1 Abdullah, Yatim. Studi Akhlaq dalam Perspektif Al-Qur’an. (Jakarta: Amzah. 2007).
1
B. Kaitan Istilah Ahklaq dengan Etika, Moral, Kesusilaan, dan Kesopanan
Keterkaitan antara akhlak dengan etika, moral, kesusilaan dan kesopanan ini bisa kita
lihat dari segi fungsi dan perannya, yakni sama-sama menentukan hukum atau nilai dari
suatu perbuatan yang dilakukan oleh manusia untuk ditentukan baik dan buruknya,
benar dan salahnya sehingga dengan ini akan tercipta masyarakat yang baik, teratur,
aman, damai, dan tenteram serta sejahtera lahir dan batin.
Dari uraian di atas, dapat dikatakan bahwa antara akhlak dengan etika, moral,
kesusilaan dan kesopanan mempunyai kaitan yang sangat erat, di manna wahyu, akal
dan adat adalah sebuah teori perpaduan untuk menentukan suatu ketentuan, nilai.
Terlebih lagi akal dan adat dapat digunakan untuk menjabarkan wahyu itu sendiri.2
C. Jenis jenis Akhlaq
1. Ahklaq Mulia
a. Berbicara yang baik.
“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah berbicara
yang baik atau (jika tidak demikian) hendaklah diam” (H.R. Bukhari dan
Muslim).
2 Amin, Ahmad. Etika Ilmu dan Akhlaq. (Jakarta: Pustaka Panji Mas. 1983).
3 Al Hasyimi, Abdul Mun’im. Akhlak Rasul Menurut Bukhari & Muslim. (Jakarta: Gema Insani.
2009).
2
c. Malu (Haya’).
“Sesungguhnya sebagian yang didapatkan manusia dari perkataan nabi-nabi
terdahulu ialah ‘Jika kamu tidak malu, maka berbuatlah sesukamu!’” (HR
Bukhari).
Malu adalah perasaan untuk tidak ingin direndahkan atau dipandang buruk
oleh pihak lain. Jadi, malu adalah persoalan harga diri atau gengsi. Malu yang
paling utama adalah malu kepada Allah SWT sehingga tidak berbuat sesuatu
yang melanggar aturan-Nya. Malu kepada manusia harus dalam konteks malu
kepada-Nya.4
d. Rendah Hati (Tawadhu’).
Rendah hati adalah perasaan inferior, lemah, tidak punya kekuatan atau
keistimewaan apa-apa dan kecil di hadapan Allah Yang Mahabesar. Rendah hati
akan membuat seseorang tidak berlaku sombong atau takabur, tidak memandang
dirinya mulia. Fadhil bin Iyadh mengatakan, tawadhu’ ialah tunduk kepada
kebenaran dan mengikutinya, walaupun kebenaran itu datang dari seorang anak
kecil dan orang paling bodoh.5
“Dan hamba-hamba Tuhan Yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang
berjalan di muka bumi dengan rendah hati...” (Q.S. Al-Furqon:63).
4 Al Hasyimi, Abdul Mun’im. Akhlak Rasul Menurut Bukhari & Muslim. (Jakarta: Gema Insani.
2009).
5 Asmaran. Pengantar Studi Akhlaq. (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 1994).
3
Menyenangkannya senyum dapat kita rasakan tatkala melihat keramahan orang
lain pada kita.
“Kamu tidak bisa meratai (memberi semua) manusia dengan harta-hartamu,
tetapi hendaklah bermanis muka (bastul wajhi) dan perangai yang baik dari
kamu meratai mereka” (HR Abu Ya’la).
“Mukmin yang bergaul dengan manusia dan sabar atas gangguan mereka lebih
baik daripada yang tidak bergaul dengan manusia dan tidak sabar atas gangguan
mereka” (HR Ibnu Majah dan Tirmidzi).
4
kedua merupakan tingkat pertengahan, dan yang ketiga merupakan kesabaran
tertinggi (HR Ibnu Abi ad-Dunia).6
Kuat artinya memiliki ketahanan mental dan fisik yang tinggi. Tidak mudah
putus asa, tidak suka mengeluh, dan sehat jasmani-rohani. Kuat juga bisa
dimaknai unggul dan berkualitas. “Janganlah berputus-asa dari rahmat Allah.
Sesungguhnya tidak berputus asa dari rahmat Allah kecuali kaum kafir” (Q.S.
12:87).
h. Pemaaf, Tidak Dendam.
Memaafkan kesalahan manusia (‘afina ‘aninnas) dan menahan amarah adalah
ciri orang bertakwa (Q.S. 3:134).
“Allah tidak akan menambah seseorang yang suka memberi maaf melainkan
dengan kemuliaan” (HR Muslim).
“Bersikaplah pemaaf maka Allah akan memuliakanmu” (HR Ibnu Abi Dunya).
“Orang yang paling dibenci Allah ialah orang yang paling menaruh dendam-
kesumat” (HR Bukhari dan Muslim).
“Maafkanlah orang yang menzhalimimu” (HR Ahmad dan Thabrani).
i. Menahan Amarah.
Marah dapat membawa malapetaka. Orang sedang marah dikuasai hawa nafsu
dan setan. Pikirannya menjadi tidak jernih, tidak bersih. Akalnya menjadi tidak
berfungsi normal. Tentu hal itu bisa mendorong orang yang sedang marah itu,
jika tidak bisa mengendalikan diri, pada perbuatan yang akan disesalinya,
mengikuti hawa nafsu, lepas kedali diri. Untuk meredam marah, Rasulullah Saw
mengajarkan agar berwudhu.
6 Al Hasyimi, Abdul Mun’im. Akhlak Rasul Menurut Bukhari & Muslim. (Jakarta: Gema Insani.
2009).
5
"Bukanlah orang yang gagah perkasa namanya ia yang kuat bergulat, tetapi yang
disebut gagah perkasa itu ialah orang yang dapat mengendalikan nafsunya
(dirinya) ketika sedang marah" (HR Bukhari dan Muslim).
"Sesungguhnya marah itu datangnya dari setan, dan setan itu dijadikan dari api.
Sesungguhnya api itu dapat dipadamkan dengan air. Maka apabila salah seorang
di antaramu marah, berwudhulah" (H.R. Abu Daud).
j. Zuhud
Ketika seorang sahabat meminta nasihat tentang amal yang disukai Allah dan
manusia, Nabi Saw menegaskan: “Berzuhudlah dari dunia, niscaya Allah
menyukaimu dan zuhudlah dari apa yang di tangan manusia, niscaya manusia
menyukaimu” (HR Ibnu Majah).
Zuhud adalah sikap tidak terlalu mencintai dunia, bahkan membencinya dalam
batas-batas yang wajar. Menurut Nabi Muhammad Saw: “Zuhud di dunia tidak
mengharamkan yang halal dan tidak membuang harta...” (HR Tirmidzi).
“Bukanlah orang kaya itu yang banyak hartanya, melainkan yang kaya jiwanya
(hatinya)” (HR Bukhari dan Muslim).
“Sungguh berbahagialah orang yang yelah masuk Islam dan diberi rezeki cukup,
6
lalu merasa cukup terhadap apa-apa yang diberikan Allah kepadanya” (HR
Muslim).
“Seungguh berbahagialah seorang Muslim yang diberi kecukupan rezeki dan rela
menerima pemberian Allah” (HR Muslim).
l. Wara’
Wara’ adalah menjauhi barang syubhat karena takut jatuh kepada keharaman.
Syubhat sendiri artinya tidak dapat dipastikan halal-haramnya (berada antara
halal dan haram).
Nabi Saw mengatakan, siapa yang menjauhi syubhat berarti ia membersihkan
diri dan agamanya. Siapa yang mendekati syubhat, maka dikhawatirkan
termasuk pada hal haram (HR Muttafaq ‘Alaih).
m. Suka Menolong.
Menolong artinya membantu orang yang sedang dalam kesulitan
(meringankan bebannya), baik kesulitan ekonomi maupun kesulitan dalam
urusan lain selama berada pada garis kebaikan dan takwa (birri wat taqwa).
Termasuk menolong orang lain adalah menutupi aibnya sehingga tidak
membuatnya malu.7
2. Ahklaq Tercela
a. Menghina.
Menghina adalah mengeluarkan kata-kata yang merendahkan dan menyakiti
hati orang lain, termasuk mengolok-olok, mencela, melaknat/mengutuk,
memaki, dan mengejek.
7 Al Hasyimi, Abdul Mun’im. Akhlak Rasul Menurut Bukhari & Muslim. (Jakarta: Gema Insani.
2009).
7
“Cukuplah kejelekan seseorang jika ia menghina saudaranya yang Muslim” (HR
Muslim).
Buruk sangka itu menuduh atau memandang orang lain dengan “kacamata
hitam” atau negative thinking, seraya menyembunyikan kebaikan mereka dan
membesar-besarkan keburukan mereka.
c. Bergunjing (Ghibah).
Pada malam Isra' --dalam rangkaian peristiwa Isra Mi'raj-- Nabi Muhammad
Saw melewati suatu kaum yang sedang mencakar-cakar wajah mereka sendiri
dengan kukunya. Nabi Saw bertanya kepada Malaikat Jibril yang mendapinginya
waktu itu, "Apa itu Jibril?". Malaikat penyampai wahyu Allah itu menjawab,
"Itulah gambaran orang yang suka menggunjing sesamanya (ghibah)".
Ghibah adalah membicarakan kejelekan atau aib orang lain atau menyebut
masalah orang lain yang tidak disukainya, sekalipun hal tersebut benar-benar
terjadi.
Oleh Allah SWT ghibah diidentikkan dengan "memakan daging mayat
saudara sendiri" (Q.S. al-Hujurat:12). Meskipun kejelekan atau kekurangan
orang lain itu faktual, benar-benar terjadi alias sesuai dengan kenyataan, tetap
saja itu ghibah.
d. Dengki
Hasad merupakan sikap batin, keadaan hati, atau rasa tidak senang, benci, dan
antipati terhadap orang lain yang mendapatkan kesenangan, nikmat, memiliki
kelebihan darinya. Sebaliknya, ia merasa senang jika orang lain mendapatkan
kemalangan atau kesengsaraan. Sikap ini termasuk sikap kaum Yahudi yang
dibenci Allah (maghdhub).
8
"Jika kamu memperoleh kebaikan, niscaya mereka bersedih hati, tetapi jika
kamu mendapat bencana, mereka bergembira karenanya..." (Q.S. 3: 120).
Sikap hasad ini berbahaya karena dapat merusak nilai persaudaraan atau
menumbuhkan rasa permusuhan secara diam-diam. Hasad juga dapat mendorong
seseorang mencela, menjelek-jelekkan, dan mencari-cari kelemahan atau
kesalahan orang lain dan menimbulkan prasangka buruk (suudzan).
e. Serakah
Serakah atau tamak yaitu sikap tidak puas dengan yang menjadi hak atau
miliknya, sehingga berupaya meraih yang bukan haknya. Setiap orang berpotensi
bersikap serakah.
"Jika seseorang sudah memiliki dua lembah emas, pastilah ia akan mencari yang
ketiganya sebagai tambahan dari dua lembah yang sudah ada itu" (H.R. Bukhari
dan Muslim).
"Jika seorang anak Adam telah memiliki harta benda sebanyak satu lembah,
pasti ia akan berusaha lagi untuk memiliki dua lembah. Dan andaikata ia telah
memiliki dua lembah, ia akan berusaha lagi untuk memiliki tiga lembah.
Memang tidak ada sesuatu yang dapat memenuhi keinginan anak Adam kecuali
tanah (tempat kubur, yakni mati). Dan Allah akan menerima tobat mereka yang
bertobat" (H.R. Bukhari, Muslim, Ahmad, dan Tirmidzi).
9
Keserakahan pun dapat membuat seseorang bersikap kikir alias tidak
dermawan dan tidak peduli akan nasib orang lain. Serakah dan tamak telah
membinasakan kaum sebelum umat Muhammad Saw.
f. Kikir (Bakhil).
Kikir adalah penyakit hati. Sifat kikir ini bersumber dari ketamakan, cinta
dunia, atau suka kemegahan. Orang yang terbebas dari sifat kikir termasuk orang
beruntung (Q.S. Al-Hasyr:9).
“Dua perkara tidak akan berkumpul pada seorang mukmin: sifat kikir dan
perangai jelek” (HR Tirmidzi).
g. Riya’
Riya’ adalah sikap ingin dipuji orang lain. Lawan ikhlas ini haram hukumnya.
Nabi Saw menyebutnya sebagai syirik kecil (syirkul ashgar).
“Sesungguhnya yang aku paling takuti atas umatku adalah syirik kecil, yaitu
riya’” (HR Ahmad).
Riya’ merupakan lawan atau kebalikan dari ikhlas (semata-mata karena Allah
SWT). Ikhlas merupakan salah satu syarat diterimanya amal-ibadah oleh Allah
SWT (maqbul). "Padahal mereka tidaklah diperintahkan kecuali agar beribadah
pada Allah dengan memurnikan ketaatan (ikhlas) pada-Nya dalam menjalankan
agama dengan lurus..." (Q.S. Al-Bayinah:5, juga Q.S. 4:146, 7:29, Az-
Zumar:2,11, 2:139, Luqman:32).
h. Berdusta
Berkata dusta adalah salah satu ciri kaum munafik, selain mengkhianati
kepercayaan dan mengingkari janji (HR Bukhari dan Muslim).
10
“Tidak halal bagi seorang Muslim mendiamkan saudaranya ((tidak saling bicara)
selama lebih dari tiga hari, keduanya bertemu lalu saling berpaling muka
(bermusuhan). Yang paling baik di antara mereka adalah yang memulai
mengucapkan salam (mengajak damai)” (HR Bukhari dan Muslim).
“Tidak akan masuk sorga orang yang di dalam hatinya menyelinap sifat
sombong” (HR Muslim dan Tirmidzi).
l. “Tiga perkara yang merusak manusia: perangai kikir yang ditaati, hawa nafsu
yang selalu diikuti, dan bangga pada diri sendiri (sombong)” (HR Thabrani).
11
Naluri manusia paling kuat yang merupakan hidayah fitriyah adalah ingin
mempertahankan hidupnya di dunia ini. Naluri ini dimiliki setiap manusia, meskipun dia
sadar bahwa hidup ini fana dan sementara. Naluri mempertahankan hidup juga dimiliki
oleh biantang.
Paham materialisme berkeykinan bahwa kehidupan yang lebih baik dan kebahagiaan
berpusat pada keempurnaan materi, termasuk jasad. Adapun
aliran spiritualisme berkeyakinan bahwa kebahagiaan sangat tergantung pada kepuasan
jiwa. Para filosof umumnya berpendapat bahwa kebahagiaan bias dicapai dengan
kemampuan akal manusia. Akal merupakan perangkat penting untuk menggapai
kebenaran dan kemuliaan. Umat Islam akan merasa bahagia jika mendapat keutamaan
dari kehadiran Allah Swt. baik dunia maupun akhirat.8
Berikut merupakan uraian system penilaian akhlak menurut beberpa madzhab, aliran,
dan paham dalam Islam.
1. Sistem Ahli Sunnah
Ahlu sunnah waljama’ah mempunyai arti “ahlu” bermakna golongan dan
“asunnah” bermakna segala sesuatu yang dinukil dari Nabi Muhammad
SAW. Aljamaah ini banyak sekali yang memberi makana, antara lain golongan
yang mayoritas umat Islam yang setia kepada pemimpin umat Islam. Dan adapula
yang mengartikan Aljamaah sebagai golongan para sahabat Nabi. Jadi arti dari
“ahlu sunnah walajamah” adalah golongan yang berpegang teguh pada Al-
Qur’an , sunnah Rasulullah SAW, dan kesepakatan para mujtahid.
Sebelumnya ahli sunnah waljama’ah ini dipelopori oleh Abu Al-Husan Al-
Asy’ari (260-320H/873-935M) dan Abu Mansyur Al-Maturidi (332H/943M).
mereka membagi kajian ilmunya dengan cara menggali dari Al-Qur’an, Al-Hadits,
Ijma’ dan Qiyas.
Segala awamir yang dima’rufkan Allah SWT adalah baik dan
segala nawahi yang dimunkarkan Allah SWT adalah buruk. Tidak ada kebaikan
atau keburukan secara absolute, tetapi semuanya itu menurut instruksi dari Allah
SWT. adapun yang bersifat absolute adalah kekuasaan dan keadilan Allah yang
terletak pada iradat-Nya. Namun keadilan tidak wajib bagi Allah, karena apabila
wajib maka kekuasaan-Nya tidak mutlak lagi. Ittulah sebabnya para ahli kalam
12
membedakan antara sifat – sifat yang wajib bagi Allah menurut akal dan juga dalil
akal yang jumlahnya 13 atau 20 dengan asma’ul husna yang jumlahnya 99.
2. Sistem Mu’tazilah
Secara bahasa kata mu’tazilah berasal dari kata i’tazila yang berarti “berpisah”
atau “memisahkan diri”, yang berarti juga “menjauh” atau “menjauhkan
diri”. Secara teknis, istilah mu’tazilah menunjuk pada dua golongan.
Golongan pertama (mu’tazilah I) muncul sebagai respon politik murni.
Golongan ini tumbuh sebagai kaum netral politik, khususnya dalam arti bersikap
lunak dalam menyikapi pertentangan antara Ali bin Abi Thalib dan lawan-
lawannya, terutama Muawiyah, Aisyah, dan Abdullah bin Zubair.9
Golongan kedua (Mu’tazilah II) muncul sebagai respon persoalan teologis
yang berkembang dikalangan Khawarij dan Murji’ah akibat
peristiwa tahkim. Menurut Ahmad tafsir ada mu’tazilah yang lahir karena
menghindari bentrokan politis dan ada yang lahir karena bentrokan pemikiran
fanatik.
Ajaran pokok ini mempunyai tujuh bagian :
a. Tentang sifat – sifat Allah.
b. Kedudukan Al-Qur’an
c. Melihat Allah di akhirat
d. Perbuatan manusia
e. Antropomorisme
f. Dosa besar
g. Keadilan Allah
13
harus disucikan dari apa pun yang dapat mengurangi kemahaesaan-Nya.
Hanya Tuhanlah satu – satunya yang Esa dan unik dan tak ada satupun yang
menyamai-Nya. Oleh karena itu hanya Dial ah yang qadim (terdahulu). Bila
ada yang qadim lebih dari satu, maka telah terjadi ta’addud al-
qudama (berbilangnya dzat yang tak berpermulaan.
2) Al’Adl (Tuhan Maha Adil)
Ajaran tentang kadilan ini berkait erat dengan beberapa hal, antara lain :
a) Perbuatan manusia
Menurut Mu’tazilah manusia melakukan dan menciptakan perbuatan
sendiri terlepas dari kehendak dan kekuasaan Tuhan, baik secara
langsung atau tidak.
b) Berbuat baik dan terbaik
Kewajiban Tuhanlah untuk berbuat baik, bahkan terbaik bagi
manusia. Tuhan tidak mungkin jahat dan aniaya karena akan
menimbulkan kesan Tuhan penjahat dan penganiaya, sesuatu tidak layak
bagi Tuhan.
c) Mengutus Rasul
Mengutus Rasul kepada manusia merupakan kewajiban Tuhan karena
alasan – alasan sebagai berikut :
Tuhan berlaku baik kepada manusia, dan hal itu tidak dapat terwujud
kecuali dengan mengutus Rasul kepada mereka.
Al-Qur’an secara tegas menyatakan kewajiban Tuhan untuk
memberikan belas kasih kepada manusia. Cara terbaik untuk maksud
tersebut adalah dengan mengutus Rasul.
Tujuan diciptakannya manusia untuk beribdah adalah untuk
beribadah kepada Allah. Agar tujuan tersebut berhasil yaitu dengan
cara mengutus Rasul.
3) Al-Wa’ad wa al-Wa’id
Ajaran ini berarti janji dan ancaman. Tuhan yang Maha adil dan Maha
bijaksana tidak akan melanggar janji-Nya. Perbuatan Tuhan terikat dan
dibatasi oleh janji-Nya sendiri, yaitu memberi pahala surga bagi yang
berbuat baik (al-muthi) dan mengancam dengan siksa neraka bagi yang
14
durhaka (al-ashl). Begitu pula janji Tuhan untuk memberi ampunan bagi
yang melakukan taubat nashuha pasti benar adanya.
4) Al-Manzilah bain al-Manzilatain
Inilah ajaran yang menyebabkan lahirnya madzhab ini, yakin
berkenaan dengan status orang yang beriman (mukmin) yang melakukan
dosa besar dan belum bertaubat, dengan status bukan lagi Mukmin atau kafir,
munafiq, tetapi fasik. Hanya saja bila belum bertaubat, dia akan dimasukan
ke neraka dan kekal di sana, tetapi siksanya lebih ringan dibanding orang
kafir.
5) Al-‘Amr bi al-Ma’ruf wa al-Nahy’an al-Munkar
Ajaran ini menekan keberpihakan kepada kebenaran dan kebaiakan
kepada kebenaran dan kebaikan. Dan ini merupakan kensekuensi logis dari
keimanan seseorang. Pengakuan keimanan harus dibuktikan dengan
perbuatan yang baik, diantaranya dengan menyuruh orang berbuat baik dan
mencegahnya dari kejahatan. Ajaran ini sangat berpotensi menimbulkan
kekerasan, kekacauan, dan kedzaliman. Sejarah mencatat kekerasan yang
pernah dilakukan Mu’tazilah ketika menyiarkan ajarannya, seperti tentang
kemakhlukan Al-qur’an yang mengorbankan banyak ulama’.
Ajaran ini bukan monopoi konsep Mu’tazilah. Fase tersebut sering
digunakan di dalam Al-Qur’an. Arti asal ma’ruf adalah apa yang telah diakui
dan diterima oleh masyarakat karena mengandung kebaikan dan kebenaran.
Lebih spesifik lagi, al-ma’ruf adalah apa yang diterima dan diakui Allah.
Sedangkan al-munkar adalah sebaliknya. Frase tersebut bararti seruan untuk
berbuat seseuatu sesuai dengan keyakinan sebenar – benarnya serta
menahan diri dengan mencegah timbulnya perbuatan yang bertentangan
dengan norma tuhan.10
3. Sistem Jabariyah
Landasan pemikiran madzhab ini adalah bahwa pada hakekatnya perbuatan
seorang hamba disandarkan langsung kepada Allah. tidak diminta untuk taat tapi
dipaksa untuk melakukan segala perbuatan di luar kehendak dan usahanya, maka
15
Allah SWT menciptakan segala perbuatan sebagaimana Dia menciptakan seluruh
materi. Jadi adanya pahala dan siksaan adalah paksaan.
Para sejarawan telah banyak berbicara dan menjelaskan siapa yang sebenarnya
terlebih dahulu memiliki pendapat di atas dan menyebarkannya. Disini kami
tuliskan sedikit pendapat mengenai faham Jabariyah sebagai mana yang di tulis
oleh Al-Murtadha dalam Al-Muriyah wa Al-’Amail.
Ulama pertama , Abdullah Bin Abbas, ketika berbicara di hadapan kaum
Jabariyah di kota Syam. Dia melontarkan kritik ”Mengapa kalian memerintahkan
orang-orang untuk bertaqwa, padahal kalian menyesatkan mereka. Kalian
melarang orang-orang berbuat maksiat tetapi kalian justru memperlihatkan
kemaksiatan. Wahai putra-putra kaum munafik, penolong kaum zhalim, dan
penjaga masjid kaum fasik, kalian hanya berdusta kepada Allah, kalian harus
bertanggungjawab atas dosa-dosa kalian kepada Allah.”
Ulama kedua, Hasan Al-Bashri, berbicara di kota Bashrah, ” Barang siapa
yang tidak beriman kepada Allah serta qodho’ dan qodar-Nya, maka dia telah
kafir. Sesungguhnya Allah tidak kurang apapun, meskipun ditaati ataupun
didurhakai, karena Dia adalah Raja dari segala raja, dan Penguasa dari segala
penguasa. Untuk itu, Allah memberi kebebasan kepada manusia: apakah mau taat
atau durhaka. Jika Allah memaksa makhluk-Nya supaya taat kepada-Nya, maka
mereka tentu tidak akan mendapat pahala. Dan, andaikata mereka dipaksa untuk
berbuat maksiat, maka mereka pasti tidak akan disikasa. Semua orang tidak
dipaksa oleh kehendak Allah. Untuk itu, jika mereka taat kepada Allah, maka Dia
pasti akan menebarkan Rahmat.”
Pendapat ini sebenarnya sudah mulai muncul pada masa para sahabat, akan
tetapi npada awalnya hanya diucapkan kam musyrik sebagaimana dijelaskan oleh
Al-Quran. Orang Islam ang pertama kali menyebarkan paham ini adalah Al-Ja’d
bin Dirham. Dia menerima faham ini dari orang Yahudi di Syria. Kemudian
disebarkan ke Bashrah, terutama kepada Al-Jahm bin Shafaran. Dalam kitab
Syarah Al-’Uyun, Al-Jahm bin Shafwan menerima suatu ajaran dari Al-Ja’d bin
Dirham yang kemudian dinamakan ajaran al-jahmiyah.sementara itu Al-Ja’d bin
Dirham menerima ajaran tersebut dari Ibnu Sam’an, sedangkan Sam’an
menerimanya dari Thalut bin A’shim al-Yahudi.
4. Al-Jahm membantah bahwa Allah Swt bisa dilihat kelak dihari kiamat
16
Para ulama salaf dan kholaf telah membantah ajaran tersebut, seperti yang
dilakukan hasan Al-Bashri dan sebelumnya Ibnu Abbas. Perlu diketahui ajaran
Jabariyah banyak di ingkari oleh banyak kelompok ulam kalam, ahli fiqih, dan
ahli hadist.
Allah Swt berfirman, aku akan memalingkan orang-orang yang
menyombangkan dirinya dimuka bumi tanpa alasan yang benar dari tanda-tanda
kekuasan-Ku.jika melihat ayat-Ku, mereka tidak beriman kepadanya. Dan jika
melihat petunjuk, mereka tidak akan menempuhnya, tetapi jika melihat kesesatan,
mereka justru mendekatinya. Hal itu terjadi karena mereka mendustakan ayat-
ayat Kami dan selalu lalai darinya. Begitulah, banyak orang yang mencoba
meniti jalan yang disangkanya terang, padahal sebenarnya sesat dan gelap gulita.
5. Sistem Qodariyah
Aliran ini dipelopori oleh Ghoilan Ad-Dimasyqi dan Ma’bad Al-Juhani.
Qodiriyah berasal dari kata qodara ( )قَد ََر yang mengandung arti kemampuan dan
kekuatan. Kaum Qodariyah adalah golongan islam yang meyakini bahwa manusia
mempunyai kekuatan mutlak dan kebebasan untuk menentukan segala macam
perbuatan sesuai dengan keinginannya tanpa ada intervensi dari tuhan.[9] Jadi
menurut Qodariyah manusia harus bebas menentukn nasibnya sendiri. Manusia
beba memilih amal yang baik dan yang buruk, jadi kalau Allah maha adil
mestinya memberi pahala orang yang beramal baik dan sebaliknya.
Paham Qodariyah berlawanan dengan paham Jabariyah. Menurut paham
Qodariyah, manusia harus bebas dan merdeka memilih amalnya sendiri.
Untuk mengatasi kedua paham yang saling bertentangan, yaitu Qodariyah dan
Jabariyah sebaiknya kita menyimak firman Allah dalam surah al-Ra’d [13] ayat
11,:
Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di
muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah[767].
Sesungguhnya Allah tidak merobah Keadaan sesuatu kaum sehingga mereka
merobah keadaan[768] yang ada pada diri mereka sendiri. dan apabila Allah
menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, Maka tak ada yang dapat
menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.
[767] Bagi tiap-tiap manusia ada beberapa Malaikat yang tetap menjaganya
secara bergiliran dan ada pula beberapa Malaikat yang mencatat amalan-
amalannya. dan yang dikehendaki dalam ayat ini ialah Malaikat yang
17
menjaga secara bergiliran itu, disebut Malaikat Hafazhah. [768] Tuhan tidak
akan merobah Keadaan mereka, selama mereka tidak merobah sebab-sebab
kemunduran mereka.
6. Sistem Shufiyah
Paham sufiyah yang dilansir para sufi berpendapat bahwa pendidikan akhlaq
tersusun atas tiga fase:
a. Fase takhalli atau takhliyah, yaitu membasmi sifat-sifat duniawiyah yang
terdapat dalam diri manusia. Takhliyah zhahiriyah yaitu menjauhkan diri
dari kejahatan tujuh macam anggota maksiat zhahir, ketujuh tersebit
adalah faraj, lisan, tangan, mata, telinga, kaki, dan perut. Kemudian,
manusia melakukan Takhliyah bathiniyah yang didahului dengan taubat
yaitu dengan cara Istigfar, menyesal, dan berjanji tidak akan mengulangi
lagi.
b. Fase Tahalli, mengisi jiwa seseorang dengan jiwa mahmudah yang
merupakan ibadat qolbi. Maka hiasilah diri nkita dengan taqwa, hati yang
bersih, dan sifat siddiq.
c. Fase Tajalli, adalah pengalaman Puncak yang dicari para pecinta Allah.
(
dimana fase ini telah jelaslah Allah dalam kehidupan jiwa, fase ini hasil
usaha dari fase pertama dan kedua. Meskipun dalam diri manusia
cenderung berbuat kejahatan, namun usaha yang pertama dan yang utama
adalah menjauhkan diri dari larangan Allah. Meninggalkan larangan-Nya
lebih berat dari pada mengerjakan perintah-Nya. Hal ini terjadi karena
pengaruh lingkungan. Untuk itu bagi orang tua agar mendidik anaknya
dengan baik mulai sedini mungkin.11
18
Dampak negatif yang paling berbahaya terhadap kehidupan manusia atas
kemajuan yang dialaminya, ditandai dengan adanya kecenderungan menganggap
bahwa satu-satunya yang dapat membahagiakan hidupnya adalah nilai materiil,
sehingga manusia terlampau mengejar materi, tanpa menghiraukan nilai-nilai
spiritual yang sebenarnya berfungsi untuk memelihara dan mengendalikan akhlaq
manusia.
Manusia pasti kehilangan kendali dan salah arah bila nilai-nilai spiritual
ditinggalkan, sehingga mudah terjerumus ke berbagai penyelewengan dan kerusakan
akhlaq, misalnya melakukan perampasan hak-hak orang lain, penyelewengan seks
dan pembunuhan. Nilai-nilai spiritual yang dimaksudkan dalam Islam adalah ajaran
agama yang berwujud perintah, larangan dan anjuran; yang kesemuanya berfungsi
untuk membina kepribadian manusia dalam kaitannya sebagai hamba Allah serta
anggota masyarakat. Mengejar nilai-nilai materi saja, tidak bisa dijadikan sarana
untuk mencapai kebahagiaan yang hakiki. Bahkan hanya menimbulkan bencana
yang hebat, karena orientasi hidup manusia semakin tidak mempedulikan
kepentingan orang lain, asalkan materi yang dikejar-kejarnya dapat dikuasainya,
akhirnya timbul persaingan hidup yang tidak sehat. Sementara manusia tidak
memerlukan lagi agama untuk mengendalikan segala perbuatannya, karena
dianggapnya tidak dapat digunakan untuk memecahkan persoalan hidupnya.
Persaingan hidup yang tidak sehat, menimbulkan sikap tamak (rakus), yang
sebenarnya merupakan salah satu wujud ketegangan jiwa (stres), sehingga Imam Al-
Ghazaly menyebutnya sebagai istilah min ‘alaamaati marodlilqolbi (sebagian gejala
penyakit jiwa); yang penanggulangannya tidak lain, kecuali menanamkan pada diri
kita sikap kesederhanaan dan perasaan kecukupan (al qonaa’ah). Dan besar
kemungkinan, orang yang terlalu mengejar nilai materi, membuat dirinya kikir (al
bukhlu) yang penanggulangannya tidak lain sikap pemurah (as-sakho’).
Imam Al-Ghazaly membagi tingkatan keburukan akhlaq menjadi empat
macam; yaitu :
1. Keburukan akhlaq yang timbul karena ketidaksanggupan seseorang
mengendalikan nafsunya, sehingga pelakunya disebut al-jaahil.
2. Perbuatan yang diketahui keburukannya, tetapi ia tidak bisa
meninggalkannya karena nafsunya sudah menguasai dirinya, sehingga
pelakunya disebut al-jaahiludl-dloollu.
19
3. Keburukan akhlaq yang dilakukan oleh seseorang, karena pengertian baik
baginya sudah kabur, sehingga perbuatan buruklah yang dianggapnya baik.
Maka pelakunya disebut al-jaahiludl-dloollulfaasiq.
4. Perbuatan buruk yang sangat berbahaya terhadap masyarakat pada
umumnya, sedangkan tidak terdapat tanda-tanda kesadaran bagi
pelakunya, kecuali hanya kekhawatiran akan menimbulkan pengorbanan
yang lebih hebat lagi. Orang yang melakukannya disebut al-jaahiludl-
dloollulfaasiqusy-syariir.
Menurut Al-Ghazaly, tingkatan keburukan akhlaq yang pertama, kedua dan
ketiga masih bisa dididik menjadi baik, kedua dan ketiga masih bisa dididik menjadi
baik; sedangkan tingkatan keempat, sama sekali tidak bisa dipulihkan kembali.
Karena itu, agama Islam membolehkannya untuk memberikan hukuman mati bagi
pelakunya, agar tidak meresahkan masyarakat umum. Sebab kalau dibiarkan hidup,
besar kemungkinannya akan melakukan lagi hal-hal yang mengorbankan orang
banyak. Disini hanya dikemukakan sebagian kecil keburukan akhlaq yang dilakukan
dengan menggunakan peralatan modern untuk mencapai maksud-maksud jahatnya;
antara lain penggunaan bahkan narkotika bagi remaja-remaja dan pembajakan di atas
pesawat bagi orang dewasa.
Begitu canggihnya peralatan yang digunakan dalam melakukan kejahatan,
membuat petugas keamanan tidak bisa menemukannya, akibatnya dapat menelan
banyak pengorbanan. Maka ukuran kesejahteraan dan kebahagiaan hidup, tidak
dapat dinilai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dimiliki
manusia, kecuali harus disertai dengan nilai-nilai spiritual (agama), yang di
dalamnya terdapat nilai-nilai akhlaq mulia.
Agama Islam tidak melarang manusia memiliki kemajuan disegala bidang
kehidupan, bahkan mewajibkannya, sebagai sarana untuk meningkatkan taraf
hidupnya. Hanya yang dilarang dalam agama, bila kemajuan itu, digunakan untuk
menghancurkan aqidah Islamiyah, dan mendatangkan bencana kehidupan makhluk
di bumi ini. Kalau kita kembali memperhatikan ayat-ayat akhlaq yang bertebaran
dalam Al-Qur’an beserta asbab nuzulnya, maka dapat diperoleh kesan bahwa betapa
hancurnya tatanan hidup masyarakat sebelum datangnya Islam. Kehancuran manusia
yang dihadapi oleh Islam sejak lahirnya, sama keadaannya dengan kehancuran
akhlaq bangsa Romawi dan Persia, yang terkenal dengan ketinggian kebudayaannya.
Lalu dapat lagi dijadikan tolok ukur bahwa ketinggian kebudayaan tidak memberi
20
jaminan untuk melakukan perbuatan yang manusiawi, kecuali kalau manusia itu
tetap melakukan petunjuk agamanya. Banyak sekali petunjuk dalam agama yang
dapat dijadikan sarana untuk memperbaiki akhlaq manusia; antara lain anjuran untuk
selalu bertaubat, bersabar, bersyukur, bertawakkal, mencintai orang lain,
mengasihani serta menolongnya. Anjuran-anjuran itu, sering didapatkan dalam ayat-
ayat akhlaq, sebagai nasehat bagi orang-orang yang sering melakukan perbuatan
buruk. Itu terbukti bahwa akhlaq buruk dapat dididik menjadi baik, kecuali tingkatan
akhlaq buruk yang keempat tadi. Karena itu, Imam Al-Ghazaly mengatakan: “
Seandainya akhlaq tidak bisa diubah, maka pasti tidak ada manfaatnya memberikan
pesan-pesan, nasehat-nasehat dan didikan “ (Al-Ghazaly, Ihyaa’ ‘Ulumiddin, Juz III-
hl. 54).
Secara normatif, pendidikan akhlaq sudah ada dalam Al-Qur’an dan Hadits,
tinggal kita merumuskannya secara operasional, sehingga dapat diterapkan pada
peserta didik; baik yang menyangkut perkembangan anak manusia, maupun tempat
dilaksanakannya pendidikan itu. (•than mas) - dinukil dari: Drs. Mahjuddin ,”Kuliah
Akhlaq-Tasawuf “, Kalam Mulia.
21
BAB II
KEBURUKAN AHKLAQ DAN DAMPAK NYA TERHADAP SEGALA ASPEK
KEHIDUPAN MANUSIA SERTA UPAYA MEMPERBAIKI NYA
22
Dari persoalan yang terjadi mengenai keburukan moral atau akhlak, penulis
menyimpulkan ada tiga hal yang melatar belakangi terjadinya keburukan akhlak,
diantaranya;
ُ( ال ِّر ْفقَةُ ال َّسيِّئَةPergaulan bebas yang buruk)
23
yang bebas dan buku bacaan dan tontonan yang buruk maka inilah yang menjadi
landasan terjadinya keburukan akhlak.13
Dari ketiga hal tersebut maka akan menimbulkan sifat-sifat yang buruk yang
tentu akan merusak peradaban manusia yaitu sifat Al-Akhlaku al- Madhmumah atau
perbuatan buruk terhadap Tuhan, sesama manusia dan makhluk makhluk yang lain.
Maka itu akan membuat suatu kehancuran akhlak dalam bermasyarakat dan
persaudaraan, bahkan itu akan membuat suatu kebinasaan dalam sebuah bangsa sepeti
yang dikatakan Syauqi Bey, bahwa
24
ibadah dan pemberian ilmu pengetahuan agama harus senantiasa ditekankan dari
semenjak usia dini agar menjadi kebiasaan dan menjadi sebuah akhlak yang baik.
25
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Yatim. (2007). Studi Akhlaq dalam Perspektif Al-Qur’an. Jakarta: Amzah.
Al Ghazali, Muhammad. (1995). Akhlak Seorang Muslim, terj. Abu Laila &
muhammad Tohir. Bandung: PT. Alma’arif.
Al Hasyimi, Abdul Mun’im. (2009). Akhlak Rasul Menurut Bukhari & Muslim.
Jakarta: Gema Insani.
Amin, Ahmad. (1983) Etika Ilmu dan Akhlaq. Jakarta: Pustaka Panji Mas.
Arifin, Achamd Choirul. (2015). Makalah Faktor Penyebab Pembentukan Akhlaq.
https://komunitasmahasiswaiais.weebly.com/makalah/makalah-faktor-penyebab-
pembentukan-akhlaq Diakses pada Jumat, 13 Desember 2019
Asmaran. (1994). Pengantar Studi Akhlaq. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Malik, Muhamad Rizki. (2006). Upaya – Upaya Penanggualangan akhlak buruk.
http://mahadaljamiah.uinjkt.ac.id/?p=959. Diakses pada Jumat, 13 Desember 2019
Mulyani, Sri. (2011). Kajian-kajian Ilmu Akhlak.
https://www.academia.edu/31066054/Kajian_Ilmu_Akhlak
Diakses pada Jumat, 13 Desember 2019
26
27