Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH PENGANTAR ILMU EKONOMI INDONESIA

PRIVATISASI BUMN DI INDONESIA

Disusun oleh:

Nama Anggota NIM Angkatan


Ardian Mustofa 151140014 2014
Arizal Pratama Putra 151140013 2014
Hanif Abrooriansyah 151140010 2014
Thomas Pandega Permanajati 151140009 2014
Muhammad Fajar Sidiq 151140016 2014
Gabriella Andrianne Assa 151140011 2014
Dessy Nuraulia Budiyanto 151140012 2014
Aurelia Nanda Phalya Lalita 151140015 2014

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL VETERAN


KOTA YOGYAKARTA
2014
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan Rahmat, Inayah, Taufik dan Hinayahnya
sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini yang berjudul ‘Privatisasi BUMN di Indonesia’ dalam
bentuk maupun isinya yang sangat sederhana. Semoga laporan ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan,
petunjuk maupun pedoman bagi pembaca.

Harapan kami semoga laporan ini membantu menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca,
sehingga kami dapat memperbaiki bentuk maupun isi makalah ini sehingga kedepannya dapat lebih baik.

Laporan ini kami akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang kami miliki sangat kurang. Oleh kerena
itu kami harapkan kepada para pembaca untuk memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun untuk
kesempurnaan laporan ini.

Tim Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...............................................................................................................................


DAFTAR ISI ............................................................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN ..........................................................................................................................
1.1 Latar Belakang Masalah ....................................................................................................................
1.2 Rumusan Masalah .............................................................................................................................

BAB II STUDI KEPUSTAKAAN ..............................................................................................................


2.1 Pengertian Privatisasi ........................................................................................................................
2.2 Tujuan Privatisasi ..............................................................................................................................
2.3 Metode Privatisasi .............................................................................................................................

BAB III PEMBAHASAN...........................................................................................................................


3.1 Pemerintahan Megawati : Privatisasi BUMN ke Tangan Asing (2001-2004) .....................................

BAB IV SOLUSI REKOMENDASI ..........................................................................................................


4.1 Dampak Privatisasi BUMN di Indonesia ............................................................................................
4.2 Kondisi Ideal untuk Melakukan Privatisasi di Indonesia .....................................................................

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ......................................................................................................


5.1 Kesimpulan ........................................................................................................................................
5.2 Saran .................................................................................................................................................

DAFTAR KUTIPAN & DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................


BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Pemerintah Indonesia mendirikan BUMN dengan dua tujuan utama, yaitu tujuan yang bersifat ekonomi dan tujuan

yang bersifat sosial. Dalam tujuan yang bersifat ekonomi, BUMN dimaksudkan untuk mengelola sektor-sektor bisnis

strategis agar tidak dikuasai pihak-pihak tertentu. Bidang-bidang usaha yang menyangkut hajat hidup orang banyak,

seperti perusahaan listrik, minyak dan gas bumi, sebagaimana diamanatkan dalam pasal 33 UUD 1945, seyogyanya

dikuasai oleh BUMN. Dengan adanya BUMN diharapkan dapat terjadi peningkatan kesejahteraan masyarakat,

terutama masyarakat yang berada di sekitar lokasi BUMN. Tujuan BUMN yang bersifat sosial antara lain dapat dicapai

melalui penciptaan lapangan kerja serta upaya untuk membangkitkan perekonomian lokal. Penciptaan lapangan kerja

dicapai melalui perekrutan tenaga kerja oleh BUMN. Upaya untuk membangkitkan perekonomian lokal dapat dicapai

dengan jalan mengikut-sertakan masyarakat sebagai mitra kerja dalam mendukung kelancaran proses kegiatan

usaha. Hal ini sejalan dengan kebijakan pemerintah untuk memberdayakan usaha kecil, menengah dan koperasi yang

berada di sekitar lokasi BUMN.

Namun dalam kurun waktu 50 tahun semenjak BUMN dibentuk, BUMN secara umum belum menunjukkan kinerja

yang menggembirakan. Perolehan laba yang dihasilkan masih sangat rendah. Sementara itu, saat ini Pemerintah

Indonesia masih harus berjuang untuk melunasi pinjaman luar negeri yang disebabkan oleh krisis ekonomi tahun 1997

lalu. Dan salah satu upaya yang ditempuh pemerintah untuk dapat meningkatkan pendapatannya adalah dengan

melakukan privatisasi BUMN.

Namun demikian, privatisasi BUMN telah mengundang pro dan kontra di kalangan masyarakat. Sebagian

masyarakat berpendapat bahwa BUMN adalah aset negara yang harus tetap dipertahankan kepemilikannya oleh

pemerintah, walaupun tidak mendatangkan manfaat karena terus merugi. Namun ada pula kalangan masyarakat yang

berpendapat bahwa pemerintah tidak perlu sepenuhnya memiliki BUMN, yang penting BUMN tersebut dapat

mendatangkan manfaat yang lebih baik bagi negara dan masyarakat Indonesia.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka masalah yang akan dibahas di dalam makalah ini

adalah :

1. Privatisasi BUMN ke Tangan Asing (2001-2004)


BAB II STUDI KEPUSTAKAAN

2.1 Pengertian Privatisasi

Terdapat banyak definisi yang diberikan oleh para pakar berkenaan dengan istilah privatisasi. Beberapa pakar

bahkan mendefinisi privatisasi dalam arti luas, seperti J.A. Kay dan D.J. Thomson sebagai “…means of changing

relationship between the government and private sector”. Mereka mendefinisikan privatisasi sebagai cara untuk

mengubah hubungan antara pemerintah dan sektor swasta.[1] Sedangkan pengertian privatisasi dalam arti yang lebih

sempit dikemukakan oleh C. Pas, B. Lowes, dan L. Davies yang mengertikan privatisasi sebagai denasionalisasi suatu

industri, mengubahnya dari kepemilikan pemerintah menjadi kepemilikan swasta.[2]

Istilah privatisasi sering diartikan sebagai pemindahan kepemilikan industri dari pemerintah ke sektor swasta yang

berimplikasi kepada dominasi kepemilikan saham akan berpindah ke pemegang saham swasta. Privatisasi adalah

suatu terminologi yang mencakup perubahan hubungan antara pemerintah dengan sektor swasta, dimana perubahan

yang paling signifikan adalah adanya disnasionalisasi penjualan kepemilikan publik.[3]

Dari berbagai definisi di atas, dapat diperoleh pengertian bahwa privatisasi adalah pengalihan aset yang

sebelumnya dikuasai oleh negara menjadi milik swasta. Pengertian ini sesuai dengan yang termaktub dalam Undang-

undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang BUMN, yaitu penjualan saham persero, baik sebagian maupun seluruhnya,

kepada pihak lain dalam rangka meningkatkan kinerja dan nilai perusahaan, memperbesar manfaat bagi negara dan

masyarakat, serta memperluas pemilikan saham oleh masyarakat.[4]

2.2 Tujuan Privatisasi

Pada dasarnya kebijakan privatisasi ditujukan untuk berbagai aspek harapan, dilihat dari aspek keuangan,

pembenahan internal manajemen (jasa dan organisasi), ekonomi dan politik.[5] Dari segi keuangan, privatisasi

ditujukan untuk meningkatkan penghasilan pemerintah terutama berkaitan dengan tingkat perpajakan dan

pengeluaran publik; mendorong keuangan swasta untuk ditempatkan dalam investasi publik dalam skema infrastruktur

utama; menghapus jasa-jasa dari kontrol keuangan sektor publik. Tujuan privatisasi dari sisi pembenahan internal

manajemen (jasa dan organisasi) yaitu[6]:

1. Meningkatkan efisiensi dan produktivitas;

2. Mengurangi peran negara dalam pembuatan keputusan;

3. Mendorong penetapan harga komersial, organisasi yang berorientasi pada keuntungan dan perilaku bisnis yang

menguntungkan;

4. Meningkatkan pilihan bagi konsumen.

Dari sisi ekonomi, tujuan privatisasi yaitu[7] :

1. Memperluas kekuatan pasar dan meningkatkan persaingan;

2. Mengurangi ukuran sektor publik dan membuka pasar baru untuk modal swasta.
Tujuan dari segi politik yaitu[8] :

1. Mengendalikan kekuatan asosiasi/perkumpulan bidang usaha bisnis tertentu dan memperbaiki pasar tenaga kerja

agar lebih fleksibel;

2. Mendorong kepemilikan saham untuk individu dan karyawan serta memperluas kepemilikan kekayaan;

3. Memperoleh dukungan politik dengan memenuhi permintaan industri dan menciptakan kesempatan lebih banyak

akumulasi modal spekulasi;

4. Meningkatkan kemandirian dan individualisme.

Adapun tujuan pelaksanaan privatisasi sebagaimana tercantum dalam Pasal 74 Undang-undang Nomor 19 Tahun

2003 Tentang BUMN adalah meningkatkan kinerja dan nilai tambah perusahaan serta meningkatkan peran serta

masyarakat dalam pemilikan saham Persero. Penerbitan peraturan perundangan tentang BUMN dimaksudkan untuk

memperjelas landasan hukum dan menjadi pedoman bagi berbagai pemangku kepentingan yang terkait serta

sekaligus merupakan upaya untuk meningkatkan kinerja dan produktivitas BUMN. Privatisasi bukan semata-mata

kebijakan final, namun merupakan suatu metode regulasi untuk mengatur aktivitas ekonomi sesuai mekanisme pasar.

Kebijakan privatisasi dianggap dapat membantu pemerintah dalam menopang penerimaan negara dan menutupi

defisit APBN sekaligus menjadikan BUMN lebih efisien dan profitable dengan melibatkan pihak swasta di dalam

pengelolaannya sehingga membuka pintu bagi persaingan yang sehat dalam perekonomian.

2.3 Metode Privatisasi

Ada beberapa metode yang digunakan oleh suatu negara untuk memprivatisasi BUMN, diantaranya adalah[9] :

Penawaran saham BUMN kepada umum (public offering of shares). Penawaran ini dapat dilakukan secara

parsial maupun secara penuh. Di dalam transaksi ini, pemerintah menjual sebagian atau seluruh saham

kepemilikannya atas BUMN yang diasumsikan akan tetap beroperasi dan menjadi perusahaan publik. Seandainya

pemerintah hanya menjual sebagian sahamnya, maka status BUMN itu berubah menjadi perusahaan patungan

pemerintah dan swasta. Pendekatan semacam ini dilakukan oleh pemerintah agar mereka masih dapat mengawasi

keadaan manajemen BUMN patungan tersebut sebelum kelak diserahkan sepenuhnya kepada swasta.

Penjualan saham BUMN kepada pihak swasta tertentu (private sale of share). Di dalam transaksi ini,

pemerintah menjual seluruh ataupun sebagian saham kepemilikannya di BUMN kepada pembeli tunggal yang telah

diidentifikasikan atau kepada pembeli dalam bentuk kelompok tertentu. Privatisasi dapat dilakukan penuh atau

secara sebagian dengan kepemilikan campuran. Transaksinya dapat dilakukan dalam berbagai bentuk, seperti

akuisisi langsung oleh perusahaan lain atau ditawarkan kepada kelompok tertentu. Cara ini juga sering disebut

sebagai penjualan strategis (strategic sale) dan pembelinya disebut invenstor strategis.

Penjualan aktiva BUMN kepada swasta (sale of government organization state-owned enterprise assets). Pada

metode ini, pada dasarnya transaksi adalah penjualan aktiva, bukan penjualan perusahaan dalam keadaan tetap

beroperasi. Biasanya jika tujuannya adalah untuk memisahkan aktiva untuk kegiatan tertentu, penjualan aktiva

secara terpisah hanya alat untuk penjualan perusahaan secara keseluruhan.


Penambahan investasi baru dari sektor swasta ke dalam BUMN (new private investment in an state-owned

enterprise assets). Pada metode ini, pemerintah dapat menambah modal pada BUMN untuk keperluan rehabilitasi

atau ekspansi dengan memberikan kesempatan kepada sektor swasta untuk menambah modal. Dalam metode ini,

pemerintah sama sekali tidak melepas kepemilikannya, tetapi dengan tambahan modal swasta, maka kepemilikan

pemerintah mengalami dilusi (pengikisan). Dengan demikian, BUMN itu berubah menjadi perusahaan patungan

swasta dengan pemerintah. Apabila pemilik saham mayoritasnya adalah swasta, maka BUMN itu telah berubah

statusnya menjadi milik swasta.

Pembelian BUMN oleh manajemen atau karyawan (management/employee buy out). Metode ini dilakukan

dengan memberikan hak kepada manajemen atau karyawan perusahaan untuk mengambil alih kekuasaan atau

pengendalian perusahaan. Keadaan ini biasanya terkait dengan perusahaan yang semestinya dapat efektif dikelola

oleh sebuah manjemen, namun karena campur tangan pemerintah membuat kinerja tidak optimal.

Dari beberapa cara tersebut, UU Nomor 19 Tahun 2003 Tentang BUMN di dalam pasal 78 hanya membolehkan

tiga cara dalam privatisasi yakni :

1. Penjualan saham berdasarkan ketentuan pasar modal.

2. Penjualan saham langsung kepada investor.

3. Penjualan saham kepada manajemen dan/atau karyawan yang bersangkutan.

4. Pro-Kontra Mengenai Privatisasi

Sebagai sebuah kebijakan yang menyangkut kepentingan publik, program privatisasi masih disikapi secara pro

dan kontra. Berikut ini akan diuraikan mengenai alasan-alasan yang menyebabkan terjadinya pro dan kontra

tersebut.

1. Alasan-Alasan Yang Mendukung Privatisasi

a) Peningkatan Efisiensi, Kinerja dan Produktivitas Perusahaan yang diprivatisasi

BUMN sering dilihat sebagai sosok unit pekerja yang tidak efisien, boros, tidak professional dengan

kinerja yang tidak optimal, dan penilaian-penilaian negatif lainnya. Beberapa faktor yang sering dianggap

sebagai penyebabnya adalah kurangnya atau bahkan tidak adanya persaingan di pasar produk sebagai

akibat proteksi pemerintah atau hak monopoli yang dimiliki oleh BUMN. tidak adanya persaingan ini

mengakibatkan rendahnya efisiensi BUMN.[10]

Hal ini akan berbeda jika perusahaan itu diprivatisasi dan pada saat yang bersamaan didukung dengan

peningkatan persaingan efektif di sektor yang bersangkutan, semisal meniadakan proteksi perusahaan yang

diprivatisasi. Dengan adanya disiplin persaingan pasar akan memaksa perusahaan untuk lebih efisien.

Pembebasan kendali dari pemerintah juga memungkinkan perusahaan tersebut lebih kompetitif untuk

menghasilkan produk dan jasa bahkan dengan kualitas yang lebih baik dan sesuai dengan konsumen.
Selanjutnya akan membuat penggunaan sumber daya lebih efisien dan meningkatkan output ekonomi

secara keseluruhan.[11]

b) Mendorong Perkembangan Pasar Modal

Privatisasi yang berarti menjual perusahaan negara kepada swasta dapat membantu terciptanya

perluasan kepemilikan saham, sehingga diharapkan akan berimplikasi pada perbaikan distribusi pendapatan

dan kesejahteraan masyarakat.[12] Privatisasi juga dapat mendorong perusahaan baru yang masuk ke

pasar modal dan reksadana. Selain itu, privatisasi BUMN dan infrastruktur ekonomi dapat mengurangi defisit

dan tekanan inflasi yang selanjutnya mendukung perkembangan pasar modal.[13]

c) Meningkatkan Pendapatan Baru bagi Pemerintah

Secara umum, privatisasi dapat mendatangkan pemasukan bagi pemerintah yang berasal dari penjualan

saham BUMN. Selain itu, privatisasi dapat mengurangi subsidi pemerintah yang ditujukan kepada BUMN

yang bersangkutan. Juga dapat meningkatkan penerimaan pajak dari perusahaan yang beroperasi lebih

produktif dengan laba yang lebih tinggi. Dengan demikian, privatisasi dapat menolong untuk menjaga

keseimbangan anggaran pemerintah sekaligus mengatasi tekanan inflasi.

2. Alasan-Alasan Yang Menolak Program Privatisasi

Beberapa alasan yang diajukan oleh pihak yang mendukung program privatisasi sebagaimana telah

dipaparkan di atas, dinilai tidak tepat oleh pihak-pihak yang kontra. Alasan bahwa privatisasi bertujuan untuk

meningkatkan efisiensi dan kinerja perusahaan yang diprivatisasi dianggap tidak sesuai dengan fakta. Sebab jika

itu yang menjadi motifnya, maka seharusnya yang diprivatisasi adalah perusahaan-perusahaan yang tidak

efisien, produktivitasnya rendah dan kinerjanya payah. Sehingga dengan diprivatisasi, diharapkan perusahaan

tersebut berubah menjadi lebih efisien, produktivitasnya meningkat, dan kinerjanya menjadi lebih bagus. Padahal,

pada kenyatannya yang diprivatisasi adalah perusahaan yang sehat dan efisien. Jika ada perusahaan negara

yang merugi dan tidak efisien, biasanya disehatkan terlebih dahulu sehingga menjadi sehat dan mencapai profit,

dan setelah itu baru kemudian dijual.[14]

Alasan untuk meningkatkan pendapatan negara juga tidak bisa diterima. Memang ketika terjadi penjualan

aset-aset BUMN itu negara mendapatkan pemasukan. Namun sebagaimana layaknya penjualan, penerimaan

pendapatan itu diiringi dengan kehilangan pemilikan aset-aset tersebut. Ini berarti negara akan kehilangan salah

satu sumber pendapatannya. Akan menjadi lebih berbahaya jika ternyata pembelinya dari perusahaan asing.

Meskipun pabriknya masih berkedudukan di Indonesia, namun hak atas segala informasi dan bagian dari modal

menjadi milik perusahaan asing.[15]


BAB III PEMBAHASAN

3.1 Pemerintahan Megawati : Privatisasi BUMN ke Tangan Asing (2001-2004)

Menurut GBHN, kekuatan perekonomian Indonesia pada dasarnya dapat digolongkan dalam tiga sektor

pemerintah (BUMN) dan koperasi. Ketiga sektor ini diharapkan dapat berkembang dengan harmonis atau dengan

selaras, serasi dan seimbang sehingga mampu meningkatkan taraf hidup masyarakat.

Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan RI No. 740/KMK 00/1989 yang dimaksud Badan Usaha Milik Negara

(BUMN) adalah : Badan usaha yang seluruh modalnya dimiliki Negara (Pasal 1 ayat 2a), atau badan usaha yang

tidak seluruh sahamnya dimiliki Negara tetapi statusnya disamakan dengan BUMN yaitu (Pasal 1 ayat 2b)

1. BUMN yang merupakan patungan antara pemerintah dengan pemerintah daerah.

2. BUMN yang merupakan patungan antara pemerintah dengan BUMN lainnya.

3. BUMN yang merupakan badan-badan usaha patungan dengan swasta nasional/asing dimana Negara memiliki

saham mayoritas minimal 51%. (Anoraga, 1995:1).

Terlepas dari namanya yang berbeda-beda, BUMN sudah ada di Indonesia sejak zaman perang. Setelah

kemerdekaan maka bidang yang dicakupi oleh BUMN pun bertambah banyak, antara lain karena Pasal 33 UUD

1945 mengamankan, bahwa “cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup

orang banyak dikuasai oleh Negara”. Tetapi memang ada kebutuhan ekonomi yang nyata untuk kehadiran BUMN

itu di berbagai bidang.

Melalui UU 1/1967, secara resmi pemodal asing dapat menginvestasikan modalnya di Indonesia dengan

keringanan pajak. Sektor-sektor pertambangan dikelola oleh perusahaan Amerika cs (Inggris, Prancis dkk).

Sementara itu, pemerintah Soeharto masih mempertahankan sektor-sektor penting bagi negara. Kemudian muncul

Pasal 3 UU 6/1968 disebutkan:

Perusahaan nasional adalah perusahaan yang sekurang- kurangnya 51% daripada modal dalam negeri yang

ditanam didalammnya dimiliki oleh Negara dan atau, swasta nasional Persentase itu senantiasa harus ditingkatkan

sehingga pada tanggal 1 Januari 1974 menjadi tidak kurang dari 75%. Perusahaan asing adalah perusahaan yang

tidak memenuhi ketentuan dalam ayat 1 pasal ini.

Dengan adanya pasal itu, maka asing diperbolehkan untuk memiliki perusahaan strategis negara yang

menguasai hajat hidup orang banyak. Inilah cikal bakal privatisasi di bumi Indonesia yang tujuan awalnya mulia

yakni membangkitkan ekonomi negara ditengah minimnya modal dalam negeri. Disisi lain, privatisasi kepemilikan

perusahaan negara kepada rakyatnya (bukan kepada saing) secara tidak langsung memang merupakan

implementasi dari ekonomi kekeluargaan (koperasi). Jadi sejarah privatisasi pertama kali di Indonesia adalah ketika

diterbitnya UU no 6/1968 pada tanggal 3 Juli 1968.

Di Indonesia, istilah privatisasi sebelumnya dikenal dengan nama “swastanisasi”, baru setelah berdiri Kantor

Menteri (Negara) BUMN, istilah ini menjadi sangat popular. Istilah ini berkenaan dengan gagasan, kebijakan dan
program yang sangat luas cakupannya. Secara makro, privatisasi berarti pengurangan peran Negara dalam

kegiatan bisnis. Dalam sisi mikro, privatisasi berarti transfer kepemilikan Negara kepada masyarakatnya (Moeljono,

2004 : 49).

Alasan dilakukannya privatisasi adalah karena pudarnya keyakinan terhadap teori negara kesejahteraan seperti

yang diperkenalkan oleh John Maynard Keyness (1883-1987) yang juga merupakan arsitek Bank Dunia dan Dana

Moneter Internasional. Premis dasarnya adalah bahwa menyerahkan kepemilikan dan pengelolaan sebagai

kegiatan ekonomi, apalagi yang strategis, kepada Negara adalah sia-sia. Privatisasi seluruh kegiatan ekonomi

adalah jawaban untuk meningkatkan jaminan kesejahteraan masyarakat, karena dengan demikian mereka akan

menjadi lembaga yang harus bersaing.

Secara membudaya, privatisasi BUMN-BUMN strategis Indonesia pertama kali terjadi pada masa Pemerintahan

Soeharto ke-5 yakni tahun 1991. Meskipun cikal bakal privatisasi umum telah diundangkan pada tahun 1968,

namun 1991 menjadi tahun dimana satu persatu perusahaan negara diprivatisasi secara kontinyu.

Atas desakan IMF, pemerintah dipaksa menjual BUMN-BUMN yang cukup potensial di masa-masa mendatang

hanya untuk menutup defisit APBN. Selain menjadi sapi perah pejabat negara, BUMN diobral kepada investor

asing demi mendapatkan utang baru dari IMF cs. Pada pemerintahan Megawati, tim ekonominya yakni Menko

Perekonomian Dorodjatun, Menkeu Boediono, dan Meneg BUMN Laksama Sukardi melakukan privatisasi BUMN

secara cepat (fast-track privatization) hanya untuk menutup anggaran dengan tanpa mempertimbangkan aspek

ekonomis dari BUMN yang bersangkutan. Pilihan menggandeng mitra strategis (melalui strategic sale) dalam

proses privatisasi oleh sebagian pengamat dipandang sebagai tindakan yang merugikan negara.

Privatisasi BUMN idealnya adalah memiliki tujuan sebagai berikut :

1. Agar BUMN tersebut lebih maju dan profesional karena jadi swasta (bukan bermental mental pegawai negeri).

2. Mengurangi campur tangan pemerintah dalam perekonomian.

3. Mengurangi subsidi pemerintah terhadap BUMN

4. Hasil privatisasi dapat digunakan untuk membangun BUMN baru atau proyek strategis lain untuk kesejahteraan

rakyat.

Fakta yang terjadi selama ini justru menunjukkan betapa BUMN lebih banyak dijadikan sebagai sapi perahan

buat para pejabat negara yang sedang berkuasa. Dengan penggunaan teori principal-agent maka nuansa politis

sangat kental dalam BUMN, dikarenakan manajemen perusahaan tidak harus tunduk dan loyal kepada pemilik

saham. Berbagai kepentingan politik aktif bermain, yang ujung-ujungnya menyebabkan BUMN tereksploitasi oleh

politisi (Moeljono, 2004 : 51). Celakanya, para petinggi perusahaan itu juga cenderung menikmati perahan tadi dan

mereka juga kebagian hasil yang tidak kecil. Alhasil, kebanyakan BUMN yang ada menjadi sakit dan fakta itu

bertahan sepanjang sejarah adanya BUMN di negeri ini.

Kesangsian masyarakat terhadap klaim Megawati atas ekonomi kerakyatan dan perlawanan terhadap

neoliberalisme adalah tindakannya menjual sejumlah badan usaha milik negara. Jika ada beberapa BUMN yang
diprivatisasi di era Habibie dan Gus Dur, maka masuknya tim ekonomi yang sangat patuh pada IMF di

pemerintahan Megawati berhasil memprivatisasi aset-aset strategis negara seperti Telkom, Indosat, PT BNI, PT

Batu Bara Bukit Asam. Penjualan BUMN tersebut dengan harga yang terlalu kecil jika dibanding prospek (2 tahun

kemudian) yang memiliki kinerja yang sangat baik, yang menghasilkan keuntungan yang besar bagi para

pemegang saham. Begitu juga penjualan bank-bank di BPPN dengan sangat murah, dimana hampir di setiap

transaksi merugikan negara triliun rupiah. Inilah salah satu keberhasilan IMF untuk mendikte Indonesia melalui tim

ekonomi yang berhaluan Mafia Berkeley, yang berpaham neoliberalisme.

Pada semester pertama pemerintahannya, pemerintahan Megawati sudah menjual 7 BUMN yang masih aktif

mengisi celengan negara Rp 3,5 triliun per tahun. Indosat, Kimia Farma, Indofarma, Indocement Tunggal Prakarsa,

Tambang Batubara Bukit Asam, Angkasa Pura II, dan Wisma Nusantara dilelang tahun itu. Selanjutnya

pemerintahan Megawati juga melego perusahaan telekomunikasi Negara: Telkom. Pemerintah saat itu beralasan

penjualan untuk menambal tekor Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

Penjualan PT Indosat dan Telkom paling disoroti masyarakat. Dengan prospek positif industri telekomunikasi di

Indonesia, dua perusahaan raksasa itu sempat mendatangkan keuntungan yang berlimpah. Betapa tidak, saham

kedua perusahaan itu pernah loncat hingga Rp 26,740 triliun. Sayang keuntungan itu justru masuk kantong

Temasek, BUMN Singapura yang menguasai saham Indosat dan Telkom. Berbagai saham BUMN lain yang

strategis berhasil dijual diera Megawati. Sebut saja penjualan saham Perusahaan Gas Negara sebesar Rp 7,34

triliun melampaui dari target semula yaitu Rp 6,5 triliun. Privatisasi Bank Mandiri dengan nilai Rp 2,5 triliun dan

Bank Rakyat Indonesia Rp 2,5 triliun.

Tidak kurang dari Rp 6 triliun per tahun uang yang diharapkan pemerintahan Megawati dapat masuk dari

penjualan saham-saham BUMN. Laksamana memang ibarat mengejar setoran. Celakanya, ada kalangan

berspekulasi, setoran itu tak cuma disalurkan ke APBN semata, melainkan juga ke sejumlah rekening lain. Yang

jelas, banyak penjualan BUMN, misalnya dalam kasus Indosat, yang lalu dilakukan secara serampangan.

Memang ada juga sejumlah keberhasilan Laksamana dalam pengelolaan BUMN. Kita mendapatkan setoran

dividen 50% dari semua laba BUMN ke APBN. Hasilnya, setiap tahun, pemerintah bisa mendapat suntikan dana

lebih dari Rp 6 triliun. Pemerintah juga bisa mendapat pajak yang cukup besar dari hasil penjualan sebagian BUMN

tersebut. Yang menjadi permasalahan adalah di zaman Laksamana pula, muncul kesan tentang penguasaan

BUMN demi kepentingan partai politik. Makanya, banyak proses privatisasi yang dicurigai mengandung

kepentingan tertentu.

Kebijakan Pemerintah RI untuk menjual aset-aset Badan Usaha Milik Negara (BUMN) bisa dijadikan ajang

untuk pemutihan korupsi oleh para konglomerat yang terlibat korupsi. Jika aset-aset tersebut sudah berpindah ke

tangan asing, maka pemerintah tidak lagi mempunyai kewenangan utuh untuk mengurusi aset tersebut. Oleh

karenanya, para koruptor yang dulunya memiliki saham didalamnya bisa terbebas dari jeratan hukum.
Kebijakan penjualan aset BUMN ke tangan asing tidak mempunyai kekuatan hukum yang kuat., lihat saja dalam

penjualan Indosat, tidak semua anggota DPR setuju. Padahal menurut pasal 23 UUD 1945 disebutkan bahwa

masalah yang menyangkut hajat hidup orang banyak harus mendapat persetujuan dari DPR.

Dengan memiliki Indosat, ST Telemedia ikut mempunyai hak atas PT Satelit Palapa Indonesia (Satelindo) dan

PT Indosat Multi Media Mobile (IM3). Anak-anak perusahaan yang 100% sahamnya dimiliki Indosat itu masing-

masing menguasi sekitar 25% dan 10% pangsa pasar operator ponsel di Indonesia. Dengan demikian, Temasek

memiliki posisi dominan dalam bisnis operator ponsel.

Dengan mendominasi pasar, Termasuk berpeluang menggunakan posisi dominannya untuk melakukan

persaingan bisnis secara tidak sehat, keputusan menjual Indosat ke ST Telemedia telah melanggar Undang-

Undang Persaingan Usaha.

Kerugian yang paling berbahaya dari penjualan PT Indosat, yaitu kedaulatan. Dengan kepemilikan silang

Temasek itu dikhawatirkan dan diduga pihak/pemerintah Singapura dapat mengontrol dan mengetahui akan sistem

keamanan Indonesia bahkan rahasia negara kita dapat dicuri oleh singapura. Ini disebabkan salah satunya karena

Temasek memiliki 41% pada Indosat yang merupakan pemilik satelit kebanggaan kita yaitu satelit Palapa,

sehingga semua informasi dan data-data yang seharusnya menjadi rahasia negara RI dapat diperoleh dengan

mudah oleh singapura serta keamanan nasional (National security) akan kedaulatan kita pun terancam. Keamanan

merupakan perisai bagi setiap bangsa atas ancaman yang datang dari luar maupun dari dalam serta menyangkut

kepada masyarakat yang menjadi penghuni suatu negara (Ceachern, 2001 :419 )

Dari semua kerugian diatas, tenyata dalih Megawati tentang alasan kenapa ia menjual Indosat karena untuk

menghindari monopoli pemerintah terhadap kepemilikan dominan pemerintah pada 2 perusahaan telekomunikasi

tersebut sebelum privatisasi, bukannya untung malah “buntung” jika kita mengacu hanya pada kerugian yang

diterima.

Disini dapat dikatakan bahwa Indonesia mengalami ketergantungan Finansial-Industrial. Melalui teori

depedensi, di Indonesia sudah terjadi penguasaan kekuatan finansial negara satelit (pinggiran) oleh negara pusat

walaupun secara yuridis-politis negara satelit adalah negara merdeka. Penguasaan finansial ini ditentukan oleh

investasi modal asing yang dimiliki pemodal negara maju di negara berkembang dengan modal asing yang

jumlahnya cukup besar bahkan hamper melebihi modal investor domestic, sehingga sirkulasi modal dapat

ditentukan oleh orang-orang di luar negara pinggiran tersebut.

Lebih lanjut, arah industrialisasi juga ditentukan oleh pemodal asing, sehingga tenaga kerja dalam negeri

tergantung dari industrialisasi tersebut. Tenaga kerja dalam negeri tidak mampu melakukan persaingan dengan

tenaga ahli luar negeri yang didatangkan oleh pemilik modal luar negeri. Ketimpangan ini juga membawa

ketimpangan upah yang diterima oleh pekerja domestik, sehingga upah pekerja tersebut tidak mampu

meningkatkan kesejahteraan mereka (Musthofa, 2007 : 58).


Jika salah satu penggerak ekonomi China adalah 150 SOE (BUMN) strategisnya, maka semestinya Indonesia

memanfaatkan sekaligus membesarkanya BUMN strategis sebagai penopang ekonomi khususnya BUMN yang

bergerak disektor hulu ekonomi. Sudah saatnya kita melihat kedalam, jika saja BUMN tidak sehat dan merugi,

maka adalah tugas pemerintah melalui Meneg BUMN untuk merestrukturisasi BUMN tersebut hingga sehat dan

menopang perekonomian hulu.

Jika kebijakan privatisasi tetap diteruskan oleh pemerintah, maka prosentase penguasaan asing terhadap aset-

aset negara jelas akan semakin membengkak. Hal ini tentu amat merisaukan, karena berdasarkan analisis

Lembaga Keuangan Morgan Stanley, 10 tahun mendatang BUMN-lah yang akan memegang kendali perekonomian

suatu negara. Hendaknya industri strategis BUMN menjadi tulang punggung perekonomian negara untuk

menyokong sektor hulu ekonomi negara (dimana swasta ikut serta) seperti tertuang dalam UUD 1945.

Dilihat dari teori property rights, esensinya perusahaan swasta dimiliki oleh individu-individu yang bebas untuk

menggunakan, mengelola dan memberdayakan aset-aset privasinya. Konsekuensinya, mereka akan mendorong

habis-habisan usahanya agar efisien. Property rights swasta telah menciptakan insentif bagi terciptanya efisiensi

perusahaan. Sebaliknya, BUMN tidak dimiliki oleh individual, tetapi oleh “Negara”. Dalam realitas, pengertian

“negara” menjadi kabur dan tidak jelas. Jadi, seolah-olah mereka justru seperti “tanpa pemilik”. Akibatnya jelas,

manajemen BUMN menjadi kekurangan insentif untuk mendorong efisiensi.

Jika akan memprivatisasi BUMN dengan alasan memberdayakan modal masyarakat, maka hal ini

diperbolehkan dengan syarat saham-sahamnya dijual kepada masyarakat Indonesia dengan menetapkan

maksimum kepemilikan saham sebesar 0.0001% per orang. Jadi, jika sebuah BUMN akan diprivatisasi 25%, maka

setidaknya ada 250,000 (1/4 juta) masyarakat Indonesia yang ikut memiliki BUMN tersebut. Sehingga para

pedagang, guru, pegawai swasta dengan bermodal 1-10 juta dapat memiliki saham BUMN kita secara merata.

Tidak boleh ada yang memiliki saham BUMN lebih dari itu. Inilah setidak-tidaknya mewarnai ekonomi gotong

royong, ekonomi koperasi, alias ekonomi kekeluargaan, bukan dengan melego perusahaan strategis hanya kepada

segelintir konglomerat saja.

BAB 4 SOLUSI REKOMENDASI

4.1 Dampak Privatisasi BUMN di Indonesia

Dampak kebijakan privatisasi BUMN jelas terlihat pada perubahan kebijakan pemerintah dan kontrol regulasi.

Dimana dapat dikatakan sebagai sarana transisi menuju pasar bebas, aktivitas ekonomi akan lebih terbuka menuju

kekuatan pasar yang lebih kompetitif, dengan adanya jaminan tidak ada hambatan dalam kompetisi, baik berupa

aturan, regulasi maupun subsidi. Kebijakan privatisasi dikaitkan dengan kebijakan eksternal yang penting seperti

tarif, tingkat nilai tukar, dan regulasi bagi investor asing. Juga menyangkut kebijakan domestik, antara lain keadaan

pasar keuangan, termasuk akses modal, penerapan pajak dan regulasi yang adil, dan kepastian hukum serta

arbitrase untuk mengantisipasi kemungkinan munculnya kasus perselisihan bisnis.

Dampak lain yang sering dirasakan dari kebijakan privatisasi yaitu menyebarnya kepemilikan pemerintah kepada

swasta, mengurangi sentralisasi kepemilikan pada suatu kelompok atau konglomerat tertentu. Sebagai sarana
transisi menuju pasar bebas, aktivitas ekonomi akan lebih terbuka menuju kekuatan pasar yang lebih kompetitif,

dengan jaminan tidak ada hambatan dalam kompetisi, baik berupa aturan, regulasi maupun subsidi. Untuk itu

diperlukan perombakan hambatan masuk pasar dan adopsi sebuah kebijakan yang dapat membantu perkembangan

dan menarik investasi swasta dengan memindahkan efek keruwetan dari kepemilikan pemerintah. Seharusnya

program privatisasi ditekankan pada manfaat transformasi suatu monopoli publik menjadi milik swasta. Hal ini

terbatas pada keuntungan ekonomi dan politik. Dengan pengalihan kepemilikan, salah satu alternatif yaitu dengan

pelepasan saham kepada rakyat dan karyawan BUMN yang bersangkutan dapat ikut melakukan kontrol dan lebih

memotivasi kerja para karyawan karena merasa ikut memilki dan lebih semangat untuk berpartisipasi dalam rangka

meningkatkan kinerja BUMN yang sehat. Hal ini dapat berdampak pada peningkatan produktivitas karyawan yang

berujung pada kenaikan keuntungan.

Privatisasi BUMN di Indonesia mulai dicanangkan pemerintah sejak tahun 1980-an. BUMN-BUMN yang telah

diprivatisasi seperti PT. Telkom (Persero) Tbk., PT. Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk., PT. Bank Mandiri

(Persero) Tbk., PT. Bank BNI 46 (Persero) Tbk., PT. Indosat (Persero) Tbk., PT. Aneka Tambang (Persero) Tbk.,

dan PT. Semen Gresik (Persero) Tbk., ternyata mampu memberikan kontribusi yang signifikan terhadap likuiditas

dan pergerakan pasar modal.[16] Kondisi ini membuat semakin kuatnya dorongan untuk melakukan privatisasi

secara lebih luas kepada BUMN-BUMN lainnya. Namun demikian, diketahui pula bahwa terdapat beberapa BUMN

yang tidak menunjukkan perbaikan kinerja terutama 2-3 tahun pertama setelah diprivatisasi, misalkan pada PT.

Indofarma (Persero) Tbk. dan PT. Kimia Farma (Persero) Tbk. Dimana target privatisasi BUMN masih belum tercapai

sepenuhnya[17].

Selain itu, metode privatisasi yang dilakukan pemerintah pun kebanyakan masih berbentuk penjualan saham

kepada pihak swasta. Hal ini menyebabkan uang yang diperoleh dari hasil penjualan saham-saham BUMN tersebut

masuk ke tangan pemerintah, bukannya masuk ke dalam BUMN untuk digunakan sebagai tambahan pendanaan

dalam rangka mengembangkan usahanya.

Bagi pemerintah hal ini berdampak cukup menguntungkan, karena pemerintah memperoleh pendapatan

penjualan sahamnya, namun sebenarnya bagi BUMN hal ini agak kurang menguntungkan, karena dengan

kepemilikan baru, tentunya mereka dituntut untuk melakukan berbagai perubahan. Namun, perubahan tersebut

kurang diimbangi tambahan dana segar yang cukup, sebagian besar hanya berasal dari kegiatan-kegiatan

operasionalnya terdahulu yang sebenarnya didapatnya dengan kurang efisien.

Dari segi politis, masih banyak pihak yang kontra terhadap kebijakan privatisasi saham kepada pihak asing ini.

Pasalnya, kebijakan ini dinilai tidak sesuai dengan prinsip-prinsip nasionalisme. Privatisasi kepada pihak asing dinilai

akan menyebabkan terbangnya keuntungan BUMN kepada pihak asing, bukannya kembali kepada rakyat Indonesia.

4.2 Kondisi Ideal untuk Melakukan Privatisasi di Indonesia

Berdasarkan Pasal 33 UUD 1945 ayat (1), maka sistem ekonomi yang dianut Indonesia adalah sistem ekonomi

yang berdasar atas asas kekeluargaan. Konsep sistem ekonomi yang demikian di Indonesia disebut sebagai konsep

Demokrasi Ekonomi. Mubyarto menyebutkan bahwa dalam konsep demokrasi ekonomi, sistem ekonomi tidak diatur
oleh negara melalui perencanaan sentral (sosialisme), akan tetapi dilaksanakan oleh, dari, dan untuk rakyat.[18]

Demokrasi ekonomi mengutamakan terwujudnya kemakmuran masyarakat (bersama) bukan kemakmuran individu-

individu. Demokrasi ekonomi mengartikan masyarakat harus ikut dalam seluruh proses produksi dan turut menikmati

hasil-hasil produksi yang dijalankan di Indonesia.

Mengacu pada Pasal 33 UUD 1945, tersirat bahwa poin utama dari perekonomian Indonesia adalah

kesejahteraan rakyat. Di sinilah peran demokrasi ekonomi, yaitu sebagai pemandu pengelolaan BUMN agar dapat

memaksimalkan kesejahteraan rakyat. BUMN harus dapat beroperasi dengan efektif dan efisien, sehingga dapat

menyediakan produk-produk vital yang berkualitas dengan harga yang terjangkau bagi rakyat. Selain itu, BUMN juga

harus berupaya memperbaiki profitabilitasnya, sehingga dapat diandalkan sebagai sumber pendanaan utama bagi

pemerintah, terutama untuk mendanai defisit anggarannya. Hal ini akan sangat berpengaruh pada kesejahteraan

rakyat, karena BUMN tidak lain adalah pengelola sumber daya yang vital bagi hajat hidup rakyat banyak, sehingga

tentu akan sangat merugikan rakyat jika BUMN jatuh bangkrut.

Praktik privatisasi BUMN yang belakangan marak dilakukan oleh pemerintah Indonesia dianggap sebagai jalan

keluar yang paling baik untuk melaksanakan amanat demokrasi ekonomi untuk menyehatkan BUMN-BUMN di

Indonesia dalam rangka peningkatan dan pemerataan kesejahteraan rakyat. Pada beberapa BUMN, ada yang

diprivatisasi oleh pihak asing, bahkan dalam jumlah kepemilikan saham yang cukup signfikan.[19] Privatisasi BUMN

kepada pihak asing ini dinilai “menggadaikan” nasionalisme Indonesia. Selain itu, BUMN tidak lain adalah pihak yang

diberikan wewenang khusus untuk mengelola sumber daya vital yang meemgang hajat hidup orang banyak. Menurut

Pasal 33 UUD 1945, sumber daya yang seperti demikian itu harus dikelola oleh negara.

Dilihat dari sudut pandang Pasal 33 UUD 1945, tampak bahwa sebenarnya privatisasi BUMN kepada pihak asing

agak kontradiktif dengan jiwa pasal ini. Pihak asing yang bersangkutan jelas bertindak atas nama swasta yang tentu

saja bertindak dengan didorong oleh maksud dan motif hanya untuk mencari keuntungan yang maksimal. Jika

demikian, BUMN yang diprivatisasi kepada pihak asing hanya akan menjadi keuntungan bagi pihak asing, sehingga

dapat dikatakan manfaatnya bukannya ke rakyat Indonesia.

Diantara sekian banyak alternatif metode privatisasi, yang paling sering digunakan antara lain adalah penawaran

saham BUMN kepada umum (public offering of shares) yaitu privatisasi dengan melakukan penjualan saham kepada

pihak swasta melalui pasar modal, penjualan saham BUMN kepada pihak swasta tertentu (private sale of share)

yaitu penjualan saham BUMN kepada satu atau sekelompok investor swasta, dan melalui pembelian BUMN oleh

manajemen atau karyawan (management/employee buy out) yaitu penjualan saham BUMN kepada pihak karyawan

atau manajemen BUMN.

Pilihan model privatisasi mana yang sesuai dengan iklim perekonomian, politik dan sosial budaya Indonesia

haruslah mempertimbangkan faktor-faktor seperti[20] :

1. Ukuran nilai Privatisasi ;

2. Kondisi kesehatan keuangan tiga tahun terakhir;

3. Waktu yang tersedia bagi BUMN untuk melakukan privatisasi;


4. Kondisi pasar;

5. Status perusahaan, apakah telah go public atau belum;

6. Rencana jangka panjang masing-masing BUMN.

Diantara tiga metode privatisasi BUMN yang sering digunakan seperti yang telah dikemukakan di atas, yang

dianggap relatif sesuai dengan kondisi BUMN dewasa ini adalah penawaran saham BUMN kepada umum dan

pembelian BUMN oleh manajemen atau karyawan. Pasalnya, dengan metode penjualan saham BUMN kepada pihak

swasta tertentu berarti akan ada pemusatan kepemilikan pada satu atau sekelompok pihak swasta saja. Hal ini

kurang sesuai dengan jiwa demokrasi ekonomi yang menghendaki pemerataan kesejahteraaan. Selain itu,

pemusatan kepemilikan pada satu atau sekelompok pihak atas BUMN akan sangat berbahaya jika pihak yang

bersangkutan mengeksploitisir BUMN untuk kepentingan keuntungan semata.

Dengan penawaran saham BUMN kepada umum, maka kepemilikan BUMN akan jatuh ke tangan rakyat. Hal ini

sesuai dengan jiwa demokrasi ekonomi. Karena dengan demikian, maka akan dapat dicapai pemerataan

kesejahteraan kepada rakyat Indonesia melalui pemerataan saham pada publik. Sedangkan dengan pembelian

BUMN oleh manajemen atau karyawan, pemerataan pun dapat dicapai. Akan tetapi, pemerataan kepemilikan hanya

akan terjadi pada karyawan dan manajemen BUMN. Namun cara ini masih dianggap lebih baik daripada kepemilikan

BUMN jatuh ke tangan pihak asing.

Selama ini, praktik privatisasi yang dilakukan di Indonesia masih dianggap kurang optimal. Idealnya, sebelum

diprivatisasi, BUMN yang kurang sehat sebaiknya direstrukturisasi terlebih dahulu, sehinga pasca privatisasi, kinerja

BUMN yang bersangkutan dapat mengalami peningkatan.

Landasan hukum privatisasi harus kuat, sehingga saat BUMN diprivatisasi, tidak ada lagi kontroversi yang

sifatnya merugikan. Dari segi politis, harus ada kesepahaman antara segenap rakyat, pemerintah dan para

pengambil kebijakan publik, sehingga semuanya sepakat bahwa privatisasi akan membawa dampak positif bagi

kesejahteraan rakyat, sehingga kebijakan privatisasi pun didukung oleh semua pihak.

Pelaksanaan privatisasi yang belum optimal ini harus segera ditindak lanjuti. Karen kebijakan ini sangat terkait

dengan kebijakan publik pemerintah yang notabene akan menentukan nasib rakyat Indonesia. Padahal, jika program

ini dilaksanakan dengan baik, maka akan mampu membawa dampak positif bagi semua pihak. Bagi BUMN itu

sendiri, akan tercapai efisiensi dan perbaikan kinerja manejemen. Bagi pemerintah, privatisasi BUMN yang optimal

akan sangat membantu dalam mendanai defisit anggaran negara, sehingga pemerintah dapat meminimalkan

pinjaman luar negeri. Akhirnya bagi rakyat Indonesia, keberhasilan privatisasi BUMN akan memperbaiki dan

meningkatkan kesejahteraan rakyat karena BUMN sebagai pengelola bidang usaha vital dapat lebih memanfaatkan

sumber daya vital tersebut untuk sebaik-baik kemakmuran rakyat seperti yang tercantum dalam Pasal 33 UUD 1945.

BAB V PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Dampak kebijakan privatisasi BUMN jelas terlihat pada perubahan kebijakan pemerintah dan kontrol regulasi

seperti tarif, tingkat nilai tukar, dan regulasi bagi investor asing. Juga menyangkut kebijakan domestik, antara lain

keadaan pasar keuangan, termasuk akses modal, penerapan pajak dan regulasi yang adil, dan kepastian hukum

serta arbitrase untuk mengantisipasi kemungkinan munculnya kasus perselisihan bisnis. Dampak lain yang sering

dirasakan dari kebijakan privatisasi yaitu menyebarnya kepemilikan pemerintah kepada swasta.

Diantara tiga metode privatisasi BUMN yang sering digunakan, yang dianggap relatif sesuai dengan kondisi

BUMN dewasa ini adalah penawaran saham BUMN kepada umum dan pembelian BUMN oleh manajemen atau

karyawan. Pasalnya, dengan metode penjualan saham BUMN kepada pihak swasta tertentu berarti akan ada

pemusatan kepemilikan pada satu atau sekelompok pihak swasta saja. Hal ini kurang sesuai dengan jiwa

demokrasi ekonomi yang menghendaki pemerataan kesejahteraaan.

5.2. Saran

Saran yang dapat penulis berikan ialah Pemerintah dalam hal ini Menteri Negara BUMN, seyogyanya

mempersiapkan diri dalam rangka pergeseran peran dari penentu kebijakan dan pelaksana kegiatan di BUMN

menjadi fasilitator dan regulator kegiatan BUMN.

DAFTAR KUTIPAN

Rahmat S.Labib, Privatisasi Dalam Pandangan Islam, hal.21, dikutip dari M.Roy Sembel, Strategi Privatisasi di Indonesia,

hal.50
Indra Bastian, Privatisasi di Indonesia : Teori dan Implemantasi, hal.20

Dewi Hanggraeni, Apakah Privatisasi BUMN Solusi yang Tepat Dalam Meningkatkan Kinerja ?, Artikel dalam Manajemen

Usahawan Indonesia No.6 Tahun 2009, hal.27

UU 19 Tahun 2003 Tentang BUMN, Pasal 1 ayat (2)

Dewi Hanggraeni, op.cit, hal.28

Ibid, hal.28, 31, 32, 33, 44, 47

Rahmat S.Labib, op.cit, hal.22-25

Ahmad Erani Yustika, Pembangunan dan Krisis, Memetakan Perekonomian Indonesia, hal.176

Rahmat S.Labib, op.cit, hal.46

Kwik Gian Gie, Analisis Ekonomi Politik di Indonesia, hal.138

Dewi Hanggraeni, op.cit, hal.31

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Erani Yustika. 2002. Pembangunan dan Krisis, Memetakan Perekonomian Indonesia. Grasindo : Jakarta

Dewi Hanggraeni. Apakah Privatisasi BUMN Solusi yang Tepat Dalam Meningkatkan Kinerja?, Artikel dalam Manajemen

Usahawan Indonesia No.6 Tahun 2009

Indra Bastian. 2002. Privatisasi di Indonesia : Teori dan Implemantasi. Salemba Empat : Jakarta

Heidirachman Ranupandojo. 1990. Dasar-dasar Ekonomi Perusahaan. UPP AMP YKN : Yogyakarta

Kwik Gian Gie. 1994. Analisis Ekonomi Politik di Indonesia. Gramedia : Jakarta

Rahmat S.Labib. 2005. Privatisasi Dalam Pandangan Islam. Wadi Press : Jakarta

Sri Redjeki Hartono. 2000. Kapita Selekta Hukum Perusahaan. Mandar Maju : Bandung

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang BUMN

Anoraga, Panji. (1995). BUMN, Swasta dan Koperasi : Tiga Pelaku Ekonomi. Jakarta: PT Dunia Pustaka jaya.

Ceachern, William A. (2001). Ekonomi Makro. Jakarta: PT Salemba Empat.

Moeljono, Djokosantoso. (2004). Reinvesi BUMN.. Jakarta : PT Elex Media Komputindo

Musthofa, Chabib (2007). Diktat Mata Kuliah Studi Pembangunan. Surabaya : IAIN Sunan Ampel Surabaya

Anda mungkin juga menyukai