Anda di halaman 1dari 3

A.

Generasi Z

Dalam perkembangan manusia khususnya setelah perang dunia kedua,


terdapat pembagian karakteristik manusia berdasarkan era kelahirannya. Dari
diawal generasi yang disebut baby boomer, generation X, Generation Y atau
biasa kita kenal sebagai millennialss, dan terakhir generasi Z (Ilham Medal
Junjunan). Menurut Torocsik Generasi Z atau disingkat Gen-Z merupakan
lanjutan dari generasi millennials, yaitu generasi yang lahir dari pertengahan
90an sampai sekitar tahun 2010 (Turner, 2015) atau secara spesifik tahun
1998-2010 (Ilham Medal Junjunan). Penelitian yang dilakukan oleh Palley
(2012) menemukan bahwa gen-z memiliki keterikatan emosional dengan
gawai mereka, sehingga bagi para gen-z hukuman berupa larangan
menggunakan sosial media ataupun gawai, lebih berat dibandingkan hukuman
yang berupa pengurangan uang saku dan larangan membeli barang tertentu,
dapat kembali disimpulkan bahwa gen-z memang sangat terikat dengan
penggunaan sosial media dan gawai. (Ilham Medal Junjunan). Generasi Z
lebih menyukai pembelajaran yang bersifat intrapersonal, dimana tugas
dilakukan seorang diri, karena menurut mereka dengan mengerjakan tugas
seorang diri mereka bisa lebih focus, lebih mengatur tempo diri mereka dalam
mengerjakan sebuah tugas, dan lebih memaknai tugas mereka sebelum
mereka membagi makna dari sebuah tugas kepada orang lain. (Ilham Medal
Junjunan).
Genersi z yang lahir di rentang waktu pertengahan 90’an dan awal
2000an memiliki karaketristik yang berbeda jika dibandingkan dengan
generasi sebelumnya. Mifrahi, M. N. (2019). Pembelajaran pada generasi Z
akan menjadi hal sulit jika pendidik masih menerapkan gaya tradisional
seperti menggunakan metode Duduk Dengar Catat Hapal (DDCH). Saat ini
bukan zamannya lagi anak duduk menghabiskan waktu dengan
mendengarkan, merangkum dan menuliskan PR atau tugas di buku tulis.
Seiring perkembangan zaman, pendidik harus meninggalkan cara lama agar
sukses membimbing generasi Z menghadapi masa depan. Sangat diperlukan
inovasi dalam mengajar anak generasi Z, karena mereka mempunyai konsep
berpikir yang berbeda. Lingkungan generasi Z bukan hanya alam nyata, tetapi
juga alam maya. Seiring dengan berjalannya waktu, kebutuhan manusia
semakin berkembang dan bertambah. Penemuan teknologi-teknologi baru
menjadisalah satu faktor penunjang bertambahnya kebutuhan baru dalam
segala bidang, termasuk pada bidang pendidikan. Inovasiinovasi baru lahir
seiring dengan berkembangnya teknologi dan kebutuhan pendidik dan
terutama peserta didik (Purnomo et al., 2016). Mifrahi, M. N. (2019)
Ketergantungan Generasi Z kepada mesin pencari sangat tinggi,
namun mereka kurang dapat mengkritisi validasi informasi yang mereka
peroleh. Kecenderungan mereka mudah puas (kepuasan instan). Dalam
belajar Generasi Z lebih suka memperhatikan dan berlatih, bukan dengan cara
membaca atau mendengarkan ceramah. Oleh sebab itu, Generasi Z
membutuhkan metode pembelajaran yang berbeda dengan generasi-generasi
sebelumnya (Lasti Yossi Hastini , Rahmi Fahmi , Hendra Lukito). Generasi Z
sangat akrab dengan media sosial. Hasil penelitian Palley 2012 dalam Turner
(2015) memperlihatkan bahwa 60% responden Generasi Z memulai
kehidupan sosial mereka secara online, 50% Generasi Z lebih menyukai
berkomunikasi secara online daripada berbicara langsung dikehidupan nyata,
bahkan 70% Generasi Z lebih nyaman berkomunikasi dengan temannya
secara online.(Lasti Yossi Hastini , Rahmi Fahmi , Hendra Lukito).

B. E-Learning

Mengingat bagaimana karakteristik Generasi Z sangat suka


menggunakan gadgetnya, mulai dikembangkan metode pembelajaran yang
dapat memenuhi kesukaan mereka. Saat ini sudah berkembang banyak
metode pembelajaran dengan menggunakan teknologi yang lebih sering
disebut e-learning, blended learning, ataupun online-learning. Meskipun
demikian bukan berarti metode pembelajaran face to face tidak lagi
digunakan untuk pembelajaran pada Generasi Z. Metode pembelajaran tatap
muka masih dominan digunakan terutama di Indonesia .(Lasti Yossi Hastini ,
Rahmi Fahmi , Hendra Lukito) Tavangarian dkk (2004) menjelaskan e-
learning sebagai bentuk pembelajaran dan pengajaran yang didukung
elektonik secara procedural dengan tujuan untuk mempengaruhi konstruksi
pengetahuan, dilakukan berdasarkan pengetahuan dasar yang telah dimiliki
peserta, pengalaman serta praktek di lapangan. Dengan demikian interaksi
dan komunikasi dapat dilakukan secara langsung ataupun melalui jaringan
dengan menggunakan teknologi. [21]. Definisi ini penulis anggap paling tepat
karena dapat membedakan dengan lebih jelas antara e-learning dengan
online-learning (Lasti Yossi Hastini , Rahmi Fahmi , Hendra Lukito).
Berdasarkan kontinum e-learning yang telah dijelaskan pada sub bab
sebelumnya dapat dikatakan bahwa blended learning merupakan perpaduan
pelaksanaan face to face dengan online-learning. Selain menggunakan istilah
blended learning sering juga menggunakan istilah hybrid learning atau mixed
mode. Blended learning bukan berarti memasukkan teknologi pada
pembelajaran face to face, namun merupakan upaya mendesain ulang proses
pembelajaran dikembangkan dan dijadwalkan secara jelas melalui instruksi
langsung dan visual. Interaksi yang diciptakan melalui blended learning lebih
instensif baik antara peserta dengan instruktur, antar sesame peserta ataupun
antar peserta dengan konten pembelajarannya (Lasti Yossi Hastini , Rahmi
Fahmi , Hendra Lukito).

C. Blended learning

Blended learning mengkombinasikan antara sesuatu yang sederhana


dan kompleks. Hal yang sederhana dari blended learning adalah
mengintegrasikan pembelajaran dengan tatap muka dengan pembelajaran
melalui daring. Terdapat daya tarik intuitif yang cukup besar pada sebuah
konsep yang mengintegrasikan kekuatan aktivitas pembelajaran sinkron (tatap
muka) dan asinkron (Internet berbasis teks). Pada saat yang sama, terdapat
kerumitan yang cukup besar dalam implementasinya dengan tantangan dan
kemungkinan penerapan yang tak terbatas pada banyak konteks (Garrison &
Kanuka, 2004). Secara umum, blended learning diartikan sebagai kombinasi
metode pembelajaran, biasanya yaitu dengan tatap muka dalam kelas dan atau
sinkronisasi dengan teknologi Mifrahi, M. N. (2019). Penelitian blended
learning yang diusulkan ini adalah kombinasi antara tatap muka, video
pembelajaran yang diunggah melalui internet, serta pemanfaatan software.
Tatap muka di kelas tidak hanya sebatas penjelasan materi tetapi juga
pengaturan (organizing) mahasiswa dalam kelompok kecil. Mifrahi, M. N.
(2019).
Proses pembelajaran dengan menerapkan blended learning terbukti
dapat meningkatkan motivasi mahasiswa dalam belajar matematika
ekonomika serta meningkatakan jumlah kelulusan mata kuliah. Mahasiswa
merasa terbantu dengan adanya media pembelajaran berupa video. Selain itu,
metode pembelajaran diskusi dengan penyelesaian latihan, juga membantu
mahasiswa dalam proses belajar. Berdasarkan pembelajaran yang dilakukan,
metode pembelajaran yang telah diusulkan akan dilanjutkan untuk periode
selanjutnya dengan pendekatan metode pembelajaran yang lebih baik. Selain
itu, perlu adanya peninjauan kembali pada kurikulum Program Studi Ilmu
Ekonomi UIIsecara menyeluruh agar mata kuliah satu dengan yang lainnya
bersinergi. Hal ini diperlukan terutama pada mata kuliah Matematika
Ekonomika yang merupakan mata kuliah inti dan mata kuliah dasar yang
harus dikuasai oleh setiap mahasiswa. Untuk meningkatkan keberhasilan dari
metode blended learning yang diusulkan ini, sebaiknya perlu dilakukan
pengawasan serta peninjauan kembali dalam video pembelajaran yang
disampaikan Mifrahi, M. N. (2019).

Anda mungkin juga menyukai