Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

EPISTEMOLOGI ISLAM
Disusun untuk memenuhi tugas

Mata Kuliah : Metode Studi Islam

Dosen Pengampu : Syamsul Amri, M.Sos

Oleh :

1. Ulfah Fadillah Sidabalok (0404211004)


2. Ihsanul Fikri Rambe (0404213026)
3. Rasyd Gunawan (0404211005)

KELAS A
PEMIKIRAN POLITIK ISLAM
FAKULTAS USHULUDDIN DAN STUDI ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MEDAN
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang
berjudul „Epitesmologi Islam‟ ini tepat pada waktunya. Adapun tujuan dari
penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Bapak Syamsul Amri,
pada Mata Kuliah Metodi Studi Islam. Selain itu, makalah ini juga bertujuan
untuk menambah wawasan tentang Metode Studi Islam bagi para pembaca dan
juga bagi penulis.
Kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak Syamsul selaku Dosen
Mata Kuliah Metodi Studi Islam yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat
menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang kami
tekuni. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membagi sebagian pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
ini. Kami menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna.
Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan demi
kesempurnaan makalah ini.

Pematangsiantar, 26 September 2021

Kelompok 3

i
DAFTAR ISI
JUDUL

KATA PENGANTAR ............................................................................ i

DAFTAR ISI ........................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN ....................................................................... 1

A. Latar Belakang ............................................................................ 1


B. Rumusan Masalah ....................................................................... 2

BAB II ISI DAN PEMBAHASAN ......................................................... 3

A. Pengertian Islam .......................................................................... 3


B. Pengertian Normativitas dan Historisitas .................................... 6
C. Normativitas dan Historisitas dalam Kajian KeIslaman ............. 8
D. Sumber Pengetahuan : Wahyu, Akal, Perasaan dan Intuisi ........ 10

BAB III PENUTUP ................................................................................ 15

A. Kesimpulan ................................................................................. 15
B. Saran ............................................................................................ 15

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................. 16

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Epistemologi adalah ilmu yang membahas tentang apa pengetahuan dan


bagaimana memperoleh pengetahuan. Selanjutnya, R.B.S. Furdyartanto
memberikan pengertian epistemologi sebagai berikut; Epistemologi berarti : ilmu
filsafat tentang pengetahuan atau pendek kata, filsafat pengetahuan. Dari
pengertian diatas Nampak bahwa epistemologi bersangkutan dengan masalah-
masalah yang meliputi: a. Filsafat yaitu sebagai ilmu berusaha mencari hakekat
dan kebenaran pengetahuan. b. Metode yaitu sebagai metode bertujuan
mengantarkan manusia untuk memperoleh realitas kebenaran pengetahuan. c.
Sistem yaitu sebagai suatu sistem bertujuan memperoleh realitas kebenaran
pengetahuan. Sedangkan pengertian Islam menurut Maulana Muhammad Ali
dapat dipahami dari Firman Allah yang terdapat pada ayat 208 surat Al-Baqarah
yang artinya: Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam
secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turuti langkah-langkah syaitan,
sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.

Harun Nasution mengatakan bahwa Islam menurut istilah (islam sebagai


agama), adalah agama yang ajaran-ajarannya diwahyukan Tuhan kepada
masyarakat manusia melalui Nabi Muhammad SAW. Sebagai Rasul. Islam pada
hakikatnya membawa ajaran-ajawan yang bukan hanya mengenal satu segi, tetapi
mengenai berbagai segi dari kehidupan manusia. Dari dua pengertian tersebut di
atas dapat dipahami secara kasar bahwa Epistemologi Islam adalah filsafat hukum
yang menganalisis hukum Islam secara metodologis dan sistematis, sehingga
mendapatkan keterangan yang mendasar atau menganalisis hukum Islam secara
ilmiah dengan pendekatan filsafat sebagai alatnya. Oleh karenanya tidak salah
pula, bagi sebagian kalangan, Epistemologi Islam seringkali disebut sebagai
Filsafat hukum Islam.

1
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian islam?
2. Apa pengertian normativitas?
3. Apa pengertian historisitas?
4. Bagimanakah normativitas dan historisitas dalam kajian keIslaman?
5. Bagaimana hubungan wahyu, akal, perasaan dan intuisi?

2
BAB II
ISI DAN PEMBAHASAN
A. Pengertian Islam
Al-Islam secara etimologi berarti ‫( االًقياد‬tunduk)1. Kata ini merupakan
‫الوجزد‬
ّ ‫ الثالثي‬dari kata ‫ السالم‬yang berarti terbebas dari wabah/celah baik secara
lahir maupun bathin.
Kata Islam berasal dari: salima yang artinya selamat. Dari kata itu
terbentuk aslama yang artinya menyerahkan diri atau tunduk dan patuh.
Sebagaimana firman Allah SWT :

‫ع َل ْي ِِ ْن َّ َال‬ ٌ َْْ ‫ِي فَلَ ٓۥَُ أ َ ْج ُز ۥٍُ ِعٌذَ َر ِبِّۦَ َّ َال خ‬


َ ‫ف‬ ِ ‫بَلَ ٰى َه ْي أ َ ْسلَ َن َّ ْج َِ ۥَُ ِ ه‬
ٌ ‫ّلِل َّ ُُ َْ ُه ْحس‬
َ‫ُُ ْن َي ْحزَ ًُْى‬
“Bahkan barang siapa aslama (berserah diri) kepada Allah, sedang ia berbuat
kebaikan, maka baginya pahala di sisi Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran
terhadap mereka dan tidak pula bersedih hati”2 (al-Baqarah : 112)

Dari kata aslama itulah terbentuk kata Islam. Pemeluknya disebut Muslim.
Orang yang memeluk Islam berarti menyerahkan diri kepada Allah dan siap patuh
pada ajaran-Nya.

Di dalam Alquran, kata bermakna Islam yang terambil dari akar kata s-l-m
disebut sebanyak 73 kali, baik dalam bentuk fi‟il (kata kerja), mashdar (kata
dasar/asal), maupun isim fa‟il (kata sifat/pelaku perbuatan dengan perincian
sebagai berikut:

1. Bentuk fi‟il
a. ........................................................................................................ Fi‟il madhi
(sebanyak 14 kali)
1) Aslama: 5 kali: Q.S. al-Baqarah : 122, Ali-imran : 83, al-Nisa : 125,
al-An‟am : 14, al-Jin : 14,
2) Aslama: 1 kali: Q.S. Al-Shaffat : 103

1
Abu Al-Husain Ahmad ibn Faris ibn Zakariya selanjutnya disebut Ibn Zakariya,
Mu‟jam Al-Maqâyîs Al-Lughah, (Cet ke-1, Beirut : Dâr Al-Fikr, 1994), p.487
2
Q.S. Al-Baqarah: 112

3
3) Aslamu: 1 kali: Q.S. Ali Imran : 20, al-Ma‟idah : 44, al-Hujurat : 17
4) Aslamtum: 1 kali pada Q.S. Ali Imran : 20
5) Aslamtu: 3 kali pada Q.S. al-Baqarah : 121, ali Imran : 20 dan an
Naml : 44
b. Fi‟il mudhari‟ (sebanyak 5 kali)
1) Yuslim pada Q.S. Luqman : 22
2) Yuslimun pada Q.S. Al- Fath : 16
3) Tuslimun pada Q.S. Al-Nahl : 81
4) Uslima pada Q.S. Ghafir : 66
5) Yuslima pada Q.S. Al-An‟am : 71
2. Bentuk Mashdar : sebanyak 9 kali
a. Kata dasar aslama sebanyak 8 kali 1)
1) Al-Islam 6 kali Q.S. Ali Imran : 18,85, al-Ma‟idah : 3, al-An‟am :
125, al-Zumar : 22, al-Shaf : 7
2) Islamakum pada Q.S. Al-Hujurat : 17
3) Islamihim pada Q.S. Al-Taubah : 74
b. Kata dasar salima: al-Silm pada Q.S. Al-Baqarah ;128

3. Bentuk fa‟il/kata sifat sebanyak 24 kali

a. Mufrad sebanyak 3 kali


1) Musliman 2 kali pada Q.S. Ali Imran : 67, Yusuf : 01
2) Muslimatun pada Q.S. al-Baqarah : 128
b. Mutsana 1 kali pada Q.S. Al-Baqarah : 128
c. Jamak sebanyak 38 kali Muslimun 15 kali pada Q.S. al-Baqarah : 132,
133, 136, Ali Imran : 52, 64, 80, 84, 102, al-Ma‟idah : 111, al-Naml : 81,
al-„Ankabut : 46, ar-Rum : 53, al-Jin : 14.3

Secara terminologis (istilah, maknawi) dapat dikatakan islam adalah agama


wahyu berintikan tauhid atau keesaan Tuhan yang diturunkan oleh Allah SWT
kepada Nabi Muhammad Saw sebagai utusan-Nya yang terakhir dan berlaku bagi

3
Tim Sembilan, Tafsir Maudhu‟i, Al-Muntaha, jilid 1 (Yogyakarta: Pustaka Pesantren,
2004). Pp. 85-86.

4
seluruh manusia, di mana pun dan kapan pun, yang ajarannya meliputi seluruh
aspek kehidupan manusia.4

Menurut Mahmud Syaltout, Islam secara istilah adalah : “Islam adalah


agama Allah SWT yang diwasiatkan dengan ajaranajarannya sebagaimana
terdapat didalam pokok-pokok dan syari‟atnya kepada Nabi Muhammad SAW
dan mewajibkan kepadanya untuk menyampaikannya kepada seluruh ummat
manusia serta mengajak mereka untuk memeluknya”5

Sedangkan menurut lima perawi Hadist (Muslim, Tirmidzi, nasa‟I, Ibn


Majah, dan Abu Daud), Islam adalah: “Islam adalah bersaksi bahwa tidak ada
Tuhan selain Allah, dan Muhammad SAW adalah hamba serta Rasul-Nya,
menunaikan sholat, memberikan zakat, puasa pada bulan Ramadhan, dan
menunaikan ibadah haji jika mampu.”

Al-Islām terkadang berarti taat dan menyerahkan diri. Berarti juga


melaksanakan (menunaikan). Dapat pula diartikan masuk ke dalam silm
(perdamaian), atau damai dan selamat. Penamaan dinul haq menjadi Islam adalah
sesuai dengan semua pengertian tadi. Hal ini ditunjukkan oleh firman Allah SWT:

‫ِي هّات ه َب َع ِهلهةَ اِب ْٰز ُِي َْن َح ٌِ ْيفًا َّۗات ه َخذَ ه‬
ُ‫ّٰللا‬ ٌ ‫س ُي ِد ْيًٌا ِ ّه هو ْي ا َ ْسلَ َن َّ ْج ََِٗ ِ هّلِلِ َّ ُُ َْ ُه ْحس‬ َ ‫َّ َه ْي ا َ ْح‬
‫اِب ْٰز ُِي َْن َخ ِلي ًْال‬
“Dan siapakah yang lebih baik agamanya dari pada orang yang ikhlas
menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan, dan ia
mengikuti agama Ibrahim yang lurus? Dan Allah SWT, mengambil Ibrahim
menjadi kesayangan-Nya”6 (an-Nisa : 125)

Dengan demikian, pengertian Islam dari segi istilah adalah agama yang
diturunkan Allah kepada nabi Muhammad SAW yang isinya bukan hanya

4
https://pusdai.wordpress.com/2008/11/12/arti-Islam-
etimologisterminologis/13/11/2018/01:15
5
Mahmud Syaltout, Al-Islam Aqidah Wa Syar‟iah, (Mesir: Dar alQolam,1996),
cet.III,p.9
6
Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi,(Jakarta : CV. Toha Putra Semarang,
1987),p. 205

5
mengatur hubungan manusia dengan Tuhan melainkan juga mengatur hubungan
manusia dengan manusia dan alam jagat raya.

B. Pengertian Normativitas dan Historisitas

Pengelompokan Islam normative dan Islam historis menurut Nasr Hamid


Abu Zaid mengelompokkan menjadi tiga wilayah yaitu : Pertama, wilayah teks
asli Islam (the original text of Islam), yaitu al-Qur‟an dan Sunnah Nabi
Muhammad yang otentik. Kedua, pemikiran Islam merupakan ragam menafsirkan
terhadap teks asli Islam (al-Qur‟an dan Sunnah), Ketiga, praktek yang dilakukan
kaum Muslim. Istilah dari Fazlur Rahman: Normative Islam dan Historical Islam7.

1. Pengertian Normativitas

Kata normatif berasal dari bahasa Inggris norm yang berarti norma ajaran,
acuan, ketentuan tentang masalah yang baik dan buruk yang boleh dilakukan dan
yang tidak boleh dilakukan8. Pada aspek normativitas, studi Islam agaknya masih
banyak terbebani oleh misi keagamaan yang bersifat memihak sehingga kadar
muatan analisi, kritis, metodologis, historis, empiris terutama dalam menelaah
teks-teks atau naskah keagamaan produk sejarah terdahulu kurang begitu
ditonjolkan, kecuali dalam linkungan peneliti tertentu yang masih sangat terbatas.

2. Pengertian Historisitas

Dalam kamus umum bahasa Indonesia W.J.S. Poerwadaminta mengatakan


sejarah adalah kejadian dan peristiwa yang benar benar terjadi pada masa lampau
atau peristiwa penting yang benar benar terjadi.9 Definisi tersebut terlihat
menekankan kepada materi peristiwanya tanpa mengaitkan dengan aspek lainnya.
Sedangkan dalam pengertian yang lebih komprehensif suatu peristiwa sejarah

7
Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intelectual Traditio
(Chicago and London: The University of Chicago Press, 1982), 130-134.
8
John Echols dan Hasan Sdiliy, Kamus Inggris Indonesia (Jakarta: Gramedia,1979), 80.
9
Poerwadaminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta; Balai Pustaka), 56.

6
perlu juga di lihat siapa yang melakukan peristiwa tersebut, dimana, kapan dan
mengapa peristiwa tersebut terjadi.
Dari pengertian demikian dapat dilakukan bahwa yang dimaksud dengan
sejarah Islam adalah peristiwa atau kejadian yang sungguh sungguh terjadi yang
seluruhnya berkaitan dengan ajaran Islam. Diantara cakupannya itu ada yang
berkaitan dengan sejarah proses pertumbuhan, perkembangan dan penyebarannya,
tokoh tokoh yang melakukan pengembangan dan penyebaran agama Islam
tersebut, sejarah kemajuan dan kemunduran yang di capai umat Islam dalam
berbagai bidang, seperti dalam bidang pengetahuan agama dan umum,
kebudayaan, arsitektur, politik, pemerintahan, peperangan, pendidikan, ekonomi
dan lain sebagainya.

Dalam agama terdapat tumpang tindih antara yang sacral dan yang
profane. Kadang sulit sekali membedakan mana yang sacral (agama) dengan yang
profane (kepentingan: lembaga-lembaga, kekuasaan). Beda dengan ilmu ada yang
pure science (inclusive) dengan applied science (exclusive).

Jadi dalam wilayah social keberagamaan, ada hal yang di sebut


“normativitas-sakralitas” dan “historisitas-profanitas”. Untuk menjembatani ke
dua hal tersebut, filsafat bias dijadikan sebagai mediator. Filsafat yang
dimaksudkan adalah filsafat sebagai keilmuwan (inclusive-dinamis) pure science,
bukan filsafat sebagai paham atau ideology (rasionalisme, empirisisme, realisme:
sifatnya eksklusive) applied science.10

Dalam agama terdapat pendekatan tekstual (ajaran-ajaran atau doktrin-


doktrin) dan kontektual (lewat legitimasi sejarah-sejarah, antropologi, sosiologi)
Dalam pendekatan kontekstual, sering bersifat polyinterpretbale (kebergaman
penafsiran). Saling meng-klaim yang terbaik, sejarahpun sangat subyektif. Untuk
itulah diperlukan pendekatan yang “kritis-filosofis”, sebgai pendekatan kritis-
analitis (critical-analitical approach).11

10
M. Amin Abdullah, "Relevansi Studi Agama dalam Millenium Ketiga", Ulumul
Qur‟an No. 5/VII 1997, 59-60.
11
M. Amin Abdullah. Begawan Muhammaddiya: Bunga Rampai Pidato Pengukuhan
Guru Besar Tokoh Muhammaddiyah (Jakarta: PSAP Muhammaddiyah, 2005),34.

7
C. Normativitas dan Historisitas Dalam Kajian Keislaman

Pemahaman terhadap keislaman selama ini dipahami sebagai


dogma yang baku dan menjadi suatu norma yang tidak dapat dikritik, dan
dijadikan sebagai pedoman mutlak yang tidak saja mengatur tingkah laku
manusia, melainkan sebagai pedoman untuk menilai dogmatika yang
dimiliki orang lain, meskipun demikian dogmatika tersebut tidak dapat
dilepaskan dari segi sejarah pembentukan dogma itu sendiri.

Kecenderungan salah penafsiran terhadap norma mengakibatkan truth


claim, dimana klaim mengasumsikan bahwa tidak ada kebenaran dan
keselamatan manusia kecuali dalam agamanya. Dogmatika yang dipahami
secara fanatik tersebut disosialisasikan sejak dini dan dilaksanakan
dalam kehidupan manusia. Sehingga norma dan tingkah laku umat beragama
terkotak, di satu sisi ia menekankan ketertundukan dengan mematikan potensi
berfikir, tetapi di sisi yang lain terjadi pemberhalaan sedemikian rupa
yang menyebabkan doktrin tersebut menjadi pembatas kesatuan antar
manusia. Sehingga agama yang sebenarnya pada esensinya sebagai bentuk
ekspresi religiousitas, dimana makna cinta kemanusiaan menjadi inti dari
agama, berubah menjadi sumber konflik atas nama Tuhan.

Di sinilah, maka pemikiran Amin Abdullah menjadi relevan, karena


berusaha merumuskan kembali penafsiran ulang agar sesuai dengan tujuan dari
jiwa agam itu sendiri. Di sisi yang lain mampu menjawab tuntutan zaman, dimana
yang dibutuhkan adalah kemerdekaan berfikir, kreativitas dan inovasi yang terus
meneurs dan menghindarkan keterkungkungan berfikir. Keterkungkungan berfikir
itu salah satu sebabnya adalah paradigma deduktif, dimana meyakini kebenaran
tunggal, tidak berubah, dan dijadikan pedoman mutlak manusia dalam
menjalankan kehidupan dan untuk menilai realitas yang ada dengan “hukum
baku” tersebut.

Dari perspektif filsafat ilmu, setiap ilmu, baik itu ilmu alam, humaniora,
sosial, agama atau ilmu ilmu keislaman, harus diformulasikan dan dibangun di
atas teori-teori yang berdasarkan pada kerangka metodologi yang jelas. Teori-teori

8
yang sudah ada terlebih dahulu tidak dapat dijadikan garansi kebenaran. Anomali-
anomali dan pemikiran-pemikiran yang tidak, kenyataannya ilmu pengetahuan
tidak tumbuh dalam kevakuman, akan tetapi selalu dipengaruhi dan tidak dapat
terlepas dari pengaruh cita rasa sejarah sosial dan politik. Pemikiran ini muncul
dari adanya kesadaran bahwa teori-teori ilmu pengetahuan hanyalah merupakan
produk, hasil karya manusia.12

Dalam pengertian ini, penerapan filsafat ilmu pada diskusi akademik ilmu-
ilmu keislaman harus dilakukan, karena filsafat ilmu saling berkaitan dengan
sosiologi ilmu pengetahuan. Dua cabang ilmu pengetahuan ini jarang didiskusikan
dan tidak pernah dimasukkan dalam tradisi ilmu keislaman yang ada. Padahal
keduanya merupakan prasyarat dan wacana awal yang harus dimengerti bagi para
ilmuan Muslim yang ingin terhindar dari tuduhan pembela tipe studi Islam yang
hanya bersifat pengulang-ngulangan, statis, disakralkan dan dogmatik.

Ketika pada akhirnya menghadapi masalah masalah historisitas


pengetahuan, patut disayangkan bila sarjana-sarjana Muslim dan non-Muslim
yang hendak mengembangkan wacana mereka dalam ilmu-ilmu keIslaman secara
psikologi merasa terintimidasi dengan problem reduksionisme dan non
reduksionisme. Dalam hal hal tertentu, ada beban psikologis dan institusional
yang terlibat dalam memperbesar dan memperluas domain, scope dan metodologi
ilmu-ilmu keIslaman karena persoalan itu. Sejak awal Fazlur Rahman sendiri telah
menempatkan Islam normative dalam kerangka kerjanya atau sebagai hard core
dalam kerangka kerja Lakatos, yang harus dilindungi dengan sifat-sifatnya yang
mendorong pada penemuan-penemuan dan penyelidikan-penyelidikan baru
(positive heuristic).

Secara umum studi Islam di Indonesia diharapkan dapat mengubah


pemahaman dan penghayatan keislaman masyarakat Muslim Indonesia secara
khusus, dan masyarakat beragama pada umumnya. Adapun perubahan yang
diharapkan adalah format formalisme keagamaan Islam diubah menjadi format
agama yang substantif. Sikap eksklusivisme kita rubah menjadi sikap inklusivisme
dan universalisme yakni agama yang tidak mengabaikan nilai-nilai spiritualitas
12
Ibid, 45.

9
dan kemanusiaan karena pada dasarnya agama diwahyukan untuk seru sekalian
alam termasuk manusia.13 Oleh karenanya studi Islam diharapkan melahirkan
suatu kondisi masyarakat yang siap hidup toleran (tasamuh) dalam wacana
pluralitas agama, sehingga tidak melahirkan Muslim ekstrim.

D. Sumber Pengetahuan : Wahyu, Aqal, Perasaan dan Intuisi


Indera, sebagai salah satu sumber (sebagian orang menyebutnya alat)
pengetahuan, ia mempunyai peranan yang amat penting. Begitu pentingnya
sehingga oleh aliran filsafat empirisme, indra dipandang sebagai satu-satunya
sumber pengetahuan. Indera adalah sumber awal menuju pengenalan terhadap
alam sekeliling kita. Bagi kelompok filosofis rasionalis seperti Baqir al-Sadr,
indera merupakan sumber pemahaman untuk gambaran (tasawwur) dan berpikir
(al-ifkar) yang sederhana, bahkan di sana terdapat fitrah dalam mental yang
membangkitkan tingkat gambaran (al-Sadr, 1997: 88). Ia mencontohkan betapa
kesimpulan teori gravitasi oleh ilmuan alam dikarenakan dengan hasil penemuan
hukumnya bukan menginderai hukum tersebut, dan kesimpulan itu bersifat rasio.

Ibnu Sina, dengan teorinya yang sangat popular tentang “al-nafs” (jiwa),
mengatakan bahwa pengetahuan manusia berasal dari indera luar dan indera
dalam (batin). Indera luar memberi suatu pengalaman, kemudian pengalaman itu
dirasionalkan oleh indera dalam menjadi pengetahuan. Mengetahui dari luar
maksudnya dengan panca indera, yaitu: indera melihat (al-Bashr), mendengar
(alsama‟), mencium (al-samma), merasa dengan lidah (al-zauq), dan merasa
dengan sentuhan (al-lams) (al-Ahwani, 1952: 94).

Al-Ahwani (1952: 95) melanjutkan akal, sebagai sumber ilmu


pengetahuan oleh Ibnu Sina dikelompokkan dalam indera batin. Mengetahui dari
dalam maksudnya adalah dengan indera batin, dan ini ada dalam wujud
mengetahui pengetahuan inderawi dan pengertiannya.

13
Atang Abd. Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2007), 9.

10
Selanjutnya Ibnu Sina membagi kemampuan penginderaan batin manusia
dalam lima tahap, yaitu:

1) Indera bersama atau al-his al-musytarak, indera ini bertempat di bagian


depan otak dan memiliki daya untuk menerima semua bentuk atau pesan
yang berasal dari panca indera luar kemudian meneruskannya ke indera
batin berikutnya.
2) Indera penggambar atau al-khayal wal al-musawwarah, tempatnya juga
berada di bagian depan otak dan memiliki daya untuk menympan pesan-
pesan yang diterima indera bersama dari hasil cerapan panca indera.
3) Indera pereka atau al-mutakhayyilah, bertempat di bagian tengah otak dan
memiliki daya untuk mengatur gambar-gambar yang telah dilepaskan dari
materi oleh indera penggambar dengan cara mengklasifikasikannya
kemudian mencari hubungan antara satu dengan yang lainnya.
4) Indera penganggap atau al-wahmiah, tempatnya di bagian tengah otak dan
memiliki daya untuk menangkap pengertian-pengertian yang abstrak yang
dikandung gambaran-gambaran yang bersifat inderawi, seperti mengetahui
bahwa harus menghindar dari serigala dan sebagainya.
5) Indera pengingat atau al-hafizah al-zakirah, bertempat di bagian belakang
otak dan memiliki daya untuk menyimpan dan mengingat apa yang
diketahui oleh indera penganggap yang bersifat abstrak tersebut (al-Ahwani,
1952: 96).

Kelima indera batin tersebut dikatakan Ibnu Sina dalam al-Ahwani (1952:
97) sebagai daya-daya dari “jiwa binatang” atau al-nafs al-hayawaniyah, Selain
dari indera-indera itu, menurutnya manusia juga memiliki “jiwa
tumbuhtumbuhan” (al-nafs al-nabatiyah), dan jiwa manusia (al-nafs al
insaniyah), yang memiliki daya untuk berpikir (quwah an-natiqah) atau yang
disebut juga dengan akal.
Akal ini kemudian dibedakannya lagi menjadi dua macam, yaitu akal
praktis („amilah) dan akal teoritis („alimah). Akal praktis akan mengontrol jiwa
kebinatangan, yang kalau berhasil maka jadilah seseorang itu berakhlak mulia,
dan sebaliknya. Sedangkan akal teoritis memiliki daya untuk menangkap arti-arti

11
murni, arti-arti yang tidak pernah ada dalam materi, mengetahui yang didominasi
oleh pengetahuan-pengetahuan yang abstrak, seperti Tuhan, ruh, malaikat; dan
dengan daya inilah akan timbul ma‟rifah.
Kemudian intuisi, sebagian orang menyebut hati (qalb) ini dengan intuisi.
Kalangan sufi mengklaim bahwa intuisi lebih unggul ketimbang akal. Hati dapat
memahami pengalaman langsung kadang-kadang tidak seperti yang dikonsepsikan
akal. Hati juga bisa mengenal objeknya secara lebih akrab dan langsung.
Secara umum, yang paling banyak berkutat dengan masalah hati ini adalah
para sufi, tetapi filosofis besar Ibnu Sina juga tak ketinggalan membahas masalah
ini, seperti pada karyanya al-Isyarat wa al-Tanbihat pada bagian akhirnya. Ibnu
Sina mengatakan bahwa ketika akal hanya berkutat pada tataran kesadaran, hati
bisa menerobos ke alam ketidaksadaran (semisal alam ghaib) sehingga mampu
memahami pengalaman-pengalaman non inderawi atau yang diistilahkan dengan
ESP (entra sensory perception), termasuk pengalaman-pengalaman mistik atau
religius.

Selanjutnya menarik untuk dicermati hubungan ketiganya dalam bangunan


ilmu dalam Islam. Mulyadhi Kertanegara, mencoba memberikan penjelasan
tentang hubungan ketiganya dalam kerangka epsitemologi Islam ke dalam tiga
pendekatan, yaitu:

1) Pendekatan Bayani. Dalam bahasa filsaat yang disederhanakan,


pendekatan bayani dapat diartikan sebagai Model metodologi berpikir
yang didasarkan atas teks. Dalam hal ini teks sucilah yang memilki
otoritas penuh menentukan arah kebenaran sebuah kitab. Fungsi akal
hanya sebagai pengawal makna yang terkandung di dalamnya. Dalam
pendekatan bayani, oleh karena dominasi teks sedemikian kuat, maka
peran akal hanya sebatas sebagai alat pembenaran atau justifikasi atas teks
yang dipahami atau diinterpretasi. Dalam aplikasinya, pendekatan bayani
akan memperkaya lilmu fikih dan ushul fikih, lebih-lebih qawaidul
lughahnya. Namun, hal itu berarti bukan tanpa kelemahan. Kelemahan
mencolok pada Nalar Bayani adalah ketika harus berhadapan dengan teks-
teks yang berbeda, milik komunitas, bangsa, atau masyarakat lainnya.

12
Karena otoritas ada pada teks, dan rasio hanya berfungsi sebagai pengawal
teks, sementara sebuah teks belum tentu diterima oleh golongan lain.
2) Pendekatan Irfani. Kata „irfan adalah bentuk masdar dari kata „arafa yang
berarti ma‟rifah ilmu pengetahuan. Kemudian „irfan lebih dikenal sebagai
terminologi mistik yang secara khusus berarti “ma‟rifah” dalam
pengertian “pengetahuan tentang Tuhan”. Kalau ilmu (pengetahuan
eksoterik) yakni pengetahuan yang diperoleh indera dan intelek melalui
istidlal, nazhar, dan burhan, maka „irfan (pengetahuan esoterik) yaitu
pengetahuan yang diperoleh qalb melalui kasyf, ilham, i‟iyan (persepsi
langsung), dan isyra. Aliran-aliran yang beragam dalam dunia Sufisme
atau Irfan memiliki kesatuan pandangan dalam permasalahan yang
esensial dan substansial ini dimana mereka menyatakan bahwa pencapaian
dan penggapaian hakikat segala sesuatu hanya dengan metode intuisi
mistikal dan penitian jalan-jalan pensucian jiwa, bukan dengan penalaran
dan argumentasi rasional, karena hakikat suatu makrifat dan pengetahuan
adalah menyelami dan meraih hakikat segala sesuatu lewat jalur
penyingkapan, penyaksian, intuisi hati, manifestasi-manifestasi batin, dan
penyaksian alam metafisika atau alam nonmateri dengan mata batin serta
penyatuan dengannya.
3) Pendekatan Burhani. Al-Burhan dalam bahasa Arab berarti argumen yang
clear. Dalam pengertian logika, al-burhan adalah aktivitas fikir yang
menetapkan kebenaran sesuatu melalui penalaran dengan mengkaitkan
pada pengetahuan yang bukti-buktinya mendahului kebenaran.
Sedangkan dalam pengertian umum, al-burhan berarti aktivitas fikir untuk
menetapkan kebenaran sesuatu. Al-Jabiri menggunakan burhani sebagai
sebutan terhadap sistem pengetahuan yang berbeda dengan metode
pemikiran tertentu dan memiliki world view tersendiri, yang tidak
bergantung pada hegemoni sistem pengetahuan lain. Burhani
mengandalkan kekuatan indera, pengalaman, dan akal dalam mencapai
kebenaran. Ketiga kecenderungan epistemologis Islam ini, secara teologis
mendapatkan justifikasi dari al-Qur‟an. Dalam al-Qur‟an banyak
ditemukan ayat-ayat yang berbicara tentang pengetahuan yang

13
bersumber pada rasionalitas. Perintah untuk menggunakan akal dengan
berbagai macam bentuk kalimat dan ungkapan merupakan suatu
indikasi yang jelas untuk hal ini. Akan tetapi, meskipun demikian, tidak
sedikit pula paparan ayat-ayat yang mengungkapkan tentang pengetahuan
yang bersumber pada intuisi (hati atau perasaan) terdalam. Van Peursen
mengatakan bahwa akal budi tidak dapat menyerap sesuatu, dan panca
indera tidak dapat memikirkan sesuatu. Namun, bila keduanya bergabung
timbullah pengetahuan, sebab menyerap sesuatu tanpa dibarengi akal budi
sama dengan kebutaan, dan pikiran tanpa isi sama dengan kehampaan.
Burhani atau pendekatan rasional argumentatif adalah pendekatan yang
mendasarkan diri pada kekuatan rasio melalui instrumen logika (induksi,
deduksi, abduksi, simbolik, proses, dll.)

14
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Epistemologi dalam Islam memiliki segi yang komprehensif sebagai
instrumen untuk mendapatkan ilmu pengetahuan, yaitu indera, akal, hati (intuisi)
dan wahyu. Kemudian keempat instrumen tersebut dikelompokkan ke dalam tiga
pendekatan, yaitu bayani, irfani dan burhani. Hanya saja dari tiga kecenderungan
pendekatan yang ada (bayani, irfani dan burhani), dalam perkembangannya lebih
didominasi oleh corak berpikir bayani yang sangat tekstual dan corak berpikir
irfani (kasyf) yang sangat sufistik. Kedua kecenderungan ini kurang begitu
memperhatikan pada penggunaan rasio (burhani ) secara optimal. Tentu saja
dalam menyikapi kemunduran pada Iptek yang dialami oleh umat Islam dewasa
ini, maka seyogyanya umat Islam lebih mengedepankan pendekatan yang
bercorak burhani dengan dipandu oleh kebersihan hati sebagai maninfestasi dari
epistemologi irfani.

B. Saran

Demikian makalah yang kami buat, semoga dapat bermanfaat bagi


pembaca. Apabila ada saran dan kritik yang ingin di sampaikan, silahkan
sampaikan kepada kami.
Apabila ada terdapat kesalahan mohon dapat memaafkan dan
memakluminya, karena kami hamba Allah yang tak luput dari salah khilaf, alfa
dan lupa.

15
DAFTAR PUSTAKA
Zakariya, Ibn. Mu‟jam Al-Maqâyîs Al-Lughah, (Cet ke-1, Beirut : Dâr Al-Fikr,
1994), p.487.

Sembilan, Tim. Tafsir Maudhu‟i, Al-Muntaha, jilid 1 (Yogyakarta: Pustaka


Pesantren, 2004), p. 85-86.
https://pusdai.wordpress.com/2008/11/12/arti-Islam-
etimologisterminologis/13/11/2018/01:15
Syaltout, Mahmoud. Al-Islam Aqidah Wa Syar‟iah, (Mesir: Dar alQolam,1996),
cet.III,p.9
Al-Maraghi, Mustafa, Ahmad. Tafsir Al-Maraghi,(Jakarta : CV. Toha Putra
Semarang, 1987),p. 205
Echols, John dan Hasan Syadiliy, Kamus Inggris Indonesia. Jakarta:
Gramedia,1979.
Poerwadaminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia Jakarta; Balai Pustaka, 1991
Rahman, Fazlur. Islam and Modernity: Transformation of an Intelectual Tradition
Chicago and London: The University of Chicago Press, 1982
Abdullah ,M. Amin, "Relevansi Studi Agama dalam Millenium Ketiga",
Ulumul Qur‟an, No. 5/VII 1997
Hakim, Atang Abd. dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam. Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2007
Al-Rasyidin. (2012). Falsafah Pendidikan Islam; Membagun Kerangka Ontologi,
Epistimologi, daen Aksiologi Praktik Pendidikan, Bandung:
Ciptapustaka.
Al-Ghazali. (1909). Ihya Ulum al-Din, Jilid I, Kairo: Maktabah al-Amira
alSyafafiyyah.
Al-Sadr, Muhammad Baqir. ( 1977). Falsafatuna. Baghdad: Al-Maktabah
alWathaniyah.
Arif, Syamsuddin. (2005). “Prinsip-prinsip Dasar Epistemologi Islam”, Islamia,
Jakarta.
Barok, Ainul. (2007). Epistemologi dalam Al-Quran (Studi Tematik). Tesis, UIN
Bandung.
Furdyartanto, R.B.S. (1978). Epistemologi, Yogyakarta.

16
Gharizah, Ali. (1989). Metode Pemikiran Islam, Jakarta: Gema Insani Press. Ibnu
Sina. (1952).
Ahwal an-Nafs, ditahkik oleh Ahmad Fu‟ad al-Ahwani, Cet. I. Mesir: Isal al-Babi
al-Halabi wal Syirkuh. Nasution, Harun. (1973).
Falsafat Agama. Jakarta: Bulan Bintang.
--------. (1982). Kedudukan akal dalam Islam, Jakarta: Yayasan Idayu.
--------. (1987). Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu‟tazilah, Cet.I,
Jakarta: UI Press
--------. (1978). Filsafat Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Praja, Juhaya S. (2005). Aliran-aliran Filsafat dan Etika. Jakarta: Kencana.
Rakhmat, Jalaluddin. (1999). Islam Alternatif. Bandung: Mizan.
Runes, Dagobart D. (1971). Dictionary of Philosophy. New Jersey: Adams &
Company.
Salam, Burhanuddin. (1997). Logika Material: Filsafat Ilmu Pengetahuan.
Jakarta: Rineka Cipta.
Sumantri Jujun S. (1991). Ilmu dalam Perspektif. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia.

17

Anda mungkin juga menyukai