DISUSUN OLEH :
Aksara Lampung adalah aksara yang dipelajari di Provinsi Lampung sebagai muatan
lokal. hingga saat ini, Aksara Lampung belum terdaftar di Unicode sehingga penulisan
Aksara ini Lampung belum dikenal oleh komputer. Usaha komputerisasi Aksara Lampung
sudah dilakukan oleh masyarakat termasuk oleh orang Lampung itu sendiri dengan membuat
software/font yang dapat diaplikasikan langsung dalam pengetikan komputer. Komputerisasi
Aksara Lampung pada awalnya dilakukan oleh Wawan Supriadi dan juga Hery Fajar
Isnawan. Kemudian Komputerisasi berikutnya dilakukan oleh Mohammad Yuzariyadi
dengan sedikit penyempurnaan.
Pada masa silam, gadis-gadis asli Lampung mempunyai kemampuan memikat lawan
jenisnya. Memang kata kata (mantra-mantra) pengasih ini ditorehkan dalam Aksara Lampung
kaganga di atas media kulit kayu. Aksara Lampung juga di pakai untuk menulis surat, surat
resmi untuk mengesahkan hak kepemilikan tanah tradisional, mantra, guna-guna,cara
sesajian, syarat menjadi pemimpin, obat-obatan, hingga syair mistik Islam. Ada pula syair
percintaan, yang dikenal juga sebagai bandung atau hiwang. Media penulisan selain kulit
kayu, juga memakai bilah bambu,daun lontar, dalung (kepingan logam), kulit hewan, tanduk
kerbau, dan juga batu. Syair percintaan yang berbentuk dialog ditulis pada keping atau
lembar bambu —disebut dengan gelumpai— diikat jadi satu dengan tali melalui lubang di
ujung satu serta diberi nomor berdasarkan urutan abjad. Ada juga yang menorehkannya pada
tabung bambu dan juga kulit kayu berlipat.
Karya-karya ilmiah tentang bahasa dan juga aksara Lampung semuanya memakai “ra”
untuk menuliskan huruf atau fonem ke-16 aksara Lampung. Gelar (adok) dan juga nama
tempat harus dituliskan dengan ejaan ra, meski dibaca mendekati bunyi kha/gha, misalnya
adalah Pangiran Raja Purba, Batin Sempurna Jaya, Radin Surya Marga, Minak Perbasa,
Marga Pertiwi. Penulisan “radu rua rani mak ratong” adalah ejaan baku, sedangkan
penulisan “khadu khua khani mak khatong” tidaklah baku. Sementara itu, penelitian ilmiah
tentang bahasa dan aksara Lampung ini dipelopori oleh Prof. Dr. Herman Neubronner van
der Tuuk melalui artikel nya yaitu “Een Vergelijkende Woordenlijst van Lampongsche
Tongvallen” dalam jurnal ilmiah Tijdschrift Bataviaasch Genootschap (TBG), volume 17,
1869, hal. 569-575, dan juga artikel “Het Lampongsch en Zijne Tongvallen”, dalam TBG,
volume 18, 1872, hal. 118-156, kemudian diikuti juga oleh penelitian Prof. Dr. Charles
Adrian van Ophuijsen melalui artikel “Lampongsche Dwerghertverhalen” dalam jurnal
Bijdragen Koninklijk Instituut (BKI), volume 46, 1896, hal. 109-142. Juga Dr. Oscar Louis
Helfrich pada tahun 1891 menerbitkan kamus Lampongsch-Hollandsche Woordenlijst. Lalu
ada tesis Ph.D. dari Dale Franklin Walker pada Universitas Cornell, Amerika Serikat, yang
berjudul A Grammar of the Lampung Language (1973).
Menurut Prof. C.A. van Ophuijsen, bahasa Lampung tergolong bahasa tua dalam
rumpun Melayu-Austronesia, karena masih banyak sekali melestarikan kosakata Austronesia
purba, seperti: apui, bah, balak, hirung, hulu, bingi, buok, heni, ina, ipon, iwa, luh, telu, tuha,
pedom, pira, pitu, tutung, siwa, walu, dsb. Prof. H.N. van der Tuuk meneliti kekerabatan
bahasa Lampung dengan bahasa-bahasa Nusantara lainnya. Bahasa Lampung dan bahasa
Sunda mempunyai kata awi (bambu), bahasa Lampung dan juga bahasa Sumbawa
mempunyai kata punti (pisang), bahasa Lampung dan bahasa Batak memiliki kata bulung
(daun). Hal ini membuktikan bahwa bahasa-bahasa Nusantara memang satu rumpun, yaitu
rumpun Austronesia yang meliputi kawasan dari Madagaskar sampai pulau-pulau di Pasifik.
Pada saat ini, Penggunaan Aksara Lampung tidak seumum penggunaan Huruf Latin. Ulun
Lampung sendiri lebih banyak memakai Huruf Latin untuk menulis Bahasa Lampung. Oleh
kaum muda, Penggunaan Aksara Lampung biasanya digunakan untuk menulis hal yang
bersifat pribadi seperti buku harian dan juga surat cinta. Selain itu, tidak sedikit yang menulis
Bahasa Indonesia dengan menggunakan Aksara Lampung.
Penggunaan Aksara Lampung dapat kita lihat pada penulisan nama jalan di Provinsi
Lampung. Selain itu, penggunaan Aksara Lampung bisa kita lihat pada logo Provinsi,
Kabupaten, dan juga Kota di Provinsi Lampung. Lampung merupaan bahasa Malayo-
Polinesia yang diucapkan di provinsi Indonesia Lampung di Sumatera bagian selatan. Ada
dialek Lampung, Abung / Pepadun ( Lampung Nyo ) di Lampung barat, Pesisir / Say Batin
( Lampung Api ) di Lampung timur, dan juga Komering, yang cukup berbeda untuk dianggap
bahasa yang berbeda. Lampung Api dianggap sebagai ragam prestise.
b. Lampung tertulis
Lampung ditulis dengan alfabet Latin, akan tetapi di masa lalu ditulis dengan aksara
sendiri, yang dikenal dengan Aksara Lampung atau disebut dengan Had Lampung , yang
mirip sekali dengan naskah lain di Sumatera yaitu Rejang, Bugis dan juga Sunda. Skrip
Lampung dipakai untuk menulis mantra, hukum adat, surat, karya keagamaan dan puisi. Itu
tertulis di kulit kayu, pelat logam, kulit binatang, tanduk, daun palem, batu dan bambu.
Setelah Islam menyebar ke Indonesia naskah Lampung diganti dengan aksara Arab. Hari-
hari ini naskah Lampung dipakai sampai batas tertentu pada rambu-rambu jalan, logo
pemerintah dan juga tempat lain, dan diajarkan di beberapa sekolah.
Tanda baca aksara lampung ini bisa kamu gunakan untuk memberikan tanda seperti
tanda titik, tanda koma dan yag lainnya, berikut untuk tanda baca aksara lampung.
e. Aksara Lampung Angka
Susunan marga-marga territorial yang sesuai keturunan kerabat tersebut, pada saat
kekuasaan Jepang sampai saat kemerdekaan pada tahun 1952 dihapus dan menjadi bentuk
pemerintahan negeri. Sejak tahun 1970, nampak susunan negeri sebagai persiapan persiapan
pemerintahan daerah tingkat III tidak lagi diaktifkan, sehingga sekarang kecamatan langsung
mengurus pekon-pekon/kampung/desa sebagai bawahannya.
PAKAIAN ADAT LAMPUNG
Pakaian adat menjadi salah satu identitas dan kebanggaan bagi suatu daerah.
Tidak terkecuali pakaian adat Lampung, yang kerap dikenakan dalam upacara adat,
prosesi pernikahan hingga gelaran seni-budaya. Selain terkenal dengan keindahan
tempat wisata dan budayanya, provinsi Lampung yang terletak di ujung selatan Pulau
Sumatera, juga memiliki ragam pakaian adat yang khas. Selain itu, sarat dengan makna
dan filosofi yang menjadi salah satu keunikannya. Masyarakat Lampung memiliki
semboyan “Sai Bumi Ruwa Jurai”, berarti Satu Bumi Dua Jiwa. Semboyan ini
menggambarkan terdapat dua suku bangsa yang mendiami wilayah Lampung, terdiri
dari suku Lampung Pepadun dan suku Lampung Saibatin atau Pesisir. Meskipun sama-
sama menjadi masyarakat asli, namun keduanya memiliki pebedaan, tidak hanya tradisi
dan bahasa, tetapi juga pakaian adatnya.
Pakaian adat Lampung suku Pepadun yang mendiami daerah pedalaman atau
daerah dataran tinggi Lampung, terlihat dalam busana pengantin untuk prosesi
pernikahan. Pakaian adat pria berupa baju lengan panjang berwarna putih yang
dipadukan dengan celana panjang hitam. Di luarnya, dibalut dengan sarung tumpal yaitu
kain sarung khas Lampung yang ditenun menggunakan benang emas. Sarung ini dipakai
menutup celana dari pinggang hingga lutut. Kemudian, di bagin luar sarung, diikat
sesapuran atau sehelai kain putih dengan rumbai tinggi. Bagian bahu dilingkari dengan
selendang bujur sangkat atau khikat akhir. Sama halnya dengan busana pengantin pria,
pakaian adat Lampung untuk pengantin wanita memiliki ciri khas berwarna putih dan
emas, serta bentuknya seperti kebaya yang ramping membalut badan. Bagian bawah,
dililitkan kain tapis dengan motif khusus yang terbuat dari benang emas dan perak.
Keistimewaan busana pengantin wanita terletak pada aksesoris pelengkapnya, seperti
siger atau mahkota, gelang, kalung, cincing dan hiasan pada pinggang.
Jika pakaian adat Lampung Pepadun terlihat bersahaja, busana adat Lampung
Saibatin tampak mewah, karena warnanya yang serba merah menyala. Busana pengantin
pria berupa jas yang terbuat dari bahan beludru bermotif floral bunga tabur, salur, atau
pucuk rebung. Sebagai atribut, pengantin pria memakai kopiah tungkus atau tukkus, dan
perhiasan seperti gelang dan kalung.