Epi Lepsi
Epi Lepsi
SKRIPSI
Oleh :
CYNTHIA GANDA
170100159
SKRIPSI
Oleh :
CYNTHIA GANDA
170100159
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang
senantiasa memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan karya tulis ilmiah ini tepat pada waktunya. Skripsi ini berjudul
“Kejadian Epilepsi pada Anak dengan Riwayat Kejang Demam pada Tahun 2014-
2019 : Studi Literatur” yang merupakan salah satu syarat untuk memperoleh
kelulusan sarjana kedokteran Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Adapun tujuan penulisan skripsi ini
adalah untuk memaparkan landasan pemikiran dan segala konsep yang
menyangkut penelitian yang akan dilaksanakan.
Penulis menyadari bahwa sangatlah sulit dalam menyelesaikan karya tulis
ilmiah ini tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu, dengan
segala rasa hormat, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih dan
penghargaan kepada :
1. Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M. Hum, selaku rektor Universitas
Sumatera Utara.
2. Prof. Dr. dr. Aldy Safruddin Rambe, Sp. S (K), selaku Dekan Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
3. dr. Rita Evalina, M. Ked (Ped), Sp. A (K), selaku Dosen Pembimbing
yang telah memberikan banyak bimbingan dan masukan bagi penulis
sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.
4. dr. Dudy Aldiansyah, M. Ked (OG), Sp. OG (K), selaku Ketua Penguji
yang telah memberikan petunjuk-petunjuk serta nasihat dalam
penyempurnaan skripsi.
5. dr. Beby Syofiani Hasibuan, M. Ked (Ped), Sp. A (K), selaku Anggota
Penguji yang telah memberikan petunjuk-petunjuk serta nasihat dalam
penyempurnaan skripsi.
6. dr. Henny Maisara Sipahutar, Sp. Rad, selaku Dosen Penasehat Akademik
yang telah membimbing selama menempuh pendidikan.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari
kata sempurna, baik dari segi materi yang disampaikan maupun tata cara
penulisannya. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati, segala saran
dan kritik yang membangun dari pembaca sangatlah diharapkan guna
menyempurnakan hasil penelitian skripsi ini.
Cynthia Ganda
170100159
DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR TABEL
DAFTAR SINGKATAN
ABSTRAK
Latar Belakang. Epilepsi merupakan salah satu penyebab terbanyak morbiditas di bidang saraf
pada anak. Epilepsi diperkirakan diderita sekitar 50 juta orang di dunia, menjadikannya salah
satu penyakit neurologi yang paling umum secara global. Hampir 80% orang yang menderita
epilepsi tinggal di negara berpendapatan rendah dan menengah. Faktor risiko epilepsi yang
tersering adalah kejang demam. Kejang demam terdapat 2 jenis yaitu, kejang demam sederhana
dan kejang demam kompleks. Di Amerika Serikat dan Eropa prevalensi kejang demam berkisar 2-
5%. Di Asia prevalensi kejang demam meningkat dua kali lipat bila dibandingkan dengan di
Eropa dan di Amerika Serikat. Tujuan. Mengetahui hubungan antara kejadian epilepsi pada anak
dengan riwayat kejang demam. Metode Penelitian. Penelitian ini menggunakan rancangan studi
literatur dengan menggunakan literatur yang bersumber dari Pubmed, Science Direct, dan
Google Scholar. Jurnal yang digunakan adalah jurnal mengenai kejadian epilepsi pada anak
dengan riwayat kejang demam. Hasil. Dari penelusuran literatur diperoleh sejumlah 24 jurnal
yang membahas tentang kejang demam merupakan faktor risiko epilepsi pada anak. Berdasarkan
hasil analisis kejang demam meningkatkan risiko secara signifikan atau memudahkan terjadinya
epilepsi pada anak di kemudian hari. Kesimpulan. Kejang demam merupakan faktor risiko
terjadinya epilepsi pada anak.
ABTRACT
Background. Epilepsy is one of the most common causes of neurological morbidity in children.
Epilepsy is estimated to affect about 50 million people worldwide, making it one of the most
common neurological diseases globally. Approximately 80% of people with epilepsy live in low
and middle income countries. The most common risk factor of epilepsy is febrile seizures. There
are 2 types of febrile seizures, that is: simple febrile seizures and complex febrile seizures.
In the United States and Europe the prevalence of febrile seizures ranges from 2 to 5%. In Asia,
the prevalence of febrile seizures has doubled in comparison to Europe and the United States.
Objective. To know the relationship between the incidence of epilepsy in children with a history
febrile seizures.
Methods. This is a literature review study using literature sourced from Pubmed, Science Direct,
and Google Scholar. The journal used is a journal about the incidence of epilepsy in children with
a history of febrile seizures. Results. From the literature search, there were 24 journals that
discussed febrile seizures as a risk factor for epilepsy in children. Based on the analysis, febrile
seizures significantly increase the risk or facilitate the occurrence of epilepsy in children at a later
date.Conclusion. Febrile seizures are a risk factor for epilepsy in children
BAB I
PENDAHULUAN
Kejang demam dibagi menjadi dua, yaitu kejang demam sederhana dan kejang
demam kompleks. Kejang demam sederhana lebih umum terjadi, berlangsung
kurang dari 15 menit dan tidak berulang dalam 24 jam. Kejang demam kompleks
memiliki satu atau lebih ciri-ciri berikut: durasi kejang lebih dari 15 menit, kejang
fokal, atau kejang berulang dalam 24 jam (IDAI, 2016).
Di Amerika Serikat dan Eropa prevalensi kejang demam berkisar 2-5%. Di
Asia prevalensi kejang demam meningkat dua kali lipat bila dibandingkan dengan
di Eropa dan di Amerika Serikat (Herman, 2019). Kejang demam terjadi pada 2-5%
anak berumur 6 bulan – 5 tahun (IDAI, 2016). Data kejadian kejang demam di
Indonesia masih terbatas (Udin et al., 2014).
Kejang demam yang berkepanjangan menyebabkan iskemik otak dan akan
mengakibatkan sklerosis pada jaringan otak. Dengan demikian terbentuk fokus
epilepsi yang diduga dapat menjadi suatu dasar kelainan di otak yang terjadi di
kemudian hari dapat menjadi matang, sehingga suatu saat tanpa didahului demam
dapat timbul bangkitan kejang atau serangan epilepsi (Chairunnisa et al., 2018).
Untuk melihat hubungan kejang demam dengan terjadinya epilepsi pada anak
maka peneliti melakukan studi literatur dari jurnal yang dipublikasikan pada
periode tahun 2014 - 2019.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 EPILEPSI
Epilepsi merupakan penyakit saraf yang ditandai dengan episode kejang dapat
disertai hilangnya kesadaran (Kristanto, 2017). Berdasarkan International League
Against Epilepsy (ILAE) pada tahun 2005, epilepsi yang didefinisikan secara
konseptual merupakan kelainan otak dengan ditandai kecenderungan untuk
menimbulkan bangkitan epileptik secara terus-menerus dengan konsekuensi
neurobiologis, kognitif, dan sosial dari kondisi ini (Fisher et al., 2014).
Kejang/ bangkitan epilepsi adalah manifestasi klinis disebabkan oleh lepasnya
muatan listrik secara sinkron dan berlebihan dari sekelompok neuron di otak yang
bersifat transien (IDAI, 2016).
a. Struktural
Konsep dari etiologi struktural adalah bahwa kelainan struktural yang
secara substansial meningkatkan risiko terkait dengan epilepsi berdasarkan
rancangan studi yang tepat. Etiologi struktural mengacu pada kelainan yang
dapat terlihat pada struktur neuroimaging dimana penilaian elektroklinikal
bersamaan dengan temuan pencitraan (imaging) yang mengarah pada
kesimpulan yang beralasan/ masuk akal bahwa kelainan pada pencitraan
kemungkinan adalah penyebab kejang pasien. Etiologi struktural mungkin
diperoleh (acquired), seperti stroke, trauma, infeksi, atau genetik seperti
banyak malformasi pada perkembangan kortikal. Walaupan terdapat dasar
genetik dengan malformasi itu, korelasi struktural yang menopang epilepsi
pasien tersebut. Identifikasi lesi struktural halus membutuhkan studi MRI
yang tepat menggunakan protokol epilepsi yang spesifik (Scheffer et al.,
2017).
Ada asosiasi yang diakui dengan baik dalam epilepsi dengan etiologi
struktural. Ini termasuk temuan yang relatif sering dari kejang mesial lobus
temporal dengan sklerosis hipokampus. Pengakuan atas asosiasi ini penting
untuk memastikan bahwa pencitraan pasien diperiksa secara hati-hati untuk
kelainan struktural spesifik. Ini pada gilirannya menyoroti perlunya
pertimbangan operasi epilepsi jika pasien gagal dalam terapi medis (Scheffer
et al., 2017).
Yang mendasari kelainan struktural mungkin genetik atau diperoleh, atau
keduanya. Sebagai contoh, polymicrogyria mungkin disebabkan dari mutasi
gen seperti GPR56, atau diperoleh, disebabkan oleh infeksi Cytomegalovirus
intrauterine. Ada etiologi struktural memiliki etiologi genetik yang jelas
seperti tuberous sclerosis complex, yang disebabkan oleh mutasi gen TSC1
dan TSC2 yang enkoding hamartin dan tuberin, kedua terminologi etiologi,
struktural dan genetik dapat digunakan (Scheffer et al., 2017).
b. Genetik
Konsep dari genetik epilepsi adalah bahwa epilepsi hasil secara langsung
yang diketahui atau diduga dari mutasi genetik, gejala inti dari gangguan ini
Faktor risiko menurut Raharjo (2007), yaitu: fakotr prenatal, natal, dan
postnatal.
A. Faktor prenatal
1. Usia saat ibu hamil
Usia ibu pada waktu hamil <20 tahun atau >35 tahun dapat menyebabkan
berbagai komplikasi kehamilan dan persalinan. Komplikasi pada kehamilan
dan persalinan dapat mengakibatkan prematuritas, berat badan lahir yang
kurang, penyulit persalinan, dan partus lama. Keadaan tersebut dapat
mengakibatkan asfiksia, sehingga terjadi hipoksia dan iskemia. Hipoksia
dapat mengakibatkan rusaknya faktor inhibisi dan/ atau meningkatnya fungsi
neuron eksitatorik, sehingga epilepsi dapat dengan mudah timbul bila adanya
rangsangan yang memadai (Raharjo, 2007).
2. Kehamilan dengan eklamsia dan hipertensi
Ibu yang mengalami komplikasi kehamilan seperti eklamsia dapat
mengakibatkan asfiksia pada bayi. Hipertensi pada ibu menyebabkan aliran
darah ke plasenta berkurang yang mengakibatkan keterlambatan pertumbuhan
intrauterin dan berat badan lahir rendah, yang juga dapat menyebabkan
asfiksia dan berlanjut menjadi epilepsi pada kemudian hari (Raharjo, 2007).
3. Kehamilan primipara dan multipara
Epilepsi lebih sering ditemukan pada anak pertama, yang kemungkinan
besar disebabkan pada primipara lebih sering terjadi penyulit persalinan
seperti partus lama, persalinan dengan alat. Pada kehamilan multipara juga
bisa terjadi penyulit kehamilan. Penyulit persalinan dapat menimbulkan
cedera karena kompresi yang mengakibatkan distorsi dan kompresi otak
sehingga terjadi perdarahan atau udem otak yang dapat menimbulkan
kerusakan otak dengan epilepsi sebagai manifestasi klinisnya (Raharjo, 2007).
4. Pemakaian bahan toksik
Kelainan yang terjadi selama perkembangan janin atau kehamilan ibu,
seperti ibu menelan obat-obat tertentu yang dapat merusak otak janin,
mengalami infeksi, minum alkohol, mengalami cedera atau mendapat
penyinaran dapat menyebabkan epilepsi (Raharjo, 2007).
B. Faktor natal
1. Asfiksia
Asfiksia dapat menimbulkan lesi pada daerah hipokampus yang akan
menjadi fokus epileptogen. Pada asfiksia perinatal akan menyebabkan
C. Faktor postnatal
1. Kejang demam
Kejang demam yang berkepanjangan dapat menyebabkan iskemik
otak, lobus temporalis adalah yang paling sering terkena dampaknya
sehingga menyebabkan prediposisi timbulnya epilepsi lobus temporalis
(Raharjo, 2007).
2. Trauma kepala
Trauma kepala dapat memberikan dampak pada otak yang bersifat akut
dan kronis. Dampak yang tidak nyata memberikan gejala sisa berupa
jaringan sikatrik yang dalam kurun waktu 3-5 tahun akan menjadi fokus
epilepsi (Raharjo, 2007).
Bangkitan epilepsi pasca cedera kepala pada anak-anak dibagi dalam 3
golongan yaitu (Raharjo, 2007):
a. Bangkitan segera, sebagai reaksi langsung atas serangan mekanis dari
jaringan otak yang mempunyai ambang rangsang yang rendah terhadap
kejang. Biasanya berhubungan dengan faktor genetik.
b. Bangkitan dini, timbul dalam 24-48 jam, pada cedera kepala hebat
sebagai akibat dari udem otak, perdarahan intrakranial, kontusio,
laserasi dan nekrosis. Bangkitan epilepsi biasanya bersifat kejang
umum.
c. Bangkitan lambat, biasanya timbul dalam 2 tahun pertama setelah
cedera kepala, bangkitan berasal dari parut serebro-meningeal akibat
trauma yang telah dibuktikan baik secara anatomis, maupun elektro-
fisiologis.
3. Infeksi sistem saraf pusat
Risiko akibat serangan epilepsi bervariasi sesuai dengan tipe infeksi
yang terjadi pada sistem saraf pusat. Risiko untuk perkembangan epilepsi
akan menjadi lebih tinggi bila serangan berlangsung bersamaan dengan
struktur subkortikal.” Kejang dari onset umum didefinisikan sebagai “berasal dari
beberapa titik, dan dengan cepat bergerak, jaringan didistribusikan secara
bilateral.” Kejang dengan onset yang belum diketahui mungkin masih memiliki
bukti mendefinisikan karakteristik motor (contoh: tonic-clonic) dan nonmotor
(contoh: behavior arrest). Dengan informasi lebih lanjut atau pengamatan kejang
di masa depan, sebuah reklasifikasi dari kejang dengan onset yang belum
diketahui menjadi onset fokal atau umum mungkin dapat terjadi. Oleh karena itu,
“onset yang belum diketahui” bukan sebuah karakteristik kejang, tetapi sebagai
tempat pengganti untuk ketidaktahuan kita. Ketika tipe kejang dimulai dengan
kata “fokal”, “umum”, atau “absans” maka kita boleh menduga kata onset (Fisher
et al., 2017).
Klasifikasi lebih lanjut adalah opsional. Tingkat selanjutnya dari klasifikasi
kejang fokal adalah tingkat kesadaran. Kesadaran secara operasional didefinisikan
sebagai pengetahuan tentang diri sendiri dan lingkungan. Selama kejang fokal
sadar, kesadaran akan utuh. Kesadaran secara khusus mengacu pada kesadaran
selama kejang, dan bukan kesadaran akan terjadinya kejang. Jika kesadaran
mengalami penurunan pada semua tipe kejang fokal, maka kejang tersebut
diklasifikasikan sebagai kejang fokal dengan penurunan kesadaran. Sebagai
praktis, kejang sadar menyiratkan kemampuan orang yang mengalami kejang
untuk memverifikasi kesadaran yang dipertahankan (Fisher et al., 2017).
Tipe kejang “fokal menjadi tonik-klonik bilateral” berada di kategori khusus,
karena sering terjadi dan penting, walaupun mencermikan pola propagasi dari
aktivitas kejang dan bukan tipe kejang yang unik. Ungkapan “fokal menjadi tonik-
klonik bilateral” menggantikan istilah “tonik-klonik umum yang sekunder”. Di
klasifikasi baru, “bilateral” digunakan untuk pola propagasi kejang dan
“generalized” untuk kejang dengan onset umum (Fisher et al., 2017).
Kejang dengan onset umum dibagi menjadi kejang motor dan nonmotor
(absence). Tingkat kesadaran tidak digunakan untuk pengklasifikasi kejang umum,
karena sebagian besar (walaupun tidak semua) kejang umum dikaitkan dengan
gangguan kesadaran. Dengan definisi cabang umum di klasifikasi, tipe aktivitas
motor harusnya bilateral sejak onset, tetapi di klasifikasi dasar, tipe aktivitas
motor tidak perlu ditentukan (Fisher et al., 2017).
Kejang absans (yang sebelumnya diasumsikan “onset umum”) ditandai
dengan penghentian kegiatan secara mendadak dan ketiadaan kesadaran. Kejang
absans cenderung terjadi dikelompok usia lebih muda, memiliki awal dan
penghentian lebih mendadak, mereka biasanya menampilkan automatisme yang
kurang kompleks dibanding kejang fokal dengan gangguan kesadaran, tapi
perbedaannya tidak mutlak (Fisher et al., 2017).
Kejang yang onsetnya tidak diketahui bisa dikategorikan sebagai motor,
termasuk tonik-klonik, nonmotor, atau tidak terklasifikasi. Istilah kategori tidak
terklasifikasi terdiri dari keduanya yaitu kejang yang tidak cocok dengan kategori
lain atau kejang yang tidak memilki cukup informasi untuk dikategorikan (Fisher
et al., 2017).
B. Klasifikasi kejang diperluas
Klasifikasi kejang diperluas berdasarkan ILAE 2017
8. Bilateral : Kedua sisi kanan dan kiri, walaupun manifestasi dari kejang
bilateral dapat simetris dan asimetris.
9. Clonic (klonik) : Menyentak, simetris atau asimetris, berulang secara
teratur dan melibatkan kelompok otot yang sama.
10. Consciousness (kesadaran) : Keadaan pikiran dengan aspek subjektif dan
objektif terdiri dari rasa diri sebagai entitas unik, kesadaran, responsif, dan
ingatan.
11. Epileptic spams (spasme epileptik) : Fleksi yang tiba-tiba, ekstensi atau
campuran ekstensi-fleksi otot-otot yang didominasi proksimal dan trunkal
yang biasanya terus-menerus daripada gerakan mioklonik tapi tidak
berlanjut seperti kejang tonik. Kondisi yang mungkin terjadi meringis,
kepala mengangguk, atau gerakan yang halus. Spasme infantil adalah
bentuk yang paling dikenal, namun spasme dapat terjadi pada semua umur.
12. Eyelid myoclonia (mioklonia kelopak mata) : Kelopak mata menyentak
dengan frekuensi minimal tiga kali per detik, biasanya dengan deviasi
mata ke atas, biasanya berlangsung >10 detik, sering dicetuskan oleh
penutupan mata. Mungkin ada atau tidak adanya kaitan dengan hilangnya
kesadaran.
13. Gelastic (gelastik) : Tertawa atau cekikan, biasanya tanpa alasan yang
jelas dan tidak terkontrol.
14. Generalized tonic-clonic (tonik-klonik umum) : Kontraksi tonik bilateral
atau kadang-kadang asimetris dan kemudian kontraksi klonik bilateral otot
somatik, biasanya dikaitkan dengan fenomena otonom dan hilangnya
kesadaran. Serangan ini melibatkan jaringan di kedua belahan otak pada
awal kejang.
15. Behavior arrest (perilaku terhenti) : Aktivitas berhenti (jeda), pembekuan,
imobilisasi, seperti dalam behavior arrest seizure.
16. Impaired awareness (gangguan kesadaran) : Gangguan atau kehilangan
kesadaran fokal, yang sebelumnya disebut kejang parsial kompleks.
apabila dapat dicegah atau dikontrol dengan obat-obatan dan mencapai dua tahun
bebas serangan (Wijaya et al., 2020).
A. Tatalaksana medikamentosa
Prinsip pengobatan epilepsi adalah dimulai dengan monoterapi lini pertama,
menggunakan OAE sesuai jenis bangkitan: dimulai dari dosis rendah dan
dinaikkan bertahap sampai dosis efektif tercapai atau timbul efek samping. Jika
bangkitan tidak dapat dihetikan dengan OAE lini pertama dosis maksimal,
monoterapi lini kedua dimulai (Wijaya et al., 2020).
Panduan memilih OAE lini pertama:
1. Phenobarbital
Phenobarbital digunakan untuk epilepsi umum dan parsial. Dosis 4-6
mg/kg/hari terbagi dalam dua dosis (Wijaya et al., 2020). Efek sampingnya
adalah mengantuk, pusing, agresif hiperaktivitas paradoksikal pada anak
(IAP, 2014).
2. Phenytoin
Phenytoin digunakan untuk epilepsi umum dan parsial. Dosis 5-7
mg/kg/hari terbagi dalam dua dosis (Wijaya et al., 2020). Efek sampingnya
adalah hiperplasia gingiva dan hirsutism pada anak-anak dengan
penggunaan jangka panjang (IAP, 2014).
3. Valproic acid
Valproic acid digunakan untuk epilepsi umum, parsial dan absans. Dosis
15-40 mg/kg/hari terbagi dalam 2-3 dosis (Wijaya et al., 2020). Efek
sampingnya adalah peningkatan berat badan, gangguan kognitif, dan
gangguan fungsi hati (IDAI, 2016).
4. Carbamazepine
Carbamazepine digunakan untuk epilepsi parsial. Dosis 10-30 mg/kg/hari
terbagi dalam 2-3 dosis (Wijaya et al., 2020). Efek sampingnya adalah
sakit kepala, diplopia, penglihatan kabur, kemerahan, gangguan pencernaan,
hiponatremia, dan neutropenia (IAP, 2014).
Panduan memilih OAE lini kedua:
1. Topiramate
OAE tidak bekerja, obat kedua harus diperkenalkan saat anak masih menerima
obat pertama. Semua perubahan terapi, apakah menambah atau mengganti OAE
perlu disepakati orang tua dan pasien. Perlu dipertimbangkan interaksi yang
mungkin terjadi saat memperkenalkan OAE baru. Jika kontrol bangkitan dicapai
dengan obat baru, OAE yang tidak efektif dihentikan bertahap, tergantung
efektivitas, efek samping, dan parahnya kekambuhan. Namun jika masih tidak
terkontrol, maka dapat diberikan dosis maksimum kedua obat. Pemberian OAE
ketiga hanya dapat dilakukan jika bangkitan tidak dapat diatasi dengan
penggunaan dua obat pertama dengan dosis maksimum (Wijaya et al., 2020).
Politerapi tidak dapat dihindari pada anak-anak epilepsi yang resisten obat.
ILAE mendefinisikan epilepsi resisten terhadap obat sebagai: kegagalan uji coba
yang adekuat dari dua obat yang ditoleransi dan dipilih secara tepat dan
menggunakan jadwal OAE, baik sebagai monoterapi maupun dalam kombinasi,
untuk mencapai bebas bangkitan yang berkelanjutan. Pada anak-anak dengan
epilepsi resisten obat, OAE lain harus ditambahkan sampai kontrol tercapai.
Kemudian penting untuk menghentikan bertahap OAE yang tidak efektif atau
tidak ditoleransi, karena jika tidak, seorang anak akan mendapat empat atau lima
OAE. Hal ini meningkatkan risiko interaksi dan efek samping (Wijaya et al.,
2020).
Sebelum memulai politerapi, beberapa hal patut dipertimbangkan adalah
apakah diagnosis sudah tepat, apakah kepatuhan minum obat sudah baik; dan
apakah pilihan dan dosis OAE sudah tepat (Wijaya et al., 2020).
Politerapi OAE pada epilepsi refrakter:
1. Valproic + Ethosuximid
Digunakan untuk bangkitan absence
2. Carbamazepine + Valproic
Digunakan untuk bangkitan parsial/ kompleks
3. Valproic + Lamotrigine
Digunakan untuk bangkitan parsial/ bangkitan umum
4. Topiramate + Lamotrigine
Digunakan untuk bangkitan parsial/ bangkitan umum (Wijaya et al., 2020).
A. Remisi
Hampir sebagian besar epilepsi (minimal 50%) tidak mengalami kejang
kembali dan pengobatan dapat dihentikan. Pasien harus dipantau 5 tahun ke
depan untuk memastikan tidak terjadi kejang kembali (IDAI, 2016).
Beberapa jenis epilepsi memiliki prognosis baik adalah benign rolandic
epilepsy, benign myoclonic epilepsy of infancy, benign occipital epilepsy,
early-onset type. Epilepsi yang memiliki prognosis buruk adalah sindrom
Rasmussen, sindrom Lennox-Gastaut, dan sindrom Dravet. Individu dengan
prognosis baik mempunyai kemungkinan remisi sebesar 80% (IDAI, 2016).
B. Mortalitas
Kematian pada anak dengan epilepsi dapat diakibatkan oleh komplikasi
dari kejang seperti aspirasi, aritmia, kecelakaan saat kejang, kondisi komorbid
(hidrosefalus) dan suicide atau sudden unexpected death in epilepsy (IDAI,
2016).
Etiologi kejang demam hingga saat ini belum diketahui secara pasti. Kejang
demam tidak selalu muncul pada suhu tubuh yang tinggi, kadang-kadang kejang
dapat timbul pada demam yang terlalu tinggi. Kondisi yang menyebabkan kejang
demam antara lain: infeksi yang mengenai jaringan ektrakranial seperti tonsilitis,
otitis media akut, bronkitis (Purba, 2018).
Kejang demam dibagi menjadi dua, yaitu: kejang demam sederhana dan
kejang demam kompleks.
1. Kejang demam sederhana (simple febrile seizure)
Kejang demam yang belangsung singkat, kurang dari 15 menit. Bentuk
kejangnya umum seperti tonik dan atau klonik, dan tidak berulang dalam
rentang waktu 24 jam. Persentase kejang demam sederhana sebanyak 80%
masuk ke dalam sel. Ion ke dalam sel dipermudah pada keadaan demam.
Perubahan konsentrasi ion intrasel dan ekstrasel tersebut akan
mengakibatkan perubahan potensial membran sel neuron sehingga membran sel
dalam keadaan depolarisasi. Selain itu, demam dapat merusak neuron GABA-
ergik sehingga inhibisi terganggu. Keadaan tersebutlah yang mengakibatkan
kejang demam ( Fuadi et al., 2010).
Edukasi tentang kejang demam diberikan kepada orang tua pasien. Berikut
beberapa edukasi yang dapat diberikan untuk mengurangi kecemasan orang tua
pasien:
1. Meyakinkan orang tua bahwa kejang demam umumnya mempunyai
prognosis yang baik
2. Memberitahukan cara penanganan kejang
3. Memberikan informasi mengenai kemungkinan kejang kembali
4. Pemberian obat profilaksis untuk mencegah berulangnya kejang memang
efektif, tetapi harus diingat efek samping obat (IDAI, 2016).
mudah timbul kejang apabila ada rangsangan yang memadai. Kejang demam
berkepanjangan dapat menyebabkan iskemik otak. Hipoksia dan iskemia akan
menyebabkan peningkatan natrium intraseluler yang dapat menyebabkan
kerusakan otak. Area yang sensitif terhadap hipoksia adalah inti batang otak,
thalamus, dan kolikulus inferior , sedangkan terhadap iskemia adalah “watershead
area” yaitu daerah hemisfer otak yang mendapat vaskularisasi paling sedikit
(Fuadi et al., 2010).
Hal ini sesuai dengan teori yang menjelaskan bahwa kejang demam yang
berkepanjangan menyebabkan iskemik otak dan yang paling sering terkena
efeknya adalah lobus temporalis. Saat kejang, sel-sel neuron yang aktif akan
melepaskan glutamat. Glutamat akan mengikat reseptor N-methyl-D-Aspartat
(NMDA), sehingga mengakibatkan ion kalsium (Ca2+) masuk ke dalam sel dan
merusak sel neuron secara permanen. Kejang yang terjadi lebih dari 15 menit
dapat menyebabkan kerusakan neuron secara menetap, sementara kejang demam
yang terjadi lebih dari 30 menit dapat mengakibatkan kerusakan pada DNA dan
protein otak sehingga menimbulkan jaringan parut, hal ini dapat menyebabkan
terganggunya mekanisme homeostasis dengan menurunnya proses inhibisi dan
meningkatkan proses eksitasi. Selain itu, kejang demam yang berkepanjangan
akan mengakibatkan sklerosis pada jaringan otak. Dengan demikian terbentuk
fokus epilepsi yang diduga dapat
menjadi suatu dasar kelainan di otak yang terjadi pada kemudian hari dapat
menjadi matang, sehingga suatu saat tanpa didahului demam dapat timbul
bangkitan kejang atau serangan epilepsi (Chairunnisa et al., 2018; Lestari dan
Mudapati, 2014).
Pada keadaan otak belum matang, reseptor untuk asam glutamat baik
ionotropik maupun metabotropik sebagai reseptor eksitator aktif, sebaliknya
reseptor GABA sebagai inhibitor kurang aktif, sehingga pada otak yang belum
matang eksitasi lebih dominan dibanding inhibisi. Mekanisme homeostasis otak
yang belum matang masih lemah, akan berubah seiring dengan perkembangan
otak dan pertambahan umur dan perkembangan otak, oleh karena pada otak belum
matang neural Na+/K+ ATP-ase masih kurang. Pada otak yang belum matang
regulasi ion Na+, K+, dan Ca2+ belum sempurna, sehingga mengakibatkan
gangguan repolarisasi pascadepolarisasi dan meningkatkan eksitabilitas neuron.
Oleh karena itu, pada masa otak belum matang mempunyai eksitabilitas neural
lebih tinggi dibandingkan otak yang sudah matang sehingga rentan terhadap
bangkitan kejang (Dewanti et al., 2012). Kejang yang berulang akan
mengakibatkan kindling effect sehingga rangsang dibawah nilai ambang sudah
dapat menyebabkan kejang. Kindling adalah perkembangan kejang yang progresif
sebagai respon atau tanggapan terhadap stimulus subkonvulsan yang sebelumnya
diberikan secara berulang-ulang dan intermiten (Raharjo, 2007; Coppola dan
Moshe, 2012)
Selain itu, menurut sumber lain kejang demam menjadi epilepsi kemungkinan
melalui beberapa mekanisme, yaitu:
i. Kejang demam yang lama akan mengakibatkan terbentuknya zat toksik berupa
amoniak dan radikal bebas sehingga mengakibatkan kerusakan neuron
ii. Kejang demam yang lama akan mengakibatkan berkurangnya glukosa, oksigen,
dan aliran darah otak sehingga terjadi edema sel, akhirnya neuron menjadi
rusak (Raharjo, 2007)
Pada pasien epilepsi lobus temporal yang intraktabel, setelah dilakukan
lobektomi didapatkan mesiotemporal sklerosis, dan sebanyak 80% memiliki
riwayat kejang demam. Mesiotemporal sklerosis juga ditemukan sebanyak 62%
pada pemeriksaan post mortem pada epilepsi lobus temporal. Epilepsi lobus
temporal bentuk klasik terjadi melalui kejang demam (Raharjo, 2007).
Pada kejang demam eksperimental, memiliki mekanisme umum yang
meningkatkan rangsangan jaringan hipokampus dan mempromosikan epilepsi.
Proses ini melibatkan perubahan yang bertahan lama di tingkat molekular dan
fungsional, seperti perubahan reseptor neurotransmitter atau kanal voltage-gated
ion (Dube et al., 2007). Pada kejang demam terjadi perubahan konsentrasi ion
Na+
intrasel dan ekstrasel tersebut akan mengakibatkan perubahan potensial membran
sel neuron sehingga membran sel dalam keadaan depolarisasi. Selain itu, demam
dapat merusak neuron GABA-ergik sehingga inhibisi terganggu (Fuadi et al.,
2010)
Pada anak dengan riwayat kejang demam sederhana memiliki peluang sebesar
1:50 berkembang menjadi epilepsi pada kemudian hari, sedangkan anak dengan
Demam
• Metabolisme meningkat
• Peningkatan kebutuhan glukosa dan oksigen
• Kekurangan energi dan hipoksia
• Gangguan pompa kanal natrium dan reuptake asam glutamat oleh
sel glia
• Depolarisasi membran sel
Kejang Demam
Lesi
Fokus epileptogen
Epilepsi
2.6 HIPOTESIS
Terdapat hubungan antara kejadian epilepsi pada anak dengan riwayat kejang
demam.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
BAB IV
HASIL DAN PEMABAHASAN
4.1 HASIL
Berdasarkan tabel 4.2 jenis kelamin sampel penelitian mayoritas pada jurnal
adalah laki-laki yaitu 2369 orang (54.16 %).
6. Durasi kejang demam sampel pada jurnal
Tabel 4.2 Durasi kejang demam.
Durasi Kejang Demam n
<15 menit 777 orang
>15 menit 102 orang
Tidak dideskripsikan 1888 orang
Total 2767 orang
8. Interval waktu antara kejang demam pertama dengan kejadian epilepsi pada
sampel jurnal
Dari 24 jurnal yang diperoleh sebanyak 19 jurnal tidak menjelaskan
interval waktu antara kejang demam pertama dan kejadian epilepsi. Sebanyak
5 jurnal yang menjelaskan interval waktu, yaitu:
Pada tabel 4.4 menunjukkan OAE yang paling banyak digunakan sampel
penelitian adalah levetiracetam sebanyak 4 jurnal, diikuti asam valproat sebanyak
3 jurnal, kemudian phenobarbital sebanyak 2 jurnal dan sisanya memiliki jumlah
yang sama yaitu 1 jurnal.
10. Distribusi penderita epilepsi dan kejang demam pada jurnal
Data dibawah ini diambil berdasarkan 24 jurnal yang digunakan sebagai
sampel penelitian.
a. Sampel didiagnosis dengan epilepsi dan ditelusuri riwayat kejang demam
sebelumnya
4.2 PEMBAHASAN
Pada hasil studi literatur, Benua Asia menjadi tempat yang paling banyak
dilakukan penelitian. Lebih dari separuh dari 50 juta pasien epilepsi di seluruh
dunia diperkirakan tinggal di Asia (Fani, 2017). Di Asia prevalensi kejang demam
meningkat dua kali lipat bila dibandingkan dengan di Eropa dan Amerika Serikat
(Herman, 2019). Angka kejadian kejang demam di Asia dilaporkan lebih tinggi
dan sekitar 80% - 90% dari seluruh kejang demam sederhana (Arifuddin, 2016).
Pada hasil diatas juga menunjukkan OAE yang paling banyak disebutkan
adalah levetiracetam, diikuti asam valproat dan kemudian phenobarbital.
atonik. SLC2A1 juga telah diidentifikasi bertanggung jawab lebih dari 10%
pasien early onset absence epilepsy (Kim et al., 2019). Pada penelitian Kim et al.
(2019), sebanyak 23 sampel penderita epilepsi memiliki 11 varian gen yang
patogenik. Gen-gen tersebut adalah SLC6A1, SYNGAP1, SLC2A1, ANKRD11,
CACNA1A, GABRG2. HNRNPU, IQSEC2, KCNA2, PCDH19, SCN1A.
Penelitian mengenai asosiasi genetik menunjukkan bahwa SCN1A, IL-Iβ,
CHRNA4, dan GABRG2 yang paling umum dikaitkan dengan kejang demam dan
epilepsi (Chiang et al. , 2018)
Pada penelitian Almojali et al. (2017), sebanyak 6 orang (5.5%) yang
mengalami epilepsi sekitar 5-46 bulan kemudian setelah kejang demam yang
pertama. Kesimpulan penelitian Almojali et al. (2017), kejadian epilepsi dengan
riwayat kejang demam berada dalam kisaran angka yang dilaporkan penelitian
yang lain. Pada anak dengan grade demam yang rendah (38ºC-39ºC) pada kejang
demam pertama lebih memungkinkan berkembang menjadi epilepsi di kemudian
hari. Penelitian ini menunjukkan adanya hubungan kejadian epilepsi setelah
kejang demam pertama dengan grade demam yang rendah, memiliki nilai p =
0.02 (signifikan). Penelitiannya juga menunjukkan durasi kejang yang lama pada
kejang demam pertama memiliki hubungan dengan terjadinya epilepsi (p = 0.04).
Kejang yang berulang pada kejang demam pertama juga memiliki hubungan
dengan terjadinya epilepsi (p = 0.01). Menurut dokumentasi beberapa penelitian,
risiko kejang demam sederhana berkembang menjadi epilepsi sama dengan risiko
populasi umum, sedangkan risikonya meningkat beberapa kali pada kasus kejang
demam kompleks. Walaupun sumber umum demam pada penelitian sekarang
adalah infeksi, anak yang demam tanpa infeksi atau etiologi selama kejang
pertama diketahui lebih memungkinkan terjadinya epilepsi di kemudian hari. Pada
masing-masing anak mungkin memiliki threshold suhu sendiri untuk terjadinya
kejang demam, semakin rendah threshold, semakin memungkinkan berikutnya
terjadi kejang dan epilepsi (Almojali et al., 2017). Pada penelitian lain
menjelaskan penyebab menurunnya threshold kejang, dengan studi neuroimaging
dan hewan, menunjukkan bengkak dan edem akut pada hipokampus dan
hipertermia yang menginduksi kejang mungkin menyebabkan modifikasi lost-
lasting pada kanal, sinaps dan jaringan neuron dengan hipokampus, mengarah ke
disfungsi berkelanjutan dari sel ini dan menurunkan threshold kejang setelah
kejang demam berkepanjangan (Gencpinar et al., 2017).
Kejang yang terjadi >15 menit bisa mengakibatkan kerusakan neuron yang
menetap dan jika >30 menit akan mengakibatkan kerusakan DNA dan protein
otak sehingga menimbulkan jaringan parut, sehingga bisa mengakibatkan
terganggunya homeostasis inhibisi dan eksitasi sel saraf. Jika mekanisme ini
berkepanjangan dapat menimbulkan sklerosis pada jaringan otak dan dengan
demikian terbentuk fokus epilepsi (Lestari dan Mudapati, 2014). Kejang demam
kompleks, terutama kejang demam berkepanjangan dikaitkan dengan terjadinya
epilepsi limbik pada penelitian klinis baik prospektif maupun retrospektif. Pada
keadaan tertentu, kejang demam fokal atau berkepanjangan dikaitkan dengan
meningkatnya risiko terjadinya epilepsi lobus temporal secara signifikan (Lee et
al., 2016).
Pada penelitian Gencpinar et al. (2017), terdapat 2 kelompok yaitu kejang
demam late onset dan persisted. Yang dimaksud dengan kejang demam late onset
adalah kejang demam yang terjadi setelah usia 5 tahun. Pada kelompok ini, dari
41 orang sebanyak 5 orang (12.2%) menjadi epilepsi. Sedangkan kejang demam
persisted adalah kejang demam yang terjadi sebelum dan sesudah usia 5 tahun.
Pada kelompok ini, dari 23 orang terdapat 4 orang (17.39%) yang berkembang
menjadi epilepsi. Pada penelitiannya disebut insidensi epilepsi setelah terjadinya
kejang demam lebih tinggi. Penelitiannya juga menunjukkan kejang demam >15
menit bukan faktor risiko terjadinya epilepsi. Kesimpulan pada penelitian
Gencpinar et al. (2017), epilepsi merupakan komplikasi primer serius dari kejang
demam, terutama jika kejang demam pertama muncul pada umur yang tidak
biasanya (Gencpinar et al., 2017). Disebutkan juga pada penelitian selanjutnya
dengan kohort yang lebih besar diperlukan untuk memperjelas risiko epilepsi pada
pasien.
Pada penelitian Chairunnisa et al. (2018), dari 11 orang penderita epilepsi 4
orang (36.36%) memiliki riwayat kejang demam. Penelitian Chairunnisa et al.
yang menjadi faktor risiko kejang tanpa provokasi setelah kejang demam adalah
abnormalitas EEG, riwayat keluarga dengan epilepsi, kejang demam pada suhu
tubuh <39ºC, kejang demam late-onset pada usia >3 tahun, kejang demam
kompleks pada kejang demam yang pertama. Hasil ini sesuai dengan pernyataan
Almojali et al. (2017) kejang demam pada suhu tubuh low grade lebih mungkin
berkembang menjadi epilepsi. Sedangkan pada penelitian Lee et al. (2016),
menyatakan bahwa suhu tubuh saat kejang demam tidak memiliki hubungan
dengan terjadinya epilepsi di kemudian hari.
Penelitian Canpolat et al. (2014), dari 83 orang anak yang didiagnosis dengan
epilepsi, sebanyak 33 orang (39.76%) memiliki riwayat kejang demam (11 orang
kejang demam sederhana dan 22 orang kejang demam kompleks). Pada hasil
analisis, anak dengan riwayat kejang demam memiliki risiko 15.1 kali lebih besar
untuk mengalami epilepsi dibanding yang tidak memiliki riwayat kejang demam
( p <0.001).
Penelitian Canpolat et al. (2016), dari 457 orang didiagnosis dengan kejang
demam, sebanyak 33 orang (7.22%) berkembang menjadi epilepsi, yang dimana
menunjukkan risikonya lebih tinggi dibanding populasi umum. Dari hasil
penelitian Canpolat et al. (2016), disetujui risiko terjadinya epilepsi setelah kejang
demam ada beberapa, yaitu:
a. Kejang demam dengan suhu tubuh <39ºC (p = 0.001).
b. Kejang demam kompleks (p < 0.001).
c. EEG pertama pada saat kejang demam patologis (p = 0.002).
d. Kejang fokal (p <0.001)
e. Abnormalitas neurodevelopmental (p <0.001)
Penelitian Rabie et al. (2016), dari 20 orang anak yang didiagnosis epilepsi,
sebesar 15% orang memiliki riwayat kejang demam. Kejadian epilepsi pada anak
meningkat ketika adanya faktor risiko seperti kejang demam, trauma kepala,
infeksi sistem saraf pusat, mental retardasi, dan serebral palsi. Dari hasil
penelitian Rabie et al. (2016), faktor risiko paling penting untuk terjadinya
epilepsi ada beberapa, yaitu:
a. Kejang demam (p = 0.003)
kedua yaitu epilepsi yang tidak mengalami rekurensi kejang sebanyak 64 orang
dan 8 orang (12.5%) pada kelompok tersebut memiliki riwayat kejang demam.
Berdasarkan penelitian Incecik et al. (2014), sampel sejumlah 308 orang anak
epilepsi yang telah menghentikan obat antiepilepsi dan sejumlah 64 orang
(20.78%) epilepsi tersebut memiliki riwayat kejang demam.
Pada peneltian Kim et al. (2019), yang memiliki 61 sampel yang didiagnosis
dengan epilepsi, sebanyak 20 orang memiliki riwayat kejang demam (32.79%).
Penelitian Shellhaas et al. (2017), dari 495 orang anak yang didiagnosis dengan
epilepsi, sebanyak 72 orang memiliki riwayat kejang demam (14.55%). Penelitian
Elliott et al. (2018), memiliki 79 sampel yang didiagnosis dengan temporal lobe
epilepsy (TLE) yang menjalani operasi. Sebanyak 17 (21.5%) orang tersebut
memiliki riwayat kejang demam.
Penelitian Saygi et al. (2014), memliki 2 kelompok sampel, yaitu 28 orang
dengan epilepsi intraktabel dan 213 orang dengan epilepsi terkontrol. Pada
kelompok epilepsi intraktabel terdapat 1 orang (3.6%) yang memiliki riwayat
kejang demam dan pada kelompok epilepsi terkontrol memiliki 33 orang (15.5%)
yang memiliki riwayat kejang demam. Pada hasil penelitian ini kejang demam
bukan merupakan faktor risiko terjadinya epilepsi intraktabel.
Pada penelitian Khalil (2017), yang memliki sampel 50 orang yang
mengalami epilepsi intraktabel dan 50 orang dengan epilepsi terkontrol, dari 2
kelompok tersebut sebanyak 10 orang (10%) memiliki riwayat kejang demam.
Menurut Khalil (2017) tidak didapati hubungan yang signifikan antara epilepsi
intraktabel dan riwayat kejang kejang demam, dan sebaliknya ditemukan
hubungan yang lebih signifikan antara riwayat kejang demam dengan epilepsi
terkontrol.
Menurut penelitian Yolanda et al. (2019), sebanyak 38 orang anak yang
mengalami epilepsi dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok epilepsi
intraktabel sejumlah 13 orang dan kelompok epilepsi non intraktabel yang
berjumlah 25 orang, dan sebanyak 18 (47.37%) orang dari 2 kelompok tersebut
memiliki riwayat kejang demam. Pada penelitian ini tidak didapati hubungan yang
signifikan antara riwayat kejang demam dengan epilepsi intraktabel. Abnormalitas
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 KESIMPULAN
5.2 SARAN
DAFTAR PUSTAKA
Canpolat, M., Kumandas, S., Poyrazoglu, H. G., Gumus, H., Elmali, F. & Per, H.
2014, ‘Prevalence and risk factors of epilepsy among school children in
Kayseri City Center, an urban area in Central Anatolia, Turkey’, Seizure,
vol. 23, pp. 708-716.
Canpolat, M., Per, H., Gumus, H., Elmali, F. & Kumandas, S. 2018, ‘Investigating
the prevalence of febrile convulsion in Kayseri, Turkey: An assessment
of the risk factors for recurrence of febrile convulsion and for
development of epilepsy’, Seizure, vol. 55, pp. 36-47.
Chiang, L.M., Huang, G. S., Sun, C. C., Hsiao. Y. L., Kui, C. K. & Hu M. H.
2018, ‘Association of developing childhood epilepsy subsequent to
febrile seizure: A population-based cohort study’, Elsevier, pp. 1-6.
Chung, S. 2014, ‘Febrile seizures’ , Korean J Pediatr, vol. 57, no. 9, pp. 384-390.
Coppola, A. & Moshe, S. L. 2012, ‘Animal models’, Epilepsy, vol. 107, pp. 63-98.
Dewanti, A., Widjaja, J. A., Tjandrajani, A. & Burhany, A. 2012, ‘Kejang Demam
dan Faktor yang Mempengaruhi Rekurensi’ , Sari Pediatri, vol. 14, no. 1,
pp. 57-61.
Dube, C. M., Brewster, A. L., Richichi, C., Zha, Q., Baram, T. Z. 2007, ‘Fever,
febrile seizures and epilepsy’, Trends Neurosci, vol. 30, no. 10, pp. 490-
496.
Elliott, C. A., Broad, A., Narvacan, K., Steve, T. A., Synder, T., Urlacher, J.,
Wheatley, B. M. & Sinclair, D. B. 2018, ‘Seizure outcome in pediatric
Fisher, R. S., Acevedo, C., Arzimanoglou, A., Bogacz, A., Cross, J. H., Elger, C.
E., Junior, J. E., Forsgren, L., French, J. A., Glynn, M., Hesdorffer, D. C.,
Lee, B. I., Mathern, G. W., Moshe, S. L., Perucca, E., Scheffer, I. E.,
Tomson, T., Watanabe, M. & Wiebe, S. 2014, ‘A practical clinical
definition of epilepsy’ , Epilepsia, vol. 55, no. 4, pp. 475-482.
Fisher, R. S., Cross, J. H., D’Souza, C., French, J.A., Haut, S.R., Higurashi, N.,
Hirsch, E., Jansen, F. E., Lagae, L., Moshe, L. S., Peltola, J., Perez, E. R.,
Scheffer, I. E., Bonhage, A. S., Somerville, E., Sperling, M., Yacubian, E.
M. & Zuberi, S. M. 2017, ‘Instruction manual for the ILAE 2017
operational classification of seizure types’, Epilepsia, vol. 58, no. 4, pp.
531-542.
Fox, S. I. 2016, Human Physiology, 14th edn, Mc Graw Hill Education, New
York.
Gencpinar, P., Yavuz, H., Bozkurt, O., Haspolat, S. & Duman, O. 2017, ‘The risk
of subsequent epilepsy in children with febrile seizure after 5 years of
age’, Seizure, vol. 53, pp. 62-65.
Gulati, S., Chakrabarty, B., Dubey, R., & Kaushik, J. 2014, ‘Guidelines for the
Diagnosis and Management of Childhood Epilepsy’, IAP Textbook of
Pediatric Neurology, accessed on 14th May 2020, available at:
https://pedneuroaiims.org/pdf2015/iap-guidelines-for-epilepsy-2014.pdf
Guyton, A. C. & Hall, J. E. 2014, Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, edisi 12,
Saunders Elsevier, Singapore.
Herman. 2019, Hubungan Usia Kehamilan dan Bayi BBLR dengan Kejadian
Kejang Demam pada Balita di Rumah Sakit Umum Bahteramas Provinsi
Hwang, G., Kang, H. S., Park, S. Y., Han, K. H. & Kim, S. H. 2014, ‘Predictors
of unprovoked seizure after febrile seizure: Short-term outcomes’,
Elsevier, pp. 1-6.
Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). 2016, Epilepsi pada Anak, Mangunatmadja,
I., Handryastuti. S. & Risan N. M. (ed), Badan penerbit Ikatan Dokter
Anak Indonesia, Jakarta.
Ikatan Dokter Indonesia (IDI). 2017, Panduan Praktik Klinis bagi Dokter di
Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer, edisi 1, cetakan 2, Kejang demam,
pp. 218-221.
Incecik, F., Herguner, O. M., Altunbasak, S., Mert. G. & Kiris, N. 2014, Risk of
recurrence after discontinuation of antiepileptic drug therapy in children
with epilepsy’, Journal of Pediatric Neurosciences, vol. 9, no. 2, pp.100-
104.
Kanemura, H., Sano, F., Ohyama, T., Sugita, K. & Aihara, M. 2014, ‘Sequential
EEG characteristics may predict seizure recurrence in rolandic epilepsy’,
Seizure, vol. 23, pp. 646-650.
Kanemura, H., Sano, F., Ohyama, T. & & Aihara, M. 2018, ‘Efficacy of
levetiracetam for reducing rolandic discharges in comparison with
carbamazepine and valproate sodium in rolandic epilepsy’, Seizure:
European Journal of epilepsy, vol. 62, pp. 79-83.
Kim, S. Y., Jang, S. S., Kim. J.I., Kim, H., Hwang, H., Choi, J. E., Chae, J. H.,
Kim, K. J., Lim, B. C. 2019, ‘Dissecting the phenotypic and genetic
spectrum of early childhood-onset generalized epilepsies’, Seizure:
European Journal of epilepsy, vol.71, pp. 222-228.
Kuang, Y. Q., Kong, B., Yang, T., Cheng, L., Gu, J. W., Zhou, H. T., Lu, M., Ran,
C. M., Jiang, L. L., Cheng, J. M., Ma, Y. & Dang S. H. 2016,
‘Epileptiform Discharges and Frontal Paroxysmal EEG Abnormality Act
as Predictive Marker for Subsequent Epilepsy in Children With Complex
Febrile Seizures’, Clinical EEG and Neuroscience, vol. 45, no. 4, pp.
299-303.
Lee, S. H., Byeon, J. H., Kim G. H., Eun, B. L., & Eun S. H. 2016, ‘Epilepsy in
children with a history of febrile seizures’, Korean J Pediatr, vol. 59, no.
2, pp. 74-79.
Lee, I. C., Li, S. Y. & Chen, Y. J. 2017, ‘Seizure Recurrence in Children after
Stopping Antiepileptic Medication: 5-Year Follow-Up’, Pediatrics and
Neonatology, vol.58, pp. 338-343.
National Health Service (NHS). 2019, Febrile seizures, accessed on 30th June
2020, available at : https://www.nhs.uk/conditions/febrile-seizures/
Neligan, A., Bell, G. S., Giavasi, C., Johnson, A. L., Goodridge, D. M., Shorvon,
S. D., Sander, J. W. 2012, ‘Long-term risk of developing epilepsy after
febrile seizures: A prospective cohort study’, Neurology, vol. 78, no. 15,
pp. 66-70.
Rofiqoh, S. 2017, ‘Tingkat Kecemasan Ibu pada Anak Kejang Demam’, Jurnal
Ilmu Kesehatan, vol. 6, no. 1, pp. 1-4.
Saygi, S., Erol, I. & Alehan, F. 2014, ‘Early clinical predictors of intractable
epilepsy in childhood’, Turk J Med Sci, vol. 44, pp. 490-495.
Scheffer, I. E., Berkovic, S., Capovilla, G., Connolly, M. B., French, J., Guilhoto,
L., Hirsch, E., Jain, S., Mathern, G. W., Moshe, L. S., Nordli, D. R.,
Perucca, E., Tomson, T., Wiebe, S., Zhang, Y. H. & Zuberi, S. M. 2017,
‘ILAE classification of the epilepsies : Position paper of the ILAE
commission for Classification and Terminology’ , Epilepsia, vol. 58, no.
4, pp. 512-521.
Shellhaas, R. A., Berg, A. T., Grinspan, Z. M., Wusthoff, C. J., Millichap, J. J.,
Loddenkemper, T., Coryall, J., Saneto, R. P., Chu, C. J., Joshi, S. M.,
Sullivan, J. E., Knupp, K. G., Kossoff, E. H., Keator, C., Wirrell, E. C.,
Mytinger, J. R, Valencia, I., Massey, S. & Gaillard, W. D. 2017, ‘Initial
Treatment for Nonsyndromic Early-Life Epilepsy: An Unexpected
Consensus’, Pediatr Neurol, vol. 75, pp. 73-79.
Suryoputro, G., Riadi, S. & Sya’ban A. 2012, Menulis Artikel untuk Jurnal Ilmiah,
Uhamka Press, Jakarta.
Vera, R., Dewi, M. A. R. & Nursiah. 2014, ‘Sindrom Epilepsi pada Anak’, MKS,
vol. 46, no. 1, pp. 72-76.
World Health Organiization (WHO). 2019, Epilepsy fact sheet, accessed on 21th
March 2020, available at: https://www.who.int/news-room/fact-
sheets/detail/epilepsy
Xiao, F., An, D., Deng, H., Chen, S., Ren, J. & Zhou, D. 2014, ‘Evaluation of
levetiracetam and valproic acid as low-dose monotherapies for children
with typical benign childhood epilepsy with centrotemporal spike
(BECTS)’, Seizure, vol. 23, pp. 756-761.
LAMPIRAN
Lampiran A. Daftar Riwayat Hidup
Riwayat Pendidikan :
1. TK Sutomo 1 Medan (2003 - 2005)
2. SD Sutomo 1 Medan (2005 - 2011)
3. SMP Sutomo 1 Medan (2011 - 2014)
4. SMA Sutomo 1 Medan (2014 - 2017)
5. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara (2017 – Sekarang)
Riwayat Organisasi :
1. Anggota Keluarga Mahasiswa Buddhis (KMB) USU 2017
2. Anggota divisi logistik dan kewirausahaan MIND FK USU 2018
3. Sekretaris divisi logistik dan kewirausahaan MIND FK USU 2019
Riwayat Pelatihan :
1. Peserta PKKMB (Perkenalan Kehidupan Kuliah Mahasiswa Baru) FK USU
2017
2. Peserta MMB (Manajemen Mahasiswa Baru) FK USU 2017
3. Peserta LKMM (Latihan Kepemimpinan dan Manajemen Mahasiwa) FK USU
2017
4. Peserta Seminar Kanker Prostat dan Workshop Sirkumsisi SCORA PEMA FK
USU 2017
Riwayat Kepanitiaan :
1. Anggota Amisa Puja Kathina MIND FK USU 2017
2. Anggota Amisa Puja Waisak MIND FK USU 2018
3. Bendahara Asadha MIND FK USU 2018
4. Anggota Seksi Acara Waisak MIND FK USU 2019
5. Anggota Seksi Acara Kathina MIND FK USU 2019
6. Relawan Medis Bakti Sosial KMB USU 2019
7. Angggota Tim Medis Bakti Sosial dan Pengobatan Gratis Loving Hands
Charity 2019