PENELITI :
ABSTRAKSI
Kampung Naga terletak di Desa Neglasari Kecamatan Salawu, Kabupaten
Tasikmalaya. Sebagai salah satu kampung tradisional yang ada di Indonesia,
Kampung Naga merupakan kampung yang bertahan dan memegang teguh warisan
budaya tradisional Sunda. Secara umum konsep dasar rancangan arsitektur
tradisional masayrakat Kampung Naga adalah menyatu dengan alam. Alam
merupakan sebuah potensi atau kekuatan yang mereka hormati dan dimanfaatkan
secara tepat di dalam kehidupan sehari-hari.
Dari analisa yang dilakukan, didapat hasil temuan penelitian sebagai berikut,
bahwa bentuk pola tata ruang kawasan permukiman Kampung Naga terbagi dalam
tiga kategorisasi kawasan yaitu: Kawasan Suci, suatu kawasan yang tidak boleh
dikunjungi sembarang orang; Kawasan Bersih, adalah tempat permukiman
masyarakat Kampung Naga; dan Kawasan Kotor, adalah daerah yang permukaan
tanahnya lebih rendah. Arsitektur Kampung Naga lahir dari pemahaman atas
konteks lingkungan alam dan sosial setempat. Pola tata ruang, proporsi dan hirarki
yang diterapkan dalam arsitektur Kampung Naga merupakan cerminan religi, filosofi
dan sikap hidup masyarakat Kampung Naga.
v
Margareta Maria Sudarwani, ST., MT.
Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Pandanaran Semarang
KATA PENGANTAR
Puji Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, buku Laporan Penelitian dengan
judul ‘Pola Tata Ruang Kawasan Permukiman Kampung Naga Tasikmalaya’
pada akhirnya dapat diselesaikan.
Diharapkan buku Laporan ini dapat bermanfaat bagi pengembangan dunia
arsitektur tradisional yang bertujuan untuk mempertahankan dan memegang teguh
warisan budaya tradisional dalam kesempatan ini tim penyusun buku laporan masih
menunggu masukan demi sempurnanya buku laporan tersebut.
Dengan segala keterbatasan baik waktu maupun kemampuan penulis dalam
menyusun penelitian ini, penyusun mengharapkan dan menerima segala kritik dan
saran yang bersifat membangun.
Akhir kata, penyusun mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak
yang telah banyak membantu hingga buku ini dapat diselesaikan. Dan penyusun
berharap agar penelitian ini dapat bermanfaat dan menjadi sumbangan pemikiran
dalam bidang Arsitektur.
Semarang, Januari 2016
Peneliti
Universitas Pandanaran
DAFTAR ISI
ABSTRAKSI.............................................................................................................................................i
KATA PENGANTAR.............................................................................................................................ii
DAFTAR ISI...........................................................................................................................................iii
DAFTAR TABEL...................................................................................................................................vi
DAFTAR GAMBAR.............................................................................................................................vii
BAB I PENDAHULUAN.....................................................................................................................1
1.1. LATAR BELAKANG.....................................................................................................................1
1.2. RUMUSAN MASALAH.................................................................................................................3
1.3. PERTANYAAN PENELITIAN (QUESTION RESSEARCH)..............................................3
1.4. SISTEMATIKA PEMBAHASAN..................................................................................................3
BAB VI SIMPULAN.............................................................................................................................88
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................................91
BIODATA PENELITI..........................................................................................................................92
LAMPIRAN.........................................................................................................................................103
POLA TATA RUANG KAWASAN PERMUKIMAN LAPORAN
KAMPUNG NAGA TASIKMALAYA
TAHUN 2016 PENELITIAN
DAFTAR TABEL
v
Margareta Maria Sudarwani, ST., MT.
Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Pandanaran Semarang
DAFTAR GAMBAR
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 2011 tentang
Perumahan dan Kawasan Pemukiman, disebutkan bahwa perumahan dan kawasan
permukiman diselenggarakan dengan berasaskan: kesejahteraan; keadilan dan
pemerataan; kenasionalan; keefisienan dan kemanfaatan; keterjangkauan dan
kemudahan; kemandirian dan kebersamaan; kemitraan; keserasian dan
keseimbangan; keterpaduan; kesehatan; kelestarian dan keberlanjutan; dan
keselamatan, keamanan, ketertiban, dan keteraturan. Perumahan dan kawasan
permukiman diselenggarakan untuk:
a. memberikan kepastian hukum dalam penyelenggaraan perumahan dan kawasan
permukiman;
b. mendukung penataan dan pengembangan wilayah serta penyebaran penduduk
yang proporsional melalui pertumbuhan lingkungan hunian dan kawasan
permukiman sesuai dengan tata ruang untuk mewujudkan keseimbangan
kepentingan, terutama bagi MBR;
c. meningkatkan daya guna dan hasil guna sumber daya alam bagi pembangunan
perumahan dengan tetap memperhatikan kelestarian fungsi lingkungan, baik di
kawasan perkotaan maupun kawasan perdesaan;
d. memberdayakan para pemangku kepentingan bidang pembangunan perumahan
dan kawasan permukiman;
e. menunjang pembangunan di bidang ekonomi, sosial, dan budaya; dan
f. menjamin terwujudnya rumah yang layak huni dan terjangkau dalam lingkungan
yang sehat, aman, serasi, teratur, terencana, terpadu, dan berkelanjutan.
1
Margareta Maria Sudarwani
Jurusan Arsitektur FT Universitas Pandanaran Semarang
Permukiman tradisional sering direpresentasikan sebagai tempat yang masih
memegang nilai-nilai adat dan budaya yang berhubungan dengan nilai kepercayaan
atau agama yang bersifat khusus atau unik pada suatu masyarakat tertentu yang
berakar dari tempat tertentu pula di luar determinasi sejarah (Sasongko 2005).
Keberadaan bangunan arsitektur tradisional tidak lepas dari faktor religi, baik secara
konsep, pelaksanaan pembangunannya maupun wujud bangunannya. Hal ini
disebabkan oleh cara pandang dan konsep masyarakat tradisional dalam
menempatkan bagian integral dari alam (bagian dari tata sistem kosmologi), yaitu
alam raya, besar (makroskopis) dan alam kecil (mikroskopis), yang diupayakan oleh
masyarakat tradisional adalah bagaimana agar kestabilan dan keseimbangan alam
tetap terjaga.
Kawasan permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung,
baik berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan, yang berfungsi sebagai
lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang
mendukung perikehidupan dan penghidupan. Berkembangnya kegiatan masyarakat
dalam kawasan permukiman, mengakibatkan perkembangan dan perubahan fisik
lingkungannya, sehingga pola perumahan dan kawasan permukiman menunjukkan
kebutuhan ruang yang mendukung kegiatannya. Dari latar belakang masalah
tersebut, penelitian ini mencoba untuk menggali lebih jauh tentang masalah-masalah
yang menyangkut pola tata ruang pemukiman tradisional, khususnya di Kampung
Naga Tasikmalaya, dan beberapa faktor yang mempengaruhi karakter pola tata
ruang, serta seberapa jauh pertumbuhan dan perkembangan kawasan ini dalam
mendukung kehidupan warganya.
1.2. RUMUSAN MASALAH
Berkaitan dengan berkembangnya kegiatan masyarakat dalam kawasan permukiman,
mengakibatkan perkembangan dan perubahan fisik lingkungannya, sehingga pola
perumahan dan kawasan permukiman menunjukkan kebutuhan ruang yang
mendukung kegiatannya, dan akan mempengaruhi pola ruang yang ada dalam
permukiman, baik dalam bentuk peruntukkan penggunaan ruang, kelompok ruang
serta pola ruang pemukiman yang ada.
Aspek nilai historis, kondisi geografis atau kondisi alam, menjadikan kawasan
permukiman nelayan memiliki pola tata ruang yang spesifik. Sebagai wujud fisik,
kawasan akan membentuk tipologi perumahan dan pola tatanan pemukiman. Dan
sebagai wujud budidaya, kawasan memiliki wilayah / bagian kawasan yang harus
direklamasi atau dikonservasi.
BAB I : PENDAHULUAN
Merupakan gambaran sekilas mengenai penelitian yang terdiri dari rumusan
permasalahan yang menimbulkan pertanyaan penelitian, lingkup pembahasan, dan
sistematika pembahasan.
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
Berisi tentang pengertian pola tata ruang, Teori Ruang (Space), Teori Tempat
(Place), Teori Urban Design, Teori Urban Structure, Teori Urban Ecology.
Aktivitas dan perilaku mayarakat terhadap Ruang Kampung Naga berkaitan erat
dengan "sejarah" (historic process) dari pertumbuhan kawasan. Proses pertumbuhan
dan perkembangan (growth and expand) ini mempengaruhi secara kuat mental image
dan individu atau komunitas Kampung Naga.
Semua aktifitas manusia pada hakekatnya dapat disesuaikan dengan lingkungan di
sekitarnya secara bertahap dan dinamis. Manusia dengan keterbatasan daya tahan
sistem psikofisiknya dapat menciptakan suatu lingkungan buatan sebagai perantara
antara komunitas manusia dengan lingkungan alamiah (natural world) dan
lingkungan manusia beradab (civilized society). Lingkungan buatan bersifat nyata
dan diciptakan berdasarkan pengalaman empiris manusia dengan lingkungannya,
baik secara spatial maupun temporal.
Aldo Rosi (1982) menyatakan bahwa aspek ekonomi merupakan faktor paling
menonjol yang mempengaruhi perubahan lingkungan fisik, karena faktor dominan
yang menentukan pertumbuhan lingkungan adalah kekuatan ekonomi. Josef
Priyotomo (1988) menyebutkan bahwa perkembangan dan perubahan yang terjadi
karena perkembangan konsepsi modern yang cenderung materialistis dan ragawi,
secara perlahan akan menggeser keseimbangan kosmis yang cenderung bersifat
spiritualistis, simbolis dan historis.
Activity Support sebagai salah satu aspek perancangan kawasan dan keberadaannya
tidak terlepas dari fungsi kegiatan publik yang mendominasi penggunaan fisik ruang
kawasan. Activity Support sebagai penghidup kegiatan kawasan, yang akhirnya
dapat memberikan citra visual yang spesifik. Dengan adanya activity support maka
kawasan tersebut lebih manusiawi karena kawasan tidak hanya dipandang dari segi
benda-benda mati tetapi lebih dipandang sebagai interkasi dengan kegiatan manusia.
Maka perlu diperhatikan dalam disain activity support adalah :
1. Koordinasi antar kegiatan dengan lingkungan binaan atau ruang-ruang yang
dirancang.
2. Adanya keragaman dan intensitas kegiatan yang dihadirkan pada ruang tertentu.
3. Bentuk kegiatan memperhatikan aspek kontekstual misalnya menjual barang-
barang yang khas atau tradisional, kesenian tradisional
4. Pengadaan fasilitas lingkungan berupa tempat-tempat duduk dari bahan lokal
yang memenuhi persyaratan desain dengan tujuan agar pemakai dapat menikmati
lingkungan yang ada disekitarnya.
Henry Lefebvre (1998) mengemukakan tentang ruang aktivitas, dimana setiap
lingkungan sosial dalam sejarahnya memiliki bentuk spasial, yaitu suatu ruang sosial
tersendiri yang merupakan jalinan antara aktivitas ekonomi dan sosial. Yang paling
menarik Lefebvre mengungkapkan adanya ruang sosial, yang memiliki skala sangat
berbeda. Ruang-ruang tersebut dimulai dari skala yang terkecil yaitu ruang
perumahan (individu), dan public space (umum).
Menurut Lefebvre yang dibutuhkan bukan semata-mata suatu ilmu tentang
ruang, namun lebih daripada teori dimana ruang diciptakan di dalam masyarakat dan
ruang merupakan proses pengerak aktivitas. Kontradiksi yang paling mendasar
dalam ruang ini adalah mengeksplorasi ruang bagi keuntungan dan kebutuhan.
Dengan kata lain, kontradiksi antara keuntungan dan kebutuhan ruang menyebabkan
ruang mempunyai nilai. Pembangunan pada saat ini karena keterbatasannya telah
mentransformasikan ruang ke dalam suatu komoditas kota. Ruang telah menjadi
instrumen dari suatu sistem dimana aktivitas berlangsung didalamnya.
Ruang terbuka (urban open space) berfungsi sebagai sarana sosial yang dipengaruhi
oleh elemen-elemen fisik arsitektur sehingga tujuan urban design adalah
menciptakan ruang publik sebagai tempat untuk bertemu dan berinteraksi.
Perwujudan ruang terbuka untuk masyarakat umum ditunjukkan dalam kawasan kota
juga dalam bangunan, dengan kata lain urban open space terbentuk akibat dari fasade
bangunan tertentu dan open space yang ada di dalam bangunan.
Pentingnya teori ini dalam spasial design adalah pemahaman tentang culture
dan karakteristik suatu daerah yang ada dan menjadi ciri khas untuk dipakai sebagai
salah satu pertimbangan dalam urban design agar penghuni (masyarakat) tidak
merasa asing tinggal di dalam lingkungannya. Arti ruang (space) baru dapat
dikatakan tempat (place) apabila ruang tersebut telah diberi makna kontekstual dari
nilai budaya suatu tempat. Sebagaimana setiap tempat mempunyai masa lalu (linkage
history), maka tempat itu juga akan berkembang pada masa berikutnya. Dan disini
dapat dikatakan bahwa perkembangan setiap tempat selalu diisi oleh prediksi dan
tujuan. Teori tempat ini memberikan pengertian semakin pentingnya nilai-nilai
social, budaya dengan kaitan sejarah di dalam suatu space kota. Roger Trancik
mengemukakan place theory adalah merupakan perpaduan antara manusia, budaya,
sejarah serta lingkungan alam. Inti teori place didasarkan pada pemahaman bahwa
place adalah perubahan dari bentuk fisik space setelah terintegrasi dengan karakter
budaya dan manusia. Setiap place adalah unik memuat karakter tertentu dari
lingkungannya. Karakter ini terdiri dari benda padat yang mengandung bahan
material, bentuk, warna, tekstur serta nilai-nilai cultural yang tidak tampak.
Masyarakat membutuhkan suatu pengaturan place yang relative stabil untuk
tumbuh berkembang bersama lingkungan sosial dan budayanya. Kebutuhan ini
menjadikan ruang memiliki nilai emosional, dan batas menjadi sangat penting untuk
mendukung nilai-nilai ini. Aspek karakteristik spesifik lingkungan menjadi indikator
yang sangat penting dalam menggali potensi, mengatur tingkat perubahan serta
mengupayakan kemungkinan pengembangan dalam mengantisipasi perkembangan
pada masa yang akan datang.
Secara teoritis suatu “Lingkungan” didefinisikan oleh Amos Rappaport,
sebagai suatu perpaduan yang bersifat struktural, bukan merupakan hasil acak.
Lingkungan merupakan hubungan saling ketergantungan yang menerus antara
elemen-elemen fisik dan manusia yang ada didalamnya, hubungan ini berjalan rapi
dan memiliki pola. Hubungan ini dalam lingkungan fisik membentuk spasial ruang,
yang merupakan bagian paling mendasar dimana manusia akan saling dihubungkan
di dalam ruang dan oleh ruang. Sedangkan “Ruang” adalah jantung lingkungan
terbangun, organisasi ruang merupakan aspek dasar dari lingkungan yang didesain
oleh bentuk, material dan sebagainya, sebagai contoh adalah pembagian ruang public
dan private.
Menurut Koentjaraningrat (1984), kebudayaan adalah sistem tata nilai dan
segala manifestasinya yang akan tercermin melalui gaya hidup masyarakatnya
melalui kehidupan keseharian. Sedangkan lingkungan merupakan perwujudan fisik
dari kebudayaan masyarakat.
Spiro Koztof (1991) mengatakan bahwa sebelumnya bentuk kota adalah
netral yang kemudian dipengaruhi oleh budaya yang spesifik didalamnya. Kota
terbentuk dari latar belakang yang memotivasi proses pembentukan kota, dapat
secara biological / alami dan adanya perkembangan dari pusat aktivitas serta
direncanakan secara khusus. Dalam perkembangan selanjutnya membentuk pola grid
yang memberikan akses berdasarkan unsur-unsur pembentuk kota.
Sedangkan Rapoport (1977) menyatakan bahwa suatu upaya mengamati
kebudayaan masyarakat adalah dengan melihat bentuk pilihan yang paling umum
dilakukan. Peraturan yang membuat suatu tempat terlihat berbeda dan nilai-nilai akan
berpengaruh pada cara berinteraksi dan mengatur ruang dan waktu. Fungsi pengatur
merupakan sumber dari peraturan yang ada, pandangan fungsi pengatur sangat terikat
dengan kompleksitas sosial budaya masyarakat dengan pengaruh kuat agama dan
aktivitas ekonomi yang merupakan asal-usul kota. Ketertiban karakter budaya
manusia dalam lingkungan fisik oleh beberapa pakar disebut dengan istilah place.
Norberg-Schulz (1988) mengemukakan tentang fenomena suatu place yang
merupakan keterpaduan dari bagian-bagian yang ada, sebagai suatu totalitas yang
terdiri dari substansi bentuk, tekstur, dan warna yang berpadu dengan ‘karakter
lingkungan’ dan merupakan inti place.
Menurut Leon Pastalan (1970) seperti dikutip oleh Lang (1987)
mendefinisikan teritori suatu area / ruang yang dipergunakan oleh perorangan atau
kelompok tertentu yang bersifat, ekslusif yang perlu dijaga / dipertahankan.
Substansi yang terliput dalam ruang lingkup ini adalah1 :
1. Hubungan fungsional dan perwujudan antara ruang dan massa bangunan dengan
bangunan-bangunan kota, antar massa bangunan, antara massa bangunan dan
jaringan pergerakan serta antara massa bangunan dan kawasan sekitar.
2. Penataan keserasian antara kehidupan masyarakat dengan lingkungan fisik serta
kegiatan usahanya.
3. Fungsi dan tampilan unsur-unsur penunjang kawasan fungsional serta
kelengkapan jalan, rambu-rambu dan petunjuk, papan reklame dan nama di
kawasan pusat kota, berbagai unsur tipikal kota.
4. Perletakan unsur-unsur dan struktur bernilai sejarah dan seni, movement dan
tengeran, ornament dan pewarnaan kota (city coloning).
5. Penataan keserasian fungsi dengan unsur-unsur jaringan pergerakan yaitu antara
kepentingan pejalan kaki, kendaraan bermotor dan kendaraan tidak bermotor.
6. Penataan keserasian jaringan utilitas kota, jalur-jalur pemeliharaan dan
pengaman.
7. Penataan keserasian penghijauan kota sebagai pengindah kota, sebagai unsur
preservasi atau unsur konservasi lingkungan.
1
Djoko Sujarto, Seminar Nasional Implementasi Perancangan Kota. Bandung. 1984
8. Penciptaan unsur-unsur baik alami maupun binaan yang akan menjadi identitas
kota.
Dolores Hayden dalam bukunya The Power of Place (1995) mengklaim
bahwa urban landscape menyimpan sejarah social perkotaan. Bahwa kebudayaan
setempat bersama arsitektur telah menciptakan sejarah sosial perkotaan, dalam hal ini
melibatkan unsur-unsur; sejarah, lansekap kebudayaan serta ruang produksi. Pola
perilaku manusia mencetak lingkungan alam, yang merupakan awal ceritera atau
place direncanakan, didesain, dibangun, ditinggali, disesuaikan, dirayakan,
dieksploitasi serta dibuang. Disini antara identitas budaya, sejarah sosial dan Urban
Desain saling menjalin. Untuk itu Hayden, melakukan pendekatan melalui unsure-
unsur sejarah social ruang perkotaan (urban space), estetika ruang kota (sense of
place), lansekap yang dipadukan dengan pendekatan politik (ruang dalam ilmu
social, geografi, ekonomi).
Untuk melihat kampung nelayan sebagai suatu place menurut Hayden dapat
dilakukan melalui pendekatan tiga unsur yaitu dari :
1. Sejarah sosial terjadinya ruang-ruang perkotaan, apa yang melatar belakangi
terciptanya, ruang-ruang komunal, public space.
2. Estetika ruang kota baik secara fisik maupun psikis, bagaimana sense of place,
getaran dan suasana yang tercipta di ruang keagamaan, dan di ruang-ruang
komunal (public space) sebagaimana posisinya dalam hirarki sosial.
3. Pendekatan sosial dan ekonomi yang pelaksanaannya telah memunculkan “ruang-
ruang produksi”.
Keterikatan manusia terhadap lingkungannya (place attachment) merupakan
proses psikologis, keterikatan place dapat mempengaruhi perilaku sosial, material,
ideology ikatan keluarga / keturunan dan komunitasnya, tanah milik, tanah sewa,
serta partisipasi dalam kehidupan sebagai penghuni dari komunitasnya.Keterikatan
ini merupakan parameter dalam mengukur kekuatan suatu place.
Place merupakan hasil leburan fisik bangunan dengan kegiatan penduduknya
(non fisik) yang telah membentuk suatu lingkungan tempat tinggal dengan kehidupan
sehari-hari yang tidak akan terjadi di tempat lain, kehidupannya telah menciptakan
validitas lingkungan. Sedangkan artefak dan perubahannya adalah hasil pengendapan
yang berlangsung secara terus menerus terhadap ruang dan waktu.
Menurut Kevin Lynch, suatu komunitas kecil yang bisa mengatur diri sendiri
(dengan kekuatan non fisiknya) memiliki peran yang penting di dalam kehidupan
komunitas yang lebih besar (kota). Namun tidak ada komunitas yang bisa mengatur
diri sendiri tanpa kondisi wilayah yang aman, kebebasan dan kondisi yang sehat.
Komunitas ini tidak hanya kebetulan rapi secara internal, tetapi mereka memiliki
kecakapan, pandangan hidupnya yang besar sehingga banyak kehidupan telah
diselesaikan dengan baik.
Teori ini menyatakan bahwa konsepsi urban design dari sistem pola struktur
ruang dasarnya adalah penciptaan jalan (street) dan ruang terbuka (open space)
seolah-olah dari cungkilan (carving out) dari sebuah masa yang sebelumnya solid.
Oleh karena ruang dibentuk langsung dari dalam konfigurasi bangunan.(Roger
Trancik).
Urban Design pada dasarnya merupakan perancangan fisik dan ruang suatu
kawasan termasuk mengenai aturan pengendaliannya yang ditujukan untuk
kepentingan umum. Lingkup perancangan urban yaitu merancang kawasan tanpa
merancang bangunan secara individual. Secara khusus, elemen-elemen pembentuk
Urban Design dibagi menurut Hamid Shirvani (1985, 6), sebagai berikut :
1. Tata Guna Lahan (Land Use) :
Tata guna lahan menentukan ruang tiga dimensi yang terbentuk. Tata guna lahan
perlu mempertimbangkan dua aspek yaitu : pertimbangan segi umum dan
pertimbangan akan aktivitas pejalan kaki yang akan mengakibatkan lingkungan
yang lebih manusiawi, maupun aktivitas yang menggunakan sarana perairan.
Yang menjadi penekanan utama adalah keserasian antar bangunan dengan kualitas
lingkungan.
2. Bentuk Dan Massa Bangunan (Building Form And Massing) :
3. Bentuk dan massa bangunan menyangkut aspek-aspek bentuk fisik karena setting
yang spesifik seperti ketinggian, besaran floor area ratio (FAR), koefisien dasar
bangunan, pemunduran bangunan dari garis jalan, style dan fasade bangunan,
skala, bahan, tekstur dan warna yang menghasilkan bangunan berhubungan secara
harmonis dengan bangunan lain di sekitarnya.
4. Sirkulasi Dan Parkir (Parking And Circulation) :
5. Sistem sirkulasi pada kawasan merupakan sarana pergerakan manusia dan barang
dari suatu tempat ke tempat lainnya, yang pada dasarnya sistem sirkulasi ini
merupakan media transportasi. Karena itu sistem pengaturan jalan hendaknya
bisa memberi pengalaman ruang dan waktu tertentu dan elemen jalan harus
didukung oleh elemen yang bermakna. Sehingga perancangan jalur sirkulasi
hendaknya memperhatikan prinsip berikut ini :
a. Menyediakan elemen-elemen ruang terbuka yang memiliki dampak visual
positif dengan cara menata elemen-elemen fisik dan mengatur pola jalan.
b. Memberi orientasi pada pengunjung sehingga kawasan mudah dikenali.
c. Mengkombinasikan sektor-sektor public dan private dengan selaras.
6. Ruang Terbuka (Open Space) :
Ruang terbuka terbentuk secara alami maupun secara organis yang dibatasi oleh
dinding-dinding bangunan. Selain membawa dampak visual, ruang terbuka dapat
menjadi area yang berfungsi sosial.
7. Aktifitas Pendukung (Activity Support) :
Activity Support sebagai salah satu aspek perancangan kawasan dan
keberadaannya tidak terlepas dari fungsi kegiatan publik yang mendominasi
penggunaan fisik ruang kawasan. Activity Support sebagai penghidup kegiatan
kawasan, yang akhirnya dapat memberikan citra visual yang spesifik. Dengan
adanya activity support maka kawasan tersebut lebih manusiawi karena kawasan
tidak hanya dipandang dari segi benda-benda mati tetapi lebih dipandang sebagai
interkasi dengan kegiatan manusia. Yang perlu diperhatikan dalam disain activity
support adalah :
a. Koordinasi antar kegiatan dengan lingkungan binaan atau ruang-ruang yang
dirancang.
b. Adanya keragaman dan intensitas kegiatan yang dihadirkan pada ruang
tertentu.
c. Bentuk kegiatan memperhatikan aspek kontekstual misalnya menjual barang-
barang yang khas atau tradisional, kesenian tradisional yang berkaitan dengan
hasil laut.
d. Pengadaan fasilitas lingkungan berupa tempat-tempat duduk dari bahan lokal
yang memenuhi persyaratan desain dengan tujuan agar pemakai dapat
menikmati lingkungan yang ada disekitarnya.
6. Jalur Pedestrian (Pedestrian Ways) :
Perancangan sirkulasi dapat juga ditunjukkan dengan adanya pedestrian yang
berarti suatu pergerakan atau perpindahan orang atau manusia dari suatu tempat
ke tempat lainnya dengan menggunakan moda jalan kaki. Apabila dilihat dari
kecepatannya, moda jalan kaki mempunyai kelebihan yaitu dengan kecepatan
rendah dirasa lebih menguntungkan karena dapat mengamati obyek di lingkungan
sekitarnya dan dapat mengamati obyek dengan lebih detil serta lebih mudah
menyadari lingkungannya.
7. Rambu-rambu Dan Penandaan (Signange) :
Rambu-rambu dan penandaan bukan hanya berupa iklan yang diperlukan untuk
entertainment atau komersial saja, tetapi juga difungsikan untuk memberikan
kejelasan dan eksistensi suatu kawasan.
8. Preservasi (Preservation) :
Dalam Urban Design, preservasi harus diarahkan pada perlindungan pemukiman
yang ada pada Urban Place, seperti bangunan bersejarah, tempat bersejarah dan
pemukiman bersejarah, dimana hal itu juga mempertahankan kegiatan yang
berlangsung pada kawasan itu.
Bentuk kota atau kawasan merupakan hasil proses budaya manusia dalam
menciptakan ruang kehidupannya sesuai kondisi site geografis dan terus berkembang
menurut proses sejarah yang mengikutinya. Menurut Spiro Koztof (1991) seperti
dijelaskan dalam The City Shaped menyatakan bahwa peran dan perkembangan
masyarakat sangat berpengaruh dalam suatu proses pembentukan kota sehingga
terbentuknya berbagai pola kota akan terus berkembang sebagai proses yang dinamis
dan berkesinambungan. Beberapa faktor yang mempengaruhi pembentukan pola
organik kota adalah
1. Topografi (The role of topography) : adalah pola suatu kota yang
mengikuti bentuk topografinya.
2. Pembagian Lahan (Land division): pola kota organik yang berasal dari
pembagian lahan dalam usaha pemanfaatannya yang seringkali mengikuti
keinginan masyarakatnya.
3. Synoecism : konsep pola kota yang bermula dari kegiatan masyarakat yang
beragam dan mengakibatkan terjadinya interaksi.
4. Hukum Dan Aturan Sosial(The law and social order) : merupakan suatu kota
yangtumbuh dan berkembang karena dipengaruhi oleh peranan dari penghuninya,
baik dari segi penataan dan pengendalian, yang semuanya disesuaikan dengan
perkembangan kota secara teratur.
Pada awalnya kota terbentuk secara spontan yang diatur oleh pendapat
masyarakat secara umum dan dipengaruhi adat istiadat, kepercayaan dan agama
sesuai kondisi alamiah. Berkembangnya masyarakat menuntut kota yang lebih
mudah dan terarah pengorganisasiannya melalui pola Grid. Sehingga faktor alam dan
faktor aspirasi masyarakat menjadikan pola kota berkembang secara lebih terarah
dan teratur.
Konsep kota selanjutnya berkembang karena adanya tuntutan untuk
membentuk suatu kota yang terencana (planned city) yang dapat mengatur kehidupan
masyarakat yang semakin kompleks namun tetap tidak terlepas dari budaya dan
kehidupan masyarakat itu sendiri.
Dampak ekologis merupakan salah satu efek buruk yang sangat mahal
nilainya. Hal ini akibat dari pembangunan yang tidak memperhatikan lingkungan
alam maupun buatan. Keterkaitan fungsi kawasan akan ditunjukkan melalui fungsi
penunjang sarana transportasi dan kondisi lingkungan yang masih alami, dimana
pendekatannya dilakukan melalui preservasi lingkungan (lingkungan sosial, ekonomi
dan fisik lingkungan) dengan konsep “Planning with Nature, Design with Nature /
Penataan berdasarkan Alam, Desain berdasarkan Alam.” Preservasi disini bukan
diartikan sebagai proteksi melainkan sebagai upaya untuk mengintegrasikan potensi
alam ke dalam perencanaan. Dan dalam hal ini konteks terhadap lingkungan menjadi
salah satu hal yang ditekankan, bukan hanya lingkungan alam tetapi termasuk
lingkungan aktivitas social budaya masyarakat dan lingkungan ekonomi masyarakat
dan perkotaan (Roger Trancik, 1986).
Pengembangan kawasan / wilayah tidak terlalu jelas ditekankan dalam
kerangka acuan kerja. Padahal instrument ini sangat penting untuk memberikan
arahan secara konkret, karena pada skala area ia adalah sebuah disiplin yang
merupakan superimpose dari perencanaan (Planning) dan arsitektur dan engineering
dimana konsep-konsep kualitas lingkungan bisa direalisasikan, seperti : pedestrian
environment, linkage cultural terhadap sosial budaya masyarakat yang dapat menjadi
potensi wisata dan sebagainya.
Menurut Prof. Ir. Eko Budihardjo, MSc, perencanaan tata ruang berlandaskan
pendekatan system tidak sekedar berkutat seputar rencana fisik spasial dan visual
saja melainkan juga mencakup perencanaan sumber daya dan perencanaan komunitas
sosial. Hal ini dapat digambarkan berikut :
PERENCANAAN KOMUNITAS PERENCANAAN SBR DAYA
Ideologi Manusia
Politik - Alam
Ekonomi Keuangan
- Sosial Budaya Teknologi
Disebutkan juga bahwa pada era pembangunan atau pasca kemerdekaan, proses pembentukan kota
mengikuti kebudayaan (Humanisme elemen pembentuk) yang lebih kompleks dan dapat digambarkan sebagai
berikut :
KOTA
Seni Religi
2
Amos Rapoport. Memandang/mengkonsepkan aliran pembentukan tata ruang berangkat dari
hubungan antar budaya, perilaku sistem aktivitas pembentuk lingkungan dan akhirnya membentuk
sistem setting yang disebut sebagai tata ruang : 1977
BUDAYA PANDGN NILAI ACTIVITY SISTEM SISTEM
HIDUP ACTIVTY SETTING
pandgn hidup, Pilihan ideal. prioritas ber Aktivitas serta kegiatan. wadah kegia
nilai- nilai dan – alokasi –
Gambar 2.3. Kerangka Hubungan Budaya, Aktivitas, Sistem Aktivitas Dan Sistem Setting (Amos Rapoport, 1977)
MAIN ACTIVITY
SPACE SECONDARY STRUCTURE
MAIN CORE
STRUCTURE ZONE
2. Behavior setting
Behavior setting diartikan secara sederhana sebagai interaksi antara suatu
kegiatan dengan tempat yang spesifik. Dengan kata lain keterikatan aktivitas
nelayan mulai dari merapat ke dermaga, melakukan pelelangan ikan,
pembersihan jala dan akhirnya masuk ke rumah sampai dengan adanya kegiatan
ekonomi pendukung seperti pengasinan, pengasapan dan sebagainya memerlukan
ruang yang spesifik. Dalam kaitan dengan sistem setting, behavior setting
memiliki kaitan dalam hal analisa perilaku melalui identifikasi aktivitas-aktivitas
perilaku yang secara konstan atau berkala dilakukan pada suatu tempat tertentu.
3. Environmental Perception
Persepsi lingkungan atau environmental perception dipandang Rapoport3 sangat
penting karena kondisi persepsi ini akan membedakan tanggapan terhadap
perilaku dan sistem setting permukiman nelayan. Dalam konteks perancangan
lingkungan, Rapoport menekankan isu mengenai persepsi lingkungan
menyangkut aspek emic dan etic, yang juga merupakan hasil studi secara
antropologis. Emic menggambarkan suatu lingkungan dipersepsikan sendiri oleh
kelompok dalam sistem tersebut, sementara etic adalah pengamat luar yang
mempersepsikan lingkungan yang sama. Masalah emic dan etic ini menjadi
penting karena subyektif akan timbul terhadap komponen-komponen spasial dan
perilaku setting.
4. Mapping Model
Merupakan salah satu metoda analisis yang akan digunakan untuk melihat
pokok orientasi pola tata ruang sebagai respon dari adanya struktur lingkungan.
Pada model ini digunakan pemetaan yang bertolak pada place centered dan
person centered. Model pemetaan4 dilakukan untuk mendapatkan fenomena
yang berkait’ dengan sistem spasialnya. Secara spesifik model ini akan
menunjukkan perilaku dalam peta, identifikasi jenis perilaku dan kaitan antar
perilaku dalam sistem yang spesifik. Jenis-jenis perilaku yang dapat dipetakan
adalah pola perjalanan (trip pattern) perilaku konsumtif (consumptive behavior),
kegiatan rumah tangga (household activities), hubungan ketetanggaan
(neighbourhood)
3
Rapoport memandang persepsi lingkungan adalah interpertasi tentang suatu setting lingkungan
didasarkan oleh latar belakang budaya, nalar dan pengalaman sehingga dimungkinkan adanya
perbedaan persepsi. Dan oleh Rapoport pula secara antropologi persepsi tentang lingkungan dilakukan
dalam kaitan aspek emic (internal perception) dan etic (external perception).
4
Model pemetaan ini merujuk dari model analisa tentang lingkungan dan perilaku yang dilakukan
oleh Somer; digunakan sebagai behavior mapping dengan menggunakan media peta untuk
mengidentifikasi perilaku, jenis dan kaitan antar perilaku dalam suatu sistem.
dan penggunaan sarana prasarana lingkungan.5 Pemetaan dilakukan melalui
Place-centered Mapping dan Person-centered Mapping yang akan dijelaskan
sebagai berikut :
a. Place-centered mapping dilakukan untuk mengetahui kelomopk manusia mengakomodasikan
perilakunya dalam suatu situasi waktu dan tempat tertentu. Pada model ini pemetaan dilakukan untuk
mendapatkan orientasi setting bertolak dari intensitas spasial.
b. Person-centered mapping dilakukan untuk mengetahui pergerakan kelompok manusia pada
beberapa tempat atau lokasi.
Skala sistem ruang mengarah pada penjenjangan beberapa sistem yang secara
bersamaan mempengaruhi pola perilaku dari sistem dasar, dengan penjenjangan
bertolak dari latar belakang ekonomi, teknologi, sosial, budaya dan sebagainya. Di
sini dikenal istilah : Home Range. Home range diartikan sebagai batas-batas umum
pergerakan berkala penduduk terhadap beberapa setting, mencakup pula hubungan
atau jaringan setting, yaitu :
1. Territory diartikan sebagai satu area yang secara spesifik dimiliki atau
dipertahankan baik secara fisik maupun non fisik (aturan, norma dan
sebagainya) berupa bangunan yang bercirikan nelayan dan tradisi atau
budaya sedekah laut dan bersih desa.
2. Jurisdiction memiliki pengertian sebagai area yang dikuasai atau
dikendalikan secara temporer berdasarkan kepentingan tertentu
berupa bangunan yang digunakan untuk kegiatan dan waktu yang
tertentu.
3. Personal Distance / Space jarak atau area terbatas dengan pengertian adanya
inversi akan menyebabkan keterbatasan atau menjadi terganggu dan area ini
bergantung dengan konteks setting yang ada.
Gradasi pola keruangan bertolak dari adanya perkembangan tipologi ke
morfologi dengan melihat tingkatan peruntukan ruang yang bergeser dari ruang
private ke ruang public.
5
Pemetaan komponen tersebut dilakukan melalui sketsa dasar area atau setting yang diamati dan
definisi yang jelas tentang bentuk-bentuk perilaku yang diamati.
2.2.8 TEORI CITRA KAWASAN DAN KUALITAS FISIK LINGKUNGAN
Elemen fisik kawasan adalah elemen menonjol yang dapat berperan sebagai
pedoman bagi pengamat di suatu kawasan. Dalam upaya memberi arahan yang jelas
maka elemen tersebut haruslah menciptakan orientasi dan susunan yang dirancang
dengan baik. Sebab untuk dapat mengenali kawasan dalam kota biasanya menunjuk
pada bentukan-bentukan fisik yang ada, terutama kawasan historis maupun kawasan
khusus yang mempunyai karakteristik tertentu seperti kawasan kawasan
permukiman.
Menurut Kevin Lynch (1960) citra suatu kawasan dapat dikenali dari:
1. Path, yaitu berupa suatu ruang yang dapat memberi keleluasaan gerak, dapat
berupa jalan kendaraan dan pejalan kaki, saluran air, sungai, rel kereta api
dan sebagainya. Dalam penataan suatu kawasan, path merupakan bagian yang
penting sebab citra kawasan dapat terbentuk ketika seseorang berjalan
melalui path ini.
2. Edge, merupakan batas antara dua daerah yang berbeda karakter fisiknya.
Edge ini sebagai daerah peralihan atau zona transisi.
3. District, yaitu kawasan dalam suatu kota yang mempunyai karakter khusus
dan yang mudah dikenal sehingga secara psikologis merasakan berada di
daerah tertentu.
4. Node, merupakan simpul atau tempat tertentu dalam kawasan dan secara
intensif merupakan titik acuan yang kuat dari dan ke arah perjalanan yang
ditempuh. Simpul tersebut dapat berupa persimpangan jalan, path yang
memusat, pusat konsentrasi dari beberapa karakter fisik atau kegiatan yang
mencirikan suatu kawasan.
5. Landmark, merupakan obyek fisik yang dapat dikenali karena bentuknya
yang jelas, menonjol atau kontras dengan lingkungannya sehingga mampu
menarik perhatian.
Perancangan kota merupakan bagian dari proses perencanaan dalam bentuk
rancangan yang berkaitan dengan kualitas fisik dan spasial suatu lingkungan, salah
satunya yaitu mengenai kualitas visual. Kualitas visual mencakup aspek kualitas
estetika seperti proporsi, komposisi pola dan tatanan, imageability, yaitu kualitas
yang berkaitan dengan image terhadap sistem visual serta elemen pembeda dalam
suatu pemandangan. Faktor utama yang berpengaruh pada kualitas fisik kota secara
visual yaitu bentuk yang terlihat melalui pengaturan masing-masing bangunan dan
kaitannya satu sama lain melalui deretan, skala, proporsi dan hirarki.
Kondisi visual kota juga erat kaitannya dengan fenomena psikologis yaitu
fenomena yang berkaitan dengan tampilan fisik yang dapat menimbulkan suatu rasa
yang bersifat emosi dan fenomena fisik yaitu yang berkaitan dengan penataan dan
pengaturan lingkungan serta korelasi visual yang berkaitan dengan memberi estetika
yang didapat melalui pemandangan secara keseluruhan yang berupa suatu pandangan
berseri atau serial viston.
Menurut Kevin Lynch, kualitas yang diberikan secara visual pada suatu
kawasan dapat menimbulkan image yang kuat terhadap kawasan, kualitas ini
dinamakan sebagai kemampuan mendatangkan kesan / imageability. Imageability
sangat erat berkaitan dengan kejelasan atau kemampuan dibaca (legability) suatu
kawasan. Image suatu kawasan berkaitan dengan tiga komponen yaitu :
1. Identitas, yaitu ciri pola hubungan yang dapat membedakan dengan obyek
lain.
2. Struktur, yaitu mencakup pola hubungan antara obyek dengan pengamat dan
obyek dengan obyek lain dalam suatu kawasan.
3. Makna, yaitu arti yang diberikan oleh obyek lingkungan terhadap
pengamatan.
BAB 3
MAKSUD,TUJUAN,
SASARAN DAN
MANFAAT PENELITIAN
Di dalam Kampung Naga yang luasnya sekitar 1,5 hektar ini, terdapat 112 bangunan
(awalnya 11 kemudian ditambah 1 bangunan lagi karena ada warga yang tadinya
tinggal di luar, kembali lagi dan menetap di kampung ini), dengan rincian 4
bangunan khusus dan 110 bangunan permukiman. Tatanan masa di Kampung Naga
membentuk pola linier yang dibentuk berdasarkan ketinggian kontur.
Dimana pola Kampung Naga mengelompok yang disesuaikan dengan keadaan tanah
yang ada dengan sebuah lahan kosong (lapang) di tengah-tengah kampung. Pola
perkampungan seperti Kampung Naga bisa jadi merupakan prototype dari pola
perkampungan masyarakat Sunda, walaupun di sana sini terjadi perubahan.
Gambar 5.3. Pola Perumahan di Kampung Naga
Adanya kolam, leuit, pancuran, saung lisung, rumah kuncen, bale, rumah suci, dan
sebagainya, menunjukkan 41irri-ciri pola perkampungan Sunda.
Bentuk rumah masyarakat Kampung Naga adalah rumah panggung, dimana bahan
rumah dari bahan bambu dan kayu. Dimana dalam membangun rumah, masyarakat
Kampung Naga tetap mengikuti adat istiadat setempat. Atap rumah harus dari daun
nipah, ijuk, atau alang-alang, dan bahkan lantai rumah harus terbuat dari bambu atau
papan kayu. Rumah pun dalam tradisi Kampung Naga lebih menghadap kesebelah
utara atau ke sebelah selatan dengan memanjang kearah Barat-Timur. Dinding rumah
juga berasal dari bilik atau anyaman bambu dengan anyaman sasag, tidak boleh
menggunakan tembok, walaupun mampu membuat rumah tembok. Bahkan rumah
juga tidak boleh dicat, kecuali dikapur atau dimeni.
Rumah tidak boleh dilengkapi dengan perabotan, misalnya kursi,
meja, dan tempat tidur. Rumah tidak boleh mempunyai daun pintu di dua arah
berlawanan. Karena menurut anggapan masyarakat Kampung Naga, rizki yang
masuk kedalam rumah melaui pintu depan tidak akan keluar melalui pintu belakang.
Untuk itu dalam memasang daun pintu, mereka selalu menghindari memasang daun
pintu yang sejajar dalam satu garis lurus.
Gambar 5.7. Rumah Yang Berdekatan Antara Satu Dengan Yang Lain
5.4. POLA TATA RUANG KAWASAN PERMUKIMAN
Pola tata ruang kawasan pemukiman Kampung Naga merupakan pola mengelompok
yang disesuaikan dengan keadaan tanah yang ada dengan sebuah lahan kosong
(lapang) di tengah-tengah kampung. Pola perkampungan seperti Kampung Naga bisa
jadi merupakan prototype dari pola perkampungan masyarakat Sunda, walaupun di
sana sini terjadi perubahan. Adanya kolam, leuit, pancuran, saung lisung, rumah
kuncen, bale, rumah suci, dan sebagainya, menunjukkan ciri-ciri polaperkampungan
Sunda. Demikian juga bentuk rumahnya. Jika dicermati dengan seksama, masyarakat
Kampung Naga membagi peruntukan lahan ke dalam tiga kawasan, yaitu:
Kawasan suci adalah sebuah bukit kecil di sebelah barat pemukiman yang disebut
Bukit Naga. Dimana kawasan suci ini dibagi menjadi 2 yaitu, Hutan dan Perkuburan
masyarakat Kampung Naga.
Hutan
Kawasan bersih bisa diartikan sebagai kawasan bebas dari benda-benda yang dapat
mengotori kampung. Baik dari sampah rumah tangga maupun kotoran hewan, seperti
kambing,sapi atau kerbau, terutama anjing. Kawasan ini berada dalam areal pagar
kandang jaga. Di dalam kawasan bersih, selain rumah, juga sebagai kawasan tempat
berdirinya Bumi Ageung, Masjid, Leuit, dan Patemon.
Bumi Ageung
Bumi Ageung (rumah besar), mempunyai ukuran yang lebih kecil dibandingkan
dengan perumahan warga, akan tetapi memiliki fungsi dan arti yang sangat besar.
Bangunan ini memiliki sifat sakral, karena dijadikan tempat penyimpanan benda-
benda pusaka dan dijadikan tempat tinggal tokoh yang palingtua usianya diantara
warga Kampung Naga lainnya, yang dianggap keturunan paling dekat leluhur
mereka. Rumah sakral ini terletak pada teras kedua dari bawah. Bangunan ini sangat
sunyi dan berpagar tinggi terbuat dari bambu dandirangkap dengan pagar hidup dari
hanjuang.
Rumah Warga
Rumah yang berada dikampung naga jumlahnya tidak boleh lebih ataupun kurang
dari 110 bangunan secara turun temurun, dan sisanya adalah masjid, leuit (lumbung
padi) dan patemon (balai pertemuan). Apabila terjadi perkawinan dan ingin memiliki
rumah tangga sendiri, maka telah tersedia areal untuk membangun rumah di luar
perkampungan Kampung Naga Dalam yang biasa disebut Kampung Naga Luar.
Seperti yang sudah dijelaskan diatas, jumlah bangunan rumah tidak boleh lebih dari
112 . dengan luas rumah rata-rata 7x8 meter, dengan menghadap arah Utara dan
Selatan. Kampung ini menolak aliran listrik dari pemerintah, karenasemua bangunan
penduduk menggunakan bahan kayu dan injuk yang mudah terbakar dan mereka
khawatir akan terjadi kebakaran.
Pemangku adatpun memandang masyarakat Kampung Naga tidak dilengkapi
dengan meja dan kursi. Tepas imah sekaligus berfungsi sebagai filter yang
menyaring berbagai kemungkinan pengaruh buruk yang akan masuk kedalam rumah.
Oleh karena itu, tepas imah juga dilengkapi dengan penolak bala yang terbuat dari
ketupat yang diisi beras dan di doa oleh bapak lebe pada saat bulan Muharam diganti
setahunsekali.Ini dipercaya oleh masyarakat Kampung Naga sebagai penolak bala
yang menjaga seluruh penghuni rumah.Setahun sekali, setiap bulan Muharram. Letak
pintu depan tempat menggantung penolak bala tersebut tidak boleh sejajar dengan
pintu belakan atau pintu dapur. Rumah dengan posisi pintu yangseperti itu dipercaya
masyarakat tidak akan membawa keberuntungan. Selain itu,mereka juga
mempercayai bahwa posisi pintu tempat menggantung tangtangangin yang sejajar
dengan pintu belakang akan membawa kesulitan ekonomi bagi pemiliknya, karena
rezeki yang datang dari pintu depan akan langsung keluar melalui pintu belakang
tanpa sempat mampir di dalam rumah tersebut.
Tengah Imah
Tengah imah merupakan bagian tengah dari rumah masyarakat Kampung Naga.
Sebagai ruang tengah, tengah imah berfungsi sebagai ruang tempat keluarga
berkumpul.Bagi mereka yang memiliki anak, ruang tersebut berfungsisekaligus
sebagai ruang belajar bagi mereka. Namun karena rumah masyarakat Kampung Naga
rata-rata berukuran 6x8meter, pada malam hari tengah imah sering dijadikan tempat
tidur untuk anak-anak, atau sanak keluarga yang menginap.Walau demikian, antara
tengah imah dengan tepas imah tidak memiliki pembatas. Sehingga jika dirasa
masih kekurangan tempat, tepas imah biasa juga dijadikan tempat untuk tidur.
Pangkeng
Pangkeng artinya ruangan tempat tidur. Untuk mereka ya n g me mil ik i rumah
lebih besar, biasanya memiliki dua pangkeng. Tetapi karena rata-rata
luas bangunannya terbatas, kebanyakan rumah di Kampung Naga hanya memiliki
satu pangkeng.
Kolong Imah
Kolong imah berada di antara permukaan tanah dengan bagian bawah lantai rumah.
Tingginya kurang lebih 60 sentimeter. Kolong imah biasanya dijadikan sebagai
tempat penyimpanan alat-alat pertanian, atau bisa juga dipakaisebagai
tempat memelihara ternak seperti ayam, itik dan sebagainya.
Angklung
Jenis kesenian masyarakat Kampung Naga lainnya adalah angklung. Seperangkat
angklung yang dimiliki masyarakat Kampung Naga terdiri dari empat buah dengan
ukuran yang berbeda. Bentuknya hampir sama dengan umumnya instrumen angklung
di daerah lainnya. Cara memainkannya dilakukan dengan menggoyang-goyang
instrumen musik bambu tersebut.
55
Margareta Maria Sudarwani Jurusan Arsitektur FT Universitas Pandanaran Semarang
POLA TATA RUANG KAWASAN PERMUKIMAN
KAMPUNG NAGA TASIKMALAYA
LAPORAN
TAHUN 2016 PENELITIAN
Terebang Sejat
Terebang sejat merupakan alat musik yang dimainkan oleh 6 orang dan dilaksanakan
pada waktu upacara pernikahan atau khitanan massal.
Hajat Sasih
Pada dasarnya, upacara Hajat Sasih adalah sebuah upacara berupa ziarah dan
pembersihan makam leluhur yang rutin dilakukan oleh masyarakat Kampung Naga
pada waktu-waktu tertentu. Sebelumnya pelaksanaan, para peserta upacara harus
melaksanakan beberapa tahap upacara. Diantaranya, mereka diwajibkan mandi dan
membersihkan diri dari segala kotoran di sungai Ciwulan.
Hajat Sasih merupakan titik puncak dari rasa tunduk dan patuh kepada leluhur
mereka. Masyarakat Kampung Naga mengaku berasal dari cikal bakal atau nenek
moyang yang sama, yaitu seorang tokoh yang dikenal dengan nama Sembah Dalem
Eyang Singaparana. Tokoh inilah yang menurunkan tata kehidupan dan tata kelakuan
56
Margareta Maria Sudarwani
Jurusan Arsitektur FT Universitas Pandanaran Semarang
yang sampai saat ini dianut dan dilaksanakan oleh seluruh warga masyarakat
Kampung Naga atau disebut juga Seuweu Putu Naga. (M. Ahman Sya dan Awan
Mutakin, Masyarakat Kampung Naga Tasikmalaya, hal. 58).
Upacara ini dilaksanakan rutin tiap waktu-waktu tertentu yang telah ditetapkan di
dalam kalender Islam, yaitu: tanggal 26, 27, 28 Muharam (Muharram); tanggal 12,
13, 14 Mulud (Rabiul Awal); tanggal 16, 17, 18 Rewah (Sya'ban); tanggal 14, 15, 16
Syawal (Syawal); tanggal 10, 11, 12 Rayagung (Dzulkaidah). Hajat Sasih hanya
boleh diikuti oleh kaum pria dengan dipimpin oleh Kuncen Kampung Naga, acara ini
dimulai sejak pagi hari, tepatnya sejak pukul 09.00 WIB dan berakhir menjelang
shalat dzuhur.
Dalam satu tahun, enam kali ritual dilaksanakan. Tiga hari dalam setiap bulan diatas
dimaksudkan sebagai alternatif. Mereka dapat memilih berdasarkan waktu yang lebih
memungkinkan untuk melaksakannya. Hajat Sasih tidak boleh dilaksanakan
bersamaan dengan ritual Menyepi, pada setiap hari selasa, rabu dan sabtu. Oleh
karena itu, disediakan alternatif sehingga masyarakat Kampung Naga melaksanakan
salah satu ritual dengan tidak melanggar ritual adat yang lainnya.
Pemilihan tanggal dan bulan untuk pelaksanaan upacara Hajat Sasih sengaja
dilakukan bertepatan dengan hari-hari besar agama Islam. Penyesuaian waktu
tersebut bertujuan agar keduanya dapat dilaksanakan sekaligus, sehingga ketentuan
adat dan akidah agama islam dapat dijalankan secara harmonis.
Secara garis besar ritual Hajat Sasih merupakan titah langsung dari Sembah Dalem
Eyang Singaparana. Sembah Dalem menuliskan segala aturan mengenai ritual ini.
Hal ini dimaksudkan agar anak cucu keturunannya bisa mengingat dan senantiasa
melaksanakan ritual tersebut. Selain itu, tatacara pelaksanaan ritual dituliskan agar
tidak terjadi pelanggaran atau penyelewengan ajaran adat yang diajarkan olehnya.
Tidak diketahui sejak kapan ritual ini dilaksanakan akan tetapi masyarakat Kampung
Naga meyakini bahwa ritual ini telah berlaku selama ratusan tahun sejak
meninggalnya Sembah Dalem Eyang Singaparana. (Her Suganda, Kampung Naga
Mempertahankan Tradisi).
Secara khusus, hal tersebut (Hajat Sasih) bagi masyarakat Kampung Naga
merupakan pengendali dan pengatur dalam kehidupan mereka. (Henhen Suhenri,
Wakil Kuncen Kampung Naga, Wawancara, Tasikmalaya, 03 Agustus 2007)
Mengenai ketaatan mereka kepada pemerintah, mereka merujuk kepada falsafah
“Tatali kumawulang ka agama jeung darigama, saur sepuh aya tilu, panyaur gancang
temonan, parentah gancang lampahan pamundut gancang caosan, upami teu udur ti
agama jeung darigama. Pamarentah lain lawaneun tapi taateun salila teu udur ti
agama jeung darigama” (Ada tiga hal yang dikatakan oleh orang tua dahulu
mengenai aturan dalam mengabdi kepada agama yaitu: panggilan cepat datangi,
perintah cepat laksanakan, dan permintaan cepat penuhi.
Selesai mandi mereka berwudhu di tempat itu juga, kemudian setelah itu mereka
mengenakan pakaian adat. Pakaian adat ini memiliki empat unsur yang dapat
dibedakan secara jelas dibandingkan dengan masyarakat umumnya. Diantaranya
adalah baju kampret (mirip jubah) berwarna putih atau hitam, totopong atau ikat
kepala dari kain batik, sarung poleng (pelekat) atau calana komprang (mirip dengan
celana kolor panjang), berwarna putih, biru atau hitam. Bentuk pakaian yang dipakai
ketika Hajat Sasih menyerupai jubah berlengan panjang. Jubah tersebut mirip dengan
jubah yang dipakai oleh mayarakat Arab, hanya saja jubah Kampung Naga tidak
memiliki kancing. Untuk merapatkannya, dalam jubah tersebut terdapat seutas tali
dari kain. Sebagian besar warna pakaian tersebut adalah putih. Selain itu, mereka
juga menggunakan tutup kepala yang disebut totopong, atau iket khas masyarakat
Kampung Naga. Mereka juga memakai sarung poleng tanpa celana dalam, tanpa alas
kaki dan tanpa perhiasan apapun.
Selesai mandi kemudian berwudhu dan mengenakan pakaian upacara, mereka tidak
langsung menuju ke mesjid, melainkan ke Bumi Ageung. Di Bumi Ageung ini
mereka menyiapkan lamareun dan parukuyan untuk nanti di bawa ke makam untuk
berdoa. Selesai berdoa di makam, para peserta secara bergiliran bersalaman dengan
kuncen di masjid. Mereka menghampiri kuncen dengan cara berjalan agak
membungkuk dan menunduk, Hal ini dilakukan sebagai tanda penghormatan dan
merendahkan diri, karena Masjid merupakan tempat beribadah dan suci bagi
masyarakat Kampung Naga. Setelah itu masing-masing peserta mengambil sapu lidi
(nantinya akan digunakan para peserta ritual untuk membersihkan makam) yang
telah tersedia di masjid dan duduk sambil memegangnya. Setelah semua siap, mereka
kemudian keluar. Lebe membawa lamareun dan punduh membawa parupuyan
menuju makam.
Kuncen, Lebe dan Punduh satu persatu keluar Masjid dan diikuti oleh para peserta
yang ada di dalam. Mereka berjalan rapi secara beriringan sambil membawa sapu
lidi. Sesaimpainya di pintu gerbang makam (yang ditandai oleh batu besar), masing-
masing peserta menundukan kepala sebagai penghormatan kepada makam Sembah
Dalem Eyang Singaparana. (M. Ahman Sya dan Awan Mutakin, Masyarakat
Kampung Naga Tasikmalaya). Selesai membersihkan tempat tersebut, semua orang
yang masuk kembali keluar melalui tangga yang telah disiapkan. Terakhir, wakil
Kuncen kembali melakukan unjuk-unjuk dan berdo’a. Selesai itu, barulah dia keluar.
Karena tidak semua peserta ritual mengikuti ritual ini, mereka yang ikut
membersihkan tempat tersebut lalu menuju sungai Ciwulan dan membersihkan sapu
lidi yang mereka bawa disana. Barulah mereka menuju Masjid dan menunggu
kehadiran Kuncen disana
Gambar 5.24. para wanita yang sedang membawakan tumpeng pada upacara hajat sasih
Perkawinan
Upacara perkawinan bagi masyarakat Kampung Naga adalah upacara yang dilakukan
setelah selesainya akad nikah. Adapun tahap-tahap upacara tersebut antara lain ialah
upacara sawer, nincak endog (menginjak telur), buka pintu, ngariung (berkumpul),
ngampar (berhamparan), dan diakhiri dengan munjungan.
Upacara sawer dilakukan selesai akad nikah, pasangan pengantin dibawa ketempat
panyaweran, tepat di muka pintu. Mereka dipayungi dan tukang sawer berdiri di
hadapan kedua pengantin. Panyawer mengucapkan ijab kabul, dilanjutkan dengan
melantunkan syair sawer. Ketika melantunkan syair sawer, penyawer menyelinginya
dengan menaburkan beras, irisan kunir, dan uang logam ke arah pengantin. Anak-
anak yang bergerombol di belakang pengantin saling berebut memungut uang sawer.
Isi syair sawer berupa nasihat kepada pasangan pengantin baru.
Usai upacara sawer, acara kemudian dilanjutkan dengan upacara nincak endog.
Endog (telur) disimpan di atas golodog dan mempelai laki-laki menginjaknya.
Kemudian mempelai perempuan mencuci kaki mempelai laki-laki dengan air kendi.
Setelah itu mempelai perempuan masuk ke dalam rumah, sedangkan mempelai laki-
laki berdiri di muka pintu untuk melaksanakan upacara buka pintu. Dalam upacara
buka pintu terjadi tanya jawab antara kedua mempelai yang diwakili oleh masing-
masing pendampingnya dengan cara dilagukan. Sebagai pembuka mempelai laki-laki
mengucapkan salam 'Assalammu'alaikum Wr. Wb.' yang kemudian dijawab oleh
mempelai perempuan 'Wassalamu'alaikum Wr. Wb.' setelah tanya jawab selesai
pintu pun dibuka dan selesailah upacara buka pintu.
Setelah upacara buka pintu dilaksanakan, dilanjutkan dengan upacara ngampar, dan
munjungan. Ketiga upacara terakhir ini hanya ada di masyarakat Kampung Naga.
Upacara riungan adalah upacara yang hanya dihadiri oleh orang tua kedua mempelai,
kerabat dekat, sesepuh, dan kuncen. Adapun kedua mempelai duduk berhadapan,
setelah semua peserta hadir, kasur yang akan dipakai pengantin diletakan di depan
kuncen. Kuncen mengucapakan kata-kata pembukaan dilanjutkan dengan pembacaan
doa sambil membakar kemenyan. Kasur kemudian di angkat oleh beberapa orang
tepat diatas asap kemenyan.
Usai acara tersebut dilanjutkan dengan acara munjungan. Kedua mempelai bersujud
sungkem kepada kedua orang tua mereka, sesepuh, kerabat dekat, dan kuncen.
Akhirnya selesailah rangkaian upacara perkawinan di atas. Sebagai ungkapan rasa
terima kasih kepada para undangan, tuan rumah membagikan makanan kepada
mereka (para tamu). Masing-masing mendapatkan boboko (bakul) yang berisi nasi
dengan lauk pauknya dan rigen yang berisi opak, wajit, ranginang, dan pisang.
Beberapa hari setelah perkawinan, kedua mempelai wajib berkunjung kepada
saudara-saudaranya, baik dari pihak laki-laki maupun dari pihak perempuan.
Maksudnya untuk menyampaikan ucapan terima kasih atas bantuan mereka selama
acara perkawinan yang telah lalu. Biasanya sambil berkunjung kedua mempelai
membawa nasi dengan lauk pauknya. Usai beramah tamah, ketika kedua mempelai
berpamitan akan pulang, maka pihak keluarga yang dikunjungi memberikan hadiah
seperti peralatan untuk keperluan rumah tangga mereka.
Sistem pertanian pada masyarakat Kampung Naga yaitu setiap 6 bulan sekali
memberikan hasil panen ke lumbung padi umum dan menyimpannya, lumbung padi
umum itu berisikan dari hasil-hasil panen dari setiap warga masyarakat kampung
naga untuk acara-acara ritual, acara ritualnya itu seperti acara memperingati tahun
baru Islam (Bulan Muharram), menyambut lahirnya Nabi Muhammad SAW (Rabiul
Awal) dan Rabiul Akhir.
Dalam 1 tahun bisa di lakukan dua kali panen, untuk awal penanaman di katakan
JANLI (singkatan dari Januari dan juli). Hasilnya di utamakan untuk persediaan
selama 6 bulan, bilamana ada lebihnya maka akan di jual untuk membeli pupuk atau
mengolah tanah lagi karena masyarakat kampung naga menggunakan dua jenis
pupuk yaitu pupuk organik dan kimia. Masyarakat Kampung Nagapun pandai
mengolah batang bambu dan tempurung, yang di olah menjadi suatu bentuk
kerajinan tangan khas mayarakat Kampung Naga dan itu pun dapat menjadikan suatu
mata pencaharian oleh masyarakat Kampung Naga.
Obat–obatan tradisional masyarakat Kampung Naga masih menggunakan dan di
ambil dari daun-daunan yang tumbuh di sekitar lingkungan Kampung Naga atau
yang di sebut dengan obat-obatan tradisional, bila ada masyarakatnya yang panas
dalam dapat menggunakan daun dadap yang masih muda, dimana cara penyajiannya
itu air dan daun dadap di satukan lalu peras daunnya, setelah di peras dari daun
tersebut, airnya diminumkan pada penderita panas dalam tersebut.
Selanjutnya, bila sakit gigi ataupun mengobati gigi yang berlubang menggunakan
pucuk bambu muda dan garam, kemudian di teteskan pada bagian yang sakit.
Adapun menggunakan tanaman jawer kotok yang di seduh menggunakan air dan di
campur garam. Bila warna dari air yang di campur tanaman jawer kotok dan garam
itu berubah maka langkah selanjutnya adalah berkumur-kumur lah menggunakan air
tersebut yang fungsinya untuk mengeluarkan ulat kecil yang bersarang di gigi yang
berlubang.
Apabila ada seorang yang sakit maka langkah pertama adalah memberikan obat-
obatan tradisional yang berbahan dasar dari alam tersebut. Namun, apabila sakitnya
tidak kunjung sembuh maka yang di perlukan adalah adanya penanganan dari dokter
atau puskesmas yang ada di daerah Kampung Naga. Apabila ada wanita yang akan
melahirkan di Kampung Naga maka penanganan dari dukun beranak dan dibantu
dengan bidanlah yang akan dilakukan.
Sistem KB pada masyarakat Kampung Naga sudah ada sebelum pemerintah
melakukan program KB yang ada seperti sekarang, namun program KB yang di
lakukan oleh wanita masyarakat Kampung Naga adalah KB yang masih tradisional
yang di bantu oleh indung beurang (paraji) dan bidan.
Agama yang di anut oleh masyarakat Kampung Naga adalah Islam, akan tetapi
sebagaimana masyarakat adat lainnya mereka juga sangat taat memegang adat-
istiadat dan kepercayaan nenek moyangnya. Artinya, walaupun mereka menyatakan
memeluk agama Islam, syariat Islam yang mereka jalankan agak berbeda dengan
pemeluk agama Islam lainnya.
Karena di Kampung Naga tidak menggunakan listrik, maka cara untuk menggunakan
alat untuk memberitahu waktu masuknya ibadah maka mereka menggunakan bedug,
dan adapun adzannya dikumandangkan tanpa menggunakan pengeras suara.
Dalam menjalan kan ibadah shalat masyarakat Kampung Naga itu sama seperti yang
di cantumkan dalam kitab Al-Quran yang mana melakukan shalat wajib lima waktu
dalam sehari, menjalankan ibadah Shalat Jum’at yang pengerjaannya di lakukan satu
minggu sekali oleh laki-laki yang ada di Kampung Naga, adanyaShalat Idhul Fitri
dan Idhul Adha yang di lakukan satu tahun dua kali dalam pengerjaanya. Itu semua
mengikuti ajaran yang dilakukan oleh Nabi Muhammad dan tercantum dalam Al-
Qur’an dan Hadist semua ibadah tersebut dan merupakan ajaran yang di lakukan oleh
para leluhurnya. Dan dalam pelaksanaanya pun pakaian yang di pakai oleh
masyarakat Kampung Naga ketika akan melaksanakan ibadah shalat tidak di
haruskan memakai pakaian yang baru dan bagus juga khusus yang wajibkan adalah
menggunakan pakaian yang bersih dan tidak kotor ketika akan melaksanakan Ibadan
shalat.
Dalam sistem religi mereka punya kebiasaan ataupun memiliki suatu adat
kepercayaan dimana ada beberapa hari yang di tabukan, seperti hari Selasa, Rabu dan
Sabtu. Dimana pada hari-hari tersebut masyarakat Kampong Naga tidak di
perbolehkan untuk membicarakan apapun yang berkaitan dengan Kampong Naga,
Karena dalam hari-hari tersebut itu merupakan hari tabu atau hari larangan yang di
percayai masyarakatnya dimana tidak di perbolehkan membicarakan apapun yang
berkaitan dengan Kampung Naga, baik itu asal usulnya ataupun lainnya. Namun
apabila kegiatan lainnya seperti membuat rumah dan melakukan acara pernikahan itu
di perbolehkan.
Satu tahun ada dua bulan yaitu puasa dan Safar, hal-hal yang tidak di perbolehkan
dalam bulan tersebut adalah hanya dua kegiatan yang pertama tidak boleh
melaksanakan ziarah ke makam dan yang kedua tidak boleh menceritakan silsilah
atau sejarah Kampung Naga atau apapun yang berkaitan dengan Kampung Naga.
Adapun larangan dan tatakrama yang berlaku dan mesti di patuhi oleh masyarakat
Kampung Naga, karena menganut kata Pamali (amanat ,wasiat, akibat) Yaitu :
Bilamana beristirahat ataupun tidur di Kampung Naga, kaki tidak di perbolehkan
diluruskan mengarah ke kiblat. Begitupun untuk buang air kecil tidak diperboleh kan
untuk mengarah kearah kiblat.
Dalam bertingkah laku masyarakatnya tidak boleh ngawadon (main perempuan),
ngadu (judi), ngamadat (mabok-mabokan), ngawadul (berbohong), jalir tina jangji
(ingkar janji), hidra tina subaya, iri dengki, jail jeung aniaiya. Kuncinya adalah yang
dilarang oleh agama dan mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk yang
mesti di kerjakan dan yang mesti di jauhkan.
Dan yang harus di lakukan atau sifat yang mesti ada pada setiap diri masyarakatnya
adalah: kudu nyaahan, deudeuhan, welasan, asihan, nulung kanu butuh, nganteur
kanu sieun,ngahudang keun kanu labuh, nalang kanu susah, nyaangan kanu poekeun,
jeung ngahudang keun kanu titeuleum, di masyarakat Kampung Naga itu bergaul
dengan siapapun boleh, penuntut ilmu itu harus asal tidak terlepas dari Agama Islam
yang di anutnya.
Pemakaman terbagi dua bagian, yang pertama ada pemakaman khusus dan ada
pemakaman umum. Ada yang di namakan nyusur tanah bila ada salah satu
masyarakat Kampung Naga yang meninggal dan di kuburkan di pemakaman umum,
lalu ada tiga harian setelah proses pemakaman, ada 7 harinyana dimana masyarakat
membaca Al-Quaran bersama, dan 40 hariannya dalam prosesnya itu sama seperti
pada 7 hariannya yaitu membaca Al-Quran satamatan.
Kepercayaan yang di anut oleh masyarakat Kampong Naga seperti adanya hutan
larangan sebelah Timur Sungai Ciwulan dimana tidak diperbolehkan untuk
menginjak di hutan tersebut dan mengambil suatu barang hal apapun yang berasal
dari hutan larangan tersebut. Dan hutan keramat yang letaknya di barat dan selatan.
yang dimana memiliki filosofi untuk menjaga alam dan memeliharanya. Karena
hidup di dunia ini satu sama lainnya beriringan dan saling bergantungan antara
manusia dan alam, maka perlu adanya rasa saling mejaga. Untuk Hutan Keramat
tidak sembarangan orang yang bisa masuk ke dalam hutan tersebut (hanya juru
kunci/kuncen) dan fungsi dari adanya hutan keramat tersebut adalah untuk
menyimpan benda-benda yang di anggap keramat bagi masyarakat Kampong Naga
dan kegiatan berziarah kemakam yang di lakukan satu tahun sekali yang hanya bisa
dilakukan oleh juru kuncen. Dan adapun rumah yang di batasi oleh pagar di
depannya itu pun tidak di perkenankan untuk masuk tetapi bila ingin mengembil
gambar rumah tersebut di perbolehkan asal pengambilan gambar harus berada pada
jarak kira-kira 10 – 15 meter yang dinamakan Bumi Ageung.
Kuncen merupakan ketua adat di kampung naga, yang Bertugas sebagai pemangku
Adat dan bertanggung jawab atas keberlangsungan dan terjaganya kelestarian adat.
Saat ini di kampung naga, kuncen masih dipegang oleh Bapak Ade Suherwin dan
wakilnya Bapak Henhen.
Lebe Bertugas dalam proses keagamaan terutama mengenai pengurusan jenazah,
saat ini Lebe di jabat oleh Bapak Ateng.
Punduh Bertugas dalam ngurus laku meres gawe, yaitu mengayomi masyarakat
dalam kerukunan kehidupan bermasyarakat,yang saat ini dijabat oleh Bapak Ma’un.
Umumnya stratifikasi sosial terjadi dalam bidang ekonomi, tapi hal tersebut tidak
terjadi dalam masyarakat kampung Naga, mereka tidak memilki sifat untuk saling
bersaing dalam kemajuan ekonomi keluarga, jikalau pun ada tidak begitu terlihat
karena tingginya sifat saling menghargai. Mereka akan malu atau hormat kepada
orang yang tidak mampu, sehingga tidak ada niat dalam benak masyarakat kampung
naga untuk menonjolkan diri dalam bidang-bidang tertentu. Karena dalam tradisi
masyarakat kampung Naga memberlakukan bahwa atribut yang sekiranya
berdampak pada adat kampung Naga harus ditinggal diluar daerah Kampung Naga.
Untuk lebih mengetahui tata letak setiap ruangan dalam rumah Kampung Naga,
maka bisa dilihat Gambar dibawah ini.
Gambar 5.26. Denah Rumah Kampung Naga
Terdapat 2 jenis pondasi dangkal yang digunakan di Kampung Naga yaitu pondasi
umpak dan pondasi tatapakan
Gambar 5.27. Pondasi Tatapakan
Pondasi umpak merupakan pondasi titik yang berfungsi sebagai penahan beban
bangunan, sedangkan pondasi tatapakan merupakan pondasi yang terdiri dari
tumpukan batu pulukan (batu kali) yang berfungsi sebagai pengikat tanah disekitar
area rumah. Pada tahap pembangunan, diawali oleh pekerjaan pondasi. Pondasi
rumah tinggal di Kawasan Kampung Naga menggunakan pondasi umpak. Pada
bagian pondasi dengan memakai batu umpak, yang berfungsi pada bangunan rumah
tinggal di Kampung Naga. Pondasi umpak baik digunakan pada tanah yang
mengandung pasir, di daerah pegunungan yang lembab dengan tanahnya yang tidak
terlalu kering. Struktur yang digunakan untuk pondasi pada bangunan rumah tinggal
di Kampung Naga yaitu dari pondasi umpak dengan tinggi dari permukaan tanah
40cm – 60cm dengan kedalaman 10cm.
Struktur atap dibagi kedalam bagian badan bangunan dan bagian kepala bangunan.
Struktur atap pada rumah tinggal masyarakat Kampung Naga terdiri dari kolom,
balok, dan rangka atap. Material yang di gunakan kebanyakan berasal dari tumbuhan
seperti kayu Manglid, kayu Albasiah, bambu Tali, ijuk, dan daun tepus. [A.G
Thamrin (2008)] menyatakan bahwa kepala bangunan terdiri dari struktur kuda-kuda.
Kuda-kuda kayu digunakan sebagai pendukung atap dengan bentang maksimal
sekitar 12 meter dan beban maksimal sekitar 10 meter. Sambungan kayu digunakan
apabila panjang kayu tidak memenuhi jarak bentang. Bagian struktur atap rumah
tinggal Kampung Naga hampir seluruhnya tidak memiliki sambungan karena
material yang digunakan merupakan kayu yang diolah sendiri oleh masyarakat
Kampung Naga sesuai dengan fungsi, ukuran dan panjang bentang yang di butuhkan.
Desain struktur atap menggunakan sistem rangka dengan material kayu manglid
yang saling terhubung satu dengan lainya. Desain struktur atap pada rumah tinggal
Kampung Naga pada dasarnya sama dengan desain struktur bangunan kayu
umumnya.
Atap rumah berbentuk pelana disebut suhunan panjang atau suhunan julang ngapak.
Penutup atap yang yang berupa daun eurih yang seperti ilalang merupakan penutup
atap yang berupa sulah nyandah, atau daun tepus yang lalu ditutupi oleh ijuk.
Diujung atap terdapat seperti tanduk, dimana hal tersebut berfungsi untuk
menyalurkan air sehingga tidak merembes ke dalam para (langit-langit rumah).
Terdiri dari dua lapis, lapis pertama menggunkan daun alang-alang dan lapis kedua
terbuat dari ijuk/pohon aren. Bahan ini memungkinkan pergantian udara ke dalam
rumah melalui atap.
Masyarakat Naga percaya bahwa mempergunakan atap genteng adalah tabu. Selain
itu, penggunaan ijuk jauh lebih awet daripada genteng. Ijuk bersifat ringan namun
sesuai dengan fungsinya. Atap bangunan terbuat dari dua lapis, yaitu lapis pertama
berasal dari daun alang-alang dan lapis kedua (terluar) terbuat dari ijuk/pohon aren.
Lapisan ini dapat bermanfaat dalam penyerapan hawa panas ataupun dingin, selain
menyerap asap kompor saat memasak. Dan warna yang di gunakan menggunakan
warna alam pada material atap ijuk.
Gambar 5.28 Desain Atap Hunian Kampung Naga
Dan jenis konstruksi atap yang digunakan sangat ramah dalam memecahkan masalah
iklim setempat. Atap tersebut dibuat dua lapis, lapis pertama alang-alang, dan lapis
kedua berupa ijuk. Bentuk atap pelana rumah adat Kampung Naga disebut suhunan
panjang atau suhunan julang ngapak (bila sisi rumah ditambah sosompang) dan
terbuat dari ijuk. Berdasarkan kepercayaan bahwa manusia tak boleh menentang
kodrat alam, maka pada ujung timur dan barat atap, sesuai arah jalur matahari,
diletakkan dekorasi cagak gunting atau capit hurang untuk menghindari mala petaka.
Sambungan pada atap tidak menggunakan paku, tetapi menggunakan pengikat
berupa tali rotan untk menyambung bagian-bagian pada atap. Teknologi bangunan
yang digunakan pada hunian Kampung Naga sangat sustainable dan green. Jadi,
Tidak harus bahwa green building itu harus hi tech dan mahal. Buktinya, rumah-
rumah adat di Kampung Naga. Ini bisa membuka mata dunia bahwa Indonesia punya
warisan bangunan hijau. Hal ini tidak lepas dari prinsip kearifan lokal yang dimiliki
oleh Kampung Naga, membuktikan bahwa kearifan lokal masih relevan dengan
kondisi kekinian.
Tipe rumah tinggal dengan satu pintu merupakan tipe rumah asli Kampung Naga.
Berdasarkan keterangan para penduduk Kampung Naga, dahulu seluruh bangunan
hunian yang ada di sana adalah hunian dengan tipe satu pintu, dengan hanya satu
ruangan utama yang digunakan untuk berbagai kegiatan. Namun sejalan dengan
semakin meningkatnya kompleksitas kegiatan, antara lain yang paling utama
menurut mereka adalah meningkatnya kunjungan orang luar kampung yang
bermalam di Kampung Naga, maka mereka merubah struktur ruang bangunannya
menjadi tipe dua pintu, agar diperoleh ruang depan yang berfungsi sebagai ruang
tamu dan sekaligus ruang untuk bermalamtamu, tanpa harusmengganggu sirkulasi
dan aktifitas penghuni rumah.
Perubahan yang ditemui tidak semata-mata hanya bentuk dan susunan ruang, namun
penggunaan material papan sebagai dinding juga ditemui pada bangunan rumah dua
pintu. Dinding papan sering digunakan untuk dinding ruang tamu, dilengkapi dengan
kusen dan jendela kaca, yang tidak ditemui pada bangunan rumah satu pintu. Pada
tahun 2001 masih terdapat 16 rumah dengan kategori tipe satu pintu, namun pada
tahun 2011 jumlah tersebut menyusut menjadi 5 rumah, diantaranya merupakan
bangunan sacral masyarakat Kampung Naga, yaitu:
Balai Ageng
Bumi Katarajuan
Rumah Pak Pardi
Rumah Ibu Anjang
Rumah Ibu Engkum
Perubahan lain yang tampak pada arsitektur vernakular Kampung Naga adalah
penggunaan umpak batu pahat yang dibentuk kotakmemanjang, sebagai pengganti
umpak batu utuh (bulat). Perubahan tersebut tidak hanya terlihat dari bentuknya saja,
namun juga secara tidak langsung mempengaruhi sistem sruktur bangunan. Jika pada
bangunan awal kolom bangunan menerus muncul sekitar 30cm di bawah panggung
dan kemudian ditopang oleh batu utuh, maka pada umpak batu pahat, umpak tersebut
dibentuk agak tinggi sekitar 40cm, dan langsung menopang panggung bangunan,
sehingga kolom bangunan tidak muncul di bawah panggung. Penggunaan umpak
batu utuh saat ini hanya ditemui pada beberapa rumah satu pintu yang tersisa,
sedangkan seluruh rumah dua pintu sudah menggunakan umpak batu pahat.
Perletakaan umpak batu pahat juga tidak terbatas hanya pada titik-titik kolom saja,
melainkan juga pada beberapa titik balok panggung bangunan yang pada bagian
atasnya tidak terdapat kolom. Hal ini berbeda dengan umpak batu utuh yang terletak
tepat pada titik kolom, dan kalau pun terdapat beberapa penunjang tambahan
digunakan beberapa kolom tambahan sebagai penopang panggung yang kemudian
didukung oleh umpak batu tersebut.
Perubahan penggunaan material juga ditemukan pada material lantai rumah. Material
asli lantai rumah menggunakan bambu yang telah dibuka dan diratakan, kemudian
disusun memanjang di atas rangka panggung yang juga terbuat dari bambu. Namun
dalam perkembangannya, lantai pada bangunan-bangunan rumah dua pintu dan
beberapa pada rumah satu pintu sudah menggunakan lantai papan kayu yang
diletakkan di atas rangka panggung kayu. Papan tersebut dipakukan pada rangka-
rangka di bawahnya, berbeda dengan lantai bambu yang hanya dijepit pada masing-
masing ujung pertemuan dengan dinding bangunan.
1. Amos Rapoport, 1969. House Form and Culture. Prentice Hall Inc, London.
2. Eko Budihardjo, 1997. Arsitektur Sebagai Warisan Budaya, Djambatan. Jakarta.
3. Hadi, Sutrisno, 1984, Metodologi Reserarch, Jilid 1 dan 2, Yayasan Penerbit
Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.
4. Ilham, Anggie Nur dan Afriyanto Sofyan SB, 2012, Tipologi Bangunan
Rumah Tinggal Adat Sunda Di Kampung Naga Jawa Barat, Jurnal Tesa
Arsitektur Volume 10 Nomor 1, Juni.
5. Krier, Rob, 1979, Urban Space, Academy Editions, London.
6. Muhadjir, Noeng, 2000, Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi IV, Rake
Sarasin, Yogyakarta.
7. Norberg – Schulz, Christian, 1979, Genius Loci, Rizzoli International
Publications, New York.
8. Purwodarminto, 1961, Kamus Besar Bahasa Indonesia.
9. Ramelan, Rubianto, dan Sri Handayani, 2009, Kampung Naga: Bentuk
Kearifan Lokal Arsitektur Permukiman Berkelanjutan, Jurnal Ilmiah
Arsitektur Teras Volume IX Nomor 2, Desember.
10. Rapoport, Amos, 1977, Human Aspects of Urban Form, Pergamon Press,
New York.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Biodata Peneliti
IDENTITAS DIRI
Nama : MARGARETA MARIA SUDARWANI, ST., MT.
NIDN : 0607027101
NIP/NIK : D.700.091
Tempat dan Tanggal Lahir : Semarang, 07-02-1971
Jenis Kelamin : □ Laki-laki □ Perempuan
Status Perkawinan : □ Kawin □ Belum Kawin □ Duda/Janda
Agama : Katholik
Golongan / Pangkat : III-C / Penata
Jabatan Akademik : Lektor
Perguruan Tinggi : Universitas Pandanaran Semarang
Alamat : Jl. Banjarsari Barat No. 1 Banyumanik Semarang
Telp./Faks. : (024) 70797974 / (024) 76482711
Alamat Rumah : Jl. Tejokusumo I/8 Tlogosari Semarang
Telp./Faks. : (024) 6711711, HP. 081 5772 8675
Alamat e-mail : margareta.maria@ymail.com
PELATIHAN PROFESIONAL
Jenis Pelatihan (Dalam/Luar Jangka
Tahun Penyelenggara
Negeri) Waktu
2013 Pelatihan Applied Approach (AA) Kopertis Wilayah 6 5 hari
2013 Pelatihan dan Workshop Manajemen Universitas Pandanaran 2 hari
Laboratorium
2013 Pelatihan dan Workshop Sistem Universitas Pandanaran 5 hari
Penjaminan Mutu
2013 Pelatihan Dosen Wali Universitas Pandanaran 1 hari
2013 Pelatihan Penyusunan Proposal Universitas Pandanaran 2 hari
Penelitian dan Pengabdian Melalui
Bantuan Dana Stimulus Dikti 2013
PENGALAMAN MENGAJAR
Program
Institusi/Jurusan/P Sem/Tahun
No Mata Kuliah Pendidik
rogram Studi Akademik
an
1 Gambar Teknik S-1 UNPAND-T.Arsitektur Gasal/2015-2016
2 Studio Perancangan Arsitektur V S-1 UNPAND-T.Arsitektur Gasal/2015-2016
3 Studio Perancangan Arsitektur II S-1 UNPAND-T.Arsitektur Genap/2014-2015
4 Perancangan Dasar Arsitektur II S-1 UNPAND-T.Arsitektur Genap/2014-2015
5 Perancangan Tapak S-1 UNPAND-T.Arsitektur Genap/2014-2015
6 Estetika Bentuk S-1 UNPAND-T.Arsitektur Genap/2014-2015
7 Studio Perancangan Arsitektur I S-1 UNPAND-T.Arsitektur Gasal/2014-2015
8 Metode Perancangan I S-1 UNPAND-T.Arsitektur Gasal/2014-2015
9 Metode Perancangan II S-1 UNPAND-T.Arsitektur Gasal/2014-2015
10 Arsitektur Nusantara S-1 UNPAND-T.Arsitektur Gasal/2014-2015
11 Studio Perancangan Arsitektur II S-1 UNPAND-T.Arsitektur Genap/2013-2014
12 Perancangan Dasar Arsitektur II S-1 UNPAND-T.Arsitektur Genap/2013-2014
13 Perancangan Tapak S-1 UNPAND-T.Arsitektur Genap/2013-2014
14 Estetika Bentuk S-1 UNPAND-T.Arsitektur Genap/2013-2014
15 Studio Perancangan Arsitektur I S-1 UNPAND-T.Arsitektur Gasal/2013-2014
16 Metode Perancangan I S-1 UNPAND-T.Arsitektur Gasal/2013-2014
17 Metode Perancangan II S-1 UNPAND-T.Arsitektur Gasal/2013-2014
18 Arsitektur Nusantara S-1 UNPAND-T.Arsitektur Gasal/2013-2014
19 Arsitektur Pra Modern S-1 UNPAND-T.Arsitektur Genap/2012-2013
20 Pelestarian Atsitektur S-1 UNPAND-T.Arsitektur Genap/2012-2013
21 Pengetahuan Struktur D-3 UNPAND-T.Lingkungan Genap/2012-2013
22 Gambar Teknik S-1 UNPAND-T.Arsitektur Gasal/2012-2013
23 Metode Perancangan I S-1 UNPAND-T.Arsitektur Gasal/2012-2013
24 Metode Perancangan II S-1 UNPAND-T.Arsitektur Gasal/2012-2013
25 Arsitektur Nusantara S-1 UNPAND-T.Arsitektur Gasal/2012-2013
26 Arsitektur Pra Modern S-1 UNPAND-T.Arsitektur Genap/2011-2012
27 Pelestarian Atsitektur S-1 UNPAND-T.Arsitektur Genap/2011-2012
28 Pengetahuan Struktur D-3 UNPAND-T.Lingkungan Genap/2011-2012
29 Gambar Teknik S-1 UNPAND-T.Arsitektur Gasal/2011-2012
30 Metode Perancangan I S-1 UNPAND-T.Arsitektur Gasal/2011-2012
31 Metode Perancangan II S-1 UNPAND-T.Arsitektur Gasal/2011-2012
32 Arsitektur Nusantara S-1 UNPAND-T.Arsitektur Gasal/2011-2012
33 Arsitektur Pra Modern S-1 UNPAND-T.Arsitektur Genap/2010-2011
34 Pelestarian Atsitektur S-1 UNPAND-T.Arsitektur Genap/2010-2011
35 Gambar Arsitektur S-1 UNPAND-T.Arsitektur Gasal /2010-2011
36 Gambar Teknik D-3 UNPAND-T.Lingkungan Gasal/2010-2011
37 Studio Perancangan Arsitektur IV S-1 UNPAND-T.Arsitektur Genap/2009-2010
38 Tugas Akhir S-1 UNPAND-T.Arsitektur Gasal /2009-2010
39 Kuliah Kerja Nyata S-1 UNPAND-T.Arsitektur Genap /2008-2009
40 Seminar S-1 UNPAND-T.Arsitektur Genap /2008-2009
41 Tugas Akhir S-1 UNPAND-T.Arsitektur Genap /2008-2009
42 Bahasa Inggris S-1 UNPAND-Manajemen Genap /2008-2009
43 Bahasa Inggris S-1 UNPAND-Akuntansi Genap /2008-2009
44 Bahasa Inggris Teknik II D-3 UNPAND-T.Elektronika Genap /2008-2009
45 Bahasa Inggris II D-3 UNPAND-T.Lingkungan Genap /2008-2009
46 Pengetahuan Struktur D-3 UNPAND-T.Lingkungan Genap/ 2008-2009
PENGALAMAN PENELITIAN
Ketua/Anggota Sumber
Tahun Judul Penelitian
Tim Dana
KARYA ILMIAH
Judul Penelitian/Tulisan
Tahun Penerbit/Jurnal
Ilmiah
2015 Jurnal Ilmiah Fakultas Teknik Universitas
Karakter Fisik dan Non Fisik
Pandanaran NEO TEKNIKA ISSN: 2442-650,
Gang Baru Pecinan Semarang
Volume 1 Nomor 1 Juli 2015
2014 Pengembangan Sarana dan
Prasarana Permukiman Guna
Perbaikan Kesejahteraan Jurnal Ilmiah Dinamika Sains Vol 12 No.28 Tahun
Melalui Peningkatan 2014
Pemberdayaan Masyarakat Di
Dusun Mantran Wetan
Kabupaten Magelang Tahun
2014
2014 Karakteristik Ruang Tunggu Posiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi ke-
pada Instalasi Rawat Jalan 5 Tahun 2014 Fakultas Teknik Universitas Wahid
Bangunan Rumah Sakit (Kajian hasyim Semarang
Studi Rumah Sakit Elisabeth
Semarang)
2013 Majalah Ilmiah “DinamikaSains“,
Karakteristik Pertokoan Pinggir Volume 11 No. 26, 2013, halaman 99-120,
Jalan Malioboro ISSN:1412-8489, Universitas Pandanaran
Semarang
2013 Implikasi Program Karya Ilmiah disajikan dalam Prosiding Seminar
Pengembangan Kota Hijau Nasional Sains dan Teknologi ke-4 Tahun 2013
(P2KH) Terhadap Pemenuhan “Membangun Sisten dan Teknologi Informasi
Untuk Meningkatkan Daya Saing Bangsa di Era
Luasan Ruang Terbuka Hijau
Globalisasi“, 19 Juni 2013, halaman 27-32,
(RTH) Perkotaan ISBN:978-602-99334-2-0, Fakultas Teknik
Universitas Wahid Hasyim Semarang
2012 Penerapan Green Architecture Karya Ilmiah dipublikasikan dalam Majalah Ilmiah
dan Green Building Sebagai “Dinamika Sains“,
Upaya Pencapaian Volume 10 No. 24, November 2012, halaman 17-
Sustainable Architecture 35, ISSN:1412-8489, Universitas Pandanaran
Semarang
2012 Simbolisasi Rumah Tinggal Etnis Karya Ilmiah dipublikasikan dalam Majalah Ilmiah
Cina Studi Kasus Kawasan “Momentum“,
Pecinan Semarang Volume 8 No. 2, Oktober 2012, halaman 19-27,
ISSN:0216-7395, Fakultas Teknik Universitas
Wahid Hasyim Semarang
2012 Konservasi Lahan Kritis Untuk Karya Ilmiah disajikan dalam Prosiding Seminar
Pertanian Produktif dalam Nasional Sains dan Teknologi ke-3 Tahun 2012
Pencapaian Ketahanan Pangan “Penguasaan Teknologi Rekayasa Proses
yang Berkelanjutan di Pengolahan Pangan Guna Mendukung Pencapain
Kecamatan Gunungpati Kemandirian Bangsa“, Juli 2012, halaman 4-22,
Semarang ISBN:978-602-99334-1-3, Fakultas Teknik
Universitas Wahid Hasyim Semarang
2010 Ruang Publik Kota Yang Karya Ilmiah dipublikasikan dalam Majalah Ilmiah
Bersahabat, Studi Kasus “Dinamika Sains“,
Kawasan Tugu Muda Semarang Volume 8 No. 18, April 2010, halaman 51-62,
ISSN:1412-8489,
Universitas Pandanaran Semarang
2010 Karakter Visual Area Kelenteng Karya Ilmiah dipublikasikan dalam Majalah Ilmiah
Kawasan Pecinan Semarang “Dinamika Sains“,
Volume 8 No. 18, April 2010, halaman 1-21,
ISSN:1412-8489,
Universitas Pandanaran Semarang
KONFERENSI/SEMINAR/LOKAKARYA/SIMPOSIUM
Panitia/
Waktu Judul Kegiatan Penyelenggara Peserta/
Pembicara
21 Seminar Nasional Peran Arsitek Ikatan Arsitek Peserta
Agustus Jawa Tengah Dalam Indonesia (IAI) Daerah
2015 Menghadapi Masyarakat Jawa Tengah
Ekonomi ASEAN (MEA 2015)
di Oak Tree Emerald Hotel,
Semarang
24 Juni Sosialisasi Sertifikasi Dosen Kopertis Wilayah VI Peserta
2015 Tahun 2015 Jawa Tengah
28 Mei Seminar Hasil Penelitian dan Universitas Pandanaran Peserta
2015 Pengabdian Kepada Semarang
Masyarakat KKN Vokasi 2015
Universitas Pandanaran
21-23 April Workshop Penyusunan APTISI Peserta
2015 Kurikulum Pendidikan Tinggi
mengacu KKNI dan SN Dikti
bagi PTS Anggota APTISI
Wilayah VI Jawa Tengah di
Hotel Grasia Semarang
27 Maret Rapat Kerja Daerah IAI Jawa Ikatan Arsitek Peserta
2015 Tengah 2015 di Hotel Indonesia (IAI) Daerah
Noormans Semarang Jawa Tengah
20 Maret Seminar Interchange Session Oak Tree Emerald Peserta
2015 City Series 2015 Hotel, Semarang
17 Maret Seminar Campus Session Unika Soegijopranoto Peserta
2015 “Entrepreneurship in Semarang
Architecture”
2 Hari (1-2 Workshop Percepatan Kopertis Wilayah VI Peserta
November Pengusulan Jabatan Fungsional Jawa Tengah
2014) Akademik bagi
Dosen PTS Kopertis Wilayah VI
di Hotel Le Beringin Salatiga
13 Penjelasan Teknik Program Dinas Pendidikan Peserta
November Fasilitasi Perguruan Tinggi di Provinsi Jawa Tengah
2014 Wisma Bina Dharma Salatiga
3 Hari (29- Pelatihan Metodologi Pengabdian Kopertis Wilayah VI Peserta
31 Bagi Dosen PTS di Jawa Tengah
Oktober Lingkungan Kopertis Wilayah
2014) VI di Hotel Le Bringin Salatiga
30 Seminar Hasil Penelitian dan Universitas Pandanaran Ketua
September Pengabdian Kepada Semarang Panitia
2014 Masyarakat Universitas
Pandanaran Tahun 2014
3 Hari (24- Workshop Penulisan Karya Kopertis Wilayah VI Peserta
26 Ilmiah Pada Jurnal Jawa Tengah
September Terakreditasi di Hotel Le
2014) Beringin Salatiga
22 Workshop Kajian DPU dan Jurusan Peserta
September Pengembangan Instrumen Perencanaan Wilayah
2014 Pemanfaatan dan dan Kota UNDIP
Pengendalian Ruang di Hotel
Grasia Semarang
10 Rapat Koordinasi membahas Draft Pemerintah Kota Peserta
September Naskah Kesepakatan Bersama Semarang
2014 antara Pemerintah Kota Semarang
dan Perguruan Tinggi di Kota
Semarang tentang Pembangunan
Kota Semarang dan
Pengembangan Tri Dharma
Perguruan Tinggi di Ruang
Asisten 2 Setda
Semarang
26 Juni Seminar Interchange Session Ikatan Arsitek Indonesia Peserta
2014 2014 (IAI) Daerah Jawa
Tengah Kerjasama
dengan
Majalah Arsitektur
FuturArc
25 Juni Seminar Sains dan Teknologi 5 Universitas Wahid Pemakalah
2014 Tahun 2014 Hasyim Semarang
19 Juni Focus Group Discussion Kajian DPU dan UNDIP Peserta
2014 Pengembangan Instrumen
Pemanfaatan Ruang dan
Pengendalian Pemanfaatan di
Hotel Grasia Semarang
5 Mei Seminar Sehari dalam rangka Departemen Pekerjaan Peserta
2014 Continuing Professional Umum
Development (CPD) dengan
tema: Penerapan Green
Construction Dalam
Pembangunan Infrastruktur
Pekerjaan Umum di UNDIP
Semarang
18-19 Musyawarah Perencanaan Pemerintah Kota Peserta
Maret Pembangunan Semarang
2014 (MUSRENBANG) RKPD Kota
Semarang Tahun 2015 di
Bappeda Semarang
14-15 Seminar Nasional Musyawarah Ikatan Arsitek Panitia
Maret Daerah (Musda) Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) Daerah
2014 Indonesia (IAI) Daerah Jawa Jawa Tengah
Tengah tahun 2014 di Oak Tree
Emerald Hotel Semarang
12 Maret Rapat Paguyuban Pimpinan Dinas Pendidikan Peserta
2014 Perguruan Tinggi Bidang Provinsi Jawa Tengah
Kemahasiswaan PTN-PTS
Rayon I Provinsi Jawa Tengah di
USM Semarang
29 Seminar Pendidikan: Semen UNDIP Semarang Peserta
November Instan Lemkra Sebagai Salah
2013 Satu Solusi Permasalahan
Bangunan
20 Seminar dan Focuss Group Badan Perencanaan Peserta
November Discussion (FGD) 2 “Rencana Pembangunan Daerah
2013 Tata Bangunan dan (BAPPEDA)
Lingkungan Kawasan Kota Semarang
Tembalang Kota Semarang”
9 Seminar Nasional Ilmu UNDIP, Semarang Peserta
Nopember Arsitektur dan Perkotaan:
2013 USHID 2013 Towards Old
Town Semarang, The World
Heritage 2020
7 Seminar Nasional Arsitektur UNIKA Soegijopranoto Peserta
November Kini dan Masa Depan, Semarang
2013
2 Hari (24- Pelatihan Manajemen Universitas Pandanaran Peserta
25 Labortorium Semarang
Oktober
2013)
3 Hari (21- Workshop Penjaminan Mutu Universitas Pandanaran Peserta
23 Semarang
Oktober
2013)
3 Hari (16- Pelatihan Penjaminan Mutu Universitas Pandanaran Peserta
18 Semarang
Oktober
2013)
5 Hari (28 Pelatihan Pendekatan Terapan Universitas Pandanaran Peserta
Okt-1 Nov (Applied Approach) Semarang
2013)
2 Hari (11- Pelatihan Penyusunan Universitas Pandanaran Peserta
12 Sep Proposal Penelitian Semarang
2013)
19 Juni Seminar Nasional Sains dan Universitas Wahid Pemakalah
2013 Teknologi 4 Fakultas Teknik Hasyim, Semarang
Unwahas: Implikasi Program
Pengembangan Kota Hijau
(P2KH) Terhadap Pemenuhan
Luasan Ruang Terbuka Hijau
(RTH) Perkotaan,
28 Mei Seminar dan Focuss Group Pemerintah Kota Peserta
2013 Discussion (FGD) “Penyusunan Semarang
Detail Engineering Design (DED) Badan Perencanaan
untuk Pelaksanaan Pemanfaatan Pembangunan Daerah
Ruang Kota Hijau, Program (BAPPEDA)
Pengembngan Kota Semarang
Kota Hijau (P2KH) di Kota
Semarang,
10 Mei Business Gathering 2012 Ikatan Arsitek Indonesia Peserta
2013 (IAI) Daerah Jawa
Tengah
21 April Seminar Nasional Jatidiri Universita Negeri Peserta
2013 Arsitektur Ramah Lingkungan Semarang
12 April Seminar Interchange Session Ikatan Arsitek Indonesia Peserta
2013 Semarang 2013 (IAI) Daerah Jawa
Tengah Kerjasama
dengan Majalah
Arsitektur FuturArc
ORGANISASI PROFESI/ILMIAH
Jabatan/jenjang
Tahun Jenis/Nama Organissi
keanggotaan
2011 Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) Daerah Jawa Tengah Anggota
(Nomor Anggota : 1.1.100.2.2.027.09.208106)
Saya menyatakan bahwa semua keterangan dalam Curriculum Vitae ini adalah benar dan
apabila terdapat kesalahan, saya bersedia mempertanggungjawabkannya.
Yang menyatakan,