Anda di halaman 1dari 5

lergi susu sapi merupakan reaksi hipersensitivitas yang dipicu oleh mekanisme imun spesifik dari susu

sapi yang umumnya disebabkan oleh reaksi imunologis yang tidak diperantarai oleh IgE. Susu alternatif
yang diberikan untuk bayi dengan alergi susu sapi tergantung dari status nutrisi dari bayi. [1-3]

Angka kejadian alergi susu sapi diperkirakan mencapai 2–3% pada populasi bayi, yang menjadikan alergi
susu sapi sebagai alergi makanan paling sering pada bayi. [2-4] Gejala dari alergi susu sapi mulai terlihat
sebelum usia 1 bulan, dan umumnya terjadi pada 1 minggu pertama setelah mengkonsumsi protein susu
sapi.

Gejala dari alergi susu sapi dapat dibagi berdasarkan reaksi imun yang
diperantarai oleh IgE, dan tidak diperantarai oleh IgE serta kombinasi dari dua reaksi tersebut. Mayoritas
dari anak yang terkena alergi susu sapi memiliki beberapa gejala lebih dari 1 sistem organ. Pada pasien
alergi susu sapi dengan reaksi tanpa perantara IgE umumnya gejala terjadi pada traktus gastrointestinal
dan/atau kulit setelah 2 jam terpapar dengan susu sapi.[1,5]

Tata Laksana dan Dampak Negatif

Tata laksana utama dari alergi susu sapi adalah eksklusi susu sapi dari menu pasien. Pada kasus bayi
yang masih mengonsumsi ASI, Ibu dari anak tersebut harus mengeliminasi produk berbahan dasar susu
dari dietnya. Namun mengeksklusi susu sapi dapat menyebabkan dampak negatif karena susu sapi
merupakan sumber utama dari kalsium, fosfor, protein, lipid, serta vitamin: B2 (riboflavin), B5 (asam
pantothenic), B12 (cobalamin), dan D.[6]

Dampak yang dapat ditimbulkan akan berdampak pada status nutrisi dan pertumbuhan bayi. [4]
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Isolauri, et al pada 100 bayi alergi susu sapi dengan rata-rata
usia 7 bulan terdapat beberapa perbedaan dibandingkan bayi sehat seperti penurunan indeks
antropometri yang disertai dengan serum albumin yang rendah (6%), konsentrasi urea yang tidak
normal (24%) dan serum asam phospholipid docosahexaenoic acid (8%). Gangguan pertumbuhan juga
lebih dapat terlihat pada pasien dengan onset dini dibandingkan onset lambat. [1] Pada studi potong
lintang yang dilakukan oleh Kvanmen et al terhadap 57 anak dengan alergi susu sapi dengan rata–rata
usia 7 bulan terdapat defisiensi zat besi, zinc dan vitamin D yang disertai dengan risiko defisiensi vitamin
B12 lebih tinggi yang dapat dilihat pada pada bayi yang tidak mengonsumsi susu sapi walaupun sudah
diberikan ASI. [7]
Alternatif Susu Pengganti Susu Sapi

Susu formula dapat digunakan sebagai pengganti susu sapi, namun untuk memilih susu formula yang
tepat masih menjadi perdebatan. Pemilihan susu formula sebaiknya berdasarkan kondisi klinis, usia,
nutrisi, residu alergen, palatabilitas serta biaya.

Secara umum, untuk bayi usia di bawah 6 bulan yang tidak bisa mendapat ASI dan alergi susu sapi, susu
formula yang direkomendasikan adalah susu terhidrolisat ekstensif dan formula asam amino. Susu
kedelai dapat digunakan pada bayi berusia lebih dari 6 bulan.

1. Formula Terhidrolisat Protein Susu Sapi Ekstensif.

Susu formula terhidrolisat protein susu sapi merupakan susu formula yang mengandung oligopeptida
dengan berat molekul <3000 Da. Penggunaan susu terhidrolisat protein susu sapi ekstensif secara
eksklusif merupakan tatalaksana untuk bayi dengan alergi susu sapi ringan hingga sedang dan resiko
rendah terhadap reaksi anafilaksis. Namun susu ini memiliki rasa yang pahit dan kurang disukai oleh bayi
sehingga kuantitas yang seharusnya dibutuhkan untuk pertumbuhan sering tidak tercapai.

2. Susu Formula Asam Amino

Formula asam amino merupakan susu dengan protein dalam bentuk asam amino bebas dan tanpa
peptida. Formula asam amino ini diindikasikan pada bayi dan anak dengan gejala alergi susu sapi berat,
alergi makanan multipel, pertumbuhan yang terhambat, bayi dengan resiko tinggi menolak untuk
mengkonsumsi susu terhidrolisat ekstensif sesuai dengan jumlah yang dibutuhkan serta alergi susu sapi
dengan resiko tinggi syok anafilaktik. Formula asam amino ini sendiri dapat dijadikan tatalaksana utama
pada alergi susu sapi namun karena harganya yang cukup mahal maka hal ini menjadi faktor
keterbatasan yang dapat dipertimbangkan.

3. Formula Isolat Protein Kedelai

Formula isolat protein kedelai direkomendasikan pada bayi alergi susu sapi berusia diatas 6 bulan karena
biaya yang cukup murah serta palatabilias yang lebih baik dari susu terhidrolisat ekstensif. Terdapat
studi meta analisis dari Vandenplas et al yang mengatakan bahwa formula kedelai mengandung
fitoestrogen berupa isoflavon dalam jumlah relatif tinggi yang dapat berikatan dengan reseptor estrogen
sehingga menimbulkan efek estrogenik yang berdampak pada perkembangan seksual, fungsi reproduksi,
neuroendokrin, perkembangan neurobehavior, fungsi imun serta tiroid, namun studi tersebut belum
mendapatkan bukti klinis yang kuat mengenai efek negatif dari isoflavon tersebut.

4. Formula Terhidrolisat Protein Beras Ekstensif

Formula terhidrolisat protein beras ini merupakan formula yang tergolong relatif baru dan memiliki efek
klinis yang positif. Menurut studi klinis yang dilakukan oleh Vandenplas et al terhadap 40 pasien
ditemukan 90% pasien dapat mentoleransi formula tersebut (CI 95%). Formula ini juga memiliki nutrisi
yang adekuat yang dapat dilihat dari perubahan status gizi dan masa indeks tubuh pada bayi dengan
pertumbuhan terhambat menjadi normal. Palpabilitas dari bayi terlihat lebih baik pada formula protein
beras terhidrolisa dibandingkan formula protein susu sapi terhidrolisa karena memiliki bau, dan rasa
yang lebih baik. Harga formula ini tergolong lebih murah dibandingkan formula kasein sehingga bisa
dijadikan tatalaksana pilihan pada alergi susu sapi. Namun dibutuhkan studi lebih lanjut dengan jumlah
sampel yang lebih besar untuk membuktikan keamanan dari formula ini. [4,9] Namun formula
terhidolisat protein beras ini masih sangat terbatas hanya di negara tertentu dan belum dapat
ditemukan di Indonesia.

5.Susu Lainnya

Susu lainnya seperti susu almond, gandum, dan kacang tidak dapat digunakan sebagai substitusi nutrisi
bayi dengan alergi susu sapi, begitu juga dengan susu yang tidak termodifikasi seperti susu kedelai,
beras dan susu dari mamalia spesies lainnya seperti kuda, kambing, domba sebaiknya tidak digunakan
pada pasien alergi susu sapi dikarenakan tingginya resiko reaktivitas silang dari alergen serta nutrisi yang
tidak adekuat apabila digunakan sebagai pengganti susu sapi.

Nutrisi Tambahan

Susu sapi merupakan sumber penting dari kalsium, fosfor, vitamin B2, vitamin B5, vitamin B12, vitamin
D, protein dan lipid. Berkurangnya intake dari susu sapi akibat alergi mengakibatkan defisiensi dari
nutrisi tersebut, terutama kalsium dan vitamin D. Untuk itu, penting untuk memperhatikan asupan
nutrisi tambahan pada bayi dengan alergi susu sapi.

a. Kalsium

Konsumsi kalsium yang tidak adekuat dapat ditemukan pada pasien yang tidak mengkonsumsi protein
dari susu sapi, hal ini juga dapat dilihat pada pasien yang sudah mengkonsumsi susu formula. Kurangnya
intake dari kalsium dilaporkan dapat meningkatkan resiko terjadinya fraktur di kemudian hari.

Menurut sebuah studi RCT menunjukan bahwa kalsium tambahan yang diberikan dalam dosis 500 mg
hingga 1000 mg/hari menunjukan efek yang positif pada bone mineral density.[6] Penyerapan suplemen
kalsium lebih efektif apabila dikonsumsi tidak bersamaan dengan makanan kaya zat besi dan dosis
dibawah atau sama dengan 500 mg.

Suplemen kalsium umumnya diberikan pada usia lebih dari 6 bulan, dimana bayi sudah mulai
diperkenalkan dengan makanan padat sehingga konsumsi dari susu formula akan berkurang. Untuk bayi
di bawah 6 bulan walaupun jarang membutuhkan kalsium tambahan, sebaiknya konsumsi susu formula
tetap dinilai dari waktu ke waktu. Kalsium tambahan dibutuhkan ketika intake dari susu kurang dari 500
ml/harinya.

b. Vitamin D

Eksklusi susu sapi pada diet sering dikaitkan dengan defisiensi vitamin D. Pemberian kalsium sebaiknya
selalu dikombinasikan dengan vitamin D untuk mencegah osteomalasia dan riketsia. Vitamin D
tambahan yang direkomendasikan oleh The European Society for Paediatric Gastroenterology
(ESPGHAN) adalah sebanyak 10 μg/hari untuk anak usia 0-2 tahun dengan alergi susu sapi.

Kesimpulan

Alergi susu sapi merupakan salah satu alergi yang paling sering terjadi pada bayi dan anak di dunia, di
mana tata laksana utamanya adalah eksklusi protein susu sapi dari diet bayi. Namun eksklusi susu sapi
dapat menyebabkan dampak negatif pada status nutrisi dan pertumbuhan bayi karena susu sapi
merupakan sumber utama dari kalsium, fosfor, vitamin B2 (riboflavin), B5 (asam pantothenic), B12
(cobalamin), D, protein dan lipid.

Nutrisi pengganti dari protein susu sapi harus diperhatikan berdasarkan usia, klinis, status nutrisi,
ketersediaan serta biaya dari susu formula. Formula terhidrolisat ekstensif protein susu sapi merupakan
tata laksana pilihan pada bayi usia di bawah 6 bulan tanpa risiko syok anafilaktik, dan formula asam
amino dapat digunakan pada kasus yang berat. Formula terhidrolisat protein beras dapat digunakan
sebagai pilihan kedua, namun formula ini masih terbatas di negara tertentu dan belum tersedia di
Indonesia maka dari itu formula isolat protein kedelai dapat digunakan sebagai pilihan kedua. Formula
isolat protein keledai hanya dianjurkan pada bayi usia diatas 6 bulan.

Kalsium dan vitamin D dianjurkan sebagai nutrisi tambahan untuk bayi dengan alergi susu sapi. Dosis
suplemen kalsium yang dapat diberikan berkisar 500-1000 mg/hari, kalsium hanya diperlukan apabila
konsumsi susu formula dari bayi kurang dari 500 ml/hari. Vitamin D yang direkomendasikan oleh
ESPGHAN adalah sebanyak 10 μg/hari untuk anak usia 0–2 tahun.

Daftar pustaka

1. Lifschitz C, Szajewska H. Cow’s milk allergy: evidence-based diagnosis and management for the
practitioner. Vol. 174, European Journal of Pediatrics. 2015. p. 141–50.
2. Koletzko S, Niggemann B, Arato A, Dias JA, Heuschkel R, Husby S, et al. Diagnostic approach and
management of cow’s-milk protein allergy in infants and children: Espghan gi committee practical
guidelines. J Pediatr Gastroenterol Nutr. 2012;55(2):221–9.

3. Mehta H, Groetch M, Wang J. Growth and nutritional concerns in children with food allergy. Curr
Opin Allergy Clin Immunol. 2013;13(3):275–9

4. Maslin K, Oliver EM, Scally KS, Atkinson J, Foote K, Venter C, et al. Nutritional adequacy of a cow’s
milk exclusion diet in infancy. Clin Transl Allergy. 2016;6(1):4–11.

5. Vandenplas Y. Prevention and management of cow’s milk allergy in non-exclusively breastfed


infants. Nutrients. 2017;9(7):1–15.

6. Giovannini M, D’Auria E, Caffarelli C, Verduci E, Barberi S, Indinnimeo L, et al. Nutritional


management and follow up of infants and children with food allergy: Italian Society of Pediatric
Nutrition/Italian Society of Pediatric Allergy and Immunology Task Force Position Statement. Ital J
Pediatr [Internet]. 2014;40(1):1–9. Available from: Italian Journal of Pediatrics

7. Kvammen JA, Thomassen RA, Eskerud MB, Rugtveit J, Henriksen C. Micronutrient Status and
Nutritional Intake in 0- to 2-Year-old Children Consuming a Cows’ Milk Exclusion Diet. J Pediatr
Gastroenterol Nutr. 2018;66(5):831–7.

8. Vandenplas Y, De Greef E, Hauser B. Safety and tolerance of a new extensively hydrolyzed rice
protein-based formula in the management of infants with cow’s milk protein allergy. Eur J Pediatr.
2014;173(9):1209–16.

9. Sumadiono, Munasir Z, Bharlianto W, Muktiarti D, Juffrie M, Hegar B, et al. Diagnosis dan Tata
Laksana Alergi Susu Sapi. 2014. 1-32 p.

10. Vandenplas Y, Castrellon PG, Rivas R, Gutiérrez CJ, Garcia LD, Jimenez JE, et al. Safety of soya-
based infant formulas in children. Br J Nutr. 2014;111(8):1340–60.

11. ASCIA. Nutritional Management of Food Allergy Contents. Australas Soc Clin Immunol allergy inc
[Internet]. 2013;(September):1–25. Available from:
https://www.allergy.org.au/images/stories/pospapers/ASCIA_HPIP_food_allergy_September_2013.p
df

Anda mungkin juga menyukai