Anda di halaman 1dari 10

HUBUNGAN KARAKTERISTIK RESPONDEN DENGAN KEJADIAN

INFERTILITAS PADA WANITA USIA SUBUR DI KLINIK


MERCY PEKANBARU
Selfy Wulandari1
1
Mahasiswa Program Studi Sarjana Keperawatan Universitas Pahlawan Tuanku Tambusai
Email :selfywulandari@gmail.com

ABSTRAK
Pendahuluan: Infertilitas adalah ketidakmampuan pasangan untuk mencapai sebuah kehamilan meski sudah rutin
melakukan hubungan seksual tanpa menggunakan kontrasepsi selama 12 bulan atau lebih. Salah satu pelayanan
kesehatan reproduksi yang menjadi isu penting adalah infertilitas. Infertilitas adalah ketidak mampuan untuk
hamil sampai melahirkan bayi hidup setelah satu tahun melakukan hubungan seksual yang teratur dan tidak
menggunakan alat kontrasepsi apapun. Namun saat ini Wanita Usia Subur (WUS) banyak mengalami infertilitas.
Penyebab seorang wanita infertilitas salah satunya adalah umur, pendidikan dan pekerjaan. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui hubungan karakteristik responden dengan kejadian infertilitas pada Wanita Usia
Subur (WUS) di Klinik Mercy Pekanbaru. Metode: Jenis penelitian ini adalah bersifat analitik dengan
menggunakan pendekatan penelitian Cross Sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh WUS yang
mengalami infertilitas di klinik Mercy Pekanbaru yang sebanyak 100 orang dengan jumlah sampel adalah 80
orang, adapun teknik pengambilan sampel menggunakan teknik simple sampling. Hasil: sebagian besar
responden dalam rentang umur < 20 dan > 35 tahun sebanyak 59 orang (73,8%), sebagian besar responden
berpendidikan rendah sebanyak 53 orang (66,2%), sebagian besar responden bekerja sebanyak 40 orang (61,2%).
Simpulan: Setelah dilakukan uji chi-square didapatkan nilai p value 0,000 dan 0,001 (< 0,05) artinya ada
hubungan yang signifikan umur, pendidikan dan pekerjaan dengan kejadian infertilitas pada wanita usia subur di
Klinik Mercy Pekanbaru. Diharapkan pada responden (WUS) untuk dapat megatur waktu pekerjaan agar dapat
mencegah terjadinya infertilitas dan membantu keberhasilan program kehamilan yang dijalani di Klinik Mercy
Pekanbaru.

Kata Kunci: Kejadian Infertilitas, Pekerjaan, Pendidikan, Umur

JKT : Jurnal Kesehatan Tambusai Page 1


ABSTRACT
Preliminary: infertility is the inability of a couple to achieve a pregnancy even though they have had regular
sexual intercourse without using contraceptives for 12 months or more. One of the reproductive health services
that has become an important issue is infertility. Regularly and do not use any form of contraseption. However,
currently, women of childbearing age (WUS) experience infertility. The couses of infertility in women are age,
education and occupation. Method: this study aims to determine the correlation between the charactersistics of
respondents and the incidence of infertlilty in unfertile women (WUS) at mercy clinic pekanbaru. This type of
research is analytic in nature using the oru sectional research approach. Polulan in this study is all WUS
experiencing infertlility at the mercy pekanbaru dinac as many as 100 poeple with a total sample of 80 poeple,
while the sampling tecnique uses sample sampling technique. The result : most of the respondents in the age
range of 20 and>35 years were 59 poeple (73.856), most of the respondents had low education as many as 53
poeple (66.2%), most of the respondents worked as many as 40 poeple (61.255%). Conclusion: P valeu 0.000
and 0.0001 (0.05) meaning that there is significant relationship betweenage, education and accupation with the
incidence of expected that respondents (WUS) will be able to manage their time of work in order the prevent
inferlility and heap support the pregnancy program undertaken at mercy clinic pekanbaru.

Keyword: infertility incidence, profession, education age

PENDAHULUAN
Kehadiran seorang anak merupakan dambaan bagi setiap pasangan suami istri apalagi bagi mereka
yang telah lama menikah (Indrawati,2017). Akan tetapi, sering kali muncul suatu masalah yang dapat
menghambat terjadinya kehamilan yang sering disebut sebagai infertilitas. Infertilitas adalah
ketidakmampuan pasangan untuk mencapai sebuah kehamilan meski sudah rutin melakukan hubungan
seksual tanpa menggunakan kontrasepsi selama 12 bulan atau lebih (Dyani, 2020). Infertilitas dapat di
kelompokkan menjadi infertilitas primer dan sekunder. Infertilitas primer terjadi jika pasangan belum pernah
mengalami kosepsi setelah 12 – 24 bulan berhubungan tanpa kontrasepsi, sedangkan infertilitas sekunder
terjadi jika pasangan sebelumnya pernah mengalami konsepsi atau kehamilan minimal satu kali (Adelia,
2019).
Menurut World Health Organization (WHO) secara global memperkirakan adanya kasus infertilitas
sekitar 8% - 10% pada pasangan suami istri, jika dari gambaran global populasi maka sekitar 50 - 80 juta
pasangan suami istri (1 dari 7 pasangan) atau sekitar 2 juta pasangan infertilitas baru setiap tahun dan jumlah
ini terus meningkat. Berdasarkan National Survey of Family Growth (NSFG) di Amerika Serikat, persentase
wanita infertilitas pada tahun 1988 hingga tahun 1995 terus mengalami peningkatan dari 8,4% menjadi
10,2% (6.2 juta pasangan). Kejadian ini diperkirakan akan terus meningkat hingga mencapai 7,7 juta pada
tahun 2025. Infertilitas di Amerika Serikat, infertilitas primer sebesar 65 % wanita dan infertilitas sekunder
sebesar 35 % wanita (Chandra et al, 2013).
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2012 kejadian infertilitas di Indonesia
mengalami peningkatan setiap tahun. Prevalensi pasangan infertilitas di Indonesia tahun 2013 adalah 15% -
25% dari seluruh pasangan yang ada (Riskesdas, 2013). Berdasarkan data dari Perhimpunan Fertilisasi In
Vitro Indonesia (PFIVI) pada tahun 2017, terdapat 1.712 pria dan 2.055 wanita yang mengalami infertilitas.
Berdasarkan data infertilitas di Klinik Mercy Infertility Pekanbaru tahun 2019, prevalensi infertilitas
mengalami peningkatan dibanding tahun 2018 yang hanya sebanyak 70 orang. Prevalensi penderita
infertilitas mengalami peningkatan menjadi 379 orang. Sedangkan prevalensi infertilitas bulan Januari –
Maret tahun 2021 sebanyak 100 orang
Berdasarkan penelitian Chandran (2013) melaporkan dari 215 pasangan yang infertilitas terdapat 172
kasus (80 %) pasangan yang mengalami infertilitas primer dan 43 kasus (20 %) pasangan yang mengalami
infertilitas sekunder. Infertilitas diakibatkan dari faktor laki - laki sekitar 30% meliputi kelainan pengeluaran
sperma, penyempitan saluran mani karena infeksi bawaan, faktor immunologik / antibodi, antisperma, serta

JKT : Jurnal Kesehatan Tambusai Page 2


faktor gizi. Faktor dari perempuan 30% yang mempunyai masalah pada vagina, serviks, uterus, kelainan
pada tuba, ovarium dan pada peritoneum. dan gangguan dari keduanya 30% dan yang tidak di ketahui sekitar
10%.
Resiko terjadinya infertilitas dapat meningkat karena beberapa faktor, salah satunya adalah faktor
umur. Menurut Krishna (2013) kesuburan seorang wanita akan menurun drastis setelah mereka menginjak
umur 35 tahun. Selama wanita tersebut masih dalam masa reproduksi yang berarti mengalami haid yang
teratur, kemungkinan mengalami kehamilan sangat besar. Akan tetapi seiring dengan bertambahnya umur
maka kemampuan indung telur untuk menghasilkan sel telur akan mengalami penurunan (Saragih 2014).
Pendidikan juga merupakan salah satu yang berhubungan dengan pasangan infertilitas. Tingkat
pendidikan mempengaruhi perilaku / respon individu terhadap suatu fenomen. Pendidikan rendah sangat
dipengaruhi adanya kecendrungan melakukan pernikahan dini dengan kata lain tanpa adanya pengetahuan
tentang persiapan dalam memiliki keturunan juga akan berpengaruh dalam kehidupan rumah tangga dan
bagaimana persiapan dalam mendapatkan keturunan (Alfiyah, 2010). Menurut Bulahari et al (2015) terdapat
hubungan tingkat pendidikan dengan kejadian infertilitas disebabkan oleh cara berpikir seseorang yang
sempit, hal ini ditunjukkan oleh berbagai kegiatan yang dilakukan sehari - hari seperti menjaga pola makan
dan kesehatan reproduksinya. Seseorang WUS dengan pendidikan rendah tidak dapat meningkatkan
kematangan intelektual sehingga tidak dapat memberikan keputusan yang tepat dalam bertindak dan memilih
pelayanan kesehatan reproduksi yang tepat untuk dirinya.
Menurut Notoadmojo (2010) mengatakan seseorang yang berpendidikan tinggi pengetahuannya akan
berbeda dengan orang yang berpendidikan rendah. Pendidikan pada saat ini bukan hanya merupakan suatu
proses pembelajaran dalam masyarakat, tetapi sudah berkembang menjadi narasumber dari segala
pengetahuan. Pendidikan mempunyai fungsi utama untuk meningkatkan pengetahuan. Pendidikan
merupakan sarana sosialisasi nilai budaya di masyarakat (Anwarudin, 2010).
Menurut Sukmadinata (2010) mengatakan pendidikan diperlukan untuk mendapatkan informasi
misalnya hal - hal yang menunjang kesehatan, sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup. Makin tinggi
tingkat pendidikan seseorang, makin mudah menerima informasi sehingga makin banyak pula pengetahuan
yang dimiliki, sebaliknya pendidikan yang kurang akan menghambat perkembangannya sikap seseorang
terhadap nilai-nilai yang baru diperkenalkan. Lingkungan pekerjaan sangat berbahaya terhadap fisik dan
bahan kimianya dihubungkan dengan peningkatan resiko infertilitas pada WUS.
Menurut beberapa penelitian, pekerjaan seseorang juga memegang peranan penting dalam
menyumbang angka kejadian infertilitas. Ditemukan sebesar 54,4% wanita infertilitas merupakan wanita
yang bekerja penuh waktu, 33,3% wanita yang bekerja paruh waktu dan 3,5% merupakan wanita sebagai ibu
rumah tangga (Hammerli et al, 2010). Tingginya kejadian infertilitas pada wanita yang bekerja dihubungkan
dengan perasaan tertekan yang dialami wanita ketika pekerja sehingga dapat menyebabkan terjadinya stress
pada saat bekerja. Stress berpengaruh terhadap keseimbangan hormon, termasuk hormon yang berkaitan
dengan sistem reproduksi yang dapat mempengaruhi proses terjadinya ovulasi (Indrawati, 2017).
Berdasarkan hasil survey awal yang dilakukan pada 5 orang WUS yang mengalami infertilitas di
Klinik Mercy Pekanbaru, didapatkan 3 orang berumur > 35 tahun, 2 orang mengatakan bekerja sebagai
wiraswasta dan 3 orang mengatakan berpendidikan tamat SMP. Berdasarkan teori diatas penulis menemukan
fenomena tentang infertilitas terhadap pasangan usia subur untuk dilakukan penenlitian dengan judul
“Hubungan Karakteristik dengan Kejadian Infertilitas Pada Wanita Usia Subur di Klinik Mercy Infertility
Pekanbaru”.

METODE
Penelitian ini bersifat analitik dengan menggunakan pendekatan penelitian Cross Sectional. Penelitian
ini telah dilakukan pada tanggal 17 -30 Juni tahun 2021 di Klinik Mercy Pekanbaru. Populasi penelitian ini
adalah semua Wanita Usia Subur (WUS) bulan Januari – Maret di Klinik Mercy Pekanbaru Tahun 2021
sebanyak 100 orang. Pengambilan sampel pada penelitian ini yaitu dengan teknik simple random sampling
sebanyak 80 orang. Untuk mengetahui karakteristik responden dan kejadian infertilitas pada WUS, peneliti
menggunakan data sekunder yaitu Medical Record (MR). Analisa data yang digunakan yaitu univariat dan
bivariat dengan uji chis-quare dengan nilai α (0,05).

JKT : Jurnal Kesehatan Tambusai Page 3


HASIL
Analisis Univariat
Tabel 4.1 : Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Karakteristik Umur Pada WUS di Klinik Mercy Pekanbaru
No Umur (tahun) Frekuensi (n) Presentase (%)
1. 20 – 35 21 26,2
2. <20 dan >35 59 73,8
Total 80 100
Sumber : Data Sekunder, 2021
Berdasarkan tabel 4.1 didapatkan bahwa dari 80 orang Wanita Usia Subur (WUS), sebagian besar
responden dalam rentang berumur < 20 dan > 35 tahun yaitu sebanyak 59 responden (73,8%).
Tabel 4.2 : Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Karakteristik Pendidikan Pada WUS di Klinik Mercy
Pekanbaru
No Pendidikan Frekuensi (n) Persentasi (%)
1. Rendah (SD dan SMP) 53 66,2
2. Tinggi (SMA dan PT) 27 33,8
Total 80 100
Sumber :Data Sekunder, 2021
Dari tabel 4.2 didapatkan bahwa dari 80 orang Wanita Usia Subur (WUS) sebagian besar responden
berpendidikan rendah (SD dan SMP) yaitu sebanyak 53 responden (66,2%).
Tabel 4.3 : Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Karakteristik Pekerjaan Pada WUS di Klinik
Mercy Pekanbaru
No Pekerjaan Frekuensi (n) Persentasi (%)
1. Tidak Bekerja 31 38,8
2. Bekerja 49 61,2
Total 80 100
Sumber :Data Sekunder, 2021
Dari tabel 4.3 didapatkan bahwa dari 80 orang Wanita Usia Subur (WUS) sebagian besar responden bekerja
yaitu sebanyak 49 responden (61,2%).
Tabel 4.4 : Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Kejadian Infertilitas Pada WUS di Klinik Mercy
Pekanbaru
No Kejadian Infertilitas Frekuensi (n) Persentasi (%)
1. Primer 52 65,0
2. Sekunder 28 35,0
Total 80 100
Sumber :Data Sekunder, 2021
Dari tabel 4.4 didapatkan bahwa dari 80 orang Wanita Usia Subur (WUS) sebagian besar responden
mengalami kejadian infertilitas primer sebanyak 52 responden (65%).
Analisis Bivariat
Analisa bivariat dilakukan untuk mengetahui hubungan antara variabel independen (umur, pendidikan dan
pekerjaan) dan variabel dependen (kejadian infertilitas) dengan menggunakan uji statistik chi square. Variabel
dilakukan uji normalitas untuk mengetahui data terdistribusi normal atau tidak, karena uji Chi-Square dengan
derajat kepercayaan α < 0,05, data harus terdistribusi normal. Dengan hasil uji normalitas umur di dapatkan
(0,100 ÷ 0,269 = 0,4), artinya skewness dibagi standar error < 2, sehingga untuk variabel umur didapatkan data
terdistribusi normal. Hasil uji normalitas pendidikan didapatkan (0,410 ÷ 0,269 = 1,5), artinya skewness dibagi
standar error < 2 sehingga untuk variabel pendidikan data terdistribusi normal. Hasil uji normalitas pekerjaan
didapatkan (0,471 ÷ 0,269 = 1,7), artinya skewness dibagi standar error < 2 sehingga untuk variabel pekerjaan
data terdistribusi normal. Hasil uji normalitas kejadian infertilitas (0,441 ÷ 0,269 = 1,6), artinya skewness dibagi
standar error < 2 sehingga untuk variabel kejadian infertilitas data terdistribusi normal. Hasil analisis dapat
dilihat pada tabel berikut :

JKT : Jurnal Kesehatan Tambusai Page 4


Tabel 4.5 : Hubungan Karakteristik Umur dengan Kejadian Infertilitas di Klinik Mercy Pekanbaru
Umur Kejadian Infertilitas Total OR P
Primer Sekunder (95%CI) value
n % n % n % 0,113 0,000
20 – 35 6 28,6 15 71,4 21 100 (0,037 – 0,350)
< 20 dan > 35 46 78,0 13 22,0 59 100
Total 52 65,0 28 35,0 80 100
Sumber :Data Sekunder, 2021
Berdasarkan tabel 4.5 dapat dilihat bahwa dari 21 responden (100%), yang berumur 20 – 35 tahun,
didapatkan ada 6 (28,6%) responden yang mengalami kejadian infertilitas primer. Sedangkan dari 59 responden
yang berumur < 20 dan > 35 tahun, didapatkan ada 13 (22%) responden yang mengalami kejadian infertilitas
sekunder. Hasil uji statistik didapatkan nilai P value 0,000 maka dapat disimpulkan ada hubungan yang signifikan
antara karakteristik umur dengan kejadian infertilitas). Kemudian dari hasil analisis diperoleh OR ( Odd Ratio) =
0,113 artinya responden yang berumur < 20 dan > 35 tahun mempunyai risiko 0,113 kali lebih tinggi mengalami
kejadian infertilitas dibandingkan dengan responden yang berumur 20 – 35 tahun.
Tabel 4.6 : Hubungan Karakteristik Umur dengan Kejadian Infertilitas di Klinik Mercy Pekanbaru
Pendidikan Kejadian Infertilitas Total OR P
Primer Sekunder (95%CI) value
n % n % n % 23,000 0,000
Rendah 46 86,8 7 13,2 53 100 (6,883 – 78,885)
Tinggi 6 22,2 21 77,8 27 100
Total 52 65,0 28 35,0 100 100
Sumber :Data Sekunder, 2021
Berdasarkan tabel 4.6 dapat dilihat bahwa dari 53 responden (100%), yang berpendidikan rendah,
didapatkan ada 7 (13,2%) responden yang mengalami kejadian infertilitas sekunder. Sedangkan dari 27 responden
yang berpendidikan tinggi, didapatkan ada 6 (22,2%) responden yang mengalami kejadian infertility primer. Hasil
uji statistik didapatkan nilai P value 0,000 maka dapat disimpulkan ada hubungan yang signifikan antara
karakteristik pendidikan dengan kejadian infertiltas). Kemudian dari hasil analisis diperoleh OR ( Odd Ratio) =
23,000 artinya responden yang berpendidikan rendah mempunyai risiko 23,000 kali lebih tinggi mengalami
kejadian infertilitas dibandingkan dengan responden yang berpendidikan tinggi.
Tabel 4.7 : Hubungan Karakteristik Pekerjaan dengan Kejadian Infertilitas di Klinik Mercy Pekanbaru
Pekerjaan Kejadian Infertility Total OR P
Primer Sekunder (95%CI) value
n % n % n % 0,185 0,001
Tidak Bekerja 13 41,9 18 58,1 31 100 (0,068 – 0,501)
Bekerja 39 79,6 10 20,4 49 100
Total 52 65,0 28 35,0 100 100
Sumber :Data Sekunder, 2021
Berdasarkan tabel 4.7 dapat dilihat bahwa dari 31 responden (100%), yang tidak bekerja, didapatkan ada 13
(41,9%) responden yang mengalami kejadian infertilitas primer. Sedangkan dari 49 responden yang bekerja,
didapatkan ada 10 (20,4%) responden yang mengalami kejadian infertilitas sekunder. Hasil uji statistik didapatkan
nilai P value 0,001 maka dapat disimpulkan ada hubungan yang signifikan antara karakteristik pekerjaan dengan
kejadian infertiltas). Kemudian dari hasil analisis diperoleh OR (Odd Ratio) = 0,185 artinya responden yang
bekerja mempunyai risiko 0,185 kali lebih tinggi mengalami kejadian infertilitas dibandingkan dengan responden
yang tidak bekerja.

PEMBAHASAN
1. Hubungan Karakteristik Umur dengan Kejadian Infertility
Hasil uji statistik chi square diperoleh nilai p value = 0,000 lebih kecil dari 0,05 yang artinya Hᴏ ditolak,
sehingga dapat disimpulkan bahwa ada hubungan umur terhadap kejadian infertility di Klinik Mercy Pekanbaru

JKT : Jurnal Kesehatan Tambusai Page 5


dengan nilai OR (Odds Ratio) 0,113, Artinya pasangan usia subur < 20 dan > 35 tahun berpeluang 0,1 kali
mengalami infertilitas primer dibandingkan dengan wanita usia subur yang berumur 20 – 35 tahun.
Hasil penelitian ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Widyastuti (2012) mengatakan bahwa
ketika seorang wanita semakin berumur, maka semakin kecil pula kemungkinan wanita tersebut untuk hamil.
Kejadian infertilitas berbanding lurus dengan pertambahan usia wanita. Wanita yang sudah berumur akan
memliki kualitas oosit yang tidak baik akibat adanya kelainan kromoson pada oosit tersebut. Menurut Azhari
(2011) penurunan kesuburan pada perempuan disebabkan beberapa hal. Semakin lanjut usia perempuan, semakin
tipis sisa cadangan sel telur yang ada. Karena, indung telur juga semakin kurang peka terhadap hormon
gonadotropin (hormon yang merangsang indung telur mengeluarkan hormon estrogen dan hormon progesteron).
Semakin lanjut usia istri, semakin meningkat juga risiko untuk terjadinya infertilitas.
Hal ini sesuai dengan pernyataan Depkes (2015) bahwa usia ideal seorang wanita untuk menikah ialah saat
dewasa muda yakni berkisar 25-35 tahun karena usia tersebut dinilai sudah cukup siap dari aspek kesehatan,
mental emosional, pendidikan, sosial ekonomi dan reproduksi. Usia merupakan faktor diluar organ yang
mempengaruhi ketidaksuburan atau infertilitas wanita. Usia wanita yang meningkat juga berdampak pada
cadangan sel telur yang semakin sedikit selain itu wanita yang sudah berumur juga cenderung memiliki gangguan
fungsi kesehatan sehingga menurunkan fungsi reproduksinya. Usia wanita .35 tahun secara tidak langsung lebih
berisiko mengalami infertilitas.
Menurut Aizid (2012) fase reproduksi merupakan waktu bereproduksi sehingga dapat mempunyai
kemampuan untuk hamil yang dimulai setelah fase pubertas sampai sebelum fase menopause. Pada fase
reproduksi, wanita mempunyai 400 sel telur. Semenjak wanita mengalami menarche sampai menopause, wanita
mengalami menstruasi secara periodik yaitu pelepasan satu sel telur. Jadi, wanita dapat mengalami menstruasi
sampai sekitar 400 kali. Diatas umur 35 tahun, kemampuan reproduksi wanita menurun drastis. Simpanan sel
telur mulai berkurang pada umur 35 tahun dikarenakan mulai terjadi ketidakseimbangan hormon sehingga
kesempatan wanita untuk bisa hamil menurun drastis dan kualitas sel telur yang dihasilkan menurun. Hal ini
mengakibatkan tingkat keguguran meningkat. Pada kisaran umur 45 tahun sel telur sudah tidak berproduksi
sehingga tidak terjadi menstruasi lagi dan kesempatan hamil sudah jauh meningkat.
Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Muslimin Yusriani et al (2016)
tentang faktor yang berhubungan dengan kejadian infertilitas pada wanita usia subur di RSU Sawerigading Palopo
terdapat hubungan usia dengan kejadian infertilitas. Penelitian yang dilakukan oleh Indrawati (2017)
menunjukkan berdasarkan analisis statistik ada hubungan antara usia dengan infertilitas wanita usia subur. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa kelompok usia responden lebih dari separuh berusia antara < 20 dan > 35 tahun.
Lebih lanjut penelitian Hadibroto (2010), menyebutkan bahwa tingkat infertilitas wanita berbeda tergantung dari
kelompok usia. Kelompok yang paling subur pada usia 20–29 tahun dengan tingkat 90 persen subur. Setelah itu,
pada usia 30–34 tahun angka ketidaksuburan naik menjadi 14 persen, usia 35–39 tahun meningkat lagi menjadi 20
persen, dan usia 40–44 tahun menjadi 25 persen.
Menurut asumsi peneliti puncak kesuburan berada pada pasangan usia subur yaitu usia 20 - 30 tahun,
dipuncak usia kesuburan ini, skala terjadinya kehamilan terbilang sangat tinggi yakni hingga 95%. Menurun 5%
menjadi 90% ketika seorang wanita memasuki usia 30 > tahun, dan terus menurun ketika wanita memasuki usia
40 > tahun, kemungkinan hamil turun menjadi 40%. Untuk menghindari terjadinya infertilitas sebaiknya wanita
usia subur menikah dalam rentang usia 20 – 35 tahun. Tingginya wanita usia subur yang mengalami infertilitas
primer dibandingkan infertilitas sekunder disebabkan karena faktor ketidaksuburan organ reproduksi perempuan.
Kejadian infertilitas primer erat hubungan dengan usia wanita usia subur yang terlalu muda menikah sehingga
organ reproduksi belum matang untuk membuahi dan usia responden yang melewati batas usia kesuburan.
Sehingga untuk mendapatkan keturunan menjadi susah. Sedangkan masalah infertilitas sekunder tidak disebabkan
karena faktor usia melainkan disebabkan faktor lain seperti obesitas pada wanita pada saat setelah melahirkan
anak pertama yang membuat sulitnya mendapatkan keturunan yang berikutnya.
Penelitian ini menemukan beberapa WUS dalam kategori umur 20 – 35 tahun tetapi mengalami infertilitas
primer sebanyak 6 orang (28,6%). Hal ini bisa disebabkan karena indeks masa tubuh WUS yang tidak ideal. Pada
WUS yang memiliki indeks masa tubuh tidak ideal akan membuat cara kerja hormon reproduksi tidak maksimal
sehingga dapat menimbulkan terjadinya infertilitas primer diawal pernikahan. Penyebab lain dapat disebabkan

JKT : Jurnal Kesehatan Tambusai Page 6


karena pekerjaan WUS yang memicunya terjadinya stres seperti pegawai swasta yang kerjanya memiliki aturan
dan waktu target pekerjaan harus diselesaikan.
Temuan lain yang peneliti temukan pada penelitian ini yaitu beberapa WUS dalam rentang umur < 20 dan
> 35 tahun tetapi mengalami infertilitas sekunder sebanyak 13 orang (22%). Hal ini dapat disebabkan karena
WUS memiliki pendidikan rendah yang tidak mengetahui masa suburnya. Informasi mengenai masa subur
mempengaruhi terjadinya kehamilan karena berhubungan seksual pada saat seorang perempuan dalam masa subur
akan membuat pembuahan lebih tinggi. Penyebab lain bisa dipengaruhi oleh indeks masa tubuh WUS yang tidak
ideal setelah kehamilan pertama sehingga untuk hamil lagi akan sulit. Indeks masa tubuh yang tidak ideal
membuat peningkatan jaringan lemak dan menghambat terjadinya pembuahan.
2. Hubungan Karakteristik Pendidikan dengan Kejadian Infertilitas
Hasil uji statistik chi square diperoleh nilai p value=0,000 lebih kecil dari 0,05 yang artinya Hᴏ ditolak,
sehingga dapat disimpulkan bahwa ada hubungan pendidikan terhadap kejadian infertilitas di Klinik Mercy
Pekanbaru dengan nilai OR (Odds Ratio) 16,000, Artinya wanita usia subur berpendidikan rendah berpeluang 16
kali mengalami infertilitas primer dibandingkan dengan wanita usia subur yang berpendiidkan tinggi.
Hasil penelitian ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Bulahari et al (2015) terdapat hubungan
tingkat pendidikan dengan kejadian infertilitas disebabkan oleh cara berpikir seseorang yang sempit, hal ini
ditunjukkan oleh berbagai kegiatan yang dilakukan sehari-hari seperti menjaga pola makan dan kesehatan
reproduksinya. Seseorang dengan pendidikan rendah tidak dapat meningkatkan kematangan intelektual sehingga
tidak dapat memberikan keputusan yang tepat dalam bertindak dan memilih pelayanan kesehatan reproduksi yang
tepat untuk dirinya. Sehingga semakin rendah tingkat pendidikan wanita wanita usia subur, maka akan semakin
rendah tingkat pengetahuan ibu tentang kesehatan reproduksi, kesehatan reproduksi ibu yang tidak sehat akan
berdampak terhadap kejadian infertilitas pada wanita usia subur.
Menurut Kurniawati (2017) pendidikan adalah salah satu faktor yang berpengaruh terjadinya infertilitas.
Pendidikan merupakan akar dari semua masalah yang ada dalam diri individu, karena dari pendidikan individu
akan mendapat pengetahuan yang nantinya akan membentuk sikapnya dalam hal pengambilan keputusan untuk
melakukan pernikahan. Masyarakat dengan tingkat pendidikan rendah tidak tahu tentang dampak negatif yang
bisa terjadi akibat pernikahan usia muda. Sedangkan masyarakat yang pendidikannya tinggi, terlalu idealis untuk
menentukan pernikahannya sendiri. Pendidikan mempengaruhi seorang untuk menunda usia pernikahannya.
Semakin lama seorang mengikuti pendidikan sekolah, maka secara teoritis makin tinggi pula usia menikah
pertamanya.
Hasil penelitian ini didukung oleh teori yang dikemukakan oleh Notoadmojo (2012) mengatakan tingkat
pendidikan seseorang sangat besar berpengaruh terhadap pengetahuan dan perilaku/tindakan. Seseorang yang
berpendidikan tinggi pengetahuannya akan berbeda dengan orang yang berpendidikan rendah. Penelitian ini juga
didukung oleh teori yang dikemukakan oleh Anwarudin (2012) mengatakan pendidikan pada saat ini bukan hanya
merupakan suatu proses pembelajaran dalam masyarakat, tetapi sudah berkembang menjadi pusat atau
narasumber dari segala pengetahuan. Pendidikan mempunyai fungsi utama yang selalu ada dalam perkembangan
sejarah manusia yaitu untuk meningkatkan taraf pengetahuan manusia. Pendidikan merupakan sarana sosialisasi
nilai-nilai budaya yang ada di masyarakat setempat juga sebagai media untuk mentransmisikan nilai-nilai baru
maupun mempertahankan nilai-nilai lama.
Menurut Sukmadinata (2011) mengatakan pendidikan diperlukan untuk mendapatkan informasi misalnya
hal - hal yang menunjang kesehatan, sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup. Makin tinggi tingkat
pendidikan seseorang, makin mudah menerima informasi sehingga makin banyak pula pengetahuan yang dimiliki,
sebaliknya pendidikan yang kurang akan menghambat perkembangannya sikap seseorang terhadap nilai-nilai
yang baru diperkenalkan. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Nurcahyani
(2015) bahwa sebagian besar responden berpendidikan rendah yang mengalami infertilitas. Hasil analisis statistik
didapatkan ada hubungan pendidikan dengan kejadian infertility pada pasangan usia subur. Penelitian ini
didukung juga oleh penelitian yang dilakukan oleh Buhari (2015) mengatakan adahubungan pendidikan dengan
kejadian infertilitas. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Yadzani di kota Ishafan Iran (2014) yang
menjelaskan bahwa pendidikan wanita usia subur banyak pada tingkat perguruan tinggi. Tingkat pendidikan
berhubungan dengan infertilitas, karena tingkat pendidikan menjadi faktor dalam menentukan usia pernikahan.

JKT : Jurnal Kesehatan Tambusai Page 7


Menurut asumsi peneliti pendidikan responden yang sebagain besar rendah (SD dan SMP) membuat
responden tidak paham prilaku seperti apa yang bisa membuat seseorang menderita infertilitas. Pendidikan
responden yang rendah mengakibatkan responden mengkonsumsi makanan yang tidak sehat yang dapat
menyebabkan terjadinya infertilitas. Dalam melakukan aktifitas sehari – hari responden juga tidak melakukan
perlindungan diri dari paparan lingkungan sekitar dan tempat kerjanya, karena responden tidak mengetahui
paparan zat kimia dan radiasi dari hanphone yang digunakan dapat menyebabkan responden mengalami
infertilitas. Oleh sebab itu pendidikan responden yang rendah membuat responden kurang mengetahui informasi
mengenai faktor penyebab yang bisa menyeabkan terjadinya infertilitas.
Tingkat pendidikan mempengaruhi perilaku / respon individu terhadap suatu fenomen. Pendidikan rendah
sangat dipengaruhi adanya kecendrungan melakukan pernikahan dini dengan kata lain tanpa adanya pengetahuan
tentang persiapan dalam memiliki keturunan juga akan berpengaruh dalam kehidupan rumah tangga dan persiapan
dalam mendapatkan keturunan Seseorang WUS dengan pendidikan rendah tidak dapat meningkatkan kematangan
intelektual sehingga tidak dapat memberikan keputusan yang tepat dalam bertindak dan memilih pelayanan
kesehatan reproduksi yang tepat untuk dirinya. Sebaliknya makin tinggi tingkat pendidikan seseorang, makin
mudah menerima informasi sehingga makin banyak pula pengetahuan yang dimiliki.
Penelitian ini menemukan beberapa WUS berpendidikan rendah tetapi mengalami infertilitas sekunder
sebanyak 7 orang (13,2%). masalah ini bisa disebabkan karena penyebab infertilitas bukan hanya karena
pendidikan rendah basih banyak faktor lain seperti indeks masa tubuh WUS yang ideal. Pada WUS yang memiliki
indeks masa tubuh ideal akan membuat cara kerja hormon reproduksi dengan baik sehingga dapat menimbulkan
terjadinya ovulasi atau kesuburan. Penyebab lain dapat disebabkan karena usia WUS 20 - 35 tahun yang
merupakan ideal untuk menikah sehingga peluang untuk terjadinya kehamilan lebih besar dibandingkan usia pada
saat kehamilan sebelumnya.
Temuan lain yang peneliti temukan pada penelitian ini yaitu beberapa WUS berpendidikan tinggi tetapi
mengalami infertilitas primer sebanyak 6 orang (22,2%). Hal ini dapat disebabkan karena WUS memiliki peran
ganda yaitu bekerja sebagai ibu rumah tangga dan bekerja membantu ekonomi keluarga. Wanita yang memiliki
tingkat beban kerja yang tinggi yang akan rentan terjadinya stres dan kelelahan fisik yang tinggi yang dapat
mengacaukan kadar hormon reproduksi seperti Lutheinizing Hormon (LH), prolaktin dan hormon gonadotropin
yang mempengaruhi terjadinya ovulasi dan terjadinya infertilitas primer. Kemungkinannya untuk hamil akan
semakin kecil dibandingkan dengan wanita yang tidak mengalami beban kerja.
3. Hubungan Karakteristik Pekerjaan dengan Kejadian Infertilitas
Hasil uji statistik chi square diperoleh nilai p value=0,000 lebih kecil dari 0,05 yang artinya Hᴏ ditolak,
sehingga dapat disimpulkan bahwa ada hubungan pekerjaan terhadap kejadian infertilitas di Klinik Mercy
Infertility Pekanbaru dengan nilai OR (Odds Ratio) 0,174, Artinya wanita usia subur memiliki pekerjaan berisiko
berpeluang 0,1 kali mengalami infertilitas primer dibandingkan dengan wanita usia subur yang memiliki
pekerjaan tidak berisiko.
Hasil penelitian ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Indrawati (2017) terdapat hubungan
pekerjaan dengan kejadian infertilitas, disebabkan oleh kelelahan dan stress yang di akibatkan oleh dampak dari
pekerjaan. Pekerjaan dapat mengakibatkan kelelahan pada wanita sehingga wanita bekerja lebih memilih istirahat
dan tidur setelah bekerja dibandingkan melakukan hubungan suami istri. Stress yang di akibatkan oleh wanita
bekerja dapat mengakibatkan sel sel telur gagal berovulasi. Bagi sebagian wanita stress dapat mempengaruhi
ovulasi dengan mengubah sinyal pada hipotalamus, sehingga dapat terhambatnya produksi hormon gonadotropin
(GnRH) yaitu hormon yang berfungsi untuk memberi tahu kelenjer pituitary untuk menghasilkan hormon
Luitenizing Hormone (LH) dan Follicle Stimulating Hormone (FSH) yang mana hormone LH berfungsi
untuk pembentukan sel telur.
Menurut Olloto et al (2012) menyebutkan bahwa infertilitas lebih banyak ditemukan pada wanita karir
(bekerja) atau wanita yang bekerja dibandingkan wanita dirumah (tidak bekerja). Dalam penelitian yang
dilakukan, didapatkan bahwa 72% wanita infertil merupakan wanita karir dan sisanya wanita tidak bekerja atau
yang kita kenal dengan istilah ibu rumah tangga. Wanita bekerja memiliki tingkat kelelahan dan stress yang
lebih tinggi dibandingkan wanita yang tidak bekerja, tingkat stress adalah salah satu faktor yang dapat
mempengaruhi infertilitas.

JKT : Jurnal Kesehatan Tambusai Page 8


Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Rizani (2019) mayoritas infertil 1-2
tahun sebanyak 22 orang (33,8%) pada ketegori tidak bekerja dan >2 tahun sebanyak 43 orang (66,2%) pada
kategori bekerja. Uji chi square menunjukkan bahwa ada hubungan antara status pekerjaan dengan infertilitas.
Menurut Oktarina (2014) menyebutkan bahwa infertilitas lebih banyak ditemukan pada wanita karir. Jenis
pekerjaan dapat berperan di dalam timbulnya penyakit melalui beberapa cara antara lain lingkungan, makanan,
aktifitas fisik, dan stress. Hubungan antara pekerjaan dengan pola kesakitan terutama pada penyakit menular salah
satunya dapat disebabkan oleh faktor lingkungan yang buruk, konsumsi makanan yang tidak hygiene dan
kebisingan. Apabila secara terus menerus terpapar maka akan mempengaruhi kesehatan fisik dan timbulnya
masalah infertilitas.
Menurut asumsi peneliti jenis pekerjaan dapat berperan di dalam timbulnya penyakit melalui beberapa cara.
Adanya hubungan antara pekerjaan dengan pola kesakitan terutama pada penyakit tidak menular salah satunya
dapat disebabkan oleh faktor lingkungan, baik yang secara langsung maupun tidak langsung yang dapat
menimbulkan kesakitan seperti misalnya paparan bahan ± bahan kimia, gas beracun maupun radiasi. Ada situasi
pekerjaan yang dapat menimbulkan stres maupun kebisingan yang apabila seseorang terpapar secara terus
menerus maka dapat mempengaruhi kesehatan fisik dan timbulnya suatu penyakit. Terdapat beberapa pekerjaan
yang melibatkan paparan bahan berbahaya bagi kesuburan seorang wanita. Pekerjaaan merupakan salah satu
faktor risiko kejadian infertilitas wanita.
Penelitian ini menemukan beberapa WUS bekerja tetapi mengalami infertilitas sekunder sebanyak 10 orang
(20,4%), hal ini bisa disebabkan karena jenis pekerjaan yang dimiliki responden termasuk kategoei ringan yang
tidak memicu terjadinya stres seperti wirausaha yang mana WUS merupakan owner suatu perusahaan yang jam
kerja WUS sendiri yang mengaturnya. Sehingga pada awal pernikahan tidak membuat WUS kesulitan untuk
hamil karena pekerjaan WUS tidak membuat dirinya mengalami kelelahan fisik maupun stres. Akan tetapi setelah
kehamilannya sebelumnya WUS mengalami infertilitas sekunder bisa disebabkan faktor lain yaitu usia WUS yang
lambat menikah sehingga setelah kehamilan pertama usia WUS sudah dalam rentang > 35 tahun yang secara
fisiologis kesuburan perempuan sudah mengalami penurunan.
Temuan lain yang peneliti temukan pada penelitian ini yaitu beberapa WUS tidak bekerja tetapi mengalami
infertilitas primer sebanyak 13 orang (41,9%). Hal ini dapat disebabkan karena usia WUS yang terlalu muda yaitu
< 20 tahun dimana organ reproduksi belum matang secara sempurna. Faktor lain bisa disebabkan karena asupan
gizi WUS yang tidak seimbang. Asupan gizi WUS yang berlebih akan dapat menimbulkan peningkatan jaringan
lemak yang akan dapat menyebabkan kadar hormon estrogen meningkat, akibatnya pertumbuhan folikel berhenti
dan tidak terjadi ovulasi. Sedangkan WUS yang memiliki asupan gizi kurang akan membuat cara kerja hormon
reproduksi tidak maksimal sehingga dapat menimbulkan terjadinya infertilitas primer.

KESIMPULAN
Berdasarkan tujuan penelitian dan hasil penelitian tentang hubungan kejadian infertilitas pada wanita usia
subur dengan karakteristik infertilitas di Klinik Mercy di Pekanbaru kesimpulan sebagai berikut :
1. Sebagian besar responden dalam kategori umur < 20 dan > 35 tahun sebanyak 59 orang (73,8%) pada wanita
usia subur di Klinik Mercy Pekanbaru.
2. Sebagian besar responden berpendidikan rendah sebanyak 53 orang (66,2%) pada wanita usia subur di Klinik
Mercy Pekanbaru.
3. Sebagian besar responden bekerja sebanyak 49 orang (61,2%) pada wanita usia subur di Klinik Mercy
Pekanbaru.
4. Sebagian besar responden mengalami kejadian infertilitas primer sebanyak 52 orang (65%) pada wanita usia
subur di Klinik Mercy Pekanbaru.
5. Terdapat hubungan karakterstik umur dengan kejadian infertilitas pada wanita usia subur di Klinik Mercy
Pekanbaru
6. Terdapat hubungan karakterstik pendidikan dengan kejadian infertilitas pada wanita usia subur di Klinik
Mercy Pekanbaru.
7. Terdapat hubungan karakterstik pekerjaan dengan kejadian infertilitas pada wanita usia subur di Klinik
Mercy Pekanbaru.

JKT : Jurnal Kesehatan Tambusai Page 9


UCAPAN TERIMAKASIH
Ucapan Terimakasih kepada pembimbing, instritusi atau pemberi dana penelitaian

DAFTAR PUSTAKA
Journal
Ayuningtyas DN, Handini, Mirfat. (2017). Hubungan antara Usia dan Obesitas dengan Infertilitas di Rumah Sakit
Kepresidenan RSPAD Gatot Subroto. Artikel Penelitian, Majalah Kesehatan Pharma Medika, volume (9),
nomor (1).
Bulahari, Najakhatus Sa’adah, Windhu, Purnomo. (2015). Karakteristik dan Perilaku Berisiko Pasangan Infertil di
Klinik Fertilitas dan Bayi Tabung Tiara Cita Rumah Sakit Putri Surabaya. Jurnal Biometrika dan
Kependudukan, Volume 5, Nomor 1 : 61–69.
Julianti SY, Ningsih, Farich A. (2016). Determinan Kejadian Infertilitas Pria di Kabupaten Tulang Bawang.
Jurnal Kesehatan, Volume VII, Nomor 2 : 242-249.
Indarwati I, Hastuti UR, Dewi YL. (2017). Analysis of Factors Influencing Female Infertility . Journal of
Maternal and Child Health, Volume 2, Nomor (2).
Karsiyah (2014). Analisis Faktor Yang Berhubungan dengan Infertilitas di Wilayah Kecamatan Way Seputih
Kabupaten Lampung Tengah Tahun 2014. Jurnal Kebidanan Adila Bandar Lampung.
Kurniawati L, Nurrochmah S, Katmawanti S. (2017). Hubungan Antara Tingkat Pendidikan, Status Pekerjaan
dan Tingkat Pendapatan dengan Usia Perkawinan Pertama Wanita di Kelurahan Kota lama Kecamatan
KedungKandang kota Malang. Jurnal Preventia, Volume 2, Nomor (1).
Massoumi S.(2012). An Epidemiologic Survey On The Causes Of Infertility In Patiets Referred To Infertility
Center In Fatemieh Hospital in Hamadan. Iran J of Rep Med, Volume 13, Nomor (8) : 513-516.
Purnomo, Saadah. (2016). Karakteristik dan Perilaku Berisiko Pasangan Infertil di Klinik Fertilitas dan Bayi
Tabung Tiara Cita Rumah Sakit Putri Surabaya. Jurnal Biometrika dan Kependudukan, volume (5), nomor
(1).
Book
Aizid R. (2012). Mengatasi Infertilitas Sejak Dini. Yogyakarta : Flashbook.
Azhari A. (2011). Pengobatan Alternatif dan Pijat Refleksi Pada Pasangan Infertilitas. Surabaya : Pustaka
Hikmah Perdana.
Benson RC & Pernoll ML. (2011). Buku Saku Obstetri dan Ginekologi. Jakarta : EGC.
Djuwantono T, Bayuaji H, Permadi W. (2012). Steb By Steb Penanganan Kelainan Endokrinologi Reproduksi
dan Fertilisasi Dalam Praktik Sehari – Hari. Jakarta : CV Agung Seto.
Hiferi. (2013). Konsensus Penanganan Infertilitas. Jakarta : Himpunan Endokrinologi Reproduksi dan Fertilitas
Indonesia.
Kasdu, D. (2013). Kiat Sukses Pasangan Memperoleh Keturunan. Jakarta : Puspa Swara.
Prawirohardjo S. (2011). Ilmu Kandungan. Yogyakarta: PT Bina Pustaka.
Sulistiyana, Teguh A, Rosidah. (2017). Manajemen Sumber Daya Manusia. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Widyastuti Y, Rahmawati A, Purnamaningrum YE. (2012). Kesehatan Reproduksi. Yogyakarta : Fitramaya.
Wilujeng. (2013). Modul Kesehatan Reproduksi. Jawa Timur : Akbid Griya Husada.
Thesis, Desertation
Hadibroto. Oktarina A, Abadi A, Bachsin R (2010). Faktor - Faktor Yang Memengaruhi Infertilitas Pada Wanita
di Klinik Fertilitas Endokrinologi Reproduksi. Palembang: Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya.
Nurcahyani, Saragih CF. (2015) Analisa Faktor-Faktor Penyebab Infertilitas di RS Jejaring Depertemen Obgyn
Fakultas Kedokteran USU (Thesis).Universitas Sumatera Utara. Medan.

JKT : Jurnal Kesehatan Tambusai Page 10

Anda mungkin juga menyukai