pasar tenaga kerja
2. Mendorong kepemilikan saham untuk individu dan karyawan serta memperluas kepemilikan kekayaan;
3. Memperoleh dukungan politik dengan memenuhi permintaan industri dan menciptakan kesempatan lebih banyak
Adapun tujuan pelaksanaan privatisasi sebagaimana tercantum dalam Pasal 74 Undang-undang Nomor 19 Tahun
2003 Tentang BUMN adalah meningkatkan kinerja dan nilai tambah perusahaan serta meningkatkan peran serta
masyarakat dalam pemilikan saham Persero. Penerbitan peraturan perundangan tentang BUMN dimaksudkan untuk
memperjelas landasan hukum dan menjadi pedoman bagi berbagai pemangku kepentingan yang terkait serta
sekaligus merupakan upaya untuk meningkatkan kinerja dan produktivitas BUMN. Privatisasi bukan semata-mata
kebijakan final, namun merupakan suatu metode regulasi untuk mengatur aktivitas ekonomi sesuai mekanisme pasar.
Kebijakan privatisasi dianggap dapat membantu pemerintah dalam menopang penerimaan negara dan menutupi
defisit APBN sekaligus menjadikan BUMN lebih efisien dan profitable dengan melibatkan pihak swasta di dalam
pengelolaannya sehingga membuka pintu bagi persaingan yang sehat dalam perekonomian.
Ada beberapa metode yang digunakan oleh suatu negara untuk memprivatisasi BUMN, diantaranya adalah[9] :
Penawaran saham BUMN kepada umum (public offering of shares). Penawaran ini dapat dilakukan secara
parsial maupun secara penuh. Di dalam transaksi ini, pemerintah menjual sebagian atau seluruh saham
kepemilikannya atas BUMN yang diasumsikan akan tetap beroperasi dan menjadi perusahaan publik. Seandainya
pemerintah hanya menjual sebagian sahamnya, maka status BUMN itu berubah menjadi perusahaan patungan
pemerintah dan swasta. Pendekatan semacam ini dilakukan oleh pemerintah agar mereka masih dapat mengawasi
keadaan manajemen BUMN patungan tersebut sebelum kelak diserahkan sepenuhnya kepada swasta.
Penjualan saham BUMN kepada pihak swasta tertentu (private sale of share). Di dalam transaksi ini,
pemerintah menjual seluruh ataupun sebagian saham kepemilikannya di BUMN kepada pembeli tunggal yang telah
diidentifikasikan atau kepada pembeli dalam bentuk kelompok tertentu. Privatisasi dapat dilakukan penuh atau
secara sebagian dengan kepemilikan campuran. Transaksinya dapat dilakukan dalam berbagai bentuk, seperti
akuisisi langsung oleh perusahaan lain atau ditawarkan kepada kelompok tertentu. Cara ini juga sering disebut
sebagai penjualan strategis (strategic sale) dan pembelinya disebut invenstor strategis.
Penjualan aktiva BUMN kepada swasta (sale of government organization state-owned enterprise assets). Pada
metode ini, pada dasarnya transaksi adalah penjualan aktiva, bukan penjualan perusahaan dalam keadaan tetap
beroperasi. Biasanya jika tujuannya adalah untuk memisahkan aktiva untuk kegiatan tertentu, penjualan aktiva
enterprise assets). Pada metode ini, pemerintah dapat menambah modal pada BUMN untuk keperluan rehabilitasi
atau ekspansi dengan memberikan kesempatan kepada sektor swasta untuk menambah modal. Dalam metode ini,
pemerintah sama sekali tidak melepas kepemilikannya, tetapi dengan tambahan modal swasta, maka kepemilikan
pemerintah mengalami dilusi (pengikisan). Dengan demikian, BUMN itu berubah menjadi perusahaan patungan
swasta dengan pemerintah. Apabila pemilik saham mayoritasnya adalah swasta, maka BUMN itu telah berubah
Pembelian BUMN oleh manajemen atau karyawan (management/employee buy out). Metode ini dilakukan
dengan memberikan hak kepada manajemen atau karyawan perusahaan untuk mengambil alih kekuasaan atau
pengendalian perusahaan. Keadaan ini biasanya terkait dengan perusahaan yang semestinya dapat efektif dikelola
oleh sebuah manjemen, namun karena campur tangan pemerintah membuat kinerja tidak optimal.
Dari beberapa cara tersebut, UU Nomor 19 Tahun 2003 Tentang BUMN di dalam pasal 78 hanya membolehkan
Sebagai sebuah kebijakan yang menyangkut kepentingan publik, program privatisasi masih disikapi secara pro
dan kontra. Berikut ini akan diuraikan mengenai alasan-alasan yang menyebabkan terjadinya pro dan kontra
tersebut.
BUMN sering dilihat sebagai sosok unit pekerja yang tidak efisien, boros, tidak professional dengan
kinerja yang tidak optimal, dan penilaian-penilaian negatif lainnya. Beberapa faktor yang sering dianggap
sebagai penyebabnya adalah kurangnya atau bahkan tidak adanya persaingan di pasar produk sebagai
akibat proteksi pemerintah atau hak monopoli yang dimiliki oleh BUMN. tidak adanya persaingan ini
Hal ini akan berbeda jika perusahaan itu diprivatisasi dan pada saat yang bersamaan didukung dengan
peningkatan persaingan efektif di sektor yang bersangkutan, semisal meniadakan proteksi perusahaan yang
diprivatisasi. Dengan adanya disiplin persaingan pasar akan memaksa perusahaan untuk lebih efisien.
Pembebasan kendali dari pemerintah juga memungkinkan perusahaan tersebut lebih kompetitif untuk
menghasilkan produk dan jasa bahkan dengan kualitas yang lebih baik dan sesuai dengan konsumen.
Selanjutnya akan membuat penggunaan sumber daya lebih efisien dan meningkatkan output ekonomi
secara keseluruhan.[11]
Privatisasi yang berarti menjual perusahaan negara kepada swasta dapat membantu terciptanya
perluasan kepemilikan saham, sehingga diharapkan akan berimplikasi pada perbaikan distribusi pendapatan
dan kesejahteraan masyarakat.[12] Privatisasi juga dapat mendorong perusahaan baru yang masuk ke
pasar modal dan reksadana. Selain itu, privatisasi BUMN dan infrastruktur ekonomi dapat mengurangi defisit
Secara umum, privatisasi dapat mendatangkan pemasukan bagi pemerintah yang berasal dari penjualan
saham BUMN. Selain itu, privatisasi dapat mengurangi subsidi pemerintah yang ditujukan kepada BUMN
yang bersangkutan. Juga dapat meningkatkan penerimaan pajak dari perusahaan yang beroperasi lebih
produktif dengan laba yang lebih tinggi. Dengan demikian, privatisasi dapat menolong untuk menjaga
Beberapa alasan yang diajukan oleh pihak yang mendukung program privatisasi sebagaimana telah
dipaparkan di atas, dinilai tidak tepat oleh pihak-pihak yang kontra. Alasan bahwa privatisasi bertujuan untuk
meningkatkan efisiensi dan kinerja perusahaan yang diprivatisasi dianggap tidak sesuai dengan fakta. Sebab jika
itu yang menjadi motifnya, maka seharusnya yang diprivatisasi adalah perusahaan-perusahaan yang tidak
efisien, produktivitasnya rendah dan kinerjanya payah. Sehingga dengan diprivatisasi, diharapkan perusahaan
tersebut berubah menjadi lebih efisien, produktivitasnya meningkat, dan kinerjanya menjadi lebih bagus. Padahal,
pada kenyatannya yang diprivatisasi adalah perusahaan yang sehat dan efisien. Jika ada perusahaan negara
yang merugi dan tidak efisien, biasanya disehatkan terlebih dahulu sehingga menjadi sehat dan mencapai profit,
Alasan untuk meningkatkan pendapatan negara juga tidak bisa diterima. Memang ketika terjadi penjualan
aset-aset BUMN itu negara mendapatkan pemasukan. Namun sebagaimana layaknya penjualan, penerimaan
pendapatan itu diiringi dengan kehilangan pemilikan aset-aset tersebut. Ini berarti negara akan kehilangan salah
satu sumber pendapatannya. Akan menjadi lebih berbahaya jika ternyata pembelinya dari perusahaan asing.
Meskipun pabriknya masih berkedudukan di Indonesia, namun hak atas segala informasi dan bagian dari modal
Menurut GBHN, kekuatan perekonomian Indonesia pada dasarnya dapat digolongkan dalam tiga sektor
pemerintah (BUMN) dan koperasi. Ketiga sektor ini diharapkan dapat berkembang dengan harmonis atau dengan
selaras, serasi dan seimbang sehingga mampu meningkatkan taraf hidup masyarakat.
Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan RI No. 740/KMK 00/1989 yang dimaksud Badan Usaha Milik Negara
(BUMN) adalah : Badan usaha yang seluruh modalnya dimiliki Negara (Pasal 1 ayat 2a), atau badan usaha yang
tidak seluruh sahamnya dimiliki Negara tetapi statusnya disamakan dengan BUMN yaitu (Pasal 1 ayat 2b)
3. BUMN yang merupakan badan-badan usaha patungan dengan swasta nasional/asing dimana Negara memiliki
Terlepas dari namanya yang berbeda-beda, BUMN sudah ada di Indonesia sejak zaman perang. Setelah
kemerdekaan maka bidang yang dicakupi oleh BUMN pun bertambah banyak, antara lain karena Pasal 33 UUD
1945 mengamankan, bahwa “cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup
orang banyak dikuasai oleh Negara”. Tetapi memang ada kebutuhan ekonomi yang nyata untuk kehadiran BUMN
Melalui UU 1/1967, secara resmi pemodal asing dapat menginvestasikan modalnya di Indonesia dengan
keringanan pajak. Sektor-sektor pertambangan dikelola oleh perusahaan Amerika cs (Inggris, Prancis dkk).
Sementara itu, pemerintah Soeharto masih mempertahankan sektor-sektor penting bagi negara. Kemudian muncul
Perusahaan nasional adalah perusahaan yang sekurang- kurangnya 51% daripada modal dalam negeri yang
ditanam didalammnya dimiliki oleh Negara dan atau, swasta nasional Persentase itu senantiasa harus ditingkatkan
sehingga pada tanggal 1 Januari 1974 menjadi tidak kurang dari 75%. Perusahaan asing adalah perusahaan yang
Dengan adanya pasal itu, maka asing diperbolehkan untuk memiliki perusahaan strategis negara yang
menguasai hajat hidup orang banyak. Inilah cikal bakal privatisasi di bumi Indonesia yang tujuan awalnya mulia
yakni membangkitkan ekonomi negara ditengah minimnya modal dalam negeri. Disisi lain, privatisasi kepemilikan
perusahaan negara kepada rakyatnya (bukan kepada saing) secara tidak langsung memang merupakan
implementasi dari ekonomi kekeluargaan (koperasi). Jadi sejarah privatisasi pertama kali di Indonesia adalah ketika
Di Indonesia, istilah privatisasi sebelumnya dikenal dengan nama “swastanisasi”, baru setelah berdiri Kantor
Menteri (Negara) BUMN, istilah ini menjadi sangat popular. Istilah ini berkenaan dengan gagasan, kebijakan dan
program yang sangat luas cakupannya. Secara makro, privatisasi berarti pengurangan peran Negara dalam
kegiatan bisnis. Dalam sisi mikro, privatisasi berarti transfer kepemilikan Negara kepada masyarakatnya (Moeljono,
2004 : 49).
Alasan dilakukannya privatisasi adalah karena pudarnya keyakinan terhadap teori negara kesejahteraan seperti
yang diperkenalkan oleh John Maynard Keyness (1883-1987) yang juga merupakan arsitek Bank Dunia dan Dana
Moneter Internasional. Premis dasarnya adalah bahwa menyerahkan kepemilikan dan pengelolaan sebagai
kegiatan ekonomi, apalagi yang strategis, kepada Negara adalah sia-sia. Privatisasi seluruh kegiatan ekonomi
adalah jawaban untuk meningkatkan jaminan kesejahteraan masyarakat, karena dengan demikian mereka akan
Secara membudaya, privatisasi BUMN-BUMN strategis Indonesia pertama kali terjadi pada masa Pemerintahan
Soeharto ke-5 yakni tahun 1991. Meskipun cikal bakal privatisasi umum telah diundangkan pada tahun 1968,
namun 1991 menjadi tahun dimana satu persatu perusahaan negara diprivatisasi secara kontinyu.
Atas desakan IMF, pemerintah dipaksa menjual BUMN-BUMN yang cukup potensial di masa-masa mendatang
hanya untuk menutup defisit APBN. Selain menjadi sapi perah pejabat negara, BUMN diobral kepada investor
asing demi mendapatkan utang baru dari IMF cs. Pada pemerintahan Megawati, tim ekonominya yakni Menko
Perekonomian Dorodjatun, Menkeu Boediono, dan Meneg BUMN Laksama Sukardi melakukan privatisasi BUMN
secara cepat (fast-track privatization) hanya untuk menutup anggaran dengan tanpa mempertimbangkan aspek
ekonomis dari BUMN yang bersangkutan. Pilihan menggandeng mitra strategis (melalui strategic sale) dalam
proses privatisasi oleh sebagian pengamat dipandang sebagai tindakan yang merugikan negara.
1. Agar BUMN tersebut lebih maju dan profesional karena jadi swasta (bukan bermental mental pegawai negeri).
4. Hasil privatisasi dapat digunakan untuk membangun BUMN baru atau proyek strategis lain untuk kesejahteraan
rakyat.
Fakta yang terjadi selama ini justru menunjukkan betapa BUMN lebih banyak dijadikan sebagai sapi perahan
buat para pejabat negara yang sedang berkuasa. Dengan penggunaan teori principal-agent maka nuansa politis
sangat kental dalam BUMN, dikarenakan manajemen perusahaan tidak harus tunduk dan loyal kepada pemilik
saham. Berbagai kepentingan politik aktif bermain, yang ujung-ujungnya menyebabkan BUMN tereksploitasi oleh
politisi (Moeljono, 2004 : 51). Celakanya, para petinggi perusahaan itu juga cenderung menikmati perahan tadi dan
mereka juga kebagian hasil yang tidak kecil. Alhasil, kebanyakan BUMN yang ada menjadi sakit dan fakta itu
Kesangsian masyarakat terhadap klaim Megawati atas ekonomi kerakyatan dan perlawanan terhadap
neoliberalisme adalah tindakannya menjual sejumlah badan usaha milik negara. Jika ada beberapa BUMN yang
diprivatisasi di era Habibie dan Gus Dur, maka masuknya tim ekonomi yang sangat patuh pada IMF di
pemerintahan Megawati berhasil memprivatisasi aset-aset strategis negara seperti Telkom, Indosat, PT BNI, PT
Batu Bara Bukit Asam. Penjualan BUMN tersebut dengan harga yang terlalu kecil jika dibanding prospek (2 tahun
kemudian) yang memiliki kinerja yang sangat baik, yang menghasilkan keuntungan yang besar bagi para
pemegang saham. Begitu juga penjualan bank-bank di BPPN dengan sangat murah, dimana hampir di setiap
transaksi merugikan negara triliun rupiah. Inilah salah satu keberhasilan IMF untuk mendikte Indonesia melalui tim
Pada semester pertama pemerintahannya, pemerintahan Megawati sudah menjual 7 BUMN yang masih aktif
mengisi celengan negara Rp 3,5 triliun per tahun. Indosat, Kimia Farma, Indofarma, Indocement Tunggal Prakarsa,
Tambang Batubara Bukit Asam, Angkasa Pura II, dan Wisma Nusantara dilelang tahun itu. Selanjutnya
pemerintahan Megawati juga melego perusahaan telekomunikasi Negara: Telkom. Pemerintah saat itu beralasan
Penjualan PT Indosat dan Telkom paling disoroti masyarakat. Dengan prospek positif industri telekomunikasi di
Indonesia, dua perusahaan raksasa itu sempat mendatangkan keuntungan yang berlimpah. Betapa tidak, saham
kedua perusahaan itu pernah loncat hingga Rp 26,740 triliun. Sayang keuntungan itu justru masuk kantong
Temasek, BUMN Singapura yang menguasai saham Indosat dan Telkom. Berbagai saham BUMN lain yang
strategis berhasil dijual diera Megawati. Sebut saja penjualan saham Perusahaan Gas Negara sebesar Rp 7,34
triliun melampaui dari target semula yaitu Rp 6,5 triliun. Privatisasi Bank Mandiri dengan nilai Rp 2,5 triliun dan
Tidak kurang dari Rp 6 triliun per tahun uang yang diharapkan pemerintahan Megawati dapat masuk dari
penjualan saham-saham BUMN. Laksamana memang ibarat mengejar setoran. Celakanya, ada kalangan
berspekulasi, setoran itu tak cuma disalurkan ke APBN semata, melainkan juga ke sejumlah rekening lain. Yang
jelas, banyak penjualan BUMN, misalnya dalam kasus Indosat, yang lalu dilakukan secara serampangan.
Memang ada juga sejumlah keberhasilan Laksamana dalam pengelolaan BUMN. Kita mendapatkan setoran
dividen 50% dari semua laba BUMN ke APBN. Hasilnya, setiap tahun, pemerintah bisa mendapat suntikan dana
lebih dari Rp 6 triliun. Pemerintah juga bisa mendapat pajak yang cukup besar dari hasil penjualan sebagian BUMN
tersebut. Yang menjadi permasalahan adalah di zaman Laksamana pula, muncul kesan tentang penguasaan
BUMN demi kepentingan partai politik. Makanya, banyak proses privatisasi yang dicurigai mengandung
kepentingan tertentu.
Kebijakan Pemerintah RI untuk menjual aset-aset Badan Usaha Milik Negara (BUMN) bisa dijadikan ajang
untuk pemutihan korupsi oleh para konglomerat yang terlibat korupsi. Jika aset-aset tersebut sudah berpindah ke
tangan asing, maka pemerintah tidak lagi mempunyai kewenangan utuh untuk mengurusi aset tersebut. Oleh
karenanya, para koruptor yang dulunya memiliki saham didalamnya bisa terbebas dari jeratan hukum.
Kebijakan penjualan aset BUMN ke tangan asing tidak mempunyai kekuatan hukum yang kuat., lihat saja dalam
penjualan Indosat, tidak semua anggota DPR setuju. Padahal menurut pasal 23 UUD 1945 disebutkan bahwa
masalah yang menyangkut hajat hidup orang banyak harus mendapat persetujuan dari DPR.
Dengan memiliki Indosat, ST Telemedia ikut mempunyai hak atas PT Satelit Palapa Indonesia (Satelindo) dan
PT Indosat Multi Media Mobile (IM3). Anak-anak perusahaan yang 100% sahamnya dimiliki Indosat itu masing-
masing menguasi sekitar 25% dan 10% pangsa pasar operator ponsel di Indonesia. Dengan demikian, Temasek
Dengan mendominasi pasar, Termasuk berpeluang menggunakan posisi dominannya untuk melakukan
persaingan bisnis secara tidak sehat, keputusan menjual Indosat ke ST Telemedia telah melanggar Undang-
Kerugian yang paling berbahaya dari penjualan PT Indosat, yaitu kedaulatan. Dengan kepemilikan silang
Temasek itu dikhawatirkan dan diduga pihak/pemerintah Singapura dapat mengontrol dan mengetahui akan sistem
keamanan Indonesia bahkan rahasia negara kita dapat dicuri oleh singapura. Ini disebabkan salah satunya karena
Temasek memiliki 41% pada Indosat yang merupakan pemilik satelit kebanggaan kita yaitu satelit Palapa,
sehingga semua informasi dan data-data yang seharusnya menjadi rahasia negara RI dapat diperoleh dengan
mudah oleh singapura serta keamanan nasional (National security) akan kedaulatan kita pun terancam. Keamanan
merupakan perisai bagi setiap bangsa atas ancaman yang datang dari luar maupun dari dalam serta menyangkut
kepada masyarakat yang menjadi penghuni suatu negara (Ceachern, 2001 :419 )
Dari semua kerugian diatas, tenyata dalih Megawati tentang alasan kenapa ia menjual Indosat karena untuk
menghindari monopoli pemerintah terhadap kepemilikan dominan pemerintah pada 2 perusahaan telekomunikasi
tersebut sebelum privatisasi, bukannya untung malah “buntung” jika kita mengacu hanya pada kerugian yang
diterima.
Disini dapat dikatakan bahwa Indonesia mengalami ketergantungan Finansial-Industrial. Melalui teori
depedensi, di Indonesia sudah terjadi penguasaan kekuatan finansial negara satelit (pinggiran) oleh negara pusat
walaupun secara yuridis-politis negara satelit adalah negara merdeka. Penguasaan finansial ini ditentukan oleh
investasi modal asing yang dimiliki pemodal negara maju di negara berkembang dengan modal asing yang
jumlahnya cukup besar bahkan hamper melebihi modal investor domestic, sehingga sirkulasi modal dapat
Lebih lanjut, arah industrialisasi juga ditentukan oleh pemodal asing, sehingga tenaga kerja dalam negeri
tergantung dari industrialisasi tersebut. Tenaga kerja dalam negeri tidak mampu melakukan persaingan dengan
tenaga ahli luar negeri yang didatangkan oleh pemilik modal luar negeri. Ketimpangan ini juga membawa
ketimpangan upah yang diterima oleh pekerja domestik, sehingga upah pekerja tersebut tidak mampu
memanfaatkan sekaligus membesarkanya BUMN strategis sebagai penopang ekonomi khususnya BUMN yang
bergerak disektor hulu ekonomi. Sudah saatnya kita melihat kedalam, jika saja BUMN tidak sehat dan merugi,
maka adalah tugas pemerintah melalui Meneg BUMN untuk merestrukturisasi BUMN tersebut hingga sehat dan
Jika kebijakan privatisasi tetap diteruskan oleh pemerintah, maka prosentase penguasaan asing terhadap aset-
aset negara jelas akan semakin membengkak. Hal ini tentu amat merisaukan, karena berdasarkan analisis
Lembaga Keuangan Morgan Stanley, 10 tahun mendatang BUMN-lah yang akan memegang kendali perekonomian
suatu negara. Hendaknya industri strategis BUMN menjadi tulang punggung perekonomian negara untuk
menyokong sektor hulu ekonomi negara (dimana swasta ikut serta) seperti tertuang dalam UUD 1945.
Dilihat dari teori property rights, esensinya perusahaan swasta dimiliki oleh individu-individu yang bebas untuk
menggunakan, mengelola dan memberdayakan aset-aset privasinya. Konsekuensinya, mereka akan mendorong
habis-habisan usahanya agar efisien. Property rights swasta telah menciptakan insentif bagi terciptanya efisiensi
perusahaan. Sebaliknya, BUMN tidak dimiliki oleh individual, tetapi oleh “Negara”. Dalam realitas, pengertian
“negara” menjadi kabur dan tidak jelas. Jadi, seolah-olah mereka justru seperti “tanpa pemilik”. Akibatnya jelas,
Jika akan memprivatisasi BUMN dengan alasan memberdayakan modal masyarakat, maka hal ini
diperbolehkan dengan syarat saham-sahamnya dijual kepada masyarakat Indonesia dengan menetapkan
maksimum kepemilikan saham sebesar 0.0001% per orang. Jadi, jika sebuah BUMN akan diprivatisasi 25%, maka
setidaknya ada 250,000 (1/4 juta) masyarakat Indonesia yang ikut memiliki BUMN tersebut. Sehingga para
pedagang, guru, pegawai swasta dengan bermodal 1-10 juta dapat memiliki saham BUMN kita secara merata.
Tidak boleh ada yang memiliki saham BUMN lebih dari itu. Inilah setidak-tidaknya mewarnai ekonomi gotong
royong, ekonomi koperasi, alias ekonomi kekeluargaan, bukan dengan melego perusahaan strategis hanya kepada
Dampak kebijakan privatisasi BUMN jelas terlihat pada perubahan kebijakan pemerintah dan kontrol regulasi.
Dimana dapat dikatakan sebagai sarana transisi menuju pasar bebas, aktivitas ekonomi akan lebih terbuka menuju
kekuatan pasar yang lebih kompetitif, dengan adanya jaminan tidak ada hambatan dalam kompetisi, baik berupa
aturan, regulasi maupun subsidi. Kebijakan privatisasi dikaitkan dengan kebijakan eksternal yang penting seperti
tarif, tingkat nilai tukar, dan regulasi bagi investor asing. Juga menyangkut kebijakan domestik, antara lain keadaan
pasar keuangan, termasuk akses modal, penerapan pajak dan regulasi yang adil, dan kepastian hukum serta
Dampak lain yang sering dirasakan dari kebijakan privatisasi yaitu menyebarnya kepemilikan pemerintah kepada
swasta, mengurangi sentralisasi kepemilikan pada suatu kelompok atau konglomerat tertentu. Sebagai sarana
transisi menuju pasar bebas, aktivitas ekonomi akan lebih terbuka menuju kekuatan pasar yang lebih kompetitif,
dengan jaminan tidak ada hambatan dalam kompetisi, baik berupa aturan, regulasi maupun subsidi. Untuk itu
diperlukan perombakan hambatan masuk pasar dan adopsi sebuah kebijakan yang dapat membantu perkembangan
dan menarik investasi swasta dengan memindahkan efek keruwetan dari kepemilikan pemerintah. Seharusnya
program privatisasi ditekankan pada manfaat transformasi suatu monopoli publik menjadi milik swasta. Hal ini
terbatas pada keuntungan ekonomi dan politik. Dengan pengalihan kepemilikan, salah satu alternatif yaitu dengan
pelepasan saham kepada rakyat dan karyawan BUMN yang bersangkutan dapat ikut melakukan kontrol dan lebih
memotivasi kerja para karyawan karena merasa ikut memilki dan lebih semangat untuk berpartisipasi dalam rangka
meningkatkan kinerja BUMN yang sehat. Hal ini dapat berdampak pada peningkatan produktivitas karyawan yang
Privatisasi BUMN di Indonesia mulai dicanangkan pemerintah sejak tahun 1980-an. BUMN-BUMN yang telah
diprivatisasi seperti PT. Telkom (Persero) Tbk., PT. Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk., PT. Bank Mandiri
(Persero) Tbk., PT. Bank BNI 46 (Persero) Tbk., PT. Indosat (Persero) Tbk., PT. Aneka Tambang (Persero) Tbk.,
dan PT. Semen Gresik (Persero) Tbk., ternyata mampu memberikan kontribusi yang signifikan terhadap likuiditas
dan pergerakan pasar modal.[16] Kondisi ini membuat semakin kuatnya dorongan untuk melakukan privatisasi
secara lebih luas kepada BUMN-BUMN lainnya. Namun demikian, diketahui pula bahwa terdapat beberapa BUMN
yang tidak menunjukkan perbaikan kinerja terutama 2-3 tahun pertama setelah diprivatisasi, misalkan pada PT.
Indofarma (Persero) Tbk. dan PT. Kimia Farma (Persero) Tbk. Dimana target privatisasi BUMN masih belum tercapai
sepenuhnya[17].
Selain itu, metode privatisasi yang dilakukan pemerintah pun kebanyakan masih berbentuk penjualan saham
kepada pihak swasta. Hal ini menyebabkan uang yang diperoleh dari hasil penjualan saham-saham BUMN tersebut
masuk ke tangan pemerintah, bukannya masuk ke dalam BUMN untuk digunakan sebagai tambahan pendanaan
Bagi pemerintah hal ini berdampak cukup menguntungkan, karena pemerintah memperoleh pendapatan
penjualan sahamnya, namun sebenarnya bagi BUMN hal ini agak kurang menguntungkan, karena dengan
kepemilikan baru, tentunya mereka dituntut untuk melakukan berbagai perubahan. Namun, perubahan tersebut
kurang diimbangi tambahan dana segar yang cukup, sebagian besar hanya berasal dari kegiatan-kegiatan
Dari segi politis, masih banyak pihak yang kontra terhadap kebijakan privatisasi saham kepada pihak asing ini.
Pasalnya, kebijakan ini dinilai tidak sesuai dengan prinsip-prinsip nasionalisme. Privatisasi kepada pihak asing dinilai
akan menyebabkan terbangnya keuntungan BUMN kepada pihak asing, bukannya kembali kepada rakyat Indonesia.
Berdasarkan Pasal 33 UUD 1945 ayat (1), maka sistem ekonomi yang dianut Indonesia adalah sistem ekonomi
yang berdasar atas asas kekeluargaan. Konsep sistem ekonomi yang demikian di Indonesia disebut sebagai konsep
Demokrasi Ekonomi. Mubyarto menyebutkan bahwa dalam konsep demokrasi ekonomi, sistem ekonomi tidak diatur
oleh negara melalui perencanaan sentral (sosialisme), akan tetapi dilaksanakan oleh, dari, dan untuk rakyat.[18]
Demokrasi ekonomi mengutamakan terwujudnya kemakmuran masyarakat (bersama) bukan kemakmuran individu-
individu. Demokrasi ekonomi mengartikan masyarakat harus ikut dalam seluruh proses produksi dan turut menikmati
Mengacu pada Pasal 33 UUD 1945, tersirat bahwa poin utama dari perekonomian Indonesia adalah
kesejahteraan rakyat. Di sinilah peran demokrasi ekonomi, yaitu sebagai pemandu pengelolaan BUMN agar dapat
memaksimalkan kesejahteraan rakyat. BUMN harus dapat beroperasi dengan efektif dan efisien, sehingga dapat
menyediakan produk-produk vital yang berkualitas dengan harga yang terjangkau bagi rakyat. Selain itu, BUMN juga
harus berupaya memperbaiki profitabilitasnya, sehingga dapat diandalkan sebagai sumber pendanaan utama bagi
pemerintah, terutama untuk mendanai defisit anggarannya. Hal ini akan sangat berpengaruh pada kesejahteraan
rakyat, karena BUMN tidak lain adalah pengelola sumber daya yang vital bagi hajat hidup rakyat banyak, sehingga
Praktik privatisasi BUMN yang belakangan marak dilakukan oleh pemerintah Indonesia dianggap sebagai jalan
keluar yang paling baik untuk melaksanakan amanat demokrasi ekonomi untuk menyehatkan BUMN-BUMN di
Indonesia dalam rangka peningkatan dan pemerataan kesejahteraan rakyat. Pada beberapa BUMN, ada yang
diprivatisasi oleh pihak asing, bahkan dalam jumlah kepemilikan saham yang cukup signfikan.[19] Privatisasi BUMN
kepada pihak asing ini dinilai “menggadaikan” nasionalisme Indonesia. Selain itu, BUMN tidak lain adalah pihak yang
diberikan wewenang khusus untuk mengelola sumber daya vital yang meemgang hajat hidup orang banyak. Menurut
Pasal 33 UUD 1945, sumber daya yang seperti demikian itu harus dikelola oleh negara.
Dilihat dari sudut pandang Pasal 33 UUD 1945, tampak bahwa sebenarnya privatisasi BUMN kepada pihak asing
agak kontradiktif dengan jiwa pasal ini. Pihak asing yang bersangkutan jelas bertindak atas nama swasta yang tentu
saja bertindak dengan didorong oleh maksud dan motif hanya untuk mencari keuntungan yang maksimal. Jika
demikian, BUMN yang diprivatisasi kepada pihak asing hanya akan menjadi keuntungan bagi pihak asing, sehingga
Diantara sekian banyak alternatif metode privatisasi, yang paling sering digunakan antara lain adalah penawaran
saham BUMN kepada umum (public offering of shares) yaitu privatisasi dengan melakukan penjualan saham kepada
pihak swasta melalui pasar modal, penjualan saham BUMN kepada pihak swasta tertentu (private sale of share)
yaitu penjualan saham BUMN kepada satu atau sekelompok investor swasta, dan melalui pembelian BUMN oleh
manajemen atau karyawan (management/employee buy out) yaitu penjualan saham BUMN kepada pihak karyawan
Pilihan model privatisasi mana yang sesuai dengan iklim perekonomian, politik dan sosial budaya Indonesia
Diantara tiga metode privatisasi BUMN yang sering digunakan seperti yang telah dikemukakan di atas, yang
dianggap relatif sesuai dengan kondisi BUMN dewasa ini adalah penawaran saham BUMN kepada umum dan
pembelian BUMN oleh manajemen atau karyawan. Pasalnya, dengan metode penjualan saham BUMN kepada pihak
swasta tertentu berarti akan ada pemusatan kepemilikan pada satu atau sekelompok pihak swasta saja. Hal ini
kurang sesuai dengan jiwa demokrasi ekonomi yang menghendaki pemerataan kesejahteraaan. Selain itu,
pemusatan kepemilikan pada satu atau sekelompok pihak atas BUMN akan sangat berbahaya jika pihak yang
Dengan penawaran saham BUMN kepada umum, maka kepemilikan BUMN akan jatuh ke tangan rakyat. Hal ini
sesuai dengan jiwa demokrasi ekonomi. Karena dengan demikian, maka akan dapat dicapai pemerataan
kesejahteraan kepada rakyat Indonesia melalui pemerataan saham pada publik. Sedangkan dengan pembelian
BUMN oleh manajemen atau karyawan, pemerataan pun dapat dicapai. Akan tetapi, pemerataan kepemilikan hanya
akan terjadi pada karyawan dan manajemen BUMN. Namun cara ini masih dianggap lebih baik daripada kepemilikan
Selama ini, praktik privatisasi yang dilakukan di Indonesia masih dianggap kurang optimal. Idealnya, sebelum
diprivatisasi, BUMN yang kurang sehat sebaiknya direstrukturisasi terlebih dahulu, sehinga pasca privatisasi, kinerja
Landasan hukum privatisasi harus kuat, sehingga saat BUMN diprivatisasi, tidak ada lagi kontroversi yang
sifatnya merugikan. Dari segi politis, harus ada kesepahaman antara segenap rakyat, pemerintah dan para
pengambil kebijakan publik, sehingga semuanya sepakat bahwa privatisasi akan membawa dampak positif bagi
kesejahteraan rakyat, sehingga kebijakan privatisasi pun didukung oleh semua pihak.
Pelaksanaan privatisasi yang belum optimal ini harus segera ditindak lanjuti. Karen kebijakan ini sangat terkait
dengan kebijakan publik pemerintah yang notabene akan menentukan nasib rakyat Indonesia. Padahal, jika program
ini dilaksanakan dengan baik, maka akan mampu membawa dampak positif bagi semua pihak. Bagi BUMN itu
sendiri, akan tercapai efisiensi dan perbaikan kinerja manejemen. Bagi pemerintah, privatisasi BUMN yang optimal
akan sangat membantu dalam mendanai defisit anggaran negara, sehingga pemerintah dapat meminimalkan
pinjaman luar negeri. Akhirnya bagi rakyat Indonesia, keberhasilan privatisasi BUMN akan memperbaiki dan
meningkatkan kesejahteraan rakyat karena BUMN sebagai pengelola bidang usaha vital dapat lebih memanfaatkan
sumber daya vital tersebut untuk sebaik-baik kemakmuran rakyat seperti yang tercantum dalam Pasal 33 UUD 1945.
BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Dampak kebijakan privatisasi BUMN jelas terlihat pada perubahan kebijakan pemerintah dan kontrol regulasi
seperti tarif, tingkat nilai tukar, dan regulasi bagi investor asing. Juga menyangkut kebijakan domestik, antara lain
keadaan pasar keuangan, termasuk akses modal, penerapan pajak dan regulasi yang adil, dan kepastian hukum
serta arbitrase untuk mengantisipasi kemungkinan munculnya kasus perselisihan bisnis. Dampak lain yang sering
dirasakan dari kebijakan privatisasi yaitu menyebarnya kepemilikan pemerintah kepada swasta.
Diantara tiga metode privatisasi BUMN yang sering digunakan, yang dianggap relatif sesuai dengan kondisi
BUMN dewasa ini adalah penawaran saham BUMN kepada umum dan pembelian BUMN oleh manajemen atau
karyawan. Pasalnya, dengan metode penjualan saham BUMN kepada pihak swasta tertentu berarti akan ada
pemusatan kepemilikan pada satu atau sekelompok pihak swasta saja. Hal ini kurang sesuai dengan jiwa
5.2. Saran
Saran yang dapat penulis berikan ialah Pemerintah dalam hal ini Menteri Negara BUMN, seyogyanya
mempersiapkan diri dalam rangka pergeseran peran dari penentu kebijakan dan pelaksana kegiatan di BUMN
DAFTAR KUTIPAN
Rahmat S.Labib, Privatisasi Dalam Pandangan Islam, hal.21, dikutip dari M.Roy Sembel, Strategi Privatisasi di Indonesia,
hal.50
Indra Bastian, Privatisasi di Indonesia : Teori dan Implemantasi, hal.20
Dewi Hanggraeni, Apakah Privatisasi BUMN Solusi yang Tepat Dalam Meningkatkan Kinerja ?, Artikel dalam Manajemen
Ahmad Erani Yustika, Pembangunan dan Krisis, Memetakan Perekonomian Indonesia, hal.176
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Erani Yustika. 2002. Pembangunan dan Krisis, Memetakan Perekonomian Indonesia. Grasindo : Jakarta
Dewi Hanggraeni. Apakah Privatisasi BUMN Solusi yang Tepat Dalam Meningkatkan Kinerja?, Artikel dalam Manajemen
Indra Bastian. 2002. Privatisasi di Indonesia : Teori dan Implemantasi. Salemba Empat : Jakarta
Heidirachman Ranupandojo. 1990. Dasar-dasar Ekonomi Perusahaan. UPP AMP YKN : Yogyakarta
Kwik Gian Gie. 1994. Analisis Ekonomi Politik di Indonesia. Gramedia : Jakarta
Rahmat S.Labib. 2005. Privatisasi Dalam Pandangan Islam. Wadi Press : Jakarta
Sri Redjeki Hartono. 2000. Kapita Selekta Hukum Perusahaan. Mandar Maju : Bandung
Anoraga, Panji. (1995). BUMN, Swasta dan Koperasi : Tiga Pelaku Ekonomi. Jakarta: PT Dunia Pustaka jaya.
Musthofa, Chabib (2007). Diktat Mata Kuliah Studi Pembangunan. Surabaya : IAIN Sunan Ampel Surabaya