Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH AKHLAK DAN ILMU TASAWUF

Tasawuf Di Indonesia, Pemikiran Dan Tokoh-Tokohnya


“Makalah ini diajukan sebagai tugas mata kuliah Akhlak dan ilmu tasawuf”

Dosen Pembimbing :

Subur, M.S.I

Disusun Oleh:

Yudiyanto 20.0405.0021

PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH

FAKULTAS AGAMA ISLAM

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAGELANG

TAHUN 2020/2021
KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan syukur Al-Hamdulillah kepada Allah Subhanahu wata’ala,
yang selalu melimpahkan rahmat, taufiq, dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga tetap terlimpahkan
kepada junjungan kita Nabi Muhammad ShollAllahu ‘alaihi wasalam.
Penulisan makalah ini tidak akan terwujud tanpa adanya bantuan, dorongan, dan
bimbingan dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung. Untuk itu kami
menyampaikan banyak terimakasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam
pembuatan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh
karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan makalah ini. Akhirnya
penulis berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi para pembaca pada umumnya dan
khususnya bagi penulis.
AamiinYaRobbal ‘Alamin.

Magelang, 4 Mei 2021

Penyusun
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................................4
A. Latar Belakang Masalah..................................................................................................4
B. Rumusan Masalah...........................................................................................................4
C. Tujuan Pembahasan........................................................................................................4
BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................................5
A. Sejarah Perkembangan Tassawuf di Indonesia...............................................................5
B. Tokoh-Tokoh Tasawuf Di Indonesia Dan Pemikirannya...............................................7
BAB III PENUTUP................................................................................................................17
A. KESIMPULAN.............................................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................19
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan negara yang mayoritas penduduknya memeluk agama
Islam. Tersebarnya agama Islam di penjuru Nusantara tidak dipungkiri berkat jasa-jasa
para ulama terdahulu yang menyebarkan agama islam hingga ke pelosok negeri ini.
Tassawuf merupakan salah satu cara atau pendekatan yang dilakukan para ulama terdahulu
dalam menyebarkan agama islam di Indonesia. Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa sedikit
banyaknya Islam tersebar di Nusantara berkat jasa para sufi-sufi terdahulu.
Tassawuf yang berkembang di Indonesia pada saat ini tidak lain adalah berkat
jasa-jasa para sufi terdahulu yang memperkenalkan ajaran tassawuf sedikit demi sedikit
terhadap umat Islam di Indonesia. Selain itu perkembangan tassawuf di Indonesia juga
bisa disetarakan dengan berkembangnya Islam di Indonesia. Mengapa? Karena yang
menyebarkan agama Islam di Indonesia tidak lain adalah seorang sufi sendiri sehingga
secara tidak langsung perkembangan agama islam di suatu daerah di Indonesia juga
bersamaan dengan berkembangnya ajaran Tassawuf di suatu daerah tersebut.
Tassawuf yang sekarang kita kenali khususnya di Indonesia merupakan sebuah
ajaran yang melekat dikalangan masyarakat kita, akan tetapi kebanyakan diantara para
pengikut ajaran tassawuf hanya mengerti pengamalannya saja dan belum tentu mengetahui
bagaimana ajaran ini bisa sampai ke negeri ini dan sampai kepada kita yang sekarang kita
kenali dan pelajari, maka dari itu agar mempertajam dan meluaskan wawasan kita
terhadap Tassawuf, dalam makalah ini penulis akan memaparkan bagaimana sejarah
perkembangan tassawuf di indonesia juga akan memperkenalkan siapa saja tokoh-tokoh
sufi yang dinilai mempunyai andil yang besar terhadap perkembangan masuknya tassawuf
ke Indonesia.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Tasawuf di Indonesia, pemikiran dan tokoh-tokohnya?

C. Tujuan Pembahasan
1. Mengetahui perkembangan tasawuf di Indonesia.
2. Mengetahui Tokoh-tokoh tasawuf di Indonesia dan pemikirannya.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah Perkembangan Tassawuf di Indonesia

Dijelaskan dalam Anwar,(2014:241) dan Amin, (2012:324) keduanya


menyepakati bahwa perkembangan tassawuf di Indonesia sangat erat kaitannya
dengan masuknya Islam ke Indonesia. Keduanya juga mengatakan bahwa tersebarnya
Islam di Indonesia sebagian besar berkat jasa kaum sufi. Diperjelas oleh Dr. Alwi
Shihab dalam Amin, (2012:324) menurutnya Islam yang pertama datang di Indonesia
adalah Islam sufistik. Ia juga menambahkan bahwa mayoritas peneliti mengakui
bahwa agama Islam berkembang secara pesat di negara-negara Asia Tenggara adalah
berkat kontribusi toloh-tokoh tassawuf. Hal ini disebabkan sikap kaum sufi yang lebih
kompromis dan penuh kasih sayang. Di samping itu, terdapat kesepakatan di kalangan
peneliti bahwa tassawuf memiliki peran penting dalam proses tersebarnya Islam.
Pernyataan Dr Alwi Shihab diatas dibuktikan oleh Hawash Abdullah
sebagaimana yang dikutip oleh Anwar, (2014:241) Hawash mengatakan bahwa kaum
sufi memeliki peran yang besar terhadap penyebaran Islam pertama kalinya di
Nusantara. Ia menyebutkan pula salah satu tokoh sufi yaitu Syekh Abdullah Arif yang
menyebarkan Islam untuk pertama kalinya di Aceh sekitar abad ke-12 M. Ia adalah
seorang pendatang ke Nusantara bersama banyak Muballigh lainnya yang diantaranya
bernama Syekh Ismail Zaffi.
Banyak sekali pendapat-pendapat yang menyetujui bahwa sufilah yang
mempunyai peranan penting dalam tersebarnya agama Islam. A.H Johns,
sebagaimana dikutip Azyumardi Azra, berpendapat bahwa para sufi pengembara yang
terutama melakukan penyiaran Islam di Nusantara. Para sufi ini berhasil
mengislamkan jumlah besar penduduk Nusantara setidaknya sejak abad ke-13
(Anwar, 2014:242). Abbas Mahmud Al-Aqqad dalam (Amin, 2012:325) juga
menambahkan bahwasanya kepulauan Indonesia bisa disebut sebagai tempat yang
paling layak untuk membuktikan bahwa Islam diterima dan berkembang di tengah-
tengah penduduk yang sudah menganut agama lain. Pendapat Abbas ini sangat senada
dengan penegasan Hawash Abdullah, beliau berkesimpulan bahwa pada tahun-tahun
pertama masuknya Islam ke Nusantara, para sufilah dan bukan yang lainnya yang
paling banyak jasanya. Hampir semua daerah yang pertama memeluk Islam bersedia
menukar kepercayaan asalnya dari Animisme, Dinamisme, Budhaisme, dan
Hinduisme karena tertarik kepada ajaran tasawuf. Adapun faktor utama keberhasilan
konversi adalah kemampuan para sufi menyajikan Islam dalam kemasan atraktif,
khususnya dengan menekankan kesesuaian dengan Islam atau kontinuitas, ketimbang
perubahan dalam kepercayaan dan praktik agama lokal. (Anwar, 2014:241-242)
Amin,(2012:326) memaparkan lebih rinci bahwa pada proses Islamisasi tahap
awal, Islam tidak langsung diterima oleh masyarakat lapisan bawah. Di daerah Jawa
misalnya, Islam semula dipraktikan hanya oleh sekelompok kecil yang aktif dan
dinamis dalam membawa risalah agama. Mereka juga bertugas melaksanakan
kegiatan keislaman atas nama seluruh masyarakat desa. Pada waktu itu sebagian besar
penduduknya masih menganut kepercayaan leluhur atau kalaupun sudah memeluk
Islam hanya sebagai formalitas. Islam pada awal masuk ke Indonesia nuansa
tasawufnya amat dominan. sementara itu animisme, dinamisme, Hindu dan Buddha
juga lebih dulu sangat dominan. karena nuansa mistik melekat kuat kepada
kepercayaan dan agama tersebut, maka Islam dengan warna tasawuf lebih mudah
diterima.
Martin van Bruinessen, seorang peneliti dari Belanda, membenarkan anggapan
umum yang menyatakan bahwa tassawuf dan berbagai tarekat telah memainkan
peranan penting dalam proses penyebaran Islam di Indonesia. Menurutnya, pada
abad-abad Islamisasi Asia Tenggara termasuk didalamnya Indonesia, berbarengan
dengan merebaknya tasawuf dan tarekat di dunia Islam
Amin, (2012:328) juga menambahkan bahwa ajaran Islam yang diajarkan
kepada penduduk setempat diwarnai dengan amalan sufi. Para sejarawan
mengemukakan bahwa inilah yang membuat mereka tertarik. Dengan kata lain,
perkembangan tasawuf merupakan salah satu faktor yang menyebabkan proses
Islamisasi di Indonesia dapat berlangsung dengan mudah dan cepat. Masih dipaparkan
oleh Amin, (2012:334) beliau menuliskan tentang tassawuf yang berkembang pada
masa awal di Indonesia, didominasi oleh tassawuf aliran sunni. Kalaupun ada
penganut tassawuf aliran falsafi, pengaruhnya tidak begitu luas dan bahkan mendapat
perlawanan dari pengikut sunni. Oleh karena itu, tanpa ragu Buya Hamka menulis
bahwa tassawuf di Indonesia sejalan dengan mazhab Ahlus Sunnah wa Al Jama'ah.
Keberadaan tassawuf di Indonesia itu sendiri tidak lepas dari peranan berbagai
tokoh-tokoh sufi yang membawa ajaran Islam ke Indonesia. Maka jika kita telaah
terhadap berbagai pendapat yang telah penulis paparkan diatas, maka perkembangan
sejarah tassawuf di Indonesia ini perkembangannya beriringan atau bersamaan dengan
Islamisasi di Indonesia itu sendiri.

B. Tokoh-Tokoh Tasawuf Di Indonesia Dan Pemikirannya


1. KH. Khotib Sambas
a. Riwayat Hidup
Syaikh Ahmad Khathib bin Abdul Ghaffar bin Abdullah bin
Muhammad al- Sambasi atau dikenal dengan nama Syeikh Ahmad Khatib
Sambas, lahir tahun 1280 H/ 1803 M di kampung dagang, Sambas,
Kalimantan Barat. Ahmad Khatib al- Sambasi wafat di Makkah di tahun 1289
H/ 1872 M.
Pengabdian Khatib al-Sambasi didedikasikan pada pendidikan dengan menjadi
guru agama sampai akhir hayatnya. Khatib al-Sambasi terkenal sebagai ahli
tarekat sekaligus sebagai pendiri tarekat qadariyah naqsyabandiyah. Dan
sampai sekarang pengaruhnya masih tetap besar, begitu juga dengan tarekat
yang didirikannya.1
Ahmad Khatib al-Sambasi memiliki banyak murid dan berasal dari
berbagai negara, diantaranya Nawawi al-Bantani (w. 1897 M), Haji
Muhammad Syah dan Haji Fadil. Muhammad Syah dan Haji Fadil dari
Malaysia,setelah kembali ke Malaysia tepatnya di Johor mereka menyebarkan
tarekat qadariyah wa naqsabandiyah sebagaimana yang diajarkan gurunya.
Pada tahun 1940 an pengikut tarekat tersebut mencapai + 14.000 orang
pengikut.2
Fath al-‘Arifin merupakan salah satu karyanya yang terkenal dan
berpengaruh kuat terhadap sufisme khususnya di Melayu. Fath al-‘Arifin
adalah kitab panduan zikir, doa, dan amalan kata-kata tertentu tanpa putus.
Fath al-‘Arifin sebagai acuan sekaligus bagian utama dari tarekat tersebut.3
b. Pemikiran
Ajaran Syeikh Ahmad Khatib Sambas adalah Tarekat Qodiriyah wa
Naqsyabandiyah memiliki ajaran yang diyakini kebenarannya, terutama dalam
hal-hal kesufian. Beberapa ajaran yang merupakan pandangan para pengikut
tarekat ini bertalian dengan masalah tarekat atau metode untuk mendekatkan
1
Hudallah,Ilmu Kalam, Jakarta: Kementrian Agama,2016. Hal.122
2
Ibid.,
3
Ibid. hal.123
diri kepada Allah SWT. Metode tersebut diyakini paling efektif dan efisien.
Karena ajaran dalam tarekat ini semuanya didasarkan pada Al-Qur'an, Al-
Hadits, dan perkataan para 'ulama arifin dari kalangan Salafus shalihin.
Tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah mempunyai peranan penting dalam
kehidupan muslim Indonesia. Dan yang sangat penting adalah membantu
dalam membentuk karakter masyarakat Indonesia. Bukan karena Syekh
Ahmad Khatib Sambas sebagai pendiri adalah orang lokal (Indonesia) tetapi
para pengikut kedua Tarekat ini ikut berjuang dengan gigih terhadap
imperialisme Belanda dan terus berjuang melalui gerakan sosial-keagamaan
dan institusi pendidikan setelah kemerdekaan.4
Survey tentang sejarah Tarekat Qadiriyah dan Tarekat
Naqsyabandiyah mempunyai hubungan yang erat dengan pembangunan
masyarakat Indonesia. Thariqat ini merupakan salah satu keunikan masyarakat
muslim Indonesia, bukan karena alasan yang dijelaskan di atas, tetapi praktik-
praktik Thariqat ini menghiasi kepercayaan dan budaya masyarakat Indonesia.
5

Tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah secara substansial merupakan


aktualisasi seluruh ajaran Islam (Islam Kaffah); dalam segala aspek kehidupan.
Tujuan Tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah adalah tujuan Islam itu sendiri.
Menurut sumber utamanya, Alquran, Islam sebagai agama diturunkan untuk
membawa umat manusia ke jalan yang lurus, jalan keselamatan yang bermuara
pada kesejahteraan di dunia dan kebahagiaan di akhirat (hasanah fi al-dunya
dan hasanah fil al-akhirat).6
2. KH. Imam Nawawi Al-Bantani
a. Riwayat HIdup
Abu 'abd Al-Mu'thi Muhammad bin Umar bin An-Nawawi Al-Jawi
dilahirkan pada tahin 1230H/1013M. Di desa tanara, sekarang masuk kawasan
tirtayasa,kabupaten serang provinsi jawa barat indonesia. Sebelum melakukan
perjalanan k Mekah, ia sempat berguru kepada ayahnya sendiri, Kyai H. Umar,
seorang penghulu dari Tanara. Ia pun sempat belajar kepada Kyai H. Sahal,
seorang ula terkenal di Banten saat itu.7

4
https://id.wikipedia.org/wiki/Achmad_Khotib_al-Syambasi
5
Ibid.,
6
Ibid.,
7
M. Solihin, Anwar rahison, Ilmu Tasawuf, Bandung: CV pustaka setia, 2008. Hal. 266
Pendidikanya kemudian di teruskan di Mekah. Selama tiga tahun, ia
bermukim disana dan pulang ke tanah air dengan khazanah keilmuan agama
yang relatif cukup lengkap untuk menjadi seorang kyai di kampungnya.
Namun sebagaimana dijelaskan Snouck, ia merasa belum memenuhi cita-cita
dan harapan masyarakat Banten secara penuh dan lengkap sehingga ia kembali
ke Mekah dan bermukim di sana sampai akhir hayatnya, tahun 1314H/1897 M.
Di sana, iya terlibat dalam proses belajar dan mengajar serta menjadi
pengarang dan Zaskia mencapai kemasyhurannya di dunia Islam, khususnya di
Indonesia. Jadi, menurut Snouck, kepergiannya kembali untuk bermukim di
Mekkah memang sudah direncanakan. Adapun menurut Chaidar, alasan
kepergian an-nawawi adalah karena semangat pemberontakan Diponegoro
sudah merembes ke tanah sehingga Ia mendapat pengawasan pemerintah
Belanda.8
Sejak tahun 1830-1860, An-Nawawi belajar di bawah bimbingan para
ulama terkenal, seperti Syekh Khatib Sambas, Syekh Abd Al Ghani Bima,
Syekh yusuf Sumbulaweni, Syekh Ahmad Nahrawi, Syekh 'Abd Al Hamid
Baghistani, dan Syekh Ahmad Dimyati, salah ulama besar yang mengajar di
masjid Al-Haram. Di Madinah, Iya mengikuti pelajaran Syekh Khatib Duma
Al-hanbali. Ia kemudian pergi ke Mesir dan Syria untuk belajar beberapa
Ulama di sana.9
Sebagai pengarang ternyata Syekh Nawawi Al Bantani cukup
produktif seperti halnya Syekh Ahmad bin Zaini Dakhlan Al-makki. Karya-
karyanya meliputi berbagai aspek pengetahuan agama Islam. Sebagian besar
karyanya merupakan uraian lebih mendalam atas karya-karya para ulama
sebelumnya. Memang, demikianlah corak karya tulis para ulama masa itu.
Karya mereka lebih banyak berbentuk ulasan terhadap suatu karya ulama
sebelum mereka, ketimbang karya sendiri yang berupaya menguak persoalan
baru. Diantara karyanya adalah Tafsir Marah Labib [1298 H/ 1880 M], Fath
Al-Mujib [1299 H/1881], dan Lubab Al-Bayan [1302 H/1884 M].
Produktivitasnya sebagai pengarang membuat Syekh Nawawi Al Bantani
menjadi terkenal. Kebenarannya tidak hanya sebatas kalangan kaum muslimin
"Jawa" saja. Akan tetapi, meluas di dunia Arab, khususnya negara-negara yang

8
Ibid.,
9
M. Solihin, Anwar rahison, Ilmu Tasawuf, Bandung: CV pustaka setia, 2008. Hal. 267
kebanyakan penduduknya menganut Mazhab Syafi'i. Untuk ukuran masa itu,
pencapaiannya cukup luar biasa. Tidak aneh, bila Ia mendapat gelar "Sayyid
Ulama' Al-Hijaz", yang berarti "Tokoh Ulama Hijaz".10
b. Pemikiran
Pemikiran Nawawi tentang tasawuf dapat dilacak dari karya-karyanya
seperti Tanqih Al- Qoul, Mirqah Shu'ud At-Tashdiq, dan Syarh Maraqi
Al-'Ubudiyyah. Berikut ini akan dikemukakan pikiran-pikirannya tentang
tasawuf.11
1) Tarekat
Salah satu pemikiran Nawawi tentang tarekat adalah ungkapannya
sebagai berikut: adapun orang-orang yang mengambil tarekat, jika
perkataan dan perbuatannya sesuai dengan syariat Nabi Muhammad
sebagaimana ahli-ahli tarekat yang benar, tarekat yang diambilnya
maqbul; jika tidak demikian, tentulah tarekat nya seperti yang banyak
terjadi pada murid-murid Syekh Ismail Minangkabau. Mereka mencela
dzikir Allah, mencela orang yang tidak masuk dalam tarekat.
2) Ghibah
Nawawi menjelaskan: diharuskan melarang siapapun melakukan
ghibah melalui lisannya jika tidak memungkinkan melarang orang itu
dengan tangannya. Jika tidak memungkinkan melakukan pelarangan itu
dan tidak memungkinkan meninggalkan tempat ghibah, haram untuk
mendengarkannya. Lakukan hal itu dengan cara berdzikir kepada Allah
SWT. Suka ghibah tetap saja berlangsung setelah itu, Ia wajib untuk
meninggalkan tempat itu.
3) Sifat Manusia
Nawawi menjelaskan: Pada diri manusia berkumpul empat macam
sifat, yaitu kebinatang-buasan [bahimiyah], kebinatang-jinakan
[bahiniyah], kesetanan [syaita-niyyah], dan ketuhanan [rabbaniyyah].
Semuanya berkumpul dalam hati, dengan demikian, pada diri manusia
berkumpul sifat babi, anjing, setan, dan Yang Mahabijaksana. Babi
melambangkan syahwat, anjing melambangkan sifat marah, setan
melambangkan dorongan untuk selalu mengikuti syahwat dan sifat

10
Ibid.,
11
M. Solihin, Anwar rahison, Ilmu Tasawuf, Bandung: CV pustaka setia, 2008. Hal. 268
kebinatang-buasan, sedangkan Yang Bijaksana melambangkan akal yang
terus mendorong agar menghindari tipu daya setan. Mengikuti sifat babi
[syahwat] akan melahirkan sifat tidak tau malu [waqahah], keji, mubadzir,
kikir, riya', membongkar cela orang lain, banyak bercanda, perusak,
tamak, hasad, dengki, mengadu domba, dan lainnya. Mengikuti sifat
anjing [marah] akan memunculkan sifat ingin menonjolkan diri, keji,
membesakan diri, memuji diri sendiri, menghina orang lain,
menyepelekan orang lain, selalu menghendaki keburukan, dan sebagainya.
Mengikuti sifat setan akan memunculkan sifat tipu daya dan sejenisnya.
Jika sifat-sifat diatas dapat dikendalikan oleh sifat ketuhanan, dalam diri
muncul ilmu, hikmah, yakin, dan mengetahui hakikat.
3. KH. Syaikhona Kholil Bangkalan
a. Riwayat Hidup
Al-'Alim al-'Allamah asy-Syaikh Muhammad Kholil bin Abdul Lathif
al-Bangkalani al-Maduri al-Jawi asy-Syafi'i atau lebih dikenal dengan nama
Syaikhona Kholil atau Syekh Kholil (lahir di Kemayoran, Bangkalan,
Bangkalan, 1820 – meninggal di Martajasah, Bangkalan, Bangkalan, 1925
pada umur antara 104 – 105 tahun) adalah seorang Ulama kharismatik dari
Pulau Madura, Provinsi Jawa Timur, Indonesia. Di masyarakat santri,
Syaikhona Kholil juga dikenal sebagai Waliyullah. Seperti cerita Wali Songo,
banyak cerita kelebihan di luar akal atau karamah Syekh Kholil terkisah dari
lisan ke lisan, terutama di lingkungan masyarakat Madura.12
Syekh Kholil al-Bangkalani berasal dari keluarga ulama. Ayahnya, KH
Abdul Lathif, mempunyai pertalian darah dengan Sunan Gunung Jati. Ayah
Abdul Lathif adalah Kiai Hamim, putra dari Kiai Abdul Karim bin Kiai
Muharram bin Kiai Asror Karomah bin Kiai Abdullah bin Sayyid Sulaiman.
Sayyid Sulaiman inilah yang merupakan cucu dari Sunan Gunung Jati dari
pihak ibu.13

b. Pemikiran
Seorang sufi besar, tidak lepas dari latar belakang dan pengaruh yang
mewarnai jejak intelektual-spiritualnya dalam dinamika kehidupan

12
https://id.wikipedia.org/wiki/Kholil_al-Bangkalani
13
Ibid.,
masyarakat. Sebagai seorang santri yang tumbuh di lingkungan pesantren, Kiai
Kholil banyak dipengaruhi oleh pergumulan dengan tradisi intelektual yang
melekat dalam dunia pesantren. Pergumulan intelektualitas Kiai Kholil
bersambung dengan para kiai yang pernah menjadi gurunya dalam berbagai
bidang ilmu keagamaan. Pergumulan intelektual-spiritual Kiai Kholil dengan
dunia pesantren merupakan salah satu aspek yang memengaruhi langsung
pemikiran tasawuf beliau dalam menempa diri menjadi seorang sufi besar di
Nusantara. Derajat kesufian yang dicapai Kiai Kholil tentu berkaitan dengan
pengamalan nilai-nilai kepesantrenan yang menjad karakter dalam bingkai
Islam. Karakter pesantren yang memegang teguh konsep ahlussunah wa al-
jama’ah. Apalagi dunia pesantren dipandang sebagai sentrumnya pembelajaran
ilmu tasawuf, semisal zuhud, wara’, tawakkal, sabar, tawadhu’, maupun
ikhlas, sehingga semakin mempermudah sufi Madura ini untuk membangun
perilaku yang berlandaskan pada tradisi pesantren.14
Salah satu tradisi intelektual pesantren yang memengaruhi secara
langsung pemikiran Kiai Kholil adalah tradisi kitab kuning yang merupakan
rujukan utama bagi kalangan pesantren dalam mengkaji masalah keislaman
dan kemasyarakatan. Kitab kuning bagi Kiai Kholil adalah bagian yang tak
terpisahkan dalam melestarikan pemikiran ulama salaf yang telah banyak
memberikan kontribusi penting bagi pengembangan dakwah Islam. Kajian
kitab kuning dalam dunia pesantren dipandang oleh Martin van Bruinessen
sebagai kitab ortodoksi (al-kutub al-mu’tabarah) yang menjadi instrumen
dalam memelihara genealogi keilmuan hingga ke pengarannya secara langsung
(al-muallif). Langkah ini menjadi prinsip yang terus dipelihara oleh dunia
pesantren untuk mengembangkan ajaran ahlussunah wa al-jama’ah, sehingga
perjalanan kaum santri dalam memasuki dunia tasawuf semakin mudah
dilakukan. Corak pemikiran tasawuf Kiai Kholil juga banyak dipengaruhi oleh
pengembaraan intelektual-spiritual ketika memutuskan diri menunut ilmu ke
Makkah. Pergumulan Kiai Kholil dengan beberapa ulama di Mekkah sangat
memengaruhi pertumbuhan intelektual-spiritualnya. Said Aqil Siradj menilai
bahwa terdapat sejumlah ulama yang sangat berpengaruh dalam membentuk
corak pemikiran Kiai Kholil Bangkalan, yakni Syaikh Muhammad Nawawi al-
Bantani (1813-1897), Syaikh Umar Khotib Bima, dan Syaikh Ahmad Khatib
14
https://issuu.com/anilislam/docs/4
bin Abdul Ghafar al-Jawi al-Sambasi.10 Sementara guru-guru beliau di
Makkah, diantaranya Syaikh Ustman bin Hasan ad-Dimyathi, Sayyid Ahmad
bin Zaini Dahlan, Syaikh Mustafa bin Muhammad alMaliki, dan Syaikh Abdul
Hamid bin Mahmud Asy-Syarwani.15
4. KH. Hasyim Asyari
a. Riwayat Hidup
K.H. Hasyim Asy'ari lahir pada 24 Dzulqa'dah 1287 H atau 14
Februari 1871 'M di Desa Nggedang, Jombang, Jawa Timur. Ia anak ketiga
dari 10 bersaudara pasangan Kiai Asy'ari bin Kiai Usman dari Desa Tingkir
dan Halimah binti Usman. Ia lahir dari kalangan elite santri. Ayahnya pendiri
Pesantren Keras. Kakek dari pihak ayah, Kiai Usman, pendiri Pesantren
Gedang. Buyutnya dari pihak ayah, kiyai Usman, pendiri Pesantren
Tambakberas. Semuanya pesantren itu berada di Jombang.16
Sampai umur 13 tahun, Hasyim belajar kepada orangtuanya sendiri
sampai pada taraf menjadi badal atau guru pengganti di Pesantren Keras.
Muridnya tak jarang lebih tua dibandingkan dirinya. Pada umur 15 tahun, ia
mulai pengembaraan ilmu berbagai pesantren di Jawa dan Madura:
Probolinggo (Pesantren Wonokoyo), Tuban (Pesantren Langitan), Bangkalan,
Madura ( Pesantren Trenggilis dan Pesantren Kademangan ), ban Sidoarjo
( Pesantren Siwalan Panji ). Pada pengembaraannya yang terakhir itulah, ia,
setelah belajar 5 tahun dan umurnya telah genap 21 tahun, tempatnya tahun
1891, diambil menantu oleh Kyai Yaqub, pemimpin Pesantren Siwalan Panji.
Iya dinikahkan dengan Kadhijah.
Namun, 2 tahun kemudian, 1893, saat pasangan ini Tengah berada di
Mekkah, Khadijah meninggal di sana ketika melahirkan Abdullah. Dua bulan
kemudian Abdullah pun menyusul ibunya. Kala itu Hasyim Tengah belajar
dan bermukim di tanah Hijaz. Tahun itu juga, Hasyim pulang ke tanah air.
Namun tak lama kemudian, ia kembali ke Mekah bersama adiknya, Anis,
untuk dan belajar. Tapi si adik juga meninggal di sana. Namun hal itu tidak
menyurutkan langkahnya untuk belajar. Tahun 1900, ia pulang kampung dan
mengajar di pesantren ayahnya. 3 tahun kemudian, 1903, ia mengajar di

15
https://issuu.com/anilislam/docs/4
16
Muhammad Abdul Ghufron Al-Banteni, Napak Tilas Perjuangan Nahdlatul ‘Ulama”NU”,
Surabaya: Pondok pesantren UNIQ,2001. Hal 33
Pesantren Kemuring, Kediri, sampai 1906, di tempat mertuanya, Kyai Romli,
yang menikahkan putrinya dengan dirinya, Nafisah.17
selama di Mekkah Ia belajar kepada Syekh Mahfudz dari Termas
(w.1920) Ulama Indonesia pertama pakar ilmu hadits yang mengajar kitab
Hadits Shahih al-bukhari di Mekah. Ilmu hadits inilah yang kemudian menjadi
spesialisasi pesantren Tebuireng, yang telah didirikannya di Jombang
sepulangnya dari Tanah Suci.18
Lewat Pesantren inilah K.H. hasil melancarkan pembaharuan sistem
pendidikan keagamaan Islam tradisional, yaitu sistem musyawarah, sehingga
para santri menjadi kreatif. Ia juga memperkenalkan pengetahuan umum
dalam kurikulum pesantren, seperti bahasa Melayu, matematika, dan ilmu
bumi. Bahkan sejak 1926 ditambah dengan Bahasa Belanda dan sejarah
Indonesia.19
Kyai Kholil Bangkalan, gurunya, yang juga dianggap sebagai
pemimpin spiritual para kyai Jawa, pun sangat menghormati dirinya. dan
setelah Kyai Kholil wafat, K.H. Hasyim-lah yang dianggap sebagai pemimpin
spiritual para Kyai. Menghadapi penjajah Belanda, K.H. Hasyim menjalankan
politik non kooperatif. Banyak fatwanya yang menolak kebijakan pemerintah
kolonial. fatwa yang paling spektakuler adalah fatwa jihad, yaitu " Wajib
hukumnya bagi umat Islam Indonesia berperang melawan Belanda." Fatwa ini
dikeluarkan menjelang meletusnya peristiwa 10 November di Surabaya.
Dalam paham keagamaan, pikiran yang paling mendasar Hasyim adalah
pembelaannya terhadap cara beragama dengan sistem mazhab. paham terhadap
timbul sebagai upaya untuk memahami ajaran Alquran dan Sunnah cara benar.
pandangan ini erat kaitanya dengan sikap beragama mayoritas muslim yang
selama ini disebut Ahlussunnah wal Jamaah.20
Menurut Hasyim, umat Islam boleh mempelajari selain ke empat
mazhab yang ada. Namun persoalannya, mazhab yang lain itu tidak banyak
memiliki literatur, sehingga mata rantai pemikirannya terputus. Maka, tidak
mungkin bisa memahami maksud yang dikandung Alquran dan hadis tanpa

17
Ibid.,
18
Ibid.,
19
Ibid.,
20
Muhammad Abdul Ghufron Al-Banteni, Napak Tilas Perjuangan Nahdlatul ‘Ulama”NU”,
Surabaya: Pondok pesantren UNIQ,2001. Hal 34
mempelajari pendapat para ulama besar yang disebut Imam mazhab. NU
didirikan antara lain untuk mempertahankan paham bermadzab, yang ketika
itu mendapat serangan gencar dari kalangan yang anti madzab. Kyai Hasyim
wafat pada 7 Romadhon 1366 atau 25 Juli 1947 pada usia 76 tahun.21
b. Pemikiran
Sebagai seorang intelektual KH Hasyim Asy’ari telah
menyumbangkan banyak hal, hal itu dapat dilihat dari beberapa pemikirannya
tentang banyak hal yaitu:
1. Teologi, dalam ini dia mengatakan ada tiga tingkatan dalam mengartikan
tuhan (tahwid), tingkatan pertama pujian terhadap keesaan tuhan hal ini
dimiliki oleh orang awam, tingkatan kedua meliputi pengetahuan dan
pengertian mengenai keesaan tuhan hal ini dimiliki oleh Ulama’,
tingkatan ketiga tumbuh dari perasaan terdalam mengenai hakim agung
dan hal ini dimiliki oleh para Sufi.
2. Ahlussunnah wal Jama’ah, Hasyim Asy’ari menerima doktrin ini karena
sesuai dengan tujuan NU khususnya yang berkaitan dengan dengan
membangun hubungan ‘ulama’ Indonesia yaitu mengikuti salah satu
madzhab sunni dan menjaga kurikulum pesantren agar sesuai dengan
prinsip-prinsipAhlussunnah wal Jama’ah  yang berarti mengikuti ajaran
nabi Muhammad dan perkataan ulama’.
3. Tasawwuf, secara garis besar pemikiran tasawwuf KH Hasyim Asy’ari
bertujuan memperbaiki perilaku umat islam secara umum serta sesuai
dengan prinsip prinsip ajaran islam, dan dalam banyak hal pemikirannya
banyak dipengarui oleh pemikiran Al-Ghazali.
4. Fiqh, dalam hal ini ini beliau menganut aliran madzhab empat yaitu
Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali.
5. Pemikiran Politik, pada dasarnya pemikiran politik Hasyim
Asy’ari  mengajak kepada semua umat islam untuk membangun dan
menjaga persatuan, menurutnya pondasi politik pemerintahan islam itu
mempunyai tiga tujuan yaitu: memberi persamaan bagi setiap muslim,
melayani kepentingan rakyat dengan cara perundingan, menjaga
keadilan.22

21
Ibid.,
22
Drs. Lathiful Khuluq, MA, Fajar Kebangunan Ulama’,Yogyakarta : LKIS, 2001. Hal 43-54.
5. Buya Hamka
Tasawuf Modern Buya Hamka merupakan implementasi dari
mengekang hawa nafsu, ikhlas, qana’ah, dan tawakkal. Siapapun yang
menerapkan hal itu dalam kehidupan sehari-hari disebut dengan sufi.
Lebih dari itu, tetapi berbeda dengan sufi yang sebenarnya, sufi dituntut
untuk bekerja sepenuh hati dengan niat mengabdi kepada tuhan. Prosesi
yang dilakoni seorang muslim dengan dilambari etika akan mendatangkan
kebahagiaan. Ulfah Novi Maria dan Dwi Istiyanti menyebut muslim
penganut paham tasawuf Buya Hamka dengan karakter sebagai sufi
modern. (Jurnal Akhlak dan tasawuf Volume 2(1),2016).
Buya Hamka dalam mendefinisikan istilah tasawuf menyebutkan
sebagai membersihkan jiwa, mendidik, dan memperhatikan perasaan
menghidupkan hati menyembah tuhan dan mempertinggi derajat budi,
menekankan segala keribaan dan kerakusan, memerangi syahwat yang
berlebihan dari keperluan untuk kesentosaan diri (HAMKA, 1983: 5).
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Ajaran tassawuf mulai berkembang ke Indonesia tidak lepas dari peranan berbagai
tokoh-tokoh sufi yang membawa ajaran Islam ke Indonesia. Perkembangan tassawuf ini
juga beriringan dengan Islamisasi di Indonesia karena penelitian-penelitian para ahli
mengungkapkan bahwa ulama-ulama yang menyebarkan agama Islam di Indonesia
kebanyakan adalah ulama sufi. Oleh karena itu wajar saja jika keberadaan tassawuf di
Indonesia ini sudah cukup tua karena bersamaan dengan masuknya Islam ke Indonesia.
Tassawuf yang berkembang di Indonesia juga sejalan dengan mazhab Ahlus Sunnah wa
Al Jama'ah.
1. KH. Khotib Sambas
Ajaran Syeikh Ahmad Khatib Sambas adalah Tarekat Qodiriyah wa
Naqsyabandiyah memiliki ajaran yang diyakini kebenarannya, terutama dalam hal-
hal kesufian.
2. KH. Imam Nawawi Al-Bantani
Pemikiran Nawawi tentang tasawuf dapat dilacak dari karya-karyanya seperti
Tanqih Al- Qoul, Mirqah Shu'ud At-Tashdiq, dan Syarh Maraqi Al-'Ubudiyyah.
Yang megajarkan tentang cara mengendalikan syahwat, dan sifat-sifat buruk
manusia.
3. KH. Syaikona Kholil Bangkalan
lahir di Kemayoran, Bangkalan, Bangkalan, 1820. Meninggal di Martajasah,
Bangkalan, Bangkalan, 1925 pada umur antara 104 – 105 tahun.
Pemikirannya yaitu mengajarkan sifat zuhud, wara’, tawakkal, sabar, tawadhu’, dan
ikhlas.
4. KH. Hasyim Asyari
Secara garis besar pemikiran tasawwuf KH Hasyim Asy’ari bertujuan memperbaiki
prilaku umat islam secara umum serta sesuai dengan prinsip prinsip ajaran islam,
dan dalam banyak hal pemikirannya banyak dipengarui oleh pemikiran Al-Ghazali.
5. Buya Hamka
Buya Hamka dalam mendefinisikan istilah tasawuf menyebutkan sebagai
membersihkan jiwa, mendidik, dan memperhatikan perasaan menghidupkan hati
menyembah tuhan dan mempertinggi derajat budi, menekankan segala keribaan dan
kerakusan, memerangi syahwat yang berlebihan dari keperluan untuk kesentosaan
diri (HAMKA, 1983: 5).
DAFTAR PUSTAKA

Drs. Lathiful Khuluq, MA, Fajar Kebangunan Ulama’,Yogyakarta : LKIS, 2001. M. Solihin,


Anwar rahison, Ilmu Tasawuf, Bandung: CV pustaka setia, 2008.
Amin, S. M. (2012). Ilmu Tasawuf. (A. Zirzis, & N. Laily, Penyunt.) Jakarta: Amzah.
Anwar, S. d. (2014). Ilmu Tassawuf. Bandung: CV Pustaka Setia.
https://issuu.com/anilislam/docs/4
https://id.wikipedia.org/wiki/Kholil_al-Bangkalani
https://www.facebook.com/notes/maung-bodas-siliwangi/syaikh-abuya-armin-memamahi-
beberapa-bahasa-bahasa-ajam-non-arab-bahasa-suryani-/454976957980771/
https://id.wikipedia.org/wiki/Achmad_Khotib_al-Syambasi

Anda mungkin juga menyukai