DOSEN PEMBIMBING
Ma’ruf Kharisma, S.HI.MA
DISUSUN OLEH
Puji syukur kita panjatkan kepada kehadirat Allah SWT karena atas limpahan rahmad
dan hidayahnya kami mampu menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Makalah
dengan judul “ Islam sebagai way of life” disusun dengan maksud untuk memenuhi
tugas mata kuliah AIKA 1 serta memberikan pengetahuan baru bagi penulis dan
pembaca mengenai Islam sebagai way of life.
Pada kesempatan ini kami juga mengucapkan terima kasih kepada teman anggota
kelompok yang telah membantu pada pembuatan makalah ini. Semoga makalah ini
dapat membawa manfaat khususnya bagi saya dan orang lain yang telah membaca
makalah saya.
Kami menyadari bahwa makalah ini kami susun masih jauh dari sempurna, oleh karena
itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat kami harapkan dengan tujuan agar
makalah ini selanjutnya akan lebih baik. Semoga bermanfaat.
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR………………………………………………………………………………………………i
DAFTAR ISI………………………………………………………………………………………………………….ii
BAB I PENDAHULUAN
1. Latar Belakang ………………………………………………………………………………………..1
2. Rumusan Masalah……………………………………………………………………………………2
3. Tujuan …………………………………………………………………………………………………….2
BAB II PEMBAHASAN
1. Pengertian Islam dari segi Etimologi dan Terminologi, Tujuan
dan Fungsi islam………………………………………………………………………………….1-6
2. Sumber Ajaran Islam………………………………………………………………………….7-10
3. Ruang Lingkup Ajaran Islam…………………………………………………………….11-15
4. Karakteristik Ajaran Islam……………………………………………………………..…16-17
Dari judul makalah yang saya buat akan timbul masalah dan pertanyaan sebagai berikut
Dari rumusan masalah yang sudah tertulis di atas, maka dapat kita tuliskan tujuan dari
penulisan makalah ini sebagai berikut:
c. Agar penulis dan pembaca mengetahui apa saja sumber ajaran islam
A. PENGERTIAN ISLAM
Pengertian Islam: Etimologis
Secara etimologis (asal-usul kata, lughawi) kata “Islam” berasal dari bahasa Arab:
salima yang artinya selamat. Dari kata itu terbentuk aslama yang artinya
menyerahkan diri atau tunduk dan patuh. Sebagaimana firman Allah SWT:
“Bahkan, barangsiapa aslama (menyerahkan diri) kepada Allah, sedang ia
berbuat kebaikan, maka baginya pahala di sisi Tuhannya dan tidak ada
kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula bersedih hati” (Q.S. 2:112).
Dari kata aslama itulah terbentuk kata Islam. Pemeluknya disebut Muslim. Orang
yang memeluk Islam berarti menyerahkan diri kepada Allah dan siap patuh pada
ajaran-Nya[1].
Hal senada dikemukakan Hammudah Abdalati[2]. Menurutnya, kata “Islam”
berasal dari akar kata Arab, SLM (Sin, Lam, Mim) yang berarti kedamaian,
kesucian, penyerahan diri, dan ketundukkan.
Dalam pengertian religius, menurut Abdalati, pengertian Islam adalah
"penyerahan diri kepada kehendak Tuhan dan ketundukkan atas hukum-Nya"
(Submission to the Will of God and obedience to His Law).
Hubungan antara pengertian asli dan pengertian religius dari kata Islam adalah
erat dan jelas. Hanya melalui penyerahan diri kepada kehendak Allah SWT dan
ketundukkan atas hukum-Nya, maka seseorang dapat mencapai kedamaian sejati
dan menikmati kesucian abadi.
Ada juga pendapat, akar kata yang membentuk kata “Islam” setidaknya ada
empat yang berkaitan satu sama lain.
1. Aslama. Artinya menyerahkan diri. Orang yang masuk Islam berarti
menyerahkan diri kepada Allah SWT. Ia siap mematuhi ajaran-Nya.
2. Salima. Artinya selamat. Orang yang memeluk Islam, hidupnya akan
selamat.
3. Sallama. Artinya menyelamatkan orang lain. Seorang pemeluk Islam tidak
hanya menyelematkan diri sendiri, tetapi juga harus menyelamatkan
orang lain (tugas dakwah atau ‘amar ma’ruf nahyi munkar).
4. Salam. Aman, damai, sentosa. Kehidupan yang damai sentosa akan
tercipta jika pemeluk Islam melaksanakan asalama dan sallama.
Pengertian Islam: Terminologis
Secara terminologis (istilah, maknawi) dapat dikatakan, Islam adalah agama wahyu
berintikan tauhid atau keesaan Tuhan yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi
Muhammad Saw sebagai utusan-Nya yang terakhir dan berlaku bagi seluruh manusia, di
mana pun dan kapan pun, yang ajarannya meliputi seluruh aspek kehidupan manusia.
Cukup banyak ahli dan ulama yang berusaha merumuskan definisi atau pengertian Islam
secara terminologis. KH Endang Saifuddin Anshari[3] mengemukakan, setelah
mempelajari sejumlah rumusan tentang agama Islam, lalu menganalisisnya, ia
merumuskan dan menyimpulkan pengertian Islam, bahwa agama Islam adalah:
Wahyu yang diurunkan oleh Allah SWT kepada Rasul-Nya untuk disampaikan kepada
segenap umat manusia sepanjang masa dan setiap persada.
Suatu sistem keyakinan dan tata-ketentuan yang mengatur segala perikehidupan dan
penghidupan asasi manusia dalam pelbagai hubungan: dengan Tuhan, sesama manusia,
dan alam lainnya.
Bertujuan: keridhaan Allah, rahmat bagi segenap alam, kebahagiaan di dunia dan
akhirat. Pada garis besarnya terdiri atas akidah, syariatm dan akhlak. Bersumberkan
Kitab Suci Al-Quran yang merupakan kodifikasi wahyu Allah SWT sebagai penyempurna
wahyu-wahyu sebelumnya yang ditafsirkan oleh Sunnah Rasulullah Saw.Wallahu a'lam.
Tujuan Agama Islam Dalam Kehidupan Manusia
Salah satu syarat kehidupan manusia yang teramat penting adalah keyakinan, yang oleh
sebagaian orang dianggap menjelma sebagai agama. Agama ini bertujuan untuk
mencapai kedamaian rohani dan kesejahteraan jasmani. Dan untuk mencapai kedua ini
harus diikuti dengan syarat yaitu percaya dengan adanya Tuhan Yang Maha Esa.
Orang-orang yang percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa selalu merasa dilindungi oleh
tuhan dalam suasana, keadaan yang bagaimanapun mereka tidak merasa takut.
Tuhan tidak akan mengizinkan, mengingat kebutuhan manusia akan rasa aman itulah
yang menjadi pokok atau pangkal utama bagi manusia untuk mempercayai/Tuhan dan
perlunya hidup beragama.
Setiap orang yang percaya akan kebesaran Tuhan yang menciptakan alam semesta ini
mereka akan selalu memuja atas rahmat-Nya. Setiap daerah, setiap agama dan setiap
agama mempunyai cara-cara tersendiri untuk mendekatkan diri dan memuja kepada
Tuhan. Misalnya, seperti Bali, yang mana sebagian penduduk memeluk agama hindu-
dharma. Mereka mempunyai cara tersendiri di dalam melakukan pemujaan terhadap
Tuhan Yang Maha Esa. Mereka memuja Tuhan dengan memakai sesajen yang berisi
berbagai macam buah-buahan dan kembang yang berwarna-warni, yang semanya
ditujukan untuk memuja tuhan. Begitu pula halnya dengan daerah-daerah lain seperti:
Jawa, Madura, Kalimantan, Sumatera dan lain sebagainya semua mempunyai cara-cara
tersendiri untuk mendekatkan diri dan memuja Tuhan sesuai dengan agamanya masing-
masing. Meskipun caranya berbeda-beda, akan tetapi tujuannya sama yaitu Tuhan Yang
Maha Kuasa sang pencipta alam dunia ini.
Kapanpun dan di manapun kita berada, kalau kita senantiasa mengingat_Nya, meskipun
dalam keadaan bahaya kita pasti bias untuk mengatasinya. Kita bisa menyelesaikan
segala sesuatu dengan penuh keenangan dan bijaksana. Dan untuk mencapai semua ini
cukup kita dengan melakukan ibadat, sembahyang maupun dengan doa-doa yang
semuanya bertujan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan.
Yang jelas dan yang paling dapat diterima adalah bagi agama monoteisme, yakni
Tuhan yang bersifat Ar-Rahman Ar-Rahim, yaitu Tuhan yang menyayangi dan
menentramkan. Tuhan yang memenuhi jiwa manusia. Manusia dengan jalannya sendiri-
sendiri selalu berusaha untuk mendekatkan diri dengan Tuhan Yang Maha Esa. Kita tidak
tahu dimana tuhan itu berada, dan bagaimana bentuknya, rasaNya, bauNya. Kita tahu
itu tahu itu semua. Tetapi yang jelas tuhan itu ada, dan kita mempercayainya.
Karena tanpa adanya Tuhan, kehidupan ini, beserta segala isi dunia ini tidak akan ada.
Dengan percaya kepada-Nya, dan selalu mengingat_Nya, maka kita akan bias tenang dan
tenteram dalam menghadapi segala hal
2. Pengendalian diri
Artinya: “Dan apabila manusia disentuh oleh suatu bahaya, mereka menyeru Tuhannya
dengan kembali bertaubat kepada-Nya, kemudian apabila Tuhan merasakan kepada
mereka barang sedikit rahmat daripada-Nya, tiba-tiba sebagian dari mereka
mempersekutukan Tuhannya,”
Artinya: “Sesungguhnya Al Quran ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih
Lurus dan memberi kabar gembira kepada orang-orang Mukmin yang mengerjakan amal
saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar.”
Orang yang kurang yakin akan agamanya (lemah imannya) akan menghadapi
cobaan/kesulitan dalam hidup dengan pesimis, bahkan cenderung menyesali hidup
dengan berlebihan dan menyalahkan semua orang.
Beda halnya dengan orang yang beragama dan teguh imannya, orang yang seperti ini
akan menerima setiap cobaan dengan lapang dada. Dengan keyakinan bahwa setiap
cobaan yang menimpa dirinya merupakan ujian dari tuhan (Allah) yang harus dihadapi
dengan kesabaran karena Allah memberikan cobaan kepada hambanya sesuai dengan
kemampuannya. Selain itu, barang siapa yang mampu menghadapi ujian dengan sabar
akan ditingkatkan kualitas manusia itu.
c. Penentram Batin
Jika orang yang tidak percaya akan kebesaran tuhan tak peduli orang itu kaya apalagi
miskin pasti akan selalu merasa gelisah. Orang yang kaya takut akan kehilangan harta
kekayaannya yang akan habis atau dicuri oleh orang lain, orang yang miskin apalagi,
selalu merasa kurang bahkan cenderung tidak mensyukuri hidup.
Lain halnya dengan orang yang beriman, orang kaya yang beriman tebal tidak akan
gelisah memikirkan harta kekayaannya. Dalam ajaran Islam harta kekayaan itu
merupakan titipan Allah yang didalamnya terdapat hak orang-orang miskin dan anak
yatim piatu. Bahkan sewaktu-waktu bisa diambil oleh yang maha berkehendak, tidak
mungkin gelisah.
Begitu juga dengan orang yang miskin yang beriman, batinnya akan selalu tentram
karena setiap yang terjadi dalam hidupnya merupakan ketetapan Allah dan yang
membedakan derajat manusia dimata Allah bukanlah hartanya melainkan keimanan dan
ketakwaannya.
d. Pengendali Moral
Setiap manusia yang beragama yang beriman akan menjalankan setiap ajaran
agamanya. Terlebih dalam ajaran Islam, akhlak amat sangat diperhatikan dan di junjung
tinggi dalam Islam. Pelajaran moral dalam Islam sangatlah tinggi, dalam Islam diajarkan
untuk menghormati orang lain, akan tetapi sama sekali tidak diperintah untuk meminta
dihormati.
Islam mengatur hubungan orang tua dan anak dengan begitu indah. Dalam Al-Qur’an
ada ayat yang berbunyi: “dan jangan kau ucapkan kepada kedua (orang tuamu) uf!!”
Tidak ada ayat yang memerintahkan kepada manusia (orang tua) untuk minta dihormati
kepada anak.
Selain itu Islam juga mengatur semua hal yang berkaitan dengan moral, mulai dari
berpakaian, berperilaku, bertutur kata hubungan manusia dengan manusia lain (hablum
minannas/hubungan sosial). Termasuk di dalamnya harus jujur, jika seorang berkata
bohong maka dia akan disiksa oleh api neraka. Ini hanya contoh kecil peraturan Islam
yang berkaitan dengan moral. Masih banyak lagi aturan Islam yang berkaitan dengan
tatanan perilaku moral yang baik, namun tidak dapat sepenuhnya dituliskan disini.
B. Sumber Ajaran Islam
a.Al-qur’an
Al-Qur’an adalah nama bagi kitab suci umat Islam yang berfungsi sebagai petunjuk hidup
(hidayah) bagi seluruh umat manusia. Al-Qur’an diwahyukan olah Allah kepada Nabi
Muhamad SAW. setelah beliau genap berumur 40 tahun. Al-Qur’an diturunkan kepada
beliau secara berangsur-angsur selama 23 tahun.[3]
Secara etimologi, Al-Qur’an berasal dari kata qara’a, yaqra’u, qiraa’atan atau qur’aanan
yang berarti mengumpulkan (al-jam’u) dan menghimpun (al-dlammu). Huruf-huruf serta
kata-kata dari satu bagian kebagian lain secara teratur dikatakan al-Qur’an karena ia
berisikan intisari dari semua kitabullah dan intisari dari ilmu pengetahuan.
Sedangkan secara terminologi, Alquran adalah Kalam Allah ta’ala yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad SAW. sebagai Rasul terakhir melalui perantara malaikat Jibril,
diawali dengan surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat an-Naas.[4] Sedangkan
menurut para ulama, Alquran adalah Kalamullah yang diturunkan pada Rasulullah
dengan bahasa arab, merupakan mukjizat dan diriwayatkan secara mutawatir serta
membacanya adalah ibadah.
1)Tauhid, yaitu kepercayaan terhadap ke-Esaan Allah dan semua kepercayaan yang
berhubungan dengan-Nya.
2)Ibadah, yaitu semua bentuk perbuatan sebagai manifestasi dari kepercayaan ajaran
tauhid.
3)Janji dan ancaman (al wa’d wal wa’iid), yaitu janji pahala bagi orang yang percaya dan
mau mengamalkan isi al-Qur’an dan ancaman siksa bagi orang yang mengingkarinya.
4)Kisah umat terdahulu, seperti para Nabi dan Rasul dalam menyiarkan risalah Allah
maupun kisah orang-orang shaleh ataupun orang yang mengingkari kebenaran al-Qur’an
agar dapat dijadikan pembelajaran bagi umat setelahnya.
5)Berita tentang zaman yang akan datang. Yakni zaman kehidupan akhir manusia yang
disebut kehidupan akhirat.[5]
1)Hukum I’tiqadiah, yakni hukum yang mengatur hubungan rohaniah manusia dengan
Allah SWT dan hal-hal yang berkaitan dengan akidah/keimanan. Hukum ini tercermin
dalam Rukun Iman. Ilmu yang mempelajarinya disebut Ilmu Tauhid, Ilmu Ushuluddin,
atau Ilmu Kalam.
2)Hukum Amaliah, yakni hukum yang mengatur secara lahiriah hubungan manusia
dengan Allah SWT, antara manusia dengan sesama manusia, serta manusia dengan
lingkungan sekitar. Hukum amaliah ini tercermin dalam Rukun Islam dan disebut hukum
syara/syariat. Adapun ilmu yang mempelajarinya disebut Ilmu Fikih.
3)Hukum Khuluqiah, yakni hukum yang berkaitan dengan perilaku normal manusia
dalam kehidupan, baik sebagai makhluk individual atau makhluk sosial. Hukum ini
tercermin dalam konsep Ihsan. Adapun ilmu yang mempelajarinya disebut Ilmu Akhlaq
atau Tasawuf.
Sedangkan khusus hukum syara, dapat dibagi menjadi dua kelompok, yakni:
1)Hukum ibadah, yaitu mencakup hubungan vertikal atau dalam bahas arab biasa
disebut dengan hablum minallah, hukum yang mengatur hubungan manusia dengan
Allah SWT, misalnya salat, puasa, zakat, haji, dank urban.
2)Hukum muamalat, yaitu hukum yang mengatur manusia dengan sesama manusia dan
alam sekitarnya. Pada dasarnya hukum tersebut bisa dikatakan sebagai Hablum
Minannas.
b. As-Sunnah
Hadits disebut juga As-Sunnah. Sunnah secara bahasa berarti "adat-istiadat" atau
"kebiasaan" (traditions). Sunnah adalah segala perkataan, perbuatan, dan
penetapan/persetujuan serta kebiasaan Nabi Muhammad Saw. Penetapan (taqrir)
adalah persetujuan atau diamnya Nabi Saw terhadap perkataan dan perilaku sahabat.
Pengertian di atas didasarkan kepada Hadits Nabi Saw yang diriwayatkan oleh Muslim
sebagai berikut:
“Barang siapa
membuat sunnah yang baik maka dia akan memperoleh pahalanya dan pahala orang
yang mengamalkannya sesudahnya tanpa mengurangi pahalanya sedikitpun.
Barangsiapa membuat sunnah yang buruk maka dia akan memperoleh dosanya dan
dosa orang yangmengamalkannya se
Al Sunnah menurut jumhur ahli hadits adalah: “Apa-apa yang diriwayatkan dari
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam baik berbentuk ucapan, perbuatan, ketetapan,
dan sifat baik khalqiyah (bentuk) atau khuluqiyah (akhlak).
Kedudukan As-Sunnah sebagai sumber hukum Islam dijelaskan Al-Quran dan sabda Nabi
Muhammad Saw.
“Apa yang diberikan Rasul (Muhammad) kepadamu maka terimalah dan apa yang
dilarangnya maka tinggalkanlah” (Q.S.Al Hasyr:7).
“Telah kutinggalkan untuk kalian dua perkara yang (selama kalian berpegang teguh
dengan keduanya) kalian tidak akan tersesat, yaitu Kitabullah (Al-Quran) dan Sunnah-
ku.” (HR. Hakim dan Daruquthni).
Fungsi Al-Sunnah dalam hubungan dengan Al-Qur’an itu adalah sebagai berikut :
1. Bayan Tafsir
Yaitu menerangkan ayat-ayat yang sangat umum, mujmal dan musytarak. Seperti hadits
: “Shallu kamaa ro-aitumuni ushalli” (Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihatku
shalat) adalah merupakan tafsiran daripada ayat Al-Qur’an yang umum, yaitu :
“Aqimush-shalah” (Kerjakan shalat). Demikian pula hadits: “Khudzu ‘anni manasikakum”
(Ambillah dariku perbuatan hajiku) adalah tafsir dari ayat Al-
Qur’an“Waatimmulhajja”(Dansempurnakanlah hajimu ).
2. Bayan Taqrir
3. Bayan Taudhih,
Yaitu menerangkan maksud dan tujuan sesuatu ayat Al-Qur’an, seperti pernyataan Nabi
: “Allah tidak mewajibkan zakat melainkan supaya menjadi baik harta-hartamu yang
sudah dizakati”, adalah taudhih (penjelasan) terhadap ayat Al-Qur’an dalam surat at-
Taubah: 34, yang artinya sebagai berikut : “Dan orang-orang yang menyimpan mas dan
perak kemudian tidak membelanjakannya dijalan Allah maka gembirakanlah mereka
dengan azab yang pedih”. Pada waktu ayat ini turun banyak para sahabat yang merasa
berat untuk melaksanakan perintah ini, maka mereka bertanya kepada Nabi yang
kemudian dijawab dengan hadits tersebut.
c. Ijtihad
Ijtihad adalah berpikir keras untuk menghasilkan pendapat hukum atas suatu masalah
yang tidak secara jelas disebutkan dalam Al-Quran dan As-Sunnah. Pelakunya disebut
Mujtahid.
Kedudukan Ijtihad sebagai sumber hukum atau ajaran Islam ketiga setelah Al-Quran dan
As-Sunnah, diindikasikan oleh sebuah Hadits (Riwayat Tirmidzi dan Abu Daud) yang
berisi dialog atau tanya jawab antara Nabi Muhammad Saw dan Mu’adz bin Jabal yang
diangkat sebagai Gubernur Yaman.
Ijtihad adalah “sarana ilmiah” untuk menetapkan hukum sebuah perkara yang tidak
secara tegas ditetapkan Al-Quran dan As-Sunnah. Pada dasarnya, semua umat Islam
berhak melakukan Ijtihad, sepanjang ia menguasai Al-Quran, As-Sunnah, sejarah Islam,
juga berakhlak baik dan menguasai berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Lazimnya,
Mujtahid adalah para ulama yang integritas keilmuan dan akhlaknya diakui umat Islam.
Hasil Ijtihad mereka dikenal sebagai fatwa. Jika Ijtihad dilakukan secara bersama-sama
atau kolektif, maka hasilnya disebut Ijma’ atau kesepakatan.
C. Ruang Lingkup Ajaran Islam
a. Aqidah
Kata aqidah berasal dari bahasa Arab, yaitu العقدyang berarti الشء أطراف بي الجمع
ي
(menghimpun atau mempertemukan dua buah ujung atau sudut/ mengikat). Secara
istilah aqidah berarti keyakinan keagamaan yang dianut oleh seseorang dan menjadi
landasan segala bentuk aktivitas, sikap, pandangan dan pegangan hidupnya. Istilah ini
identik dengan iman yang berarti kepercayaan atau keyakinan
Sekiranya disinergiskan antara makna lughawi dan istilah dari kata aqidah di atas dapat
digambarkan bahwa aqidah adalah suatu bentuk keterikatan atau keterkaitan antara
seorang hamba dengan Tuhannya, sehingga kondisi ini selalu mempengaruhi hamba
dalam seluruh perilaku, aktivitas dan pekerjaan yang ia lakukan. Dengan kata lain
keterikatan tersebut akan mempengaruhi dan mengontrol dan mengarahkan semua
tindak-tanduknya kepada nilai-nilai ketuhanan.
Masalah-masalah aqidah selalu dikaitkan dengan keyakinan terhadap Allah, Rasul dan
hal-hal yang ghaib yang lebih dikenal dengan istilah rukun iman. Di samping itu juga
menyangkut dengan masalah eskatologi, yaitu masalah akhirat dan kehidupan setelah
berbangkit kelak. Keterkaitan dengan keyakinan dan keimanan, maka muncul arkanul
iman, yakni, iman kepada Allah, Malaikat, Kitab, Rasul, hari akhirat, qadha dan qadar
Menurut Harun Nasution, timbulnya berbagai kelompok dalam masalah aqidah atau
teologi berawal ketika terjadinya peristiwa arbitrase (tahkim) ketika menyelesaikan
sengketa antara kelompok Mu’awiyah dan Ali ibn Abi Thalib. Kaum Khawarij
memandang bahwa hal tersebut bertentangan dengan QS al-Maidah/ 5: 44 yang
berbunyi;
Siapa yang tidak menentukan hukum dengan apa yang diturunkan Allah adalah kafir (QS
al-Maidah/ 5: 44)
b. Ibadah
Ibadah berasal dari kata العبدyang berarti hamba. Kemudian dari kata ini muncul kata
العبادةyang berarti ( التذلل إظهارmemperlihatkan/ mendemonstrasikan
ketundukan dan kehinaan). Secara istilah ibadah berarti usaha menghubungkan dan
mendekatkan diri kepada Allah SWT sebagai Tuhan yang disembah
Ulama fiqh mendefenisikan ibadah sebagai ketaatan yang disertai dengan ketundukan
dan kerendahan diri kepada Allah SWT. Redaksi lain menyebutkan bahwa ibadah adalah
semua yang dilakukan atau dipersembahkan untuk memperoleh keredhaan Allah dan
mengharapkan imbalan pahala-Nya di akhirat kelak.
Ibn Taimiyah menjelaskan bahwa ibadah berawal dari suatu hubungan dan keterkaitan
yang erat antara hati dengan yang disembah.Kemudian hubungan dan keterkaitan
tersebut meningkat menjadi kerinduan karena tercurahnya perasaan hati kepada-Nya.
Kemudian rasa rindu itu pun meningkat menjadi kecintaan yang kemudian meningkat
pula menjadi keasyikan. Sehingga akhirnya membuat cinta yang amat mendalam yang
membuat orang yang mencitai bersedia melakukan apa saja demi yang dicintai. Oleh
karena itu, betapapun seseorang menundukkan diri kepada sesama manusia,
ketundukan demikian tidak dapat disebut sebagai ibadah sekalipun antara anak dan
bapaknya.
Dari segi manfaatnya ibadah dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu; pertama, ibadah
perorangan (fardhiyah/mahdhah), yakni ibadah yang menyangkut diri pelakunya sendiri
serta tidak ada hubungannya dengan orang lain seperti shalat dan puasa. Kedua, ibadah
kemasyarakatan (ijtimâiyah/ghaira mahdhah), yakni ibadah yang memiliki keterkaitan
dengan orang lain, terutama dari segi sasarannya seperti sedekah, zakat dan sebagainya.
Berkaitan dengan ini, Dalam Putusan Majelis Tarjih Muhammadiyah dijelaskan bahwa
ibadah ialah bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah, dengan mentaati segala
perintah-Nya, menjauhi segala larangan-larangan-Nya dan mengamalkan segala yang
diizinkannya. Ibadah ada yang umum dan ada yang khusus. Ibadah umum ialah segala
amalan yang dizinkan Allah sedangkan ibadah khusus ialah apa yang telah ditetapkan
Allah akan perinciannya, tingkat dan cara-caranya yang tertentu.
Menurut Nazaruddin Razak, dalam konteks ibadah yang dikerjakan, terdapat lima pokok
ibadah, yakni: shalat, zakat, puasa dan naik haji serta disusul dengan thaharah, di mana
thaharah merupakan kewajiban yang menyertai shalat, zakat, puasa dan naik haji.
Yusuf al-Qaradhawiy menjelaskan lima persyaratan agar suatu perbuatan dapat bernilai
ibadah, yaitu:
3)Untuk melakukan perbuat tersebut, yang bersangkutan harus memiliki keteguhan hati
dan percaya diri bahwa perbuatan yang dilakukan akan membawa kepada kebaikan.
4)Harus memperhatikan garis-garis atau aturan-aturan Allah SWT, tidak ada unsur
kelaliman, khianat, penipuan dan lain-lain.
c. Ahlaq
Akhlaq merupakan bentuk jamak dari ( الخلقal-khuluq) yang berarti المدركة والسجايا القوى
( بالبصيةkekuatan jiwa dan perangai yang dapat diperoleh melalui pengasahan mata
bathin). Dari pengertian lughawi ini, terlihat bahwa akhlaq dapat diperoleh dengan
melatih mata bathin dan ruh seseorang terhadap hal yang baik-baik. Dengan demikian
dari pengertian lughawi ini tersirat bahwa pemahaman akhlaq lebih menjurus pada
perbuatan-perbuatan terpuji. Konsekuensinya adalah bahwa perbuatan jahat dan
melenceng adalah perbuatan yang tidak berakhlaq (bukan akhlâq al-madzmûmah).
Secara istilah akhlaq berarti tingkah laku yang lahir dari manusia dengan sengaja, tidak
dibuat-buat dan telah menjadi kebiasaan. Sedangkan Nazaruddin Razak,
mengungkapkan akhlak dengan makna akhlak islam, yakni suatu sikap mental dan laku
perbuatan yang luhur, mempunyai hubungan dengan Zat Yang Maha Kuasa dan juga
merupakan produk dari keyakinan atas kekuasaan dan keeasaan Tuhan, yaitu produk
dari jiwa tauhid.
Dari pengertian ini terlihat sinergisitas antara makna akhlaq dengan al-khalq yang
berarti penciptaan di mana kedua kata ini berasal dari akar kata yang sama. Dengan
demikian pengertian ini menggambarkan bahwa akhlaq adalah hasil kreasi manusia yang
sudah dibiasakan dan bukan datang dengan spontan begitu saja, sebab ini ada kaitannya
dengan al-khalq yang berarti mencipta. Maka akhlaq adalah sifat, karakter dan perilaku
manusia yang sudah dibiasakan.
Al-Qur’an memberi kebebasan kepada manusia untuk bertingkah laku baik atau berbuat
buruk sesuai dengan kehendaknya. Atas dasar kehendak dan pilihannya itulah manusia
akan dimintai pertanggungjawabannya di akhirat atas segala tingkah lakunya. Di
samping itu, akhlaq seorang muslim harus merujuk kepada al-Qur’an dan sunnah
sebagai pegangan dan pedoman dalam hidup dan kehidupan.
Secara garis besar menurut Endang Saifuddin Anshari, akhlak terdiri atas; pertama,
akhlak manusia terhadap khalik, kedua, akhlak manusia terhadap sesama makhluk, yakni
akhlak manusia terhadap sesama manusia dan akhlak manusia terhadap alam lainnya.
Menurut Muhammad Quraish Shihab, akhlaq manusia terhadap Allah SWT bertitik tolak
dari pengakuan dan kesadarannya bahwa tidak ada Tuhan Selain Allah yang memiliki
sifat terpuji dan sempurna. Dari pengakuan dan kesadaran itu akan lahir tingkah laku
dan sikap sebagai berikut:
2)Bertawakkal atau berserah diri kepada Allah setelah berbuat dan berusaha terlebih
dahulu.
3)Berbaik sangka kepada Allah, bahwa yang datang dari Allah kepada makhluk-Nya
hanyalah kebaikan.
Adapun akhlaq kepada sesama manusia dapat dibedakan kepada beberapa hal, yaitu:
2)Akhlaq terhadap kaum kerabat, yaitu dengan menjaga hubungan shilaturrahim serta
berbuat kebaikan kepada sesama seperti mencintai dan merasakan suka duka bersama
mereka.
3)Akhlaq kepada tetangga, yaitu dengan menjaga diri untuk tidak menyakiti hatinya,
senantiasa berbuat baik (ihsân) dan lain-lain sebagainya.
d. Mu’amalah
Secara etimologi muamalah semakna dengan مفاعلةyang berarti saling berbuat. Kata ini
menggambarkan suatu aktivitas yang dilakukan seseorang dengan orang lain atau
beberapa orang dalam memenuhi kebutuhan masing-masing. Secara terminologi kata ini
lebih dikenal dengan istilah fiqh muamalah, yaitu hukum-hukum yang berkaitan dengan
tindak-tanduk manusia dalam persoalan-persoalan keduniaan. Misalnya dalam
persoalan jual beli, utang-piutang, kerjasama dagang, persyarikatan, kerjasama dalam
penggarapan tanah, sewa menyewa dan lain-lain sebagainya.
Satu hal yang perlu ditekankan adalah bahwa tidak boleh ada sesuatupun dari tindak-
tanduk manusia yang lari dari prinsip-prisip ketuhanan, termasuk dalam masalah
muamalah atau yang lebih dikenal dengan tindak-tanduk manusia dalam berinteraksi
dengan sesamanya untuk memenuhi kehidupannya masing-masing. Walau semua itu
diatur hanya secara global, namun Allah telah memberikan konsep dan prinsip-prinsip
umum bagi manusia dalam berhubungan dengan sesamanya. Dengan demikian, maka
seluruh aktivitas dan tindak-tanduk manusia harus sesuai, menjurus dan sinergis dengan
apa yang telah ditetapkan di dalam nash, baik dari nash al-Qur’an maupun dari hadits.
Di samping itu, juga terdapat beberapa keistimewaan ajaran muamalah yang bersumber
dari al-Qur’an dan sunnah, antara lain yaitu:
2)Bahwa berbagai jenis muamalah, hukum dasarnya adalah boleh sampai ditemukan
dalil yang melarangnya. Ini artinya, selama tidak ada dalil yang melarang suatu kreasi
jenis muamalah, maka muamalah itu dibolehkan. Namun demikian, walau pada
prinsipnya muamalah dibolehkan selama tidak ada dalil yang melarangnya, tetapi semua
itu tidak boleh lepas dari sikap pengabdian kepada Allah SWT, di mana terdapat kaidah-
kaidah umum yang mengatur dan mengontrolnya, antara lain yaitu; Tidak boleh terlepas
dari nilai-nilai ketuhanan dan nilai-nilai kemanusiaan; Berdasarkan pertimbangan
kemaslahatan pribadi dan masyarakat; Menegakkan prinsip kesamaan hak dan
kewajiban sesame manusia; Seluruh perbuatan kotor adalah haram dan seluruh
tindakan yang baik adalah halal, dan lain-lain.
Secara umum mu’amalah mencakup antara lain yaitu; hal-hal yang berkaitan dengan
hak-hak dan hal lain yang terkait dengannya; Hal-hal yang berkaitan dengan harta
seperti hibah, sedekah dan sebagainya; Hal-hal yang berkaitan dengan perdagangan
seperti jual beli, khiyâr, ihtikâr, syirkah, mudhârabah dan sebagainya; Hal-hal yang
berkaitan dengan pemberian amanah kepada orang lain seperti hiwâlah, ijârah, ariyah,
al-rahn dan sebagainya; Hal-hal yang berkaitan dengan lahan pertanian seperti
muzâra’ah, musâqah, dan lain-lain.
D. Karakteristik Ajran Islam
Selama ini mungkin kita sudah mengenal Islam, tapi banyak diantara kita yang belum
memahami Islam itu sendiri. Namun, banyak juga orang yang telah mengenal Islam,
tetapi sejauh mana sudah memahami potret Islam. Ini adalah salah satu persoalan yang
perlu kita diskusikan lebih lanjut. Dengan demikian Islam itu mempunyai karakteristik
yang sangat luas dan tidak bisa memisah-memisahkan dengan yang lainnya.
Para ilmuan muslim juga mempergunakan berbagai pendekatan, untuk mengetahui dan
memahami karakteristik ajaran Islam. Dan tidak untuk mencoba memperdebatkan
antara satu dan dengan yang lainnya. Melainkan lebih mencari sisi-sisi persamaan untuk
permaslahatan umat umumnya untuk keperluan studi khususnya.
Dari berbagai sumber tentang Islam yang di tulis para tokoh, dapat diketahui bahwa
Islam memiliki karakteristik yang khas yang dapat dikenali melalui konsepsinya dalam
berbagai bidang. Konsepsi Islam dalam berbagai bidang yang menjadi karakteristik itu
dapat dikemukakan sebagai berikut:
Nurcholis Madjid banyak berbicara tentang karakteristik ajaran Islam dalam bidang
agama. Menurutnya, bahwa dalam bidang agama Islam mengakui adanya pluralisme.
Pluralisme menurut Nurcholis adalah sebuah aturan Tuhan yang tidak akan berubah,
sehingga juga tidak mungkin dilawan atau diingkari. Dan Islam adalah agama yang kitab
sucinya dengan tegas mengakui hak agama lain, kecuali yang berdasarkan paganisme
dan syirik, untuk hidup dan menjalankan ajaran masing-masing dengan penuh
kesungguhan.
Memang dan seharusnya tidak perlu mengherankan, bahwa Islam selaku agama besar
terakhir, mengklaim sebagai agama yang memuncaki proses pertumbuhan dan
perkembangan agama-agama dalam garis kontiunitas tersebut. Bahkan Al-Qur’an juga
mengisaratkan bahwa para penganut berbagai agama, asalkan percaya kepada Tuhan
dan hari kemudian serta berbuat baik., semuanya akan selamat. Inilah yang selanjutnya
menjadi dasar toleransi agama yang menjadi ciri sejati Islam dalam sejarahnya yang
otentik, sesuatu semangat yang merupakan kelanjutan pelaksanaan ajaran Al-Qur’an.
Karakteristik ajaran Islam dalam bidang agama tersebut disamping mengakui adanya
pluralisme sebagai suatu kenyataan, juga mengakui adanya universalisme, yakni
mengakarkan kepercayaan kepada Tuhan dan hari akhir, menyuru berbuat baik, dan
mengajak kepada keselamatan. Dalam hubungan ini menarik sekali apa yang dikatakan
H.M Quraish Shaihab, menurutnya, bahwa dengan menggali ajaran-ajaran-agama,
meninggalkan fanatisme buta, serta berpijak kepada kenyataan, jalan dapat dirumuskan.
Dengan demikian, karakteristik ajaran Islam dalam visi keagamaannya bersifat toleran,
pemaaf, tidak memaksa, dan saling menghargai karena dalam pluralisme agama
tersebut terdapat unsur kesamaan yaitu pengabdian kepada Tuhan.
b. Dalam Bidang Ibadah
Karakteristik ajaran Islam selanjutnya dapat dikenal melalui konsepsinya dalam bidang
ibadah. Secara harfiah ibadah bararti bukti manusia kepada Allah SWT, karena didorong
dan dibangkitkan oleh akidah tauhid.
Ibadah yang dibahas dalam bagian ini adalah ibadah dalam arti yang nomor dua, yaitu
ibadah khusus. Dalam yuriprudensi Islam telah ditetapkan bahwa dalam urusan ibadah
tidak boleh kreatifitas, sebab yang mengcreate atau yang membentuk suatu ibadah
dalam Islam dinilai sebagai bida’ah yang dikutuk Nabi sebagai kesesatan.
Dalam kitab Mu’jam al-Falsafi, Jamil Shaliba mengartikan akidah menurut bahasa adalah
menghubungkan dua sudut sehingga bertemu dan bersambung secara kokoh. Dalam
bidang perundang-undangan, akidah berarti menyepakati antara dua perkara atau lebih
yang harus dipatuhi bersama.
Karakteristik Islam yang dapat diketahui melalui dalam bidang akidah ini adalah bahwa
akidah Islam bersifat murni baik dalam isinya maupun prosesnya. Yang diyakini dan
diakui sebagai Tuhan yang wajib disebah hanya Allah. Dalam prosesnya, keyakinan
tersebut harus langsung tidak boleh ada perantara.
Akidah dalam Islam meliputi keyakinan dalam hati tentang Allah sebagai Tuhan yang
wajib di sembah ucapan dengan lisan dalam bentuk dua kalimat syahadat, yaitu
menyatakan tidak ada Tuhan selain Allah, dan bahwa Nabi Muhammad SAW sebagai
utusa-Nya, perbuatan dengan amal sholeh.
Dalam hubungan ini Yusuf Al-Qrdawi menyatakan bahwa iman menurut pengertian yang
sebenarnya ialah kepercayaan yang meresap kedalam hati, dengan penuh ke yakinan,
tidak bercampur syak dan ragu, serta memberi pengaruh bagi pandangan hidup, tingkah
laku dan perbuatan sehari-hari.
BAB III
PENUTUP
A.KESIMPULAN
c. Penentram Batin
d. Pengendali Moral
a. Al-qur’an
b .As-Sunnah
c. Ijtihad
a. Aqidah
b. Ibdah
c. Muamalah
•AntoroRio,Online,https://www.academia.edu/8745153/sumbersumber_ajaran_islam,
akses 16 september
•AntoroRio,Online,http://www.kompasiana.com/alihanafia/karakteristik-ajaran-
islam_54f82c30a33311805e8b462d, akses 16 september
•AntoroRio,Online,http://www.computer1001.com/2008/11/cara-membuat-dan-
mengatur-posisi-nomor.htmL