س ا
و و م
ه ا ري إ ا
ي ا ج دي ا ان ه
وا و ا
Sekilas Kajian
Mengenai WAS-WAS
Oleh :
Bahransyah H. Bardi
{0}
Pengertian Was-Was
Di dalam Mu’jam Lughatil Fuqaha :
Al Was-wasah (was-was) : dengan disukunkan sin yang
pertama dan difathahkan sin yang kedua yang berarti :
Bisikan dalam diri yang tidak ada mempunyai kebaikan.
Firman Allah :
{1}
Di dalam kitab al Mishbahul Munir fi Gharibis Syarhil
Kabir karya Imam ar Rafi’i :
Sesuatu yang terlintas di hati berupa hal yang jelek dan
sesuatu yang tidak terkandung kebaikan di dalamnya
disebut sebagai was-was.
{2}
melaksanakan perintah orang lain dan mengagungkan Allah
sama halnya dengan mengagungkan orang lain.
(Sebagai contoh) maka siapa yang didatangi oleh orang
yang alim (umpamanya si Zaid), kemudian ia berdiri karena
orang alim tersebut, maka andaikata ia berkata “saya
berniat berdiri tegak karena mengagungkan kedatangan
Zaid yang mulia karena kemuliannya, tepat ketika
masuknya saya menghadapkan wajah saya ke arahnya”,
maka orang ini terdapat kebodohan di dalam akalnya.
Akan tetapi (yang benar) sebagaimana ia melihat si Zaid
dan mengetahui kemuliannya, maka (otomatis) akan
timbullah dorongan untuk mengagungkannya dan dorongan
itulah yang membuatnya berdiri.
Orang seperti ini berarti ia mengagungkan si Zaid. Kecuali
apabila ia berdiri karena sesuatu hal yang lain atau dalam
keadaan lalai (tidak sadar).
(Penjelasan) ;
Jadi, niat adalah sesuatu hal yang bisa terjadi otomatis dari
suatu perbuatan yang telah menjadi kebiasaan dan
dilakukan berulang-ulang maka tidak perlu terjadi was-was
dalam menimbulkan niat.
{3}
Imam Ghazali juga mengatakan : Diantara kelompok lain
(yang tertipu dengan keadaan mereka sendiri) adalah orang-
orang yang dikuasai perasaan was-was dalam niat shalat,
sehingga syaitan tidak akan pernah membiarkannya untuk
bisa melakukan niat dengan benar.
Bahkan syaitan terus mengganggunya hingga ia ketinggalan
shalat berjamaah serta mengeluarkan shalat dari waktunya
meskipun takbirnya telah sempurna, akhirnya timbul dalam
hatinya keraguan mengenai keabsahan niatnya.
Dan terkadang mereka was-was dalam takbir hingga
kadangkala pula mereka merubah lafadz takbir karena
sangat ingin berhati-hati, mereka melakukan yang demikian
hanya di awal shalat, sedangkan di seluruh shalat mereka
lalai, hati mereka tidak hadir (khusyu’), dengan melakukan
ini semua (sebenarnya) mereka telah tertipu
Dan bilamana mereka telah membuat lelah diri mereka
(berjuang) untuk membenarkan niat di awal shalat dan
mereka merasa memiliki kelebihan dibandingkan orang
awam dengan kegigihan dan kehati-hatian seperti ini
{4}
mereka menduga bahwa mereka memiliki kedudukan yang
mulia di sisi Tuhan.
{5}
hurufnya kecuali dengan yang sudah terbiasa yang berlaku
dalam ucapan mereka (orang Arab).
{6}
Di dalam kitab I’aanatut Tholibin – Bab al Qadha –
disebutkan : Was-was timbul karena disebabkan kerusakan
dalam akal atau kebodohan dalam masalah agama.
{7}
Di dalam kitab I’aanatut Tholibin – Bab syarat-syarat shalat
– disebutkan : Imam Ghazali dalam bidayatul hidayah
menyebutkan : Janganlah engkau membasuh (pada saat
wudhu) lebih dari tiga kali, jangan pula engkau terlalu
banyak menuangkan air bukan karena adanya
keperluan/alasan, hanya karena perasaan was-was sebab
orang-orang yang tertimpa was-was mereka dipermainkan
syaitan yang bernama walhan.
{8}
Dan sungguh syaitan telah mengelabui banyak dari para
ahli ibadah sebab dangkalnya pengetahuan mereka, karena
kebanyakan dari mereka berkecimpung dalam ibadah
sebelum mereka mengkokohkan (memperdalam) ilmu
(agama) mereka.
Ar Robi’ bin Khasyyam mengatakan : Belajarlah ilmu fiqih
kemudian ber’uzlahlah (beribadahlah).
Oleh karenanya hal pertama yang dikelabui oleh syaitan
kepada para ahli ibadah adalah mereka mengutamakan
ibadah atas ilmu. Padahal ilmu lebih utama dari ibadah-
ibadah sunnah.
Kemudian syaitan memperlihatkan kepada mereka bahwa
tujuan dari ilmu adalah beramal. Mereka hanya memahami
amal berupa amal anggota badan. Dan mereka tidak
mengetahui bahwa yang dimaksud dari amal itu adalah
amal hati. Amal hati itu lebih utama dari amal anggota
badan. Maka manakala telah meresap dalam diri mereka
{9}
untuk meninggalkan ilmu, syaitan pun memasuki mereka
dengan membawa bermacam-macam bentuk ibadah.
{10}
kebodohan mengenai syariat atau kerusakan di dalam
akalnya. Karena niat itu (sebenarnya) adanya di hati bukan
di lafadz. Sedangkan memaksakan mengucapkan lafadz itu
adalah sesuatu hal yang tidak diperlukan.
{11}
wudhu’nya. Padahal sebenarnya ia telah menggabungkan
empat macam perbuatan makruh,
Pertama : berlebih-lebihan dalam penggunaan air jika air
itu memang miliknya sendiri atau milik mubah,
namun apabila air itu diwafakkan untuk untuk
wudhu’ maka perbuatan berlebih-lebihan
dalam pengguaan air itu adalah haram.
Kedua : membuang-buang umur (waktu) yang sangat
berharga (dengan tujuan) untuk melakukan
sesuatu yang tidak wajib atau tidak sunnah.
Ketiga : hati tidak merasa senang terhadap syari’at
artinya tidak merasa puas dengan (penjelasan)
yang sudah dibawa oleh syara’.
Keempat : memasuki (melakukan) sesuatu yang dilarang
yaitu (membasuh) lebih dari tiga kali.
Dan terkadang ia berlama-lama dalam wudhu’nya hingga ia
kehilangan waktu shalat, atau kehilangan waktu awal shalat
atau ketinggalan shalat berjamaah.
Syaitan berkata kepadanya : “engkau berada dalam ibadah
yang mana shalat tidak akan sah tanpa ibadah itu.”
Andaikata ia merenungkan apa yang telah ia perbuat, tentu
ia akan mengetahui bahwa ia telah berbuat melampaui batas
dan melakukan pelanggaran terhadap syariat.
Diceritakan dari Ibnu ‘Aqil bahwa ada seseorang laki
bertemu dengannya kemudian ia berkata : saya membasuh
anggota wudhu’ saya ; saya berkata (dalam diri saya) : saya
tidak membasuhnya, dan ketika saya bertakbir ; saya
berkata (dalam diri saya) saya tidak bertakbir. Ibnu ‘Aqil
berkata ; tinggalkan lah shalat, karena sesungguhnya shalat
tidak wajib bagimu. Orang-orang pun berkata kepada Ibnu
{12}
‘Aqil : bagaimana engkau bisa mengatakan seperti itu. Ibnu
‘Aqil menjawab : Rasulullah SAW bersabda : Telah
diangkat pena (yang digunakan malaikat penulis dosa) dari
orang yang gila sampai ia sadar, sedangkan siapa yang
bertakbir kemudian ia mengatakan bahwa ia tidak
melakukan takbir, maka orang ini adalah gila dan orang
yang gila tidak ada kewajiban shalat baginya.
{13}
{14}
Keringanan Bagi Orang-Orang yang Tertimpa
Perasaan Was-Was
Di dalam kitab I’aanatut Tholibin – Bab al Qadha –
disebutkan :
Di dalam kitab al Khadim disebutkan : dari sebagian para
ulama yang sangat berhati-hati dalam amal mereka : Yang
lebih utama bagi orang yang tertimpa perasaan was-was
adalah ia mengambil pendapat yang paling ringan dan
gampang agar jangan sampai bertambah perasaan was-
wasnya dan (akhirnya dengan sebab perasaan was-was itu)
menyebabkan ia keluar dari batasan-batasan syariat.
Sedangkan bagi orang yang tidak tertimpa perasaan was-
was, hendaknya ia mengambil pendapat yang berat (kuat)
agar jangan sampai ia keluar dari batasan yang dibolehkan
(andaikata ia tidak mengambil pendapat yang kuat).
Penjelasan :
Andaikata ada seseorang yang tertimpa perasaan was-was
di dalam niat wudhu atau membaca fatihah di belakang
imam (ketika ia menjadi makmum) lantas ia menghabiskan
banyak waktunya di dalam wudhu atau shalat, maka ia
diperbolehkan untuk tidak berniat dan bertaqlid (mengikut
pendapat) Imam Abu Hanifah dalam masalah ini. Karena
berniat hukumnya sunnah menurut Imam Abu Hanifah.
Atau ia juga bertaqlid kepada Imam Abu Hanifah dalam
masalah untuk tidak membaca fatihah di belakang imam
(maksudnya: ketika ia menjadi makmum) sampai perasaan
was-wasnya hilang.
{15}
Kiat-kiat menghilangkan was-was
Usman bin al Ash pernah berkata kepada Rasulullah saw. :
syaitan menghalangi saya dengan sholat serta bacaan shalat
saya. Rasulullah saw menjawab : itu adalah syaitan yang
bernama khanzab, apabila engkau merasakan seperti itu,
berlindunglah kepada Allah dari (godaan)nya dan
berludahlah ke arah kirimu sebanyak 3 x. Usman bin al
Ash berkata : kemudian saya lakukan apa yang
diperintahkan Rasulullah saw, kepada saya, maka Allah
menghilangkan perasaan was-was itu dari diriku.
{16}
Siapa yang banyak merasakan was-was dalam shalat
hendaklah ia meminta perlindungan kepada Allah dan
mengucapkan :
{17}
Kemudian membaca :
{18}
Sebagian Ulama mengatakan : disunnahkan bagi orang
terkena penyakit was-was di dalam wudhu’ dan shalat serta
lainnya agar mengucapkan : karena syaitan,
apabila ia mendengar dzikir, ia akan mundur. Dan
hendaknya ia mengulang karena lafadz tersebut
adalah induknya dzikir.
{19}
{20}
{21}