Anda di halaman 1dari 21

Gaya Belajar (Learning Styles): Mitos atau Fakta?

Ketika belajar, apa yang seringkali dikeluhkan oleh anak Anda?


Susah berkonsentrasi? Gampang lupa? Sulit paham?

Hmm, belajar memang bukanlah hal yang mudah bagi sebagian


besar anak. Dan, mungkin termasuk bagi anak Anda. Banyak sekali
hambatan yang membuat anak frustasi, mulai dari sulit paham,
susah konsentrasi, gampang lupa, mengantuk, mental block, reading
OCD, dan lain sebagainya.

Pertanyaannya, bagaimana Anda membantunya membuat proses belajar menjadi lebih mudah
dan menyenangkan?

Baru-baru ini, muncul terobosan baru dalam belajar yang sangat populer di tengah-tengah
masyarakat kita, yaitu Gaya Belajar alias Learning Styles. Terobosan ini didasarkan pada Teori
Gaya Belajar/ Learning Styles Theory yang berkembang pesat dari tahun 1970an. Teori ini
semakin dikuatkan dengan temuan Howard Gardner, pakar psikologi dari Harvard University
tentang beraneka ragamnya kecerdasan manusia (multiple intelligence).

Ide sentral dari Teori Gaya Belajar yaitu bahwa masing-masing anak memiliki kecerdasan dan
kelebihan yang berbeda-beda. Ada yang memiliki kecerdasan spatial/ ruang. Ada yang pandai
dalam logika. Ada yang pandai dalam bahasa. Ada yang memiliki kecerdasan kinestetis. Dan,
ada pula yang memiliki kecerdasan musical/ auditory.

Nah, dengan kecerdasan dan kelebihan yang berbeda-beda itu, cara anak belajar pun harus
disesuaikan dengan kelebihan dan kecerdasannya. Anak yang memiliki kecerdasan spatial/
kecerdasan ruang idealnya belajar dengan instrumen-instrumen visual. Ini karena, anak yang
memiliki kecerdasan spatial unggul dalam hal-hal yang bersifat visual/dapat dilihat.

Apa contoh instrumennya?

Contohnya gambar, powerpoint, mindmap, dan film.

Sementara itu, anak yang memiliki kecerdasan musical/ auditory lebih disarankan untuk
menggunakan instrumen-instrumen audio. Ini karena, mereka lebih mudah memahami sesuatu
lewat sarana audio/suara.

Instrumen belajar yang cocok untuk mereka antara lain podcast, ceramah, dan diskusi.
Learning Modalities

Sebenarnya, banyak sekali varian gaya belajar yang beredar di kalangan masyarakat. Tetapi,
yang paling populer baik di Indonesia maupun di negara lain yaitu Learning Modalities yang
digagas oleh Walter Burke Barbe.

Menurut model ini, gaya belajar dibagi menjadi tiga kategori yaitu Visual dan Auditory seperti
yang penulis jelaskan di atas, dan satu kategori lagi yakni Kinesthetic.

Model ini menyarankan agar cara belajar anak disesuaikan dengan kecenderungan mereka.
Apabila mereka cenderung mudah memahami hal-hal yang tersaji dalam bentuk visual, maka
idealnya mereka belajar dengan instrumen visual seperti gambar, film, bahan bacaan, mindmap,
dan slide/power point. Sementara itu, apabila anak cenderung mudah memahami hal-hal yang
tersaji dalam bentuk audio, maka idealnya mereka belajar dengan instrumen suara seperti
podcast, ceramah, dan diskusi sebagaimana disebutkan di atas. Apabila anak memiliki
kecerdasan kinestetik (berkaitan dengan gerak), maka idealnya mereka belajar dengan cara
berpraktik, menulis, membuat simulasi dengan menggunakan objek-objek nyata sebagai alat
bantu belajar.

Nah, sampai di sini, mungkin Anda tertarik menerapkan gaya belajar/learning style untuk
membantu proses belajar anak Anda. Untuk melakukannya, Anda terlebih dulu harus tahu tipe
kecerdasan anak Anda. Apakah dia memiliki kecerdasan spatial, musical, linguistic, personal,
kinesthetic, atau lainnya? Baru, setelah Anda tahu kecerdasan anak Anda, Anda dapat
menerapkan learning style yang sesuai denga kecerdasannya.

Namun demikian, sebelum menerapkannya, tidak ada salahnya untuk sejenak meninjau validitas
model pembelajaran tersebut.

Mengapa?
Karena, menurut para pakar, teori gaya belajar tidak terverifikasi/terbukti.
Penasaran?
Untuk lebih jelasnya, yuk, kita kupas lebih dalam.
Kritik terhadap Teori Gaya Belajar/ Learning Styles Theory

Kendati popularitasnya di kalangan masyarakat (bahkan, sebuah survei menyimpulkan sebanyak


82% dari 242 guru di Belanda dan Inggris mempercayai teori gaya belajar), ternyata menurut
para pakar neurosains teori tersebut tidak memiliki dasar ilmiah yang kuat.

Harold Pashler dan Doug Rohrer menjelaskan bahwa bukti-bukti yang menujukkan validitas
teori tersebut lemah. Pada kenyataannya, tidak ada peningkatan hasil ketika seorang anak
menerapkan learning sytle sebagai metode belajarnya. Hasil pembelajaran baik sebelum atau pun
sesudah menerapkan gaya belajar yang sesuai dengan kecerdasan mereka tidaklah berubah.

Ini menujukkan bahwa gaya belajar/learning style tidak berpengaruh pada pembelajaran anak.

Howard Gardner sendiri, yang teori multiple intelligence-nya digunakan untuk mendukung teori
gaya belajar bahkan menyanggah teori tersebut. Menurutnya, multiple intelligence tidaklah
berimplikasi pada gaya belajar/ learning styles. Multiple intelligence tidaklah berkesimpulan
bahwa cara belajar anak harus disesuaikan dengan kecerdasan atau kelebihan yang dimilikinya.

Dalam sebuah artikel yang berjudul 50 Great Myths of Popular Psychology, Scott Lilienfeld
menjelaskan bahwa pendekatan tersebut (learning styles theory) alih-alih memperkuat aspek
kekurangan sang anak justru memperkuat aspek sang anak yang secara alami sudah unggul.
Menurutnya, sejatinya pembelajaran ditujukan untuk memperkuat aspek yang lemah, dan
bukannya menghindari aspek tersebut dan hanya berfokus pada kelebihan/keunggulan sang anak.
Pernyataan senada juga dikemukakan oleh Paul Howard-Jones dari The University of Bristol. Ia
menyarankan agar dalam belajar, anak perlu keluar dari cara/metode yang menjadi zona
nyamannya. Teori gaya belajar/ learning styles theory mendorong anak untuk menghindari
aspek kelemahannnya dan hanya berfokus pada aspek kelebihannya.

Dalam sebuah buku yang berjudul Visible Learning and the Science of How We Learn, John
Hattie dan Gregory Yates menjelaskan, “We are all visual learners, and we are all auditory
learners, not just some of us. Laboratory studies reveal that we all learn when the inputs we
experience are multimodal or conveyed through different media.”

Kita semua adalah pembelajar dengan medium visual, dan kita semua pembelajar dengan
medium suara, tidak hanya beberapa di anatara kita. Studi laboratoris mengungkapkan bahwa
kita semua belajar ketika input/informasi yang kita alami bersifat multimodal alias dipahami
melalui berbagai medium yang berbeda-beda.

Di bagian lain dalam buku itu, mereka menjelaskan, “Claims such that ‘some students learn
from words, but others from images’ are incorrect, as all students learn most effectively through
linking images with words. These effects become especially strong when the words and images
are made meaningful through accessing prior knowledge. Differences between students in
learning are determined strongly by their prior knowledge, by the patterns they can recognise,
and not by their learning style.”

Klaim bahwa ‘beberapa siswa belajar dari kata, yang lain dari gambar’ adalah keliru, karena
semua siswa belajar paling efektif lewat menghubungkan gambar dengan kata. Efek-efek ini kuat
ketika kata-kata dan gambar dibuat berarti dengan mengakses pengetahuan sebelumnya.
Perbedaan antara siswa dalam belajar ditentukan secara kuat oleh pengetahuan terdahulunya,
oleh pola-pola yang dapat mereka kenali, dan tidak dari gaya belajar mereka.

Intinya, proses pembelajaran senantiasa menggunakan berbagai sarana, bukan terbatas pada satu
sarana yang sesuai dengan kecerdasan siswa. Siswa yang memiliki kecerdasan spatial tetap perlu
menggunakan sarana pembelajaran lain selain gambar, slideshow, dan tulisan. Demikian juga
siswa dengan kecerdasan musical perlu menggunakan instrumen belajar berupa gambar, praktik,
simulasi, dan presentasi selain sarana-sarana yang bersifat audio. Siswa yang kecerdasannya
tergolong kecerdasan kinestetis, yang unggul dalam bidang gerak juga perlu menggunakan
instrumen visual dan audio ketika belajar.

Bayangkan anak Anda belajar matematika hanya dengan mendengarkan penjelasan gurunya.
Mampukah dia menguasai materi matematika?

Bayangkan pula anak Anda belajar bahasa asing hanya dengan gambar, slideshow, atau tulisan.
Mampukah ia menguasai bahasa itu?

Jawaban untuk kedua pertanyaan di atas adalah ‘Tidak’, bukan?

Jawaban itu mengindikasikan bahwa pembelajaran harus melibatkan semua medium, baik visual,
audio, maupun kinestetik.

Anda setuju?

Nah, untuk itu, kesampingkan jauh-jauh terobosan yang menyarankan agar anak Anda belajar
HANYA dengan sarana yang sesuai dengan kecerdasannya. Masih banyak metode belajar yang
jaaaaaauh lebih efektif dari gaya belajar alias learning styles.
 
 
Baca juga:
Apa Itu Mental Block dan Bagaimana Mengatasinya agar Anak Lebih Optimis?
Anak Malas Belajar? Apa Penyebab dan Solusinya?
Bagaimana Cara Belajar Efektif? Ini Dia Rahasianya!
Strategi Pembelajaran yang Wajib Diketahui Siswa dan Guru
Cara Mudah Mengingat Materi Pelajaran (Cocok untuk Anak SMA)

About the Author Rina Ulwia

Rina Ulwia mulai terjun ke dunia penulisan semenjak lulus pendidikan S1 di salah satu
perguruan tinggi Islam di Jawa Tengah. Ketertarikannya dengan dunia tulis-menulis bermula
ketika ia menjadi editor di salah satu penerbit buku pendidikan terkemuka di Indonesia.
Semenjak itu, ia aktif menuangkan ide ke dalam tulisan. Perempuan yang hobi membaca buku
ini menaruh minat pada semua bidang. Ia suka berdikusi mengenai berbagai topik. Dari filsafat
hingga musik, dari ekonomi hingga sastra, semua ia diskusikan di sela-sela kesibukan kerja.
Memiliki banyak pengalaman yang menguji aspek psikis dan psikologisnya membuat perempuan
kelahiran 1985 ini menaruh perhatian besar pada dunia pengembangan diri. Ia bergabung dengan
Aquarius Resources, event organizer yang bergerak di bidang reedukasi pengembangan diri
sebagai creative writer. Baginya, berkecimpung di dunia pengembangan diri memberikan banyak
manfaat. Selain dapat mengembangkan diri, ia juga dapat membantu orang lain lewat tulisan-
tulisannya.

© 2018 Aquarius Learning. All rights reserved Share

Apa Itu Mental Block Dan Bagaimana Mengatasinya Agar Anak Lebih Optimis?
Tahukah Anda mengapa anak pesimis belajar?
Salah satu sebabnya yaitu, mereka tidak percaya diri dengan kemampuan mereka.
Tetapi, mengapa ia tidak percaya diri? Karena, ia memiliki citra diri yang negatif, yang
membuatnya yakin bahwa ia tidak mampu berprestasi. Citra diri yang negatif itu contohnya ia
menganggap ia bodoh, IQ-nya rendah. Contoh lainnya, ia berpikir ia tidak berbakat.
Nah, citra diri yang negatif inilah yang menghambat kemajuannya. Dengan citra itu, anak
pesimis meraih prestasi yang tinggi. Dan, karena pesimis, ia pun jadi malas belajar, malas
berusaha meraih prestasi. Setiap kali ia hendak belajar, terbersit dalam hatinya, “Buat apa
belajar? Toh aku bodoh, IQ-ku rendah. Aku ga bakal paham pelajaran matematika.” Hasilnya,
ia pun urung belajar.
Karena menghambat kemajuan sang anak, sebagaimana disebutkan di atas, citra diri yang negatif
disebut mental block alias hambatan mental.
Jadi, salah satu sebab anak pesimis belajar yaitu  mentalnya terhambat oleh citra diri yang
negatif. Untuk memepermudah menyebutnya, sebut saja citra diri negatif dengan mental block.
Sekarang, apa yang menyebabkan anak memiliki mental block? Untuk mengetahuinya, yuk,
simak penjelasan di bawah ini.

Penyebab Mental Block Pada Anak


Mental block tidak terjadi dengan sendirinya. Saat lahir, anak bak kertas putih. Ia belum
mengenal apa-apa. Ia belum mengenal konsep bodoh dan pintar. Ia juga belum mengenal konsep
berbakat dan tidak berbakat.
Pada masa perkembangannya, lingkungan mulai mengenalkannya pada berbagai konsep. Ia
mulai mengenal konsep baik dan buruk, bodoh dan pintar, hebat dan tidak hebat, keren dan tidak
keren. Pada masa inilah mulai terbentuk citra dirinya. Citra diri itu terbentuk dari penilaian orang
lain (penilaian guru, teman, tetangga, orangtua) dan lewat pengalamannya sendiri.
Penilaian guru, misalnya, membuatnya berpikir bahwa ia bodoh. Sebagai contoh, saat ia belajar
menulis di sekolah, sang guru melihat dan mengoreksi tulisannya.
Ketika mendapati tulisannya salah, guru lantas mengatakan, “Tulisan kamu salah. Ayo
diperbaiki. Jangan jadi anak bodoh.”
Dari situ, anak mulai menyimpulkan bahwa ia bodoh.
Pada contoh di atas, guru tidak sengaja membuat anak merasa bodoh. Tetapi, cara guru mendidik
anak tidak sengaja membuatnya merasa demikian.
Contoh lain, Anda melatih anak berhitung. Tetapi, anak lambat memahami penjelasan Anda.
Karena itu, Anda berkata, “Kamu memang agak lambat memahami pelajaran.”

Ucapan Anda di atas dapat membuat anak percaya bahwa dia lambat
memahami sesuatu. Keyakinan ini akan semakin menjadi-jadi manakala
pengalaman sang anak membuktikan bahwa ia memang lambat
memahami sesuatu. Pada gilirannya, keyakinan itu membuat anak
hilang kepercayaan diri. Dan, ketika keyakinan itu membuatnya hilang
percaya diri, saat itulah ia menjadi mental block yang menghambat
mental anak.  Akihrnya, karena mental block itu, anak sulit maju. Mental block itu membuatnya
pesimis.Apa contoh lain pembentukan citra diri yang negatif yang menjadi mental block? Contoh
lainnya, anak tertarik pada musik. Dia ingin mengikuti les musik. Tetapi, orangtua tidak setuju.
Orangtua berkata kepada anak, “Kamu itu ga bakat musik. Jadi, kalau mau les, jangan pilih les
musik. Pilih les lainnya saja. Ucapan di atas membuat anak percaya bahwa ia tidak berbakat
bermain musik. Padahal, ia berminat pada musik. Hal ini membuatnya kecewa. Ia kecewa
lantaran ia ingin bermian musik, tetapi takut tidak dapat menguasai musik karena ia yakin ia
bukan anak yang berbakat. Mental Block dan Budaya Judgemental Dari penjelasan di atas,
kita tahu bahwa penyebab anak memiliki citra diri yang negatif adalah penilaian orang lain, baik
guru, orangtua, masyarakat, teman, serta pengalaman hidup yang dilaluinya.Apabila anak sering
mengalami kegagalan, lama-kelamaan ia menyimpulkan bahwa ia memang ditakdirkan untuk
gagal. Atau, ia yakin bahwa ia memang bodoh sehingga selalu gagal.Akan tetapi, kesimpulan itu
tidak akan muncul jika budaya tidak mengajarkannya menghakimi tindakannya sendiri atau pun
tindakan orang lain. Jika tidak ada budaya judgemental (budaya suka menghakimi orang lain), di
mana setiap perilaku manusia dinilai sebagai perilaku yang baik, buruk, cerdas, atau bodoh,
maka anak pun tidak akan menilai tindakannya sebagai tindakan bodoh.Jadi, kesalahan juga ada
pada budaya kita yang judgemental alias penuh prasangka. Dalam budaya kita, perilaku
seseorang senantiasa dilabeli sebagai perilaku positif atau pun perilaku negatif. Misal, saat orang
dapat menguasai sebuah  skill dengan mudah, ia dicap sebagai orang berbakat atau cerdas.
Sebaliknya, saat ia susah menguasai skill itu, ia dicap sebagai orang yang tidak berbakat, orang
rata-rata.Nah, budaya judgemental juga berpengaruh pada anak. Karena tumbuh dalam
budaya judgemental, Anak pun jadi judgemental. Ia suka menghakimi. Bukan hanya orang lain
yang ia hakimi. Ia juga suka menghakimi dirinya sendiri.

Manakala salah menjawab soal, ia akan menghakimi dirinya sebagai anak yang bodoh. Dan,
karena penilaian itu, lama-kelamaan anak hilang kepercayaan diri.Hilangnya kepercayaan diri
inilah salah satu hambatan yang menghambat kemajuan anak. Hilangnya kepercayaan diri
menjadi mental block yang menghambat psikis anak. Penyebab di Luar Kendali
OrangtuaSebagaimana kita tahu, penyebab mental bclok pada anak adalah penilaian orangtua,
penilaian guru, teman, dan masyarakat, di mana penilaian itu muncul lantaran budaya kita yang
penuh prasangka. Ini artinya, kesalahan bukan hanya ada pada guru, orangtua, dan teman.
Budaya menjadi tertuduh utama. Ia merupakan biang penyebab anak mengidap mental
block.Lantas, apakah ini artinya untuk mengatasi mental block Anda harus merubah budaya
tersebut? Yup! Idealnya begitu. Tetapi, merubah budaya bukanlah hal yang mudah. Perlu
perombakan tatanan sosial menyeluruh untuk melakukannya. Tentu, Anda tidak dapat
melakukannya sendirian. Ini berarti, untuk saat ini, penyebab mental block anak sungguh di luar
kendali Anda. Tidak mungkin Anda marah pada sang guru. Tidak mungkin pula Anda memarahi
teman-teman anak Anda. Paling mentok, Anda hanya dapat merubah budaya Anda sendiri.
Artinya, Anda merubah perlilaku Anda terhadap anak Anda. Selain itu, sungguh semuanya di
luar kendali Anda!Lantas, bagaimana cara mengatasi mental block jika semua di luar kendali
Anda? Kabar baiknya, Anda dapat mengatasi mental block anak Anda meskipun dunia terus
menerus menilai anak Anda bodoh, ber IQ rendah, tidak berbakat, dan bla-bla bla.Nah, berikut
ini beberapa cara yang dapat Anda tempuh untuk mengatasi mental block anak Anda.Mengatasi
Mental Block Agar Anak Lebih OptimisNah, Bunda, ini dia beberapa tips mengatasi mental
block yang dapat penulis sajikan untuk Anda. Semoga, tips ini bermanfaat bagi Anda.

1. Daftar prestasi
Lingkungan, termasuk guru dan teman seringkali berprasangka. Anak Anda tidak luput menjadi
korbannya. Di sekolah, temannya berkata, “Kamu bodoh”, “Kamu serba ga bisa. Yang kamu
bisa apa?”, “Dasar IQ jongkok!” misalnya.
Dan, karena yang bicara adalah guru atau teman, Anda tidak dapat mengendalikan ucapan
mereka.

Tetapi, jangan khawatir! Anda masih dapat membuat anak Anda percaya diri dan mengabaikan
ucapan-ucapan di atas. Caranya yaitu dengan mengingatkan anak akan prestasi yang pernah
diraihnya.Bagaimana cara mengingatkan ia akan prestasi-prestasinya? Caranya, membuat daftar
prestasi.Ajak anak Anda untuk membuat daftar prestasi.

Yang perlu diperhatikan, prestasi tidak hanya berupa prestasi di sekolah seperti mendapat juara
1, mendapat nilai 100, atau dipilih menjadi ketua kelas. Prestasi adalah semua pencapaian positif
yang diperoleh anak.
Sebagai contoh, awalnya anak biasa bangun kesiangan. Nah, jika sekarang ia bisa bangun pagi,
maka bangun pagi merupakan prestasi.
Awalnya anak selalu menadapat nilai 5, tetapi sekarang ia mendapatkan nilai 6. Nah, dari 5 ke 6
juga merupakan prestasi.Awalnya, seharian anak hanya bermain  game, tetapi sekarang ia mau
membantu Anda mencuci piring. Nah, itu juga prestasi.Pokoknya, apa pun pencapaian positif
anak, sekecil apa pun pencapaian itu, tetap saja prestasi. Untuk itu, ajak anak untuk mencatatnya
ke dalam daftar prestasi.

Dengan daftar prestasi, anak memiliki bukti yang menyanggah


anggapan negatif orang lain terhadapnya. Sebagai contoh, orang lain
menganggapnya bodoh. Dengan daftar prestasi, anak dapat menyanggah
anggapan itu. Ia dapat berkata, “Aku ga bodoh, kok. Buktinya kemarin
aku dapat nilai 5, sekarang dapat nilai 6. Kalau rajin belajar pasti
nilainya semakin tinggi.”Selain itu, dengan daftar prestasi, perhatian
anak teralihkan. Awalnya, ia berkonsetrasi pada kekurangannya.
Sekarang, ia berfokus pada kelebihannya. Hal ini akan turut meningkatkan kepercayaan dirinya.
Mengapa? Karena, yang ia ingat bukanlah kekurangannya, melainkan kelebihannya.

2. Goal yang realistis


Adalah kebiasaan orangtua menginginkan anaknya menjadi yang terbaik. Orangtua menetapkan
harapan yang tinggi kepada anak. Itu sangat lumrah!
Akan tetapi, jika harapan itu tidak disesuaikan dengan kemampuan anak, maka anak tidak dapat
meraihnya.Contoh, orangtua ingin anaknya jago matematika. Setiap kali ujian matematika, anak
harus mendapatkan nilai 100. Padahal, anak memiliki kelemahan dalam pelajaran tersebut. Ia
lebih cerdas dalam bahasa, misalnya, dibanding berhitung.Nah, harapan itu tentu saja tidak
realistis, tidak sesuai dengan kemampuan sang anak.Akibatnya, Apabila anak tidak mendapat
nilai 100, Anda kecewa. Kekecewaan ini akan membuat anak merasa serba salah. Ia merasa
bahwa ia tidak berguna dan berharga di mata Anda.Untuk itu, penting bagi orangtua untuk
menetapkan harapan/goal yang realisitis.Apa itu goal yang realistis? Goal yang realistis
adalah goal/harapan yang disesuaikan dengan kemampuan anak.Boleh orangtua
menetapkan goal yang saaaangat tinggi kepada sang anak, asalkan orangtua memberikan bekal
yang memadai sedemikian sehingga anak memiliki kemampuan yang diperlukan untuk
meraih goal itu.Contoh, apabila orangtua ingin nilai matematikanya 100, maka orangtua perlu
memberikan pendidikan tambahan, misalnya les matematika untuk anak. Dengan begitu, anak
memiliki kemampuan yang dibutuhkan untuk mendapat nilai 100.
Contoh lainnya, orangtua mengikut-sertakan anak pada pelatihan yang menunjang kemampuan
anak. 
3. Buat mereka merasa spesial
Sebagaimana lumrahnya remaja, anak Anda tentu memiliki minat dan bakat tertentu. Agar anak
merasa berharga, dukunglah minat dan bakat mereka.Bandingkan dua ilustrasi berikut ini, kira-
kira mana yang membuat anak hilang kepercayaan diri.Ilustrasi 1: Anak merasa ia berbakat
dalam bidang musik. Karena itu, ia meminta orangtua mendaftarkannya les musik. Tetapi,
orangtua berkata, “Musik itu tidak ada manfaatnya. Kamu lebih baik ikut les
matematika.”AtauIlustrasi 2: Anak merasa ia berbakat dalam bidang musik. Karena itu, ia
meminta orangtua mendaftarkannya di les musik. Dan, orangtua menyambut keinginan sang
anak. Mereka mendaftarkan anaknya les musik. Mereka bahkan melakukan apa pun agar anak
dapat menguasai musik.Nah, dari dua ilustrasi di atas, mana yang membuat anak merasa tidak
berharga? Tentu ilsutrasi yang pertama, bukan?Bagaimana tidak?! Pada ilustrasi pertama,
orangtua tidak menghargai minat sang anak. Akibatnya, anak pun merasa tidak berharga.

Pada gilirannya, perasaan tidak berharga itu menjadi mental block yang menghambat


kemajuannya.
Untuk memperjelasnya lagi, coba bandingkan ilustrasi berikut ini. Bayangkan, ilustrasi yang
mana yang membuat anak merasa tidak berharga.

Ilustrasi 1: Anak Anda ditunjuk dalam sebuah acara di sekolah. Di acara itu, ia ditugaskan
untuk maju berpidato. Ia menginformasikan kabar gembira itu kepada Anda. Tetapi, Anda
menjawabnya seperti ini, “Ah, itu hanya pencitraan saja, supaya sekolah kamu terlihat bagus.
Padahal, ya biasa saja. Jadi, kamu jangan senang dulu.”
Atau

Ilustrasi 2: Anak Anda ditunjuk dalam sebuah acara di sekolah. Dalam acara itu, ia ditugaskan
untuk maju berpidato. Ia menginformasikan kabar gembira itu kepada Anda. Dan, Anda
menyambutnya dengan gembira. Anda bahkan mempersiapkan segala sesuatunya agar anak
Anda tampil memukau.
Dari dua ilustrasi di atas, yang mana yang membuat anak kehilangan kepercayaan diri? Tentu
saja ilustrasi yang pertama, bukan?
Menyimak ilustrasi-ilustrasi di atas, bagaimana kesimpulan Anda? Anda, sebagai orangtua perlu
mendukung dan menghargai minat, pencapaian, dan bakat anak.
Ketika orangtua mendukung bakat, minat, dan prestasinya, niscaya tumbuh kepercayaan diri
pada anak. Citra diri yang terbentuk dalam otak si anak citra diri yang positif, yakni bahwa
ia orang yang berharga.

4. Kepercayaan
Cara lain menghargai anak, membuat citra diri anak positif yaitu dengan memberikan mereka
kepercayaan.

Beri dia kepercayaan untuk mengatasi masalahnya sendiri, membuat keputusan dan pilihan.


Dengan mempercayainya untuk mengatasi masalahnya sendiri, membuat keputusan, serta
menentukan pilihan, anak akan tahu bahwa Anda percaya terhadap kemampuannya. Ia akan
beranggapan bahwa ia memang mampu. Buktinya, Anda mempercayainya untuk mengambil
tindakan.
Kesadaran itu pada gilirannya akan membuatnya merasa berharga. Dan, saat ia merasa berharga
di mata Anda, pengaruh negatif dari luar akan dihiraukannya.

5. Reprogram keyakinan bawah sadarnya


Selain cara-cara di atas, yang paling utama yaitu memprogram kembali keyakinan bawah sadar si
anak.
Apa itu program bawah sadar?
Jadi, ketika orang lain seperti guru, orangtua, dan teman mengucapkan perkataan yang negatif
terhadap anak seperti, “Kamu itu bodoh,” “Kamu susah nangkap pelajaran,” “IQ-mu jongkok”
dan perkataan-perkataan negatif lainnya, kesemua perkataan itu masuk ke dalam pikiran bawah
sadar sang anak dan menjadi sistem kepercayaan,  menjadi program bawah sadarnya.
Nah, dengan sistem kepercayaan yang seperti itu, perilakunya dikendalikan oleh kepercayaan
tersebut. Kepercayaan itu menjadi mental block yang menghambat kemajuannya. Kepercayaan
bawah sadar bahwa dia bodoh membuat dia pesimis belajar. Kepercayaan bahwa IQ-nya jongkok
membuat dia susah menangkap pelajaran.
Oleh karena itu, Anda, sebagai orangtua perlu mereprogram keyakinan bawah sadarnya untuk
membuang kepercayaan-kepercayaan yang negatif itu dan menggantinya dengan kepercayaan-
kepercayaan yang positif yang mendukung kemajuan belajarnya.
Bagaimana cara mereprogram bawah sadar?
Untuk mengetahuinya, baca artikel yang berjudul Cara Memprogram Diri 6 Kali Lebih Cepat
Apa Yang Harus Anda Hindari?
Jika tadi kita urai beberapa tips yang perlu Anda lakukan untuk mengatasi mental block anak,
sekarang mari kita urai beberapa hal yang perlu Anda hindari agar anak tidak mengidap mental
block.
Apa saja mereka? Ini dia penjelasannya.
1. Memuji secara berlebihan
Sebagaimana penulis sampaikan sebelumnya, budaya kita yang judgemental menjadi biang
keladi mental block pada anak.
Bukan hanya prasangka negatif yang membuat anak hilang kepercayaan diri. Di samping
dampak positifnya, ternyata prasangka positif (pujian) juga berdampak negatif pada anak.
Memuji prestasi anak merupakan bentuk prasangka yang positif. Tindakan anak dihakimi/dinilai
dengan penilaian yang positif. Prasangka positif ini tentu bermanfaat bagi anak. Dengan
prasangka itu, kepercayaan dirinya melejit.
Tetapi, apabila prasangka positif (pujian) itu berlebihan, maka yang terjadi adalah sebaliknya. Ia
tidak lagi bermanfaat bagi anak, tetapi justru membawa petaka baginya.
Apa petaka itu? Petakanya yaitu anak terobsesi pada prestasi dan pujian. Karena tiap melakukan
tindakan positif ia dipuji sebagai anak yang cerdas, akhirnya bawah sadarnya menyimpulkan
bahwa ia harus cerdas, bahwa kecerdasan adalah segala-galanya. Dan, dengan kesimpulan itu, ia
pun berpikir bahwa tujuannya belajar di sekolah adalah untuk menjadi cerdas. Ini membuatnya
berpikir bahwa semua yang ia lakukan hanyalah agar ia menajdi cerdas.
Tentu saja, tujuan itu menyimpang dari tujuan pembelajaran yang sebenarnya. Tujuan
pembelajaran yang sebenarnya bukanlah semata-mata agar anak cerdas, melainkan agar anak
mendapatkan ilmu yang bermanfaat baginya di kemudian hari.
Catat, ya, Bunda! Heheheh.
Orang yang berilmu tidak harus cerdas. Dan, sebaliknya, orang yang cerdas belum tentu banyak
ilmu.
Mencari ilmu bukan hanya hak anak yang cerdas. Anak yang cerdasnya standar juga berhak
mencari ilmu. Tetapi, pujian yang berlebihan atas kecerdasan anak seolah menegaskan bahwa
hanya anak yang cerdas saja yang oke, yang patut diacungi jempol. Sementara itu, proses di
mana anak mencapai pengetahuan (dari awalnya tidak tahu) tidak dihargai.
Jika anak cerdas membutuhkan sedikit usaha untuk paham, anak yang cerdasnya standar
membutuhkan lebih banyak waktu untuk paham pelajaran. Nah, bagi kita yang tumbuh dalam
budaya judgemental, semakin sedikit waktu yang dibutuhkan untuk paham pelajaran, semakin
bagus. Sebaliknya, semakin banyak waktu yang dibutuhkan untuk paham pelajaran, maka
semakin buruk. Ini artinya, kita lebih menghargai hasil dan mengabaikan proses. Kita lebih
menghargai anak yang cerdas ketimbang anak yang kurang cerdas tapi tekun belajar.
Dan, karena kita, orangtua, lebih menghargai anak cerdas (meskipun malas) ketimbang anak
yang kurang cerdas tetapi rajin, anak pun terobsesi menjadi cerdas. Akibatnya? Akibatnya,
makanala ia menemukan dirinya sulit memahami pelajaran, ia pun frustasi. Ia berpikir ia tidak
berharga karena ia bukan anak yang cerdas.
Pada gilirannya, perasaan tidak berharga itu menjadi mental block yang menghambat
kemajuannya.

2. Membandingkan anak
Seringkali, jika sebuah keluarga terdiri lebih dari satu anak, orangtua gemar membandingkan
prestasi anak-anaknya.

Pernahkah Anda membandingkan anak Anda dengan saudaranya? Hayoooo, ngakuuuuu.


Heheheh.
Contoh, anak Anda yang pertama lebih dewasa ketimbang anak Anda yang kedua. Menurut
Anda, anak pertama juga lebih cerdas dibanding anak kedua.

Nah, manakala anak pertama mendapat juara kelas, Anda lantas berkata begini kepada anak
kedua, “Lihat, tuh, kakak kamu. Hebat, kan? Jadi juara lagi. Kamu harusnya kaya dia juga,”
“Mama bangga sama kakak kamu. Kamu kapan bikin bangga Mama?” atau, “Kakak kamu
mewarisi kecerdasan Mama dan Papa. Kalau kamu…kamu itu nurun ke siapa, ya, kok kurang
cerdas?”
Bayangkan, bagaimana kira-kira perasaan anak kedua Anda mendengar ucapan di atas? Mak
jleb, bukan? Saking mak jlebnya, ucapan itu membekas dalam pikiran bawah sadarnya. Dalam
pikiran bawah sadarnya, selalu terngiang-ngiang, “Aku tidak secerdas kakak. Aku tidak mewarisi
kecerdasan Mama dan Papa.” Di sana, ucapan itu menjadi mindset, menjadi citra diri yang
menciutkan mentalnya. Citra diri itu menjadi mental block yang menghambat kemajuannya.
Iiiiih, sereeeeem!!! Maka dari itu, jika Anda ingin anak terhindar dari mental block, hindari
membandingkannya dengan saudaranya, ya. Terima dia apa adanya.
Bunda, demikian uraian yang dapat penulis sampaikan kepada Anda tentang apa dan
bagaimana mengatasi mental block pada anak. Semoga, uraian di atas bermanfaat bagi
Anda.
Baca juga:

Anak Malas Belajar? Apa Penyebab dan Solusinya?


Pola Pikir Irasional yang Menyebabkan Anak Pesimis Belajar dan Cara Merubahnya
Mempersiapkan Anak untuk Sukses di Sekolah

About the Author Rina Ulwia


Rina Ulwia mulai terjun ke dunia penulisan semenjak lulus pendidikan S1 di salah satu
perguruan tinggi Islam di Jawa Tengah. Ketertarikannya dengan dunia tulis-menulis bermula
ketika ia menjadi editor di salah satu penerbit buku pendidikan terkemuka di Indonesia.
Semenjak itu, ia aktif menuangkan ide ke dalam tulisan. Perempuan yang hobi membaca buku
ini menaruh minat pada semua bidang. Ia suka berdikusi mengenai berbagai topik. Dari filsafat
hingga musik, dari ekonomi hingga sastra, semua ia diskusikan di sela-sela kesibukan kerja.
Memiliki banyak pengalaman yang menguji aspek psikis dan psikologisnya membuat perempuan
kelahiran 1985 ini menaruh perhatian besar pada dunia pengembangan diri. Ia bergabung dengan
Aquarius Resources, event organizer yang bergerak di bidang reedukasi pengembangan diri
sebagai creative writer. Baginya, berkecimpung di dunia pengembangan diri memberikan banyak
manfaat. Selain dapat mengembangkan diri, ia juga dapat membantu orang lain lewat tulisan-
tulisannya.
Bagaimana Cara Belajar Efektif? Ini Dia Rahasianya! (Cocok Bagi Pembelajar Usia
Dewasa)
Sekarang Anda sedang melanjutkan studi? Jika ya, berapa nilai Anda? A? B? C? Hheheh.
“Saya dapat nilai bagus terus. Setiap ujian, saya dapat A,” jawab Anda.
Wow! Hebat, dong!!
“Tapi, entah kenapa, nilai itu justru bikin saya malu.”
Mengapa malu?
“Karena, meskipun nilai saya bagus-bagus, tapi dalam praktik, saya nol.”
Tahukah Anda mengapa bisa begitu?
“Ngga tahu :(”
Hmm, memang, nilai yang bagus bukanlah jaminan! Nilai yang bagus bukanlah indikasi kita bisa
menerapkan ilmu dalam kehidupan.
Kok bisa?
Karena, kita hanya menyerap ilmu tersebut tanpa tahu manfaatnya bagi kehidupan; Kita tidak
menghubungkan ilmu yang kita pelajari dengan kebutuhan kita. Kita menyerap informasi dari
buku sekadar untuk mendapat nilai yang sempurna.Jika sudah begitu, maka belajar menjadi sia-
sia. Kita paham otak butuh oksigen. Kita paham jantung memompa darah ke otak dan seluruh
tubuh. Tetapi, kita tidak paham apa arti informasi itu. Walhasil, saat dihadapkan pada masalah
otak (mudah lupa, misalnya), kita tidak dapat menggunakan informasi itu untuk
memecahkannya.Lantas, bagaimana cara mengatasinya? Bagaimana agar belajar tidak sia-sia?
Bagaimana cara belajar efektif?Jawabannya, tentu saja, Anda harus menghubungkan ilmu yang
Anda pelajari dengan kebutuhan manusia. Anda belajar bukan sekadar untuk mendapat nilai.
Anda belajar untuk membantu Anda memecahkan masalah.Tetapi, bagaimana cara
menghubungkan ilmu/informasi yang dipelajari dengan kebutuhan hidup?

Caranya: BERTANYA!
“It’s not that i’m so smart but i stay with questions much longer.”
-Albert Einstein
Sebagaimana kutipan di atas, Einstein mengungkapkan, keberhasilannya bukan lantaran dia
cerdas, melainkan karena ia terus bertanya.
Dalam kutipan lain, Einstein menjelaskan:
“If I had an hour to solve a problem and my life depended on solution, I would spend the first 55
minutes determining the proper question to ask…for once I know the proper question, I could
solve the problem in less than five minutes.”
-Albert Einstein

Jika saya punya satu jam untuk memecahkan masalah dan hidup saya tergantung pada solusinya,
saya akan menghabiskan 55 menit pertama untuk menentukan pertanyaan yang tepat…setelah
saya tahu pertanyaan yang tepat, saya dapat memecahkan masalah itu dalam waktu kurang dari
lima menit.
Dari kutipan-kutipan di atas, kita tahu, bagi Einstein, pertanyaan saaaaaangat penting. Mungkin,
bisa dibilang, cara belajar efektif menurut Einstein adalah BERTANYA.
Nah, jika Einstein saja bisa sukses berkat pertanyaan, maka Anda pun dapat menirunya. Anda
dapat menjadikan Einstein sebagai role model dalam belajar. Jadikan “bertanya’ sebagai cara
belajar efektif.
Apa Pentingnya Bertanya?
Sekarang, pertanyaannya, dalam belajar, mengapa bertanya itu penting? Untuk menjawabnya,
coba Anda perhatikan pernyataan berikut.
Arteri memiliki dinding yang tebal dan elastis.
Kira-kira, dari informasi itu, apa yang Anda dapat? Pertama, dinding arteri tebal. Kedua, selain
tebal, ia juga elastis.
Nah, apakah informasi itu cukup untuk Anda? Coba sekarang balik pernyataan itu menjadi
pertanyaan:
Mengapa arteri memiliki dinding yang tebal dan elastis?
Dengan pertanyaan itu, apa yang Anda dapat?
1. Arteri memiliki dinding yang elastis untuk mengantisipasi naik turunnya tekanan darah.
2. Arteri memiliki dinding yang tebal untuk mengantisipasi saat tekanan darah meningkat.
Dengan dua informasi itu, pemahaman Anda tentang arteri sedikit lebih maju dibanding
pengetahuan Anda sebelumnya, bukan? Itu artinya, dengan bertanya, Anda dapat meningkatkan
pengetahuan Anda.
Sekarang, coba perhatikan informasi berikut.
Di dunia ini,  kita mengenal bermacam warna. Ada warna merah, putih, hitam, hijau, biru,
ungu, dan coklat. 
Apa yang Anda dapat dari informasi di atas? Membaca informasi di atas, penulis jamin, Anda
bosan karena merasa informasi itu sudah sangat amat ‘basi’! Semua orang juga tahu bermacam
warna di dunia ini. Bahkan, semua orang tahu ada jenis warna pokok dan warna campuran. Sama
sekali tak ada yang baru!
Tetapi, coba Anda perhatikan baik-baik nama-nama warna itu. Merah, putih, hitam, hijau, biru,
ungu, dan coklat. Adakah yang ganjil dari nama-nama warna itu? Semua diungkapkan dalam
bahasa Indonesia, kecuali warna coklat!
Dari temuan itu, Anda dapat bertanya kepada diri Anda sendiri:
Kalau orang Indonesia menyebut warna coklat dengan coklat, lantas sebelum buah coklat
masuk ke Indonesia, bagaimana mereka menyebut warna coklat? Istilah ‘coklat’ untuk warna
kan diambil dari buah coklat, yang kebetulan warnanya juga coklat? 
Nah, dari situ, Anda dapat menggali informasi tentang bagaimana orang Indonesia dulu
menyebut warna coklat. Dari situ, Anda tahu, ternyata, sebelum buah coklat masuk ke Indonesia,
mereka menyebut warna coklat dengan ‘sawo matang‘.
Taraaaa!!! Temuan Baru!!!
Dari dua contoh di atas, Anda semakin yakin, bukan, bertanya sangat bermanfaat dalam belajar?
Menyerap informasi secara pasif (membaca buku, misalnya) tanpa dibarengi pertanyaan dapat
menjerumuskan Anda pada ilusi bahwa Anda telah memahami buku itu dengan lengkap.
Sebaliknya, dengan bertanya, Anda dapat mengetahui informasi lainnya yang masih
berhubungan dengan apa yang Anda pelajari. Bertanya dapat menuntun Anda pada penemuan
baru. Bertanya dapat menuntun Anda pada pemahaman yang utuh. Bertanya juga dapat
menuntun Anda pada pemecahan masalah!
Yup! Pemecahan masalah. Itu yang terpenting.
Untuk itu, jangan ragu untuk terus bertanya. Bertanyalah kepada diri sendiri atau pun kepada
orang lain. Bertanyalah tentang informasi/pengetahuan yang baru Anda pelajari. Setiap informasi
disampaikan dalam bentuk yang tidak utuh. Ada juga informasi yang tidak valid. Tanpa
bertanya, Anda menerima informasi itu mentah-mentah, tanpa tahu informasi itu benar atau
salah. Akibatnya, Anda tak dapat menggunakannya saat Anda membutuhkannya.
Cara Belajar Efektif: Rumuskan Pertanyaan Yang Tepat
Setelah mengetahui pentingnya bertanya, sekarang, pertanyaan yang bagaimana yang dapat
menuntun Anda pada pemecahan masalah? Apakah asal bertanya? Atau, Anda harus
merumuskan bentuk pertanyaannya?
Jawabannya, tentu saja, Anda perlu mengemukakan pertanyaan yang tepat! Jika tidak, maka alih-
alih menemukan solusi, Anda justru semakin jauh dari solusi. Pertanyaan yang salah dapat
semakin menjauhkan Anda dari solusi, dari informasi-informasi yang relevan dengan masalah
itu.

Nah, seperti apa pertanyaan yang tepat itu?

Dalam sebuah artikel di situs mempowered.com, Dr. Fiona


McPherson menjelaskan, untuk memutuskan apakah sebuah
pertanyaan tepat atau tidak, Anda dapat bertanya kepada diri
Anda sendiri:

1. Apakah pertanyaan itu membuat informasi berarti?


2. Apakah pertanyaan itu membuat informasi dapat dipahami secara utuh?
3. Apakah pertanyaan itu dapat memperkaya pengetahuan baru (yang berhubungan dengan
informasi awal) bagi Anda?
Jika pertanyaan Anda tidak membuat informasi yang Anda peroleh berarti, maka pertanyaan itu
tidak tepat.Tetapi, apa itu informasi yang berarti?Informasi yang berarti adalah informasi yang
relevan dengan masalah Anda.

Sebagai contoh, sambil melanjutkan studi, Anda ingin membuka usaha. Nah, sebelum
memutuskan jenis usaha apa yang akan Anda jalani, Anda perlu banyak bertanya kepada diri
Anda sendiri:
1. Produk apa yang banyak dicari di pasar?
2. Berapa banyak pesaingnya?
3. Apa rata-rata status sosial pelanggan?
Dari pertanyaan-pertanyaan itu, Anda memperoleh informasi yang relevan dengan
tujuan/kebutuhan/masalah Anda. Pertanyaan pertama memberikan jawaban kepada Anda bahwa
produk yang banyak dicari di pasaran adalah smartphone, misalnya. Anda pun dapat
berjualan smartphone.
Tetapi, berbekal informasi itu saja, Anda belum bisa memutuskan untuk berjualan smartphone.
Anda butuh pertanyaan kedua. Dengan pertanyaan kedua, Anda memperoleh jawaban banyaknya
pesaing hanya satu, misal. Dari situ, Anda dapat menyimpulkan Anda memiliki kesempatan
besar untuk berbisnis smartphone. Karena, peluang pasarnya besar, pesaingnya sedikit.
Dari pertanyaan ketiga, Anda memperoleh jawaban, rata-rata, status sosial pelanggan adalah dari
kalangan menengah atas. Nah, dari situ, Anda dapat memutuskan jenis smartphone yang
bagaimana yang cocok untuk pasar, apakah smartphone di atas 5 juta atau di bawah 5 juta.
Jadi, pertanyaan harus menggiring Anda pada informasi yang relevan dengan tujuan/masalah
Anda. Selain itu, pertanyaan juga harus bisa membuat pemahaman Anda penuh/komprehensif.
Pemahaman komprehensif itu yang bagaimana? Pemahaman yang utuh, di mana Anda paham
hubungan antara satu informasi dengan informasi lainnya. Sebagai contoh, ada 2 fakta/informasi
sebagai berikut:
Arteri memiliki dinding yang tebal dan elastis, yang membawa darah kaya akan oksigen dari
jantung.
Pembuluh vena memiliki dinding yang lebih tipis dan lebih tidak elastis, dan membawa darah
kaya akan karbon dioksida kembali ke jantung.
Dari informasi di atas, Anda dapat merumuskan pertanyaan berikut:
Mengapa dinding arteri lebih elastis dibanding dinding pembuluh vena?
Dari pertanyaan itu, Anda mendapat jawaban:
Arteri membawa darah dari jantung ke otak dan ke seluruh tubuh. Darah mengalir dengan
volume dan kecepatan yang berbeda. Hal itu membuat tekanan darah tidak stabil. Oleh karena
itu, dinding arteri tebal. Gunanya untuk mengantisipasi perubahan tekanan. Sementara itu,
dinding vena lebih tidak elastis karena ia membawa darah dari seluruh tubuh ke jantung. Darah
mengalir dengan tekanan yang stabil. Oleh karena itu, dinding vena lebih tidak elastis karena
tidak perlu mengantisipasi ketidakstabilan tekanan.
Jawaban/informasi itu memberikan pemahaman yang lebih lengkap dari informasi sebelumnya,
bukan? Dengan pertanyaan di atas, pemahaman Anda mengenai pembuluh arteri dan pembuluh
nadi jadi sedikit lebih lengkap. Berkaitan dengan pembuluh darah, Anda dapat terus melanjutkan
pertanyaan hingga pemahaman Anda benar-benar lengkap, tak ada yang tersisa lagi.
Sama halnya ketika Anda menjumpai masalah dan ingin memecahkannya. Anda dapat
menggunakan strategi di atas untuk menemukan solusi. Rumuskan pertanyaan yang tepat, yang
dapat menggiring Anda kepada jawaban/informasi yang relevan dengan masalah Anda.
Demikianlah cara belajar efektif yang dapat penulis sampaikan kepada Anda. Bertanya
sangatlah penting. Jawaban bermula dari pertanyaan. Penemuan baru juga berawal dari
pertanyaan. Untuk itu, jangan ragu untuk terus bertanya. Rumuskan pertanyaan yang
tepat, yang sesuai dengan masalah/tujuan Anda.
Akhir kata, selamat mencoba cara di atas!

Reading OCD: Waspadalah Pada Hambatan Membaca Satu Ini!

Apakah Anda memiliki kebiasaan ini: suka mengulang bacaan berkali-kali? Apakah Anda sering
batal menyelesaikan buku karena terus mengulangnya dari awal?
“Iya,” jawab Anda.
Lalu, apa yang Anda rasakan?
“Saya merasa bodoh. Saya merasa otak saya loading-nya
lama banget. Memahami buku aja susahnya minta ampun.
Harus mengulanginya berkali-kali,” jawab Anda dengan
nada agak sedih.
Hmmmm. Bagaimana jika penulis katakan bahwa Anda tidak
bodoh? Percayakah Anda?
Anda wajib percaya!Alasannya, yach, karena memang Anda
tidak bodoh. Heheheh. Ada satu fakta mengejutkan mengapa
Anda terus-menerus mengulang bacaan.
Apa itu?
Anda terus-menerus mengulang bacaan bukan karena Anda bodoh dan tidak paham, melainkan
karena Anda RAGU dengan pemahaman Anda!
Anda terobsesi pada kesempurnaan! Anda ragu Anda sudah memahami paragraf dengan
semupurna. Dan, karenanya, Anda mengulang-ulang bacaan. Anda takut kalau-kalau ada yang
terlewatkan. Anda takut kalau-kalau pemahaman Anda keliru.
Dalam psikologi, obsesi terhadap kesempurnaan pemahaman disebut reading OCD (Reading
Obsessive Compulsive Disorder). Sebagaimana penulis jelaskan di atas, penderita reading
OCD terobsesi terhadap kesempurnaan pemahaman. Dan, obsesi itulah yang mendorongnya
untuk terus-menerus mengulang bacaan. Ia ragu apakah pemahamannya sudah sempurna dan
karenanya terus mengulang bacaannya.
Jadi, sekali lagi, Anda tidak bodoh! Anda tidak bodoh hanya karena Anda terus menerus
mengulang bacaan Anda. Anda terus mengulang bacaan  karena Anda mengidap reading OCD,
di mana Anda terobsesi pada kesempurnaan pemahaman.
Camkan itu! Heheheh.
Intinya, mulai sekarang, buang perasaan yang mengatakan bahawa Anda bodoh dan lamban
dalam membaca buku.
Reading OCD merupakan salah satu bentuk kelainan OCD (obsessive compulsive disorder).
Orang yang megidap OCD memiliki kecemasan yang berlebihan bahwa ia belum melakukan
sesuatu dengan sempurna.
Selain reading OCD, ada berbagai bentuk OCD lainnya. Contoh, OCD di mana pengidapnya
terus-menerus mengecek pintu rumah karena ragu apakah ia sudah mengunci pintu atau belum.
Ada juga yang bentuk OCD-nya terus-menerus mengecek kompor. Ia ragu apakah ia sudah
mematikan kompor dengan sempurna atau belum.
Dulu, penulis punya teman yang menderita OCD. Bentuk OCD-nya yaitu ragu-ragu dalam
beribadah. Ia bisa menghabiskan waktu berjam-jam hanya untuk mengulang wudu. Ia
mengulangi wudu karena ia ragu apakah wudunya sudah sempurna atau belum. Ia tidak percaya
diri dengan niatnya.
Kembali pada pembahasan, Jonathan Grayson, seorang pakar psikologi yang banyak meneliti
soal OCD menjelaskan, ada beberapa sebab mengapa seseorang menderita reading OCD. Sebab-
sebab itu antara lain
1. Obsesi kesempurnaan
Seseorang mengidap reading OCD dan terus mengulang bacaannya lantaran ia terobsesi
pemahaman yang sempurna. Ia tidak yakin ia sudah memahami dengan sempurna apa yang
dibacanya.
2. Ketidakpercayaan diri
Selain obsesi kesempurnaan, reading OCD juga bisa muncul lantaran ketidakpercayaan diri yang
akut. Pengidap reading OCD tidak percaya diri dengan kemampuan/kecerdasannya. Ia
mengulang-ulang bacaan untuk meyakinkan diri bahwa ia telah memahami buku dengan baik.
3. Keragu-raguan
Penyebab yang ketiga yaitu keragu-raguan. Reading OCD bisa muncul lantaran sang penderita
ragu apakah ia sudah membaca buku dengan baik. Ia takut kalau-kalau ada yang terlewatkan atau
ada pemahamannya yang keliru.

Nah, dari 3 penyebab di atas, kira-kira, mana yang menyebabkan


Anda menderita reading OCD? Mana dari 3 penyebab di atas yang
menjadi hambatan membaca Anda?
Sebenarnya, ketiganya sama saja. Obsesi terhadap
KESEMPURNAAN pemahaman muncul lantaran sang penderita
TIDAK PERCAYA DIRI dengan kemampuannya memahami
bacaan. Dan, karena obsesi itu, muncul KERAGU-RAGUAN
dalam dirinya apakah ia sudah memahami buku dengan baik,
apakah ia sudah membaca buku dengan komplit atau tidak.
Sekarang, pertanyaannya, bagaimana cara menghilangkan
hambatan membaca itu? Bagaimana menghilangkan reading OCD dalam diri Anda?
Hmmm, penulis akan mengajak Anda untuk membongkar fakta-fakta tentang membaca
buku yang cukup megejutkan. Fakta-fatka itu akan membuka mata Anda, mencerahkan dan
menyadarkan Anda untuk tidak perlu lagi khawatir bahwa Anda belum memahami buku dengan
sempurna. Fakta-fakta itu akan membuka mata Anda bahwa Anda tidak perlu mengulang-ulang
bacaan untuk mencapai pemahaman yang utuh.
Penasaran apa saja fakta mengejutkan itu?
1. Tidak keseluruhan isi buku penting
Tahukah Anda, tidak semua kalimat yang termuat dalam buku bacaan Anda penting!
Anda tidak percaya?
Penulis punya pengalaman menjadi editor salah satu penerbit buku pelajaran di Indonesia.
Pengalaman itu memberikan pemahaman kepada penulis tentang seluk-beluk penulisan buku.
Salah satu rahasia penulisan buku yaitu JUMLAH HALAMAN YANG DITARGETKAN OLEH
PENERBIT. Pengarang buku harus memenuhi target itu. Kadang, targetnya minimal sekian
halaman. Kadang dibatasi juga jumlah minimal dan maksimal halaman.
Lantas, apa arti penargetan itu?
Artinya, jika ide sang pengarang sedikit, sementara jumlah halaman yang ditargetkan banyak,
maka ia perlu menambahkan beberapa konten dalam naskahnya demi memenuhi target.
Apabila idenya sedikit, ia bisa menyisipkan paragraf-paragraf yang tidak penting dalam
naskahnya. Ia bisa menyisipkan paragraf basa-basi, atau paragraf yang hanya berupa informasi
tambahan, yang jika informasi itu tidak terbaca sekali pun, tidak mengurangi pemahaman
pembaca atas idenya.
Nah, jika tidak keseluruhan isi buku penting, maka Anda tidak perlu membaca semuanya. Anda
bisa melewati bagian-bagian yang sekadar memberi informasi tambahan. Anda juga bisa
melewati bagian-bagian yang hanya berisi basa-basi. Anda tidak perlu khawatir Anda
melewatkan beberapa bagian dalam buku tersebut. Jadi, Anda tidak perlu mengulang-ulang
membacanya.
Apa yang membuat Anda terobsesi terhadap kesempurnaan pemahaman yaitu Anda menganggap
keseluruhan isi buku penting; Anda tidak boleh melewatkannya barang satu kata pun.
Dari situ, timbul kekhawatiran kalau-kalau Anda melewatkan satu kata. Dan, karenanya Anda
terus mengulang bacaan untuk meyakinkan diri bahwa Anda sudah membacanya dengan penuh.
Akhirnya, jika kekhawatiran itu muncul setiap kali Anda membaca buku, lama-kelamaan, ia
menjelma menjadi obsesi terhadap kesempurnaan pemahaman.
2. Anda sudah paham sebagian isi bacaan
Apa tema buku yang sering Anda baca? Pengembangan diri? Kebudayaan? Pengetahuan umum?
Jika kebanyakan buku yang Anda baca bertemakan pengembangan diri, maka lama-kelamaan,
Anda familiar dengan istilah-istilah pengembangan diri, bukan? Lebih dari itu, Anda juga
familiar dengan informasi yang berhubungan dengan dunia pengembangan diri.
Demikian sebaliknya, jika kebanyakan buku yang Anda baca adalah buku-buku pengetahuan
umum, maka lama-kelamaan Anda hapal istilah-istilah yang lazim digunakan dalam ranah
tersebut. Anda bahkan familiar dengan informasi-informasi yang terkait dengan pengetahuan
umum.
Lantas, apa artinya itu?
Artinya, Anda tidak perlu membaca keseluruhan isi buku; Anda tidak perlu mengulang bacaan
dari awal, dari bab pertama supaya pemahaman lebih mendalam.
Mengapa?
Sudah banyak yang Anda pahami dari buku yang Anda baca. Sudah banyak istilah yang Anda
hapal betul maknanya dalam buku tersebut. Jadi, mengapa Anda berulang kali membacanya?
Obsesi pada kesempurnaan pemahaman bisa muncul lantaran Anda beranggapan setiap buku
yang Anda baca memuat informasi yang benar-benar baru yang belum pernah Anda
dengar/ketahui sebelumnya.
Anggapan itu bisa jadi tepat, terutama jika Ada membaca buku dengan tema yang acak. Hari ini,
Anda membaca buku bertema politik. Besoknya, Anda membaca buku bertema psikologi.
Besoknya lagi, Anda membaca buku bertema astronomi.
Tetapi, jika tema buku yang Anda baca sama setiap harinya, maka kemungkinan besar, anggapan
di atas keliru. Ketika Anda membaca buku dengan tema yang sama setiap harinya, maka lama-
kelamaan, Anda familiar dengan istilah-istilah yang lazim digunakan dalam ranah/tema itu.
Banyak informasi yang sudah basi bagi Anda.
Nah, anggapan bahwa buku yang Anda baca memuat informasi yang benar-benar baru dan
belum pernah Anda ketahui sebelumnya mendorong Anda untuk membaca keseluruhan isi buku.
Anggapan itu membuat Anda khawatir apakah Anda sudah membaca semuanya atau belum.
Akhirnya, kekhawatiran itu membuat Anda ragu dan mengulang-ulang bacaan karenanya.
Jika setiap membaca buku, timbul kekhawatiran seperti itu dalam diri Anda, maka lama-lama
kekhawatiran itu menjelma menjadi obsesi terhadap kesempurnaan pemahaman.
3. Kalimat dalam buku tidak terisolasi satu dari lainnya
Fakta ketiga, kalimat dalam buku tidak terisolasi satu dari lainnya.
Apa maksudnya?
Maksudnya, masing-masing kalimat dalam buku yang Anda baca saling berhubungan. Kalimat
pertama berhubungan dengan kalimat kedua. Kalimat kedua berhubungan dengan kalimat ketiga.
Demikian seterusnya dan membentuk satu kesatuan yang tak terpisahkan.
Dalam buku yang berjudul Asking the Right Questions: A Guide to Critical Thinking dijelaskan,
satu kalimat tunggal belumlah bisa dipahami secara utuh kecuali ia dihubungkan dengan kalimat
lainnya dan membentuk argumen. Artinya, jika Anda membaca satu kalimat dan tidak
menghubungkannya dengan kalimat berikutnya, maka pemahaman Anda tidak utuh.
Hal itu ibarat melihat rumah-rumahan yang disusun dari lego. Untuk menemukan bentuk rumah,
Anda harus melihat keping-keping lego sebagai satu kesatuan yang tak terpisahkan. Anda tidak
bisa menemukan bentuk rumah jika Anda hanya melihat satu keping lego di antara susunan itu.
Sama halnya dengan melihat rumah-rumahan (dari susunan lego) dengan hanya melihat sekeping
lego di antara susunan itu, membaca kalimat yang sama berulang kali merupakan kekeliruan!

Mengapa?
Hal itu tidak akan membawa Anda pada pemahaman yang utuh. Membaca kalimat yang sama
berulang kali sama dengan mengamati sekeping lego. Mengamati sekeping lego berjam-jam
tidak akan membuat lego itu berubah menjadi sebentuk rumah. Ia akan tetap menjadi sekeping
lego yang tanpa arti. Agar ia menjadi sebentuk rumah, Anda harus merangkainya dengan
kepingan lainnya.
Sama halnya, membaca kalimat yang sama berulang kali tidak akan membuat kalimat itu
menjadi sebentuk makna yang utuh. Ia akan tetap menjadi kalimat tunggal yang artinya tidak
utuh. Untuk memahaminya secara utuh, Anda perlu merangkainya dengan kalimat-kalimat
lainnya. Dan, itu artinya, Anda beranjak pada kalimat selanjutnya. Anda melanjutkan bacaan
Anda, tidak mengulangi kalimat yang sama berkali-kali.
Reading OCD, di mana Anda mengulangi satu penggal kalimat atau satu paragraf berkali-kali
bisa muncul lantaran metode membaca yang keliru. Anda mengira, setiap kalimat atau paragraf
terisolasi dari yang lainnya. Anda mengira, pemahaman utuh bisa Anda dapatkan dari tiap-tiap
kalimat.
Akibat dari anggapan di atas yaitu ketika Anda tidak paham kalimat yang Anda baca, Anda pun
mengulanginya berkali-kali. Padahal, bisa jadi, penjelasan dari kalimat itu ada di kalimat
berikutnya.
Bagaimana Cara Menghilangkan Reading OCD Sebagai Hambatan Membaca?
Untuk menghilangkan reading OCD sebagai hambatan membaca, Jonathan Grayson
menyarankan si penderita untuk menutupi bagian yang sudah dibacanya dengan kertas atau
tangan.
Cara itu kucup berhasil bagi sebagian orang. Tetapi, bagi yang lainnya, cara itu tidak membantu.
Sebenarnya, ada metode membaca yang saaaaangat efektif yang dapat meminimalisir
kecenderungan reading OCD.
Metode apakah itu?
Metode membaca Bacakilat!
Apa itu Bacakilat?
Bacakilat merupakan metode membaca buku satu halaman satu detik. Metode ini menggunakan
kekuatan otak yang sangat dahsyat, yaitu pikiran bawah sadar. Karena menggunakan pikiran
bawah sadar, Anda tidak perlu terlalu mengerahkan fokus pada buku yang Anda baca. Anda
dapat membaca buku dengan rileks. Tidak ngoyo.
Sekali pun tidak ngoyo, dengan Bacakilat, Anda dapat menyerap konten buku dengan lebih cepat
dan lebih baik. Anda jauh lebih mudah memahami isi buku. Tidak perlu lagi Anda khawatir ada
informasi yang terlewatkan yang membuat Anda mengulang-ulang bacaan.
Anda bisa mempelajari langkah-langkah awal Bacakilat di video Basic Course Bacakilat 3.0
secara gratis dengan mendaftarkan diri di link bergambar di bawah ini. Dan dapatkan juga
penawaran menarik untuk mempelajari seluruh langkah-langkah sistem Bacakilat di dalamnya.
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

Anda mungkin juga menyukai