Anda di halaman 1dari 36

HUBUNGAN PENGETAHUAN IBU DENGAN KEJADIAN STUNTING

PADA ANAK USIA BALITA DI WILAYAH KERJA

PUSKESMAS GALIS

PROPOSAL SKRIPSI

OLEH

Abel Muhammad N.C.A

1523020016

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS KATOLIK WIDYA MANDALA SURABAYA

2023
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Tingkat malnutrisi kronis (stunting) yang tinggi pada anak-anak muda

masih banyak terjadi di seluruh dunia. Anak-anak yang stunting lebih

mungkin mengalami perkembangan kognitif dan motorik yang tidak optimal,

peningkatan morbiditas, dan kematian. Hasil meta-analisis dari 5 studi kohor

prospektif menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara peningkatan satu

unit pada skor HAZ pada anak-anak yang berusia ≤2 tahun dengan

peningkatan sebesar 0,22 Standard Devisiasi (SD) pada fungsi kognitif di masa

kanak-kanak pada usia 5-11 tahun. Hal ini mengindikasikan bahwa malnutrisi

kronis pada masa awal kehidupan memiliki dampak jangka panjang pada

perkembangan kognitif anak di masa depan.(1)

Stunting adalah masalah kurang gizi kronis akibat pemberian makanan

yang tidak sesuai dengan kebutuhan gizi dalam waktu cukup lama. Stunting

ditandai dengan panjang atau tinggi badan menurut usia yang kurang dari -2

SD sampai dengan -3 SD (pendek / stunted) atau kurang dari -3 SD (sangat

pendek / severely stunted). Stunting dapat terjadi mulai janin masih dalam

kandungan dan baru nampak dalam 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK).(2)

Menurut UNICEF, WHO, World Bank Group Joint Child Malnutrition

Estimates prevalensi stunting di dunia pada tahun 2020, sebanyak 22 % (149,2

juta) atau lebih dari satu dari lima anak di bawah usia 5 tahun di seluruh dunia

mengalami pertumbuhan terhambat. Pada tahun 2020, terdapat tiga wilayah


dengan prevalensi stunting yang sangat tinggi di dunia. Urutan pertama ada di

wilayah Afrika Barat dan Tengah 32,5%, lalu disusul dengan wilayah Afrika

Timur dan Selatan 32,3%, dan ketiga ada di wilayah Asia Selatan 31,8%.(3)

Prevalensi stunting di Indonesia menurut data hasil Survei Status Gizi

Indonesia (SSGI) tahun 2022 menunjukkan nilai 21,6% hingga membuat

Indonesia menempati prevalensi stunting tertinggi ke-2 di Asia Tenggara

setelah Timor leste.(4) Dari data tersebut didapatkan angka prevalensi stunting

di tahun 2022 tidak sesuai dengan target yang ditetapkan sebelumnya yaitu

sebesar 20%. (5) Prevalensi stunting tertinggi di Indonesia sendiri berada di

provinsi Nusa Tenggara Timur dengan nilai 35,3% dan prevalensi stunting

terendah berada di provinsi Bali dengan nilai 8%, sedangkan prevalensi

stunting pada Jawa Timur memperoleh nilai 19,2%. Prevalensi stunting di

Jawa Timur yang tertinggi berada di daerah Kabupaten Jember dengan nilai

34,9%. Untuk prevalensi stunting di Kabupaten Bangkalan berada di peringkat

ke-6 setelah Kabupaten Lamongan dengan nilai 26,2%. (4) Menurut laporan

nasional Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2018 menunjukkan

bahwa persentase stunting pada kelompok usia Bawah Lima Tahun (BALITA)

29,4% lebih besar jika dibandingkan dengan usia Bawah Dua Tahun

(BADUTA) 27,4%. (6) Salah satu penyebab angka stunting di Indonesia yang

masih tinggi saat ini dikarenakan kurangnya pengetahuan ibu mengenai gizi

yang dibutuhkan saat usia balita

Stunting dipengaruhi oleh banyak faktor, salah satu faktor yang kuat

adalah faktor kurangnya pengetahuan ibu mengenai gizi. Kurangnya

pengetahuan ibu mengenai gizi saat masa kehamilan dan masa nifas,
terbatasnya layanan kesehatan seperti pelayanan Ante Natal Care (ANC) atau

pelayanan post natal care dan masih kurangnya akses keluarga ke makanan

bergizi, kurangnya akses sanitasi dan air bersih juga merupakan penyebab

stunting. Stunting juga dipengaruhi oleh pekerjaan ibu, tinggi badan ayah,

tinggi badan ibu, pendapatan, jumlah anggota rumah tangga, pola asuh, dan

pemberian Air Susu Ibu (ASI) eksklusif. (7) Stunting juga lebih tinggi pada

anak-anak dengan ibu yang kurang teredukasi (39,2%) dibandingkan dengan

ibu yang lebih teredukasi (24,0%). Dari 110 negara dengan data stunting yang

tersedia berdasarkan lokasi, anak-anak yang tinggal di daerah pedesaan (35,6%)

memiliki tingkat stunting yang lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang

tinggal di daerah perkotaan (25,6%).(8)

Pengetahuan yang dimiliki oleh ibu tentang gizi berperan penting dalam

memastikan pemenuhan gizi keluarga, karena sebagai penanggung jawab

dalam memberikan makanan kepada keluarga, seorang ibu yang memiliki

pengetahuan yang baik tentang gizi dapat menyediakan makanan yang baik

pula untuk keluarganya. Pemenuhan zat gizi dipengaruhi oleh asupan

makanan yang berkualitas, kuantitas yang tepat, dan keragaman pangan yang

dikonsumsi.(9)

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Ika Desi et al. yang berjudul

Hubungan Pengetahuan Ibu Tentang Gizi Dengan Kejadian Stunting Pada

Balita di tahun 2018. Dari 130 responden di wilayah kerja Puskesmas Saptosari,

Desa Planjan didapatkan hasil bahwa kasus anak yang mengalami stunting

sebanyak 34 balita atau 26,2%, dengan ibu memiliki pengetahuan cukup.

Sementara itu, kasus stunting paling sedikit ditemukan sebanyak 2 balita atau
1,5%, pada ibu yang memiliki pengetahuan baik (p=0,00). (10) Menurut

penelitian yang dilakukan oleh Silvia Gea et al. yang berjudul Hubungan

Kejadian Stunting dengan Pengetahuan Ibu tentang Gizi di Kecamatan

Cikulur Lebak Banten Tahun 2020. Dari 96 responden, ditemukan 29 ibu yang

memiliki pengetahuan baik sebanyak 14 atau 14,58% mengalami anak yang

stunting. Dari 34 ibu yang memiliki pengetahuan cukup baik sebanyak 12 atau

12,50% anak yang mengalami stunting. Sedangkan dari 33 ibu yang memiliki

pengetahuan kurang baik sebanyak 22 atau 22,92% mengalami anak yang

stunting (p= 0,036).(11)

Dikarenakan masih maraknya kejadian stunting di daerah Bangkalan,

maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai “Hubungan

Pengetahuan Ibu Dengan Kejadian Stunting Pada Anak Usia Balita Di

Wilayah Kerja Puskesmas Galis”.

1.2 Rumusan Masalah

Apakah terdapat hubungan pengetahuan ibu dengan kejadian stunting pada

anak usia balita di wilayah kerja puskesmas Galis?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui apakah terdapat hubungan pengetahuan ibu dengan

kejadian stunting pada anak usia balita di wilayah kerja puskesmas Galis.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui tingkat pengetahuan ibu mengenai gizi pada

balita di wilayah kerja puskesmas Galis.

2. Untuk mengetahui distribusi kejadian stunting berdasarkan


kelompok umur balita di wilayah kerja puskesmas Galis.

3. Untuk menganalisis hubungan pengetahuan ibu dengan kejadian

stunting pada anak usia balita di wilayah kerja puskesmas Galis.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Teoritis

Dengan melakukan penelitian ini akan memberikan informasi dan

pemahaman tentang seberapa besar hubungan pengetahuan ibu dengan

kejadian stunting pada anak usia balita di wilayah kerja puskesmas Galis.

1.4.2 Manfaat Praktis

1.4.2.1 Bagi Peneliti

Penelitian ini dapat menjadi alat yang berkontribusi dalam mendukung

peningkatan pengetahuan ibu untuk mengatasi masalah stunting dan

mengembangkan ilmu pengetahuan tentang hubungan pengetahuan ibu

dengan kejadian stunting pada anak usia balita di wilayah kerja puskesmas

Galis.

1.4.2.2 Bagi Masyarakat

Diharapkan penelitian ini dapat meningkatkan kesadaran masyarakat

mengenai faktor risiko terjadinya stunting. Sehingga masyarakat dapat

melakukan tindakan pencegahan yang efektif untuk mengurangi risiko

terjadinya stunting.

1.4.2.3 Bagi Tenaga Kesehatan

Penelitian ini bisa memberikan pengetahuan bagi dokter, perawat, dan

tenaga kesehatan lainnya untuk solusi pencegahan stunting.

1.4.2.4 Bagi FK UKWMS


Diharapkan penelitian ini dapat menjadi referensi dan sumber

pembelajaran bagi mahasiswa dan mahasiswi Fakultas Kedokteran

Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya (FK UKWMS)


BAB 2

2.1 Teori variable penelitian

2.1.1 Stunting

2.1.1.1 Definisi stunting

Stunting menurut World Health Organization (WHO) didefinisikan

dengan rendahnya tinggi badan dibandingkan usia. Stunting diukur dengan

skor z tinggi badan dibandingkan usia yang lebih rendah dari median

Standar Pertumbuhan Anak Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebesar 2

SD. Stunting pada anak dapat terjadi dalam 1000 HPK dan berkaitan dengan

banyak faktor, termasuk status sosial ekonomi, asupan makanan, infeksi,

status gizi ibu, penyakit menular, kekurangan mikronutrien, dan lingkungan.

(12) Sedangkan menurut Kementrian Kesehatan (KEMENKES) Stunting

merupakan kondisi gizi yang diukur dengan menggunakan indeks Panjang

Badan/Umur (PB/U) atau Tinggi Badan/Umur (TB/U) pada standar

antropometri untuk menilai status gizi anak. Anak dianggap mengalami

stunting ketika hasil pengukuran tersebut menunjukkan Z-Score berada di

bawah -2 SD hingga -3 SD (pendek/stunted) dan di bawah -3 SD (sangat

pendek/severely stunted).(13)

Secara umum stunting dapat didefinisikan sebagai kondisi di mana

seseorang memiliki tinggi badan di bawah rentang normal yang sesuai

dengan usia dan jenis kelaminnya. Kondisi stunting menunjukkan adanya

malnutrisi yang kronis dalam jangka waktu yang lama. Stunting dapat

mempengaruhi perkembangan anak mulai dari tahap awal konsepsi hingga


usia tiga atau empat tahun. Nutrisi dari ibu dan anak merupakan faktor

penentu pertumbuhan yang penting. Jika seseorang mengalami stunting

sejak usia dini, kemungkinan besar ia juga akan mengalami gangguan

kesehatan yang disebabkan oleh malnutrisi yang berkelanjutan seperti

masalah kognitif, psikomotorik, dan kecerdasan.(14)

2.1.1.2 Epidemiologi stunting

Menurut UNICEF, WHO, World Bank Group Joint Child Malnutrition

Estimates prevalensi stunting di dunia pada tahun 2020, sebanyak 22 %

(149,2 juta) atau lebih dari satu dari lima anak di bawah usia 5 tahun di

seluruh dunia mengalami pertumbuhan terhambat. (3) Data di Indonesia

berdasarkan hasil SSGI pada tahun 2022 angka prevalensi stunting sebesar

21,6% hingga membuat Indonesia menempati prevalensi stunting tertinggi

ke-2 di Asia Tenggara setelah Timor leste. Dari data tersebut didapatkan

angka prevalensi stunting di tahun 2022 tidak sesuai dengan target yang

ditetapkan sebelumnya yaitu sebesar 20%.(5) Prevalensi tertinggi terdapat di

Provinsi Nusa Tenggara Timur dengan angka 35,3%, disusul dengan

Provinsi Sulawesi Barat sebesar 35% dan Papua 34,6% sedangkan

prevalensi stunting terendah terdapat di Provinsi Bali sebesar 8%. Prevalensi

stunting di Jawa Timur menurut data SGGI di tahun 2022 sebesar 19,2%

dengan prevalensi tertinggi berada pada Kabupaten Jember dengan angka

34,9% dan prevalensi terendah di Jawa Timur berada di Kota Surabaya

dengan angka 4,8%. Prevalensi Kabupaten Bangkalan berada di urutan ke-6

dengan angka 26,2%.(4)

2.1.1.3 Klasifikasi stunting


Untuk mengevaluasi status gizi pada balita, umumnya digunakan penilaian

antropometri yang melibatkan pengukuran berbagai dimensi dan komposisi

tubuh berdasarkan usia dan tingkat gizi. Fungsi dari penilaian antropometri

adalah untuk mengidentifikasi ketidakseimbangan asupan protein dan energi

pada anak.

Berikut klasifikasi status gizi stunting yang didasarkan pada indikator

panjang badan atau tinggi badan menurut umur:

Indeks Kategori Status Gizi Ambang Batas

(Z - Score)

Panjang Badan atau Sangat pendek <-3 SD

Tinggi Badan menurut (severely stunted)

Umur (PB/U atau Pendek (stunted) - 3 SD sd <- 2 SD

TB/U) anak usia 0 – 60 Normal -2 SD sd +3 SD

bulan Tinggi > +3 SD

Tabel 2.1 Klasifikasi stunting sumber(15)

2.1.1.4 Patofisiologi stunting

Asupan energi yang tidak memadai menyebabkan berbagai

adaptasi fisiologis, termasuk pembatasan pertumbuhan, kehilangan lemak,

otot, dan massa visceral, penurunan laju metabolisme basal, dan

penurunan total pengeluaran energi. Perubahan biokimia dalam malnutrisi

akut melibatkan mekanisme metabolisme, hormonal, dan glukoregulasi.

Hormon utama yang terpengaruh adalah hormon tiroid, insulin, dan

hormon pertumbuhan / Growth Hormone (GH). Perubahan meliputi

penurunan kadar tri-iodotironin (T3), insulin, faktor pertumbuhan mirip


insulin-1 (IGF-1) dan peningkatan kadar GH dan kortisol. Kadar glukosa

seringkali awalnya rendah, dengan terjadinya pengosongan cadangan

glikogen. Pada fase awal terjadi gluconeogenesis yang cepat dengan

kehilangan otot rangka yang disebabkan oleh penggunaan asam amino,

piruvat, dan laktat. Kemudian terjadi fase konservasi protein, dengan

mobilisasi lemak yang menyebabkan lipolisis dan ketogenesis. Perubahan

elektrolit utama termasuk retensi natrium dan deplesi kalium intraseluler

dapat dijelaskan oleh penurunan aktivitas pompa natrium yang sensitif

terhadap glikosida dan peningkatan permeabilitas membran sel pada

kwashiorkor.

Sistem organ dapat terganggu secara bervariasi dalam malnutrisi

akut. Kekebalan seluler terpengaruh karena atrofi timus, kelenjar getah

bening, dan amandel. Terjadi penurunan cluster of differentiation (CD) 4

dengan limfosit T CD8 yang normal, kehilangan hipersensitivitas tertunda,

fagositosis yang terganggu, dan penurunan kadar imunoglobulin A

sekretoris. Akibatnya, kerentanan terhadap infeksi invasif (infeksi saluran

kemih, infeksi gastrointestinal, sepsis, dll.) meningkat. Atrofi vili dengan

hilangnya disakaridase, hipoplasia kript, dan permeabilitas usus yang

berubah mengakibatkan malabsorpsi. Aspek lain yang umum adalah

pertumbuhan bakteri berlebihan dan atrofi pankreas yang menyebabkan

malabsorpsi lemak; infiltrasi lemak pada hati juga umum terjadi.

Metabolisme obat dapat menurun karena penurunan albumin plasma dan

fraksi yang bertanggung jawab atas pengikatan obat.

Miofibril jantung menjadi lebih tipis dengan kontraktilitas yang


terganggu. Output jantung berkurang sebanding dengan penurunan berat

badan. Bradikardia dan hipotensi juga umum terjadi pada kasus yang

parah. Kombinasi bradikardia, kontraktilitas jantung yang terganggu, dan

ketidakseimbangan elektrolit dapat memicu aritmia. Penurunan massa otot

dada, penurunan laju metabolisme, dan ketidakseimbangan elektrolit

(hipokalemia dan hipofosfatemia) dapat menyebabkan ventilasi menit

yang berkurang dan respons ventilasi terhadap hipoksia yang terganggu.

Malnutrisi akut telah diakui sebagai penyebab penurunan jumlah

neuron, sinapsis, arborisasi dendritik, dan mielinisasi, yang semuanya

mengakibatkan penurunan ukuran otak. Korteks serebral menjadi lebih

tipis dan pertumbuhan otak melambat. Penundaan dalam fungsi global,

fungsi motorik, dan ingatan telah dikaitkan dengan malnutrisi. Efek pada

otak yang sedang berkembang mungkin tidak dapat diubah setelah usia 3-4

tahun.(17)

2.1.1.5 Dampak stunting

Dampak dari stunting pada anak bersifat jangka pendek maupun

jangka panjang, termasuk peningkatan morbiditas dan mortalitas,

perkembangan dan kapasitas belajar yang buruk pada anak, peningkatan

risiko infeksi dan penyakit tidak menular, peningkatan kerentanan

terhadap penumpukan lemak terutama di regio tengah tubuh, oksidasi

lemak yang rendah, pengeluaran energi yang rendah, resistensi insulin, dan

risiko lebih tinggi terkena diabetes, hipertensi, dislipidemia, kapasitas

kerja yang menurun, dan hasil reproduksi ibu yang tidak menguntungkan

pada masa dewasa. Selain itu, anak yang mengalami stunting dan
mengalami kenaikan berat badan yang cepat setelah usia 2 tahun memiliki

risiko lebih tinggi untuk menjadi overweight atau obesitas di masa dewasa.

(18)

2.1.1.6 Gejala stunting

Menurut National Health Service (NHS) gejala stunting pada anak dapat

mencakup:

1. Tidak tumbuh atau menambah berat badan sesuai dengan tingkat yang

diharapkan (pertumbuhan terhambat).

2. Perubahan perilaku, seperti menjadi mudah tersinggung, lambat, atau

cemas yang tidak biasa.

3. Tingkat energi rendah dan mudah lelah lebih cepat dibandingkan

dengan anak-anak lainnya.

Gejala stunting lainnya, yaitu:

1. Nafsu makan menurun

2. Sering sakit dan membutuhkan waktu lama untuk pulih

3. Konsentrasi berkurang(19)

2.1.1.7 Penegakan diagnosis

Penilaian status gizi balita pada umumnya dilakukan dengan cara

penilaian antropometri. Antropometri adalah suatu metode yang

digunakan untuk menilai ukuran, proporsi, dan komposisi tubuh manusia.

Fungsi antropometri sebagai parameter untuk menilai status gizi secara

garis besar ada 2, yaitu untuk menilai status pertumbuhan, digunakan

untuk memantau pertambahan ukuran tubuh dari waktu ke waktu dan

untuk menilai status gizi pada populasi tertentu misalnya setiap 1 tahun
atau 5 tahun sekali atau hanya dilakukan pada 1 kali periode saja. Tujuan

penilaian status gizi di sini adalah untuk mengetahui prevalensi status gizi.

Standar Antropometri Anak didasarkan pada parameter berat badan

dan panjang/tinggi badan yang terdiri atas 4 indeks, meliputi:

a. Berat Badan menurut Umur (BB/U)


b. Panjang/Tinggi Badan menurut Umur (PB/U atau TB/U)
c. Berat Badan menurut Panjang/Tinggi Badan (BB/PB atau BB/TB);
d. Indeks Massa Tubuh menurut Umur (IMT/U)
Pada penilaian stunting, antropometri yang digunakan yaitu

berdasarkan kategori panjang/tinggi badan menurut umur (PB/U atau

TB/U).

Gambar 2.1 Grafik Z-Score WHO TB/U anak laki-laki usia 6 bulan – 2 tahun
Gambar 2.2 Grafik Z-Score WHO TB/U anak perempuan usia 6 bulan – 2 tahun

Gambar 2.3 Grafik Z-Score WHO TB/U anak laki – laki usia 2 – 5 tahun
Gambar 2.4 Grafik Z-Score WHO TB/U anak perempuan usia 2 – 5 tahun

Grafik Panjang-Tinggi Badan menurut Umur (PB-TB/U)

menunjukkan pencapaian panjang badan relatif terhadap umur

dibandingkan dengan median (Garis 0). Status Gizi Anak Perempuan umur

0-2 tahun dan 2-5 tahun dengan indeks PB-TB/U: di bawah -2 SD disebut

Pendek (Stunted), dibawah -3 SD disebut Sangat Pendek (Severely

Stunted). Grafik Panjang-Tinggi Badan menurut Umur (PB-TB/U)

menunjukkan pencapaian panjang badan relatif terhadap umur

dibandingkan dengan median (Garis 0). Status Gizi Anak Laki-laki umur

0-2 tahun dan 2-5 tahun dengan indeks PB-TB/U: dibawah -2 SD disebut

Pendek (Stunted), dibawah -3 SD disebut Sangat Pendek (Severely

Stunted).(15)

2.1.1.8 Faktor penyebab

Stunting disebabkan oleh faktor multidimensional, tidak hanya karena

status gizi buruk pada anak-anak dan ibu hamil, tetapi juga karena faktor

lainnya. Beberapa faktor yang memengaruhi tingginya prevalensi stunting

di Indonesia adalah praktik orang tua yang tidak memadai, akses terbatas
pada layanan fasilitas kesehatan, termasuk ANC terutama untuk kesehatan

ibu hamil, akses terbatas pada makanan bergizi untuk keluarga, serta akses

terbatas pada air bersih.

1. Faktor orang tua

Faktor orang tua terdiri dari status gizi ibu selama 1000 HPK,

perbedaan sosial, tingkat pendidikan ibu, pekerjaan orang tua, dan

kerabat ibu yang memiliki postur tubuh lebih pendek. Gizi ibu

memainkan peran penting dalam pertumbuhan janin, kesehatan dan

kelangsungan hidup bayi, serta kesehatan dan pertumbuhan jangka

panjang anak-anak. Pada masa kritis 1000 HPK, ibu merupakan satu-

satunya sumber nutrisi bagi bayi.

Status sosial ekonomi keluarga, seperti pendapatan keluarga,

tingkat pendidikan orang tua, dan pekerjaan orang tua, dapat secara

tidak langsung terkait dengan kejadian stunting. Keluarga dengan

pendapatan tinggi akan lebih mudah mengakses pendidikan dan

layanan kesehatan sehingga status gizi anak-anak dapat berkembang

lebih baik. Meskipun kondisi sosial ekonomi memainkan peran dalam

faktor risiko stunting pada anak, status gizi dan faktor genetik (tinggi

badan ibu, kerabat orang tua, dan hubungan kekerabatan) juga

memerlukan pertimbangan yang cermat karena faktor-faktor ini

ditemukan sebagai faktor penting yang memengaruhi risiko stunting.

Dengan kata lain, jika salah satu atau kedua orang tua memiliki postur

tubuh pendek akibat kondisi patologis seperti kekurangan hormon

pertumbuhan, akan meningkatkan peluang anak mengalami stunting.


2. Faktor anak

Faktor anak dalam stunting meliputi nutrisi, penyakit menular pada

anak, proses menyusui dalam 6 bulan atau lebih, jenis kelamin anak,

dan usia anak. Perkembangan balita harus dimonitor agar jika terjadi

kelainan, dapat dideteksi lebih awal karena perkembangan pada masa

bayi menentukan pertumbuhan dan perkembangan anak di masa depan.

Makanan pendamping ASI adalah makanan yang diberikan pada

bayi setelah bayi berusia 6 bulan yang menyediakan nutrisi tambahan

selain ASI. Memberi makanan pendamping ASI pada bayi harus

disesuaikan dengan perkembangan bayi. Misalnya, ketika bayi mulai

belajar mengunyah pada usia 6 atau 7 bulan, mereka siap untuk

mengonsumsi makanan padat. Jika makanan padat tidak diberikan

pada saat yang tepat, bayi akan mengalami kekurangan gizi karena

ASI atau susu formula tidak lagi dapat memenuhi semua kebutuhan

nutrisi bayi. Sebaliknya, memberikan makanan pendamping ASI pada

usia yang lebih dini dapat menyebabkan gangguan pencernaan seperti

diare, muntah, dan sembelit. Namun, memberikan sedikit makanan

pendamping dapat menyebabkan anak kesulitan belajar mengunyah,

kesulitan mengonsumsi makanan padat, dan kekurangan gizi.

3. Faktor lingkungan

Faktor lingkungan yang memengaruhi stunting adalah sumber air

minum yang digunakan dan kualitas sanitasi lingkungan. Sumber air

minum yang baik harus memenuhi persyaratan fisik, mikrobiologis,

kimia, dan radioaktif agar dianggap aman sesuai dengan peraturan


Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Nomor

492/MENKES/PER/IV/2010 tentang persyaratan mutu air minum.

Parameter yang digunakan untuk menentukan kualitas fisik air minum

adalah air yang tidak berbau, tidak berasa, tidak berwarna, dan tidak

keruh. Sanitasi yang buruk juga dapat menyebabkan stunting terkait

dengan kemungkinan penyakit menular. Oleh karena itu, toilet yang

bersih dan sehat merupakan sarana yang baik untuk pembuangan

kotoran dan mencegah penyebaran penyakit. Toilet yang memenuhi

persyaratan kesehatan akan dapat mencegah penyebaran langsung dan

dapat mencegah vektor yang membawa penyakit pada pengguna toilet

dan lingkungan sekitarnya.

Kualitas sanitasi yang buruk terbukti menjadi faktor risiko utama

stunting di negara-negara berkembang secara global baik di Asia

Selatan, Afrika Sub-Sahara, dan Asia Timur dan Pasifik. Oleh karena

itu, lingkungan yang sehat, termasuk air, sanitasi, dan praktik

kebersihan yang baik, perlu dipertimbangkan dengan cermat.(16)

2.1.2 Pengetahuan ibu

2.1.2.1 Definisi pengetahuan

Pengetahuan berasal dari kata “tahu”, dalam Kamus Besar Bahasa

Indonesia kata tahu memiliki arti antara lain mengerti sesudah melihat

(menyaksikan, mengalami, dan sebagainya). Pengetahuan merujuk pada

hasil dari keinginan manusia untuk mengetahui tentang segala hal melalui

penggunaan berbagai metode dan alat. Jenis dan karakteristik pengetahuan

bervariasi, ada yang diperoleh langsung dan tak langsung, ada yang
bersifat tidak stabil dan subyektif serta spesifik, dan ada pula yang bersifat

stabil, obyektif dan umum.(20)

2.1.2.2 Pengetahuan ibu tentang gizi

Pengetahuan gizi yang dimiliki oleh seorang ibu memiliki dampak

tidak langsung terhadap pemenuhan gizi keluarga, karena seorang ibu

bertanggung jawab dalam memberikan makanan kepada anggota keluarga.

Jika seorang ibu memiliki pengetahuan gizi yang baik, maka ia dapat

menyediakan makanan yang berkualitas untuk keluarganya. Kualitas dan

kuantitas asupan makanan yang dikonsumsi, serta keragaman jenis

makanan yang disajikan, mempengaruhi pemenuhan zat gizi dalam tubuh

keluarga.(9)

2.1.2.3 Jenis pengetahuan

Berdasarkan jenis pengetahuan itu sendiri, pengetahuan dapat

diklasifikasikan menjadi :

1. Berdasarkan obyek

Manusia memiliki berbagai jenis pengetahuan yang dapat

dikelompokkan sesuai dengan metode dan pendekatan yang digunakan

untuk memperolehnya.

a. Pengetahuan ilmiah

Dalam metologi ilmiah dapat ditemukan berbagai kriteria dan

sistematika yang dituntut untuk suatu pengetahuan

b. Pengetahuan non ilmiah

Pengetahuan non-ilmiah merujuk pada pemahaman manusia yang

didapatkan melalui cara-cara yang tidak menggunakan metode


ilmiah. Pengetahuan ini juga dikenal sebagai pengetahuan pra-

ilmiah dan mencakup semua pemahaman manusia tentang obyek

atau fenomena tertentu yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari,

terutama yang dapat diperoleh melalui pengamatan indera kita.

2. Berdasarkan isi konten

Pengetahuan dapat dibedakan menjadi beberapa jenis berdasarkan isi atau

pesannya, yaitu:

a. Tahu bahwa

Pengetahuan tentang informasi tertentu misalnya tahu bahwa sesuatu

telah terjadi. Pengetahuan ini disebut juga sebagai pengetahuan

teoritis-ilmiah, walaupun tidak mendalam. Dasar pengetahuan ini ialah

informasi tertentu yang akurat.

b. Tahu bagaimana

Ini berkaitan dengan ketrampilan atau keahlian membuat sesuatu.

Sering juga dikenal dengan nama pengetahuan praktis, sesuatu yang

memerlukan pemecahan, penerapan dan tindakan.

c. Tahu akan

Pengetahuan ini bersifat langsung melalui penganalan pribadi.

Pengetahuan ini juga bersifat sangat spesifik berdasarkan pengenalan

pribadi secara langsung akan obyek. Ciri pengetahuan ini ialah bahwa

tingkatan obyektifitasnya tinggi. pengetahuan ini juga bersifat singular,

yaitu berkaitan dengan barang atau obyek khusus yang dikenal secara

pribadi.

d. Tahu mengapa
Pengetahuan ini didasarkan pada refleksi, abstraksi dan penjelasan.

Tahu mengapa ini jauh lebih mendalam dari pada tahu bahwa, karena

tahu mengapa berkaitan dengan penjelasan yang lebih kritis. Subyek

berjalan lebih jauh dan kritis dengan mencari informasi yang lebih

dalam dengan membuat refleksi lebih mendalam dan meniliti semua

peristiwa yang berkaitan satu sama lain. Ini adalah model pengetahuan

yang paling tinggi dan ilmiah.(20)

2.1.2.4 Tingkat pengetahuan

1. Pengetahuan dalam ranah kognitif

Ranah kognitif meliputi kemampuan untuk menyatakan kembali

konsep atau prinsip yang telah dipelajari, dan terkait dengan

kemampuan berpikir, kompetensi dalam memperoleh pengetahuan,

pengenalan, pemahaman, konseptualisasi, penentuan, dan penalaran.

Tujuan pembelajaran dalam ranah kognitif atau intelektual, menurut

Bloom, terdiri dari enam tingkat, mulai dari yang paling rendah hingga

yang tertinggi, yang dilambangkan dengan huruf C (Cognitive).

a. C1 (pengetahuan)

Pada jenjang ini menekankan pada kemampuan dalam

mengingat kembali materi yang telah dipelajari, seperti

pengetahuan tentang istilah, fakta khusus, konvensi,

kecenderungan dan urutan, klasifikasi dan kategori, kriteria

serta metodologi. Tingkatan atau jenjang ini merupakan

tingkatan terendah namun menjadi prasyarat bagi tingkatan

selanjutnya.
b. C2 (Pemahaman)

Pada jenjang ini, pemahaman diartikan sebagai kemampuan

dalam memahami materi tertentu yang dipelajari.

Kemampuan-kemampuan tersebut yaitu :

1) Translasi (kemampuan mengubah simbol dari satu

bentuk ke bentuk lain)

2) Interpretasi (kemampuan menjelaskan materi)

3) Ekstrapolasi (kemampuan memperluas arti).

c. C3 (Penerapan)

Pada jenjang ini, aplikasi diartikan sebagai kemampuan

menerapkan informasi pada situasi nyata, dimana peserta

didik mampu menerapkan pemahamannya dengan cara

menggunakannya secara nyata.

d. C4 (Analisis)

Pada jenjang ini, dapat dikatakan bahwa analisis adalah

kemampuan menguraikan suatu materi menjadi komponen

- komponen yang lebih jelas. Kemampuan ini dapat berupa :

1) Analisis elemen/unsur (analisis bagian-bagian

materi)

2) Analisis hubungan (identifikasi hubungan)

3) Analisis pengorganisasian prinsip/prinsip-prinsip

organisasi (identifikasi organisasi)

e. C5 (Sintesis)

Pada jenjang ini, sintesis dimaknai sebagai kemampuan


memproduksi dan mengkombinasikan elemen-elemen

untuk membentuk sebuah struktur yang unik. Kemampuan

ini dapat berupa memproduksi komunikasi yang unik,

rencana atau kegiatan yang utuh, dan seperangkat

hubungan abstrak.

f. C6 (Evaluasi)

Pada jenjang ini, evaluasi diartikan sebagai kemampuan

menilai manfaat suatu hal untuk tujuan tertentu berdasarkan

kriteria yang jelas. Kegiatan ini berkenaan dengan nilai

suatu ide, kreasi, cara atau metode. Pada jenjang ini

seseorang dipandu untuk mendapatkan pengetahuan baru,

pemahaman yang lebih baik, penerapan baru serta cara baru

yang unik dalam analisis dan sintesis. Ada 2 jenis evaluasi

yaitu :

1) Evaluasi berdasarkan bukti internal

2) Evaluasi berdasarkan bukti eksternal

2. Pengetahuan dalam ranah afektif

Ranah afektif adalah ranah yang berhubungan dengan sikap, nilai,

perasaan, emosi serta derajat penerimaan atau penolakan suatu obyek

dlam kegiatan belajar mengajar. Ranah afektif dibagi menjadi 5

kategori yaitu :

a. Receiving/Attending/Penerimaan

Kategori ini merupakan tingkat afektif yang terendah yang

meliputi penerimaan masalah, situasi, gejala, nilai dan keyakinan


secara pasif.Penerimaan adalah semacam kepekaan dalam

menerima rangsangan atau stimulasi dari luar yang datang pada

diri peserta didik.

b. Responding/Menanggapi

Kategori ini berkenaan dengan jawaban dan kesenangan

menanggapi atau merealisasikan sesuatu yang sesuai dengan nilai -

nilai yang dianut masyarakat. Atau dapat pula dikatakan bahwa

menanggapi adalah suatu sikap yang menunjukkan adanya

partisipasi aktif untuk mengikutsertakan dirinya dalam fenomena

tertentu dan membuat reaksi terhadapnya dengan salah satu cara

c. Valuing/Penilaian

Kategori ini berkenaan dengan memberikan nilai, penghargaan dan

kepercayaan terhadap suatu gejala atau stimulus tertentu. Peserta

didik tidak hanya mau menerima nilai yang diajarkan akan tetapi

berkemampuan pula untuk menilai fenomena itu baik atau buruk.

d. Organization/Organisasi/Mengelola

Kategori ini meliputi konseptualisasi nilai-nilai menjadi sistem

nilai, serta pemantapan dan prioritas nilai yang telah dimiliki.

e. Characterization/Karakteristik

Kategori ini berkenaan dengan keterpaduan semua sistem nilai

yang telah dimiliki seseorang yang mempengaruhi pola

kepribadian dan tingkah lakunya. Proses internalisais nilai

menempati urutan tertinggi dalam hierarki nilai.

3. Pengetahuan dalam ranah psikomotor


Ranah ini meliputi kompetensi melakukan pekerjaan dengan

melibatkan anggota badan serta kompetensi yang berkaitan dengan

gerak fisik (motorik). Kategori yang termasuk dalam ranah ini adalah

a. Meniru

Kategori meniru ini merupakan kemampuan untuk melakukan

sesuatu dengan contoh yang diamatinya walaupun belum

dimengerti makna ataupun hakikatnya dari keterampilan itu.

b. Memanipulasi

Kategori ini merupakan kemampuan dalam melakukan suatu

tindakan serta memilih apa yang diperlukan dari apa yang

diajarkan.

c. Pengalamiahan

Kategori ini merupakan suatu penampilan tindakan dimana hal

yang diajarkan dan dijadikan sebagai contoh telah menjadi suatu

kebiasaan dan gerakan-gerakan yang ditampilkan lebih

meyakinkan.

d. Artikulasi

Kategori ini merupakan suatu tahap dimana seseorang dapat

melakukan suatu keterampilan yang lebih kompleks terutama yang

berhubungan dengan gerakan interpretative.(20)

2.1.2.5 Faktor yang mempengaruhi pengetahuan

Secara umum faktor yang mempengaruhi pengetahuan dapat

diklasifikasikan menjadi dua yaitu faktor internal (berasal dari dalam

individu) dan faktor eksternal (berasal dari luar individu)


1. Faktor internal

a. Usia

Umur mempengaruhi terhadap daya tangkap dan pola pikir

seseorang. Dengan bertambahnya umur individu, daya tangkap dan

pola pikir seseorang akan lebih berkembang, sehingga pengetahuan

yang diperolehnya semakin membaik.

b. Jenis kelamin

Adanya perbedaan respon antara perempuan dan laki-laki terjadi

karena perempuan memiliki verbal center pada kedua bagian

otaknya, sedangkan laki-laki hanya memiliki verbal center pada

otak bagian kiri. Biasanya ini yang menyebabkan perempuan lebih

suka berdiskusi, bergosip, bercerita panjang lebar dibanding laki-

laki. Laki-laki lebih suka melihat sesuatu yang mudah, mereka

tidak memiliki ‘koneksi’ yang baik tentang hal-hal yang

melibatkan perasaan, emosi, atau curahan hati.

2. Faktor eksternal

a. Pendidikan

Pendidikan merupakan bimbingan yang diberikan seseorang

terhadap perkembangan orang lain menuju impian atau cita-cita

tertentu yang menentukan manusia untuk berbuat dan mengisi

kehidupan agar tercapai keselamatan dan kebahagiaan. Pendidikan

diperlukan untuk mendapatkan informasi berupa hal - hal yang

menunjang kesehatan sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup.

b. Pekerjaan
Pekerjaan adalah suatu keburukan yang harus dilakukan demi

menunjang kehidupannya dan kehidupan keluarganya. Pekerjaan

tidak diartikan sebagai sumber kesenangan, akan tetapi merupakan

cara mencari nafkah yang membosankan, berulang, dan memiliki

banyak tantangan.

c. Pengalaman

Pengalaman merupakan suatu kejadian yang dialami seseorang

pada masa lalu. Pada umumnya semakin banyak pengalaman

seseorang, semakin bertambah pengetahuan yang didapatkan.

Dalam hal ini, pengetahuan ibu yang pernah melahirkan

seharusnya lebih tinggi daripada pengetahuan ibu yang belum

melahirkan sebelumnya.

d. Sumber informasi

Seseorang yang mempunyai sumber informasi yang lebih banyak

akan mempunyai pengetahuan yang lebih luas. Pada umumnya

semakin mudah memperoleh informasi semakin cepat seseorang

memperoleh pengetahuan yang baru.

e. Minat

Minat akan menuntun seseorang untuk mencoba dan memulai hal

baru sehingga pada akhirnya akan mendapatkan pengetahuan yang

lebih dari sebelumnya. Minat atau passion akan membantu

seseorang dan bertindak sebagai pendorong guna pencapaian

sesuatu hal / keinginan yang dimiliki individu.

f. Lingkungan
Lingkungan merupakan seluruh kondisi yang ada disekitar manusia

dan pengaruhnya yang dapat mempengaruhi perkembangan dan

perilaku orang atau kelompok. Lingkungan merupakan segala

sesuatu yang ada di sekitar individu, baik lingkungan fisik, biologis,

maupun sosial.

g. Sosial budaya

Sistem sosial budaya yang ada pada masyarakat dapat

mempengaruhi dari sikap dalam menerima informasi. Seseorang

yang berasal dari lingkungan yang tertutup seringkali sulit untuk

menerima informasi baru yang akan disampaikan.(20)

2.2 Teori keterkaitan antar variabel

2.2.1 Hubungan pengetahuan ibu dengan kejadian stunting

Pengetahuan dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal

meliputi pendidikan, pekerjaan, dan umur, sementara faktor eksternal

meliputi lingkungan dan sosial budaya. Penelitian menunjukkan bahwa

pekerjaan, pendidikan, dan sumber informasi adalah faktor yang

memengaruhi pengetahuan. Ibu dengan pendidikan SMP memiliki

pengetahuan yang kurang dalam mencegah stunting pada anak mereka.

Pendidikan yang lebih tinggi memudahkan seseorang dalam menerima

informasi dan memahami cara mencegah stunting. Orang dengan tingkat

pendidikan yang lebih baik akan lebih mudah menerima informasi daripada

mereka yang kurang berpendidikan. Informasi ini sangat penting bagi ibu

dalam mengasuh anak mereka sehingga anak mereka tidak berisiko

mengalami stunting. (21) Rendahnya pendidikan disertai dengan rendahnya


pengetahuan gizi juga sering dihubungkan dengan kejadian malnutrisi pada

balita. Pengetahuan ibu dalam upaya mengatur, mengetahui dan merancang

menu makanan yang sehat dan bergizi bagi dirinya serta keluarga sangat

penting dalam upaya pemenuhan dan peningkatan mutu gizi anak yang

diperlukan. Oleh karena itu, pemahaman dan pengetahuan ibu tentang gizi

merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi tingginya prevalensi

stunting pada balita. (22) Karakteristik keluarga seperti pendidikan dan

pekerjaan orangtua merupakan faktor tidak langsung yang mempengaruhi

stunting. Kejadian stunting pada balita cenderung terjadi pada ayah dan ibu

dengan pendidikan rendah. Tingkat pendidikan akan berpengaruh terhadap

tingkat pengetahuan seseorang. Orang yang berpendidikan tinggi khususnya

dalam hal ini adalah ayah dan ibu akan berpengaruh pada kecenderungan

untuk memilih makanan yang lebih baik dalam jumlah dan mutu untuk

balitanya dibandingkan dengan orangtua yang berpendidikan rendah.

Berdasarkan hasil penelitian juga diketahui bahwa sebagian besar balita

stunting maupun non- stunting ditemukan pada ayah yang bekerja sebagai

karyawan. Hal ini dapat terjadi dikarenakan ayah tidak mengambil peran

yang dominan dalam keputusan penentuan kebutuhan gizi karena

penyediaan kebutuhan gizi diperankan oleh ibu.(23)

2.3 Tabel Orisinalitas

No Penelitian Metode

1 Adelina FA, Widajanti L, Nugraheni A, Dalam studi ini, terdapat

Peminatanxgizi M, Masyarakat K, sebanyak 70 anak balita yang

Diponegoro U, et al. HUBUNGAN terbagi menjadi dua


PENGETAHUAN GIZI IBU, TINGKAT kelompok, yaitu kelompok

KONSUMSI GIZI, STATUS kasus dan kelompok kontrol,

KETAHANAN PANGAN KELUARGA masing-masing dengan

DENGAN BALITA STUNTING (Studi jumlah 35 anak balita. Untuk

pada Balita Usia 24-59 Bulan di Wilayah mendapatkan data tinggi

Kerja Puskesmas Duren Kabupaten badan balita, dilakukan

Semarang) [Internet]. Vol. 6. 2018. pengukuran langsung

Available from: menggunakan alat yang

http://ejournal3.undip.ac.id/index.php/jkm disebut microtoise.

Sedangkan untuk data riwayat

konsumsi energi dan protein

balita, dilakukan wawancara

dengan metode recall 2x24

jam. Untuk data status

ketahanan pangan keluarga,

dilakukan wawancara dengan

menggunakan kuesioner

tentang frekuensi konsumsi

makanan (FFQ) dan

kemudian dihitung

menggunakan rumus

perhitungan Ada korelasi

yang penting antara

pengetahuan gizi ibu, tingkat


asupan energi, dan keamanan

pangan keluarga dengan

terjadinya stunting.

2 Devriany A, Ayu Wulandari D, Gizi J, Dalam penelitian ini, ukuran

Kesehatan Kementerian Kesehatan sampel ditentukan

Pangkalpinang P. Hubungan Pengetahuan menggunakan rumus yang

Ibu tentang “Isi Piringku” dengan dikembangkan oleh

Kejadian Stunting Anak Balita Usia 12-59 Lameshow pada tahun 1997,

Bulan Relationship Of Mother dengan jumlah responden

Knowledge About Isi Piringku" with The sebanyak 96 orang yang

Incidence Stunting Of Children Age 12-59 dipilih secara acak melalui

Months [Internet]. Vol. 12, Jurnal teknik simple random

Kesehatan. Online; 2021. Available from: sampling. Instrumen yang

http://ejurnal.poltekkes- digunakan adalah kuesioner

tjk.ac.id/index.php/JK untuk mengukur pengetahuan

ibu tentang isi piring, yang

telah diuji validitas dan

reliabilitasnya. Data

dikumpulkan secara langsung

oleh kader balita dengan

menggunakan instrumen

tersebut. Data kemudian

dianalisis dengan

menggunakan teknik
komputerisasi dan diuji

dengan chi-square

3.1 Kerangka Teori

3.2 Kerangka Konsep

Kerangka konsep diatas menjelaskan pengetahuan ibu dapat menyebabkan

stunting. Pengetahuan ibu yang kurang dapat menjadi faktor penyebab untuk
terjadinya stunting pada anak balita

3.3 Hipotesis

H1 : Terdapat hubungan antara pengetahuan ibu dengan kejadian stunting pada

anak usia balita di wilayah kerja Puskesmas Galis

DAFTAR PUSTAKA

1. Vaivada T, Akseer N, Akseer S, Somaskandan A, Stefopulos M, Bhutta ZA.


Stunting in childhood: An overview of global burden, trends, determinants, and
drivers of decline [Internet]. Vol. 112, American Journal of Clinical Nutrition.
Oxford University Press; 2020 [cited 2023 Mar 17]. p. 777S-791S. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC7487433/
2. Kesehatan JI, Husada S, Rahmadhita K. Permasalahan Stunting dan
Pencegahannya Stunting Problems and Prevention. Juni [Internet]. 2020 [cited
2023 Apr 6];11(1):225–9. Available from: https://akper-sandikarsa.e-
journal.id/jiksh/article/view/253
3. UNICEF. Child Malnutrition. 2023 Mar [cited 2023 Mar 17]; Available from:
https://data.unicef.org/topic/nutrition/malnutrition/
4. Kebijakan B, Kesehatan P, Ri KK. BUKU SAKU Hasil Survei Status Gizi
Indonesia (SSGI) 2022 [Internet]. 2022 [cited 2023 Mar 17]. Available from:
https://www.badankebijakan.kemkes.go.id/buku-saku-hasil-survei-status-gizi-
indonesia-ssgi-tahun-2022/
5. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. BUKU SAKU Hasil Studi Status Gizi
Indonesia Tingkat Nasional, Provinsi, Kabupaten/Kota Tahun 2021. 2021.
6. Tim Riskesdas 2018. Laporan Nasional RISKESDAS 2018. 2018;
7. Sutarto. Stunting, Faktor Resiko dan Pencegahannya. 2018 [cited 2023 Mar 17];
Available from:
https://juke.kedokteran.unila.ac.id/index.php/agro/article/view/1999/pdf
8. Mannar MGV. Global Nutrition Report Action on equity to end malnutrition
[Internet]. 2020 [cited 2023 Mar 17]. Available from:
https://globalnutritionreport.org/documents/566/2020_Global_Nutrition_Report_2hr
ssKo.pdf
9. Mufida L. Pengetahuan Gizi Ibu dan Praktik Diversifikasi Makanan Keluarga di
Kelurahan Purworejo, Kecamatan Margoyoso, Pati. 2020;
10. Desi Amalia I, Putri Utami Lubis D, Miftahul Khoeriyah S, Yogyakarta S.
HUBUNGAN PENGETAHUAN IBU TENTANG GIZI DENGAN KEJADIAN
STUNTING PADA BALITA RELATIONSHIP BETWEEN MOTHER’S
KNOWLEDGE ON NUTRITION AND THE PREVALENCE OF STUNTING ON
TODDLER [Internet]. 2021 [cited 2023 Mar 17]. Available from: https://stikes-
yogyakarta.e-journal.id/JKSI/article/view/153/145
11. Salsabila SG, Damailia R, Putri M. Hubungan Kejadian Stunting dengan
Pengetahuan Ibu tentang Gizi di Kecamatan Cikulur Lebak Banten Tahun 2020.
Jurnal Integrasi Kesehatan & Sains. 2021 Mar 24;3(1):100–3.
12. World Health Organization. REDUCING STUNTING IN CHILDREN Equity
considerations for achieving the Global Nutrition Targets 2025 [Internet]. 2018
[cited 2023 Apr 10]. Available from:
https://apps.who.int/iris/bitstream/handle/10665/260202/9789241513647-eng.pdf
13. Agustina N. Apa Itu Stunting [Internet]. Kementerian Kesehatan Direktorat
Jenderal Pelayanan Kesehatan. 2022 [cited 2023 Apr 10]. Available from:
https://yankes.kemkes.go.id/view_artikel/1516/apa-itu-stunting
14. Candra A. Buku_EPIDEMIOLOGI_STUNTING_KOMPLIT. 2020 [cited 2023 Apr
10]; Available from:
http://eprints.undip.ac.id/80670/1/Buku_EPIDEMIOLOGI_STUNTING_KOMPLIT.p
df
15. Kementerian Kesehatan. PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK
INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2014 [Internet]. 2014 Jul [cited 2023 Apr 10].
Available from:
http://hukor.kemkes.go.id/uploads/produk_hukum/PMK%20No.%2041%20ttg%20
Pedoman%20Gizi%20Seimbang.pdf
16. Huriah T, Nurjannah N. Risk factors of stunting in developing countries: A
scoping review. Open Access Maced J Med Sci. 2020 Jan 2;8(F):155–60.
17. Dipasquale V, Cucinotta U, Romano C. Acute malnutrition in children:
Pathophysiology, clinical effects and treatment. Vol. 12, Nutrients. MDPI AG; 2020.
p. 1–9.
18. Soliman A, De Sanctis V, Alaaraj N, Ahmed S, Alyafei F, Hamed N, et al. Early
and long-term consequences of nutritional stunting: From childhood to adulthood.
Acta Biomedica. 2021 Mar 5;92(1).
19. National Health Service. Malnutrition [Internet]. National Health Service. 2020
[cited 2023 Apr 10]. Available from: https://www.nhs.uk/conditions/malnutrition/
20. Agus Cahyono E, Studi Ilmu Keperawatan P, Tinggi Ilmu Kesehatan Husada
Jombang S, Korespondensi A, Veteran Mancar J, Peterongan K, et al.
PENGETAHUAN ; ARTIKEL REVIEW. Vol. 12, Jurnal Keperawatan. 2019.
21. Rahmandiani RD, Astuti S, Susanti AI. Hubungan Pengetahuan Ibu Balita
Tentang Stunting Dengan Karakteristik Ibu dan Sumber Informasi di Desa
Hegarmanah Kecamatan Jatinangor Kabupaten Sumedang. 2019 Dec 2 [cited
2023 Apr 10]; Available from:
http://jurnal.unpad.ac.id/jsk_ikm/article/view/25661/12345
22. Adelina FA, Widajanti L, Nugraheni A, Peminatanxgizi M, Masyarakat K,
Diponegoro U, et al. HUBUNGAN PENGETAHUAN GIZI IBU, TINGKAT
KONSUMSI GIZI, STATUS KETAHANAN PANGAN KELUARGA DENGAN
BALITA STUNTING (Studi pada Balita Usia 24-59 Bulan di Wilayah Kerja
Puskesmas Duren Kabupaten Semarang) [Internet]. Vol. 6. 2018. Available from:
http://ejournal3.undip.ac.id/index.php/jkm
23. Wulandari RC, Muniroh L. Hubungan tingkat kecukupan gizi, tingkat
pengetahuan ibu, dan tinggi badan orangtua dengan kejadian stunting pada
balita di wilayah kerja Puskesmas Tambak Wedi Surabaya Correlation between
adequacy levels of nutrition, mother’s knowledge level, and height of parents with
the incidence of stunting in toddler in Puskesmas Tambak Wedi Surabaya. 2020;

Anda mungkin juga menyukai