Anda di halaman 1dari 14

PENALARAN DEDUKTIF DAN INDUKTIF

A. Pengertian Penalaran
Penalaran adalah proses berfikir yang bertolak dari pengamatan indera (observasi
empirik) yang menghasilkan sejumlah konsep dan pengertian. Penalaran merupakan proses
berfikir yang menggunakan argumen, pernyataan, premis-premis atau aksioma untuk
menentukan benar salahnya suatu kesimpulan. Penalaran merupakan suatu kegiatan,
suatu proses atau suatu aktivitas berfikir untuk menarik suatu kesimpulan atau membuat
suatu pernyataan baru yang benar berdasarkan pada beberapa pernyataan yang
kebenarannya telah dibuktikan atau diasumsikan sebelumnya (Wardani 2008)
Pernyataan yang menjadi dasar penarikan suatu kesimpulan dalam penalaran disebut
premis atau antesedens, sedangkan suatu pernyataan baru yang merupakan kesimpulan
disebut konklusi atau konsekuensi (Shadiq 2004). Bernalar merupakan proses yang
“dialektis” artinya selama seorang individu bernalar atau berfikir maka fikirannya dalam
keadaan tanya jawab untuk dapat meletakkan hubungan antara pengetahuan-
pengetahuan yang dimiliki. Para ahli logika mengemukakan ada tiga proses yang harus
dilalui dalam bernalar yaitu : membentuk pengertian, membentuk pendapat dan
membentuk kesimpulan.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa penalaran adalah suatu kegiatan berfikir
logis untuk mengumpulkan fakta, mengelola, menganalisis, menjelaskan dan membuat
kesimpulan.
Penalaran merupakan aktivitas pikiran yang abstrak, untuk mewujudkannya
diperlukan simbol. Simbol atau lambang yang digunakan dalam penalaran berbentuk
bahasa, sehingga wujud penalaran akan berupa argumen. Dengan demikian; pernyataan
atau konsep adalah abstrak dengan simbol berupa kata sedangkan untuk proposisi simbol
yang digunakan adalah kalimat dan penalaran menggunakan simbol berupa argumen.
Argumen akan dapat menentukan kebenaran konklusi dari premis.
Kesimpulannya, ada tiga bentuk pemikiran manusia, yaitu aktivitas berfikir yang
saling berkait, tidak ada proposisi tanpa pengertian dan tidak ada penalaran tanpa
proposisi. Sehingga “penalaran dibutuhkan proposisi sedangkan proposisi merupakan hasil
dari rangkaian pengertian”
Tujuan seseorang melakukan penalaran adalah untuk menemukan kebenaran. Hal ini
dapat dicapai jika syarat-syarat dalam menalar dapat dipenuhi :
a. Suatu penalaran bertolak dari pengetahuan yang sudah dimiliki seseorang akan
sesuatu yang memang benar atau sesuatu yang memang salah
b. Dalam penalaran, pengetahuan yang dijadikan dasar konklusi adalah premis. Jadi,
semua premis harus benar; yaitu harus meliputi sesuatu yang benar secara formal
maupun material.
Formal berarti penalaran memiliki bentuk yang tepat, diturunkan dari aturan-aturan
berfikir yang tepat
Material berarti isi atau bahan yang dijadikan sebagai premis adalah tepat.

B. Pengertian Logika
Logika secara etimologis berasal dari bahasa Yunanai “Logike” yang berhubungan
dengan kata “Logos” yang berarti ucapan, atau fikiran yang diucapkan secara lengkap
(Karomani 2009). Irving M. Copi (Mundiri 2005) menjelaskan Logika adalah ilmu yang
mempelajari metode dan hukum-hukum yang digunakan untuk membedakan penalaran

1
yang betul dari penalaran yang salah. Logika ilmu kecakapan bernalar dan berfikir dengan
tepat (Poespoprodjo & Gilarso 2006). Sedangkan dalam KBBI, Logika adalah pengetahuan
tentang berfikir atau jalan fikiran yang masuk akal. Jadi, logika adalah salah satu cabang
ilmu bahasa yang menjelaskan tentang berfikir dan untuk menarik sebuah kesimpulan.
Dalam logika ada proses penyimpulan, yaitu proses pengambilan suatu kesimpulan
dari premis-premis tertentu. Menurut KBBI penyimpulan adalah keputusan yang diperoleh
berdasarkan metode berfikir induktif atau deduktif. Penarikan simpulan tedapat dua
macam yaitu penyimpulan langsung dan penyimpulan tidak langsung.
1. Penyimpulan Langsung
Penyimpulan langsung adalah suatu penyimpulan dengan premis dapat terdiri atas satu,
dua atau lebih putusan. Dengan menggunakan putusan tertentu dapat menyimpulkan
putusan baru dengan memakai subjek dan predikat yang sama. Subjek adalah suatu hal
yang diberi keterangan, sedangkan predikat adalah sesuatu yang menerangkan subjek
(Poespoprodjo & Gilarso 2006).
a. Ekuivalensi
Adalah suatu putusan yang mengatakan suatu hal yang persis sama. Putusan-
putusan baru tersebut tidak menyatakan sesuatu yang baru, hanya perumusannya
yang berlainan dengan menggunakan subjek dan predikat yang sama (Poespoprodjo
& Gilarso 2006)
Contoh :
Tidak ada mahasiswa Prodi Kebidanan yang bertubuh pendek
Ekuivalensinya : Tidak ada mahasiswa yang bertubuh pendek pada Prodi kebidanan
b. Pembalikan
Adalah suatu putusan yang memperoleh putusan yang baru dengan jalan mengganti
subjek dan predikat, sehingga yang dulunya menjadi subjek akan menjadi predikat
dan sebaliknya yang predikat menjadi subjek dengan tidak mengurangi isi
kebenarannya.
Contoh :
Persalinan per vaginam itu bukan sectio cesarea
Pembalikan : Persalinan Sectio cesarea itu bukan per vaginam
c. Perlawanan/ Oposisi
1) Perlawanan Kontradiktoris
Apabila kedua proposisi itu saling menyangkal satu sama lain. Proposisi ini tidak
mungkin benar semua atau salah semua.
Apabila salah satu proposisi memiliki nilai benar maka proposisi lain pasti salah.
Perlawanan kontradiktif dapat terjadi apabila terdapat dua buah proposisi yang
mengacu pada kelompok yang sama tetapi berbeda baik dalam kualitas
maupun kuantitas.
Contoh :
Semua bidan adalah wanita
Sebagian bidan adalah bukan wanita
Bila proposisi “semua bidan adalah wanita” benar maka proposisi “sebagian
bidan adalah bukan wanita” pasti salah. Demikian juga sebaliknya.
2) Perlawanan Kontraris
Apabila keduanya tidak mungkin benar semua tetapi mungkin salah semua atau
salah satu benar dan lainnya salah. Perlawanan kontraris dapat terjadi apabila

2
dua proposisi yang mengacu kepada kelompok-kelompok yang sama dan
memiliki kuantitas universal, tetapi berbeda dalam kualitas
Contoh :
Semua bidan adalah wanita
Sebagian bidan adalah bukan wanita
Bila proposisi “semua bidan adalah wanita” benar, maka proposisi “sebagian
bidan adalah bukan wanita” pasti salah. Tetapi jika proposisi “semua bidan
adalah wanita” salah, maka proposisi “sebagian bidan adalah bukan wanita”
bisa salah juga bisa benar.
3) Perlawanan Subkontraris
apabila keduanya tidak mungkin salah semua, tetapi mungkin benar semua,
atau salah satu benar dan sisanya salah. Perlawanan subkontraris dapat terjadi
apabila terdapat dua buah proposisi yang mengacu kepada kelompok-
kelompok yang sama dan memiliki kualitas partikular tetapi berbeda dalam
kualitas
Contoh :
Semua bidan adalah wanita.
Sebagian bidan adalah bukan wanita.
Bila proposisi “semua bidan adalah wanita” salah, maka proposisi “sebagian
bidan adalah bukan wanita” pasti benar. Karena, jika proposisi “sebagian bidan
adalah wanita” salah, maka, sebagai konsekuensinya setidak-tidaknya ada satu
bidan yang bukan wanita. Tetapi lain halnya bila proposisi “sebagian bidan
adalah bukan wanita” benar, maka belum dapat kita katakan nilainya apakah
sebagian bidan wanita bisa benar bisa juga salah
4) Perlawanan Subalternasi
Apabila keduanya mengacu pada kelompok-kelompok yang sama, dan memiliki
kualitas yang sama (baik afirmatif maupun negatif), tetapi berbeda dalam
kuantitas. Jadi dua proposisi yang berlawanan secara subalternan selalu berdiri
atas proposisi universal dan proposisi partikular, sedangkan kualitas masing-
masing proposisi selalu sama. Dalam perlawanan subalternan, bila proposisi
universal benar, maka proposisi partikular pasti benar, dan kalau proposisi
partikular salah , maka proposisi universal salah dan sebaliknya
Contoh :
Semua bidan adalah wanita.
Sebagian bidan adalah wanita.
Bila proposisi “semua bidan adalah wanita” benar, maka proposisi “sebagian
bidan adalah bukan wanita” juga benar. Dan jika proposisi “sebagian bidan
adalah wanita” salah, maka proposisi “semua bidan adalah bukan wanita” juga
salah. Akan tetapi, proposisi “semua bidan adalah wanita” belum dapat
ditentukan nilainya, atau mungkin juga salah. Demikian juga halnya bila
proposisi “semua bidan adalah wanita” salah, maka proposisi “sebagian bidan
adalah wanita” juga tidak dapat ditentukan nilainya.

2. Penyimpulan Tidak Langsung


a. Penalaran Induktif
Induktif adalah suatu proses berpikir yang bertolak dari satu atau sejumlah
fenomena individual untuk menuju suatu kesimpualan (Karomani 2009). Proses

3
pemikiran yang di dalamnya akal kita dari pengetahuan tentang peristiwa-peristiwa
atau hal-hal yang kongkret dan khusus menyimpulkan pengetahuan yang umum
disebut induksi (Poespoprodjo & Gilarso 2006). Induksi adalah proses menarik
kesimpulan berupa prinsip atau sikap yang berlaku umum berdasarkan fakta-fakta
yang bersifat khusus (Akhadiah 1994).
Induktif merupakan suatu cara berpikir untuk menarik suatu kesimpulan yang
bersifat umum dari berbagai kasus yang bersifat individual. Karomani
mengemukakan bahwa, proses penalaran induktif banyak sekali jenisnya, yaitu
dapat berupa generalisasi, analogi induktif, dan hubungan sebab-akibat
Penalaran induktif adalah suatu proses mencapai kesimpulan umum
berdasarkan observasi contoh-contoh khusus. Penalaran induktif adalah tipe
penalaran yang berawal dari sekumpulan contoh fakta spesifik menuju kesimpulan
umum. Penalaran ini menggunakan premis dari objek yang diuji untuk mengasilkan
kesimpulan tentang objek yang belum diuji.
1) Generalisasi
Generalisasi adalah suatu proses penalaran yang bertolak dari sejumlah fenomena
individual untuk menurunkan suatu kesimpulan yang bersifat umum yang
mencakup semua fenomena itu (Keraf 1994). Menurut (Mundiri 2005) Generalisasi
yaitu suatu proses penalaran yang bertolak dari sejumlah fenomena individu
menuju kesimpulan umum yang mengikat seluruh fenomena sejenis dengan
fenomena individual yang diselidiki. Surajiyo (Surajiyo & Andiani 2005) generalisasi
adalah suatu penalaran yang menyimpulkan suatu kesimpulan bersifat umum dari
premis-premis yang berupa proposisi empiris. Generalisasi merupakan suatu bentuk
penalaran induktif dimana kesimpulan mengenai suatu kelompok diambil
berdasarkan pengetauan mengenai beberapa kasus dalam kelompok tsb. Pada
prinsipnya generalisasi “sesuatu yang suda beberapa kali terjadi dalam kondisi
tertentu dapat diharapkan akan selalu terjadi apabila kondisi yang sama terpenuhi”
Dalam logika induktif tidak ada konklusi yang mempunyai nilai kebenaran yang
pasti. Namun, hanyalah probabilitas rendah atau tinggi. Dalam generalisasi induktif
adalah semakin besar jumlah fakta yang dijadikan dasar penalaran induktif, maka
semakin tinggi probabilitas konklusinya, dan sebaliknya semakin sedikit jumlah fakta
yang dijadikan dasar penalaran induktif, maka semakin rendah probabilitas
konklusinya (Karomani 2009).
Contoh:
Tamara Bleszynski adalah bintang iklan, dan ia berparas cantik.
Nia Ramadhani adalah bintang iklan, dan ia berparas cantik.
Tamara Bleszynski dan Nia Ramadhani adalah bintang iklan.
Jadi, semua bintang iklan berparas cantik.
Tembaga bila dipanaskan akan memuai.
Besi bila dipanaskan akan memuai.
Platina bila dipanaskan akan memuai.
Tembaga, besi, dan platina adalah jenis logam.
Jadi, semua jenis logam akan memuai.
Dari segi kuantitas fenomena yang menjadi dasar penyimpulan, generalisasi
dibedakan menjadi 2, yaitu :

4
a) Generalisasi Sempurna
Adalah generalisasi dimana seluruh fenomena yang menjadi dasar penyimpulan
yang diselidiki.
Contoh :
(1) Setelah kita memperhatikan jumlah hari pada setiap bulan tahun Masehi
kemudian disimpulkan bahwa : Semua bulan Masehi mempunyai hari tidak lebih
dari 31. dalam penyimpulan ini, keseluruhan fenomena yaitu jumlah hari pada
setiap bulan kita selidiki tanpa ada yang kita tinggalkan.
(2) Setelah bertanya pada masing-masing mahasiswa kebidanan tentang
kewarganegaraan mereka, kemudian disimpulkan bahwa : Semua mahasiswa
kebidanan adalah warga negara Indonesia. Dalam penyimpulan ini, keseluruhan
fenomena yaitu kewarganegaraan masing-masing mahasiswa, kita selidiki tanpa
ada yang ketinggalan.
Generalisasi sempurna ini memberikan kesimpulan amat kuat dan tidak dapat
diserang. Tetapi tentu saja tidak praktis dan tidak ekonomis (Mundiri 1994)
b) Generalisasi Tidak Sempurna
Adalah generalisasi berdasarkan sebagian fenomena untuk mendapatkan
kesimpulan yang berlaku bagi fenomena sejenis yang belum diselidiki.
Contoh :
Setelah kita menyelidiki sebagian bangsa Indonesia bahwa mereka adalah manusia
yang suka bergotong-royong, kemudian kita simpulkan bahwa bangsa Indonesia
adalah bangsa yang suka bergotong-royong, maka penyimpulan ini adalah
generalisasi tidak sempurna.
Generalisasi tidak sempurna ini tidak menghasilkan kesimpulan sampai ke tingkat
pasti sebagaimana generalisasi sempurna, tetapi corak generalisasi ini jauh lebih
praktis dan lebih ekonomis dibandingkan dengan generalisasi sempurna.
Jika kita berbicara tentang generalisasi, yang dimaksud adalah generalisasi tidak
sempurna. Karena populernya generalisasi ini oleh para ahli logika disebut sebagai
induksi tidak sempurna untuk menyebut bahwa tehnik ini paling banyak digunakan
dalam penyusunan pengetahuan (Mundiri 1994)
Dari segi sifat yang dimilikinya, induksi tidak sempurna dibagi 2 macam, dalam
kekuatan putusan yang ternyata :
(1) Dalam ilmu alam (sciences) putusan yang tercapai melalui induksi tidak
sempurna ini berlaku umum, mutlak jadi tak ada kecualinya. Hukum alam
berlaku dengan pasti. Hukum alam juga boleh disebut berlaku umum-mutlak
(dalam lingkungan alam itu). Hukum kepastian dan kemutlakan ini hanya
berlaku dalam bidang alamiah saja.
Contoh : hukum air mengenai pembekuannya “Air akan membeku jika
didinginkan”
Dan ilmu tidak ragu-ragu untuk meramalkan tentang pembekuan air ini karena
bersifat pasti dan mutlak.
(2) Jika ilmu mempunyai obyek yang terjadinya bisa kena pengaruh dari manusia
yang sedikit banyaknya dapat ikut menentukan kejadian-kejadian yang menjadi
pandangan-pandangan ilmu, maka lain pula halnya. Ilmunya disebut ilmu sosial
serta obyek penyelidikannya mungkin terpengaruhi oleh kehendak manusia.
Kalau pada prinsipnya hukum alam tidak ada pengecualiannya maka hukum-

5
hukum pada ilmu sosial ini selalu ada kemungkinan kekecualiannya
(Poedjawijatna 2004).
Contoh : mahasiswa kebidanan ada yang suka makan pecel, malahan banyak
yang suka makan pecel tetapi jangan segera diambil putusan umum, bahwa
mahasiswa kebidanan itu semuanya suka makan pecel. Suka atau tidak suka
makan pecel itu sama sekali bukan sifat mutlak manusia di mana pun juga.
Generalisasi Ilmiah
Pada dasarnya, generalisasi ilmiah tidak berbeda dengan generalisasi biasa, baik dalam
bentuk maupun permasalahannya. Perbedaan utama terletak pada metodenya, kualitas data
serta ketepatan dalam perumusannya. Generalisasi dikatakan sebagai penyimpulan karena apa
yang ditemui dalam observasi sebagai sesuatu yang benar, maka akan benar pula sesuatu yang
tidak diobservasi, pada masalah sejenis atau apa yang terjadi pada sejumlah kesempatan akan
terjadi pula pada kesempatan yang lain bila kondisinya yang sama terjadi.
Pada generalisasi ilmiah, ada 6 tanda penting yang harus kita perhatikan adalah
(1) Datanya dikumpulkan dengan observasi yang cermat, dilaksanakan oleh tenaga terdidik
serta mengenal baik permasalahannya. Pencatatan hasil observasi dilakukan dengan tepat,
menyeluruh dan teliti; pengamatan dan hasilnya dibuka kemungkinan adanya cek oleh
peneliti terdidik lainnya
(2) Adanya penggunaan instrumen untuk mengukur dan mendapatkan ketepatan serta
menghindari kekeliruan sejauh mungkin
(3) Adanya pengujian, perbandingan serta klasifikasi fakta
(4) Pernyataan generalisasi jelas, sederhana, menyeluruh dinyatakan dengan term yang padat
dan metematik
(5) Observasi atas fakta-fakta eksperimental hasilnya dirumuskan dengan memperhatikan
kondisi yang bervariasi misalnya waktu, tempat dan keadaan khusus lainnya
(6) Dipublikasikan untuk memungkinkan adanya pengujian kembali, kritik, dan pengetesan
atas generalisasi yang dibuat (Mundiri 1994).

Menurut Soekadijo, generalisasi yang baik harus memenuhi 3 syarat, antara lain :
(1) Generalisasi harus tidak terbatas secara numerik.
Artinya, generalisasi tidak boleh terikat kepada jumlah tertentu. Kalau dikatakan ” Semua A
adalah B ”, maka proposisi itu harus benar, berapa pun jumlah A. Proposisi itu berlaku
untuk setiap dan semua subyek yang memenuhi kondisi A.
Contohnya : Semua perempuan adalah cantik.
(2) Generalisasi harus tidak terbatas secara spasio-temporal.
Artinya, tidak boleh terbatas dalam ruang dan waktu. Jadi, harus berlaku di mana saja dan
kapan saja.
Contohnya : Semua dosen adalah orang terpelajar
(3) Generalisasi harus dapat dijadikan dasar pengandaian.
Yang dimaksud dengan ’dasar pengandaian’ di sini adalah dasar dari yang disebut contrary-
to-facts conditionals atau unfulfilled conditionals.
Rumusnya :
Faktanya : x, y, dan z itu masing-masing bukan B
Ada generalisasi : Semua A adalah B
Pengandaiannya : andaikata x, y, dan z itu masing-masing sama dengan A atau dengan
kata-kata lain, andaikata x, y, dan z itu masing-masing memenuhi atau sama kondisiya
dengan A, maka pastilah x, y, dan z itu masing-masing sama dengan B (Soekadijo 1991).

6
Contohnya :
Faktanya : Sofan, Syaiful dan Budi itu bukan perempuan
Generalisasi : Semua yang cantik adalah perempuan
Pengandaiannya : Andaikata Sofan, Syaiful dan Budi itu cantik, maka pastilah Sofan, Syaiful
dan Budi itu perempuan.

Dalam buku Logika Scientifika, dijelaskan bahwa untuk menentukan generalisasi yang sehat,
kita harus menerapkan tiga buah cara pengujian adalah sebagai berikut :
(1) Adakah kita telah mempertimbangkan hal-hal atau kejadian-kejadian dari kelompok yang
diuji dalam jumlah secukupnya?. Orang harus seksama dan kritis untuk menentukan apakah
generalisasi (mencapai kemungkinan probabilitas) dapat dipercaya. Dan kemungkinan
tersebut harus muncul karena didasarkan contoh-contoh yang cukup. Apabila yang
dipersoalkan unsur-unsur yang tidak dapat ditentukan, misalnya manusia, maka hanya akan
membuat generalisasi yang terburu-buru. Maka hendaknya orang waspada terhadap
generalisasi, seperti :
semua orang laki-laki sama saja
orang yang selalu ke masjid tidak mungkin jadi komunis
barang siapa memuji Marx adalah komunis
semua orang kaya kikir dan materialis.
(2) Pernyataan-pernyataan semacam ini mudah dan cepat sekali beredar. Akan tetapi, pemikir
yang kritis akan selalu mendesak untuk mengujinya terlebih dahulu guna melihat adakah
pernyataan-pernyataan semacam itu memiliki bukti faktualnya sebelum menerimanya.
(3) Adakah hal-hal atau kejadian-kejadian yang diuji merupakan sample yang cukup dari seluruh
kelompok yang dipertimbangkan? Orang hendaknya melihat adakah sample yang diselidiki
cukup representatif mewakili kelompok yang diperiksa. Apabila tidak, agak sulitlah untuk
memperoleh hasil yang seksama
Ada kekecualian dalam kesimpulan umum? Apabila ada kekecualian, apakah juga
diperhitungkan dan diperhatikan dalam membuat dan melancarkan generalisasi?
Apabila jumlah kekecualiannya banyak, kita tidak mungkin dapat membuat generalisasi.
Tetapi jika hanya terdapat beberapa kekecualian, kita masih dapat membuat generalisasi,
asalkan selalu waspada dan hati-hati untuk tidak menggunakan kata-kata seperti : semua,
setiap, tiap-tiap dalam generalisasi. Kata-kata seperti ini hendaknya diganti dengan istilah :
pada umumnya, kebanyakan, menurut garis besarnya.
Meskipun yang terakhir ini akan mewujudkan generalisasi yang tidak sempurna, namun
cukup merupakan bentuk pemikiran yang sehat dalam kejadian-kejadian praktis sehari-hari
(Poespoprodjo 1999).

Adapun menurut buku Logika, untuk menguji apakah generalisasi yang dihasilkan cukup kuat
untuk dipercaya dapat kita pergunakan evaluasi sebagai berikut :
(1) Apakah sampel yang digunakan secara kuantitatif cukup mewakili. Semakin banyak jumlah
fenomena yang digunakan semakin kuat kesimpulan yang dihasilkan, meskipun kita tidak
boleh menyatakan bahwa dua kali jumlah fenomena individual akan menghasilkan dua kali
kadar keterpercayaan.
Misalnya : Untuk menentukan jenis darah seseorang cukup dengan satu titik darinya. Atau
untuk menentukan kadar kejernihan air sebuah sungai cukup satu gelas saja.
Tetapi sebaliknya, untuk menentukan faktor dominan apakah yang menjadi sebab sebuah
kejahatan tidak cukup mendasarkan kepada beberapa orang saja.

7
(2) Apakah sample yang digunakan cukup bervariasi. Semakin banyak variasi sample, semakin
kuat kesimpulan yang dihasilkan.
Misalnya : Untuk menentukan kadar minat dan kesadaran berkoperasi sebagai sistem
ekonomi yang diharapkan bagi bangsa Indonesia, harus diteliti dari berbagai suku bangsa,
berbagai lapisan penghidupan, berbagai pendidikan dan berbagai usia.
(3) Apakah dalam generalisasi itu diperhitungkan hal-hal yang menyimpang dengan fenomena
umum atau tidak. Kekecualian-kekecualian harus diperhitungkan juga, terutama jika
kekecualian itu cukup besar jumlahnya. Dalam hal kekecualian cukup besar tidak mungkin
diadakan generalisasi. Semakin cermat faktor-faktor pengecualian dipertimbangkan,
semakin kuat kesempatan yang dihasilkan.
Misalnya : Bila kekecualian sedikit jumlahnya harus dirumuskan dengan hati-hati, kata-kata
seperti : semua, setiap, selalu, tidak pernah, selamanya dan sebagainya harus dihindari.
Pemakaian kata : hampir seluruhnya, sebagian besar, kebanyakan ; harus didasarkan atas
pertimbangan rasional yang cermat.
(4) Apakah kesimpulan yang disimpulkan konsisten dengan fenomena individual. Kesimpulan
yang dirumuskan haruslah merupakan konsekuen logis dari fenomena yang dikumpulkan,
tidak boleh memberikan tafsiran menyimpang dari data yang ada.
Misalnya : Penyelidikan tentang faktor utama penyebab rendahnya prestasi akademik
mahasiswa kebidanan. Apabila data setiap individu dari sampel yang diselidiki ditemukan
faktor-faktor lemahnya penguasaan bahasa asing, miskin literatur, kurang berdiskusi serta
terlalu banyaknya jenis mata kuliah. Lalu, disimpulkan bahwa penyebab rendahnya prestasi
itu adalah lemahnya penguasaan bahasa asing dan miskin literatur, ini tidak merupakan
konsekuensi logis dari fenomena yang dikumpulkan. Semakin banyak faktor analogik
ditinggalkan, semakin lemah kesimpulan yang dihasilkan (Mundiri 1994).

2) Analogi
Pikiran itu berangkat dari suatu kejadian khusus ke suatu kejadian khusus
lainnya yang semacam dan menyimpulkan bahwa yang benar pada yang satu
juga akan benar pada yang lain (Poespoprodjo & Gilarso 2006).
Analogi adalah suatu proses penalaran yang bertolak dari dua peristiwa khusus
yang mirip satu sama lain, kemudian menyimpulkan bahwa apa yang berlaku
untuk suatu hal akan berlaku pula untuk hal yang lain (Keraf 1994)
Analogi merupakan proses penalaran dari satu fenomena menuju fenomena
lain, kemudian disimpulkan bahwa apa yang terjadi pada yang fenomena
pertama akan terjadi pada fenomena yang lain (Mundiri 2005).
Analogi merupakan suatu bentuk penalaran induktif dimana kesimpulan
mengenai sesuatu (kejadian, orang, objek) karena kemiripannya dengan benda-
benda lain.
Analogi pada dasarnya membandingkan dua hal, dan mengambil kesamaan dari
dua hal tersebut (Karomani 2009).
Contoh:
Sheila berwajah putih karena memakai bedak padat.
Keysia juga ikut memakai bedak padat agar berwajah putih.
Dari contoh di atas Keysia menggunakan penalaran analogi induktif. Karena, ia
menarik simpulan jika memakai bedak padat maka wajahnya akan putih seperti
Sheila.

8
3) Hubungan Sebab Akibat
Penalaran jenis ini dimulai dari suatu peristiwa sehingga sampai pada suatu
kesimpulan bahwa peristiwa itu adalah suatu keadaan atau peristiwa tersebut
akibat suatu keadaaan (Poespoprodjo & Gilarso 2006).
Merupakan suatu bentuk penalaran induktif dimana kesimpulan mengenai
suatu akibat dari suatu keadaan dibuat berdasarkan sebab yang diketahui.
Contoh:
Kemarau tahun ini cukup panjang. Sebelumnya, pohon-pohon di hutan
yang berfungsi sebagai penyerap air banyak yang ditebang. Selain itu, irigasi di
desa Sidomulyo tidak lancar. Ditambah lagi dengan harga pupuk yang semakin
mahal serta kurangnya pengetahuan para petani dalam menggarap lahan
tanahnya. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika panen di desa ini selalu
gagal.
4) Hubungan Akibat Sebab
Hubungan sebab akibat merupakan pemikiran yang berawal dari suatu akibat
yang diketahui ke sebab yang mungkin menghasilkan akibat tersebut.
Hubungan akibat sebab ini merupakan pembalikan dari hubungan sebab akibat.
Contoh:
Ayah akan pergi ke rumah pak Tono. Ia pergi dengan mengendarai motor.
Di tengah perjalanan motor yang dikendarai Ayah mogok. Lalu Ayah mencari
penyebab motornya mogok, dan ternyata bensin motor Ayah habis.
5) Hubungan Prediksi
Yaitu suatu bentuk penalaran induktif yang menyimpulkan sebuah klaim
mengenai apa yang akan terjadi di masa depan berdasarkan observasi masa
lalu atau saat ini.
Misal :
Artikel “ Bali Bakal Terendam dan Nusa Dua akan Terpisah pada 2050”
Sumber : http//www.republika.co.id/berita/breaking-news/lingkungan/10/08/03/
128137-bali-bakal-terendam-dan-nusa-dua-akan-terpisa-pada-2050
Berdasarkan proyeksi curah hujan jangka pendek dan jangka panjang untuk
daerah Jakarta hingga tahun 2030. Pada proyeksi curah hujan jangka pendek,
terdapat sedikit perubahan pada pola sebaran curah hujan meski belum ada
perubahan niali curah hujan maksimum dari tahun ke tahun yaitu tetap 340 mm.
“Pada proyeksi jangka pendek memperlihatkan terjadinya kenaikan jumlah
curah hujan di Jakarta khususnya bagian selatan. Curah hujan pun akan semakin
mengalami peningkatan sebesar 20 mm setiap lima tahun” papar ahli perubahan
iklim dari ITB, Dr rer.nat Armi Susandi, MT dalam orasi ilmiah yang dilakukan
pada peresmian penerimaan mahasiswa baru TA 2010/2011 di Sasana Budaya
Ganesha (Sabuga) ITB, Bandung.
Sedangkan pada proyeksi curah hujan jangka panjang terjadi penyebarran
peningkatan curah hujan ke arah utara. Sehingga Jakarta Pusat dan sebagian
Jakarta Selatan akan kerap terjadi banjir bandang yang jauh lebih besar pada
tahun-tahun sesudah 2030.
Anomali cuaca dan iklim ini akan menimbulkan dampak yang lebih dramatis
seperti yang akan terjadi pada pulau Bali. Luas Pulau Bali kini 5.632 km2 pada
2050 akan terendam seluas 489 km2. Rendamannya akan semakin luas pada
2070 hingga mencapai 557 km2.

9
b. Penalaran Deduktif
Penalaran yang bersifat deduksi pada suatu pernyataan yang bersifat umum
dan satu pernyataan khusus. Pernyataan umum disebut premis mayor sedangkan
pernyataan khusus disebut premis minor (Parera 1991)
Deduksi adalah suatu cara berpikir dari pernyataan yang bersifat umum ditarik
kesimpulan yang bersifat khusus. Penalaran deduktif adalah proses pembuktian
suatu kesimpulan dari satu atau beberapa pernyataan. Penalaran deduktif adalah
penalaran dari suatu fakta yang umum ke fakta yang spesifik. Penalaran deduktif
mencapai suatu kesimpulan spesifik berdasarkan suatu hal yang umum. Kesimpulan
yang terbukti benar berdasarkan penalaran deduktif disebut teorema.
Cara berpikir deduksi terbagi atas silogisme kategorik, silogisme hipotetik,
silogisme alternatif, dan entimem. Silogisme adalah suatu proses penalaran yang
berusaha menghubungkan dua proposisi yang berlainan untuk menurunkan suatu
kesimpulan yang merupakan proposisi ketiga (Keraf 1994). Sebelum menyusun
silogisme kita terlebih dahulu mengetahui hukum-hukum dalam silogisme. Dengan
menggunakan hukum silogisme susunannya tepat atau tidak, sahih atau tidak sahih
dapat kita ketahui (Karomani 2009).
Hukum silogisme itu sebagian mengenai unsur term dan sebagian lagi
mengenai unsur proposisi dalam silogisme. Berikut dikemukakan Soekadijo, 1988
(Karomani 2009). Adapun hukum silogisme mengenai term. Silogisme memunyai tiga
term, yakni S, M, dan P. Hukum silogisme yang pertama sebagai berikut:
 Jumlah term dalam silogisme tidak boleh lebih dari tiga. S-M-P. Hukum ini
rumusan operasional dari prinsip persamaan. Dalam silogisme term tengah
adalah pembanding yang digunakan untuk mengetahui apakah subjek S sama
dengan predikat P atau tidak. Hasil dari pembandingan itu adalah S = P atau S ≠
P. Inilah konklusi silogisme.
 Term tengah (M) tidak boleh terdapat dalam konklusi. Hukum silogisme ini dapat
pula dijelaskan dengan cara memperhatikan fungsi term tengah. Term tengah
pada dasarnya berfungsi mengadakan perbandingan dengan term-term lainnya
dalam kedua premis. Oleh karena itu term tengah hanya diperlukan dalam
premis-premis saja, dan bukan dalam konklusi.
 Term tengah (M) setidak-tidaknya satu kali harus berdistribusi. Silogisme itu
suatu bentuk penalaran dan seperti semua penalaran, menyimpulkan suatu
konklusi dari premisnya, yang berarti bahwa premis itu sudah terkandung dalam
premisnya. Tidak mungkin konklusi mengadakan sesuatu yang secara implisit
belum terdapat di dalam premis. Kesatuan berpikir seperti ini akan terjadi
apabila term S atau P di dalam konklusi lebih luas daripada term S atau P dalam
premis.
 Term S dan P dalam konklusi tidak boleh lebih luas daripada dalam premis.
Kesesatan yang melanggar hukum ini banyak terjadi dan dinamakan dalam
bahasa latin dengan latius hos.

Hukum silogisme mengenai proposisi. Hukum pertama mengenai proposisi dalam


silogisme adalah rumus opersional dari prinsip persamaan. Prinsip ini terdiri dari
tiga anggota, berupa tiga proposisi, dua proposisi afirmatif sebagai premis yaitu S =
M dan M = P, dan yang ketiga sebagai konklusinya, yaitu S = P, yang juga sebuah
proposisi afirmatif.

10
Hukum silogisme itu adalah.
 Apabila proposisi-proposisi dalam premis afirmatif, maka konklusinya harus
afirmatif. Menurut prinsip perbedaan tidak mungkin proposisi-proposisi dalam
premis itu semuanya negatif, salah satu pasti harus afirmatif; S = M dan M ≠ P
atau sebaliknya. Kalau kedua proposisi dalam premis itu negatif, tidak ada term
yang berfungsi sebagai term tengah, tidak ada term yang menghubungkan term
S dan term P. Kalau S ≠ M dan M ≠ P maka term M tidak berfungsi term tengah,
artinya tidak menghubungkan term S dengan P.
 Proposisi di dalam premis tidak boleh kedua-keduanya negatif. Menurut
perbedaan pula, kecuali proposisi dalam premis itu harus yang satu afirmatif dan
yang lainnya negatif, maka konklusinya pasti negatif. Proposisi afirmatif itu
dipandang proposisi kuat, sedangkan proposisi negatif itu proposisi lemah.
 Konklusi mengikuti proposisi yang lemah dalam premis, akan tetapi hukum di
atas juga harus diartikan bahwa kalau di dalam premis ada proposisi partikular,
maka konklusinya pun harus partikular. Sebab penilaian kuat atau lemah itu juga
mengenai kuantitas proposisi. Dalam hal ini, proposisi universal adalah proposisi
kuat, sedangkan proposisi partikular adalah lemah. Bahwa konklusinya harus
mengikuti proposisi partikular yang terdapat di dalam premis adalah jelas. Jika
tidak demikian akan terjadi kesesatan Latius Hos, term S di dalam konklusi akan
lebih luas daripada di dalam premis.
 Proposisi dalam premis tidak boleh kedua-duanya partikular, setidak-tidaknya
salah satu harus universal. Hukum ini sebenarnya hanya merupakan pelaksanaan
hukum ketiga atau keempat di atas mengenai term. Pelanggaran terhadap
hukum tiga atau empat, tergantung bentuk silogismenya. Dua proposisi yang
partikular dalam premis itu kedua-duanya proposisi afirmatif atau salah satu
diantaranya adalah proposisi negatif. Kalau disusun sebagai premis, ada tiga
kemungkinan sebagai berikut.
Bentuk I Bentuk II Bentuk III
Mayor : Beberapa M = P Beberapa M = P Beberapa M ≠ P
Minor : Beberapa S = M Beberapa S ≠ M Beberapa S = M
Bentuk I melanggar hukum tiga mengenai term, karena term M dua kali tidak
terdistribusi. Bentuk II akan menghasilkan konklusi S ≠ P, di mana P akan
berdistribusi, sedangkan di dalamnya mayor term P tidak berdistribusi. Jadi,
melanggar hukum 4 mengenai term. Bentuk III sekali lagi term M dua kali tidak
berdistribusi.
1) Silogisme Kategorik
Silogisme adalah suatu bentuk formal deduksi yang terdiri dari proposisi-
proposisi kategori. Konklusi dalam silogisme ditarik dari proposisi I dengan
bantuan proposisi II. Tanpa adanya proposisi II tidak dapat ditarik sebuah
konklusi. Jadi, kedua proposisi itu merupakan dasar bagi penarikan sebuah
konklusi Ihromi, 1987; Gie, dkk, 1980 (Karomani 2009).
Silogisme kategorik merupakan struktur suatu deduksi berupa suatu proses
logis yang terdiri dari tiga bagian yang masing-masing bagiannya berupa
pernyataan kategoris atau pernyataan tanpa syarat (Poespoprodjo & Gilarso
2006).
Silogisme kategorial disusun berdasarkan klasifikasi premis dan kesimpulan
yang kategoris. Premis yang mengandung predikat dalam kesimpulan disebut

11
premis mayor, sedangkan premis yang mengandung subjek dalam kesimpulan
disebut premis minor.
Silogisme kategorial terjadi dari tiga proposisi, yaitu:
Premis umum : Premis Mayor (My)
Premis khusus : Premis Minor (Mn)
Premis simpulan : Premis Kesimpulan (K)
Dalam simpulan terdapat subjek dan predikat. Subjek simpulan disebut term
mayor, dan predikat simpulan disebut term minor.
Contoh 1
Proposisi I : Semua sarjana adalah tamatan S1.
Proposisi II : Daniel adalah sarjana.
Konklusi : Daniel tamatan S1.
Contoh 2
Proposisi I : Semua tanaman membutuhkan air.
Proposisi II : Akasia adalah tanaman.
Konklusi : Akasia membutuhkan air
2) Silogisme Hipotetik
Menurut Parera, 1987 (Karomani 2009) silogisme hipotetis atau silogisme
pengandaian adalah semacam pola penalaran deduktif yang mengandung
hipotesis. Silogisme ini bertolak dari suatu pendirian, bahwa ada kemungkinan
apa yang disebut dalam proposisi itu tidak ada atau tidak terjadi.
Silogisme hipotesis terdiri atas premis mayor yang berproposisi konditional
hipotesis. Konditional hipotesis yaitu, bila premis minornya membenarkan
anteseden, simpulannya membenarkan konsekuen. Bila minornya menolak
anteseden, simpulannya juga menolak konsekuen
Premis mayornya mengandung pernyataan yang bersifat hipotesis, dan premis
minornya mengandung pernyataan apakah kondisi pertama terjadi atau tidak.
Rumus proposisi mayor dari silogisme ini adalah jika P maka Q.
Jenis-jenis silogisme hipotetik sebagai berikut.
a) Silogisme hipotetik yang premis minornya mengakui bagian anteseden, seperti:
Premis Mayor : Jika hujan, saya naik becak.
Premis Minor : Sekarang hujan.
Kesimpulan : Jadi, saya naik becak.
b) Silogisme hipotetik yang premis minornya mengakui bagian konsekuennya,
seperti:
Premis Mayor : Bila hujan, bumi akan basah.
Premis Minor : Sekarang bumi telah basah.
Kesimpulan : Jadi, hujan telah turun.
c) Silogisme hipotetik yang premis minornya mengingkari anteseden, seperti:
Premis Mayor : Jika politik pemerintah dilaksanakan dengan paksa, maka
kegelisahan akan timbul.
Premis Minor : Politik pemerintahan tidak dilaksanakan dengan paksa,
Kesimpulan : Jadi, kegelisahan tidak akan timbul.
d) Silogisme hipotetik yang premis minornya mengingkari bagian
konsekuennya, seperti:
Premis Mayor : Bila mahasiswa turun ke jalanan, pihak penguasa akan
gelisah.

12
Premis Minor : Pihak penguasa tidak gelisah.
Kesimpulan : Jadi, mahasiswa tidak turun ke jalanan.
Bila anteseden kita lambangkan dengan A dan konsekuen dengan B maka,
hukum silogisme hipotetik adalah sebagai berikut :
a) Bila A terlaksana maka B juga terlaksana.
b) Bila A tidak terlaksana maka B tidak terlaksana. (tidak sah = salah)
c) Bila B terlaksana, maka A terlaksana. (tidak sah = salah)
d) Bila B tidak terlaksana maka A tidak terlaksana
3) Silogisme Alternatif
Silogisme alternatif merupakan silogisme yang proposisi mayornya
mengandung kemungkinan atau pilihan. Proposisi minornya menerima atau
menolak salah satu alternatif itu. Konklusinya bergantung pada premis minor.
Jika premis minor menolak satu alternatif, maka alternatif lain diterima (Ihromi,
1987; Parera, 1987 dalam (Karomani 2009)).
Silogisme alternatif adalah silogisme yang premis mayornya keputusan
alternatif sedangkan premis minornya kategorik yang mengakui atau
mengingkari salah satu alternatif yang disebut oleh premis mayor.
Silogisme yang terdiri atas premis mayor berupa proposisi alternatif.
Proposisi alternatif yaitu bila premis minornya membenarkan salah satu
alternatifnya. Simpulannya akan menolak alternatif yang lain
Rumus Silogisme Alternatif
Premis Mayor : A atau B
Premis Minor : Bukan A atau bukan B
Kesimpulan : Jadi B (atau) A
Contoh 1
Premis Mayor : Andi mencintai saya atau membenci saya.
Premis Minor : Andi tidak mencintai saya
Kesimpulan : Maka, Andi membenci saya.
Premis Mayor : Hasan di rumah atau di pasar.
Premis Minor : Hasan tidak di rumah.
Kesimpulan : Jadi, Hasan di pasar
Hukum-hukum silogisme alternatif dapat dijelaskan sebagai berikut.
Bila premis minor mengakui salah satu alternatif, maka konklusinya sah (benar).
Contoh:
Budi menjadi guru atau pelaut.
Budi adalah guru.
Maka Budi bukan pelaut.
Bila premis minor mengingkari salah satu alternatif, maka konklusinya tidak sah
(salah).
Contoh:
Penjahat itu lari ke Solo atau ke Yogya.
Ternyata tidak lari ke Yogya.
Maka dia lari ke Solo.
Konklusi ini salah karena bisa jadi dia lari ke kota lain.
4) Silogisme Entimen
Silogisme ini jarang ditemukan dalam kehidupan sehari hari, baik dalam tulisan
maupun lisan. Yang dikemukakan hanya premis minor dan simpulan.

13
Contoh :
Dia menerima hadiah pertama, karena dia telah menang dalam sayembara itu
Anda telah memenangkan sayembara ini, karena itu anda berhak menerima hadiahnya

Daftar Pustaka
Akhadiah, S., 1994. Pembinaan Kemampuan Menulis Bahasa Indonesia, Jakarta: Erlangga.
Karomani, 2009. Logika, Yogyakarta: Graha Ilmu.
Keraf, G., 1994. Argumentasi dan Narasi, Jakarta: Gramedia Pustaka Tama.
Mundiri, 2005. Logika, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Mundiri, 1994. Logika, Jakarta: Raja Grafindo.
Parera, J.D., 1991. Kajian Linguistik Umum Historis Komparatif dan Tipologi Struktural Kedua.,
Jakarta: Erlangga.
Poedjawijatna, 2004. Logika Filsafat Berfikir, Jakarta: Rineka Cipta.
Poespoprodjo, 1999. Logika Scientifika, Bandung: Pustaka Grafika.
Poespoprodjo, W. & Gilarso, E.T., 2006. Logika Ilmu Menalar, Bandung: Pustaka Grafika.
Shadiq, F., 2004. Pemecahan Masalah, Penalaran dan Komunikasi, Yogyakarta: PPPG
Matematika.
Soekadijo, R., 1991. Logika Dasar, Tradisional, Simbolik dan Induktif, Jakarta: Gramedia Pustaka.
Surajiyo, S.A. & Andiani, S., 2005. Dasar-dasar Logika, Jakarta: Bumi Aksara.
Wardani, S., 2008. Analisis SI dan SKL Mata Pelajaran Matematika SMP/ MTs Untuk Optimalisasi
Pencapaian Tujuan. , p.11.

14

Anda mungkin juga menyukai